Anda di halaman 1dari 221

PENGANTAR ILMU

HUKUM TATA NEGARA


JILID I

TIDAK DIPERJUALBELIKAN

Persembahan
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA

i ii
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
PENGANTAR ILMU
HUKUM TATA
NEGARA JILID I

Asshiddiqie, Jimly
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK
RI Cetakan Pertama, Juli 2006
xvi + 381 hlm; 14 x 21 cm

1. Hukum Tata Negara 2. Konstitusi

PENGANTAR ILMU
HUKUM TATA NEGARA
JILID I Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
All right reserved

Hak Cipta @ Jimly Asshiddiqie


Cetakan Pertama, Juli 2006

Koreksi naskah:
Muchamad Ali Safa’at dan Pan Mohamad Faiz
Rancang Sampul : Abiarsya
setting layout : Ery SP, M. Azis Hakim, Irvan
A. Indeks : Subhan Hariri

Penerbit:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Penerbit
Mahkamah Konstitusi RI
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat 10110
Mahkamah Konstitusi RI Telp. (021) 3520173, 3520787 Ext. 213
Jakarta, 2006 www.mahkamahkonstitusi.go.id
Hariri yang telah membuat indeks buku ini, dan semua
DARI PENERBIT pihak yang turut membantu hingga terbitnya buku ini.
Akhirnya, kami sampaikan selamat membaca
dan semoga membawa manfaat bagi perkembangan
ketata- negaraan di Indonesia.

Pasca perubahan UUD 1945, Ilmu Hukum Tata Jakarta, Juli


Negara mengalami perkembangan yang sangat pesat.
2006 Sekretaris
Berbagai perubahan ketatanegaraan mengharuskan ada- Jenderal Mahkamah
nya pengkajian yang lebih luas dan mendalam. Apalagi
Konstitusi RI
saat ini norma-norma tersebut berada dalam proses
kon- solidasi untuk menyesuaikan sistem aturan dan
Janedjri M. Gaffar
sistem kelembagaan yang telah ada dan dibuat sebelum
peru- bahan UUD 1945.
Proses pelaksanaan norma-norma dasar dalam
UUD 1945 dalam praktik membutuhkan wawasan dan
medan pengalaman. Oleh karena itu diperlukan
perspek- tif keilmuan yang merupakan sublimasi dari
pengalaman berbagai negara sebagai kerangka dan
alternatif pilihan pelaksanaan norma-norma dasar
dalam UUD 1945.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Sekretariat
Jen- deral dan Kepaniteraan MKRI menerbitkan buku
yang menjadi pintu masuk untuk mempelajari Ilmu
Hukum Tata Negara ini. Buku karya Bapak Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, S.H. ini terdiri dari Jilid I dan Jilid II
yang sesungguhnya merupakan satu kesatuan naskah.
Dengan penerbitan buku ini diharapkan dapat ikut
mendukung terwujudnya konstitusionalitas Indonesia
dan budaya sadar berkonstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI
mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Muchamad Ali
Safa'at dan Sdr. Pan Mohammad Faiz yang telah dengan
tekun membaca dan mengedit naskah buku ini, Sdr. Ery
Satria Pamungkas, M. Azis Hakim dan Irvan Aprialdi
yang telah membantu me-lay out buku ini, Sdr. Subhan

v vi
mempengaruhi antara sistem konstitusi menjadi suatu
KATA PENGANTAR keniscayaan. Dikotomi antara nasionalisme versus
inter- nasionalisme sistem hukum dan konstitusi juga
semakin tipis batasan-batasannya. Bahkan, karena
perkembangan Uni Eropa yang semakin menguat
tingkat kohesi dan in- tegrasinya, maka kedaulatan
Bismilahhirrahmanirrahim, sistem hukum dan konsti- tusi masing-masing negara
anggotanya juga semakin cair. Apalagi, sebagai akibat
Buku ini saya persembahkan sebagai bahan kaji-
kuat dan luasnya pengaruh gelombang liberalisme di
an bagi para mahasiswa dan pemula, para dosen,
hampir semua negara di dunia, peran pemerintah dan
pemer- hati hukum, serta para peminat pada umumnya
negara pada umumnya terus me- nerus dituntut untuk
yang ter- tarik untuk mempelajari seluk-beluk mengenai
dikurangi melalui kebijakan demo- kratisasi, privatisasi,
hukum tata negara sebagai ilmu pengetahuan hukum.
deregulasi, debirokratisasi, dan pe- majuan hak asasi
Sebenar- nya, banyak buku yang sudah ditulis oleh para
manusia di semua sektor kehidupan. Akibatnya, format
ahli mengenai hal ini sebelumnya. Akan tetapi, di
organisasi negara dan fungsi-fungsi kekuasaan negara
samping tidak dimaksudkan sebagai buku teks yang
juga dipaksa oleh keadaan untuk ber- ubah secara
bersifat me- nyeluruh, pada umumnya buku-buku
mendasar.
tersebut ditulis pada kurun waktu sebelum reformasi.
Kedua, setelah era reformasi, Negara Kesatuan
Oleh karena itu, buku-buku teks yang sampai sekarang
Republik Indonesia (NKRI) juga telah mengalami per-
masih dipakai sebagai pegangan dalam perkuliahan
ubahan yang sangat mendasar di hampir semua aspek-
hukum tata negara di berbagai fakultas hukum di tanah
nya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
air kita dewasa ini sudah banyak yang ketinggalan
Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi
zaman.
Buku-buku dimaksud dapat dikatakan ketinggal- dalam sistem hukum Indonesia telah mengalami per-
an zaman, karena dua sebab utama. Pertama, dunia pa- ubahan secara besar-besaran. Jumlah ketentuan yang
da umumnya di abad ke-21 sekarang ini telah berubah tercakup dalam naskah UUD 1945 yang asli mencakup
secara sangat mendasar, sehingga menyebabkan 71 butir ketentuan. Sekarang, setelah mengalami empat
struktur dan fungsi-fungsi kekuasaan negara juga kali perubahan dalam satu rangkaian proses perubahan
mengalami per- ubahan yang sangat significant apabila dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, butir
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. ketentuan yang tercakup di dalamnya menjadi 199 butir.
Perubahan-perubahan mendasar itu tidak hanya terjadi Dari ke- 199 butir ketentuan itu, hanya 25 butir
di lapangan perekono- mian global, tetapi juga di bidang ketentuan yang berasal dari naskah asli yang disahkan
kebudayaan dan di bidang sosial politik yang mau tidak oleh Panitia Persi- apan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mau telah pula mempengaruhi format dan fungsi pada tanggal 18 Agustus 1945. Selebihnya, yaitu
kekuasaan di hampir semua negara di dunia. sebanyak 174 butir ketentuan, dapat dikatakan
Dikarenakan perubahan-perubahan yang bersifat merupakan ketentuan yang baru sama sekali.
global atau mondial itu, hubungan saling pengaruh Banyak pihak yang merasa kecewa atau bahkan
menentang perubahan secara besar-besaran dan
menda-
vii viii
sar tersebut. Bahkan di kalangan guru besar hukum tata Oleh karena luasnya masalah yang perlu dibahas,
negara sendiri banyak juga yang terlibat dalam gerakan saya sengaja membagi dua buku ini menjadi (i) Pengan-
politik yang berusaha untuk mengubah atau bahkan me- tar Ilmu Hukum Tata Negara, dan (ii) Pengantar
ngembalikan hasil perubahan yang sudah ditetapkan itu Hukum Tata Negara Indonesia. Buku pertama adalah
ke naskah UUD 1945 yang asli sebagaimana disahkan pengantar bagi kajian hukum tata negara pada
pa- da tahun 1945. Namun, terlepas dari perbedaan- umumnya sebagai satu cabang ilmu pengetahuan
perbeda- an pendapat yang demikian, naskah Undang- hukum. Materi buku per- tama inilah yang biasa disebut
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Hukum Tata Ne- gara Umum. Sedangkan buku
sudah berubah dan perubahannya itu sudah disahkan yang kedua berkenaan de- ngan materi Hukum Tata
secara konstitusional. Oleh karena itu, sekarang bukan Negara Positif yang berlaku di Indonesia. Oleh karena
lagi sa- atnya untuk menyatakan setuju atau tidak banyaknya materi yang penting, maka pada Buku kedua
setuju. Akan tetapi, sekarang adalah saatnya untuk ini juga diberi judul “Pengantar Hukum Tata Negara
melaksanakan segala ketentuan UUD 1945 pasca Indonesia”, karena sifatnya hanya sebagai pengantar
perubahan itu secara konsekuen. saja. Artinya, bagi mereka yang ber- minat untuk
Jikapun perbedaan pendapat yang terjadi dapat mengkaji materi tertentu secara lebih men- dalam lagi,
dikembangkan dalam tataran ilmiah, maka tentunya perlu membaca buku yang tersendiri me- ngenai hal-hal
per- bedaan-perbedaan itu justru dapat memperkaya dimaksud. Karena luasnya pembahasan dalam buku
pers- pektif bagi perkembangan ilmu hukum tata negara pertama, maka buku pertama tersebut dibagi menjadi
posi- tif di Indonesia. Akan tetapi, para jurist dan para dua Jilid. Buku ini adalah Jilid I yang khusus membahas
calon jurist di bidang hukum tata negara harus pula masalah bidang Ilmu Hukum Tata Negara mulai dari
mema- hami bahwa norma hukum dasar sebagai hukum sisi definisi, metode, hingga pada pergeseran dalam
yang tertinggi sebagaimana tertuang dalam ketentuan orientasinya.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sah Namun sebenarnya, buku mengenai apa saja yang
dan mengikat secara konstitusional sejak ditetapkan. berkenaan dengan buku Hukum Tata Negara, baik yang
Oleh karena itu, sistem hukum dan ketatanegaraan bersifat umum ataupun yang bersifat positif, sangat
Indonesia pasca Perubahan UUD 1945 harus pula tera- sa masih sangat kurang di Indonesia. Terlebih lagi,
berubah secara mendasar sesuai dengan tuntutan baru buku- buku yang sengaja diabdikan untuk membahas
UUD 1945. Ber- samaan dengan itu, buku-buku teks dan hukum tata negara sebagai ilmu pengetahuan di antara
buku-buku pelajaran lainnya yang berkenaan dengan sedikit buku tentang hukum tata negara, pada
sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia dewasa ini umumnya hanya membahas mengenai hukum tata
juga harus di- ubah dan disesuaikan secara besar- negara positif yang berlaku di Indonesia. Sangat sedikit
besaran pula. Oleh sebab itulah, buku ini yang secara khusus membahas teori umum tentang
dipersembahkan dengan harapan agar dapat membantu hukum tata negara. Oleh sebab itu, saya berusaha
para mahasiswa, para dosen, dan para peminat pada mengisi kekosongan tersebut dengan menerbitkan buku
umumnya yang berusaha untuk me- mahami segala ini sebagaimana mestinya.
seluk-beluk hukum tata negara sebagai satu cabang ilmu Lahirnya buku ini tentunya juga atas dukungan
pengetahuan hukum. dan keterlibatan dari berbagai pihak. Untuk itu saya
ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
ix x
ikut membidani dalam penyusunan buku ini. Besar ha-
rapan saya bahwa kiranya buku ini dapat dijadikan
sebagai salah satu buku pedoman Hukum Tata Negara
bagi siapapun. Syukur-syukur buku ini dapat pula dija-
dikan sebagai buku pegangan bagi setiap mahasiswa
Fakultas Hukum dalam mempelajari seluk-beluk ilmu
hukum tata negara.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati kita
semua. Amiin.

Jakarta, Juli 2006


Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

xi xii
DAFTAR ISI 3. Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara  46
4. Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara 
50
5. Hukum Tata Negara dan
Dari Penerbit  v Hukum Internasional Publik 
Kata Pengantar  vii 65
Daftar Isi  xiii 6. Kecenderungan Hukum Tata Negara,
Hukum Administrasi Negara, dan
BAB I Hukum Internasional Publik  66
D. Objek dan Lingkup Kajian
Hukum Tata Negara  70
PENDAHULUAN 44
A. Latar Belakang  1
B. Ruang Lingkup Pembahasan  7
C. Pendekatan Pembahasan  8

BAB II
DISIPLIN ILMU
HUKUM TATA NEGARA
A. Negara sebagai Objek
Ilmu Pengetahuan  11
B. Ilmu Hukum Tata Negara  15
1. Peristilahan  15
2. Definisi Hukum Tata Negara  23
3. Hukum Tata Negara Formil dan Materiel  37
4. Hukum Tata Negara Umum dan
Hukum Tata Negara Positif  39
5. Hukum Tata Negara Statis dan Dinamis  41
C. Keluarga Ilmu Hukum
Kenegaraan  42
1. Keluarga Ilmu Hukum Kenegaraan
Pada Umumnya  42
2. Hukum Tata Negara dan Ilmu
Politik serta Ilmu Sosial Lainnya 

xiii xiv
E. Objek Dan Lingkup Kajian
Hukum Administrasi Negara  80

BAB III
KONSTITUSI SEBAGAI OBJEK
KAJIAN HUKUM TATA NEGARA
A. Sejarah Konstitusi  89
1. Terminologi Klasik: Constitutio,
Politeia, dan Nomoi  89
2. Warisan Yunani Kuno
(Plato dan Aristoteles)
 95
3. Warisan Cicero (Romawi Kuno)  102
4. Warisan Islam: Konstitusionalisme
dan Piagam  106
5. Gagasan Modern: Terminologi Konstitusi 
113
B. Arti dan Pengertian Konstitusi  119
C. Nilai dan Sifat Konstitusi  135
1. Nilai Konstitusi  135
2. Konstitusi Formil dan Materiil  137
3. Luwes (Flexible) atau Kaku (Rigid)  142
4. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis  148
D. Tujuan dan Hakikat Konstitusi  149

xiii xiv
BAB IV 1. Peradilan Tata Negara  332
SUMBER HUKUM TATA NEGARA 2. Pengujian Konstitutionalitas
A. Sumber Hukum Tata Negara  151 Undang-Undang  335
3. Sengketa Kewenangan Konstitusional
1. Pengertian Sumber Hukum  151
Lembaga Negara  336
2. Sumber Hukum Tata Negara  158
4. Pembubaran Partai Politik  338
3. Contoh Sumber Hukum Tata
Negara Inggris  182 5. Perselisihan Hasil Pemilu  339
6. Pemakzulan Presiden dan/atau
4. Sumber Hukum Primer, Sekunder,
Wakil Presiden  341
dan Tertier  193
7. Kebutuhan akan Sarjana
B. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia  197
Hukum Tata Negara 
1. Sumber Materiel dan Formil  197
342
2. Peraturan Dasar dan Norma Dasar  199
3. Peraturan Perundang-undangan  202 Daftar Pustaka  349
4. Konvensi Ketatanegaraan  228 Daftar Indeks  369
5. Traktat (Perjanjian)  230 Tentang Penulis 
C. Konvensi Ketatanegaraan  236 377
1. Hakikat Konvensi Ketatanegaraan  236
2. Pengakuan Hakim terhadap Konvensi
(Judicial Recognition)  249
3. Fungsi Konvensi Ketatanegaraan  254
4. Beberapa Contoh Konvensi di Indonesia  256

BAB V
PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA
A. Penafsiran dan
Anatomi Metode Tafsir
 273
B. Hermeneutika Hukum  308

BAB VI
PRAKTIK HUKUM TATA NEGARA
A. Pergeseran Orientasi Politis ke Teknis  315
B. Lahan Praktik Hukum Tata Negara  323
C. Praktik Peradilan Tata Negara  332

xv xvi
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

BAB I
hidup. Karena tidak ada orang yang mampu hidup
PENDAHULUAN
hanya dengan mengandalkan kemampuan menulis.
Oleh karena itu, buku yang bermutu juga
menjadi sangat kurang jumlahnya. Kata kuncinya tidak
lain adalah bahwa konsumen dan konsumsi buku di
A. Latar Belakang masya- rakat kita masih sangat tipis jumlahnya,
sehingga tidak dapat menggerakkan roda industri buku
Terdapat tiga hal yang melatarbelakangi penu- untuk dapat tumbuh sehat. Untuk itu, sebagai seorang
lisan buku ini. Pertama, dunia pustaka di tanah air sa- guru dalam pendidikan hukum yang kebetulan
ngat miskin dengan buku-buku yang berisi informasi mendapat keperca- yaan menjadi Ketua Mahkamah
yang luas dan mendalam dengan perspektif yang Konstitusi, di tengah ke- sibukan kerja sehari-hari, saya
bersifat alternatif. Informasi dan hasil analisis kritis merasa bertanggung jawab secara moral untuk terus
mengenai berbagai soal dalam bidang ilmu hukum tata menulis buku untuk kepentingan mahasiswa dan
negara dalam buku ini merupakan alternatif pilihan masyarakat peminat lain- nya.
terhadap semua buku dan karya yang sudah ada selama Ketiga, perkembangan ketatanegaraan Indonesia
ini. Ka- dang-kadang buku-buku yang tersedia hanyalah sendiri sesudah terjadinya reformasi nasional sejak ta-
buku yang berisi kumpulan peraturan perundang- hun 1998 yang kemudian diikuti oleh terjadinya Peruba-
undangan di bidang politik dan ketatanegaraan dengan han UUD 1945 secara sangat mendasar sebanyak empat
tambahan komentar dan catatan yang serba sumir, kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002,
tanpa keda- laman analisis dengan berbasis teori-teori telah mengubah secara mendasar pula cetak biru (blue-
yang telah berkembang pesat di lingkungan negara- print) ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan
negara maju. Oleh karena itu, buku dengan kedalaman datang. Oleh karena itu, diperlukan banyak buku baru
pengertian ten- tang berbagai aspek ilmiah tentang yang dapat menggambarkan perspektif-perspektif baru
hukum tata negara sungguh diperlukan. itu, tidak saja di dunia teori, tetapi juga di bidang
Kedua, dari segi jumlahnya, buku-buku yang ter-
hukum positif yang sekarang berlaku.
sedia di perpustakaan dan di toko buku juga sangat ter- Sampai sekarang, pemasyarakatan UUD 1945
batas. Oleh sebab itu, dibutuhkan lebih banyak buku
pasca Perubahan Keempat relatif masih sangat terbatas.
untuk mendorong peningkatan pengkajian-pengkajian Padahal, isinya telah mengalami perubahan lebih dari
yang lebih intensif oleh para mahasiswa dan peminat
300 persen. Sebagai gambaran, sebelum diadakan Peru-
masalah ketatanegaraan. bahan, naskah UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan ayat
Budaya baca di kalangan masyarakat kita sangat-
atau pasal. Akan tetapi sekarang, setelah mengalami 4
lah lemah, dan demikian pula budaya menulis juga sa- (empat) kali perubahan, ketentuan yang terkandung di
ngat terbatas, apalagi untuk menjadi penulis buku-buku
dalamnya menjadi 199 butir. Dari rumusan ketentuan
yang bermutu. Menjadi penulis yang baik saja pun yang asli, hanya tersisa 25 butir saja yang sama sekali
sekarang ini belumlah dapat dijadikan andalan untuk
tidak berubah. Sedangkan selebihnya, yaitu 174 butir,
sama sekali merupakan butir-butir ketentuan baru
dalam

1 2
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya,


sering terjebak dalam keinginannya sendiri mengenai
meskipun namanya masih menggunakan nama lama de-
apa yang semestinya diatur, bukan apa yang
ngan penegasan kembali dengan nama resmi “Undang-
dikehendaki oleh peraturan itu sendiri. Para sarjana
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,
hukum kita cen- derung bersikap sebagai politisi hukum
tetapi isinya sudah lebih dari 300 persen baru. Untung-
daripada ber- sikap sebagai jurist. Perhatian para
lah bahwa pembukaannya tidak mengalami perubahan,
sarjana hukum keba- nyakan tertuju kepada politik
dan naskah standar yang dijadikan pegangan dalam
hukum (legal policy) dari- pada norma hukum itu
melakukan perubahan itu adalah naskah UUD 1945 se-
sendiri. Para sarjana hukum, apalagi di kalangan aktivis
bagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demi-
di lapangan, para advokat, ataupun para dosen yang
kian, meskipun isinya sudah mengalami perubahan
terlibat aktif sebagai pengamat, cenderung bertindak
lebih dari 300 persen, tetapi jiwanya tetap jiwa
sebagai sarjana patriotis yang ingin memperjuangkan
proklamasi, dan orisinalitas ideologinya tetap
nilai agar dapat turut memperbaiki hukum.
terpelihara sesuai nas- kah aslinya yang diwarisi dari Kecenderungan demikian biasanya dibungkus
tahun 1945. pula oleh alasan yang bersifat pseudo-ilmiah, dengan
Namun, sebagai akibat dari perubahan yang mendasarkan diri pada teori-teori ilmiah yang secara
sangat mendasar dan bersifat besar-besaran itu, tidak salah kaprah dipergunakan. Misalnya, dikatakan bahwa
ada jalan lain, harus ada upaya bersengaja untuk sarjana hukum tidak boleh berpikir dogmatis-positi-
menyebarluaskan pengertian-pengertian baru dalam vistik, atau sarjana hukum sudah seharusnya mengu-
UUD 1945, terutama di kalangan para calon ahli hukum tamakan perasaan keadilan yang hidup dalam masya-
sendiri, yaitu para mahasiswa hukum di seluruh tanah rakat, sehingga tidak perlu terpaku kepada bunyi teks.
air. Untuk itu, penulisan buku ini termasuk dalam Padahal, ukuran perasaan keadilan itu sangat relatif dan
rangka kebutuhan yang amat mendesak mengenai pe- cenderung menyebabkan penerapan hukum menjadi sa-
masyarakatan kesadaran akan konstitusi “baru” In- ngat dipengaruhi oleh faktor-faktor kekuatan politik
donesia, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun ma- joritarian.
1945 pasca perubahan. Banyak kalangan dosen dan Apabila dipandang dari segi kebutuhan akan
bahkan banyak pula para guru besar hukum tata negara pembaruan hukum di negara kita yang dewasa ini
sendiri serta para ahli hukum pada umumnya yang sedang berubah menjadi lebih demokratis dan
belum sungguh-sungguh memahami pengertian-penger- berkeadilan, hal itu tentu merupakan fenomena yang
tian baru dalam substansi perubahan yang terjadi dalam baik dan positif. Upaya melakukan perombakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta- memerlukan sikap kritis dari banyak kalangan, terutama
hun 1945. dari kalangan para ahli hukum sendiri. Namun,
Lagi pula, di kalangan para sarjana hukum Indo- kebiasaan semacam itu jika tidak terkendali, justru
nesia sejak dulu, terdapat pula kebiasaan buruk menge- dapat menyebabkan terjadinya destabilisasi dan
nai cara berpikir politis tentang hukum. Para sarjana disharmoni dalam diskursus publik (public discourse)
hu- kum sering berpikir mengenai apa yang ia inginkan yang pada gilirannya menyebabkan semakin kacaunya
de- ngan suatu ketentuan hukum, bukan apa yang tertib hukum nasional kita.
diingin- kan oleh perumusan norma hukum itu
sendiri. Orang

3 4
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Demikian pula dalam memahami ketentuan un-


ngertian-pengertian lama yang sudah tidak cocok lagi
dang-undang dasar, sarjana hukum banyak yang tidak
untuk dijadikan pegangan ilmiah.
berusaha memahami apa yang terkandung di dalam
Misalnya saja, teori mengenai susunan
UUD 1945, melainkan mengajukan pikirannya sendiri
organisasi negara yang selama berabad-abad dipahami
yang seharusnya ada dalam UUD 1945. Pikiran dan ha-
terdiri atas tiga kemungkinan bentuk, yaitu negara
rapannya itulah yang dijadikan bahan dalam memahami
kesatuan (uni- tary state atau eenheidsstaat), negara
apa yang diatur dalam pasal-pasal UUD 1945.
serikat atau fede- ral (bondstaat), dan negara
Akibatnya, yang berkembang di antara para ahli hukum
konfederasi (confederation). Sekarang kita menyaksikan
bukanlah pengertian-pengertian yang terkandung di
terbentuknya wadah Uni Eropa (European Union) di
dalam rumusan-rumusan naskah UUD 1945, melainkan
antara negara-negara Eropa Bersatu yang dari waktu ke
apa yang mereka setuju atau yang mereka ingin untuk
waktu terus menguat derajat integrasinya menjadi suatu
dirumuskan dalam naskah UUD 1945.
komunitas kenegaraan yang sama sekali tidak dapat
Hal inilah sebenarnya yang membedakan seorang
dikategorikan sebagai salah satu dari ketiga bentuk
ilmuwan hukum dari seorang politisi hukum. Norma
susunan organisasi negara tersebut di atas.
hu- kum bagi jurist dan ilmuwan hukum adalah apa
Kelima, sebagai akibat dari gelombang globalisasi
adanya (das sein), sedangkan bagi para politisi hukum
ekonomi dan kebudayaan umat manusia, meluas pula
me- rupakan norma yang seharusnya (das sollen). Para
hubungan saling pengaruh mempengaruhi mengenai
jurist lebih mengutamakan norma hukum yang
pola-pola kehidupan bernegara dan aspek-aspek ketata-
mengikat atau ius constitutum, sedangkan para politisi
negaraan di berbagai negara, sehingga hukum tata ne-
hukum lebih menekankan ius constituendum atau
gara sebagai bidang ilmu pengetahuan juga tidak lagi
hukum yang dicita- citakan. Kebiasaan demikian itu
terkungkung dalam ruang-ruang nasionalisme norma
pada gilirannya dapat semakin mempersulit upaya kita
konstitusi masing-masing negara. Para mahasiswa hu-
untuk memasya- rakatkan kesadaran dan
kum harus menangkap pula kecenderungan baru
menyebarluaskan pengertian- pengertian baru dalam
dimana hukum tata negara sebagai bidang hukum yang
Undang-Undang Dasar 1945 pas- ca Perubahan
bersifat internal suatu negara mulai menyatu atau
Pertama, Kedua, Ketiga, dan Perubahan Keempat.
setidaknya saling pengaruh mempengaruhi dengan
Keempat, keadaan dunia dewasa ini juga telah bidang kajian hukum internasional publik. Hukum tata
mengalami perubahan yang sangat pesat dan mendasar, negara meluas dari sempitnya orientasi selama ini yang
apabila dibandingkan dengan keadaan di masa-masa hanya bersifat internal ke arah orientasi eksternal,
lalu pada abad ke-20. Kehidupan kenegaraan di seluruh sehingga ilmu hu- kum tata negara di samping harus
du- nia dewasa ini juga berubah dengan sangat dipelajari sebagai bi- dang ilmu hukum tata negara
fundamental sehingga teori-teori dan konsep-konsep positif, juga harus dipelajari sebagai bidang ilmu hukum
hukum yang berlaku di masa lalu juga banyak yang tata negara umum.
menjadi tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman Hukum tata negara positif hanya berkisar kepada
sekarang. Demi- kian pula halnya dengan bidang hukum norma-norma hukum dasar yang berlaku di satu negara,
tata negara, banyak sekali konsep-konsep baru yang sedangkan hukum tata negara umum mempelajari juga
muncul dan pe- fenomena hukum tata negara pada umumnya. Hukum

5 6
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Tata Negara Positif hanya mempelajari hukum yang


mendalam mengenai berbagai aspek hukum tata negara
berlaku di Indonesia saja dewasa ini. Tetapi Hukum
sebagai bidang ilmu pengetahuan hukum. Di dalamnya
Tata Negara Umum mempelajari gejala-gejala ilmiah
dapat saja tercakup pula aspek-aspek hukum tata negara
hukum tata negara pada umumnya. Oleh karena itu,
positif yang berlaku di Indonesia, tetapi hal itu bukanlah
judul yang dipilih untuk buku ini bukanlah “Pengantar
menjadi muatan utamanya.
Hukum Tata Negara Indonesia”, melainkan “Pengantar
Sebagai buku Pengantar, maka tentulah tidak se-
Ilmu Hukum Tata Negara” saja.
mua aspek pengantar itu akan diuraikan di sini. Dalam
buku ini, hanya diuraikan beberapa aspek pembahasan
B. Ruang Lingkup Pembahasan
yang berkenaan dengan (i) disiplin ilmu hukum tata
negara sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan hu-
Buku ini dimaksudkan sebagai bacaan bagi
kum kenegaraan, (ii) gagasan umum tentang konstitusi,
maha- siswa Strata-1 dan para pemula yang ingin
(iii) sumber-sumber hukum tata negara atau the laws of
mengetahui mengenai garis besar ruang lingkup ilmu
the constitution, (iv) konvensi ketatanegaraan atau the
pengetahuan hukum yang dinamakan ilmu Hukum Tata
conventions of the constitution, dan (v) metode-metode
Negara. Oleh karena itu buku ini diberi judul “Pengantar
penafsiran yang dikenal dalam hukum tata negara; serta
Ilmu Hukum Tata Negara”. Dari judul ini, pertama
(vi) berbagai aspek mengenai praktik hukum tata
dapat diketahui bahwa buku ini hanyalah merupakan
negara. Dengan demikian, dalam buku ini,
bagian pengantar untuk pengkajian yang lebih
belum diuraikan mengenai persoalan-
mendalam mengenai ilmu hukum tata negara. Artinya,
persoalan pokok yang biasa dibahas dalam ilmu
yang dibahas dalam buku ini barulah kulit atau hal-hal
hukum tata negara, seperti bentuk dan susunan
yang belum merupakan sub- stansi pokok ilmu hukum
organisasi negara, fungsi-fungsi kekuasaan legislatif,
tata negara itu. Pada jilid I ini belum dibahas mengenai
eksekutif, dan yudisial, sistem kepartaian dan pemilihan
prinsip-prinsip dasar dalam hukum tata negara seperti
umum, kewarganegaraan, dan sebagainya. Pada
konsep pembatasan ke- kuasaan dan implikasinya
saatnya, hal-hal yang dimaksud itu
terhadap struktur kekuasaan yang biasanya dibagi akan dibahas dalam Jilid II.
dalam cabang-cabang legislatif, eksekutif, dan yudisial,
yang akan dibahas pada jilid II. Buku ini benar-benar C. Pendekatan Pembahasan
baru bersifat pengantar ke arah studi yang lebih
mendalam mengenai materi ilmu hukum tata negara itu. Dalam menyusun buku ini, penulis sangat me-
Kedua, dalam judul ini, juga tergambar bahwa isi nyadari bahwa banyak buku-buku teks yang biasa
buku ini merupakan pengantar terhadap kajian ilmu dipakai sehari-hari sebagai buku wajib oleh mahasiswa
hukum tata negara yang bersifat umum, yang tidak ha- dan dosen hukum di tanah air kita, banyak yang sudah
nya terbatas kepada hukum tata negara positif, dalam ketinggalan atau obsolete. Akan tetapi, saya sendiri
ar- ti hukum tata negara Indonesia yang dewasa ini tidak bermaksud meniadakan atau menafikan
sedang berlaku. Oleh karena itu, lingkup pembahasan sumbangan ya- ng telah diberikan oleh buku-buku
dalam buku ini bersifat mengantarkan studi yang lebih tersebut sebelumnya. Buku-buku lama itu menurut
luas dan saya masih tetap berguna

7 8
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dan bagi mereka yang memilikinya masih tetap dapat


menggunakannya sebagai bahan perbandingan.
Misalnya saja, di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, buku karya Mohammad
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (keduanya sudah
almarhum) dengan judul “Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia” masih terus dipakai sebagai buku
pegangan mahasiswa sampai sekarang. Isinya jelas
sudah sangat banyak ke- tinggalan, tetapi tetap penting
untuk dijadikan pegangan bagi dosen dan mahasiswa.
Bahkan, oleh sebab itu, buku ini juga ditulis dengan
berpatokan pada apa yang ditulis oleh Moh. Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim tersebut. Dengan demikian, buku
teks yang lama ini tidak perlu se- luruhnya dihapuskan,
karena banyak bagian yang masih tetap dapat dipakai
sampai sekarang.
Hanya saja, jika buku teks lama ini dibaca tanpa
dilengkapi dengan buku baru, pemahaman pembacanya
dapat tergelincir kepada kesalahan fatal. Banyak sekali
pengertian-pengertian baru yang telah berubah secara
fundamental baik karena pengaruh perubahan global,
nasional, regional, maupun perubahan yang bersifat lo-
kal. Semua itu memerlukan keterangan-keterangan dan
penjelasan-penjelasan baru yang hanya dapat dibaca da-
lam buku-buku yang baru pula.
Di samping itu, pembahasan dalam buku ini
tidak dilakukan semata-mata secara normatif ataupun
menu- rut peraturan hukum positif, melainkan melalui
des- kriptif-analitis. Pembahasan dilakukan melalui
pendes- kripsian pendapat ahli mengenai persoalan
yang dibahas dengan contoh-contoh yang dipraktikkan
di berbagai ne- gara. Baru setelah itu, pembahasan
dikaitkan pula de- ngan pengalaman praktik
ketatanegaraan di Indonesia.

9 10
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

BAB II “No independent political society can be termed as state


DISIPLIN ILMU HUKUM TATA NEGARA unless it professes to exercise both these functions; but no
modern state of any importance contents itself with this
narrow range of activity. As civilisationm becomes more
A. Negara Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan complex, population increases and social conscience
arises, the needs of the governed call for incresed
Negara merupakan gejala kehidupan umat ma- attention; taxes have to be livied to meet these needs;
nusia di sepanjang sejarah umat manusia. Konsep justice must be administered, commerce regulated,
educational facilities and many other social services
negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling
provided”.2
sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman
sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama
dalam masyarakat, negara selalu menjadi pusat Selanjutnya dikemukakan juga oleh ketiga
perhatian dan obyek kajian bersamaan dengan sarjana Inggris tersebut:
berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia. “A fully developed modern state is expected to deal with
Banyak cabang ilmu penge- tahuan yang menjadikan a vast mass of social problems, either by direct activity
negara sebagai objek kajiannya. Misalnya, ilmu politik, or by supervision, or regulation. In order to carry out
ilmu negara, ilmu hukum ke- negaraan, ilmu Hukum these functions, the state must have agents or organs
Tata Negara, Hukum Ad- ministrasi Negara, dan ilmu through which to operate. The appointment or
Administrasi Pemerintahan (Public Administration), establishment of these agents or organs, the general
semuanya menjadikan negara sebagai pusat nature of their functions and powers, their relations
inter and between them and the private citizen, form a
perhatiannya.
large part of the constitution of a state”.3
Namun demikian, apa sebenarnya yang diartikan
orang sebagai negara tentulah tidak mudah untuk di-
Secara sederhana, oleh para sarjana sering
definisikan. Meskipun diakui merupakan istilah yang
diurai- kan adanya 4 (empat) unsur pokok dalam setiap
su- lit didefinisikan, O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan
negara, 4 yaitu (i) a definite territory, (ii) population,
Pa- tricia Leopold mengartikan negara atau state
(iii) a Government, dan (iv) Sovereignity. Namun
sebagai:
demikian, untuk menguraikan pengertian negara dalam
“An independent political society occupying a defined tataran yang lebih filosofis, dapat pula merujuk kepada
territory, the members of which are united together for pendapat Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory
the purpose of resisting external force and the preser- of Law and State”.5 yang menguraikan pandangannya
vation of internal order”.1
tentang
Dikatakan pula oleh Phillips, Jackson, dan
Leopold: 2
Ibid., hal. 4-5.
3
Ibid., hal. 5.
4
A. Appadorai, The Substance of Politics, (India: Oxford University Press,
2005), hal. 11.
1
O. Hood Phillips, Paul Jackson and Patricia Leopold, Constitutional and 5
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and
Administrative Law, 8th edition, (London: Sweet and Maxwell, 2001), hal. 4. Russel, 1961), hal. 188-191.

11 12
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

negara atau state a juristic entity dan state as a politi-


ma kajiannya. Sementara, ilmu Hukum Tata Negara
cally organized society atau state as power. Elemen
mengkaji aspek hukum yang membentuk dan yang di-
negara menurut Kelsen mencakup: (i) The Territory of
bentuk oleh organisasi negara itu. Ilmu politik melihat
the State, seperti mengenai pembentukan dan pembu-
negara sebagai a political society dengan memusatkan
baran negara, serta mengenai pengakuan atas negara
perhatian pada 2 (dua) bidang kajian, yaitu teori politik
dan pemerintahan;6 (ii) Time Element of the State, yaitu
(political theory) dan organisasi politik (political
wak- tu pembentukan negara yang bersangkutan; (iii)
organi- zation). Ilmu Politik sebagai bagian dari ilmu
The People of the State, yaitu rakyat negara yang
sosial lebih memusatkan perhatian pada negara sebagai
bersang- kutan; (iv) The Competence of the State as the
realitas politik. Seperti dikatakan oleh M.G. Clarke:
Material Sphere of Validity of the National Legal
Order, misalnya yang berkaitan dengan pengakuan “... politics can only be understood through the
internasional; (v) Conflict of Laws, pertentangan antar bahaviour of its participants and that this behaviour is
tata hukum; (vi) The so-called Fundamental Rights and determined by ‘social forces’: social, economic, racial
factions, etc”.9
Duties of the States, soal jaminan hak dan kebebasan
asasi manusia; dan (vii) The Power of the State, aspek-
Ilmu politik hanya dapat dimengerti melalui
aspek mengenai kekuasaan negara.7
peri- laku para partisipannya yang ditentukan oleh
Negara sebenarnya merupakan konstruksi yang kekuatan- kekuatan sosial, ekonomi, kelompok-
diciptakan oleh umat manusia (human creation) kelompok rasial, dan sebagainya. Lebih lanjut, Clarke
tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan menyatakan bahwa legalisme itu bersifat redundant
berma- syarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa dalam studi ilmu politik, tetapi bahwa the rules of the
untuk maksud memenuhi kepentingan dan mencapai constitution dan, lebih pen- ting lagi, struktur-struktur
tujuan bersama. Apabila perkumpulan orang institutional pemerintahan negara, bukanlah hal yang
bermasyarakat itu diorganisasikan untuk mencapai relevan untuk dipersoalkan dalam ilmu politik. Struktur
tujuan sebagai satu unit pemerintahan tertentu, maka kelembagaan negara itu, menurut Clarke, tidak
perkumpulan itu dapat dikatakan diorganisasikan mempunyai pengaruh yang berarti perilakulah yang
secara politik, dan disebut body politic atau negara menjadi subjek utama dalam ilmu po- litik. 10 Orang
(state) sebagai a society politi- cally organized.8 boleh menerima begitu saja pendapat Clarke ini dalam
Negara sebagai body politic itu oleh ilmu negara
kerangka studi ilmu politik, tetapi di lingkungan negara-
dan ilmu politik sama-sama dijadikan sebagai objek uta-
negara yang sedang berkembang, banyak studi ilmu
sosial lainnya yang justru menunjuk- kan gejala yang
sebaliknya, yaitu bahwa peranan institusi

6
Pengakuan atas suatu negara meliputi persoalan recognition of a 9
Pengantar M.G. Clarke sebagai editor buku C.F. Strong, Modern Political
community as a state, pengakuan de facto atau de jure, pengakuan dengan Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History
kekuatan yang bersifat retroaktif, pengakuan melalui penerimaan oleh and Existing Forms, (London: Sidgwick & Jackson, 1973), hal.xvi.
organisasi PBB, pengakuan terhadap pemerintahan dan pengakuan terhadap 10
Ibid. “What they are saying is not just that legalism is redundant in the
insurgents seba- gai a belligerent power. Ibid. hal. 221-231. study of politics, but that the rules of the constitution and, more important,
7
Ibid., hal. 207-267. the institutional structures of government, are irrelevant because they don’t
8
Appadorai, Op. Cit., hal. 3. significantly affect that behaviour which is the only subject worthy of

13 14
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
study”.

13 14
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

kenegaraan itu justru sangat signifikan pengaruhnya


disebut Constitutional Law. Dalam bahasa Belanda dan
terhadap perilaku politik warga masyarakat.
Jerman, hukum tata negara disebut Staatsrecht, tetapi
Bagi disiplin ilmu politik, pendapat Clarke itu
dalam bahasa Jerman sering juga dipakai istilah verfas-
tidak aneh. Bahkan, Robert Dahl dalam bukunya “Pre-
sungsrecht (hukum tata negara) sebagai lawan
face to Democratic Theory” (1956) juga menyatakan
perkataan verwaltungsrecht (hukum administrasi
bahwa bagi para ilmuwan sosial yang lebih penting
negara).
adalah social not constitutional. 11 Ilmu politik lebih
Dalam bahasa Belanda, untuk perkataan hukum
mengutakan dinamika yang terjadi dalam masyarakat
tata negara juga biasa dipergunakan istilah staatsrecht
daripada norma-norma yang tertuang dalam konstitusi
atau hukum negara (state law). Dalam istilah
negara. Hal itu tentunya sangat berbeda dari ke-
staatsrecht itu terkandung 2 (dua) pengertian, yaitu
cenderungan yang terdapat dalam ilmu hukum, khu-
staatsrecht in ruimere zin (dalam arti luas), dan
susnya ilmu hukum tata negara (constitutional law).
staatsrecht in engere zin (dalam arti sempit).
Dalam studi ilmu hukum tata negara (the study of the
Staatsrecht in engere zin atau Hukum Tata Negara
constitution atau constitutional law), yang lebih di-
dalam arti sempit itulah yang biasa- nya disebut Hukum
utamakan justru adalah norma hukum konstitusi yang
Tata Negara atau Verfassungsrecht yang dapat
biasanya tertuang dalam naskah undang-undang dasar.
dibedakan antara pengertian yang luas dan yang sempit.
Di situlah letak perbedaan mendasar antara ilmu
Hukum Tata Negara dalam arti luas (in ruimere zin)
Hukum Tata Negara dari ilmu politik.
mencakup Hukum Tata Negara (verfas- sungsrecht)
dalam arti sempit dan Hukum Administrasi Negara
B. Ilmu Hukum Tata Negara
(verwaltungsrecht). 13
1. Peristilahan Prof. Dr. Djokosoetono lebih menyukai peng-
Ilmu Hukum Tata Negara adalah salah satu gunaan verfassungslehre daripada verfassungsrecht.
cabang ilmu hukum yang secara khusus mengkaji Dalam berbagai kuliahnya yang dikumpulkan oleh salah
persoalan hukum dalam konteks kenegaraan. Kita me- seorang mahasiswanya, yaitu Harun Alrasid, pada tahun
masuki bidang hukum tata negara, menurut Wirjono 1959,14 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1982,
Prodjodikoro, apabila kita membahas norma-norma hu- Djokosoetono berusaha mengambil jalan tengah antara
kum yang mengatur hubungan antara subjek hukum Carl Schmitt yang menulis buku Verfassungslehre dan
orang atau bukan orang dengan sekelompok orang atau Hermann Heller dengan bukunya Staatslehre. Istilah
badan hukum yang berwujud negara atau bagian dari yang tepat untuk Hukum Tata Negara sebagai ilmu
negara. 12 Dalam bahasa Perancis, hukum tata negara (con- stitutional law) adalah Verfassungslehre atau
disebut Droit Constitutionnel atau dalam bahasa Inggris teori kons- titusi. Verfassungslehre inilah yang nantinya
akan men- jadi dasar untuk mempelajari
11
Robert A. Dahl, Preface to Democratic Theory, (Chicago: University of verfassungsrecht, teru-
Chicago
12
Press, 1956), hal. 83.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, cet.
keenam, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hal. 2. 13
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, cet. kelima, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum
14
Universitas Indonesia, 1983), hal. 22.
Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).
15 16
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tama mengenai hukum tata negara dalam arti positif,


sebut, Hukum Konstitusi dipahami lebih sempit
yaitu hukum tata negara Indonesia.
daripada Hukum Tata Negara.17
Istilah “Hukum Tata Negara” dapat dianggap
Perkataan “Hukum Tata Negara” berasal dari
identik dengan pengertian “Hukum Konstitusi” yang
per- kataan “hukum”, “tata”, dan “negara”, yang di
merupakan terjemahan langsung dari perkataan Consti-
dalamnya dibahas mengenai urusan penataan negara.
tutional Law (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis),
Tata yang terkait dengan kata “tertib” adalah order yang
Diritto Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht
biasa juga diterjemahkan sebagai “tata tertib”. Tata
(Jerman). Dari segi bahasa, istilah Constitutional Law
negara berarti sistem penataan negara, yang berisi
dalam bahasa Inggris memang biasa diterjemahkan se-
ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan substansi
bagai “Hukum Konstitusi”. Namun, istilah “Hukum Tata
norma kenegaraan. Dengan perkataan lain, ilmu Hukum
Negara” itu sendiri jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Tata Negara dapat dikatakan merupakan cabang ilmu
Inggris, niscaya perkataan yang dipakai adalah Con-
hukum yang membahas mengenai tatanan struktur
stitutional Law.15 Oleh karena itu, Hukum Tata Negara
kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur-
dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain
struktur organ atau struktur kenegaraan, serta
belaka dari “Hukum Konstitusi”.16
mekanisme hubungan antara struktur negara dengan
Di antara para ahli hukum, ada pula yang ber-
warga negara.
usaha membedakan kedua istilah ini dengan me-
Hanya saja, yang dibahas dalam Hukum Tata
nganggap bahwa istilah Hukum Tata Negara itu lebih
Negara atau Hukum Konstitusi itu sendiri hanya
luas cakupan pengertiannya dari pada istilah Hukum
terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan aspek
Konstitusi. Hukum Konstitusi dianggap lebih sempit
hukumnya saja. Oleh karena itu, lingkup bahasannya
karena hanya membahas hukum dalam perspektif teks
lebih sempit daripada Teori Konstitusi sebagaimana
undang-undang dasar, sedangkan Hukum Tata Negara
yang dianjurkan untuk dipakai oleh Prof. Dr.
tidak hanya terbatas pada undang-undang dasar.
Djokosoetono, yaitu Verfas- sungslehre atau Theorie
Pembedaan ini sebenarnya terjadi karena kesalahan
der Verfassung.18 Istilah Verfas- sungslehre itu,
dalam mengartikan perkataan konstitusi (verfassung) itu
menurut Djokosoetono lebih luas dari- pada
sendiri yang seakan-akan diidentikkan dengan undang-
Verfassungsrecht. Theorie der Verfassung lebih luas
undang dasar (gerundgesetz). Karena kekeliruan ter-
daripada Theorie der Verfassungsrecht. Untuk ke-
pentingan ilmu pengetahuan, Djokosoetono menganggap
15
Lihat dan bandingkan Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut lebih tepat untuk menggunakan istilah “Teori
UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Konstitusi” daripada “Hukum Konstitusi” ataupun
Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hal. 29. Lihat juga dalam Miriam “Hukum Tata Ne- gara”. Sebab yang dibahas di
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992), hal. 95
dalamnya adalah persoalan konstitusi dalam arti yang
16
Lihat dan bandingkan pula pendapat dari Bagir Manan yang membedakan luas dan tidak hanya terbatas kepada aspek hukumnya,
antara Konstitusi (UUD) dengan Hukum Konstitusi (Hukum Tata Negara). maka yang lebih penting ada- lah Theorie der
Lihat Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, (Yogyakarta: FH-UII Press, Verfassung atau Verfassunglehre (Teori Konstitusi),
2004), hal. 5.
bukan Theorie der Verfassungsrecht, The-

17
18
Ibid., hal. 23.
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 45.
17 18
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

orie der Constitutionnel Recht (Teori Hukum Konstitusi


stitution of the United States of America baru disahkan
atau Teori Hukum Tata Negara), ataupun Theorie der
pada tanggal 17 September 1787, yaitu 11 tahun setelah
Gerundgesetz (Teori Undang-Undang Dasar). 19
deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat dari Inggris
Sejalan dengan penggunaan kata theorie dan
pada tanggal 4 Juli 1776. Bekas negara federasi Uni
lehre tersebut, dapat dibandingkan pula antara
Soviet mengesahkan undang-undang dasarnya (Konsti-
staatsrecht dengan staatslehre. Dalam staatslehre di-
tusi Federal) pada tahun 1924, setelah 2 tahun ber-
bahas mengenai persoalan negara dalam arti luas,
dirinya, yaitu pada 30 Desember 1922.21 Kerajaan Belan-
sedangkan staatsrecht hanya mengkaji aspek hukumnya
da yang sekarang juga baru mengesahkan Grondwet
saja, yaitu hukum negara (state law). Dapat disebut
pada tanggal 2 Februari 1814, yaitu setelah 2 bulan dan
beberapa sarjana yang mempopulerkan istilah staats-
11 hari sejak proklamasi kemerdekaannya dari Perancis
lehre ini, misalnya adalah Hans Kelsen dalam buku
pada tanggal 21 November 1813. Republik Indonesia
“Algemeine Staatslehre” dan Herman Heller dalam
sen- diri yang sudah diproklamasikan sebagai negara
bukunya “Staatslehre”. Cakupan pengertiannya jelas le-
merdeka dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945,
bih luas daripada staatsrecht, seperti halnya ver-
baru mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 pada
fassunglehre lebih luas daripada verfassungsrecht.
tanggal 18 Agustus 1945.
Konstitusi atau verfassung itu sendiri, menurut
Dalam ilmu hukum tata negara juga berlaku
Thomas Paine dibuat oleh rakyat untuk membentuk pe-
doktrin “teori fiktie hukum” (legal fiction theory) yang
merintahan, bukan sebaliknya ditetapkan oleh peme-
menyatakan bahwa suatu negara dianggap telah memi-
rintah untuk rakyat. Bahkan, lebih lanjut dikatakan oleh
liki konstitusi sejak negara itu terbentuk. Terbentuknya
Paine bahwa “A constitution is a thing antecedent to a
negara itu terletak pada tindakan yang secara resmi
government and a government is only the creature of a
menyatakannya terbentuk, yaitu melalui penyerahan
constitution”. Konstitusi itu mendahului pemerintahan,
kedaulatan (transfer of authority) dari negara induk
karena pemerintahan itu justru dibentuk berdasarkan
seperti penjajah kepada negara jajahannya, melalui
konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi lebih dulu ada
pernyataan deklarasi dan proklamasi, ataupun melalui
daripada pemerintahan.20
revolusi dan perebutan kekuasaan melalui kudeta.
Pengertian bahwa konstitusi mendahului peme- Secara juridis formal, negara yang bersangkutan atau
rintahan tetap berlaku, meskipun dalam praktik banyak pemerin- tahan tersebut dapat dinyatakan legal secara
negara sudah lebih dulu diproklamasikan baru undang- formal sejak terbentuknya. Namun, legalitas tersebut
undang dasarnya disahkan. Misalnya, the Federal Con- masih bersifat formal dan sepihak. Oleh karena itu,
derajat legi- timasinya masih tergantung kepada
19
20
Ibid. pengakuan pihak- pihak lain.
“A constitution is not the act of a government, but of a people constituting
a government, and a government without a constitution is power without
right”. Lihat “Rights of Man in the Complete Works of Thomas Paine”, p.
21
302-303 dalam Michael Allen and Brian Thompson, Cases and Materials on Menurut Andrei Y. Vyshinsky, Undang-Undang Dasar Soviet menggam-
Constitutional and Administrative Law, 7th edition, (London: Oxford Univer- barkan perkembangan historis yang dijalani oleh negara Soviet. Lihat dalam
sity Press, 2003), hal. 1. Andrei Y. Vyshinsky, The Law of Soviet State, diterjemahkan dari the
Russian oleh Rugh W. Babb, (New York: The Macmillan Company, 1961).

19 20
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Istilah constitution 22 dalam bahasa Inggris se-


undang-undang dasar dalam arti konstitusi yang ter-
padan dengan perkataan grondwet dalam bahasa Be-
tuang dalam naskah tertulis. 23 Untuk pengertian kon-
landa dan gerundgesetz dalam bahasa Jerman. Grond
stitusi dalam arti undang-undang dasar, sebelum di-
dalam bahasa Belanda memiliki makna yang sama
pakainya istilah grondwet, di Belanda pernah dipakai
dengan Gerund dalam bahasa Jerman yang berarti
juga istilah staatsregeling. Atas prakarsa Gijsbert Karel
“dasar”. Sedangkan, wet atau gesetz biasa diartikan
van Hogendorp pada tahun 1813, istilah grondwet dipa-
undang-undang. Oleh sebab itu, dalam bahasa
kai untuk menggantikan istilah staatsregeling.24
Indonesia, grondwet itu disebut dengan istilah undang-
Oleh sebab itu, di negeri Belanda, seperti di-
undang dasar. Namun, para ahli pada umumnya sepakat
katakan oleh Sri Soemantri, istilah grondwet itu baru
bahwa pengertian kata konstitusi itu lebih luas daripada
digunakan pada tahun 1813. 25 Artinya, yang dapat
undang-undang dasar. Sarjana Belanda seperti L.J. van
diidentikkan dengan Undang-Undang Dasar negara
Apeldoorn juga menyatakan bahwa constitutie itu lebih
jajahan Hindia Belanda adalah Indische Staatsregeling.
luas daripada grondwet. Menurut Apeldoorn, grondwet
Oleh sebab itu, dengan terbentuknya negara Republik
itu hanya memuat bagian tertulis saja dari constitutie
In- donesia berdasarkan UUD 1945 pada tahun 1945,
yang cakupannya meliputi juga prinsip-prinsip dan
sudah seharusnya undang-undang dasar zaman Hindia
norma-norma dasar yang tidak tertulis. Demikian pula
Belanda ini dianggap tidak lagi mempunyai kekuatan
di Jerman, verfassung dalam arti konstitusi dianggap
hukum me- ngikat. Kalaupun berbagai peraturan
lebih luas pengertiannya daripada gerundgestz dalam
perundang- undangan yang diwarisi dari zaman Hindia
arti undang-undang dasar.
Belanda itu masih diberlakukan berdasarkan Aturan
Oleh karena itu, sampai sekarang, dalam bahasa Peralihan UUD 1945, maka daya ikatnya tidak lagi
Jerman, dibedakan antara istilah gerundrecht (hak berdasarkan ke- tentuan Indische Staatsregeling,
dasar), verfassung, dan gerundgezet. Kemudian dalam melainkan karena UUD 1945 sendiri tetap
bahasa Belanda juga dibedakan antara grond-recht (hak memberlakukannya ke dalam wilayah negara Republik
dasar), constitutie, dan grondwet. Demikian pula dalam Indonesia yang merdeka dan berdaulat berdasarkan
bahasa Perancis, dibedakan antara Droit undang-undang dasar yang baru, semata- mata untuk
Constitutionnel dan Loi Constitutionnel. Istilah yang mengatasi kekosongan hukum (rechts- vacuum) yang
pertama identik de- ngan pengertian konstitusi, sedang dapat timbul karena situasi perubahan transisional
yang kedua adalah sebagai negara yang baru merdeka.
Semua produk hukum masa lalu, sepanjang me-
22
Sebagai perbandingan, di dalam Black’s Law Dictionary, Eight Edition, mang masih diperlukan haruslah dilihat sebagai produk
Constitution diartikan sebagai “The fundamental and organic law of a hukum Indonesia sendiri yang memang diperlukan un-
nation or state that establishes the institutions and apparatus of tuk negara hukum Indonesia. Seperti halnya di zaman
government, defines the scope of governmental sovereign powers, and
guarantees indiv- idual civil rights and civil liberties”. Sedangkan, di dalam 23
Dalam bahasa Italia disebut Diritto Constitutionale; sedangkan dalam
Oxford Dictionary of Law, Fifth Edition, Constitution diartikan “The rules bahasa Arab disebut Masturiyah, Dustuur, atau Qanun Asasi.
and practices that determine the composition and functions of the organs of 24
Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan
central and local government in as state and regulate the relationship Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 1-2.
between the individual and the state”. 25
Ibid.

21 22
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

kemerdekaan sekarang ini, cukup banyak produk pe-


dikan objek penelitian oleh sarjana hukum itu masing-
raturan perundang-undangan yang sebagian atau
masing. Misalnya, di negara-negara yang menganut
seluruh materinya berasal dari contoh-contoh praktik
tradisi common law tentu berbeda dari apa yang diprak-
hukum di negara-negara lain yang dinilai patut untuk
tikkan di lingkungan negara-negara yang menganut tra-
dicontoh.26 Atas dasar alasan inilah, maka
disi civil law.
pemberlakuan produk-produk hukum peninggalan
Bahkan, dalam perkembangan praktik selama
zaman Hindia Belanda dapat dibenarkan, meskipun hal
berabad-abad, di antara negara-negara yang menganut
itu tetap tidak menutup keharusan untuk melakukan
tradisi hukum yang sama pun dapat timbul perbedaan-
upaya pembaruan besar-besaran terhadap produk-
perbedaan karena latar belakang sejarah antara satu
produk hukum masa lalu itu disesuaikan dengan
negara dengan negara lain yang juga berbeda-beda.
kehendak perubahan zaman.
Misalnya, meskipun sama-sama menganut tradisi com-
Apalagi, Indonesia dewasa ini berada dalam mon law, antara Inggris dan Amerika Serikat jelas
alam modern yang sangat ditentukan oleh (i) mem- punyai sejarah hukum yang berbeda, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konsep- konsep hukum dan konstitusi yang dipraktikkan
modern, (ii) sistem de- mokrasi yang terus tumbuh, di kedua negara ini juga banyak sekali yang tidak sama.
dengan (iii) tuntutan sistem ekonomi pasar yang Apalagi, di Inggris sendiri tidak terdapat naskah
semakin kuat, serta (iv) diiringi pula oleh pengaruh konstitusi yang bersifat tertulis dalam satu naskah UUD,
globalisasi dan gejolak kedaerahan yang sangat kuat. sedangkan Amerika Serikat memiliki naskah UUD
Semua ini memerlukan respons sistem hukum dan tertulis yang dapat dikatakan sebagai negara modern
konstitusi yang dapat menjalankan fungsi kontrol dan pertama yang memilikinya.
sekaligus fungsi pendorong ke arah pem- baruan terus Berbagai pandangan para sarjana mengenai de-
menerus menuju kemajuan bangsa yang semakin finisi hukum tata negara itu dapat dikemukakan antara
cerdas, damai, sejahtera, demokratis, dan ber- keadilan. lain sebagai berikut:

2. Definisi Hukum Tata Negara a. Christian van Vollenhoven


Di antara para ahli hukum, dapat dikatakan tidak Menurut van Vollenhoven, hukum tata negara
terdapat rumusan yang sama tentang definisi hukum mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masya-
dan demikian pula dengan definisi hukum tata negara rakat hukum bawahan menurut tingkatan-tingkatannya,
seba- gai hukum dan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang masing-masing menentukan wilayah atau lingku-
hu- kum. Perbedaan-perbedaan itu sebagian disebabkan ngan rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan-
oleh faktor-faktor perbedaan pandangan di antara para badan dalam lingkungan masyarakat hukum yang ber-
ahli hukum itu sendiri, dan sebagian lagi dapat sangkutan beserta fungsinya masing-masing, serta me-
disebabkan oleh perbedaan sistem yang dianut oleh
negara yang dija-

26
Sebagian besar dari hal tersebut seringkali kita temukan pada peraturan
perundang-undangan dalam ranah hukum perdata dan pidana baik itu dalam
praktik maupun ilmu hukumnya masing-masing.

23 24
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

nentukan pula susunan dan kewenangan badan-badan


yang berasal dari negara.29 Jika yang diatur adalah orga-
yang dimaksud. 27
nisasi negara, maka hukum yang mengaturnya itulah
Sebagai murid Oppenheim, van Vollenhoven
yang disebut sebagai hukum tata negara (constitutional
juga mewarisi pandangan gurunya itu yang
law). Mengenai hubungan antara organisasi negara de-
membedakan an- tara hukum tata negara dan hukum
ngan warga negara, seperti mengenai soal hak asasi
administrasi negara. Pembedaan itu digambarkannya
manusia, belum dipertimbangkan oleh Paul Scholten.
dengan perumpamaan dalam hukum tata negara,
melihat negara dalam keadaan diam (in rust),
c. van der Pot
sedangkan dalam hukum administrasi negara, melihat
Menurut van der Pot, hukum tata negara adalah
negara dalam keadaan bergerak (in beweging).28
peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan
yang diperlukan beserta kewenangannya masing-masing,
b. Paul Scholten hubungannya satu sama lain, serta hubungannya
Menurut Paul Scholten, hukum tata negara itu dengan individu warga negara dalam kegiatannya.30
tidak lain adalah het recht dat regelt de staatsorgani- Pandangan van der Pot ini mencakup pengertian yang
satie, atau hukum yang mengatur mengenai tata or- luas, di sam- ping mencakup soal-soal hak asasi
ganisasi negara. Dengan rumusan demikian, Scholten manusia, juga men- jangkau pula berbagai aspek
hanya menekankan perbedaan antara organisasi negara kegiatan negara dan warga negara yang dalam definisi
dari organisasi non-negara, seperti gereja dan lain-lain. sebelumnya dianggap sebagai objek kajian hukum
Scholten sengaja membedakan antara hukum tata administrasi negara.
negara dalam arti sempit sebagai hukum organisasi
negara di satu pihak dengan hukum gereja dan hukum d. J.H.A. Logemann
perkum- pulan perdata di pihak lain dengan kenyataan Mirip dengan pendapat Paul Scholten, menurut
bahwa kedua jenis hukum yang terakhir itu tidak J.H.A. Logemann, hukum tata negara adalah hukum
memancarkan otoritas yang berdiri sendiri, melainkan yang mengatur organisasi negara. Negara adalah organi-
suatu otoritas sasi jabatan-jabatan. 31 Jabatan merupakan pengertian
yuridis dari fungsi, sedangkan fungsi merupakan
penger-

29
Lihat Asser-Scholten, “Algemeen Deel”, cetakan kedua, 1934, hal. 42
27
Christian van Vollenhoven, Staatsrecht Overzee, (Leiden: Stenfert Kroese, dalam J.H.A. Logemann, Over de Theorie van Eeen Stellig Staatsrecht
1934), hal. 30, “Het staatsrecht heeft vooreerst alle hogere en lagere (1948), diterjemahkan menjadi Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara
rechtsgemeenschappen met hun hierarchie te tekenen, dan van elke Positif, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1975), hal. 88.
diergemeenshappen het grond en personengebied te omschrijven en ver-
30
van der Pot, Handboek van het Nederlands Staatsrecht, (Zwolle: W.E.J.
volgens aan te geven, over welke organen de verschillende overheidsfuncties Tjeenk Willink, 1968), hal. 5, “Die regelen stellen de nodige organen in,
verdeeld zijn bij elke dier gemeenshappen (samenstelling en bevoegdheid regelen de bevoegdheden dier organen, hun orderlinge verhouding, hun ver-
dier organen ter regelen)”. Lihat Prof. Mr. J. Oppenheim, “Nederlandsch houding tot de individuen (en zijn werkzaarm hed)”. Lihat juga dalam Kus-
Administratiefrecht”, 1912, dan “Omtrek van het Administratiefrecht” dalam nardi dan Ibrahim, Op.Cit., hal. 25.
31
Verhandelingen voor Gedragen in de Koninklijke Academie van “Het staatsrecht als het recht dat betrekking heeft op de staat –die gezags-
Wetenshappen. organisatie– blijkt dus functie, dat is staatsrechtelijk gesproken het ambt, als
28
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 47-48. kernbegrip, als bouwsteen te hebben”. Logemann, Op. Cit., hal. 81.

25 26
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tian yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan “... within the sphere of the State, there are two kinds of
organisasi yang terdiri atas fungsi-fungsi dalam hubu- law. There is the law which governs the state and there is
ngannya satu dengan yang lain maupun dalam keseluru- the law by means of which the state governs. The former
hannya, maka dalam pengertian juridis, negara merupa- is constitutional law, the latter we may for the sake of
kan organisasi jabatan. Hukum tata negara meliputi distinction call ordinary law”.34
baik persoonsleer maupun gebiedsleer, dan merupakan
suatu kategori historis, bukan kategori sistematis. Baginya, hanya ada dua golongan hukum, yaitu
Artinya, hu- kum tata negara itu hanya bersangkut-paut hukum tata negara atau constitutional law dan hukum
dengan geja- la historis negara. 32 yang bukan hukum tata negara, yaitu yang disebutnya
sebagai ordinary law. Hukum Tata Negara (Constitu-
e. van Apeldoorn tional Law) merupakan hukum yang memerintah ne-
Hukum tata negara (verfassungsrecht) dise- gara, sedangkan Hukum Biasa (Ordinary Law) dipakai
butkan oleh van Apeldoorn sebagai staatsrecht dalam oleh negara untuk memerintah.35
arti yang sempit. Sedangkan dalam arti yang luas,
staatsrecht meliputi pula pengertian hukum administrasi g. Wade and Phillips
negara (verwaltungsrecht atau administratiefsrecht). Dalam bukunya “Constitutional Law” yang terbit
Sebenarnya, van Apeldoorn sendiri dalam karya- pada tahun 1939, Wade and Phillips merumuskan
karyanya tidak banyak membahas soal-soal yang “Constitutional law is ... body of rules which
berkenaan dengan hukum tata negara (ver- prescribes
fassungsrecht), kecuali mengenai tugas-tugas dan ke- (a) the structure, (b) the functions of the organs of
wenangan atau kewajiban dan hak-hak alat-alat per- central and local government”. Dalam buku yang sama
lengkapan negara. Dalam berbagai bukunya, van Apel- terbitan tahun 1960, dinyatakan:
doorn malah tidak menyinggung sama sekali mengenai “In the generally accepted of the term it means the rules
pentingnya persoalan kewarganegaraan dan hak asasi which regulate the structure of the principal organs of
manusia. 33 government and their relationship to each other, and
determine their principal functions”.36
f. Mac-Iver
Hukum Tata Negara (constitutional law) adalah Dalam kedua rumusan tersebut, Wade and
hukum yang mengatur negara, sedangkan hukum yang Phillips, yang bukunya terkenal sebagai buku teks yang
oleh negara dipergunakan untuk mengatur sesuatu sangat luas dipakai di Inggris, menentukan bahwa hu-
selain kum tata negara mengatur alat-alat perlengkapan ne-
negara disebut sebagai hukum biasa (ordinary law).
Menurut Mac Iver: 34
MacIver, R.M., The Modern State, First Edition, (London: Oxford
University Press, 1955), hal. 250.
35
Lihat Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia,
32
Ibid., hal. 88.
33 (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hal. 9.
Lihat “Inleiding tot de Studie van het Nederlandsrecht”, diterjemahkan 36
Bandingkan Wade and Phillips, Constitutional Law, edisi tahun 1939, hal.
menjadi Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1968), hal. 240. 4, dan edisi tahun 1960 hal 3.

27 28
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

gara, tugas dan wewenangnya, serta mekanisme hu-


menyebutkan bahwa Hukum Tata Negara mencakup
bungan di antara alat-alat perlengkapan negara itu.
semua peraturan yang secara langsung atau tidak lang-
Dengan perkataan lain, Wade and Phillips juga tidak
sung mempengaruhi distribusi atau pelaksanaan ke-
mencantumkan pentingnya persoalan kewarganegaraan
kuasaan yang berdaulat dalam negara. Dalam hal ini,
dan hak asasi manusia sebagai objek kajian hukum tata
A.V. Dicey menitikberatkan mengenai persoalan distri-
negara.
busi atau pembagian kekuasaan dan pelaksanaan kekua-
saan tertinggi dalam suatu negara. 39 Semua aturan
h. Paton George Whitecross
(rules) yang mengatur hubungan-hubungan antar
Dalam bukunya yang berjudul “Textbook of
peme- gang kekuasaan negara yang tertinggi satu
Juris- prudence”, Paton George Whitecross
dengan yang lain disebut olehnya sebagai hukum tata
merumuskan bahwa “Constitutional law deals with the
negara atau con- stitutional law.40
ultimate ques- tions of distribution of legal power and
the functions of the organs of the state”.37 Hukum Tata j. Maurice Duverger
Negara itu berhu- bungan dengan persoalan distribusi Menurut sarjana Perancis, Maurice Duverger,
kekuasaan hukum dan fungsi organ-organ negara. Lebih
hukum tata negara adalah salah satu cabang hukum
jauh, ia menyata- kan: publik yang mengatur organisasi dan fungsi-fungsi po-
“In a wide sense, it includes admistrative law, but it is litik suatu lembaga negara. Seperti halnya para sarjana
convenient to consider as a unit for many purposes of lainnya, Maurice Duverger juga hanya memberikan te-
the rules which determine the organzation, power, and kanan pada aspek keorganisasian serta tugas-tugas dan
duties of administrative authorities”.38 kewenangan lembaga-lembaga sebagai alat
perlengkapan negara. Hal yang lebih diutamakan oleh
Dalam arti luas, Hukum Tata Negara itu meliputi Maurice Du- verger dalam definisi yang
juga pengertian Hukum Administrasi Negara, tetapi dikembangkannya tersebut adalah bahwa hukum tata
untuk lebih mudahnya, Hukum Tata Negara itu dapat negara itu (droit constitu- tionnel) termasuk cabang
dianggap sebagai suatu cabang ilmu yang dapat dipakai hukum publik.
untuk berbagai macam kegunaan hukum yang menen-
tukan organisasi, kekuasaan, dan tugas-tugas otoritas k. Michael T. Molan
administrasi. Dalam bukunya “Constitutional Law: The
Machi- nery of Government”, Michael T. Molan
i. A.V. Dicey berpendapat bahwa ruang lingkup hukum tata negara
A.V. Dicey dalam bukunya “An Introduction to biasanya dirumuskan secara kurang tegas batasan-
the Study of the Law of the Constitution” tahun 1968, batasannya apabila dibandingkan dengan bidang-
bidang hukum
37
Paton George Whitecross, Textbook of Jurisprudence, (Oxford: The 39
Clarendon Press, 1951). 40
Kusnardi dan Ibrahim, Op.Cit., hal. 27.
38 “As the term is used in England, appears to include all rules which
Ibid.
directly or indirectly affect the distribution or exercise of the souvereign

29 30
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
power in the state”. A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of
the Constitution, (London: Macmillan, 1968), hal. 23.

29 30
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

yang lain,41 seperti dalam hukum perjanjian ataupun Machinery of Government, 4th edition, (London: Old Bailey Press, 2003), hal.
“the law of torts”, sebagaimana diuraikan olehnya 2.
sebagai berikut:
”The scope of constitutional law as an academic
discipline is, therefore, somewhat less clearly defined
than might be the case with other areas of law such as
the law of contract or the law of torts”.

Oleh karena itu, secara umum, ia berpendapat


bahwa:
“The subject is concerned with the functions discharged
by the organs of government, the distribution of power
between the organs of government, the law-making
process, the relationship between individuals and the
state in terms of the power of the state to interfere with
the exercise of individual rights and freedoms, and the
protection that the state can afford to its citizens”.

l. O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan Patricia Leopold


Dalam bukunya “Constitutional and
Administra-
tive Law”, ketiga sarjana ini menyatakan:
“The constitutional law of a state is the law relating to its
constitution. Where the constitution is written, even
though it may have to be supplemented by other
materials, it is fairly easy to distinguish the
constitutional law of a state from the rest of its legal
system; but where, as in Britain, the constitution is
unwritten, it is largely a matter of convenience what
topics one includes what in constitutional law, and there
is no strict scientific distinction between that and the rest
of the law. Thus the United Kingdom constitution can
well be said to be marked by three striking features: it is
indeterminate, in-

41
Michael T. Molan, Textbook: Constitutional and Administrative Law: The

31 32
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
distinct, and unentrenched.42 It follows from what has between the individual and the state. Constitutional law presupposes the
been said that constitutional law deals, in general, with existence of
the distribution and exercise of the functions of govern-
ment, and the relations of the government authorities
to each other and to the individual citizen. It includes
the rules –though the nature of these is difficult to
define– which identify the law-making authorities
themselves,
e.g. the legislature and the courts”.43

m. A.W. Bradley dan K.D. Ewing


Menurut kedua sarjana ini, tidak ada jawaban
yang dapat diberikan dengan mudah dan segera atas
pertanyaan mengenai apa definisi hukum tata negara.
Pengertian hukum tata negara yang paling luas men-
cakup bagian dari hukum nasional yang mengatur
sistem administrasi publik (negara) dan hubungan
antara indi- vidu dengan negara. Oleh karena itu,
hukum tata negara mengandaikan bahwa adanya
aturan yang mendahului keberadaan negara, dan di
dalamnya tercakup penga- turan mengenai struktur
dan fungsi-fungsi organ-organ utama dari negara, dan
hubungan di antara organ-organ itu satu sama lain,
serta hubungan antara organ-organ negara itu dengan
warga negara. Di negara yang memi- liki konstitusi
tertulis, maka norma-norma yang terkan- dung di
dalamnya lebih diutamakan keberlakuannya be- serta
hal-hal yang timbul dalam praktik sebagai hasil pe-
nafsiran hakim tertinggi yang menjalankan fungsi
pera- dilan konstitusi.44

42
Phillips, Jackson, and Leopold, Op Cit., hal. 8. Lihat juga S.E. Finer,
Vernon Bogdanor, dan Bernard Rudden, Comparing Constitutions,
(London: Oxford University Press, 1995), hal. 40.
43
Lihat juga H.L.A. Hart, The Concept of Law, Tenth Impression,
(Oxford: Oxford University Press, 1979).
44
“There is no hard and fast definition of constitutional law. According to
one wide definition, constitutional law is that part of national law which
govern the systems of public administration and the relationships

31 32
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Dalam definisi kedua sarjana ini, bidang kajian


n. Kusumadi Pudjosewojo hukum tata negara mencakup pula soal kedudukan war-
Kusumadi Pudjosewojo, dalam bukunya “Pedo- ga negara dan hak-hak asasinya. Menurut Moh.
man Pelajaran Tata Hukum Indonesia” merumuskan Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, warga negara
de- finisi yang panjang tentang Hukum Tata Negara. merupakan salah satu unsur yang penting bagi
Menu- rutnya, Hukum Tata Negara adalah hukum yang berdirinya suatu negara. Oleh karena itu, dalam Hukum
me- ngatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan, Tata Negara perlu diba- has tentang asas-asas dan
yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan syarat-syarat kewarganegara- an serta perlindungan
maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang diberikan kepadanya, yang lazim disebut sebagai
yang se- lanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan perlindungan terhadap hak-hak asasi. 47 Dengan
rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan demikian, Hukum Tata Negara tidak hanya mengatur
akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan yang wewenang dan kewajiban alat-alat per- lengkapan
memegang kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum negaranya saja, tetapi juga mengatur me- ngenai warga
itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan negara dan hak-hak asasi warga negara.
dari dan antara alat perlengkapan itu.45
Setelah mempelajari rumusan-rumusan definisi
n. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim tentang Hukum Tata Negara dari berbagai sumber ter-
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, sebut di atas, dapat diketahui bahwa di antara para ahli
dalam buku “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, tidak terdapat kesatuan pendapat mengenai hal ini. Dari
dinyatakan bahwa: pendapat yang beragam itu kita dapat mengetahui
“Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai se- bahwa sebenarnya:
kumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi (a) hukum tata negara itu adalah ilmu yang termasuk
dari pada negara, hubungan antar alat perlengkapan salah satu cabang ilmu hukum, yaitu hukum ke-
negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta negaraan yang berada di ranah hukum publik;
kedudukan warga negara dan hak azasinya”. 46 (b) definisi hukum tata negara telah dikembangkan oleh
para ahli sehingga tidak hanya mencakup kajian me-
ngenai organ negara, fungsi dan mekanisme hu-
bungan antar organ negara itu, tetapi mencakup
the state and includes those laws which regulate the structure and functions
pula persoalan-persoalan yang terkait dengan
of the principal organs of government and their relationship to one another
and to the citizen. Where there is a written constitution, emphasis is placed mekanisme hubungan antara organ-organ negara itu
on the rules which it contains and on the way in which they have been dengan warga negara;
interpreted by the highest court with constitutional jurisdiction”. A.W. (c) hukum tata negara tidak hanya merupakan Recht
Bradley and K.D. Ewing, Constitutional and Administrative Law, 13th atau hukum dan apalagi hanya sebagai Wet atau
edition, (Pearson Education Ltd., 2003), hal. 9. norma hukum tertulis, tetapi juga adalah lehre atau
45
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, cet.
ke-10, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 86. teori, sehingga pengertiannya mencakup apa yang
46
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit, hal. 29.
47
Ibid., hal. 30.

33 34
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

disebut sebagai verfassungsrecht (hukum


nitif atau collective minds dan perilaku segenap warga
konstitusi) dan sekaligus verfassungslehre (teori
negara (civic behaviors). Oleh karena itu, menurut pen-
konstitusi); dan
dapat saya, hukum tata negara itu haruslah diartikan
(d) hukum tata negara dalam arti luas mencakup baik
sebagai hukum dan kenyataan praktik yang mengatur
hukum yang mempelajari negara dalam keadaan
tentang:
diam (staat in rust) maupun yang mempelajari
1) nilai-nilai luhur dan cita-cita kolektif rakyat suatu
negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging).
negara;
2) format kelembagaan organisasi negara;
Oleh sebab itu, saya sendiri berpendapat ke
3) mekanisme hubungan antar lembaga negara; dan
dalam pengertian hukum tata negara itu harus di-
4) mekanisme hubungan antara lembaga negara
masukkan pula faktor konstitusi sebagai objek kajian
dengan warga negara.
yang pokok. Konstitusi, baik dalam arti materiel, formil,
administratif, ataupun tekstual, dalam arti collective
Dengan demikian, Ilmu Hukum Tata Negara
minds ataupun dalam arti civic behavioral realities,
dapat dirumuskan sebagai cabang ilmu hukum yang
adalah pusat perhatian yang sangat penting dari ilmu
mempelajari prinsip-prinsip dan norma-norma hukum
hukum tata negara atau the study of the constitutional
yang tertuang secara tertulis ataupun yang hidup dalam
law. Konstitusi yang dijadikan objek kajian itu dapat
kenyataan praktik kenegaraan berkenaan dengan (i)
mencakup tiga pengertian, yaitu:
konstitusi yang berisi kesepakatan kolektif suatu
(a) Constitutie in materiele zin yang dikualifikasikan
komunitas rakyat mengenai cita-cita untuk hidup ber-
karena isinya, misalnya berisi jaminan hak asasi,
sama dalam suatu negara, (ii) institusi-institusi ke-
bentuk negara, dan fungsi-fungsi pemerintahan, dan
kuasaan negara beserta fungsi-fungsinya, (iii) me-
sebagainya;
kanisme hubungan antar institusi itu, serta (iv) prinsip-
(b) Constitutie in formele zin yang dikualifikasikan
prinsip hubungan antara institusi kekuasaan negara
karena pembuatnya, misalnya oleh MPR; atau
dengan warga negara. Keempat unsur dalam definisi
(c) Konstitusi dalam arti naskah Grondwet sebagai
hukum tata negara tersebut di atas, pada pokoknya
geschreven document, misalnya harus diterbitkan
adalah hakikat konstitusi itu sendiri sebagai objek
dalam Lembaran Negara, supaya dapat menjadi alat
utama kajian hukum tata negara (constitutional law).
bukti dan menjamin stabilitas satu kesatuan sistem
Karena pada dasarnya, konstitusi itu sendiri berisi (i)
rujukan.48
konsensus antar rakyat untuk hidup bersama dalam
suatu ko- munitas bernegara dan komunitas
Di samping itu, konstitusi yang dijadikan objek
kewarganegaraan, (ii) konsensus kolektif tentang format
kajian itu dapat berupa nilai-nilai dan norma yang
kelembagaan or- ganisasi negara tersebut, dan (iii)
terkandung dalam teks konstitusi itu sendiri, ataupun
konsensus kolektif tentang pola dan mekanisme
nilai-nilai dan norma yang hidup dalam kesadaran kog-
hubungan antarinstitusi atau kelembagaan negara, serta
48
(iv) konsensus kolektif tentang prinsip-prinsip dan
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 47-48. mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara
tersebut dengan warga negara.

35 36
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tata negara materiel dan formil juga mempunyai tiga


3. Hukum Tata Negara Formil dan Materiel arti, yaitu dalam arti materiel, dalam arti formil, dan
J.H.A. Logemann, dalam bukunya “Staatsrecht”, dalam arti naskah yang terdokumentasi. Menurutnya,
membedakan antara formeele stelselmatigheid dan undang- undang dapat dilihat:52
materieele stelselmatigheid.49 Istilah yang pertama ada- a. dalam arti materiel, algemene verbindende voors-
lah hukum tata negara, sedangkan yang kedua adalah chriften;
asas-asas hukum tata negara. Perbedaan keduanya sea- b. dalam arti formil, yaitu bahwa undang-undang itu
kan-akan adalah perbedaan antara bentuk dan isi, telah mendapat persetujuan (wilsovereen-stemming)
antara vorm en inhoud, atau antara stelsel en beginsel. bersama antara Pemerintah dan DPR; dan
Vorm adalah bentuk, sedangkan inhoud adalah isinya. c. dalam arti naskah hukum yang harus
Beginsel adalah asas-asasnya, sedangkan stelsel adalah terdokumentasi (gedocumenteerd) dalam Lembaran
pelem- bagaannya. Istilah vorm en inhoud dipakai oleh Negara supaya bersifat bewijsbaar atau dapat
van Vollenhoven seperti dalam Vorm en Inhoud van het menjadi alat bukti dan stabil sebagai satu kesatuan
Internationale Recht. 50Sedangkan Ter Haar Bzn meng- rujukan.
gunakan istilah beginsel en stelsel seperti dalam
Beginsel en Stelsel van het Adatrecht. 51 Demikian pula konstitusi yang menjadi objek
Oleh karena itu, berbagai buku hukum tata ne- kajian hukum tata negara juga mempunyai tiga pe-
gara dan juga silabus perkuliahan hukum tata negara ngertian, yaitu:53
yang menggunakan judul “Asas-Asas Hukum Tata Ne- a. Constitutie in materiele zin dikualifikasikan karena
gara”, “Pengantar Hukum Tata Negara”, ataupun “Po- isinya (gequalificerd naar de inhoud), misalnya
kok-Pokok Hukum Tata Negara”, mestinya tidak beri- si jaminan hak asasi, bentuk negara, dan
gegabah dengan istilah-istilah. Pengertian kata “asas- fungsi- fungsi pemerintahan, dan sebagainya;
asas” hanya berkaitan dengan inhoud atau materieele b. Constitutie in formele zin, dikualifikasikan karena
stelsel- matigheid, yaitu aspek materiel belaka dari pembuatnya (gequalificerd naar de maker), misal-
hukum tata negara. Oleh karena itu, perkataan “Pokok- nya oleh MPR;
Pokok” atau- pun “Pengantar” dapat dipahami lebih luas c. Naskah Grondwet, sebagai geschreven document,
cakupan pe- ngertiannya, meskipun hanya bersifat garis misalnya harus diterbitkan dalam Lembaran Negara,
besar atau- pun hanya bersifat pengantar (introduction) voor de bewijsbaarheid en voor de stabiliteit
saja. sebagai satu kesatuan rujukan, yaitu sebagai naskah
Seperti halnya undang-undang, menurut Djoko- kenega- raan yang penting atau belangrijke
soetono, konstitusi yang menjadi objek kajian hukum staatkundige stukken.

49
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, edisi revisi, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2000), hal. 10.
50
Christian van Vollenhoven, H.D. Tjeenk Willink & Zoon, (Haarlem: Mar-
tinus Nyhoof & Gravenhage, 1934).
51
Lihat terjemahan Soebakti Poesponoto, Asas dan Susunan Hukum Adat, 52
Djokosoetono, Op. Cit., hal. 47-48.
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1992). 53
Ibid.

37 38
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

4. Hukum Tata Negara Umum dan Hukum Tata


b. Hukum Tata Negara yang berisi asas-asas yang ber-
Negara Positif
kembang dalam teori dan praktik di suatu negara
Hukum Tata Negara juga dapat dibedakan
tertentu, seperti misalnya Indonesia.
antara Hukum Tata Negara Umum dan Hukum Tata
c. Hukum Tata Negara Positif yang berlaku di Indo-
Negara Positif. Hukum Tata Negara Umum membahas
nesia yang mengkaji mengenai hukum positif di
asas- asas, prinsip-prinsip yang berlaku umum,
bidang ketatanegaraan di Indonesia.
sedangkan Hukum Tata Negara Positif hanya
membahas hukum tata negara yang berlaku pada suatu
Pada umumnya, aspek hukum tata negara yang
tempat dan waktu tertentu, sesuai dengan pengertian
kebanyakan mewarnai pemikiran para ahli hukum tata
hukum positif. Misalnya, hukum tata negara Indonesia,
negara kita seperti yang tercermin dalam berbagai buku
Hukum Tata Negara Inggris, ataupun Hukum Tata
yang diterbitkan dan menjadi bahan bacaan di berbagai
Negara Amerika Serikat yang dewasa ini berlaku di
perguruan di Indonesia adalah yang disebutkan
masing-masing negara yang bersangkutan, adalah
terakhir, yaitu Hukum Tata Negara Positif. Sudah tentu
merupakan hukum tata negara positif. Sedangkan
hal ini tidak ada salahnya, karena nyatanya pada aspek
prinsip-prinsip teoritis yang berlaku umum atau
ketiga ini, buku-buku yang ditulis dan diterbitkan juga
universal di seluruh negara tersebut adalah merupakan
terbilang masih sangat sedikit. Namun demikian, jika
materi kajian Hukum Tata Negara Umum atau disebut
semua ahli hukum tata negara dan semua sarjana
sebagai Hukum Tata Negara saja.
hukum tata ne- gara di tanah air kita hanya terpaku
Kadang-kadang dalam istilah Hukum Tata Negara
kepada fenomena hukum tata negara positif saja, maka
Indonesia juga tercakup 2 (dua) pengertian, yaitu (i)
kita sebagai bangsa akan ketinggalan zaman di bidang
hukum tata negara positif yang sedang berlaku di
ini.
Indonesia dewasa ini, dan (ii) berbagai kajian mengenai
Sekarang dunia sudah sangat pesat berubah. Ilmu
hukum tata negara Indonesia di masa lalu dan yang
pengetahuan dan teknologi di semua cabang dan
akan datang, meskipun belum ataupun sudah tidak
ranting- nya juga bergerak cepat menyesuaikan diri
berlaku lagi sebagai norma hukum positif. Oleh karena
dengan perubahan zaman. Dalam bidang ilmu hukum
itu, kita dapat membedakan pula antara Hukum Tata
tata negara, tidak terkecuali, juga telah mengalami
Negara sebagai Ilmu Hukum (the science of
peruba- han yang fundamental di era globalisasi
constitutional law) dan Hukum Tata Negara sebagai
sekarang ini. Oleh karena itu, teori-teori umum tentang
Hukum Positif (the positive constitutional law). Jika hal
hukum tata negara yang berkembang di dunia juga
ini ditambahkan kepada kedua unsur bentuk (vorm)
penting untuk diikuti dengan seksama oleh para sarjana
dan isi (inhoud) se- perti dikemukakan di atas, maka
hukum, khu- susnya oleh para ahli hukum tata negara
Hukum Tata Negara ya- ng kita bahas di sini dapat
kita. Oleh karena itu, sudah saatnya, studi hukum tata
dibedakan dalam tiga aspek, yaitu:
negara di berbagai fakultas hukum di tanah air
a. Hukum Tata Negara Umum yang berisi asas-asas hu-
hendaklah me- ngembangkan ketiga aspek hukum tata
kum yang bersifat universal.
negara tersebut secara bersama-sama dan seimbang.
Kita tidak boleh membiarkan bidang hukum tata
negara hanya dikembangkan sebagai ilmu kata-kata dan

39 40
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

upaya pengkajian terhadap konstitusi dipersempit


Materi yang terkait dengan fungsi-fungsi adminis-
hanya sebagai studi tentang perumusan kata-kata dalam
trasi negara atau tata usaha negara tersebut sangatlah
pasal- pasal konstitusi belaka. Hukum Tata Negara,
luas cakupannya. Seperti dikatakan oleh Profesor Kusu-
pertama- tama haruslah dikembangkan sebagai ilmu
madi Pudjosewojo, yaitu:
pengetahuan hukum yang bersifat universal. Setelah itu,
Hukum Tata Negara baru dapat dipahami sebagai “Hukum tatausaha meliputi keseluruhan aturan hukum
persoalan hukum dan konstitusi yang tumbuh dalam yang menentukan secara bagaimana alat-alat perleng-
praktik ketatane- garaan Indonesia dari waktu ke waktu, kapan negara yang bersangkutan hendaknya bertingkah
laku dalam mengusahakan tugas-tugas pemerintahan,
sehingga untuk selanjutnya dapat pula dimengerti
perundang-undangan, pengadilan, keuangan, hubungan
sebagai persoalan hu- kum positif di negara kita yang luar negeri, dan pertahanan negara beserta keamanan
berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik umum”. 55
Indonesia Tahun 1945.
Norma hukum yang mengatur kesemua aktifitas
5. Hukum Tata Negara Statis dan Dinamis demikian itu disebut sebagai hukum administrasi
Hukum Tata Negara juga dapat dibedakan antara negara atau biasa disebut pula dengan istilah hukum
sifatnya yang statis dan dinamis. Ilmu Hukum Tata Ne- tata usaha negara, dan ilmu yang membahasnya disebut
gara itu disebut sebagai ilmu yang statis apabila negara ilmu Hu- kum Administrasi Negara atau ilmu Hukum
yang dijadikan objek kajiannya berada dalam keadaan Tata Usaha Negara (Verwaltungsrechtlehre).
statis atau keadaan diam (staat in rust). Hukum Tata
Negara yang bersifat statis inilah yang biasa disebut
sebagai Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Sedang- C. Keluarga Ilmu Hukum Kenegaraan
kan Hukum Tata Negara dalam arti luas, mencakup Hu-
kum Tata Negara dalam arti dinamis, yaitu manakala 1. Keluarga Ilmu Hukum Kenegaraan pada
negara sebagai objek kajiannya ditelaah dalam keadaan umumnya
bergerak (staat in beweging). Pengertian yang terakhir Ilmu Hukum Tata Negara termasuk keluarga ilmu
inilah yang biasa disebut sebagai bidang Ilmu Hukum hukum kenegaraan (staatslehre). Seperti dikemukakan
Administrasi Negara (Administrative Law, di atas, staatslehre atau theorie der staat dapat dibagi 2
Verwaltung- srecht). (dua), yaitu staatslehre in ruimere zin atau teori negara
Perhatian pokok ilmu Hukum Tata Negara dalam arti luas dan staatslehre in engere zin atau teori
(Verfas- negara dalam arti sempit. Staatslehre dalam arti sempit
sungsrecht, Constitutional Law, Droit Constitutionnel) itulah yang dapat diidentikkan dengan staatsrecht yang
adalah menyangkut struktur hukum dan kehidupan ber- dapat lagi dibagi dua, masing-masing dalam arti luas
negara, sedangkan ilmu Hukum Administrasi Negara dan sempit.
memusatkan perhatian pada substansi sistem pengam- Dalam bukunya yang terkenal berjudul
bilan keputusan dalam kegiatan berpemerintahan.54 “Allgemeine Staatslehre”, Georg Jellineck, ahli hukum
kenamaan dari
54 55
Ibid. Pudjosewojo, Op. Cit., hal. 176.

41 42
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Austria menguraikan pohon ilmu kenegaraan atau


staatsrechtslehre atau Hukum Tata Negara Umum.
staat- swissenschaft dalam arti luas yang mencakup
Oleh karena itu, buku ini kita beri judul “Pengantar
cabang- cabang dan ranting-ranting ilmu pengetahuan
Ilmu Hukum Tata Negara” dengan maksud akan berisi
sebagai berikut. Staatswissenschaft mencakup
pe- ngantar terhadap pengertian allgemeine
staatswissens- chaft dalam arti sempit dan
staatsrecht- slehre itu.
rechtswissenschaft. Staats- wissenschaft dalam arti
Dalam konteks verfassungsrecht atau hukum kon-
yang sempit meliputi:
stitusi, dapat pula dibedakan antara teori hukum ilmiah
a. beschreidende staatswissenschaft, yaitu
dengan hukum positif (positive law). Misalnya, dalam
staatenkun- de;
istilah Hukum Tata Negara Indonesia dapat dibedakan
b. theoritische staatswissenschaf atau staatsleer; dan antara pengertiannya sebagai cabang ilmu hukum yang
c. pratktische staatswissenschaft atau angewandte berorientasi pada teori ilmiah yang bersifat umum, atau
staatswissenschaft; dapat pula diartikan sebagai hukum positif di bidang
ketatanegaraan yang berlaku dewasa ini berdasarkan
Sementara itu, cabang ilmu pengetahuan hukum konstitusi tertulis (schreven constitutie, written constitu-
yang biasa disebut dengan istilah rechtswissenschaft tion).
me- liputi:
a. verfassungsrecht; 2. Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik
b. verwaltungsrecht; dan serta Ilmu Sosial Lainnya
c. internationale recht. Dalam buknya “Wetenshap der Politiek”, Prof. Ba-
rents secara khusus menyatakan:
Sedangkan Teoritische Staatswissenschaft atau “Een van de meest actuele afbakenningsproblemen,
Staatsleer dibagi ke dalam: welke wij uit moeten als wij deze wetenshap een plaats
a. allgemeine staatslehre atau ilmu negara umum; dan trachten te geven tussen de andere, is de grensbepaling
b. besondere staatslehre atau ilmu negara khusus. met de jurische vakken; het staats en administra-
tiefrecht, het volkens-recht en de rechtsfilosofie...”.
Termasuk kategori algemeine staatslehre adalah
“De scheiding tussen de juridische vakken en de
(a) allgemeine soziale staatslehre dan (b) allgemeine
wetenshap der politiek is dan ook de belangrijkste
staatsrechtslehre. Sedangkan yang termasuk besondere reden, waarom deze laatste beter niet ‘algemeine
staatslehre adalah (a) individuele staatslehre dan (b) staatsleer’ og kortweg staatsleer kan heten”.
speziale staatslehre.
Apabila yang dijadikan penekanan utamanya ada- “Voor de samengang tussen de studie het jurische
lah recht atau hukum, maka Hukum Tata Negara (Con- geraamnte onderzocht, en de andere die helt vlees er
stitutional Law) yang kita pahami dewasa ini dapat dili- omheen beziet”.56
hat dalam pengertian verfassungsrecht. Akan tetapi,
apabila yang diutamakan adalah aspek keilmuannya, 56
Barents, De Wetenshap der Politiek, een terreinverkenning, derde durk,
maka Hukum Tata Negara (Constitutional Law) itu (Gravenhage: A.A.M. Stols’s, 1952), hal. 78, 82, dan 83.
dapat pula dipahami dalam pengertian allgemeine

43 44
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, sehingga


Ibarat tubuh manusia, maka ilmu hukum tata me- lahirkan ilmu sosial pada umumnya. Ilmu yang
negara diumpamakan oleh Barent sebagai kerangka tu- menye- lidiki gejala-gejala kemasyarakatan pada
lang belulangnya, sedangkan ilmu politik ibarat daging- umumnya di- sebut sosiologi, dan yang mengkhususkan
daging yang melekat di sekitarnya (het vlees er omheen kajiannya me- ngenai gejala kekuasaan disebut ilmu
beziet). Oleh sebab itu, untuk mempelajari hukum tata politik, dan demi- kian pula dengan cabang-cabang ilmu
negara, terlebih dulu kita memerlukan ilmu politik, sosial lainnya. Bahkan, di berbagai perguruan tinggi,
seba- gai pengantar untuk mengetahui apa yang ada di dibentuk program- program studi ilmu sosial dan politik
balik daging-daging di sekitar kerangka tubuh manusia yang berdiri sendiri di program studi ilmu hukum yang
yang hendak diteliti. Dalam hal ini, negara sebagai objek sudah berkembang sejak sebelumnya.
studi hukum tata negara dan ilmu politik juga dapat Bahkan, dalam sejarah perkembangan perguruan
diiba- ratkan sebagai tubuh manusia yang terdiri atas tinggi di Indonesia, fakultas-fakultas ilmu sosial dan po-
daging dan tulang. litik memang dikembangkan dari cikal bakal program-
Bagaimanapun juga, organisasi negara itu sendiri program yang terdapat di lingkungan fakultas-fakultas
merupakan hasil konstruksi sosial tentang peri kehi- hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia sendiri-
dupan bersama dalam suatu komunitas hidup berma- pun dulunya adalah Fakultas Hukum dan Pengetahuan
syarakat. Oleh karena itu, ilmu hukum yang Kemasyarakatan. Baru kemudian Fakultas Ilmu Sosial
mempelajari dan mengatur negara sebagai organisasi dan Politik dibentuk tersendiri di luar Fakultas Hukum.
tidak mungkin memisahkan diri secara tegas dengan
peri kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, 3. Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara
menurut Profesor Wir- jono Prodjodikoro: Ilmu Negara atau Staatsleer (bahasa Belanda) atau
“... seorang sarjana hukum, untuk memperdalam Staatslehre (bahasa Jerman) adalah ilmu pengetahuan
pengetahuannya dalam bidang Hukum Tata Negara, yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pe-
ada baiknya mempelajari juga ilmu sosiologi sebagai ngertian pokok mengenai negara dan hukum tata nega-
ilmu penunjang (hulpwetenshap) bagi ilmu Hukum ra.58 Oleh karena itu, ilmu negara merupakan ilmu pe-
Tata Negara.”57 ngantar untuk mempelajari ilmu Hukum Tata Negara,
ilmu Hukum Administrasi Negara, dan juga ilmu
Bagi sarjana hukum tata negara, di samping Hukum Internasional Publik. Kedudukannya dapat
sosiologi, ilmu sosial lainnya juga sangat penting dibandingkan dengan mata kuliah Pengantar Ilmu
sebagai penunjang, seperti ilmu sejarah, ilmu politik, Hukum yang me- ngantarkan mahasiswa untuk
ilmu eko- nomi, antropologi, dan sebagainya. mempelajari ilmu hukum publik dan hukum privat.
Dikarenakan eratnya hubungan antara hukum dan Sebab, posisinya bersifat pre- requisite. Mahasiswa
negara di satu pihak dengan masyarakat pada Fakultas Hukum diharuskan me- ngambil mata kuliah
umumnya, maka studi tentang gejala kemasyarakatan Pengantar Ilmu Hukum dan Ilmu Negara lebih dulu
itu tumbuh sebelum mengikuti perkuliahan Hu-

57 58
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 3. Kusnardi dan Saragih, Op. Cit., hal.8.

45 46
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

kum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Se-


lajari, dapat dikaitkan dengan pendapat Rengers Hora
bab, dalam perkuliahan Hukum Tata Negara, tidak akan
dibahas lagi mengenai teori asal mula terbentuknya Siccama yang membedakan antara kebenaran hakikat
negara, apa tujuan orang bernegara, dan lain dari kenyataan sejarah. 59 Menurut Rengers Hora Sic-
sebagainya, yang sudah dibahas secara tuntas dalam cama, tugas ahli hukum dapat digolongkan, di satu
Ilmu Negara. pihak sebagai penyelidik yang hendak mendapatkan
Dalam ilmu negara yang diutamakan adalah nilai kebenaran obyektif, dan untuk itu ia tidak
teoritis-ilmiahnya, sedangkan dalam ilmu Hukum Tata melaksanakan hukum itu sendiri. Sedangkan, di lain
Negara dan ilmu Hukum Administrasi Negara terkait pihak ada pula tugas ahli hu- kum sebagai pelaksana
pula dengan norma hukumnya dalam arti positif. Oleh yang akan mempergunakan hu- kum itu dalam
karena itu, ilmu negara disebut sebagai keputusan-keputusan konkrit. Golongan pertama
seinwissenschaft, sedangkan Hukum Tata Negara dan
disebut oleh Rengers Hora Siccama yaitu se- orang ahli
juga Hukum Admi- nistrasi Negara merupakan
normwissenschaft. Demikian pula dengan ilmu hukum hukum sebagai penonton (de jurist als toes- chouwer),
pidana, ilmu hukum perdata, ilmu hukum ekonomi, dan sedangkan yang kedua disebutnya ahli hukum sebagai
lain sebagainya, sudah dikait- kan dengan persoalan pemain (de jurist als medespeler). Sebagai pe- nonton,
norma hukum yang berlaku di bidang masing-masing. seorang ahli hukum lebih mengetahui kekurang- an atau
Dalam kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para pemain
pengantar bagi Hukum Tata Negara dan Hukum Admi- dan mencoba mencari sebab musababnya de- ngan
nistrasi Negara, Ilmu Negara tidak mempunyai nilai mengadakan analisa-analisa tentang sesuatu pe- ristiwa
yang praktis seperti halnya dengan Hukum Tata Negara hukum untuk menentukan cara yang lebih baik dan
dan Hukum Administrasi Negara. Orang yang lebih sempurna mengenai bagaimana hukum dilak-
mempelajari Ilmu Negara tidak memperoleh hasil yang sanakan. Sedangkan dalam golongan kedua, seorang
dapat lang- sung dipergunakan dalam praktik. ahli hukum diandaikan sebagai pemain (de jurist als
Sedangkan mempela- jari Hukum Tata Negara dan medes- peler) yang harus memutuskan, baik yang
Hukum Administrasi Nega- ra dapat langsung bersifat pengaturan (regeling), penetapan administratif
menghasilkan sesuatu pengetahuan yang bernilai (beschik- king), ataupun putusan peradilan (vonnis).
praktis. Perbedaan ini dapat dilihat dari penggunaan Oleh karena keputusan-keputusan dimaksud ter-
istilah “ilmu” yang dikaitkan pada Ilmu Ne- gara, gantung kepada para pelaksananya, maka tidak jarang
sedangkan pada Hukum Tata Negara (verfassungs- terjadi bahwa keputusan yang dianggap baik oleh pelak-
recht) dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungs- sana, tetapi sebaliknya dianggap tidak baik atau kurang
recht), meskipun dapat saja dilakukan, tidak lazim
orang menggunakan istilah “Ilmu” Hukum Tata Negara 59
Rengers Hora Siccama, Naturlijke waarheid en historische bepaaldheid,
atau “Ilmu” Hukum Administrasi Negara. Zwollw, 1985; Ibid., “Au Commencement”, de la theorie du droit, dalam Re-
vue Internationale de la theorie du droit, 1938, hal. 22. Lihat juga “Het
Dari segi kemanfaatannya, hubungan antara Ilmu Recht naar gelang van het staanpunt van het welk men het ziet,” dalam
Negara dan Hukum Tata Negara sebagai ilmu, jika dipe- Themis, 1938, hal. 99.

47 48
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

memuaskan bagi penerima keputusan itu, hal mana di-


landa dan sebagainya. Sehingga, pada umumnya, di
sebabkan karena adanya sifat subyektifisme dalam
kala- ngan ahli hukum tata negara timbul
setiap keputusan tersebut. Sehubungan dengan
kecenderungan sa- ngat nasionalistis dan dogmatis
pendapat Ren- gers Hora Siccama itu, kita dapat
karena sangat terpaku kepada norma hukum dasar
mengumpamakan yang pertama itu dengan tugas Ilmu
positif yang berpuncak ke- pada konstitusi. Hukum Tata
Negara yang tidak me- mentingkan bagaimana caranya
Negara cenderung hanya dilihat dalam konteks yang
hukum dijalankan, kare- na Ilmu Negara mementingkan
positivistik dengan agak me- ngabaikan pentingnya
nilai teoritisnya. 60 Se- dangkan sebaliknya, Hukum Tata
penyelidikan ilmiah yang bersifat universal yang biasa
Negara dan Hukum Administrasi Negara lebih berkaitan
dibahas dalam konteks Hukum Tata Negara Umum.
dengan tugas ahli hukum sebagai pemain (the player).
Dikarenakan Ilmu Negara sangat penting bagi
Hal yang lebih di- pentingkan adalah nilai-nilai praktis
ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
dari kedua cabang ilmu ini, karena hasil penelitian
Negara, maka dengan bantuan Ilmu Negara, Hukum
ilmiah dalam bidang hukum tata negara dan hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dapat
adaministrasi negara itu secara langsung dapat
memperoleh ciri ilmiahnya yang penting. Ilmu Negara
dipergunakan dalam praktik oleh para ahli hukum yang
sangat memen- tingkan nilai teoritisnya sehingga
duduk sebagai pejabat-pejabat negara dan pejabat
disebut sebagai suatu Seinswissenschaft, sedangkan
pemerintahan menurut bidang tugas- nya masing-
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
masing.
merupakan suatu Normati- ven Wissenschaft. Bagi
Di samping itu, perbedaan antara Ilmu Negara
mereka yang mempelajari Hu- kum Tata Negara atau
dengan Hukum Tata Negara juga dapat dilihat dari segi
Hukum Administrasi Negara su- dah tidak perlu
obyek penyelidikannya. Jika obyek penyelidikan Ilmu
diterangkan lagi secara mendalam me- ngenai arti dan
Negara adalah asas-asas pokok dan pengertian-penger-
tian pokok tentang negara dan hukum negara pada asas dari negara dan hukum negara, karena semua hal
umumnya, maka obyek Hukum Tata Negara sebagai itu sudah dianggap diketahui ketika mempelajari llmu
ilmu adalah hukum positif yang berlaku pada suatu Negara. Oleh karena itulah oleh para ahli dikatakan
waktu di suatu tempat. Oleh karena itu lazim disebut bahwa Ilmu Negara merupakan ilmu pe- ngetahuan
Hukum Tata Negara positif sebagai Hukum Tata Negara pengantar bagi mereka yang hendak mempe- lajari
Indonesia atau Hukum Tata Negara Inggris, Amerika, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Ne- gara.
Jepang, Be-
4. Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara
60
Dalam Ilmu Negara pada umumnya dipelajari mengenai Teori-Teori Di berbagai negara, kedua cabang ilmu hukum ini
tentang Asal Mula Negara, Hakekat Negara, Tujuan Negara, Pengertian seringkali disebutkan secara bersama-sama secara be-
Negara, Bentuk Negara, dan lain sebagainya. Lihat dan bandingkan buku- rangkai. Di berbagai universitas di negeri Belanda,
buku teks mengenai Ilmu Negara, seperti misalnya Padmo Wahjono, Ilmu misal- nya, cabang ilmu ini disebut dengan perkataan
Negara, Indo Hill Co., Jakarta, 1999; Djokosoetono, Ilmu Negara, Himpu-
nan oleh Harun Alrasid, (Jakarta: Ind Hill. Co., 2006); Soehino, Ilmu “Staats
Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1998); dan lain-lain.

49 50
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

en Administratief Recht” sebagai mata kuliah tersendiri


“The decisions about the State, its duties and
yang diajarkan oleh seorang guru besar. Di Amerika competences and its relationship with its citizens as
Seri- kat dan Inggris, banyak pula dijumpai buku-buku expressed in the constitution must have an implication
teks hukum yang diberi judul “Constitutional and in administration and administrative law”.64
Adminis- trative Law”, atau bahkan “Textbook on
Constitutional and Administrative Law”. Namun, Jika tidak demikian, maka seperti dikatakan oleh
kedua bidang ilmu hukum ini biasa juga dibedakan H. Maurer, ketentuan konstitusi tidak akan pernah
sebagai dua cabang ilmu yang tersendiri. Sedangkan di men- jadi kenyataan (reality).65 Oleh karena itu,
Jerman, biasa dikenal ada istilah Verfassungsrecht und administrasi dapat digambarkan sebagai tindakan
Verwaltungs-recht. pengundangan konstitusi (enacting the constitution)
Namun demikian, keduanya tetap dapat dibedakan atau tatig werden- de Verfassung.
antara satu sama lain. Dalam arti luas, Hukum Tata Selain itu, menurut Profesor Wirjono
Negara itu sendiri memang mencakup juga pengertian Prodjodikoro, perbedaan antara Hukum Tata Negara
hukum tata negara dalam arti sempit dan hukum admi- dengan Hukum Perdata dan Hukum Pidana sebenarnya
nistrasi negara. Bagi mereka yang menyetujui pendapat mudah terlihat. Secara negatif, dapat dikatakan bahwa
Oppenheim, perbedaan di antara keduanya dikaitkan Hukum Tata Ne- gara itu tidak seperti Hukum Perdata
de- ngan perbedaan antara objek negara yang dikaji, yang mengatur hu- bungan-hubungan perdata antara
yaitu negara dalam keadaan diam (staat in rust) atau pelbagai oknum atau badan, dan tidak seperti Hukum
dalam keadaan bergerak (staat in beweging). Akan Pidana yang berisi atau mengatur penentuan mengenai
tetapi, hu- kum tata negara di samping mempelajari hukuman-hukuman pi- dana untuk setiap pelanggaran
aspek statisnya, juga mempelajari berbagai aspek hukum. Sedangkan per- bedaan antara Hukum Tata
dinamis dari negara. Dengan istilah yang berbeda, Fritz Negara dan Hukum Admi- nistrasi Negara tidak begitu
Werner menyatakan, “Verwaltungsrecht als nampak dengan jelas.66Oleh karena itu, pembedaan
konkretisiertes Verfassungs- recht”,61 yaitu bahwa keduanya membutuhkan lebih dari sekedar penjelasan
hukum administrasi negara itu ada- lah hukum tata biasa.67
negara yang diletakkan dalam keadaan yang konkrit.62
Mantan Ketua Mahkamah Administrasi Federal Jerman
ini menganggap “administrative law as
constitutional law put into concrete terms”.63 Menurut
Meinhard Schroder: 64
Ibid.
65
H. Maurer, Allgemeines Verwaltungsrecht, 13th edition, (Munich: Beck,
2000,) catatan 1 dan 12.
66
Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 7.
67
Lihat dan pelajari Phillipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Adminis-
61
62
Fritz Werner, Deutsches Verwaltungsblatt, 1959, hal. 527. trasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), cet. ke-
Meinhard Schroder, “Administrative Law in Germany”, dalam Rene Seer- 9, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005).
den dan Frits Stroink (eds.), Administrative Law of the European Union, Its
Member States and the United States, (Groningen: Intersentia Uitgevers
Antwerpen, 2002), hal. 91-92.
63
Ibid. hal. 91.

51 52
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Menurut van Vollenhoven,68 Hukum Tata Negara trol, housing, education, each of which can be studied
adalah rangkaian peraturan hukum yang mendirikan in its own right”.70
badan-badan sebagai alat (organ) suatu negara dengan
memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan Dua sarjana Inggris, A.W. Bradley and K.D. Ewing,
membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak menyatakan:
alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah
kedudukannya. Sedangkan, Hukum Tata Usaha Peme- “There is no precise demarcation between constitutio-
rintahan digambarkan oleh van Vollenhoven sebagai se- nal law and administrative law in Britain. Adminis-
rangkaian ketentuan yang mengikat alat-alat negara, trative law may be defined as the law which
baik yang tinggi maupun yang rendah, pada waktu alat- determines the organisation, powers and duties of
alat negara itu mulai menjalankan pekerjaan dalam me- administrative authorities. Like constitutional law,
nunaikan tugasnya, seperti yang ditetapkan dalam Hu- administrative law deals with the exercise and the
control of governmental power. A rough distinction is
kum Tata Negara. Uraian van Vollenhoven ini melanjut- that constitutional law is mainly concerned with the
kan saja pandangan Oppenheim selaku gurunya menge- structure of the primary organs of government,
nai fenomena negara dalam keadaan diam dan negara whereas administrative law is concerned with the
dalam keadaan bergerak seperti yang telah diuraikan di work of official agencies in provi- ding services and in
atas.69 regulating the activities of citizens. Within the vast
John Alder, dalam bukunya “Constitutional and field of government, questions often arise as to the
Administrative Law” juga menyatakan: sources of administrative power, the adjudication of
disputes arising out of the public servi- ces and, above
“Many of the standard texts, and indeed many courses, all, the means of securing a system of legal control
are called constitutional and administrative law. There over the activities of government which takes account
are also separate courses on administrative law. The of both public needs and the private inte- rests of the
difference between the two subjects is really one of individual”. 71
practical convenience and thus a rough and ready one.
Administrative Law is an aspect of constitutional law. Jika kita menelaah perbedaan di kalangan para
It deals with the work of the executive branch of go- ahli mengenai lingkup masing-masing kedua cabang
vernment and how it is controlled. Administrative law ilmu Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara itu,
can be subdivided into particular branches of executive
activity, for example public health, immigration con-
menu- rut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,
pendapat- pendapat tersebut di atas pada garis besarnya
68
dapat dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok yang
van Vollenhoven menjelaskan panjang lebar pandangannya mengenai perta- ma membedakan ilmu Hukum Tata Negara dan
ruang lingkup Hukum Administrasi Negara (Omtrek van het Administratief
Recht) dalam satu uraian (verhandeling) di muka “Koninklijke Academie ilmu Hukum Administrasi Negara secara prinsipil,
van Wettenschappen” di Amsterdam pada tahun 1926. Ketika itu, ia meng- karena
gambarkan kelahiran dan perkembangan mata pelajaran “Hukum Adminis-
trasi
69
Negara” di Perancis dan berbagai negara lain.
Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 8. 70
John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: Macmillan,
1989), hal. 6.
71
A.W. Bradley and K.D.Ewing, Constitutional and Administrative Law,
13th edition, (Pearson Education Ltd., 2003), hal. 10.

53 54
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

menurut mereka kedua ilmu pengetahuan ini dapat


nya seperti Negara di dalam keadaan bergerak (staat
dibagi secara tajam baik mengenai sistematikanya mau-
pun isinya. Sedangkan, banyak ahli hukum lain yang in beweging). Selanjutnya ia katakan: 73
beranggapan bahwa antara Hukum Tata Negara dan
“Ter eener zijde windt men, als staatsrecht dat complex
Hukum Administrasi Negara tidak terdapat perbedaan van rechtsvoorschriften toekent, dat de werkzaam-
yang bersifat asasi, melainkan hanya karena pertim- heden van een moderne overheid distribueert over tal
bangan manfaat praktisnya saja. Hukum Administrasi van hoeger, en lagere organen, het houdt zich bezig
Negara tidak lain merupakan Hukum Tata Negara naar Oppenheim’s woord, meet de staat in rust. Ander-
dalam arti luas dikurangi dengan Hukum Tata Negara zijds staat alles Administratiefrecht dat complex van
dalam arti sempit. Inilah yang disebut sebagai teori bepalingen, waaraan hogere en lagere organen gebon-
residu dalam memahami dan membedakan definisi ilmu den zijn, zoodra ze van hun reeds vaststaande staats-
hukum administrasi negara dari ilmu hukum tata rechtelijke bevoegheid gebruik gaan maken; het betreft
negara.72 naar Oppenheim’s verdere woord, de staat in beweg-
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, ing”.74
yang termasuk ke dalam golongan yang membedakan
ke- dua cabang ilmu hukum ini secara prinsipil antara Dalam bukunya yang lain, van Vollenhoven mem-
lain adalah Christian van Vollenhoven. Tulisannya bagi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Ne-
mengenai hal tersebut yang pertama adalah “Thorbecke gara agak berbeda dari bukunya yang terdahulu. Menu-
en het Ad- ministratiefrecht”. Dalam buku ini, van rut pendapatnya, semua peraturan yang sejak berabad-
Vollenhoven mendefinisikan Hukum Tata Negara abad lamanya tidak termasuk ke dalam lingkup hukum
sebagai sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang tata negara materil, hukum perdata materil, ataupun
menentukan badan- badan kenegaraan serta memberi hu- kum pidana materil seharusnya dimasukkan dalam
wewenang kepadanya, dan bahwa kegiatan suatu ca- bang hukum administrasi negara. Dengan demikian,
van Vollenhoven mengartikan Hukum Administrasi
pemerintahan modern adalah membagi-bagikan
Negara meliputi seluruh kegiatan negara dalam arti
wewenang itu kepada badan-badan tersebut dari yang
luas, tidak hanya terbatas pada tugas pemerintahan
tertinggi sampai yang terendah. Sesuai dengan
dalam arti sempit saja. Hukum Administrasi Negara itu,
pandangan Oppenheim, Hukum Tata Negara di-
menurut- nya, juga meliputi tugas peradilan, polisi, dan
ibaratkan sebagai kondisi negara dalam keadaan tidak
tugas
bergerak (staat in rust). Sedangkan, Hukum Adminis-
trasi Negara sebagai sekumpulan peraturan hukum yang
73
mengikat badan-badan negara baik yang tinggi maupun C. van Vollenhoven, “Thorbecke en het Administratiefrecht” dalam J.
yang rendah jika badan-badan itu mulai menggunakan Oppenheims bundel, Nederlandsch Administratiefrecht, 1921, hal. 21.
74
van Vollenhoven, Omtrek van het Administratiefrecht, verbandelingen
wewenangnya yang ditentukan dalam Hukum Tata voorgedragen in de Koninklijke Academie van Wetenschappen, Deel 62, atau
Nega- ra. Oleh Oppenheim, kondisi demikian itu dalam “Verspreide Geschriften”, jilid I hal. 88, “alle recht, dat niet sinds
diibaratkan- eeuwen gelijkt is als materieel staatsrecht, materieel privaatrecht of ma-
terieel staatrecht, krijgt op natuurlijke wijze een welgevoed onderdak in het
administratiefrecht”.
72
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 35.
55 56
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

membuat peraturan. Menurutnya, Hukum Administrasi


Negara dalam arti luas itu dapat dibagi dalam 4 (empat)
Badan atau organ-organ negara tanpa hukum tata
bidang, yaitu:
negara akan lumpuh bagaikan tanpa sayap, sebab
1) bestuursrecht (hukum pemerintahan) ;
organ- organ itu tidak mempunyai wewenang sehingga
2) justitierecht (hukum peradilan);
keada- annya tidak menentu. Sebaliknya, badan-badan
3) politierecht (hukum kepolisian); dan negara tanpa Hukum Administrasi Negara menjadi
4) regelaarsrecht (hukum perundang-undangan).
bebas tanpa batas, sehingga mereka dapat berbuat
menurut apa yang mereka kehendaki.76
Menurut para sarjana, pandangan van
Di sini dapat kita ketahui maksud van Vollenhoven
Vollenhoven mengenai Hukum Administrasi Negara
pada karangannya yang pertama itu bahwa badan Hu-
tersebut sebenar- nya dapat dibagi dalam 2 (dua)
kum Administrasi Negara diadakan untuk mengekang
pengertian yaitu:
pemerintah sesuai dengan prinsip liberal yang hidup pa-
1) Hukum Administrasi Negara dalam arti klasik; dan
da waktu itu. Sedangkan pada bukunya yang kedua, Hu-
2) Hukum Administrasi Negara dalam arti modern.
kum Administrasi Negara tidak bermaksud hanya me-
ngekang pemerintah agar jangan bertindak sewenang-
Pada perumusan pertama, yaitu Hukum Adminis-
trasi Negara dalam arti klasik, van Vollenhoven masih wenang dengan kekuasaannya, melainkan memberi ke-
diliputi oleh suasana kehidupan kenegaraan yang menga- leluasaan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
nut paham liberal (liberale rechtstaatsgedachte) yang kepentingan rakyat, bahkan juga menentukan kewa-
di- pengaruhi oleh Emmanuel Kant di mana negara jiban-kewajiban kepada rakyat sesuai dengan faham ke-
tidak boleh mencampuri kepentingan-kepentingan sejahteraan yang dianut oleh negara (welvaartstaats-
individu, melainkan tugas negara hanyalah sebagai gedachte).
penjaga malam (nachtwachtersstaat atau l’etat Dalam menyelenggarakan kepentingan umum, ada
Gendarm). Sementara itu, ketika van Vollenhoven kalanya Negara harus melanggar hak rakyat, misalnya
mengembangkan pandangan kedua, praktik kenegaraan menyita untuk kepentingan umum (onteigening ten al-
tengah diliputi oleh suasana baru dengan gemene nutte).
berkembangnya pemikiran mengenai nega- ra Dikarenakan negara memerlukan pembuatan jalan
kesejahteraan atau welfare state (welvaartsstaat-ge- agar hubungan antara dua tempat itu lebih lancar, maka
dachter). Dalam bukunya yang kedua, dinyatakan:
“Staatsorganen zonder staatsrecht is vleugellam, want 76
van Vollenhoven, Staatrecht Oversee. Lihat buku-buku, Kontjoro Purbo-
hun bevoegheid ontbreek of is onzeker Staatsorganen pranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 14 dan 15; Amrah
zonder Administratiefrecht is vluegelvrij, want zij kun-
Muslimin, Beberapa Azas-Azas Dan Pengertian-Pengertian Pokok tentang
nen hun bevoegdheid niet zo toepassen als zii zelf it Administrasi dan Hukum Administrasi, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 8-13;
lieftst willen”.75 dan Djenal Hoesen Koesoemaatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha
Negara, (Bandung: Alumni, 1979), hal. 12-14
75
Ibid.

57 58
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Negara terpaksa mengambil sebagian tanah rakyat


termasuk dalam lingkungan dimaksud adalah
untuk kepentingan tersebut. Lazimnya penyitaan ini
waktu, tempat, manusia atau kelompok, dan
dilakukan dengan ganti rugi kepada rakyat yang
benda.
bersangkutan. Da- pat juga misalnya Pemerintah
2) Hukum Administrasi Negara meliputi ajaran
memberi konsesi atas na- ma perusahaan-perusahaan
menge- nai hubungan-hubungan hukum (leer der
(nuts-bedrijven) untuk ke- pentingan umum.
rechtsbet- rekkingen).
Sementara itu, Logemann dalam bukunya “Over
de theorie van en stellig staatsrecht” mengadakan
Dengan demikian, menurut J.H.A. Logemann, 77
perbeda- an yang tajam antara Hukum Tata Negara dan
dapat dikatakan bahwa ilmu Hukum Tata Negara itu
Hukum Administrasi Negara. Untuk membedakannya,
mempelajari:78
Loge- mann bertitik tolak dari sistematika hukum pada
a. susunan dari jabatan-jabatan;
umum- nya yang meliputi tiga hal, yaitu:
b. penunjukan mengenai pejabat-pejabat;
1) ajaran tentang status (persoonsleer);
c. tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu;
2) ajaran tentang lingkungan (gebiedsleer);
d. kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jaba-
3) ajaran tentang hubungan hukum (leer de rechtsbet-
tan;
rekking).
e. batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap
dae- rah dan orang-orang yang dikuasainya;
Berhubung Hukum Tata Negara dan Hukum
f. hubungan antar jabatan;
Administrasi Negara merupakan suatu jenis hukum
g. penggantian jabatan;
yang tersendiri (als byzonder soort van recht) yang
mem- punyai obyek penyelidikan hukum, maka
sistematika hu- kum pada umumnya dapat diterapkan 77
Lihat juga J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara
pula terhadap Hu- kum Tata Negara dan Hukum Positif (terjemahan, disertai pengantar G.J. Resink), (Jakarta: Ichtiar Baru -
Van Hoeve, tanpa tahun).
Administrasi Negara. Sis- tematika yang dibuat oleh 78
Logemann, Over de theorie van een stelling Staatsrecht, (Jakarta: Saksa-
Logemann dalam bukunya itu, dibagi sebagai berikut: ma, 1954), hal. 54, “Tot de persoonsleer behoren dan, om samen te vatten
1) Hukum Tata Negara dalam arti sempit meliputi: en aan te vullen, niet het verwantschaps en huwelijksrecht, maar wie de
prob- lemen van de mens als plichten subject (toerekenbaarheid,
a. persoonsleer yaitu mengenai persoon dalam arti mondigheid, han- delingbevoegdheid), de personifikatie, de
hukum yang meliputi hak dan kewajiban manu- vertegenwoordiging, onstaan en tenietgaan van persoonlijkeheid, het
sia, personifikasi, pertanggungjawaban, lahir organisatie recht, de competentie-af- bakening”; hal. 59, “De term ‘gebieg’
word hier zoals baven bleek, gebruik als aanduding van de sfeer
dan hilangnya hak dan kewajiban tersebut, hak waarbinnen de norm geldt, in abstracte zin met de vraag, op welke wijze
organisasi, batasan-batasan dan wewenang; tijd, ruimte, persoonen groep, als gedingsbegren- zing van de a
b. gebiedsleer, yang menyangkut wilayah atau stelligrechtelijke norm kunnen optreden”; hal. 85, “mij schynt atgende wat
lingkungan di mana hukum itu berlaku dan aan de juridiche dogamatische pogingen tot ondershceid voor zweeft, met de
stof die naast de persoonsleer en de gebiedsleer behandeling vraagt, dus met
yang de leer der rechtsbetrekingen, nu als descritie van een duide- lijk
aangewesen problemkring te mogen opeisen”.

59 60
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

h. hubungan antara jabatan dan pemegang jabatan.


Administrasi Negara tidak lagi merupakan suatu kum-
pulan monographi-monographi, melainkan merupakan
Hukum Administrasi Negara mempelajari jenis, sistematika yang menghubungkan bagian satu dengan
bentuk, serta akibat hukum yang dilakukan oleh para
bagian yang lainnya, yang masing-masing bagian itu di-
pe- jabat dalam melakukan tugasnya. letakkan dalam tempatnya yang tepat. Arti sistematika
Selain van Vollenhoven dan Logemann, sarjana ke-
di sini adalah waar de delen zijn juiste plaats vindt.
tiga yang biasa dijadikan rujukan dalam persoalan ini Sebenarnya, Logemann juga mempunyai pendirian yang
adalah Stellinga yang membedakan Hukum Tata Negara
sama dengan Stellinga mengenai soal ini.80
dan Hukum Administrasi Negara secara tegas. Dalam
Di samping itu, juga terdapat Hukum Adminis-
pidatonya yang berjudul “Systematische Staatsrecht-
trasi Negara yang berlaku bagi para individu dalam
studie”, 79 dikemukakan bahwa tidak hanya di dalam Hu-
ma- syarakat yang diperintah oleh Negara. Lebih jauh,
kum Tata Negara saja diadakan sistematika, tapi juga
Stel- linga menyatakan:
dalam Hukum Administrasi Negara.
“dan zal er voorts moeten uitgaan dat het staats-
Dalam bukunya yang lain yaitu yang berjudul
recht meer omvat dan de bevoegdheden en ver-
“Grondtrekken van het Nederlandsch Administratief-
plichtingen van de Overheidsorganen. Ook de bur-
recht”, Stellinga berusaha untuk menemukan
ger heeft zijn staatsrechtelijke bevoegdheden en
perbedaan prinsipil antara Hukum Tata Negara dan
verplichtingen. De regels voor het uitoefenen, on-
Hukum Admi- nistrasi Negara, seperti yang sudah
derscheidenlijk het nakomen daarna, maken
dilakukan oleh gurunya yaitu van Vollenhoven.
eveneens een deel van het administratiefrecht uit”.
Stellinga menge- mukakan bahwa kebanyakan
penyelidikan tentang Hu- kum Administrasi Negara
Kita harus menyadari bahwa masih banyak hal
tidak meliputi keseluruhan- nya, melainkan hanya
lain yang diatur oleh Hukum Tata Negara selain hanya
membicarakan beberapa bagian tertentu saja. Bagian-
soal tugas dan wewenang dari alat-alat atau organ-
bagian itu dibicarakan secara ter- pisah yang hanya
organ negara. Dalam Hukum Tata Negara, baik me-
sebagai monographi. Ia baru menjadi sistematika, jika
nurut Stellinga maupun menurut Hans Kelsen, seorang
bagian-bagian di dalamnya diletakkan pada tempatnya
warga negara pun mempunyai hak dan kewajiban
yang tepat. Dengan demikian, Hukum
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pendek
kata, seperti dikemukakan oleh Hans Kelsen, kriteria
79
J.R. Stellinga, Systematische Staatrectstudie, hal. 15 “de systematische terpenting adalah ada tidaknya (i) norm creating
studie schijnt ook voor het administratiefrecht aangewezen”; Ibid. “Grond- function, dan (ii) norm applying function yang terkait
trekken van het Administratiefrecht”, hal. 1, “de einige betekenis welke de
onderscheid tussen staatrecht en administratiefrecht kan heben is een
wetenschappelijke beoefgening van het staatrecht en het administratiefrecht 80
Logemann, Over de theorie van een stellig Staatsrecht, Op. Cit., hal. 2,
dien de grens tussen deze beide zo te behandelen krijgen welke door hun “dat het op te delven systeem inderdaad systeem is, zal namelijk bewezen
overeemkonstige aard bijeen horen”; hal. 3, “warner inzicht bestaat ten an- zijn, als elk problem daarin zijn eigen plaats vanzelf vindt”.
nzien van de juiste plaats welke zij in het kader van het geheel innemen”.

61 62
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dengan subjek hukum tertentu. 81 Jika kedua fungsi itu


untuk dipelajari. Hukum Tata Negara dibagi meliputi
ada, maka menurut Hans Kelsen, subjek hukum yang su- sunan, tugas, wewenang, dan cara badan-badan itu
menyandangnya dapat disebut sebagai organ atau men- jalankan tugasnya, sedangkan bagian lain yang
state organ, dan menurut Stellinga, norma-norma lebih ter- perinci itu dimasukkan dalam bidang Hukum
hukum yang mengatur cara menjalankan hak dan Adminis- trasi Negara.83 Dengan demikian, pembedaan
kewajiban itu termasuk dalam bidang Hukum antara Hu- kum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Administrasi Negara.82 Negara itu dapat dikatakan bukanlah disebabkan oleh
Sarjana lain yang tidak membedakan antara karena alasan yang prinsipil, akan tetapi sekedar untuk
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara kepentingan pembagian kerja yang bersifat praktis
secara tajam di antaranya adalah Kranenburg, van der belaka.
Pot, dan Vegting. Kranenburg berpendapat bahwa pem- Van der Pot juga tidak membedakan secara tajam
bedaan antara kedua cabang ilmu pengetahuan itu antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
secara tajam, baik karena isinya ataupun karena Negara karena pembedaan secara prinsipiil tidak
wataknya yang berlainan, merupakan sesuatu yang tidak menim- bulkan akibat hukum apa-apa. Oleh karena itu,
riil. Perbedaan itu menurutnya disebabkan oleh pembe- daan dimaksud menurutnya tidaklah terlalu
pengaruh ajaran organis mengenai negara perlu. Jika- pun hendak diadakan pembedaan yang
(organischestaats theorie) yang timbul dalam ilmu tegas di antara keduanya, maka hal itu hanya penting
pengetahuan medis yang membedakan anta- ra untuk ilmu penge- tahuan, bukan untuk kebutuhan
anatomie dan psikologi. Sistematika yang diambil de- praktik. Dengan pem- bedaan itu, para ahli hukum
ngan analogi kedua ilmu pengetahuan medis itu sama dapat memperoleh gam- baran mengenai keseluruhan
sekali tidak tepat karena obyek keduanya memang tidak sistem hukum dan rincian perbedaan di antara unsur-
sama. unsurnya yang bermanfaat untuk diketahui.84
Perbedaan antara Hukum Tata Negara dan Hukum Begitu pula Vegting ketika menyampaikan pidato
Administrasi Negara itu tidaklah bersifat fundamental jabatannya dengan judul “Plaats en aard van het Admi-
dan hubungan antara keduanya dapat disamakan
dengan hubungan antara Hukum Perdata dan Hukum 83
Kranenburg, Het Nederlandsch Staatsrecht, eeerste deel zesde durk,
Dagang. Jika keduanya dipisahkan, maka hal itu (Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon, 1947). hal. 14, menyatakan: “Ik
semata-mata karena kebutuhan akan pembagian kerja zou ae splitsing willen verklaren als een gevolg van de behoefte aan ar-
beidsverdeling bij de zeer snelle uitgroei van het corporatieve recht der
yang secara praktis diperlukan sebagai akibat pesatnya
territoriale gemeenschappen en de noodzakelijkheid om zich bij de
perkemba- ngan hukum korporatif dari masyarakat behandeling cler stof te beperken tot samenstelling, de taak, de bevoegdheid
hukum teri- torial. Di samping itu, materi yang en de functionerings-wijze van de belangrijkste organen die dan als
diajarkan dalam pen- didikan hukum memang perlu staatsrecht worden gedoceerd, terwijl de nadere en me er in bijzonderheden
afdalende behandeling van bijzondere takken der staats rechtorganisatie
dibagi sehingga mudah
onder het administratiefrecht werd gebracht”; selanjutnya pada hal. 15, “De
onderscheiding Staatsrecht en Administratiefrecht is dus niet principieel,
maar eenvoudig een van doelmatige arbeidsverdeling”.
81
82
Lihat dalam Kelsen, Op Cit. 84
van der Pot, Op Cit., hal. 510
Stellinga, Grondtrekken van het Nederlandsche Administratiefrecht, Op.
Cit., hal. 13.
63 64
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

nistratiefsrecht”, seperti halnya Kranenburg dalam “Het


pelajari negara dari struktur internalnya, sedangkan
algemene Nederlandsch Administratiefsrecht”, menje- Hukum Internasional Publik mempelajari hubungan-
laskan bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum hubungan hukum antarnegara itu secara eksternal. Di
Adminis- trasi Negara mempunyai lapangan samping itu, Hukum Internasional itu sendiri, ada pula
penyelidikan yang sama. Perbedaan keduanya hanya yang bersifat privat (perdata) di samping ada yang ber-
terletak pada cara pen- dekatan yang dipergunakan oleh sifat publik. Tentunya yang mempunyai hubungan erat
masing-masing ilmu pengetahuan itu mengadakan dengan ilmu Hukum Tata Negara adalah cabang Hukum
penyelidikan ilmiah. Hu- kum Tata Negara berusaha Internasional Publik.
mengetahui seluk beluk orga- nisasi negara dan badan- Keduanya sama-sama menelaah dan mengatur
badan lainnya. Sedangkan, Hu- kum Administrasi me- ngenai organisasi negara. Akan tetapi, Hukum
Negara menghendaki bagaimana cara- nya negara serta Interna- sional mempelajari dan mengatur mengenai
organ-organ negara itu menjalankan tugasnya. Vegting hubungan- hubungan eksternal dari negara, sedangkan
tidak membedakan Hukum Tata Nega- ra dan Hukum Hukum Tata Negara berurusan dengan aspek-aspek
Administrasi Negara karena pembatasan wewenang hubungan yang bersifat internal dalam negara yang
(competentie afbakening) melainkan karena caranya dikaji. Misalnya, konsep kedaulatan yang dikaji oleh
negara bertindak itu saja pun sudah merupakan Hukum Internasional adalah konsep kedaulatan yang
pembatasan wewenang juga. Artinya, bagi Vegting, H- bersifat eksternal dalam hubungan antarnegara,
ukum Tata Negara itu mempunyai obyek penyelidikan sedangkan dalam Hukum Tata Negara yang dibahas
adalah perspektif yang bersifat internal, misalnya teori
yang berkenaan dengan hal-hal yang pokok mengenai
tentang kedaulatan rakyat, ke- daulatan hukum,
organisasi Negara, sedangkan objek penyelidikan
kedaulatan raja, ataupun teori kedau- latan Tuhan.
Hukum Administrasi Negara adalah peraturan-
peraturan yang bersifat teknis.85 6. Kecenderungan Hukum Tata Negara,
Hukum Administrasi Negara,
5. Hukum Tata Negara dan dan Hukum Internasional Publik
Hukum Internasional Publik Pada abad ke-21 dewasa ini, perkembangan dunia
Baik hukum tata negara maupun hukum inter- sudah sangat berbeda dari apa yang terjadi pada abad-
nasional publik, sama-sama merupakan cabang ilmu abad yang lalu. Objek studi Hukum Tata Negara dan
hukum publik. Akan tetapi, objek perhatian hukum Hu- kum Administrasi Negara tumbuh dan berkembang
inter- nasional publik sangat berbeda dari objek menjadi sangat spesifik dan rinci, sehingga keahlian
perhatian hukum tata negara. Hukum Tata Negara yang diperlukan menjadi semakin terspesialisasi.
hanya mem- Berbagai bu- ku hukum tata negara dan hukum
administrasi negara di Amerika Serikat dan Eropa
85
membahas berbagai persoa- lan dengan sangat spesifik
W.G. Vegting, Plaats en aard van het Administratiefrecht, pidato
inagurasi, Amsterdam, 1946. Lihat juga “Het Algemeen Nederlandach dan mendalam. Kecen- derungan gejala ilmiah yang
Administratiefrecht”, I, 1954, hal. 6-7, “Staats en administratiefrecht demikian inilah yang di- sebut sebagai gejala
hebben een gemeenschappelijk gebied van te bestuderen regelen, die echter, diferensiasi struktural yang menye-
bij ene studie anders benaderd worden dan bij de andere”.

65 66
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

babkan tingkat keahlian seseorang semakin dituntut


Instituut voor Verfassungsrecht und Verwaltungsrecht
kekhususan dan spesialisasinya. Bahkan, di bidang hu-
(Lembaga Kajian Hukum Tata Negara dan Hukum
kum administrasi negara telah bermunculan banyak se-
Admi- nistrasi Negara) pada Fakultas Hukum
kali cabang ilmu hukum baru seperti hukum
Universitas Salz- burg. Institut yang sama juga terdapat
perpajakan, hukum lingkungan, hukum kepegawaian,
di Fakultas Hu- kum Universitas Vienna. Di dalamnya
hukum bangu- nan, dan sebagainya.
tergabung para ahli, baik dari lapangan Hukum Tata
Bersama dengan munculnya kecenderungan per-
Negara maupun Hukum Administrasi Negara.86
tama tersebut, timbul pula kecenderungan kedua, yaitu
Di samping kedua kecenderungan tersebut di atas,
gejala konvergensi fungsional antar cabang ilmu yang
ada pula kecenderungan ketiga yang relatif masih sangat
semula terpisah-pisah, tetapi dalam praktik
baru, yaitu menyatunya aspek-aspek kajian internal
penyelesaian suatu masalah memerlukan pendekatan
negara yang biasanya menjadi ciri ilmu hukum tata ne-
yang terpadu yang melibatkan cabang-cabang ilmu yang
gara dan hukum administrasi negara dengan aspek-as-
berbeda itu dalam satu kesatuan konsepsi. Dari
pek eksternal yang biasanya menjadi domain ilmu hu-
kenyataan ini ber- kembang kebutuhan akan adanya
kum internasional publik. Kedua bidang ilmu ini sama-
pendekatan yang mul- ti-disipliner dan pendekatan yang
sama menjadikan negara dan organisasi negara sebagai
holistik-integral dalam penyelesaian masalah. Dalam
objek kajiannya. Akan tetapi, Hukum Tata Negara pada
kaitan dengan perbedaan antara cabang ilmu Hukum
umumnya hanya melihat aspek internal dalam negara
Tata Negara (Constitutional Law) dan Hukum
yang dikajinya, sedangkan hukum Internasional publik
Administrasi Negara (Administrative Law),
justru melihatnya dari segi hubungan eksternal antar-
kecenderungan konvergensi fungsional itu juga terjadi,
negara. Namun, dengan terjadi perkembangan Uni Ero-
sehingga muncul kebutuhan untuk mengintegra- sikan
pa (European Union) dewasa ini, timbul masalah
kembali secara relatif antara pendekatan- pendekatan
menge- nai perbedaan antara Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara dan Hukum Adminis- trasi Negara
dengan Hu- kum Internasional Publik. Ketika orang
dalam satu kesatuan disiplin berpikir.
membicarakan tentang konstitusi Uni Eropa, parlemen
Oleh karena itu, di beberapa negara, seperti misal-
Eropa, Penga- dilan Eropa, tidak lagi jelas apa
nya di Austria, kedua kecenderungan itu diatasi dengan perbedaan antara Hu- kum Tata Negara dengan Hukum
cara ganda. Di satu segi, spesialisasi dipacu, tetapi upaya
Internasional.
konvergensi melalui koordinasi dan integrasi juga dila-
Peraturan (Regeling), Keputusan (Beschikking),
kukan secara bersengaja. Misalnya, di Universitas
dan Putusan Hakim (Vonnis) yang ditetapkan oleh
Vienna dan Universitas Salzburg, mata kuliah hukum
Parle- men, Dewan Eksekutif, atau Pengadilan Eropa, di
adminis- trasi negara (verwaltungsrecht)
satu segi dapat disebut sebagai norma hukum
dikembangkan sangat
internasional,
terperinci. Prof. Dr. Jahnel Ilmar adalah guru besar
hukum bangunan di Universitas Salzburg yang sangat menduduki direktur
menguasai bidangnya tetapi tidak banyak tahu
mengenai aspek-aspek hukum administrasi negara dan
hukum tata negara pada umumnya. Namun, di samping
sebagai guru besar, dia juga dipercaya untuk

67 68
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
86
Pada bulan Juni 2003, saya sendiri mengadakan kunjungan kerja dan
pertemuan dengan pimpinan Instituut voor Verfassungsrecht und Verwal-
tungsrecht, baik di Universitas Vienna maupun Universitas Salzburg. Bah-
kan, selama di Universitas Salzburg, Prof. Dr. Jahnel Ilmar bertindak
sebagai guide yang mendampingi kemanapun saya pergi selama
berkunjung di kampus Universitas Salzburg.

67 68
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tetapi di lain segi sudah dianggap menjadi bagian dari


D. Objek dan Lingkup
pengertian hukum domestik setiap negara anggota Uni
Kajian Hukum Tata
Eropa. Oleh karena itu, di Jerman, para guru besar hu-
Negara
kum tata negaranya biasa disebut sebagai guru besar
Buku J.H.A. Logemann yang diterbitkan pada ta-
hukum publik, bukan lagi guru besar hukum tata
hun 1948 di Leiden yang berjudul “Over de Theorie van
negara. Prof. Dr. Hanns Jarrass, seorang guru besar di
Een Stellig Staatsrecht” berisi tiga bagian, yaitu (1) Hu-
Muenster University, Jerman, ketika memberikan
kum Positif, (2) Hukum Tata Negara Positif, dan (3)
ceramah di Fa- kultas Hukum Universitas Indonesia
Sistem Formil Hukum Tata Negara Positif.88 Pada
pada tahun 2003 yang lalu tentang Perkembangan
Bagian Kedua, oleh Logemann dibahas mengenai (i)
Hukum Eropa juga memperkenalkan dirinya sebagai
Hukum Tata Negara, (ii) Kesistematisan Hukum Tata
guru besar hukum publik, bukan sebagai guru besar
Negara,
hukum tata negara.87
(iii) Bentuk Penjelmaan Sosial Negara, (iv) Negara
Tentu saja, gejala yang terjadi di Eropa tersebut
dalam Hukum Positif, (v) Hukum Tata Negara dalam
memang belum final, karena konstitusi Uni Eropa juga
Arti Sem- pit, (vi) Hukum Administrasi, dan (vii) Tipe-
belum berlaku mengikat sebagai konstitusi. Akan tetapi,
Tipe Negara. Sedangkan pada Bagian Ketiga, dibahas
gejala regionalisasi politik dan ekonomi di berbagai
mengenai (i) Jabatan Sebagai Pribadi, (ii) Batas-Batas
bagi- an dunia terus berkembang. Di satu segi
Jabatan, (iii) Lahir dan Lenyapnya Jabatan, (iv) Cara
gelombang glo- balisasi yang semakin meluas, tetapi di
Menempati Jabatan, (v) Jabatan dan Pemangku
pihak lain ber- kembang pula tuntutan regionalisasi
Jabatan: Perwakilan
wilayah-wilayah ekonomi dan politik di berbagai bagian
(vi) Jabatan dan Pemangku Jabatan: Hubungan Dinas
dunia dan bah- kan lokalisasi dalam arti tumbuhnya
dengan Negara, (vii) Jabatan Majemuk, (viii) Kelompok
tuntutan otonomi lokal di mana-mana. Pada saatnya,
Jabatan, (ix) Lingkungan Kerja, (x) Wewenang Hukum,
perkembangan-per- kembangan baru semacam itu akan
(xi) Pegangan Waktu, (x) Pegangan Ruang dan
mempengaruhi pola- pola hubungan hukum antara satu
Pegangan Pribadi, dan (xi) Perbandingan Kekuasaan.
negara dengan negara yang lain, sehingga konsep-
Sarjana Inggris, Michael J. Allen dan Brian Thom-
konsep hukum Internasional publik akan semakin
pson dalam bukunya “Cases and Materials on Cons-
mendekat ke arah konsep-konsep hukum tata negara
titutional and Administrative Law” (1990-2003) 89
yang sebelumnya hanya bekerja di se- kitar aspek-aspek
mengelompokkan materi bahasannya ke dalam 11 (se-
internal saja dari organisasi negara.
belas) bagian, yaitu (i) Constitutional Law in the United
Kingdom, (ii) The Legislative Supremacy of Parliament,

hukum tata negara dewasa ini.

87
Prof. Hanns Jarrass berkunjung ke Indonesia atas biaya Hanns Seidel
Stiftung dan menjadi tamu saya selaku guru besar Hukum Tata Negara.
Dalam salah satu pembicaraan dengan saya dan juga dalam kuliah umum
yang ia berikan di depan mahasiswa S1 Fakultas Hukum UI pada tahun
2003, dia menjelaskan perkembangan hukum Eropa dan status bidang ilmu

69 70
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
88
Buku ini diterjemahkan oleh Makkatutu dan J.C. Pangkerego serta
dikoreksi oleh G.H.M. Riekerk serta diberi kata pengantar oleh G.J.
Resink, lalu diterbitkan oleh Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta, pada tahun
1975. Sebelumnya buku ini pernah diterbitkan dalam bentuk asli untuk
kebutuhan perkuliahan dengan judul “College-aantekeningen over het
staatsrecht van Nederlands-Indie”.
89
Michael Allen and Brian Thompson, Cases and Materials on Consti-
tutional and Admnistrative Law, 7th edition, (London-New York: Oxford
University Press, 2003).

69 70
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

(iii) The European Union, (iv) The Rule of Law, (v)


power, (4) parliamentary supremacy, (5) the European
Constitutional Conventions, (vi) Parliamentary Govern-
communities; (II) Parliament, yang mencakup (6) the
ment at Work, (vii) Civil Liberties, (viii) Judicial Review:
constitutional position of parliament, (7) the House of
The Grounds, (ix) The Availability of Judicial Review,
Lords, (8) the House of Commons, (9) parliamentary
(x) Ombudsman, dan (xi) Statutory Tribunals.
supremacy; (III) The Executive, yang meliputi (10) the
Versi textbook yang ditulis oleh Michael T. Molan
Crown, (11) the powers of the Crown, (12) Ministers and
dengan judul “Constitutional Law: The Machinery of
departments, (13) the civil service and the armed forces,
Government” memuat pokok bahasan yang sedikit ber-
(14) Ad hoc bodies, (15) local government, (16) The
beda.90 Molan membagi bukunya dalam 13 (tiga belas)
police; (IV) The Judicial Branch of the State, mencakup
bab, yaitu (i) The Nature and Sources of Constitutional
(17) the Judiciary, (18) Tribunals and Inquiries, (19)
Law, (ii) The European Union, (iii) Constitutional Prin-
Judicial Review of the Executive; dan (V) Civil Liberties,
ciples: The Separation of Powers, the Rule of Law, and
yang meliputi (20) General principles of civil liberties,
the Independence of the Judiciary, (iv) The Sovereignty
(21) Freedom of speech and assembly, (22) entry to and
of Parliament, (v) The Electoral System, (vi) The House
exclusion from the UK, (23) emergency powers, dan (24)
of Commons, (vii) The Executive, (viii) Judicial Review
police powers of arrest and search in the investigation of
of Executive Action, (ix) The European Convention on
crime.
Hu- man Rights, (x) The Police Power, (xi) The Right to
Sementara itu, O. Hood Phillips dan kawan-kawan
Pri- vacy and Family Life: Article 8 of the European
dalam bukunya “Constitutional and Administrative
Conven- tion on Human Rights, (xii) Freedom of
Law” membagi pokok bahasannya juga dalam 4 (empat)
Expression: Ar- ticle 10 of the European Convention on
bagian.92 Bagian Umum antara lain membahas soal the
Human Rights, and (xiii) Freedom of Assembly and
nature of constitutional and administrative law,
Association: Article 11 of the European Convention on
parlia- mentary supremacy, devolution and
Human Rights.
regionalism, the constitutional conventions, dan
Versi lain lagi adalah dari John Alder, Erwin Che- sebagainya. Bagian II tentang Parliament, Bagian III
merinsky, A.W. Bradley and K.D. Ewing, O. Hood tentang Central Govern- ment, Bagian IV tentang
Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, serta ba- Justice and Police, Bagian V tentang Rights and Duties
nyak lagi buku teks Hukum Tata Negara lainnya. John of the Individual, Bagian VI khusus tentang
Alder, dalam bukunya, “Constitutional and Administra- Administrative Law, dan Bagian VII tentang The
tive Law”,91 membagi bukunya dalam 5 (lima) bagian, Commonwealth. Masing-masing bagian itu membahas
yaitu (I) General Constitutional Theory, yang mencakup secara terperinci segala aspek yang terkait.
bahasan mengenai (1) the nature of the United Kingdom Demikian pula buku “Constitutional and Adminis-
Constitution, (2) the sources of the constitution, (3) trative Law”, A.W. Bradley dan K.D. Ewing juga dibagi
constitu-tionalism: the rule of law and the separation of dalam 4 (empat) bagian. 93 Bagian I tentang General
Principles of Constitutional Law, yang mencakup baha-
90
Michael T. Molan, Constitutional Law: The Machinery of Government, 4th
edition, (London: Old Bailey Press, 2003). 92
Phillips, Jackson, and Leopold, Op Cit.
91
Alder and English, Op Cit. 93
Bradley dan Ewing, Op Cit.

71 72
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

san tentang (1) Definition and scope of constitutional


ground and Contemporary Themes, (ii) The Federal
law, (2) sources and nature of the constitution, (3) the
Judicial Power, (iii) The Federal Legislative Power, (iv)
structure of the united kingdom, (4) parliamentary sup-
The Federal Executive Power, (v) Limits on State Regu-
remacy, (5) the relationship between legislature, execu-
latory and Taxing Power, (vi) The Structure of the
tive, and judiciary, (6) the rule of law, (7) responsible
Consti- tution’s Protection of Civil Rights and Civil
and accountable government, (8) the United Kingdom
Liberties, (vii) Procedural Due Process, (viii) Economic
and the European Union; Bagian II tentang The
Liberties, (ix) Equal Protection, (x) Fundamental Rights
Institution of Government, meliputi (9) Composition
Under Equal Protection and Due Process, (xi)
and meeting of parliament, (10) functions of parliament,
Expression, dan (xii) Religion.
(11) privileges of parliament, (12) the Crown and the
Di Indonesia, juga dikenal beberapa buku yang
royal prerogative,
bia- sa dijadikan pegangan oleh mahasiswa dalam
(13) the Cabinet, government departments and the civil mempe- lajari ilmu hukum tata negara. Di antaranya
service, (14) public bodies and regulatory agencies, (15) adalah buku karya Moh. Kusnardi dan Harmaily
foreign affairs and the commonwealth, (16) the armed Ibrahim yang ber- judul “Pengantar Hukum Tata Negara
forces, (17) the treasury, public expenditure and the Indonesia”. Buku ini dipakai secara luas sebagai salah
economy, (18) the courts and the machinery of justice; satu buku teks Hukum Tata Negara di berbagai
Bagian III tentang The Citizen and the State, yang meli- perguruan tinggi di tanah air. Di dalamnya, dibahas
puti (19) the nature and protection of human rights, (20) mengenai 9 (sembilan) hal, yaitu (1) Pendahuluan, (2)
citizenship, immigration, and extradition, (21) the police Ilmu Pengetahuan Hu- kum Tata Negara, (3) Sumber-
and personal liberty, (22) the protection of privacy, (23) Sumber Hukum Tata Ne- gara, (4) Konstitusi, (5)
freedom of expression, (24) freedom of association and Beberapa Azas yang dianut oleh UUD 1945, (6) Bentuk
assembly, (25) state security and official secrets, dan Negara dan Sistem Pemerintahan,
(26) emergency powers and terrorism; Bagian IV khusus (7) Asas-Asas Kewarga-negaraan, (8) Hak-Hak Asasi
membahas Administrative Law, meliputi pembahasan Manusia, dan (9) Sistem Pemilihan Umum.
mengenai (27) the nature and development of adminis- Dalam buku Prof. Kusumadi Pudjosewojo,
trative law, (28) delegated legislation, (29) administra- berjudul “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia”, 95
tive justice, (30) judicial control of administrative dibahas khusus mengenai tata hukum Indonesia. Dalam
action, dan terakhir (31) liability of public authorities Bagian Kedua dibahas empat bab, yaitu Bab IV tentang
and the Crown. Lapa- ngan-Lapangan Hukum, Bab V tentang Hukum
Banyak lagi buku teks lainnya yang membagi Tata Ne- gara, Bab VI tentang Hukum Tatausaha Bagian
materi bahasan dalam berbagai versi. Misalnya, buku Umum, dan Bab VII tentang Hukum Tatausaha Bagian
teks karya Erwin Chemerinsky yang berjudul “Constitu- Khusus. Dalam Bab Hukum Tata Negara dibahas
tional Law: Principles and Policies” terdiri atas 12 (dua mengenai (i) materi yang diatur dalam hukum tata
belas) bab.94 Ke-12 bab itu adalah (i) Historical Back- negara, (ii) Rakyat Negara Republik Indonesia, (iii)
Daerah Negara Republik Indonesia, (iv) Penguasa
94
Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, (New Tertinggi Negara Republik In-
York: Aspen Law & Business, 1997).
95
Pudjosewojo, Op. Cit.

73 74
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

donesia, (v) Beberapa asas-asas pokok hukum tata ne-


Part VI berisi (20) Administration of Scheduled and
gara Indonesia, dan (vi) Sumber-sumber hukum tata ne-
Tribal Areas; Part VII tentang The Judicature yang ter-
gara Indonesia.96
diri atas (21) Organisation of the Judiciary in General,
Hal yang menarik dan dapat dianggap paling luas
(22) The Supreme Court, dan (23) The High Court; Part
cakupan pembahasannya adalah ilmu Hukum Tata Ne-
VIII tentang The Federal System yang meliputi (24)
gara di India. Sebabnya ialah Undang-Undang Dasar In-
Distribution of Legislative and Executive Powers, (25)
dia tergolong naskah undang-undang dasar yang paling
Distribution of Financial Powers, (26) Administrative
tebal di dunia, sehingga mencakup keseluruhan aspek
Relations between the Union and the States, (27) Inter-
yang penting dalam aktifitas penyelenggaraan negara.
State Relations, (28) Emergency Provisions; Part IX ten-
Oleh karena itu, dalam buku Durga Das Basu yang
tang lain-lain atau “miscellaneous” yang mencakup (29)
berjudul “Introduction to the Constitution of India” ter-
Rights and Liabilities of the Government and Public Ser-
gambar cakupan yang sangat luas itu. 97 Buku itu terdiri vants, (30) The Services and Public Service Commis-
atas 9 (sembilan) bagian, yaitu Part I terdiri atas (1) The sions, (31) Elections, (32) Minorities, Scheduled Castes
Historical Background, (2) The Making of the Consti- and Tribes, (33) Languages, dan (34) How the Consti-
tution, (3) The Philosophy of the Constitution, (4) Out- tution Has Worked.
standing Features of the Constitution, (5) Nature of Fe- Menurut John Alder, “The main function of a con-
deral System, (6) Territory of the Union, (7) Citizenship, stitution is to provide the ground rules through which
(8) Fundamental Rights dan Fundamantal Duties, (9)
the organisation operates”.98 Untuk itu, menurutnya:
Di-
rective Principles of State Policy, dan (10) Procedure of “constitutional law is different from other kinds of law
Amendment; Part II terdiri atas (11) The Union Execu- in that the other laws of a country obtain their validity
tive, and (12) The Union Legislature; Part III mencakup from its constitution. Constitutional law is as it were
(13) The State Executive, (14) The Legislature, (15) The the law behind the law”.99
State of Jammu and Kashmir; Part IV berisi (16) Admi-
nistration of Union Territories and Acquired Territories; Itu sebabnya banyak sarjana yang menganggap
Part V mencakup (17) The New System of Panchayats bahwa hukum tata negara itu meliputi semua aspek
and Municipalities, (18) Panchayats, (19) Municipalities; hukum yang berkenaan dengan negara dan pemerin-
tahan, meskipun untuk alasan-alasan yang bersifat
96
Bandingkan juga dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Purnadi prak- tis, studi mengenai hal itu dibatasi hanya pada
Purbacaraka yang mengatakan inti permasalahan Hukum Tata Negara adalah
(a) Status atau kedudukan yang menjadi subyek/pribadi dalam Hukum soal-soal hukum dasar konstitusi saja (basic rules of the
Negara yaitu siapa penguasa/pejabat negara dan apa lembaga-lembaga consti- tution). Sehubungan dengan itu, John Alder
negara, serta siapa warga negara dan siapa bukan warga negara; (b) Role merumus- kan lingkup hukum tata negara itu dengan
atau peranan yang meliputi kewajiaban dan hak, serta peranan wantah mengajukan beberapa pertanyaan kunci, yaitu:
yang di luar tetapi tidak bertentangan dengan hukum. Soerjono Soekanto
dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 56-59. 98
97
Durga Das Basu, Introduction to the Constitution of India, 18th edition, 99
John Alder, Op. Cit.
Ibid.
(India: Wadhwa & Company, 2000).

75 76
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

1) Siapa atau lembaga apakah yang menjalankan ber-


study of the constitutional law). Namun, jika diperhati-
bagai fungsi kekuasaan negara? Biasanya kekuasaan
kan, pandangan John Alder itu bersifat terlalu menye-
negara secara horizontal dibagi ke dalam tiga
derhanakan. Lingkup materi pertanyaan yang diaju-
cabang, yaitu (i) the law making power; (ii) the
kannya dapat dikatakan sangat terbatas dan terlalu sem-
executive power, yaitu the power to implement and
pit untuk menggambarkan ruang lingkup kajian hukum
enforce the laws; and (iii) the judicial power, yakni
tata negara pada umumnya. Dalam studi hukum tata ne-
the power to settle disputes by applying the law to
gara atau constitutional law, di mana pun berada, selalu
particular ca- ses. Di samping itu, kekuasaan negara
ditelaah mengenai (a) Konstitusi sebagai hukum dasar
juga dibagi ke dalam struktur hierarkis antara
beserta berbagai aspek mengenai perkembangannya
central and local government, dan menurut tugas-
dalam sejarah kenegaraan yang bersangkutan, proses
tugas yang bersifat khusus, seperti polisi dan
pembentukan dan perubahannya, kekuatan
tentara;
mengikatnya dalam hierarki peraturan perundang-
2) Apa dan bagaimanakah hubungan antara masing- undangan, cakupan substansi, ataupun muatan isinya
masing cabang kekuasaan itu satu sama lain, dan sebagai hukum dasar yang tertulis; (b) Pola-pola dasar
secara khusus, siapa pula atau lembaga mana yang ketatanegaraan yang dianut dan dijadikan acuan bagi
bertindak sebagai pemegang kata akhir dalam pe- pengorganisasian insti- tusi, pembentukan dan
ngambilan keputusan mengenai sesuatu urusan penyelenggaraan organisasi ne- gara, serta mekanisme
tertentu? kerja organisasi-organisasi negara dalam menjalankan
3) Bagaimanakah para anggota dan pimpinan dari fungsi-fungsi pemerintahan dan pembangunan; (c)
cabang-cabang kekuasaan negara tersebut Struktur kelembagaan negara dan mekanisme
ditetapkan dan diberhentikan? Apakah pengisian hubungan antar organ-organ kelembagaan negara, baik
jabatan keang- gotaan dan pimpinan lembaga- secara vertikal maupun horizontal dan dia- gonal; dan
lembaga negara yang menjalankan fungsi-fungsi (d) Prinsip-prinsip kewarganegaraan dan hubungan
kekuasaan negara itu di- pilih atau diangkat, dan antara negara dengan warga negara beserta hak-hak dan
bagaimanakah caranya? kewajiban asasi manusia, bentuk-bentuk dan prosedur
4) Bagaimanakah caranya pemerintahan dan demikian pengambilan keputusan hukum, serta mekanisme
pula semua jabatan kenegaraan yang ada dibatasi perlawanan terhadap keputusan hukum.
dan dikontrol? Apakah semua pemegang jabatan ke-
Tentu saja, kita dapat merumuskan pokok bahasan
negaraan itu bertanggung jawab, dan kepada siapa
hukum tata negara itu ke dalam rincian yang lebih
mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya. Apa-
terurai, tetapi dapat pula merumuskannya dalam garis
kah dan bagaimanakah mekanisme pertanggungja-
besar saja. Lingkup materi yang dibahas, tergantung
waban itu kepada rakyat?
kepada data yang disajikan dalam buku masing-masing.
5) Bagaimana pula mekanisme dan prosedur untuk
Namun, secara umum, dalam buku-buku yang dapat
membentuk dan mengadakan perubahan atau peng-
digolongkan sebagai buku teks, keseluruhan materi ter-
gantian terhadap undang-undang dasar?
sebut di atas selalu tercakup dalam pembahasan, meski-
pun ada yang membaginya ke dalam 3 (tiga) bagian dan
Menurut John Alder, kelima pertanyaan itulah
ada pula yang membaginya ke dalam 4 (empat) bagian.
yang merupakan pusat perhatian hukum tata negara
(the
77 78
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Misalnya, A.W. Bradley dan K.D. Ewing, 100menyederha-


lah soal hubungan-hubungan hak dan kewajiban secara
nakan pokok-pokok bahasan hukum tata negara itu
timbal-balik antara negara dan warga negara. Di dalam-
menjadi tiga aspek, yaitu (i) general principles of con-
nya, termasuk pula persoalan hak dan tanggung jawab
stitutional law; (ii) The Institutions of Government;
asasi manusia, seperti yang dipromosikan Inter Action
and
Council dengan “The Universal Declaration of Human
(iii) The Citizens and The State, meskipun ketiga aspek
Responsibility” tahun 1998.
itu diuraikan secara sangat rinci oleh kedua sarjana ini,
sehingga bukunya sendiri mencapai 812 halaman tebal- E. Objek dan Lingkup Kajian
nya. Hukum Administrasi Negara
Pembahasan yang pertama, misalnya, terdiri atas Untuk menggambarkan lingkup kajian atau baha-
topik-topik (1) definition and scope of constitutional san mengenai Hukum Administrasi Negara, berikut ini
law, dapat diambilkan beberapa contoh mengenai tulisan
(2) sources and nature of constitutional law, (3) the yang menggambarkan lingkup kajian hukum
structure of the United Kingdom, (4) Parliamentary sup- administra- si negara di berbagai negara Eropa dan
remacy, (5) the relationship between legislature, execu- Amerika Serikat. Tentu saja, setiap sarjana mempunyai
tive and judiciary, (6) the rule of law, (7) Responsible kecenderungan sendiri-sendiri dalam persoalan luas
and accountable government, dan (8) the United sempitnya materi yang akan dibahas dalam buku yang
Kingdom dan Uni Eropa. Soal kedua tentang The disusun. Akan te- tapi, hal ini dapat dipakai untuk
Institutions of Government terdiri atas (9) Composition sekedar memberikan gambaran mengenai apa saja yang
and Meeting of Parliament, (10) Functions of dipikirkan oleh para ahli, jika diberi kesempatan
Parliament, (11) Privileges of Parliament, (12) The menjelaskan mengenai hu- kum administrasi negara di
Crown and the royal prerogative, negara-negara tertentu yang diketahuinya.
(13) The Cabinet, government departments, and the civil Menurut Sabien Lust,101 hukum administrasi nega-
service, (14) Public bodies and regulatory agencies, (15) ra itu mencakup pembahasan mengenai “definition of
Foreign affairs and the Commonwealth, (16) the Armed administrative law and the use of administrative powers,
Forces, (17) The Treasury, public expenditure and the serta “the place of executive in the constitutional
economy, dan (18) The courts and the machinery of system”, “the Administrative Powers”, “the Instruments
justice. Available to the Administration”, “the Norms the
Sementara itu, Bagian ketiga tentang “The Citizen Administrative Authorities Have to Comply”, dan “Legal
and the State” mencakup pembahasan mengenai (19) Protection Against Administrative Action”.102
The nature and protection of human rights, (20) citizen- Sementara itu, Brian
ship, immigration and extraditions, (21) The police and
personal liberty, (22) The protection of privacy, (23)
Freedom of expression, (24) Freedom of association and
assembly, (25) State security and official secrets, (26) 100
Bradley dan Ewing, Op Cit.
Emergency powers and terrorism. Termasuk di dalam
pembahasan mengenai negara dan warga negara ini
ada-

79 80
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
101
Rene Seerden dan Frits Stroink (eds.), Administrative Law of the Euro-
pean Union, Its Member States and the United States, (Groningen:
Intersentia Uitgevers Antwerpen, 2002), hal. 5-58.
102
Lihat A. Alen, Handboek van het Belgisch Staatsrecht, (Antwerpen:
Kluwer Rechtswettenschappen, 1995), hal. 889; H. Bocken and W. De
Bondt (eds), Introduction to Belgian Law, (Brussel: Bruylant, 2001),
hal. 464; A.

79 80
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Jones and Katharine Thompson membahas persoalan


tion Under the Adminitrative Procedure Act, (h) Agency
hukum administrasi negara Inggris dengan bahasan
Discretion in Rulemaking and Adjudication, (i) Choices
mengenai (i) introduction yang meliputi (a) what is
of Process, (j) Relationship of Rules to Adjudication, (k)
administrative law, (b) the constitutional context of sup-
The Role of Private Parties, (l) Alternative Dispute Reso-
remacy of parliament, human rights, separation of po-
lution, (m) Due Process and Informal Adjudication, (n)
wers, the rule of law, and the royal prerogative; (ii) the
The Role of Private Law; (iv) Judicial Review of
distribution of administrative powers, yang mencakup
Adminis- trative Action yang mencakup pembahasan
soal the institutions of the government dalam arti luas;
tentang (a) Availability of Judicial Review, (b) Standing,
(iii) administrative decision making yang dikaitkan
(c) Timing of Judicial Review, (d) Ripeness, (e)
dengan (a) sources of powers, (b) inquiries, (c) inspec-
Exhaustion of Admi- nistrative Remedies, (f) Finality,
tions, (d) public participation and open government, (e)
(g) Scope of Review, (h) Review of the Facts, dan yang
the use of private law by the administration; (iv) non-
terakhir (i) Review of Law and Policy.
judicial redress of grievances yang meliputi soal om- Dengan demikian, lingkup kajian hukum ad-
budsmen dan tribunals; (v) judicial reviews yang berke- ministrasi negara itu sangat luas cakupannya. Oleh
naan dengan (a) general views, (b) filing a claim for kare- na itulah, oleh Brian Jones dan Katharine,
judicial review, (c) standing, (d) public or private divide, konsepsi administrative law itu didefinisikan sebagai:
(e) exceptions to ‘procedural exclusivity’, (f) matters “the study of rules and procedures that on the one hand
which are not reviewable, (g) legitimate expectations, serve to promote good administrative practice in Go-
(h) grounds for judicial review, (i) illegality, (j) vernmental agencies, and on the other hand provide
irrationality, and (k) procedural impropriety. mechanisms of redress, judicial or otherwise, when
Sedangkan, dalam membahas Hukum grievances have arisen as a result of decisions or ac-
Administrasi Negara di Amerika Serikat, Philip Harter tions of Government”.103
menguraikan hal-hal berikut (i) What is administrative
law dengan membahas soal (a) pengertian administrasi Bahkan, lebih lanjut, dikatakan oleh kedua sarjana
negara, (b) the role of agencies, dan (c) brief history of tersebut:
administra- tive law; (ii) The Constitutional Structure of “In very general terms, administrative law covers spe-
Congress, The President, the Courts, and the issues of cialist subject areas as diverse as planning law,
separation of powers generally; (iii) the American immigration law and revenue law. The administrative
Administrative Pro- cess, yaitu (a) Acquisition of lawyer cannot hope to have a detailed knowledge of all
Information, (b) Open Go- vernment, (c) Freedom of these areas of law, rather his or her concern is with the
administrative process, at the levels of central, local
Information, (d) Adjudication versus Rulemaking, (e) and at European Union levels; and the means by which
Rulemaking, (f) Non-Legislative Rules, Policy grievances in respect of governmental actions may be
Statements, and Guidelines, (g) Adjudica- examined and, where appropriate redressed. In parti-

Mast, J.Djuardin, M.van Damme and J. Vande Lanotte, Overzicht van het
Belgisch Administratief recht, (Antwerpen: Kluwer-Rechtswetenschappen, 103
Brian Jones dan Katharine Thompson, Garner's Administrative Law, 8th
1999), hal. 10, 18, dan lain-lain. Ed, (Butterworths Law Binding: Paperback Edition, 1996).

81 82
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

cular, the procedure for what is technically known, as


European Community). It may, then, operate in
‘judicial review’ must be understood”.
respect of controlling the prerogative powers of
ministers, but it might equally well apply to the
Pendek kata, seperti dikatakan oleh Harlow and minutiate of adminis- tration in central and local
Rawlings (1984), hukum administrasi negara itu adalah government. It embodies general principles which can
the law relating to public administration, yaitu hukum be applied to the exercise of the powers and duties of
yang berhubungan dengan dengan administrasi publik. authorities in order to ensu- re that the myriad of rules
Hukum administrasi negara berhubungan dengan cara and discretionary powers available to the executive
atau upaya dengan mana pemerintahan menjalankan conform to basic standards of legality and fairness.
tu- gas yang diberikan kepadanya, termasuk mengenai The ostensible purpose of these principles is to ensure
that, as well as observance of the rule of law, there is
haki- kat kekuasaan itu dan tugas-tugas serta cara
accountability, transparency and effectiveness in the
bagaimana kekuasaan itu dikendalikan. Bahkan bagi
exercise of power in the public domain”.105
sementara sar- jana, administrative law is also about
the control of the administration and the protection of
Dalam Hukum Administrasi, menarik juga untuk
individual liberty, with the focus of attention being the
dikaji adanya red and green-light theories yang dikem-
case law of judicial review of administrative action.
bangkan oleh Harlow dan Rawlings tahun 1984. Teori
Hukum Administrasi Negara juga memberikan
ini berkaitan dengan semakin kompleksnya peranan
perhatian kepada upaya untuk memungkinkan atau
hukum dalam kehidupan negara modern. Untuk itu,
membuat para administrator atau penyelenggara
Harlow dan Rawlings mengembangkan dua model
administrasi negara mampu menjalankan
pendekatan yang saling bertentangan yang mereka
pemerintahan. Pandangan semacam inilah yang biasa
namakan sebagai per- spektif red light and green light
di- kenal sebagai a green-light theory.104
Sementara itu, sarjana Inggris lainnya, yaitu Peter perspectives. Red-light perspective lebih konservatif
Leyland dan Terry Woods, dalam bukunya “Textbook on dan berorientasi pada pe- ngendalian (control).
Administrative Law” juga berusaha menjawab Sedangkan, Green-light perspec- tive lebih liberal atau
pertanya- an mengenai apa sebenarnya yang dimaksud sosialistis dalam orientasinya dan bersifat facilitative.
dengan Hukum Administrasi Negara itu. Menurut Menurut Peter Leyland dan Terry Woods dalam
kedua sarjana Inggris ini: bukunya tersebut di atas, keduanya telah berkembang
“What in fact is administrative law? Normally, it is secara bersamaan (tandem) dengan tum- buhnya
regarded as the area of law concerned with the control negara modern.
of governmental powers, powers which originate in “They serve us here with both to describe what admi-
primary legislation or in the prerogative. Or the sub- nistrative law is and toact as normative (i.e. moral and
ordinate powers exercised by individuals and bodies political) suppositions about what its role in society
acting under the power given by primary legislation ought to be. However, we do say for our purposes; it
(or legislation of a binding nature emanating from the should not be supposed that Harlow and Rawlings use
these terms in exactly the same way, or that they
would

104
C. Harlow and R. Rawlings, Law and Administration, 2nd edition, 105
Peter Leyland and Terry Woods, Textbook on Administrative Law, 4th
(London: Butterworths, 1997), chapter 1 & 2. edition, (New Delhi: Oxford University Press, 2003), hal. 1-2.
83 84
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

necessarily share our purpose. We employ them not to 107


Pudjosewojo, Op. Cit.
describe what happens in any givern set of circum-
stances where lawyers and judges make decisions;
rather, as models to describe what in the real world of
everyday legal activity is a continuum of assumptions,
from red light as one end of the spectrum to green light
at the other”.106

Dalam berbagai buku tentang Hukum


Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha Negara di
Indonesia, lingkup kajian kurang lebih sama dengan
uraian tersebut di atas. Bahkan dalam buku Prof.
Kusumadi Pudjosewojo yang berjudul “Pedoman
Pelajaran Tata Hukum Indo- nesia”, 107 materi hukum tata
usaha negara dibedakan antara Bagian Umum dan
Bagian Khusus. Pada Bagian Umum Bab VI tentang
Hukum Tatausaha dibahas (i) materi yang diatur oleh
hukum tatausaha, (ii) Alat Per- lengkapan Tatausaha,
(iii) Perbuatan Hukum Tatausaha,
(iv) Perbekalan Hukum Tatausaha, (v) Beberapa Asas
Pokok Hukum Tatausaha Indonesia, dan (vi) Sumber-
sumber Hukum Tatausaha Indonesia. Sedangkan pada
Bagian Khusus Bab VII, dibahas mengenai (i) Bagian-
ba- gian Khusus dari Hukum Tatausaha, (ii) Hukum
Pajak atau Hukum Fiskal, (iii) Beberapa Asas Pokok
Hukum Pajak Indonesia, (iv) Sumber-sumber Hukum
Pajak Indonesia. Bagian Khusus ini dimaksudkan oleh
Kusu- madi sebagai bagian yang dinamis, tergantung
pokok persoalan yang hendak dibahas.
Di dalam bukunya, yang dibahas memang hanya
persoalan Hukum Pajak. Akan tetapi, di lapangan yang
lain seperti hukum lingkungan hidup, hukum adminis-
trasi kepegawaian, hukum anggaran negara dan daerah,
hukum bangunan, dan sebagainya, semuanya dapat di-
lihat sebagai objek kajian hukum tata usaha negara yang

106
Ibid., hal. 5.

85 86
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
bersifat khusus seperti halnya hukum pajak. Oleh (xiii) hukum fiskal dan anggaran (pusat dan daerah),
karena itu, lingkup kajian hukum administrasi negara (xiv) hukum administrasi lingkungan, (xv) hukum
atau hu- kum tata usaha negara dapat berkembang adminis- trasi pendidikan, (xvi) hukum administrasi
sangat luas cakupannya. Di negara-negara yang sistem ilmu penge- tahuan dan teknologi, (xvii) hukum
administra- sinya (public administration) sudah administrasi kese-
sangat berkembang, bidang-bidang hukum yang
menjadi objek kajian para sarjana hukum tata negara
(verfassungsrecht) dan hu- kum tata usaha negara
(verwaltungsrecht) pada umum- nya sangat luas
cakupannya.
Oleh karena itu, kebutuhan akan spesialisasi
keahlian menjadi sesuatu yang niscaya, sehingga tidak
jarang kita menemukan para ahli yang tingkat spesiali-
sasi keahlian-nya sangat mendalam di sesuatu bidang
yang tidak lazim di Indonesia. Misalnya, para Guru
Besar di beberapa negara Eropa yang mendalami
keahlian di bidang hukum bangunan, belum tentu
memahami ber- bagai aspek hukum administrasi
kepegawaian, meskipun sama-sama berasal dari
keahlian di lapangan ilmu hu- kum administrasi
negara (verwaltungsrecht) dan hukum tata negara
pada umumnya (verfassungsrecht).
Dalam perkembangan dewasa ini, berbagai
bidang hukum yang dapat dikategorikan termasuk ke
dalam rumpun hukum administrasi atau hukum tata
usaha ne- gara, mencakup bidang-bidang, seperti (i)
hukum admi- nistrasi kepegawaian, (ii) hukum
perburuhan dan kete- nagakerjaan, (iii) hukum
administrasi kependudukan,
(iv) hukum keimigrasian, (v) hukum perpajakan, (vi)
hukum transportasi udara, (vii) hukum transporasi
laut,
(viii) hukum transportasi darat, (ix) hukum
administrasi perdagangan, bea dan cukai, (x) Hukum
perindustrian,
(xi) hukum administrasi kehutanan dan perkebunan,
(xii) hukum administrasi moneter dan perbankan,

85 86
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

hatan, (xviii) hukum administrasi kesejahteraan dan


pelayanan sosial, (xix) hukum administrasi informasi
dan telematika, (xx) hukum administrasi hukum, (xxi)
dan lain-lain sebagainya.
Semua aspek pengaturan dan penetapan hukum
dalam rangka pelayanan umum (public services) oleh
para pejabat administrasi publik atau pejabat adminis-
trasi negara (public administration) dalam bidang-
bidang tersebut merupakan persoalan hukum adminis-
trasi negara. Oleh karena itu, keputusan-keputusan yang
ditetapkan oleh para pejabat di bidang-bidang tersebut
disebut sebagai K-TUN atau keputusan tata usaha
negara yang bersifat penetapan administratif
(beschikking).108 Terhadap keputusan-keputusan
semacam ini dapat diajukan gugatan ke pengadilan tata
usaha negara (PTUN). Sedangkan, terhadap semua
regulasi (regula- tion) atau produk peraturan (regels)
yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga tersebut sebagai
subordinate le- gislations dapat diajukan gugatan
judicial review lang- sung ke Mahkamah Agung sesuai
dengan ketentuan Pa- sal 24A ayat (1) UUD 1945.109

108
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi sese-
orang
109
atau badan hukum perdata.
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

87 88
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

BAB III
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal adanya
KONSTITUSI SEBAGAI OBJEK KAJIAN
istilah yang mencerminkan pengertian kata jus ataupun
HUKUM TATA NEGARA
constitutio sebagaimana dalam tradisi Romawi yang
datang kemudian.111 Dalam keseluruhan sistem berpikir
para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah
seperti apa yang kita maksudkan sekarang ini. Menurut
A. Sejarah Konstitusi
Charles Howard McIlwain dalam bukunya “Constitutio-
1. Terminologi Klasik: Constitutio, Politeia, nalism: Ancient and Modern” (1947), perkataan consti-
dan Nomoi tution di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire),
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan
yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang se- bagai istilah teknis untuk menyebut the acts of
ten- tang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani legisla- tion by the Emperor.112 Bersamaan dengan
Kuno poli- teia dan perkataan bahasa Latin constitutio banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke
yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja,
perkataan poli- teia dan constitutio itulah awal mula maka istilah teknis constitution juga dipinjam untuk
gagasan konstitu- sionalisme diekspresikan oleh umat menyebut peraturan- peraturan eklesiastik yang berlaku
manusia beserta hu- bungan di antara kedua istilah di seluruh gereja atau- pun untuk beberapa peraturan
dalam sejarah. Dari kedua istilah itu, kata politeia dari eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu
kebudayaan Yunani dapat disebut yang paling tua (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab
usianya. Pengertiannya secara luas mencakup: Hukum Romawi dan Hukum Ge- reja (Kanonik) itulah
“all the innumerable characteristics which determine yang sering dianggap sebagai sum- ber rujukan atau
that state’s peculiar nature, and these include its whole referensi paling awal mengenai penggu- naan perkataan
economic and social texture as well as matters govern- constitution dalam sejarah.
mental in our narrower modern sense. It is a purely
descriptive term, and as inclusive in its meaning as our
Dengan perkataan lain, pengertian konstitusi itu di
own use of the word ‘constitution’ when we speak zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti
gene- rally of a man’s constitution or of the belum berbentuk seperti yang dimengerti di zaman mo-
constitution of matter”.110 dern sekarang. Namun, perbedaan antara konstitusi de-
ngan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan
yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian
kata politea dan nomoi. Pengertian politiea dapat
disepa-

110
Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern,
(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 26. Seperti dikata-
kan oleh Sir Paul Vinogradoff, “The Greeks recognized a close analogy 111
Analogi di antara organisasi negara (state organization) dan organisme
between the organization of the State and the organism of the individual manusia (human organism) ini, seperti dikatakan oleh M.L. Newman dalam
human being. They thought that the two elements of body and mind, the The Politics of Aristotle, merupakan the central inquiry of political science
former guided and governed by the later, had a parallel in two constitutive di dalam sejarah Yunani Kuno.
elements of the State, the rulers and the ruled”. 112
Ibid., hal. 23.
89 90
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi of Henry I for the holding of the hundred and county courts” sebagai record.
adalah undang-undang biasa. 113
Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi
dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan
membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia
hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar su-
paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani
istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Res-
publica Constituere yang melahirkan semboyan,
Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema
Lex, yang artinya ”Rajalah yang berhak menentukan
struktur orga- nisasi negara, karena dialah satu-satunya
pembuat un- dang-undang”.114
Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan
dengan istilah konstitusi adalah “Constitutions of Cla-
rendon 1164” yang disebut oleh Henry II sebagai consti-
tutions, avitae constitutions or leges, a recordatio vel
recognition,115 menyangkut hubungan antara gereja dan
pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya,
yaitu Henry I. Isi peraturan yang disebut sebagai kon-
stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun
pemasyarakatannya dilakukan oleh pemerintahan seku-
ler. Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah
constitutio itu sering pula dipertukarkan satu sama lain
dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut
berbagai secular administrative enactments. Glanvill
sering mengguna- kan kata constitution untuk a royal
edict (titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan
Henry II’s writ creating

113
114
Ibid.
Bandingkan antara Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., dengan Abu Daud
Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal. 88-89; dan buku-
buku sejenis lainnya.
115
Dokumen Constitutions of Clarendon menyebut dirinya sendiri sebagai
recordatio (record) atau recognitio (a finding). Pengarang buku “Leges
Henrici Primi” pada awal abad ke-12, juga menyebut “the well-known writ

91 92
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
the remedy by grand assize as ‘legalis is a 118
Authore D. Petro Gregorio Tholosano, De Republica Libri Sex et Viginti,
constitutio’,116 dan menyebut the assize of novel lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609, hal. 4-5.
disseisin sebagai a re- cognitio sekaligus sebagai a
constitutio. 117
Beberapa tahun setelah diberlakukannya
Undang- Undang Merton pada tahun 1236, Bracton
menulis arti- kel yang menyebut salah satu ketentuan
dalam undang- undang itu sebagai a new constitution,
dan mengaitkan satu bagian dari Magna Charta yang
dikeluarkan kembali pada tahun 1225 sebagai
constitutio libertatis. Dalam waktu yang hampir
bersamaan (satu zaman), Beauma- noir di Perancis
berpendapat bahwa “speaks of the re- medy in novel
disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the
kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad
sesudahnya, perkataan constitution selalu diartikan
se- bagai a particular administrative enactment much
as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan
consti- tution ini dipakai untuk membedakan antara
particular enactment dari consuetudo atau ancient
custom (kebia- saan).
Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), dalam
bukunya De Republica (1578) menggunakan kata con-
stitution dalam arti yang hampir sama dengan penger-
tian sekarang.118 Hanya saja kandungan maknanya
lebih luas dan lebih umum, karena Gregoire memakai
frase yang lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat
dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan
constitution tercer- min dalam pernyataan Sir James
Whitelocke pada se- kitar tahun yang sama, yaitu “the
natural frame and con- stitution of the policy of this
Kingdom, which is jus pub- licum regni”. Bagi James
Whitelocke, jus publicum regni

116
George E. Woodbine (ed.), Glanvill De Legibus et Consuetudinibus
Angiluae, (New Haven: 1932), hal. 63.
117
McIlwain, Op. Cit., hal. 24.

91 92
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

itulah yang merupakan kerangka alami dan konstitusi


tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa
politik bagi kerajaan.
Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin,
Dari sini, kita dapat memahami pengertian konsti-
serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di se-
tusi dalam dua konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the
panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik
natural frame of the state yang dapat ditarik ke
kehidupan kenegaraan dan hukum.
belakang dengan mengaitkannya dengan pengertian
Perkembangan-perkembangan demikian itulah
politeia da- lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi
yang pada akhirnya mengantarkan umat manusia pada
dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of
pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris
the realm. Ci- cero 119 dapat disebut sebagai sarjana
modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti-
pertama yang menggunakan perkataan constitutio
tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act
dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam
of establishing or of ordaining, or the ordinance or re-
bukunya “De Re Pub- lica”. Di lingkungan Kerajaan
gulation so established”. Selain itu, kata constitution
Romawi (Roman Empire), perkataan constitutio ini
juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan
dalam bentuk Latinnya juga dipakai sebagai istilah
yang menentukan hakikat sesuatu (the “make” or
teknis untuk menyebut the acts of legislation by the
composition which determines the nature of anything).
Emperor. Menurut Cicero, “This cons- titution (haec
Oleh karena itu, constitution dapat pula dipakai untuk
constitution) has a great measure of equa- bility
menyebut “… the body or the mind of man as well as to
without which men can hardly remain free for any
external ob- jects”.
length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero: Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi
“Now that opinion of Cato becomes more certain, that selalu dianggap “mendahului” dan “mengatasi”
the constitution of the republic (consitutionem rei pemerin- tahan dan segala keputusan serta peraturan
publicae) is the work of no single time or of no single lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the
man”. act of a go- vernment but of the people constituting a
govern- ment”.120 Konstitusi disebut mendahului, bukan
Pendapat Cato dapat dipahami secara lebih pasti karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang
bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu supe- rior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh
wak- tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif sebab itu, Charles Howard McIlwain menjelaskan:
dan aku- mulatif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, “In fact, the traditional notion of constitutionalism
konsep klasik mengenai konstitusi dan before the late eighteenth century was of a set of prin-
konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam ciples embodied in the institutions of a nation and
neither external to these nor in existence prior to
dalam perkembangan penger-
them”.121

119
Nama lengkapnya adalah Marcus Tullius Cicero (106-43 BC). Menurut
R.N. Berki, “In the extant writings of the great Roman statesman and
orator, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC), we find the most interesting 120
McIlwain, Op. Cit., hal. 20.
formu- lations of Roman Stoicism as regards political thought”. Lihat R.N. 121
Ibid., hal. 12.
Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, (London:
J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988), hal. 74.

93 94
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Secara tradisional, sebelum abad ke-18, konstitu-


konstitusi dalam frase in a sense the life of the city.126
tionalisme memang selalu dilihat sebagai seperangkat
Dalam bukunya, “Politics”, Aristoteles menyatakan:
prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu “A constitution (or polity) may be defined as the orga-
bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta nization of a polis, in respect of its offices generally,
tidak ada pula yang mendahuluinya. but especially in respect of that particular office which
is sovereign in all issues”.
2. Warisan Yunani Kuno (Plato dan Aristoteles) “The civic body (the politeuma, 127 or body of persons
Dalam bukunya, “Outlines of Historical Jurispru- established in power by the polity) is everywhere the
dence”, Sir Paul Vinogradoff berpendapat: sovereign of the state; in fact the civic body is the polity
“The Greeks recognized a close analogy between the (or constitution) itself”.128
organization of the State and the organism of the indi-
vidual human being. They thought that the two ele- Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergan-
ments of body and mind, the former guided and tung pada (i) the ends pursued by states, dan (ii) the
governed by the latter, had a parallel in two constitu- kind of authority exercised by their government.
tive elements of the State, the rulers and the ruled”.122 Tujuan ter- tinggi dari negara adalah a good life, dan hal
ini merupa- kan kepentingan bersama seluruh warga
Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi masyarakat.
negara dan organisme manusia tersebut, menurut W.L. Oleh karena itu, Aristoteles membedakan antara
Newman, memang merupakan pusat perhatian (center right constitution dan wrong constitution dengan uku-
of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para ran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan
filosof Yunani Kuno.123 Dalam bukunya “The Laws” untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka
(Nomoi), Plato menyebutkan bahwa “Our whole state is konstitusi itu disebutnya sebagai konstitusi yang benar,
an imita- tion of the best and noblest life”.124 Isocrates tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konsti-
dalam buku- nya “Panathenaicus” ataupun dalam tusi yang salah. Konstitusi yang terakhir ini dapat di-
“Areopagiticus” menyebut bahwa “the politeia is the sebut pula sebagai perverted constitution yang diarah-
‘soul of the polis’ with power over it like that of the kan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang
mind over the bo- dy”. 125 Keduanya sama-sama tamak (the selfish interest of the ruling authority). Kon-
menunjuk kepada pe- ngertian konstitusi. Demikian stitusi yang baik adalah konstitusi yang normal, sedang-
pula, Aristoteles dalam bu- kan yang tidak baik disebut juga oleh Aristoteles sebagai
kunya “Politics” mengaitkan pengertian kita tentang
126
Ernest Barker (ed and trans.), Politics, (New York-London: Oxford
University Press, 1958), (iv), chapter xi.
127
Istilah “politeuma” ini berarti “supreme civic authority”. Aristoteles
membuktikan bahwa “the constitution is especially an ordering of the
122
Sir Paul Vinogradoff, Outlines of Historical Jurisprudence, Vol. II, The supreme authority by showing that the supreme authority is decisive of the
Jurisprudence of the Greek City, hal. 12. character of the constitution, from which it follows that the main business of
123
McIlwain, Op. Cit., hal. 27. the constitution is to fix the supreme authority”. Lihat footnote No. 3, M.L.
124
Sir Paul Vinogradoff, The Laws, hal. 817. Newman, The Politics of Aristotle, Op. Cit., hal. 110.
125 128
McIlwain, Op. Cit. Ibid.

95 96
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik-buruknya


nyataan adanya keterkaitan antara pemikiran yang
atau normal-tidaknya konstitusi itu baginya terletak
dikembangkannya sebagai intelektual dengan pergaulan
pada prinsip bahwa “political rule, by virtue of its speci-
empirisnya dengan kekuasaan setelah ia diangkat men-
fic nature, is essentially for the benefit of the ruled”.129
jadi penasehat Raja Dyonisius II.131 Inilah yang menye-
Di antara karya-karya Plato seperti “Republic” dan
babkan adanya perbedaan yang tajam antara idealitas
“Nomoi”, terdapat pula dialog-dialog Plato yang diberi
negara yang tergambar dalam “Republic” dan apa yang
judul “Politicus” atau “Statesman” yang memuat tema-
diuraikan Plato dalam “Nomoi”, dan sebelum menulis
tema yang berkaitan erat dengan gagasan konstitusiona-
“Nomoi” terlebih dulu Plato menyelesaikan “Politicus”. 132
lisme. Buku terakhir ini, di samping buku-buku lainnya,
Namun dari pendapat-pendapat para muridnya,
banyak mempengaruhi pemikiran Aristoteles di kemu-
seperti Aristoteles, memang dapat dibayangkan pan-
dian hari tentang gagasan konstitutionalisme seperti
dangan para filosof di zaman Yunani Kuno itu tentang
yang kita pahami sekarang. Jika dalam “Republic”, Plato
negara dan hukum tentu tidak seperti sekarang. Misal-
menguraikan gagasan the best possible state, maka da- nya, Aristoteles mengatakan:
lam buku “Politicus” (Statesman) sebelum ia “A godlike ruler should rule like a god, and if a godlike
menyelesai- kan karya monumental berjudul “Nomoi”, 130 man should appear among men, godlike rule would
Plato me- ngakui kenyataan-kenyataan yang harus and should be gladly conceded to him”.133
dihadapi oleh negara sehingga ia menerima negara
dalam bentuknya sebagai the second best dengan Artinya, Aristoteles sendiri juga membayangkan
menekankan pentingnya hukum yang bersifat ke- beradaan seorang pemimpin negara ideal yang
membatasi. “Plato’s Republic deals with an bersifat superman dan berbudi luhur, karena sejarah
unattainable ideal; his Politicus treats of the attainable kenegaraan Yunani pada zamannya tergolong sangat
in its relation to this same ideal”. Jika dalam “Republic” labil. Pertama, di zamannya, belum ada mekanisme
ia mengidealkan peranan his philosopher- king yang yang tersedia untuk merespons keadaan atau tindakan-
mempunyai a strength of art which is superior to the tindakan revolusioner yang dalam pengertian sekarang
law atau bahkan dikatakan sang pemimpin itu sendirilah disebut sebagai tinda- kan yang inkonstitusional. Kedua,
yang membuat seni kepemimpinannya sebagai hukum, revolusi-revolusi se- macam itu jika terjadi tidak hanya
“not by laying down rules, but by making his art a mengubah corak public law, tetapi juga
law”. menjungkirbalikkan segala insti- tusi yang ada secara
Oleh karena itu, banyak sarjana yang mempersoal- besar-besaran, dan bahkan ber- akibat pada tuntutan
kan apakah Plato itu seorang yang berpaham serba mut- perubahan keseluruhan way of life (masyarakat) polity
lak atau seorang konstitusionalis (an absolutist or yang bersangkutan. Dalam keadaan
consti-
tutionalist). Jika kita berusaha menafsirkan secara kritis
perkembangan pemikiran Plato sendiri yang tercermin 131
Ibid., hal. 21-22.
dalam karya-karyanya, kita tidak dapat melepaskan ke- 132
Guna mendalami lebih lanjut perbedaan dan perbandingan antara
“Republic” dan “The Laws” serta karya-karya Plato yang lain, kita dapat
129
membaca tulisan pengantar oleh Trevor J. Saunders terhadap naskah “Plato:
130
Ibid., hal. 113. The Laws”, Op. Cit., hal. 17-41.
Plato, The Laws, (Penguin Classics, 1986), hal. 26 dan 37. 133
McIlwain, Op. Cit., hal. 33.

97 98
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

demikian, Aristoteles berpendapat keseluruhan polity


mander”136 (seorang tiran gemar berperang sebagai cara
dan konstitusi mengalami kehancuran atau bubar. Ke-
untuk memelihara agar anak buahnya terus mengabdi
tiga, revolusi demikian selalu terjadi dengan disertai
dan melayani kebutuhannya sebagai seorang komandan).
kekerasan (violence), proscription, ostracism, dan bah-
Namun demikian, harus juga dimengerti bahwa sebelum
kan kematian, sehingga orang Yunani dihinggapi oleh
munculnya pengaruh kaum Stoics, 137 orang Yunani Kuno
penyakit fear of stasis.
memang belum membedakan sama sekali antara konsep
Keadaan demikian itulah yang menyebabkan Aris-
negara (state) dan masyarakat (society), maupun antara
toteles berada dalam posisi untuk memberikan nasehat
civil dan social. Oleh karena itu, para filosof Yunani cen-
kepada sang tyrant mengenai bagaimana memper-
derung melihat hukum sebagai bagian atau satu aspek
panjang tipe kekuasaan (type of government) yang di-
saja dalam pembicaraan mereka tentang polity, tentang
akuinya sebagai kekuasaan yang paling menindas di
negara. Hal ini tergambar dalam buku Aristoteles “Rhe-
dunia (the most oppressive in the world) serta paling
torica” yang menyebut istilah common law dalam arti
singkat usianya. Kondisi sosial politik yang tidak stabil
the natural law yang tidak lebih daripada satu porsi pe-
itulah yang menyebabkan orang berusaha memilih
ngertian saja dari the state’s actual laws.138
status quo (to preserve the status quo). Misalnya,
Pemikiran filsafat Yunani Kuno yang dikembang-
dikatakan oleh Aristoteles dalam bukunya “Politics”
kan oleh Aristoteles dan kawan-kawan tidak atau belum
bahwa:
membayangkan hukum sebagai sesuatu yang berada di
“Polities generally are liable to dissolution not only
from within but from without, when there is a state luar pengertian polity (negara) atau sesuatu yang ter-
having an antagonistic polity near to them or distant pisah dari negara dimana negara harus tunduk dan me-
but possessed of considerable power”.134 nyesuaikan diri dengan aturan yang ditentukan olehnya.
Perubahan terhadap pandangan yang tidak
Dalam bagian lain dari tulisannya, Aristoteles juga melihat hukum sebagai sesuatu yang berada di luar atau
mengatakan: di atas negara, baru timbul setelah Cicero
“The practice of cutting off prominent characters and memperkenalkan pe- mikirannya dengan mengartikan
putting out of the way the high spirits in the state; the negara sebagai suatu a bond of law (vinculum juris).
prohibition of common meals, political clubs, high cul- Dalam pengertian vincu- lum juris itu, hukum tidak
ture and everything else of the same kind; precautio- hanya dilihatnya sebagai ele- men suatu negara, tetapi
nary measures against all that tends to produce two an antecedent law. Dalam bukunya “De Re Publica”,
results, viz., spirit and confidence”.135 Cicero mengatakan bahwa hu- kum dalam arti demikian
sama tuanya dengan pemikiran
Selanjutnya, oleh Aristoteles juga dinyatakan: “A
tyrant is fond of making wars, as a means of keeping 136
Ibid., VIII, hal. 394.
his subjects in employment and in continual need of a 137
Kaum “Stoics” adalah kelompok yang menganut paham stoicism, tumbuh
com- di Yunani, namun kemudian berkembang dan mendapatkan kemajuan pesat
di Roma. “Stoicisme” ini bahkan, menurut sejarahwan abad ke-19, Mom-
msen, memang sangat cocok dengan karakteristik kebudayaan Romawi. Li-
hat Berki, Op Cit., hal. 73.
134 138
135
The Politics of Aristotle, VIII, Op. Cit., hal. 368. McIlwain, Op. Cit., hal. 37.
Ibid., hal. 392-383.

99 100
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tentang keberadaan Tuhan, jauh sebelum adanya negara


menemukan garis pemisah yang begitu tegas dalam per-
di mana pun juga. Negara, bagi Cicero, merupakan
jalanan sejarah pemikiran politik antara zaman klasik
kreasi hukum.139 Sejak masa Cicero, dapat dikatakan
dan zaman modern, maka dapat dikatakan bahwa era
pemikiran kenegaraan dan hukum mengalami revolusi
pe- misah itu adalah periode di antara Aristoteles di
besar-besa- ran.140 Dikarenakan perbedaan di antara Yunani dan Cicero di Romawi.
tradisi Yunani yang dimotori oleh Aristoteles dengan
tradisi Romawi yang dimotori oleh Cicero cenderung 3. Warisan Cicero (Romawi Kuno)
sangat tajam, maka Charles Howard McIlwain Salah satu sumbangan penting filosof Romawi,
menyatakan: terutama setelah Cicero mengembangkan karyanya “De
“We cannot hope to bridge the gap between the consti-
tutionalism of Aristotle and that of Cicero, but even the Re Publica” dan “De Legibus”, adalah pemikiran tentang
most superficial comparison of the two will show that hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah
a gap is there, and a very wide one”.141 dikembangkan sebelumnya oleh para filosof Yunani.
Bagi para filosof Romawi, terutama Ulpian, Cicero
Oleh karena lebarnya jurang di antara keduanya, menjelas- kan sebagai berikut:
kita tidak mungkin berharap akan dapat menjembatani “a ruler’s will actually is law, a command of the em-
perbedaan antara gagasan konstitutionalisme peror in due form is a lex. Any imperial constitution,
like a senatus consultum, should have the place of a lex
Aristoteles dan konstitutionalisme Cicero. Bahkan, oleh (legis vicem optineat), because the Emperor himself
Dr. Carlyle dikatakan: receives his imperium by virtue of a lex (per legem).143
“There is no change in political theory so startling in
its completeness as the change from the theory of
Aristotle to the later philosophical view represented by
Dengan perkataan lain, di sini jelas dan tegas
Cicero and Seneca… We have ventured to suggest that sekali dipakainya istilah lex yang kemudian menjadi
the divi- ding-line between the ancient and the modern kata kunci untuk memahami konsepsi politik dan
political theory must be sought, if anywhere, in the hukum di zaman Romawi kuno. Sebagaimana
periode bet- ween Aristotle and Cicero”.142 dikemukakan oleh Gaius pada abad ke-2, “a lex is what
the people orders and has established”. Setelah 4
Tidak ada perubahan yang begitu mendasar dalam (empat) abad kemudian, a lex di- definisikan sebagai
perkembangan teori politik dalam sejarah seperti peru- “what the Roman people was accus- tomed to establish
bahan yang begitu menakjubkan dari pemikiran Aristo- when initiated by a senatorial magis- trate such as a
teles ke pemikiran Cicero dan Seneca. Jika kita berusaha consul”.144 Penggunaan perkataan lex itu nampaknya
lebih luas cakupan maknanya daripada leges yang
139
Berki, Op. Cit., hal. 75. mempunyai arti yang lebih sempit. Konstitusi mulai
140
Menurut R.N. Berki, “Cicero, of course, was first and foremost a prac- dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar dan bah-
tical statesman who played a leading role in the politics of the Roman kan di atas negara. Tidak seperti masa sebelumnya, kon-
Republic before the ascent of Caesar”. Ibid.
141
Ibid., hal. 43. 143
142
Carlyle, A History of Medieval Political Theory in the West, I, hal. 8-9. Cicero, De Legibus, III, hal.12, dalam Charles Howard McIlwain, Op.
Bandingkan juga dalam R.N. Berki, Op. Cit. Cit.,
144
hal. 44.
Ibid.

101 102
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

stitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan


sia. Terhadap pandangan kaum Stoic mengenai hukum
bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan
alam yang bersifat universal itu, Cicero berpendapat:
sesuai dengan prinsip the higher law. Prinsip hierarki “There is in fact a true law – namely, right reason –
hukum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya which is in accordance with nature, applies to all men,
dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan. and is unchangeable and eternal. By its commands this
Di samping itu, para filosof Romawi jugalah yang law summons men to the performance of their duties;
secara tegas membedakan dan memisahkan antara pe- by its prohibitions it restrains them from doing wrong.
ngertian hukum publik (jus publicum) dan hukum pri- Its commands and prohibitions always influence good
vaat (jus privatum),145 sesuatu hal baru yang belum di- men, but are without effect upon the bad.”147
kembangkan sebelumnya oleh para filosof Yunani. Bah-
kan, perkataan jus dalam bahasa Latin sendiripun tidak Cicero juga menegaskan adanya “one common
dikenal padanannya dalam bahasa Yunani Kuno seperti master and ruler of men, namely God, who is the
yang sudah dijelaskan di atas. Biasanya keduanya di- author of this law, its interpreter, and its sponsor”.
bedakan dari sudut kepentingan yang dipertahankan. Tuhan, bagi Cicero, tak ubahnya bagaikan Tuan dan
Hukum publik membela kepentingan umum yang ter- Penguasa semua manusia, serta merupakan Pengarang
cermin dalam kepentingan “negara”, the civitas, sedang- atau Penulis, Pe- nafsir, dan Sponsor Hukum. Oleh
kan hukum privaat menyangkut kepentingan orang per- karena itu, Cicero sa- ngat mengutamakan peranan
orang, that which pertains to the utility of individuals. hukum dalam pemaha- mannya tentang persamaan
Namun demikian, baik kepentingan umum maupun pri- antar umat manusia. Bagi- nya, konsepsi tentang
vaat, sebenarnya tetap berkaitan dengan kepentingan manusia tidak bisa dipandang hanya sebagai political
individu setiap warga negara. Seperti dikatakan oleh Ru- animal atau insan politik, me- lainkan lebih lebih utama
dolf van Ihering, hak-hak publik dan hak-hak privaat adalah kedudukannya sebagai legal animal atau insan
tidak dapat dibedakan satu sama lain (not distingui- hukum.148
shable). Subjek keduanya selalu persis sama, yaitu me- Selain itu, beberapa kesimpulan yang dapat ditarik
nyangkut the natural person atau makhluk manusia. dari pengalaman sejarah konstitusionalisme Romawi
Perbedaan hakiki keduanya hanya terletak pada Kuno ini adalah Pertama, untuk memahami konsepsi
kenyata- an bahwa “private rights affect private yang sebenarnya tentang the spirit of our constitutional
individuals ex- clusively, while all the individual antecedents dalam sejarah, ilmu hukum haruslah di-
citizens alike parti- cipate in the public”146. pandang penting atau sekurang-kurangnya sama pen-
Pemikiran politik Cicero didasarkan atas tingnya dibandingkan dengan sekedar perbincangan
penerima- annya yang kuat terhadap the Stoic universal me- ngenai materi hukum. Kedua, ilmu pengetahuan
law of na- ture yang merangkul dan mengikat seluruh hukum yang dibedakan dari hukum sangat bercorak
umat manu- Romawi sesuai asal mula pertumbuhannya. Ketiga,
pusat perha- tian dan prinsip pokok yang dikembangkan
dalam ilmu hukum Romawi bukanlah the absolutism of
a prince se-

145
Ibid., hal. 47. 147
Berki, Op. Cit., hal.74.
146
Ibid. 148
Ibid.
103 104
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

bagaimana sering dibayangkan oleh banyak ahli, tetapi


4. Warisan Islam: Konstitusionalisme dan
justru terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa
Piagam
rak- yat merupakan sumber dari semua legitimasi ke-
Pada masa-masa selanjutnya, ketika bangsa Eropa
wenangan politik dalam satu negara.
berada dalam keadaan kegelapan yang biasa disebut se-
Dengan demikian, rakyatlah yang dalam perkem-
bagai abad-abad pertengahan, tidak banyak hal yang
bangan pemikiran Romawi dianggap sebagai sumber
dapat diuraikan sebagai inovasi dan perkembangan
yang hakiki dari hukum dan sistem kekuasaan. Dicerita-
yang penting dalam hal ini. Namun, bersamaan dengan
kan dalam sejarah bahwa negara Yunani Kuno pernah
masa- masa suram di Eropa selama abad-abad
menjadi jajahan Romawi Kuno. Sebagai akibat penjaja-
pertengahan itu, di Timur Tengah tumbuh dan
han itu banyak dari kebudayaan Yunani ditiru oleh
berkembang pesat perada- ban baru di lingkungan
bang- sa Romawi, seperti ajaran tentang Polis dan
penganut ajaran Islam. Atas pe- ngaruh Nabi
ajaran ten- tang kedaulatan rakyat (Ecclesia).
Muhammad SAW, banyak sekali inovasi- inovasi baru
Namun, penerapannya kemudian ternyata tidak
dalam kehidupan umat manusia yang di- kembangkan
sama dengan ajaran asli yang dibawa dari Yunani, menjadi pendorong kemajuan peradaban. Salah satunya
karena faktor keadaan dan sifat-sifat bangsa Romawi ialah penyusunan dan penandatanganan persetujuan
yang me- mang berlainan dengan Yunani. Melalui atau perjanjian bersama di antara kelom- pok-kelompok
ajaran kedaula- tan rakyat yang ditiru dari Yunani, penduduk kota Madinah untuk bersama- sama
orang Romawi me- nyusun pemerintahan dengan membangun struktur kehidupan bersama yang di
seorang Raja yang mem- punyai kekuasaan yang bersifat kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kene-
mutlak. Menurut orang Romawi pada zaman itu, pada garaan dalam pengertian modern sekarang. Naskah per-
suatu ketika rakyat me- ngadakan perjanjian dengan setujuan bersama itulah yang kemudian dikenal sebagai
Caesar yang kemudian diletakkan dalam Rex Regia. Piagam Madinah (Madinah Charter).
Dengan perjanjian tersebut, kekuasaan diakui Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam
telah berpindah secara mutlak dari tangan rakyat tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang
kepada Cae- sar (translatio empirii). Dikarenakan dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam
adanya translatio empirii itu, rakyat dianggap tidak arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan
dapat meminta per- tanggungjawaban Caesar lagi. Dari bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-
situ, lahirlah ajaran atau doktrin Caesarismus wakil pen- duduk kota Madinah tak lama setelah beliau
hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah
(perwakilan mutlak berada di tangan Caesar) yang
sebelumnya, pa- da tahun 622 M. Para ahli menyebut
memunculkan semboyan, Princep Legibus Solutus Est,
Piagam Madinah tersebut dengan berbagai macam
Salus Publica Suprema Lex seperti telah dikemukakan
istilah yang berlainan satu sama lain.149
di atas.
149
Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu sebagai
Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya lihat Ahmad
Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Per-
bandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk,
(Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum

105 106
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Montgomery Watt menyebutnya The Constitution


dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah
of Medina,150 Nicholson menyebutnya Charter,151 Majid
(i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku
Khadduri menggunakan perkataan Treaty,152 Phillips K. Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin
Hitti menyebutnya Agreement,153 dan Zainal Abidin Ah- dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv)
mad memakai perkataan Piagam sebagai terjemahan Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari
kata al-shahifah.154 Nama al-shahifah tahun 622 M ini Banu al- Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi
merupakan nama yang disebut dalam naskah piagam itu dari Banu Al- Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr
sendiri. Kata ini bahkan disebut sebanyak delapan kali ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum
dalam teks piagam.155 Perkataan charter sesungguhnya Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu
identik dengan piagam dalam bahasa Indonesia, Sa’labah, dan
sedang- kan perkataan treaty dan agreement lebih (xiii) Banu Syuthaybah.
berkenaan dengan isi piagam atau charter itu. Namun Secara keseluruhan, Piagam Madinah tersebut
fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pokok- berisi 47 pasal. Pasal 1, misalnya, menegaskan prinsip
pokok pedo- man kenegaraan menyebabkan piagam itu persatuan dengan menyatakan: “Innahum ummatan
dapat dikatakan tepat juga untuk disebut sebagai wa- hidatan min duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka
konstitusi se- perti yang dilakukan oleh Montgomery ada- lah ummat yang satu, lain dari (komunitas)
Watt ataupun yang dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad manusia yang lain).156 Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa
seperti ter- sebut di atas. “Mereka (para pendukung piagam) bahu membahu
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat
dalam meng- hadapi penyerang atas kota Yatsrib
dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masya- (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum Yahudi
rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada memikul biaya ber- sama kamu mukminin selama
tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum
disebut Yahudi dari Bani ‘Awf ada- lah satu umat dengan kaum
mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi
Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005). Lihat juga kamu mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini
Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dili- berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri,
hat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara kecuali bagi yang zalim dan yang jahat. Hal demikian
Madinah
150
dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana, 2004). akan merusak diri dan keluarganya sendiri.” Jaminan
Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, (New York:
Oxford University Press, 1964), hal. 93. persamaan dan persatuan dalam kera- gaman tersebut
151
R.A. Nicholson, A Literacy History of the Arabs, (New York: Cambridge demikian indah dirumuskan dalam Pia- gam ini,
University Press, 1969), hal. 173. sehingga dalam menghadapi musuh yang mung- kin
152
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, (Baltimore: The akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota di-
John Hopkins Press, 1955), hal. 4.
153
Phillips K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam, (Mennesota: University of tentukan harus saling bahu membahu.
Minnesota Press, 1973), hal. 35. Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan
154
Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya
Tertulis yang Pertama di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). kebeba- san beragama. Bagi orang Yahudi sesuai
155
Sukardja, Op. Cit., hal. 2.
dengan agama

107 108
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
156
Ibid., hal. 47.

107 108
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

mereka, dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama


Muhammad SAW wafat, kepemimpinan dilanjutkan
mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih
oleh empat khalifah pertama yang biasa dikenal dengan
tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip lakum
sebu- tan Khalifatu al-Rasyidin, yaitu Abubakar, Umar
diinu- kum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku
ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
agama- ku) yang menggunakan perkataan “aku” atau
Pada masa Khalifatu al-Rasyidin itu, pergantian
“kami” ver- sus “kamu”. Dalam piagam digunakan
kepemimpinan dilakukan melalui sistem pemilihan, bu-
perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi
kan dengan sistem keturunan sebagaimana berlaku di
kalangan mukminin dalam jarak yang sama dengan
seluruh dunia dan di sepanjang sejarah umat manusia
Nabi. Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi
sebelumnya. Belum pernah ada preseden sebelumnya
ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya
dalam sejarah umat manusia, kepemimpinan suatu ne-
adalah:
gara ditentukan berdasarkan pemilihan seperti yang di-
“Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim
dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan
praktikkan pada masa sepeninggal Muhammad SAW
orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang sebagai pemimpin negara. Sayangnya, tradisi ini tidak
yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang diteruskan oleh khalifah seterusnya sebagai akibat ku-
yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda Muhammad deta berdarah atas Ali ibn Abi Thalib dan
Rasulul- lah SAW)..157 kepemimpinan diteruskan oleh dinasti Ummaiyah yang
kembali ke tradisi hubungan darah seperti yang berlaku
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah sebelumnya dan dimana-mana di seluruh dunia ketika
pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling itu.
penting selama abad-abad pertengahan yang memulai Namun demikian, meskipun sistem politik demok-
suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama di antara rasi konstitusional yang dibangun relatif sebentar,
kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara de- tetapi pengaruhnya sangat penting bagi perkembangan
ngan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk perada- ban umat manusia selanjutnya. Dunia Islam
yang tertulis. Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai telah men- catatkan diri sejak masa paling awal sebagai
konstitusi tetulis pertama dalam sejarah umat manusia, sumber in- spirasi bagi perkembangan demokrasi di
meskipun dalam pengertiannya sebagai konstitusi mo- kemudian hari. Prakarsanya untuk mengembangkan
dern yang dikenal dewasa ini, Konstitusi Amerika sistem pemilihan pemimpin secara demokratis dan
Serikat tahun 1787-lah yang pada umumnya dianggap penulisan piagam ber- sama sebagai dasar-dasar
sebagai konstitusi tertulis pertama. Peristiwa kesepakatan antar segenap warga negara yang beraneka
penandatangan Piagam Madinah itu dicatat oleh banyak ragam untuk hidup bersa- ma dalam satu wadah negara
ahli sebagai per- kembangan yang paling modern di yang kemudian dikenal luas sebagai konstitusi,
zamannya, sehingga mempengaruhi berbagai tradisi merupakan dua hal penting yang menjadi ciri pokok
kenegaraan yang ber- kembang di kawasan yang negara demokrasi konstitusional di zaman modern
dipengaruhi oleh peradaban Islam di kemudian hari. sekarang.
Bahkan pada masa setelah Nabi Sementara pada saat itu, peradaban bangsa Eropa
sendiri dihinggapi oleh masa-masa kegelapan.
Meskipun demikian, bangsa Eropa di kemudian hari
157
Ibid., hal. 57. juga tercatat mengembangkan hal-hal baru dalam

109 110
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
kehidupan kenega-

109 110
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

raan. Misalnya, di Eropa pada masa itu juga


dapat mengadakan perjanjian dengan golongan rakyat
berkembang suatu aliran yang disebut
monarchomachen, yaitu aliran yang membenci tertentu karena raja memerlukan uang dalam jumlah
kekuasaan raja yang mutlak. Untuk mencegah agar tertentu, dan sebagai imbalannya golongan rakyat ter-
jangan sampai raja tidak berbuat sewe- nang-wenang, tentu memperoleh hak kenegaraan atau wewenang
maka kaum monarchomachen ini meng- hendaki untuk menyelenggarakan kepentingannya sendiri dalam
diadakannya perjanjian antara raja dengan rak- yat wila- yah kerajaan. Semua perjanjian-perjanjian
dalam kedudukan yang sama tinggi dan sama ren- dah. tersebut dile- takkan dalam bentuk naskah yang ditulis.
Golongan yang terutama terdiri atas orang-orang Demikian pula dengan perjanjian yang melatar-
Calvinis ini menuntut pertanggungjawaban raja dan belakangi terbentuknya Amerika Serikat pada abad ke-
apa- bila perlu raja dapat saja dipecat dan bahkan 18. Para kolonis yang berasal dari Kerajaan Inggris, yang
dibunuh. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily karena perselisihan agama, mengungsi ke benua Ame-
Ibrahim, per- janjian itulah yang menghasilkan suatu rika. Sebagian besar kaum kolonis itu adalah golongan
naskah yang di- sebut Leges Fundamentalis. 158 Calvinis yang meyakini, menurut ajaran agama mereka,
Dalam Leges Fundamentalis ini ditetapkan bahwa masyarakat Kristen dibentuk berdasarkan
adanya hak dan kewajiban rakyat (Regnum) dan raja perjan- jian. Atas dasar itu mereka mendirikan negara
(Rex).159 Dari sini terus terlihat bahwa lambat laun
dan demikianlah ketika mereka masih berada dalam
dalam per- kembangannya di kemudian hari,
kapal Mayflower sebelum mendarat di benua Amerika,
perjanjian-perjanjian antara rakyat (Regnum) dan
pihak yang memerintah (Rex) mulai dinaskahkan mereka telah mengadakan perjanjian bersama untuk
seperti yang dilakukan dengan Piagam Madinah mendirikan negara. Perjanjian tersebut memang masih
tersebut di atas. Adapun tujuannya adalah untuk harus disah- kan oleh Kerajaan Inggris, tetapi setelah
memudahkan para pihak dalam menuntut haknya perjanjian ter- sebut disahkan oleh Kerajaan Inggris
masing-masing, serta mengingatkan mereka ke- pada maka selanjutnya kedudukannya lebih tinggi dari pada
kewajiban yang harus dilaksanakan. Di samping itu, undang-undang biasa.160
penting untuk dicatat bahwa dengan dituliskan se- cara Di lingkungan dunia Islam sendiri, meskipun
resmi dalam suatu naskah, orang tidak akan Piagam Madinah pada abad ke-7 disebut sebagai konsti-
melupakannya, karena semua orang dapat mengetahui- tusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia, kare-
nya dengan pasti dan terbuka. na terhentinya perkembangan peradaban umat Islam,
Sebagai contoh adalah perjanjian yang dilakukan di- lanjutkan oleh faktor penjajahan yang lama oleh
antara raja dengan para bangsawan di Inggris. Dalam bangsa- bangsa barat, tradisi konstitusionalisme yang
perjanjian itu ditetapkan bahwa raja dapat meminta telah tum- buh sebelumnya tidak mendapat kesempatan
ban- tuan para bangsawan jika terjadi perang, dan untuk ber- kembang lebih lanjut. Menurut Dr. Subhi R.
sebaliknya para bangsawan berhak mendapat Mahmas- sani, konstitusi tertulis pertama dalam
perlindungan dari raja jika perang dimenangkan oleh bentuk naskah
raja. Raja juga dianggap
160
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 64.
158
159
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 63-64.
Busroh, Op Cit., hal. 88.
111 112
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

undang-undang dasar baru terbentuk pada tahun 1839


di daerah tertentu, serikat buruh, organisasi-organisasi
di Turki Usmani. 161 Piagam konstitusi pertama itu diberi
kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi bisnis,
nama Khat Goulkhanah Syarif, dilanjutkan dengan pia-
perkumpulan sosial sampai ke organisasi tingkat dunia
gam konstitusi kedua pada tahun 1856 dengan nama
seperti misalnya Perkumpulan ASEAN, European Com-
Khat Humayun.
munities, World Trade Organization, Perserikatan Bang-
Kemudian pada tahun 1876 lahirlah Konstitusi
sa-Bangsa, dan sebagainya, semuanya membutuhkan
Usmani yang diberi nama al-Masyrutiyah al-Ula atau
do- kumen dasar yang disebut konstitusi. Kebutuhan
Undang-Undang Dasar Pertama. Al-Masyrutiyah al-
akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu
Ula ini pernah dibekukan pada tahun 1878 dan
yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk
kemudian di- berlakukan kembali pada tahun 1908
ba- dan hukum (legal body, rechtspersoon).
dengan nama al- Masyrutiyah al-Saniyah atau
Sebagai contoh, akhir-akhir ini di tengah wacana
Undang-Undang Dasar Kedua. Konstitusi dari masa
mengenai organisasi badan hukum di Indonesia,
Dinasti Usmani ini berakhir masa berlakunya dengan
muncul bentuk badan hukum baru yang dinamakan
lenyapnya kekhalifahan, yaitu dengan terbentuknya
Badan Hu- kum Milik Negara (BHMN) seperti misalnya
Konstitusi Turki yang diprakarsai oleh Kemal Ataturk
yang dikait- kan dengan status hukum perguruan tinggi
pada tahun 1924. 162 Di samping penggunaan istilah al-
negeri ter- tentu.164 Sebagai badan hukum, maka setiap
Masyrutiyah itu, untuk pengertian undang-undang
perguruan tinggi yang bersangkutan memerlukan
dasar itu di dunia Arab dewasa ini di- kenal pula adanya
dokumen Angga- ran Dasar tersendiri sebagai konstitusi
istilah al-Dustur dan istilah al-Qanun al-Asasi. Semua
seperti sebagai- mana halnya badan-badan hukum
istilah ini dipakai untuk menunjuk kepada pengertian
lainnya, seperti yaya- san atau stichting (Belanda) atau
undang-undang dasar sebagai konsti- tusi dalam arti
stiftung (Jerman), per- kumpulan (vereeniging),
tertulis.
organisasi kemasyarakatan, dan partai politik. Di dunia
5. Gagasan Modern: Terminologi Konstitusi usaha juga dikenal adanya bentuk badan hukum yang
berupa perusahaan, yaitu perseroan terbatas, koperasi
Menurut Brian Thompson, secara sederhana
atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan juga
perta- nyaan what is a constitution dapat dijawab
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Semua bentuk
bahwa “…a constitution is a document which contains
badan hukum usaha tersebut selalu memerlukan
the rules for the operation of an
Anggaran Dasar yang biasanya juga dilengkapi dengan
organization”.163Organisasi dimak- sud beragam bentuk
Anggaran Rumah Tangga. Anggaran Dasar badan
dan kompleksitas strukturnya, mu- lai dari organisasi
hukum itulah yang pada pokoknya dapat dikatakan
mahasiswa, perkumpulan masyarakat
berfungsi sebagai konstitusinya.
161
Subhi Rajab Mahmassani, Konsep Dasar Hak-Hak Asasi Manusia: Studi
Perbandingan dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, 164
Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Penetapan
terjemahan Hasanuddin dari Arkan al-Huquq al-Insan, cetakan-1, (Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia Sebagai Badan Hukum Milik Negara,
Tintamas,
162
1993), hal. 26-27. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2004 bertanggal 30
Ibid., hal. 27.
163
Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, Januari 2004 (LN Nomor 13 Tahun 2004). Cermati juga perkembangan dari
edisi ke-3, (London: Blackstone Press Ltd., 1997), hal. 3. RUU Badan Hukum Pendidikan yang sedang dibahas di parlemen.

113 114
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Demikian pula Negara, pada umumnya, selalu me- hubungan organ-organ negara itu dengan warga ne-
miliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Un- gara).
dang-Undang Dasar. Dalam pengertian modern, negara
pertama yang dapat dikatakan menyusun konstitusinya Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu
dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan,
Amerika Serikat (United States of America) pada tahun dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan)
1787. 165 Sejak itu, hampir semua negara menyusun yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ
naskah undang-undang dasarnya. Beberapa negara yang negara, mengatur hubungan antara organ-organ negara
dianggap sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara ter-
naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar yaitu sebut dengan warga negara.
Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. 166 Undang-Undang Da- Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan
sar di ketiga negara ini tidak pernah dibuat, tetapi sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri
tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktik pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi se-
ketatanegaraan.167 bagaimana mestinya. Constitutions, menurut Ivo D.
Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya Duchacek, adalah “identify the sources, purposes, uses
konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, and restraints of public power”169 (mengidentifikasikan
yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-pengguna-
Jackson sebagai: an, dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum).
“a body of laws, customs and conventions that define Oleh karena itu, pembatasan kekuasaan pada umumnya
the composition and powers of the organs of the State
dianggap merupakan corak umum materi konstitusi.
and that regulate the relations of the various State
organs to one another and to the private citizen”.168 Oleh sebab itu pula, konstitutionalisme, seperti dike-
(Suatu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan- mukakan oleh Friedrich, didefinisikan sebagai “an insti-
kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan tutionalised system of effective, regularised restraints
organ-organ negara dan yang mengatur hubungan- upon governmental action”.170Dalam pengertian demi-
hubungan di antara berbagai organ negara itu satu kian, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap
sama lain, serta konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan
atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.171
165
Hal tersebut terjadi kurang lebih 11 tahun sejak kemerdekaan Amerika
Serikat setelah dideklarasikannya pada tanggal 4 Juli 1776. Lihat juga Bagir
Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Ban- 169
Ivo D. Duchacek, “Constitution and Constitutionalism” dalam Bogdanor,
dung:
166
CV. Mandar Maju, 1995), hal. 2. Vernon (ed), Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science, (Oxford:
Sementara ini, beberapa sarjana ada juga yang berpendapat bahwa Arab
Saudi telah memiliki satu Konstitusi tertulis, yaitu naskah yang dibuat dan Blackwell,
170
1987), hal. 142.
Friedrich, C.J., Man and His Government, (New York: McGraw-Hill,
disandarkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadist. 1963), hal. 217.
167
Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson 171
Lihat dan bandingkan juga pendapat Padmo Wahjono mengenai pemba-
tentang Konstitusi Inggris, “In other words the British constitution was not
tasan kekuasaan dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indone-
made, rather it has grown”. Op. Cit., hal. 5.
168 sia Dewasa ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 10.
Phillips, Op. Cit., hal. 5.

115 116
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar


konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901), kon-
yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau
stitusi tertulis merupakan:
prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. “The instrument in which a constitution is embodied
Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, proceeds from a source different from that whence
maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. spring other laws, is regulated in a different way, and
Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordi-
raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu nary legislative authority but by some higher and spe-
konstitusi. Hal ini- lah yang disebut oleh para ahli cially empowered body. When any of its provisions
sebagai constituent power yang merupakan con- flict with the provisions of the ordinary law, it
kewenangan yang berada di luar dan se- kaligus di atas prevails and the ordinary law must give way”.173
sistem yang diaturnya.172 Untuk itu, di lingkungan
negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia
menentukan berlakunya suatu konstitusi. tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa,
Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi
rakyat kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di
misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan di dalamnya berten- tangan dengan norma hukum yang
Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak lang- terdapat dalam un- dang-undang, maka ketentuan
sung melalui lembaga perwakilan rakyat. Cara tidak undang-undang dasar itu- lah yang berlaku, sedangkan
langsung ini misalnya dilakukan di Amerika Serikat de- undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it
ngan cara menambahkan naskah perubahan Undang- prevails and the ordi- nary law must give way).
Undang Dasar secara terpisah dari naskah aslinya. Mes- Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian
kipun dalam pembukaan Konstitusi Amerika Serikat constituent power berkaitan dengan pengertian hierarki
(preamble) terdapat perkataan “We the people”, tetapi hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan
yang diterapkan sesungguhnya adalah sistem perwaki- hukum yang paling tinggi serta paling fundamental
lan, yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber
(special convention) dan kemudian disetujui oleh wakil- legitimasi atau lan- dasan otorisasi bentuk-bentuk
wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya.
yang didirikan bersama. Sesuai dengan prinsip hu- kum yang berlaku universal,
Dalam hubungan dengan pengertian constituent maka agar peraturan-pera- turan yang tingkatannya
power tersebut di atas, muncul pula pengertian consti- berada di bawah undang-un- dang dasar dapat berlaku
tuent act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap se- dan diberlakukan, peraturan- peraturan itu tidak boleh
bagai constituent act, bukan produk peraturan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Atas
legislative yang biasa (ordinary legislative act). dasar logika demikian, maka Mah- kamah Agung
Constituent power mendahului konstitusi, dan Amerika Serikat menganggap dirinya me- miliki
konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur kewenangan untuk menafsirkan dan menguji ma-
dan dibentuk berdasarkan

173
J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, Vol. 1, (Oxford:
172
Lihat misalnya Thompson, Op. Cit., hal. 5. Clarendon Press, 1901), hal. 151.
117 118
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

teri peraturan produk legislatif (judicial review) ter-


pernah dipakai istilah staatsregeling. Namun, atas pra-
hadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika
karsa Gijsbert Karel van Hogendorp pada tahun 1813,
tidak secara eksplisit memberikan kewenangan
istilah grondwet dipakai untuk menggantikan istilah
demikian kepada Mahkamah Agung (The Supreme
staatsregeling.177
Court).174 Dalam kamus Oxford Dictionary of Law, perkataan
constitution diartikan sebagai:
“the rules and practices that determine the composition
B. Arti dan Pengertian Konstitusi and functions of the organs of the central and local go-
Seperti dikemukakan di atas, istilah konstitusi itu vernment in a state and regulate the relationship bet-
ween individual and the state”.178
sendiri pada mulanya berasal dari perkataan bahasa
Latin, constitutio yang berkaitan dengan kata jus atau
Artinya, (i) yang dinamakan konstitusi itu tidak
ius yang berarti hukum atau prinsip.175 Di zaman
modern, bahasa yang biasa dijadikan sumber rujukan saja aturan yang tertulis, tetapi juga apa yang dipraktik-
kan dalam kegiatan penyelenggaraan negara; dan (ii)
mengenai istilah ini adalah Inggris, Jerman, Perancis,
yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ ne-
Italia, dan Belanda. 176 Untuk pengertian constitution
gara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat
dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan
pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah (local
antara constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa
government), tetapi juga mekanisme hubungan antara
Jerman membedakan antara verfassung dan
negara atau organ negara itu dengan warga negara.
gerundgesetz. Malah dibedakan pula antara
Namun demikian, dalam beberapa literatur hukum
gerundrecht dan gerundgesetz seperti antara
tata negara, arti konstitusi itu kadang-kadang dirumus-
grondrecht dan grondwet dalam bahasa Belanda.
kan sebagai perspektif mengenai konsepsi konstitusi
Demikian pula dalam bahasa Perancis dibedakan
yang dibedakan dari arti perkataan konstitusi itu
antara Droit Constitutionnel dan Loi Constitutionnel.
sendiri. Arti perkataan konstitusi itu sendiri telah
Istilah yang pertama identik dengan pengertian konsti-
diuraikan da- lam Bab II Buku ini, sehingga tidak perlu
tusi, sedang yang kedua adalah undang-undang dasar
diuraikan lagi dalam bab ini. Akan tetapi, yang akan
dalam arti yang tertuang dalam naskah tertulis. Untuk
diuraikan di sini adalah perspektif mengenai konsepsi
pengertian konstitusi dalam arti undang-undang dasar,
tentang konstitusi yang biasa disebut sebagai konstitusi
sebelum dipakainya istilah grondwet, di Belanda juga
dalam arti-arti ter- tentu. Dalam hubungan ini, menurut
Profesor Djokosoe- tono dalam kuliah-kuliah yang
174
Lihat kasus Marbury versus Madison (1803) 5-US, 1 Cranch, 137, dalam diberikannya pada tahun- tahun 1950-an, sebagaimana
Thompson, Op. Cit., hal. 5.
175 dihimpun oleh Profesor Ha- run Alrasid, ada tiga arti
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:
Konpres, 2005), hal. 1. yang dapat diberikan kepada
176
Bandingkan dengan pendapat Solly Lubis yang menyatakan bahwa istilah
konstitusi berasal dari perkataan Perancis constituer. Lihat Asas-Asas 177
Sri Soemantri Matosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konsti-
Hukum Tata Negara, cet-2, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 44. Sedangkan tusi, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 1-2 dan hal. 9-10.
178
Sri Soe- mantri Martosoewignjo menyatakan bahwa istilah konstitusi itu Oxford Dictionary of Law, Fifth Edition, (Oxford University Press,
berasal dari perkataan Inggris constitution, lihat Pengantar Perbandingan 2003), hal. 108.
Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 62.

119 120
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

konsepsi konstitusi. Ketiganya yaitu (i) Konstitusi dalam


atau mutualismus yang merupakan gejala kegotongro-
arti materiel (Constitutite in Materiele Zin), (ii) Kon-
yongan dalam bekerja saling tolong menolong antar
stitusi dalam arti formil (Constitutite in Formele Zin),
orang perorang dengan harapan di masa yang akan da-
dan (iii) Konstitusi dalam arti yang di dokumentasikan
tang akan mendapatkan balasan yang setimpal.
untuk kepentingan pembuktian dan kesatuan rujukan
Leon Duguit dikenal pula dengan pendapatnya
(Constitutite in gedocumenteerd voor bewijsbaar en
bahwa yang sesungguhnya berdaulat itu bukanlah hu-
stabiliteit).179
kum yang tercantum dalam bunyi teks undang-undang,
melainkan yang terjelma dalam sociale solidariteit (soli-
Pandangan beberapa sarjana mengenai konstitusi
darite sociale). Dalam hubungan ini, Hans Kelsen me-
dapat dikatakan berlainan satu sama lain. Beberapa
nyatakan:
con- toh di antaranya dapat dikemukakan di bawah ini. “Consequently, any act or fact the result of which is
positive law – be it legislation or custom – is not true
1. Leon Duguit (Traite de Droit Constitutionnel) creation of law but a declaratory statement (consta-
Leon Duguit adalah seorang sarjana Perancis yang tation) or mere evidence of the rule of law previously
terkenal luas karya-karyanya di bidang sosiologi hukum. created by social solidarity”181.
Dalam bukunya “Traite de Droit Constitutionnel”, Du-
guit memandang negara dari fungsi sosialnya (der leer Doktrin inilah yang kemudian mempengaruhi
van de sociale functie). Pemikiran yang dikembang- perumusan Pasal 38 Statuta Permanent Court of Inter-
kannya dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh aliran national Justice yang memberikan wewenang kepada
sosiologi yang diprakarsai oleh Auguste Comte, sehingga pe- ngadilan untuk menerapkan customary
perspektif yang dibangunnya dalam memahami hukum international law. Pasal 38 itu antara lain menyatakan,
tata negara sangat sosiologis sifatnya (rechts-sociolo- “The Court shall apply international custom, as
gisch beschowing). Baginya, hukum merupakan penjel- evidence of a ge-
maan de facto dari ikatan solidaritas sosial yang nyata. neral practice accepted as law”. 182 Pengadilan mem-
Seperti dikemukakan oleh Hans Kelsen, bagi Leon berlakukan kebiasaan internasional sebagai alat bukti
Duguit dan pengikutnya, “the true, i.e. the ‘objective’ hukum karena alasan sudah menjadi praktik yang ber-
law (droit objectif) is implied by the social solidarity”. laku umum.
180
Solidariteit atau solidarite sociale itu sendiri Oleh karena itu, menurut pendapatnya, yang sung-
menurut- nya, mencakup pengertian (i) onderling guh-sungguh harus ditaati justru adalah droit sociale
hulpbetoon atau solidarismus yang merupakan gejala atau sociale recht itu, bukan undang-undang yang hanya
kegotongroyongan dalam bekerja untuk kepentingan mencerminkan sekelompok orang yang kuat dan ber-
umum tanpa meng- harapkan imbal jasa, dan (ii) kuasa, yang cenderung menguasai dan bahkan menjajah
wederkerige hulpbetoon orang-orang yang lemah dan tidak berkuasa. Oleh
karena itu, tugas legislator bukanlah membentuk
undang-un-

179
Djokosoetono, Op. Cit.
180
Leon Duguit, L’Etat, Le Droit Objectif et la Loi Positive (1901), hal. 616, 181
Ibid.
dalam Kelsen, Op. Cit., hal. 127. 182
Ibid.
121 122
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dang dalam arti yang sesungguhnya, melainkan hanya


tingnya pengertian juridis mengenai konstitusi. Di sam-
menemukan dan menetapkan norma-norma hukum (le-
ping sebagai cermin hubungan antar aneka kekuatan
gal norms) yang sebelumnya memang sudah ada dan
politik yang nyata dalam masyarakat (de reele machts-
hidup (living norms) dalam kehidupan masyarakat. De-
factoren), konstitusi itu pada pokoknya adalah apa yang
ngan demikian, konstitusi bukanlah sekedar memuat
tertulis di atas kertas undang-undang dasar mengenai
norma-norma dasar tentang struktur negara, tetapi bah-
lembaga-lembaga negara, prinsip-prinsip, dan sendi-sen-
wa struktur negara yang diatur dalam konstitusi itu me-
di dasar pemerintahan negara.
mang sungguh-sungguh terdapat dalam kenyataan
hidup masyarakat sebagai de reele machtsfactoren atau 4. Pandangan Hermann Heller (Staatslehre)
faktor- faktor kekuatan riel yang hidup dalam
Dalam bukunya “Staatsrecht”, Profesor Hermann
masyarakat yang bersangkutan.183 Heller dikenal mengembangkan metode mendapatkan
pengetahuan yang dinamakan methode van kennis
3. Ferdinand Lasalle (Uber Verfassungswessen)
verk- rijging. Di dalam bukunya ini, Hermann Heller
Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya
menge- mukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu:
“Uber Verfassungswessen” (1862), membagi konstitusi
(i) Die politische verfassung als gesellschaftlich
dalam dua pengertian, yaitu:184
wirk- lichkeit. Konstitusi dilihat dalam arti politis
(i) Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau dan so- siologis sebagai cermin kehidupan sosial-
politische begrip). Konstitusi dilihat sebagai sin- politik yang nyata dalam masyarakat;
tesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang (ii) Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi
nyata dalam masyarakat (de reele dilihat dalam arti juridis sebagai suatu kesatuan
machtsfactoren), yaitu misalnya raja, parlemen, kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat;
kabinet, kelompok- kelompok penekan (preassure (iii) Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang ter-
groups), partai poli- tik, dan sebagainya. Dinamika tulis dalam suatu naskah undang-undang dasar se-
hubungan di antara kekuatan-kekuatan politik bagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam
yang nyata itulah sebe- narnya apa yang dipahami suatu negara.
sebagai konstitusi;
(ii) Pengertian juridis (juridische begrip). Konstitusi Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar
dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat yang tertulis dalam satu naskah yang bersifat politis,
ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah
sendi-sendi pemerintahan negara. merupa- kan salah satu bentuk atau sebagian saja dari
pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu konstitusi
Ferdinand Lasalle ini sangat dipengaruhi oleh ali- yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di
ran pikiran kodifikasi, sehingga sangat menekankan samping konstitu- si yang tertulis itu, segala nilai-nilai
pen- normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas,
juga termasuk ke da- lam pengertian konstitusi yang
183
Djokosoetono, Op. Cit. Lihat juga Busroh, Op Cit., hal. 96. luas itu. Oleh karena itu pula, dalam bukunya
184
Herman Heller, Staatlehre, herausgegeben von Gerhart Niemeyer, “Verfassungslehre”, Hermann
(Leiden: A.W: Sijthoff)

123 124
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Heller membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan,


gaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran
yaitu:
kodifikasi. Di samping undang-undang dasar yang tertu-
1) Konstitusi dalam pengertian Sosial-Politik. Pada
lis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup da-
ting- kat pertama ini, konstitusi tumbuh dalam
lam kesadaran hukum masyarakat.
pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional
dikembangkan karena memang mencerminkan
5. Pandangan Carl Schmitt (Verfassungslehre)
keadaan sosial poli- tik dalam masyarakat yang
Menurut Carl Schmitt, dalam bukunya, “Verfas-
bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap
sungslehre”, konstitusi dapat dipahami dalam 4 (empat)
ini dapat digambarkan se- bagai kesepakatan-
kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam kelompok pengertian. Keempat kelompok pengertian itu
bentuk hukum tertentu, melainkan tercerminkan adalah: (a) konstitusi dalam arti absolut (absoluter ver-
dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif fassungsbegriff), (b) konstitusi dalam arti relatif (relati-
warga masyarakat; ver verfassungsbegriff), (c) konstitusi dalam arti positif
2) Konstitusi dalam pengertian Hukum. Pada tahap ke- (der positive verfassungsbegriff), dan (d) konstitusi da-
dua ini, konstitusi sudah diberi bentuk hukum ter- lam arti ideal (idealbegriff der verfassung).185
tentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut Keempat kelompok pengertian tersebut dapat di-
pemberlakuan yang dapat dipaksakan. Konstitusi rinci lagi menjadi 8 (delapan) pengertian, yaitu (1) Kon-
da- lam pengertian sosial-politik yang dilihat sebagai stitusi dalam arti absolut (Absolute Verfassungsbegriff).
ke- nyataan tersebut di atas, dianggap harus berlaku Dalam arti absolute, arti konstitusi dapat dibedakan
da- lam kenyataan. Oleh karena itu, setiap dalam 4 (empat) macam, yaitu: (i) konstitusi sebagai
pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai cer- min dari de reaale machtsfactoren, (ii) Konstitusi
ancaman sanksi yang pasti; dalam arti absolut sebagai forma-formarum (vorm der
3) Konstitusi dalam pengertian Peraturan Tertulis. Pe- vor- men), (iii) konstitusi dalam arti absolut sebagai
ngertian yang terakhir ini merupakan tahap terakhir factor integratie, (iv) konstitusi dalam arti absolut
atau yang tertinggi dalam perkembangan pengertian sebagai norma-normarum (norm der normen); (2)
rechtsverfassung yang muncul sebagai akibat
Konstitusi dalam arti relatif (Relatieve
penga- ruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar
Verfassungsbegriff) yang dapat dibagi lagi menjadi 2
berba- gai norma hukum dapat dituliskan dalam
(dua), yaitu (v) konstitusi dalam arti materiel
naskah yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk
maksud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi (Constitutite in Materiele Zin) dan
hukum (rechtseineheid), kesederhanaan hukum (vi) konstitusi dalam arti formil (Constitutite in Formele
(rechtsve- reenvoudiging), dan kepastian hukum Zin); Sedangkan dua arti yang terakhir adalah (3)
(rechtszeker- heid). Konsti-

Namun, menurut Hermann Heller, konstitusi tidak 185


Mengenai hal ini baca selengkapnya himpunan perkuliahan Profesor
dapat dipersempit maknanya hanya sebagai undang-un- Djokosoetono, Op Cit. Lihat juga Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit.; Busroh,
dang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis seba- Op. Cit.; Ismail Suny, Padmo Wahyono, Sri Soemantri, dan penulis lainnya
yang mengikuti kuliah-kuliah Profesor Djokosoetono ataupun cucu-cucu
muridnya.

125 126
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tusi dalam arti positif (Positieve Verfassungsbegriff)


mencakup semua bangunan hukum dan semua organi-
sebagai konstitusi dalam arti yang ke-7, dan (vii) kon- sasi-organisasi yang ada di dalam negara. 187
stitusi dalam arti ideal (Idealbegriff der verfassung) se- 2) Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas-
bagai konstitusi dalam arti yang ke-8 (viii). sungsbegriff) sebagai forma-formarum (vorm der
Kedelapan arti konstitusi menurut Profesor Carl vormen)
Schmitt tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: Konstitusi pada pokoknya dapat dilihat sebagai
1) Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas- vorm atau bentuk dalam arti ia mengandung ide tentang
sungsbegriff) sebagai cermin dari de reele machts- bentuk negara, yaitu bentuk yang melahirkan bentuk
factoren lainnya atau vorm der vormen, forma-formarum. Ben-
Konstitusi pada pokoknya dapat dipahami sebagai tuk negara yang dimaksud di sini adalah negara dalam
sekumpulan norma-norma hukum dasar yang terbentuk arti keseluruhannya (sein ganzheit), yang dapat berben-
dari pengaruh-pengaruh antar berbagai faktor tuk demokrasi yang bersendikan identitas atau berben-
kekuasaan yang nyata (de reele machtsfactoren) dalam tuk monarki yang bersendikan representasi. Dalam kai-
suatu ne- gara. Berbagai faktor kekuasaan yang nyata itu tan ini, ada 3 (tiga) asas (staatsprincipe) yang dapat di-
adalah raja, pemerintah/kabinet, parlemen, partai-partai tarik dari pengertian demikian, yaitu (i) principe van de
politik, kelompok penekan (pressure groups) atau staatsvorm, asas dari bentuk negara; (ii) principe van
kelompok kepentingan, pers, lembaga peradilan, en uit de staatsvorm, yaitu asas dari atau yang timbul
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi dari bentuk negara; dan (iii) regeringsprincipe atau
kekuasaan negara lain- nya, dan semua organisasi yang asas pemerintahan.
ada dalam negara yang bersangkutan. Asas bentuk negara (principe van staatsvorm)
Dengan perkataan lain, semua kekuatan politik mencakup prinsip kesamaan atau identiteit dan repre-
yang ada dalam negara itu secara nyata mempengaruhi sentatie. Identiteit merupakan asas-asas yang berhu-
terbentuknya norma-norma dasar yang kemudian ter- bungan dengan bentuk demokrasi, di mana bagi rakyat
susun menjadi apa yang disebut sebagai konstitusi itu. yang memerintah dan yang diperintah berlaku prinsip
Oleh karena itu, seperti dalam pandangan Ferdinand persamaan identitas atau identik satu sama lain. Se-
Lassalle, 186 konstitusi itu menggambarkan hubungan-
hubungan antar faktor-faktor kekuasaan yang nyata (de 187
Carl Schmitt, Verfassungslehre, (Berlin unverandester neudruk: Duncker
riele machts factoren) dalam dinamika kehidupan ber- & Humbolt, 1957), hal. 4. Vervassung ist der konkrete Gesamtzustand poli-
negara. Di dalam pengertian pertama ini, konstitusi di- tischer Einheit und sozialer Ordnung eines bestimmmten Staats. Zu jedem
anggap sebagai kesatuan organisasi yang nyata yang Staat gehoren politische Einheit und soziale Ordnung, irgendwelche Prin-
zipien der Einheit und Ordnung, irgendiene im kritischen Falle bei interes-
seb und Machtkonflikten maszgebende Entscheuidungsintanz. Diesen
Gesamtzustand politischer Einheit und sozialer Ordnung kann man Ver-
fassung nennen. Der Staat wurde aufhoren zu existieren, wenn diese Verfas-
186
Lihat dan bandingkan lebih lanjut pandangan dari Ferdinand Lassalle sung, d.h. diese Einheit and Ordnung aufhorte. Diese Verfassung ist eine
dalam Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Azas-Azas Hukum Tata “Seele”, sein konkretes heben und seine individuelle Existenz. Lihat juga
Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), hal. 73. Georg Jellinek, Allgemeine Staatslehre, hal. 491, menyebutkan: “die Ver-
fassung Als eine Ordnung, der gemasz der staatliche Wille sich bildet”.

127 128
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dangkan, representatie atau perwakilan merupakan asas


theory), integrasi itu sendiri dapat dibedakan ke dalam
yang berhubungan dengan prinsip bahwa yang me-
tiga macam, yaitu (i) persoonlijke integratie, (ii) zake-
merintah dipandang sebagai wakil dari rakyat (repre-
lijke integratie, dan (iii) functioneele integratie. Per-
sentant van het volk).
soonlijke integratie mengandaikan jabatan kepemim-
Mengapa dalam demokrasi terdapat sendi identi-
pinan sebagai faktor integrasi, misalnya, presiden.
tas dan dalam monarki terdapat sendi representasi?
Sedangkan dalam zakelijke integratie, yang menjadi
Demokrasi, baik langsung maupun tidak langsung, ber-
fak- tor penentu adalah hal-hal yang objektif dan
sendi pada rakyat yang memerintah dirinya sendiri, se-
zakelijk, bukan yang bersifat subjektif atau persoonlijk.
hingga antara yang memerintah dan yang diperintah
Misalnya, dikatakan bahwa bangsa Indonesia
bersifat identik yaitu sama-sama rakyat. Dalam mo-
dipersatukan di ba- wah satu kesatuan sistem konstitusi
narki, asas yang dipakai adalah representasi karena
berdasarkan UUD 1945, sesuai dengan prinsip the rule
baik raja maupun kepala negara dalam negara yang
of law, and not of man. Bangsa Indonesia juga
demok- ratis hanya merupakan wakil atau mandataris
dipersatukan sebagai bang- sa oleh satu bahasa
dari rak- yat, karena pada dasarnya kekuasaan itu ada
persatuan atau bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.
pada rak- yat dan berasal dari rakyat.188
Sementara itu, integrasi fungsional (functioneele
Sementara itu, asas dari atau yang timbul dari ben-
integratie) adalah faktor integrasi yang bersifat
tuk negara (principe van en uit de staatsvorm) menca-
fungsional, baik dalam arti yang konkrit atau dalam arti
kup asas-asas dari bentuk negara (principe van de
yang abstrak.
staatsvorm) dan asas atau sendi-sendi dasar tertib ne- Dalam arti fungsional yang konkrit, misalnya, in-
gara (principe uit de staatsvorm). Menurut Carl tegrasi melalui pemilihan umum (pemilu) atau referen-
Schmitt, para sarjana klasik dan modern seperti dum yang mempersatukan perhatian segenap warga ne-
tercermin dalam pandangan Arsitoteles dan Hans gara ke arah satu tujuan, yaitu menentukan pilihan po-
Kelsen, sama-sama me- mandang pentingnya prinsip litik mengenai siapa yang akan ditetapkan duduk men-
kebebasan (vrijheid, free- dom) dan persamaan jadi wakil rakyat atau pejabat publik tertentu. Sedang-
(gelijkheid, equality) sebagai san- daran bagi sistem kan, integrasi yang bersifat abstrak dan simbolis, misal-
demokrasi modern. nya, adalah bendera dan lambang garuda Pancasila yang
3) Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas- dapat pula berfungsi sebagai faktor integrasi fungsional
sungsbegriff) sebagai factor integratie (functioneele integratie).
Menurut Rudolf Smend, konstitusi juga dapat dili- 4) Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas-
hat sebagai faktor integrasi. Secara teoritis (integration sungsbegriff) sebagai norma-normarum (norm der
normen)
188
Carl Schmitt, Op. Cit, hal. 4-5, "Vervassung ist eine besondere Art poli- Dengan mendasarkan diri pada teori stuffenbau
ticher und sozialer Ordnung Verfassung bedentet hier diekonkrete Art der des rechts yang dikembangkan oleh Hans Kelsen, Carl
Uber und Unterordnung, wiel cs in der sozialer Wirklichkeit keine Ordnung
ohne Uber und Unterordnung gibt. Hier ist Verfassung die besondere Form Schmitt menyatakan bahwa norma dasar (gerund
der Herrschaft, die zu jedem Staat gehort und von seiner pilitschen Ex~sl mz norm) adalah norma yang menjadi dasar bagi terbentuk
nicht zu trennen ist, Z.B. Monarchie, Aristokratie oder Demokratie, oder wie dan berlakunya norma hukum lainnya. Suatu norma
man die Staatformen ein teilen will" Verfassung is hier ist Staatsform. berlaku karena didasarkan atas norma yang lebih tinggi,
dan

129 130
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

demikian seterusnya sampai ke norma yang paling


tinggi yaitu gerund norm. Oleh karena itu, setiap norma
6) Konstitusi dalam Arti Relatif (Relatieve
diben- tuk oleh norma yang lebih tinggi, norma-
Verfassungs- begriff) sebagai konstitusi dalam Arti
normarum atau norm der normen. Berhubung dengan
Formil (Consti- tutie in Formele Zin)
itu, norma dasar yang tertinggi berfungsi sebagai
Mengingat adanya konstitusi dalam arti formil
ursprung atau tempat asal mulanya norma diturunkan,
(constitutie in formele zin), maka dapat diajukan per-
sehingga gerund norm itu disebut juga dengan
ursprungsnorm atau norma asal. Di pihak lain, gerund tanyaan apakah yang dimaksud dengan konstitusi
norm itu sendiri pada pokoknya juga merupakan dalam arti materiil (constitutie in materiele zin)?
bentukan normatif yang bersifat hipo- tesis. Untuk itu, Konstitusi dalam arti materiil adalah konstitusi yang
gerund norm biasa disebut juga dengan hypothetisch dilihat dari segi isinya. Isi konstitusi itu menyangkut
norm. hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan
5) Konstitusi dalam Arti Relatif (Relatieve negara. Karena pentingnya hal-hal yang bersifat dasar
Verfassungs- begriff) sebagai konstitusi dalam Arti atau pokok bagi rakyat dan negara tersebut, maka untuk
Materiel (Con- stitutite in Materiele Zin) membuat kon- stitusi itu diperlukan prosedur yang
Konstitusi dalam arti relatif dimaksudkan sebagai khusus. Prosedur khusus itu dapat dilakukan sepihak,
konstitusi yang terkait dengan kepentingan golongan- dua pihak, atau banyak pihak. Prosedur itu dilakukan
golongan tertentu dalam masyarakat (proces relative- sepihak karena ia merupakan kehendak dari satu orang
ring).189 Golongan dimaksud terutama adalah golongan yang menamakan dirinya eksponen dari rakyat atau
borjuis liberal yang menghendaki adanya jaminan su- seorang diktator. Bisa juga dilakukan oleh dua pihak
paya hak-haknya tidak dilanggar oleh penguasa. Jami- karena Konstitusi me- rupakan hasil persetujuan dari
nan itu diletakkan dalam Undang-Undang Dasar yang dua golongan dalam masyarakat yaitu misalnya antara
ditulis sehingga orang tidak mudah melupakannya dan rakyat di satu pihak dan Raja di lain pihak pada zaman
juga tidak mudah hilang serta dapat dijadikan alat bukti abad pertengahan. Sedangkan, bisa banyak pihak
(bewijsbaar) apabila seseorang memerlukannya. Dalam dikarenakan Konstitusi itu merupakan hasil
arti yang kedua ini, konstitusi dapat pula dibagi lagi ke persetujuan dari banyak pihak yaitu antara wakil-wakil
dalam dua sub pengertian yakni (i) konstitusi sebagai rakyat yang duduk dalam suatu badan yang bertugas
tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak-haknya membuat Konstitusi (badan Konstitusi).
dijamin tidak dilanggar oleh penguasa, dan (ii) Hasil dari persetujuan atau perjanjian itu di-
konstitusi dalam arti formil atau konstitusi yang letakkan dalam suatu naskah tertulis. Di sinilah muncul
tertulis. pengertian yang sama antara konstitusi dalam arti
formil (constitutite in formele zin) dan konstitusi dalam
189
arti tertulis (gedocumenteerd constitutie). Padahal, ke-
Ibid., hal. 11. “Die Relatieverung des Verfassungsbegrieffes besteht
hochster und letzter Normen bedaulen (Verfassung ist Norm der Normen). duanya berbeda satu dengan yang lain, karena
darin, dasz statt der einheitlichen Verfassung in Ganzen nur das einzefne konstitusi dalam arti formil (constitutie in materiele
Verfassungsgestz, der Begriff des Verfassungs geselzes aber nach ausz zin) itu pada
Emlichen und nebensachlichen, sog formalen Kenn-Zeichen bestimmt
wird.”
131 132
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

pokoknya tidak selalu dalam bentuk yang tertulis.


menter.
Dalam pengertian konstitusi dalam arti formil, yang Dalam hubungannya dengan Konstitusi pada arti
terpenting adalah prosedur pembentukan konstitusi positif atau the positive meaning of the constitution,
yang harus dilakukan secara khusus. Kekhususan maka ajaran Profesor Carl Schmitt ini dapat pula di-
konstitusi me- rupakan keniscayaan, karena isi terapkan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di
konstitusi itu sendiri diakui sangatlah penting dan Indonesia. Misalnya, kita dapat mengajukan pertanyaan
mendasar, yaitu berkenaan dengan perikehidupan apakah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 itu
bernegara yang menyangkut nasib seluruh rakyat. Oleh merupakan konstitusi dalam arti positif atau bukan?
karena itu, cara membentuk, mengubah, dan mengganti Dikarenakan pembuatan Undang-Undang Dasar 1945
konstitusi haruslah diten- tukan secara istimewa pula. hanya merupakan salah satu di antara keputusan-kepu-
7) Konstitusi dalam Arti Positif (Positieve Verfassungs- tusan politik yang tinggi, maka ia belum merupakan
begriff) Konstitusi dalam arti positif. Proklamasi Kemerdekaan
Selain yang diuraikan di atas, Carl Scmitt juga me- pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu Konstitusi
nyebut adanya pengertian konstitusi dalam arti positif dalam arti positif, karena ia merupakan satu-satunya
(positieve verfassungsbegriff) 190 yang dihubungkannya keputusan politik yang tertinggi yang dilakukan oleh
bangsa Indonesia yang merubah dari suatu bangsa yang
dengan ajaran mengenai dezisionismus atau teori ten-
dijajah menjadi bangsa yang merdeka. Undang-Undang
tang keputusan. Dalam pandangan Carl Schmitt, Konsti-
Dasar 1945 dilahirkan sesudah proklamasi
tusi dalam arti positif tersebut mengandung pengertian kemerdekaan, sebagai tindak lanjut dari proklamasi
sebagai produk keputusan politik yang tertinggi, 191 yang kemerdekaan itu.
dihubungkannya dengan terbentuknya Undang-Undang 8) Konstitusi dalam Arti Ideal (Idealbegriff der verfas-
Dasar Weimar pada tahun 1919. Undang-Undang Dasar sung)
Weimar itu sangat menentukan nasib rakyat seluruh Konstitusi dalam arti yang terakhir ini disebut oleh
Jerman, karena Undang-Undang Dasar itu Carl Schmitt sebagai konstitusi dalam arti ideal (ideal-
menimbulkan perubahan yang sangat mendasar
begriff der verfassung) atau ideal meaning of the
terhadap struktur pe- merintahan yang lama ke stelsel
pemerintahan yang ba- ru. Sistem pemerintahan lama consti- tution.192 Disebut ideal karena konstitusi itu
yang didasarkan atas stel- sel monarki di mana Raja dilihat se- bagai sesuatu yang diimpikan atau diidamkan
memegang kekuasaan yang sangat kuat dan sentral oleh kaum borjuis liberal seperti tersebut di atas
diubah oleh Konstitusi Weimar itu menjadi suatu sebagai jaminan
pemerintahan dengan sistem parle-
192
Ibid., hal. 36 dst. “Idealbegriff der Verfassung (in einem auszeichnenden
Sinne, wegen eines bestimmten Inhaltes sogenannte ‘Verfassung’) Ins-
190
Ibid., hal. 20. “Die Verfassung als Gesamt-Entscheidung uber Art und besondere hal das Liberale Burgertum in seinem Kampl gegen die absolute
Vorm
191
der politischen Einheit”. Monarchie einem bestimmten idealbegriff von Verfassung angsgestellt und
Bandingkan dengan Ismail Saleh, Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum,
ihn mit dem Begriff der Verfassung schiechin dentifizirt. Man sprach also
(Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1988).
nur dan non ‘Verfassung’, wenn die Forderungen burgerlibber Freiheit
erfullt und dem Burgertum ein maszgebender pplitischer Ein flusz geilichert
was”.
133 134
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

bagi rakyat agar hak-hak asasinya dilindungi.


Jika antara norma yang terdapat dalam konsititusi
Pandangan ideal tentang konstitusi tersebut dapat yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima,
dikatakan lahir sesudah terjadinya Revolusi Perancis, di dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya,
mana ketika itu yang menjadi tuntutan golongan maka konstitusi itu dinamakan sebagai konstitusi yang
revolusioner Perancis adalah agar pihak penguasa tidak mempunyai nilai normatif. Kalaupun tidak seluruh isi
melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap konstitusi itu demikian, akan tetapi setidak-tidaknya
norma-norma tertentu yang terdapat di dalam
rakyat. konstitusi itu apabila memang sungguh-sungguh ditaati
dan berja- lan sebagaimana mestinya dalam kenyataan,
C. Nilai dan Sifat Konstitusi maka norma-norma konstitusi dimaksud dapat
1. Nilai Konstitusi dikatakan ber- laku sebagai konstitusi dalam arti
Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai normatif.
(values) sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar,
norma- norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam
praktik. Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai
dalam bukunya “Reflection on the Value of referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan
Constitutions” mem- bedakan 3 (tiga) macam nilai atau dalam pe- nyelenggaraan kegiatan bernegara, maka
the values of the con- stitution, yaitu (i) normative konstitusi ter- sebut dapat dikatakan sebagai konstitusi
value; (ii) nominal value; dan (iii) semantical value. yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya
Jika berbicara mengenai nilai konstitusi, para sarjana keseluruhan bagian atau isi undang-undang dasar itu
hukum kita selalu mengutip pen- dapat Karl memang tidak dipakai dalam praktik, maka keseluruhan
Loewenstein mengenai tiga nilai normatif, nominal, dan undang- undang dasar itu dapat disebut bernilai
semantik ini.193 nominal. Misal- nya, norma dasar yang terdapat dalam
Menurut pandangan Karl Loewenstein, dalam se- konstitusi yang tertulis (schreven constitutie)
tiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu menentukan A, akan tetapi konstitusi yang dipraktikkan
sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis
praktik. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam kon- secara expressis verbis dalam konstitusi sama sekali
stitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das hanya bernilai nominal saja. Dapat pula terjadi bahwa
sollen yang tidak selalu identik dengan das sein atau yang dipraktikkan itu hanya sebagian saja dari
keadaan nyatanya di lapangan. ketentuan undang-undang dasar, sedangkan sebagian
lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, se- hingga
193
Lihat misalnya, Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal.4; Moh. Kusnardi dan dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya
Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1994), hal. sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya ber- nilai
156-157; I. Nyoman Dekker, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Suatu nominal sebagai norma-norma hukum di atas kertas
Pengantar, (Malang: IKIP Malang, 1993), hal. 12; R.G. Kartasapoetra,
Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 21-22; “mati”.
Demikian pula hal ini dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Prof. Isma’il Suny, Sedangkan konstitusi yang bernilai semantik
Prof. Sri Soemantri, Prof. Padmo Wahyono, Prof. Abu Daud Busroh, Prof. adalah konstitusi yang norma-norma yang terkandung
Solly Lubis, dan sebagainya. di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah

135 136
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
dan

135 136
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu keta-


dunia berkembang anggapan bahwa setiap peraturan,
tanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekali-
di- karenakan pentingnya maka harus ditulis, dan
gus sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pi-
demikian pula dengan konstitusi. Di zaman modern
dato, norma-norma konstitusi itu selalu dikutip dan
sekarang ini, dapat dikatakan bangsa Amerika
dija- dikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi
Serikatlah yang per- tama menuliskan konstitusi dalam
ke- bijakan itu sama sekali tidak sungguh-sungguh
satu naskah, meski- pun leluhur mereka di Inggris tidak
melaksa- nakan isi amanat norma yang dikutip itu.
mengenal naskah konstitusi yang tertulis dalam satu
Kebiasaan se- perti ini lazim terjadi di banyak negara,
naskah.
terutama jika di negara yang bersangkutan tersebut
Oleh karena itu, dalam bahasa Inggris dan Ame-
tidak tersedia meka- nisme untuk menilai
rika, tidak tersedia kata yang tepat untuk
konstitusionalitas kebijakan-kebi- jakan kenegaraan
menggambar- kan perbedaan antara konstitusi dan
(state’s policies) yang mungkin me- nyimpang dari
undang-undang dasar sebagaimana perbedaan antara
amanat undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam
praktik ketatanegaraan, baik bagian- bagian tertentu kedua pengertian ini dalam bahasa Jerman, Perancis,
ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu, Belanda, dan nega- ra-negara Eropa Kontinental
dapat bernilai semantik saja. lainnya. Dalam bahasa Jerman jelas dibedakan antara
Sementara itu, pengertian-pengertian mengenai verfassung dan gerund- gesetz, atau dalam bahasa
sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan pembahasan Belanda antara constitutie dan grondwet.
tentang sifat-sifatnya yang lentur (fleksibel) atau kaku Untuk memahami perbedaan mengenai kedua
(rigid), tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang for- pengertian konstitusi dan undang-undang dasar itu,
mil atau materiil. Mengenai sifat-sifat konstitusi ter- kita dapat menggunakan antara lain pandangan Her-
sebut, dapat diuraikan sebagai berikut. mann Heller sebagai rujukan. Dari pandangan Her-
mann Heller ini jelas tergambar bahwa konstitusi itu
2. Konstitusi Formil dan Materiil memang mempunyai arti yang lebih luas dari pada
Konstitusi, constitution (Amerika Serikat), atau undang-undang dasar. Herman Heller membagi
verfassung (Jerman), dibedakan dari undang-undang konsti- tusi itu dalam tiga fase pengertian, yaitu:194
dasar atau grundgesetz (Jerman) ataupun grondwet 1) Pada mulanya, apa yang dipahami sebagai konsti-
(Be- landa). Dikarenakan kesalahpahaman dalam cara tusi itu mencerminkan kehidupan politik di dalam
pan- dangan banyak orang mengenai konstitusi, maka masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische
penger- tian konstitusi itu sering diidentikkan dengan verfassung als gesellschaftliche wirklichkeit) dan
pengertian undang-undang dasar. Kesalahan ini
ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum
disebabkan antara lain oleh pengaruh paham kodifikasi
yang menghendaki semua peraturan hukum dibuat (ein rechtsverfassung). Dengan perkataan lain,
dalam bentuk yang ter- tulis (written document) dengan Konsti- tusi itu masih merupakan pengertian
maksud untuk men- capai kesatuan hukum (unifikasi sosiologis atau politis dan belum merupakan
hukum), kesederhanaan pengertian hukum.
hukum, dan kepastian hukum (rechtszekerheid). Begitu
besar pengaruh paham kodifikasi ini, maka di seluruh 194
Heller, Op. Cit., hal. 249 dst.

137 138
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

2) Setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari


pakan peraturan yang bersifat mendasar atau funda-
konstitusi yang hidup di dalam masyarakat itu un- mental. Artinya, tidak semua masalah yang penting ha-
tuk dijadikan satu kesatuan kaidah hukum, barulah rus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal yang
konstitusi itu disebut sebagai rechtverfassung (die bersifat pokok, dasar, atau asas-asasnya saja. Menurut
verselbstandigte rechtsverfassung), yaitu konstitusi paham kodifikasi, semua masalah yang penting harus
dalam arti hukum. dimuat dalam undang-undang dasar. Namun kemudian
3) Kemudian muncul pula kebutuhan untuk menulis- disadari bahwa tidak semua hal yang penting
kan konstitusi itu dalam satu naskah tertentu se- merupakan hal yang bersifat pokok atau mendasar,
hingga orang mulai menulisnya dalam suatu sehingga tidak mungkin seluruh hal yang dianggap
penting harus ditulis dalam naskah undang-undang
naskah tertulis sebagai undang-undang yang
dasar. Selain dikarenakan sifat hukum itu sendiri selalu
tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.195
berubah sesuai dengan tun- tutan perkembangan
zaman, isi undang-undang dasar itu hanya meliputi hal-
Dengan demikian, apabila pengertian undang-un- hal yang bersifat garis besar saja.
dang dasar itu dihubungkan dengan pengertian konsti- Pelaksanaan norma-norma konstitusi itu dapat
tusi, maka arti undang-undang dasar itu barulah meru- diatur lebih lanjut dalam peraturan-peraturan yang
pakan sebagian dari pengertian konstitusi yaitu konsti- lebih rendah, sehingga lebih mudah diubah sesuai
tusi yang ditulis (die geschrieben verfassung). Dalam dengan ke- butuhan. Alasan keberatan untuk memuat
arti inilah konstitusi itu bersifat juridis atau rechtsver- seluruh masa- lah yang penting dalam Undang-Undang
fassung, yaitu sebagai undang-undang dasar atau ge- Dasar juga dise- babkan karena seringnya terjadi
rundgesetz. Sedangkan, konstitusi dalam arti yang luas perubahan dalam nas- kah undang-undang dasar. Jika
naskah undang-undang dasar disusun terlalu rinci,
tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, akan tetapi
maka hal itu dapat menye- babkan kewibawaan undang-
juga bersifat sosiologis dan politis yang tidak disebut
undang dasar menjadi me- rosot. Untuk mencegah
sebagai undang-undang dasar, namun termasuk dalam
terjadinya hal demikian, maka undang-undang dasar
pengertian konstitusi. hanya memuat hal-hal yang bersifat dasar saja.
Setiap rechtverfassung harus memenuhi dua sya- Dengan perkataan lain, undang-undang dasar ada-
rat, yaitu syarat mengenai bentuknya dan syarat
lah sebagian saja dari pengertian konstitusi. Isinya
mengenai isinya. Bentuknya dipersyaratkan harus be-
hanya bersifat garis-garis besar sebagai norma hukum
rupa naskah tertulis sebagai undang-undang yang ter-
tinggi yang berlaku dalam suatu negara. Isinya meru- tertinggi yang berlaku di suatu negara. Hanya ada
beberapa sar- jana saja yang menganut pandangan yang
mengidentik- kan konstitusi dengan undang-undang
195
Ibid., hal. 249, “Die Politische Verfassung als gesellschaftliche dasar. Penyama- an pengertian kedua hal itu,
Wirklichkeit”; hal. 259, “Die verselbstandeigte Rechtsverfassung”; hal. 270,
“Die geschriebene Verfassung”. sebenarnya, sudah dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord
Protector Kerajaan Inggris 1649-1660) yang
menamakan Undang-Undang Dasar itu

139 140
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

sebagai instrument of government. Undang-Undang


asas yang mendasar tentang organisasi negara.198
Dasar Cromwell itu dibuat sebagai pegangan dalam
Dengan demikian, konstitusi tidak perlu mencerminkan
men- jalankan tugas-tugas pemerintahan, dan di sinilah
seluruh masalah yang penting secara lengkap, sebab
timbul identifikasi atas pengertian Konstitusi dan
konstitusi semacam itu akan mengalami kesulitan
Undang- Undang Dasar. Pengertian Konstitusi menurut
dalam mengikuti perkembangan masyarakat. Adalah
Lord Oli- ver Cromwell itu kemudian diadopsi oleh
tugas pembuat un- dang-undang (legislator) untuk
Amerika Se- rikat pada tahun 1787, dan selanjutnya oleh
mengkhususkan konsti- tusi sesuai dengan
Lafayette di- kembangkan di Perancis pada tahun 1789.
perkembangan masyarakat.
Penganut paham modern yang juga menyamakan
pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar,
3. Luwes (Flexible) atau Kaku (Rigid)
me- nurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 196
Naskah konstitusi atau undang-undang dasar
adalah Lasalle. Dalam bukunya ”Uber
197 dapat bersifat luwes (flexible) atau kaku (rigid). Ukuran
Verfassungswesen”, La- salle menyatakan bahwa
yang biasanya dipakai oleh para ahli untuk menentukan
konstitusi yang sesungguhnya menggambarkan
hubungan antara kekuasaan yang ter- dapat di dalam apa- kah suatu undang-undang dasar itu bersifat luwes
masyarakat. Golongan-golongan yang di- maksud atau kaku adalah (i) apakah terhadap naskah konstitusi
adalah golongan yang mempunyai kedudukan nyata di itu di- mungkinkan dilakukan perubahan dan apakah
dalam masyarakat (rieele machtsfactoren), mi- salnya cara me- ngubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii)
Kepala Negara, Angkatan Perang, Partai-partai Politik, apakah nas- kah konstitusi itu mudah atau tidak mudah
kelompok-kelompok penekan (pressure group), buruh, mengikuti perkembangan kebutuhan zaman.
tani, pegawai, dan lain sebagainya. Dengan pan- Untuk menentukan apakah suatu naskah
dangannya yang demikian, Lasalle menghendaki agar konstitusi bersifat luwes atau tidak, maka pertama-tama
semua hal yang penting dituliskan dalam naskah kon- kita dapat mempelajari mengenai kemungkinannya
stitusi (in einer Urkunde auf einem Blatt Papier alle berubah atau tidak, dan bagaimana pula perubahan itu
lnstitutionen und Regierings prinzipien des landes). dilakukan. Pa- da umumnya, dalam setiap naskah
Demikian pula halnya dengan Struycken yang undang-undang da- sar, selalu diatur tata cara
menganut paham modern. Menurut Struycken, konsti- perubahan konstitusi itu sen- diri dalam pasal-pasal
tusi adalah undang-undang dasar. Menurut Struycken, atau bab yang tersendiri. Peruba- han-perubahan yang
konstitusi itu selalu memuat garis-garis besar dan asas- dilakukan menurut tata cara yang ditentukan sendiri
oleh undang-undang dasar itu dina- makan
196
197
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit. verfassungs-anderung. Ketentuan mengenai pe-
Heller, Staatslehre, Op. Cit., hal. 249, “Von dieser ‘wirklichen’ Verfas-
sung die zu jeder zeif jedes Land gehabt hat, sagt Lasalle in seinem bekanten
rubahan tersebut selalu ditentukan dalam undang-un-
Vortrag ‘Uber Verfassungenswesen’ (1862) sind sie nicht die geschriebene dang dasar itu sendiri, karena walaupun dimaksudkan
Verfassung oder das Blatt Papier, sondern die in einem lande bestehenden
tatsachlichen Machtsverhaltnisse”.
198
Lihat Struyeken A.A.H., Het staatsrecht won het Komisikrijk der Neder-
landen, 1915.

141 142
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

untuk jangka waktu yang lama, teks suatu undang-un-


Konstitusi yang menetapkan syarat perubahan dengan
dang dasar selalu cenderung untuk tertinggal dari per-
cara yang istimewa, misalnya dalam sistem parlemen bi-
kembangan masyarakat. Pada saat perubahan masya-
kameral, harus disetujui lebih dulu oleh kedua kamar
rakat sudah sedemikian rupa, selalu muncul kebutuhan
parlemennya. Konstitusi yang demikian dapat disebut
objektif untuk mengadakan perubahan pula atas teks
bersifat rigid.199
undang-undang dasar.
Negara-negara yang mempunyai Konstitusi yang
Namun demikian, karena konstitusi itu pada haki-
bersifat luwes (flexible) umpamanya adalah New
katnya merupakan hukum dasar yang tertinggi dan
Zealand dan Kerajaan lnggris yang dikenal tidak
men- jadi dasar bagi berlakunya peraturan perundang-
memiliki kon- stitusi yang tertulis. 200 Sedangkan,
unda- ngan lainnya yang lebih rendah, maka para
konstitusi atau un- dang-undang dasar yang bersifat
penyusun atau perumus undang-undang dasar selalu
kaku (rigid), misalnya, adalah Konstitusi Amerika
menganggap perlu menentukan tata cara perubahan
Serikat, Australia, Canada dan Swiss. 201
yang tidak mu- dah. Dengan prosedur yang tidak
Memang harus diakui bahwa untuk menentukan
mudah, maka menjadi tidak mudah pula orang untuk
sifat flexible atau rigid suatu undang-undang dasar se-
mengubah hukum dasar negaranya, kecuali apabila hal
itu memang sungguh- sungguh dibutuhkan karena benarnya tidaklah cukup hanya dengan melihat dari segi
pertimbangan yang objektif dan untuk kepentingan cara mengubahnya. Dapat saja terjadi suatu undang-un-
seluruh rakyat, serta bukan un- tuk sekedar memenuhi dang dikatakan bersifat rigid, tetapi dalam
keinginan atau kepentingan sego- longan orang yang kenyataannya dapat diubah tanpa melalui prosedur
berkuasa saja. Oleh karena itu biasa- nya prosedur yang ditentukan sendiri oleh undang-undang dasarnya
perubahan undang-undang dasar diatur se- demikian (verfassungsan- derung), melainkan diubah melalui
berat dan rumit syarat-syaratnya, sehingga un- dang- prosedur di luar ketentuan konstitusi
undang dasar yang bersangkutan menjadi sangat rigid (verfassungswandlung), seperti melalui revolusi atau
atau kaku. dengan constitutional conven- tion.202
Tetapi sebaliknya, ada pula undang-undang dasar Untuk undang-undang dasar yang tergolong flek-
yang mensyaratkan tata cara perubahan yang tidak ter- sibel, perubahannya kadang-kadang cukup dilakukan
lalu berat dengan pertimbangan untuk tidak memper- hanya dengan the ordinary legislative process seperti di
sulit perubahan, sehingga undang-undang dasar dapat
disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Konsti-
tusi yang demikian dapat dikatakan sebagai konstitusi 199
Strong, Op. Cit., hal. 140 dst., dan Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem
yang fleksible atau luwes. Misalnya, ada undang-undang Perubahan Konstitusi, Op Cit., hal. 60-61.
dasar yang perubahannya tidak memerlukan cara yang 200
Ibid., hal. 152.
201
istimewa, melainkan cukup dilakukan oleh lembaga Ibid.
202
Georg Jellinek tentang Verfassungswandlung dan Vergassungsanderung,
pembuat undang-undang biasa. Sebaliknya, ada pula perubahan konstitusi dengan cara biasa dan dengan cara yang tidak biasa,
seperti convention.

143 144
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

New Zealand.203 Sedangkan, untuk undang-undang da-


laku. Presiden Amerika Serikat dipilih langsung oleh
sar yang dikenal kaku atau rigid, prosedur
rak- yat melalui electoral college, dari calon yang dipilih
perubahannya dapat dilakukan:
a. oleh lembaga legislatif, tetapi dengan pembatasan- oleh partai politik yang bersangkutan dan ditentukan
pembatasan tertentu; melalui konvensi partai yang bersangkutan. Hal yang
b. oleh rakyat secara langsung melalui suatu referen- demikian oleh Bernard Schwartz disebut sebagai a
dum; wholly extra constitutional manner.206
c. oleh utusan negara-negara bagian, khusus di negara- Pada akhirnya yang menentukan perlu atau tidak-
negara serikat; atau nya undang-undang dasar diubah adalah faktor
d. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu konfigu- rasi kekuatan politik yang berkuasa pada suatu
lembaga negara yang khusus yang dibentuk hanya waktu. Betapapun kakunya atau sulitnya suatu naskah
untuk keperluan perubahan.204 undang- undang dasar diubah, apabila konfigurasi
kekuatan po- litik yang berkuasa berpendapat,
Menurut K.C. Wheare, ada tiga cara untuk mengu- menghendaki, atau me- nentukan bahwa undang-
bah undang-undang dasar, yaitu (i) formal amendment undang dasar itu harus diubah, maka konstitusi itu
atau perubahan resmi, (ii) constitutional convention tentu akan diubah. Sebaliknya, wa- laupun undang-
atau konvensi ketatanegaraan, dan (iii) judicial undang dasar itu sangat mudah untuk diubah, tetapi
interpretation atau penafsiran pengadilan.205 Oleh jika kekuatan politik yang berkuasa itu berpendapat
karena itu, peruba- han dalam arti penyempurnaan tidak perlu diubah atau tidak menghendaki adanya
terhadap undang- undang dasar tidak selalu harus perubahan, tentu konstitusi itu tetap tidak akan
dilakukan dengan cara formal amandment, tetapi dapat mengalami perubahan. Artinya, tolok ukurnya fleksibi-
pula dilakukan dengan konvensi ketatanegaraan. litas atau rigiditas, tidaklah dapat ditentukan dengan
Misalnya, ada suatu pasal da- lam undang-undang dasar pasti hanya karena mudah tidaknya prosedur
yang resminya masih berlaku, tetapi dalam praktik pasal perubahan itu dilakukan. Oleh karena, pada pokoknya,
itu sudah tidak dipakai lagi dalam rangka konstitusi itu merupakan produk politik, maka faktor
penyelenggaraan kegiatan kenegaraan sehari-hari. kekuatan po- litiklah yang justru sangat determinan
Misalnya, mengenai pemilihan Presiden di Amerika pengaruhnya da- lam menentukan apakah konstitusi
Serikat. Pasal 2 UUD Amerika Serikat yang ter- tulis harus berubah atau tidak berubah. Jalan pikiran yang
sekarang tidak lagi dijalankan dalam praktik, walau- demikian itu pula yang dipakai oleh Mahfud M.D.
pun secara resmi belum pernah dinyatakan tidak ber- dalam disertasinya yang membahas pengaruh
konfigurasi politik terhadap karak- ter suatu konstitusi.
207
Faktor kekuatan politik yang
203
K.C. Wheare, Modern Constitutions, (London: Oxford University, 1960),
hal. 121. 206
Schwartz, American Constitutional Law, Op. Cit., hal. 93.
204
Strong, Op. Cit., hal. 153. Lihat juga Soemantri, Op. Cit., hal. 69. 207
205 Lihat Moh. Mahfud M.D., Perkembangan Politik Hukum (Studi Tentang
Wheare, Op. Cit. Lihat juga Ismail Suny, “Undang-Undang Dasar 1945
Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia),
dan Referendum”, Majalah Hukum dan Pembangunan, FHUI, Jakarta.
Diser- tasi, Pasca Sarjana, UGM-Yogyakarta, 1993.
145 146
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

demikian disebut oleh Carl Schmitt sebagai faktor ke-


hukum dan konstitusi negara itu akan menjadi tidak sta-
kuasaan yang nyata atau de reele machtsfactoren.
bil, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kemeroso-
Oleh sebab itu, untuk menentukan sifat
tan kewibawaan undang-undang dasar itu sendiri.
fleksibilitas atau rigiditas undang-undang dasar
tersebut, dapat di- gunakan ukuran kedua, yaitu apakah
undang-undang dasar itu mudah atau tidak mudah 4. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
mengikuti perkemba- ngan zaman? Kalau undang- Membedakan secara prinsipil antara konstitusi
undang dasar itu mudah mengikuti perkembangan ter- tulis (written constitution) dan tidak tertulis
zaman, maka undang-undang dasar itu kita katakan (unwritten constitution atau onschreven constitutie)
bersifat fleksibel. Sebaliknya, jika undang-undang dasar adalah tidak tepat.208 Sebutan Konstitusi tidak tertulis
itu tidak mudah mengikuti per- kembangan zaman, kita hanya dipakai untuk dilawankan dengan Konstitusi
sebut bersifat rigid. Suatu un- dang-undang dasar yang modern yang lazim- nya ditulis dalam suatu naskah atau
hanya mengatur hal-hal yang pokok adalah konstitusi beberapa naskah. Timbulnya Konstitusi tertulis
yang mudah dapat mengikuti perkembangan disebabkan karena penga- ruh aliran kodifikasi.209 Salah
masyarakat, sebab norma-norma pelak- sanaannya satu negara di dunia yang mempunyai Konstitusi tidak
lebih lanjut diserahkan kepada bentuk pera- turan tertulis adalah negara Ing- gris, namun prinsip-prinsip
perundang-undangan yang lebih rendah, sehingga lebih yang dicantumkan dalam Konstitusi di Inggris
mudah untuk dibuat dan diubah. dicantumkan dalam Undang-Un- dang biasa, seperti Bill
Namun, banyak undang-undang dasar yang tidak of Rights.
hanya memuat hal-hal yang pokok saja, melainkan juga Dengan demikian suatu Konstitusi disebut tertulis
hal-hal yang dianggap penting, sehingga undang- apabila ia ditulis dalam suatu naskah atau beberapa
undang dasar itu akan terdiri atas banyak pasal-pasal. naskah, sedangkan suatu Konstitusi disebut tidak
Naskah undang-undang dasar yang dianggap paling tertulis dikarenakan ketentuan-ketentuan yang
tebal di du- nia dewasa ini adalah Undang-Undang mengatur suatu pemerintahan tidak tertulis dalam suatu
Dasar Federal India dengan jumlah pasal sebanyak 444 naskah tertentu, melainkan dalam banyak hal diatur
ketentuan. Pa- dahal, hal-hal penting belum tentu dalam konvensi-kon- vensi atau undang-undang biasa.
bersifat pokok, meski- pun yang pokok selalu bersifat
penting. Di samping itu, kadang-kadang, yang penting
untuk masa sekarang da- pat pula mengalami
perubahan sehingga di masa yang akan datang menjadi
tidak penting lagi. Jika dinamika semacam itu sering
208
terjadi, maka undang-undang dasar yang memuat hal- Lihat Wheare, Op. Cit., hal. 19. Ada juga sarjana yang menganggap bah-
wa pembedaan written constitution dan unwriten constitution sudah tidak
hal yang penting akan mengalami pe- rubahan. Apabila relevan lagi, sehingga mereka membedakannya dengan istilah documentary
suatu negara terlalu sering mengada- kan perubahan constitution
209
dan non-documentary constitution.
Bandingkan dengan Strong, Op. Cit., hal. 136-137.
undang-undang dasarnya, niscaya sistem

147 148
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

D. Tujuan dan Hakikat Konstitusi


ngurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan-ke-
Di kalangan para ahli hukum, pada umumnya pentingan umum. 210 Sedangkan, Maurice Hauriou me-
dipahami bahwa hukum mempunyai tiga tujuan pokok, nyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah untuk menjaga
yaitu (i) keadilan (justice), (ii) kepastian (certainty atau keseimbangan antara (i) ketertiban (orde), (ii)
zekerheid), dan (iii) kebergunaan (utility). Keadilan itu kekuasaan (gezag), dan (iii) kebebasan (vrijheid).211
sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan Kebebasan individu warga negara harus dijamin,
kepatutan (equity), serta kewajaran (proportionality). tetapi kekuasaan negara juga harus berdiri tegak,
Sedangkan, kepastian hukum terkait dengan ketertiban sehing- ga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara.
(order) dan ketenteraman. Sementara, kebergunaan Keter- tiban itu sendiri terwujud apabila dipertahankan
diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai oleh ke- kuasaan yang efektif dan kebebasan warga
tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama. negara tetap tidak terganggu. Sementara itu, G.S.
Oleh karena konstitusi itu sendiri adalah hukum Diponolo merumus- kan tujuan konstitusi ke dalam lima
yang dianggap paling tinggi tingkatannya, maka tujuan kategori, yaitu (i) kekuasaan, (ii) perdamaian,
konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk men- keamanan, dan ketertiban,
capai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan (iii) kemerdekaan, (iv) keadilan, serta (v) kesejahteraan
yang dianggap tertinggi itu adalah: (i) keadilan, (ii) dan kebahagiaan.212
ketertiban, dan (iii) perwujudan nilai-nilai ideal seperti
kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau
kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan
sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the
founding fathers and mothers).
Misalnya, 4 (empat) tujuan bernegara Indonesia
adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV Pembu-
kaan UUD 1945. Keempat tujuan itu adalah (i) melindu-
ngi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan umum,
(iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut
melaksa- nakan ketertiban dunia (berdasarkan
kemerdekaan, per- damaian abadi, dan keadilan sosial).
Sehubungan dengan itulah maka beberapa sarjana
merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan
tujuan negara, yaitu negara konstitusional, atau negara
berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada 3 (tiga) tujuan 210
J. Barents, “De Wetenschap de Politiek, Een Terreinverkenning” (1952),
ne- gara, yaitu (i) untuk memelihara ketertiban dan terjemahan L.M. Sitorus, Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapangan, cet.
keten- teraman, (ii) mempertahankan kekuasaan, dan ke-
211
3, PT. Pembangunan, Jakarta, 1958, hal. 38.
Maurice Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel. Lihat juga Abu Daud
(iii) me- Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 99.
212
G.S. Diponolo, Ilmu Negara, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1951, hal. 23.

149 150
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

BAB IV
suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
SUMBER HUKUM TATA NEGARA
(ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi, dalam pandangan Hans Kelsen dalam
bukunya “General Theory of Law and State”, istilah
sumber hukum itu (sources of law) dapat mengandung
A. Sumber Hukum Tata Negara banyak pengertian, karena sifatnya yang figurative and
1. Pengertian Sumber Hukum highly ambiguous.214 Pertama, yang lazimnya dipahami
Apakah yang dimaksud dengan “sumber hukum”? sebagai sources of law ada 2 (dua) macam, yaitu custom
Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut dan statute. Oleh karena itu, sources of law biasa dipa-
source of law. Perkataan “sumber hukum” itu hami sebagai a method of creating law, custom, and
sebenarnya ber- beda dari perkataan “dasar hukum”, legislation, yaitu customary and statutory creation of
“landasan hukum”, ataupun “payung hukum”. Dasar law.
hukum ataupun landa- san hukum adalah legal basis Kedua, sources of law juga dapat dikaitkan dengan
atau legal ground, yaitu norma hukum yang mendasari cara untuk menilai alasan atau the reason for the
suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga validity of law. Semua norma yang lebih tinggi
dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara merupakan sum- ber hukum bagi norma hukum yang
hukum. Sedangkan, perka- taan “sumber hukum” lebih lebih rendah. Oleh karena itu, pengertian sumber
menunjuk kepada penger- tian tempat dari mana asal- hukum (sources of law) itu identik dengan hukum itu
muasal suatu nilai atau nor- ma tertentu berasal. sendiri (the source of law is always itself law).215
Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 Ketiga, sources of law juga dipakai untuk hal-hal
ditentukan bahwa: 213 (1) Sumber hukum adalah sumber yang bersifat non-juridis, seperti norma moral, etika,
yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan per- prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para ahli, dan
undang-undangan; (2) Sumber hukum terdiri atas sum- sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan
ber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis; (3) suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut
Sumber hukum dasar nasional adalah (i) Pancasila seba- sebagai sumber hukum atau the sources of the law.
gaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, Nilai dan norma agama dapat pula dikatakan
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang menjadi sumber yang penting bagi terbentuknya nilai
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan dan norma etika dalam kehidupan bermasyarakat, se-
yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam per- mentara nilai-nilai dan norma etika itu menjadi sumber
musyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan bagi proses terbentuknya norma hukum yang dikukuh-
kan atau dipositifkan oleh kekuasaan negara. Dalam di-
namika kehidupan bermasyarakat, ketiga jenis nilai dan
213
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
norma itu pada pokoknya sama-sama berfungsi sebagai
Urutan Peraturan Perundang-undangan, tanggal 18 Agustus, 2000. Lihat
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR 214
Kelsen, Op. Cit., hal. 131.
Tahun 1960 s/d 2002, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2002. 215
Ibid. hal. 132.

151 152
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

sarana pengendalian dan sekaligus sistem referensi me-


qiyas. Ada lagi yang merumuskan sumber hukum itu
ngenai perilaku ideal dalam setiap tatanan sosial (social
me- liputi (i) syari’at yang diwahyukan (wahyu), (ii)
order). Sebab, jika ketiga jenis norma tersebut saling
sunnah sebagai teladan rasul, dan (iii) akal dengan
me- nunjang, maka ketiga sistem referensi perilaku itu
mengguna- kan metode berpikir tertentu.
dapat bekerja secara simultan dan saling mendukung.
Dalam kajian ushul fiqh, sebagai cabang ilmu fil-
Akan tetapi, jika ketiganya saling bersitegang atau
safat hukum Islam, sering dibedakan pula antara pe-
saling bersaing satu sama lain, niscaya akan timbul kon-
ngertian “sumber hukum” atau mashadir al-ahkam dan
flik antar norma yang justru tidak sehat bagi ketiga sis-
“dalil-dalil hukum” atau adillat al-ahkam.216 Pengertian
tem norma itu sendiri. Jika demikian, maka pada
mashadir al-ahkam secara teknis menunjuk kepada pe-
giliran- nya fungsi ketiga jenis norma itu dalam
ngertian asal norma hukum atau rujukan hukum (refe-
menuntun ma- nusia ke arah perilaku ideal tidak akan
rence), tempat ditemukannya kaidah hukum atau se-
bekerja dengan efektif. Oleh karena itu, ketiganya harus
suatu yang menunjuk kepada adanya hukum, yaitu al-
dapat saling mengisi satu sama lain secara sinergis.
Quran dan al-Sunnah. Sedangkan, adillat al-ahkam
Norma etika da- pat menjadi sumber nilai bagi norma
atau dalil hukum merupakan sesuatu yang dijadikan
hukum, sementara norma agama dapat menjadi sumber
landasan berpikir yang benar dalam memperoleh atau
bagi norma etika. Dalam konteks ini, pengertian sumber
menemu- kan, atau mendapatkan hukum.
dapat dikatakan sebagai tempat dari mana sesuatu nilai
Hal yang dianggap sebagai adillat al-ahkam itu
atau norma berasal.
Terkait dengan hal ini, penting juga untuk ada 4 (empat), yaitu al-Quran, al-Sunnah, Ijma, dan
memperbandingkan mengenai penggunaan istilah sum- Qiyas. Baik al-Quran maupun al-Sunnah sama-sama
ber hukum (sources of law) dalam sistem berpikir fiqh dapat dise- but sebagai adillat al-ahkam dan sekaligus
Islam dengan penggunaannya menurut pengertian ilmu mashadir al- ahkam.217 Kadang-kadang, kedua makna
hukum pada umumnya. Hal ini penting untuk sumber hukum dan dalil hukum itu dicampuradukkan
digambar- kan karena tradisi yang dianut dalam sistem oleh para sarjana, tetapi kebanyakan ulama
fiqh Islam, perkataan sumber hukum itu diartikan membedakan keduanya dengan tegas. Oleh karena itu,
secara berbeda sama sekali dari pengertian yang biasa mashadir al-ahkam (sumber hu- kum) dapat dipahami
dipakai dalam ilmu hukum kontemporer. Dalam fiqh dalam arti sumber hukum materiel dalam konteks ilmu
Islam, yang diarti- kan sebagai sumber hukum itu, di hukum kontemporer, sedangkan adillat al-ahkman
satu pihak berarti “sumber rujukan”, tetapi di lain pihak (dalil hukum) dapat disebandingkan dengan pengertian
kadang-kadang dapat diidentikkan dengan pengertian sumber hukum formil.218
metode penalaran hukum (legal reasoning).
Misalnya, yang dianggap sebagai sumber hukum 216
Nasrul Harun, Ushul Fiqh, cet. ke-1, jilid 1 (Jakarta: Logos, 1996), hal.
adalah (i) al-Quran, (ii) al-Sunnah, dan (iii) ijtihad atau 15.
217
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum
inovasi (innovation) dan invensi (invention). Ada pula Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),
sarjana yang merumuskan kategori sumber hukum itu hal. 35-37. Lihat juga Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum
terdiri atas (i) al-Quran, (ii) al-Hadits, (iii) ijma, dan Islam” dalam Zaini Dahlan, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
(iv) Aksara, 1992), hal. 53-55.
218
Usman, Op. Cit., hal. 32.

153 154
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Pengertian sumber hukum yang demikian itu, jelas


kodifikasi, maka tentu yang dimaksudkannya itu adalah
sangat berbeda dari pengertian sumber hukum yang ter-
the sources of the UK Constitution.
kait dengan pengertian yang biasa dipakai dalam ilmu
Dikarenakan tidak memiliki undang-undang dasar
hukum tata negara ataupun ilmu hukum kontemporer
yang bersifat tertulis, aturan konstitusi di Inggris hanya
pada umumnya. Dalam hukum tata negara Indonesia,
dikenal karena memang berhubungan dengan persoalan
yang disebut sebagai sumber hukum itu misalnya adalah
konstitutional, yaitu hal-hal yang penting mengenai ke-
(i) Undang-Undang Dasar, (ii) Undang-undang dan Pe-
kuasaan pemerintahan.
raturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang,
Dikatakan oleh Alder:220
(iii) Peraturan Pemerintah, (iv) Peraturan Presiden, dan “Even in a written constitution, the sources of consti-
(v) Peraturan Daerah. Pengertian sumber hukum di sini tutional law comprise a mixture of strict law and
jelas dimaksudkan untuk menunjuk kepada pengertian political principles. The United Kingdom constitution
tempat asal ditariknya suatu kaedah hukum yang relies heavily on the latter. Its legal sources are the
bersifat umum untuk dipakai sebagai peralatan dalam same as the sources of law generally”.
menilai suatu peristiwa atau kaidah hukum yang
bersifat konkrit. Pengertian yang kedua ini, jika Menurut John Alder, sumber-sumber konstitusi
dibandingkan dengan pengertian sumber hukum dalam tersebut dapat dibedakan dalam 7 (tujuh) macam
ilmu fiqh yang memperlakukan qiyas atau analogi bentuk yang masing-masing dapat diuraikan lagi secara
sebagai salah satu sumber hukum seperti diuraikan di lebih rinci satu persatu, yaitu:221
atas, tentulah jauh bedanya. Qiyas atau analogi adalah 1) The basic principle;
metode berpikir, metode penalaran hukum (legal 2) General political and moral values;
reasoning) yang dipakai untuk mendapatkan 3) Strict law (i) The laws enforced through
kesimpulan atas sesuatu fakta konkrit (concrete cases) the courts, (ii) The law and custom of
yang dinilai dengan mengguna- kan standar norma Parliament;
hukum yang bersifat umum dan 4) Conventions of the Constitution;
abstrak (general and abstract norm). 5) Political practices;
Lain lagi penggunaan istilah sources of the 6) The rules of the political parties;
constitution yang dipakai oleh John Alder dalam buku- 7) International law.
nya “Constitutional and Administrative Law” (1989).219
Dalam bukunya itu, John Alder sengaja memberikan Dengan membandingkan versi yang diajukan oleh
judul pada Bab 2 Bagian I dengan “The Sources of the John Alder dan para sarjana lainnya, maka dapat dike-
Constitution”. Oleh karena John Alder sendiri adalah mukakan bahwa demikian banyak versi yang dipakai
sarjana Inggris yang menulis tentang Hukum Tata oleh para sarjana mengenai apa yang diartikan sebagai
Nega- ra dan Hukum Administrasi Negara dalam “sumber hukum” atau sources of law itu. Oleh karena
konteks Kera- jaan Inggris yang dikenal tidak memiliki itulah, Paton George Whitecross mengemukakan:
naskah undang- undang dasar yang tertulis dalam satu
naskah yang ter-
220
221
Ibid.
Ibid., hal. 23-24.
219
Alder, Op Cit., hal. 22-38.

155 156
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

“The term sources of law has many meanings and its


frequent cause of error unless we scrutines carefully 2. Sumber Hukum Tata Negara
the particular meaning given to it in any particular Seperti dikemukakan di atas, sumber hukum dapat
text”. dibedakan antara yang bersifat formal (source of law in
222 formal sense) dan sumber hukum dalam arti material
(source of law in material sense). Bagi kebanyakan
Seperti juga dikatakan oleh van Apeldoorn dalam sarjana hukum, biasanya yang lebih diutamakan adalah
bukunya “Inleiding tot de Studie van het Nederlands- sumber hukum formal, baru setelah itu sumber hukum
recht”,223 kadang-kadang perkataan sumber hukum di- material apabila hal itu memang dipandang perlu. Sum-
maksud dipakai dalam konteks sejarah, kadang-kadang ber hukum dalam arti formal itu adalah sumber hukum
dalam konteks filsafat, atau kadang-kadang dalam kon- yang dikenali dari bentuk formalnya. Dengan mengu-
teks sosial. Jika kita membandingkan konsep sumber tamakan bentuk formalnya itu, maka sumber norma
hu- kum yang diartikan oleh John Alder tersebut di atas hukum itu haruslah mempunyai bentuk hukum tertentu
de- ngan pengertian yang dipakai dalam ilmu fiqh, jelas yang bersifat mengikat secara hukum.
se- kali bedanya, bahkan dengan pengertian yang lazim Oleh karena itu, sumber hukum formal itu
kita pergunakan sehari-hari. haruslah mempunyai salah satu bentuk sebagai berikut:
Oleh sebab itu, seperti yang dilakukan oleh Ut- a. bentuk produk legislasi ataupun produk regulasi ter-
recht,224 kita dapat membedakan dua macam pengertian tentu (regels);
sumber hukum (sources of law), yaitu sumber hukum b. bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang me-
dalam arti formal atau formele zin (source of law in its ngikat antar para pihak (contract, treaty);
formal sense) dan sumber hukum dalam arti c. bentuk putusan hakim tertentu (vonnis); atau
substansial, material, atau in materiele zin (source of d. bentuk-bentuk keputusan administratif (beschikking)
law in its mate- rial sense). Sumber hukum dalam arti tertentu dari pemegang kewenangan administrasi
formal ialah tem- pat formal dalam bentuk tertulis dari ne- gara.
mana suatu kaedah hukum diambil, sedangkan sumber
hukum dalam arti material adalah tempat dari mana Sudah tentu, setiap bidang hukum mempunyai
norma itu berasal, ba- ik yang berbentuk tertulis sumber-sumber hukumnya sendiri yang berbeda-beda
ataupun yang tidak tertulis. antara satu dengan yang lain. Dalam bidang hukum tata
negara (constitutional law), dapat dibedakan lagi antara
hukum tata negara umum dan hukum tata negara
positif. Di samping itu, di masing-masing negara, juga
berlaku sistem hukumnya secara sendiri-sendiri yang
berbeda- beda pula pengertiannya tentang sumber
222
Whitecross, Textbook of Jurisprudence, op. cit., hal. 140. Bandingkan
hukum itu. Belum lagi, jika masing-masing negara itu
dengan Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 44. mempunyai tradisi hukum yang berbeda pula satu
223
Lihat Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Op. Cit., hal. 72-75, juga dalam dengan yang lain- nya, maka tentu sumber hukum yang
Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal. 45. diakui juga ber- beda-beda. Misalnya, sistem common
224
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtisar, ), hal.
133-134. law lebih mengu-

157 158
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tamakan asas precedent dan doktrin judge-made law,


Dalam bukunya “An Introduction to the Study of
sehingga yurisprudensi peradilan lebih diutamakan, se-
the Law of the Constitution”, Albert Venn Dicey
dangkan dalam sistem civil law, peraturan tertulislah
menyatakan bahwa:
yang lebih penting daripada yang lain. “The rules which make up constitutional law, as the
Namun demikian, di seluruh dunia, keempat ben- term is used in England, include two sets of principles
tuk formal norma hukum tersebut di atas, yaitu produk- or maxims of a totally distinct character”.225
produk yang berbentuk regeling, contract atau treaty,
vonnis, dan beschikking diakui sebagai sumber hukum Pertama, dalam pengertiannya yang bersifat strict
yang penting. Di samping itu, seperti dikemukakan di adalah hukum atau laws yang diterapkan oleh pengadi-
atas, ada pula sumber lain yang sifatnya tidak tertulis. lan. Peraturan dalam kategori pertama ini, menurut
Oleh karena itu, dalam berbagai bidang hukum, selain Dicey, mencakup juga semua norma jenis rules, yang
keempat bentuk formal tertulis, dikenal pula adanya ter- tulis atau tidak tertulis (written or unwritten), yang
bentuk-bentuk lain yang bersifat tidak tertulis. ditetapkan dengan undang-undang atau sebagai pera-
Khusus dalam bidang ilmu hukum tata negara turan tertulis (enacted by statute) atau hanya lahir dari
pada umumnya (verfassungsrechtslehre), yang biasa adat istiadat yang umum, tradisi, atau prinsip-prinsip
diakui sebagai sumber hukum adalah: yang diciptakan oleh hakim (derived from the mass of
1) Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang- custom, tradition, or judge-made maxims) yang dikenal
undangan tertulis; sebagai the common laws.
2) Yurisprudensi peradilan; Semua jenis peraturan dalam kategori pertama ini,
3) Konvensi ketatanegaraan atau constitutional sepanjang dapat ditegakkan oleh pengadilan dapat dise-
conven- tions; but atau tercakup dalam pengertian constitutional law.
4) Hukum Internasional tertentu; dan Kriteria yang dipakai oleh Dicey di sini adalah dapat-
5) Doktrin ilmu hukum tata negara tertentu. tidaknya norma hukum yang bersangkutan diterapkan
oleh hakim di pengadilan. Untuk menegaskan
Dalam kelima sumber hukum tata negara tersebut, perbedaan bentuk-bentuk hukum tertulis yang
tercakup pula pengertian-pengertian yang berkenaan mengandung norma hukum konstitusi tersebut dengan
de- ngan (i) nilai-nilai dan norma hukum yang hidup bentuk norma hukum konstitusi yang lain, maka hal itu
sebagai konstitusi yang tidak tertulis, (ii) kebiasaan- disebut oleh Dicey secara keseluruhannya sebagai the
kebiasaan yang bersifat normatif tertentu yang diakui law of the constitu- tion yang dibedakannya dari
baik dalam lalu lintas hukum yang lazim, dan (iii) pengertian the conventions of the constitution.
doktrin-doktrin ilmu pengetahuan hukum yang telah Constitutional rules dalam pengertian yang terak-
diakui sebagai ius comminis opinio doctorum di hir, menurut Dicey, terdiri atas:
kalangan para ahli yang mempunyai otoritas yang diakui
umum. Dalam setiap sistem hukum, ketiga hal ini biasa
juga dianggap sebagai sumber hukum yang dapat 225
dijadikan referensi atau ruju- kan dalam membuat Lihat A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Consti-
tution, 10th edition, Oxford University Press, 1965, hal. 23-24.
keputusan hukum.

159 160
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

“conventions, understandings, habits, or practices


b) Undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen
which, though they may regulate the conduct of the se-
veral members of the souvereign power, of the Minis- (legislative acts, parliamentary statutes);
try, or of other officials, are not in reality laws at all c) Judicial decisions (putusan-putusan pengadilan)
since they are not enforced by the courts. This portion terdahulu;
of constitutional law may, for the sake of distinction, d) Principles and rules of common law, yaitu prin-
be termed the ‘conventions of the constitution’, or sip-prinsip yang sudah diterima sebagai hukum,
constitu- tional morality”.226 meskipun tidak dituangkan dalam bentuk un-
dang-undang atau peraturan tertulis tertentu, te-
Oleh karena itu, dalam pandangan A.V. Dicey, tapi kebanyakan dikuatkan oleh putusan penga-
perkataan constitutional law mencakup dua unsur pe- dilan.
ngertian, yaitu (i) the law of the constitution, dan (ii) 2) The Conventions of the Constitution, yang mencakup:
the conventions of the constitution. The law of the a) Kebiasaan-kebiasaan (habits);
constitu- tion merupakan a body of undoubted law, b) Tradisi-tradisi (traditions);
sedangkan the conventions of the constitution terdiri c) Adat istiadat (customs);
atas maxims atau praktik-praktik yang meskipun d) Praktik-praktik (practices and usages).
bersifat mengatur para subjek hukum tata negara yang
biasa menurut undang- undang dasar, bukanlah Dalam pandangan John Alder, rincian sumber-
merupakan hukum dalam arti yang sebenarnya.227 sumber hukum tata negara Inggris, meliputi 7 (tujuh)
Bagi A.V. Dicey, meskipun keduanya sama-sama hal, yaitu (i) Prinsip dasar (The Basic Principle); (ii)
merupakan constitutional rules dan sama-sama dapat di- Nilai-nilai moral dan politik (General political and mo-
sebut constitutional law dalam arti luas, tetapi the con- ral values); (iii) Hukum yang mutlak (Strict law) yang
vention of the constitution itu lebih merupakan menurutnya meliputi (a) hukum yang ditegakkan atau
constitu- tional morality daripada the law of the diputuskan oleh pengadilan (The laws enforced through
constitution. Oleh karena itu, menurut A.V. Dicey, the courts), dan (b) hukum yang ditetapkan oleh parle-
sumber hukum tata negara Inggris terdiri pula atas men dan kebiasaan parlemen (The law and custom
beberapa sumber yang dapat dikelompokkan dalam dua of Parliament); (iv) Konvensi atau kebiasaan
golongan, yaitu: ketatanegara- an (Conventions of the Constitution); (v)
1) The Law of the Constitution, mencakup: Praktik-praktik, termasuk yang terjadi dalam praktik
a) Dokumen-dokumen sejarah (historic documents), penyelenggaraan kegiatan politik ketatanegaraan
seperti Magna Charta Tahun 1215 yang biasa di- (Political practices); (vi) Tata aturan partai politik (The
sebut juga dengan The Great Charter of 1215, rules of the political par- ties); dan (vii) Hukum
Petition of Right, atau Bill of Rights (1689); internasional (International law). Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan prinsip dasar, nilai-nilai moral dan
226
Ibid. politik, dan bahkan kebiasa- an ketatanegaraan,
227
Lihat juga Michael Allen and Brian Thompson, Cases and Materials on semuanya bersifat tidak tertulis. Te- tapi mengapa
Constitutional and Administrative Law, 7th edition, (Oxford University dapat disebut sebagai sumber hukum oleh John Alder?
Press, 2003), hal. 239.
Baginya, prinsip dasar yang diakui umum

161 162
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

sejak dulu sampai sekarang, misalnya, What parliament


Demikian pula mengenai kebiasaan-kebiasaan ke-
says is law,228 adalah prinsip dasar yang melandasi cara
tatanegaraan, banyak sekali hal-hal yang sudah
berpikir hukum tata negara Inggris, meskipun hal ter-
dianggap kelaziman konstitusional yang tidak
sebut tidak tertulis. Akan tetapi, justru prinsip-prinsip
dipersoalkan orang lagi apakah ia tertulis atau tidak.
dasar semacam itulah yang melandasi suatu konstitusi,
Kebiasaan-kebiasaan itulah yang dikenal dengan istilah
termasuk konstitusi yang tertulis sekalipun. Betapapun
konvensi ketatane- garaan atau constitutional
juga, prinsip-prinsip dasar itulah yang mengekspresikan
conventions. Menurut Dicey dalam bukunya “An
asumsi-asumsi politik yang paling dasar yang beroperasi
Introduction to Study of the Law of the Constitution”,
dalam setiap negara (the basic principle expresses the
banyak prinsip-prinsip penting hukum konstitusi yang
most fundamental political assumptions operating in a
mengambil bentuk konvensi ketata- negaraan. Prinsip-
particular country). 229 Bahkan secara lebih mendasar prinsip dimaksud termasuk konvensi, kebiasaan, dan
lagi, apa yang disebutnya sebagai basic principle ini se- praktik-praktik yang meskipun bersifat mengatur, tetapi
benarnya mirip dengan apa yang disebut oleh Hans Kel- sama sekali bukan hukum, karena tidak ditetapkan oleh
sen dengan gerund norms (norma dasar) atau yang oleh parlemen ataupun oleh pengadilan.
Hans Nawiasky disebut staatsfundamentalnorm.
Di dalam praktik ketatanegaraan di Inggris,
Oleh John Alder, nilai-nilai moral dan politik juga
sebagian besar konvensi ketatanegaraan mengatur
dikelompokkan tersendiri:
“In a wider sense certain general political and moral hubu- ngan antar cabang-cabang kekuasaan
values pervade any constitution, and find expression in pemerintahan pu- sat (central government), khususnya
the formal rules of the constitution. They are both pol- mengenai (i) the relationship between the monarch,
itical and legal because they should pervade the entire ministers, and par- liament, (ii) the relationship
system of government”.230 between ministers among themselves, and (iii) the
relationship between ministers and civil servants.231
Meskipun hal ini dapat dibenarkan, tetapi menge- Kadang-kadang konvensi berfungsi sebagai devices for
lompokkannya menjadi satu bentuk sumber hukum adjusting the strict law to meet the changing demands
yang tersendiri, saya kira sudah sangat berlebihan. Oleh of politics. Dengan begitu, ia ber- fungsi melicinkan
sebab itu, baik nilai-nilai moral dan politik, maupun apa jalan sehingga norma hukum dapat di- jalankan dengan
yang disebut John Alder sebagai basic principles kelenturan yang diperlukan dalam prak- tik. Oleh karena
haruslah dili- hat sebagai satu kesatuan pengertian itu, dapat ditemukan banyak contoh konvensi
mengenai nilai- nilai dan norma yang hidup sebagai ketatanegaraan dalam praktik di Inggris. Misal- nya,
constitutional rules yang dianggap baik, dan oleh karena peraturan menentukan bahwa “The Queen’s assent is
itu dapat diakui ter- masuk ke dalam pengertian required for a valid Act of Parliament”, tetapi dalam
konstitusi yang tidak tertulis. praktik hal itu berubah menjadi The Queen must
always assent to a bill. Peraturan menentukan
“Parliament must meet at least every three years”
228
229
Alder, Op. Cit., hal. 24. berubah karena konvensi menjadi Parliament must
Ibid.
230
Ibid. meet annually.232

231
Ibid., hal. 26-27.

163 164
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
232
Ibid. hal. 27-28.

163 164
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Selain itu, dalam ilmu hukum, pendapat para ahli


pula dijadikan sebagai sumber hukum yang tidak
yang dikenal luas dan diakui memiliki otoritas di
tertulis. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai the
bidang- nya, lazimnya diterima juga sebagai sumber
living consti- tutional values di tengah-tengah
hukum yang disebut dengan doktrin dalam ilmu hukum.
kehidupan kolektif war- ga negara.
Dalam sis- tem hukum fiqh, misalnya, dikenal juga
Oleh sebab itu, 7 (tujuh) macam sumber hukum ta-
pendapat maz- hab-mazhab yang diakui mengikat dan
tanegara yang kita maksudkan itu adalah:
dijadikan refe- rensi oleh hakim dalam memutus
(i) Nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis;
sesuatu perkara. Inilah yang saya namakan sebagai the
(ii) Undang-undang dasar, baik pembukaannya mau-
professor’s law,233 yaitu dijadikan hukum karena
pun pasal-pasalnya;
pendapat ilmuwan hukum yang diakui mengikat.
(iii) Peraturan perundang-undangan tertulis;
Sebenarnya, inilah yang dinamakan sebagai doktrin
(iv) Yurisprudensi peradilan;
dalam ilmu hukum, yaitu pendapat ahli yang sudah
(v) Konvensi ketatanegaraan atau constitutional con-
diakui oleh para ahli lainnya sehingga ter- bentuk suatu
ventions;
pendapat yang diakui oleh umum (public opinion) atau
(vi) Doktrin ilmu hukum yang telah menjadi ius com-
dalam istilah latinnya sudah menjadi com- minis opinio
minis opinio doctorum;
doctorum. Dalam ilmu hukum, pendapat semacam itu
(vii) Hukum Internasional yang telah diratifikasi atau
juga diakui sebagai sumber hukum yang mengikat.
telah berlaku sebagai hukum kebiasaan Internasio-
Dengan perkataan lain, kita dapat juga mengajukan
nal.234
jumlah sumber hukum itu dalam 7 (tujuh) bentuk.
Namun ketujuh sumber hukum yang kita maksudkan itu
berbeda dari 7 (tujuh) sumber hukum menurut John Ketujuh macam sumber hukum tata negara itu, da-
Alder yang telah dikemukakan di atas. Alder menyebut pat diuraikan sebagai berikut.
adanya unsur-unsur yang dinamakannya sebagai basic
principle, general political and moral values, dan 1) Konstitusi yang Tidak Tertulis
polical practices sebagai sumber hukum tata negara Konstitusi ada yang tertulis dan ada yang tidak ter-
Inggris. Bahkan, the rules of the policial parties juga tulis. Konstitusi yang tertulis disebut undang-undang
dimasuk- kannya dalam daftar sumber hukum. da- sar, grondwet (Belanda), grondgezets (Jerman),
Terlebih lagi, custom of the parliament juga ia ka- atau droit constitutionnel (Perancis). Sedangkan yang
tegorikan sebagai strict law yang sejajar dengan hukum tidak tertulis tetap disebut sebagai konstitusi yang tidak
tertu- lis (onschreven constitutie, unwritten
constitution) yang
tertulis serta putusan pengadilan. Prinsip-prinsip dasar
yang tidak tertulis serta nilai-nilai moral dan politik 234
Khusus mengenai International Law ini, diakui juga menjadi bagian dari
yang dianggap ideal juga termasuk ke dalam pengertian sistem hukum nasional Inggris, tetapi harus melalui ratifikasi terlebih dahulu
kon- stitusi yang tidak tertulis, karenanya sudah sebelum menjadi hukum nasional dengan Acts of Parliament. Menurut
seharusnya Alder, secara formal, hukum internasional baru mengikat setelah diratifikasi
men- jadi hukum nasional, akan tetapi International Customary Law
berdasarkan jurisprudensi kasus Maclaine-Watson vs DoT (1988) dianggap
233
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, langsung mengikat secara hukum. Lihat John Alder, Ibid., hal. 24.
(Jakarta: MKRI-PSHTN, 2004).

165 166
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

juga termasuk pengertian gerund-norms atau norma


Di pihak lain, dalam kehidupan bermasyarakat dan
dasar atau hukum dasar (basic principles). Dalam
bernegara, ketiga norma konstitusi itu sendiri kadang-
uraian John Alder di atas, antara the basic principle dan
kadang berjarak antara satu sama lain. Apa yang ditulis
gene- ral political and moral values dibedakan satu
di dalam teks konstitusi dengan apa yang menjadi
sama lain. Namun keduanya berada dalam dunia yang
pikiran kolektif warga negara boleh jadi tidak berse-
sama, yaitu dunia nilai-nilai dan norma yang tidak
suaian satu sama lain. Demikian pula apa yang ditulis di
tertulis dan berisi prinsip-prinsip yang diidealkan dalam
dalam teks dengan apa yang nyatanya dilakukan dalam
peri kehidupan bernegara. Prinsip-prinsip yang
praktik penyelenggaraan kegiatan bernegara. Begitupun,
diidealkan itu dapat be- rupa sesuatu yang diidealkan
ada juga yang dipikirkan dengan apa yang dikerjakan
secara kognitif (collective minds), dan dapat pula
kadang-kadang juga tidak cocok satu dengan yang lain.
dianggap ideal karena memang tercermin dalam pola
Keadaan ini tentu tidak ideal. Sebab, antara norma ideal
perilaku nyata (actual behavioral realities) dalam
(ideal norms) dengan tindakan yang dilakukan dalam
kehidupan bermasyarakat dan berne- gara.
kenyataan (actual behaviors) tidak sama. Untuk menga-
Dengan demikian, kita dapat membedakan antara tasi persoalan jurang atau gap dan diskrepansi antar
(i) pengertian-pengertian norma konstitusi dalam teks ketiga norma aturan konstitusional dengan kenyataan
(textually written constitutional rules), (ii) norma kon- (the actual realities) itulah diperlukan pendidikan ke-
stitusi dalam pikiran warga negara (cognitively percei- warganegaraan (civic education), pendidikan politik,
ved constitutional rules), dan (iii) norma konstitusi dal- serta komunikasi politik yang mencerahkan.
am perilaku nyata segenap warga negara (actually wor- Undang-undang dasar yang berisi norma-norma
king constitutional rules). Apa yang dimaksudkan de- ideal haruslah menjadi living constitution atau
ngan nilai konstitusi yang tidak tertulis itu adalah yang konstitusi yang hidup dan dekat dengan segenap warga
kedua dan yang ketiga, yaitu nilai-nilai dan norma hu- negara. Setiap warga negara haruslah merasa akrab
kum tata negara yang dianggap ideal tetapi tidak dengan un- dang-undang dasar dan merasa dilindungi
tertulis, juga harus diterima sebagai norma konstitusi hak-haknya sebagai warga negara oleh undang-undang
yang me- ngikat dalam penyelenggaraan kegiatan dasar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan
bernegara. Nilai- nilai dan norma yang dimaksud dapat referensi tertinggi dalam setiap urusan kenegaraan.
berupa pikiran- pikiran kolektif dan dapat pula berupa Sebagai satu kesatuan sistem rujukan ketatanegaraan,
kenyataan-kenya- taan perilaku yang hidup dalam undang-undang dasar juga dipercaya sebagai alat
masyarakat negara yang bersangkutan. Oleh sebab itu, pemersatu bangsa dalam kegiatan bernegara. Oleh
constitutional rules di seti- ap negara berbeda-beda satu karena itu, adalah tugas para guru dan para pemimpin,
dengan yang lain. Meski- pun pola konstitusi tertulisnya baik formal maupun informal, untuk membangun
sama, tetapi karena ko- munitas kehidupan warganya keteladanan serta mentransformasi- kan nilai-nilai dan
berbeda, maka tentu constitutional rules yang menjadi pengetahuan ketatanegaraan menjadi bagian dari
sumber hukum dalam membuat keputusan-keputusan kesadaran kognitif dan kenyataan perilaku segenap
kenegaraan harus ber- beda satu dengan yang lain. warga negara. Tanggung jawab pendidikan (civic
education) semacam ini sudah seharusnya di- emban
oleh semua guru, semua pemimpin, semua insti-

167 168
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tusi kenegaraan dan pemerintahan, serta semua pejabat


“Penjelasan Tentang UUD 1945”, bukan dimaksud-
publik dalam sistem kenegaraan dimana saja mereka
kan sebagai “Penjelasan UUD 1945”; 235
berada dan bekerja.
(ii) Periode 2 (1959-1999): berisi naskah UUD 1945 di-
tambah Penjelasan UUD 1945;236
2) Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi Tertulis
(iii) Periode 3 (1999-2000): berisi naskah UUD 1945
Undang-Undang Dasar merupakan naskah konsti-
versi tahun 1959 ditambah Perubahan Pertama
tusi yang tertulis dalam satu kodifikasi (written
tahun 1999;237
constitu- tion, schreven constitutie). Republik Indonesia
(iv) Periode 4 (2000-2001): berisi naskah UUD 1945
pernah mempunyai beberapa versi naskah yang
versi tahun 1959 ditambah Perubahan Pertama
berbeda, yaitu:
tahun 1999 dan Perubahan Kedua tahun 2000;238
(i) UUD 1945 periode 1: 1945-1949, (ii) Konstitusi RIS
Tahun 1949, (iii) UUDS Tahun 1950, (iv) UUD 1945
periode 2: tahun 1959-1999, (v) UUD 1945 periode 3:
tahun 1999-2000, (vi) UUD 1945 periode 4: tahun 2000- 235
Berita Repoeblik Indonesia Tahun II No. 7, 15 Februari 1946. Dalam
2001, (vii) UUD 1945 periode 5: tahun 2001-2002, dan Berita Repoeblik Indonesia ini, Penjelasan UUD 1945 tercantum dalam
(viii) UUD 1945 periode 6: tahun 2002 sampai dengan halaman yang terpisah dari naskah UUD 1945, karena memang
sekarang. dimaksudkan sekedar sebagai Penjelasan Tidak Resmi tentang UUD 1945
itu. Bahkan judulnya pada bagian terpisah dari naskah UUD 1945 ditulis
Naskah UUD 1945 dalam kedelapan periode itu “Pendjelasan Tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Indonesia” dengan
berbeda-beda satu dengan yang lain dikarenakan catatan dari redaksi: “Oentoek memberikan kesempatan lebih loeas lagi
terjadi- nya perubahan-perubahan. Naskah yang kepada oemoem mengenali isi Oendang-Oendang Dasar Pemerintah jang
terakhir setelah Perubahan Keempat tahun 2002 diberi seoetoehnja, di ba- wah ini kita sadjikan pendjelasan selengkapnja”. Tetapi
nama resmi Un- dang-Undang Dasar Negara Republik setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, naskah Penjelasan yang
terpisah itu dijadikan bagian yang tidak terpisahkan dengan naskah UUD
Indonesia Tahun 1945. Dalam naskah terakhir ini, versi 1945, sehingga selanjut- nya dipakai sebagai penjelasan yang bersifat resmi
resminya adalah naskah yang terdiri atas 5 (lima) dan dianggap mengikat secara hukum.
dokumen, yaitu (i) naskah UUD 1945 versi Dekrit 236
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini sangat terkenal, karena salah satu
Presiden 5 Juli 1959, di- tambah 4 (empat) naskah isinya yaitu menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 setelah sebelumnya
tidak lagi diberlakukan secara nasional dengan terbentuknya Republik
lampiran, yaitu (ii) naskah Perubahan Pertama UUD
Indonesia Serikat pada tahun 1949. Di masa RIS, diberlakukan Konstitusi
1945 tahun 1999, (iii) naskah Perubahan Kedua UUD RIS Tahun 1949, dan kemudian setelah bentuk negara kita kembali ke
1945 tahun 2000, (iv) naskah Perubahan Ketiga UUD negara kesatuan diberlakukanlah UUDS Tahun 1950, sambil
1945 tahun 2001, dan (v) naskah Perubahan Keempat mempersiapkan undang-undang dasar baru. Untuk itu, sesuai hasil Pemilu
UUD 1945 tahun 2002. Perbedaan- perbedaan antar 1955, dibentuklah Konstituante dengan tugas menyusun naskah UUD baru
naskah itu dapat digambarkan sebagai berikut: itu. Oleh karena Konstituante tidak berhasil menyelesaikan tugasnya,
Presiden mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 sejak tanggal 5 Juli
(i) Periode 1 (1945–1959): berisi naskah asli UUD 1945 1959.
tanpa disertai dengan penjelasan resmi, karena pada 237
Perubahan Pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Majelis Pe-
awalnya status penjelasan ini hanya merupakan rmusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI,
1999).
238
Perubahan Kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar

169 170
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

(v) Periode 5 (2001-2002): berisi naskah UUD 1945


seperti ini, dapat dikatakan merupakan cara penerbitan
versi tahun 1959 ditambah Perubahan Pertama
naskah yang tidak resmi. Penerbitan demikian
tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, dan
dilakukan semata-mata untuk maksud memudahkan
Perubahan Ketiga tahun 2001;239
pembacanya sesuai usulan yang saya sendiri berkali-kali
(vi) Periode 6 (2002 s.d. sekarang): berisi naskah UUD
sarankan agar naskah Undang-Undang Dasar 1945 yang
1945 versi tahun 1959 ditambah Perubahan Pertama
telah em- pat kali diubah itu dikonsolidasikan menjadi
tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Peruba-
satu kesatu- an naskah.
han Ketiga tahun 2001, dan Perubahan Keempat
Dalam buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 yang
tahun 2002.240 saya susun dan saya terbitkan sebelum Sekretariat Jen-
deral MPR-RI menerbitkan versi naskah konsolidasi itu,
Susunan naskah yang terakhir inilah yang dapat
saya sendiri pun sudah menyinggung pentingnya upaya
dikatakan naskah resmi sejak Perubahan Keempat
menyatukan naskah UUD 1945 yang telah empat kali
tahun 2002, yaitu terdiri atas 5 (lima) berkas yaitu (i)
me- ngalami perubahan itu. 242 Oleh sebab itulah saya
naskah UUD 1945 versi Dekrit Presiden 5 Juli 1949, 241
menerbitkan buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 ter-
(ii) naskah Perubahan Pertama UUD 1945, (iii) naskah
sebut disertai “footnotes” di setiap rumusan pasal dan
Perubahan Kedua UUD 1945, (iv) naskah Perubahan
ayat sebagai keterangan yang berisi komentar dan pen-
Ketiga UUD 1945, dan (v) naskah Perubahan Keempat
dapat saya mengenai setiap butir ketentuan UUD 1945
UUD 1945. Kelima naskah ini dicetak dalam bentuk
pasca Perubahan itu. Saya sendiri berpendapat bahwa
kon- solidasi oleh Sekretariat Jenderal MPR, di mana
Komisi Konstitusi243 yang dibentuk pada tahun 2003,
setiap pasal baru diberi catatan kaki dengan kode
se- mestinya dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan
bintang (*), (**), (***), atau (****) sesuai dengan nomor
tugas konsolidasi yang demikian itu. Sayangnya, Komisi
Perubahan UUD 1945-nya. Cara penulisan dan
Kon- stitusi malah bekerja melampaui mandatnya
menerbitkan atau membukukannya jadi satu kesatuan
sendiri,244 sehingga hasil kerjanya diabaikan sama sekali
yang terkonsolidasi
oleh MPR. Akibatnya, aspirasi dan kebutuhan untuk
mengadakan konsolidasi naskah UUD Negara Republik
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR Indonesia Tahun 1945 itu tidak berhasil dicapai.
RI,
239
2000). Namun sebagai gantinya, Badan Pekerja MPR sen-
Perubahan Ketiga ditetapkan pada tanggal 19 November 2001. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar diri berhasil menjadikan lima naskah terpisah itu
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR menja-
RI, 2001).
240
Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Majelis
242
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Ne- Lihat Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Peruba-
gara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, han Keempat, edisi ke-1 oleh PSHTN-FHUI, Jakarta, 2002, dan Edisi ke-2
2002). oleh
243
Watampone Press, 2003.
241 Komisi Konstitusi ini dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/
Dekrit Presiden beserta lampirannya berupa UUD 1945 diundangkan
MPR/2002 Tahun 2002 dan Putusan Rapat Paripurna ke-6 (lanjutan)
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959. Lihat Sri
bertang- gal 11 Agustus 2002 Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2002.
Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alum- 244
Lihat dalam laporan Komisi Konstitusi, Sekretariat Jenderal MPR-RI,
ni, 1992), hal. 52-53.
2003.

171 172
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

di satu kesatuan yang diterbitkan menjadi naskah


Sesudah Perubahan UUD 1945, maka pada tahun
tersen- diri dengan mencontoh apa yang saya kerjakan
2004 telah diundangkan Undang-undang Nomor 10
sebelum- nya. Namun, naskah konsolidasi itu harus
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perun-
dianggap ber- sifat tidak resmi, karena penyatuannya
dang-undangan246 yang kemudian menjadi sumber ruju-
menjadi satu naskah itu bukan dilakukan secara resmi
kan dalam rangka pembentukan peraturan perundang-
oleh sidang MPR, melainkan hanya oleh kesepakatan
undangan. Sumber-sumber hukum yang pertama inilah
intern tim kerja Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR.
yang disebut di atas sebagai sumber hukum formal,
Tim itulah yang meminta Sekretariat Jenderal MPR
yaitu naskah undang-undang dasar dan peraturan
untuk menerbitkan naskah konsolidasi itu dalam satu
perundang- undangan tertulis lainnya.
rangkaian dengan nas- kah UUD 1945 selengkapnya.
Pada umumnya, hukum tertulis itu merupakan
Maksudnya tiada lain ada- lah untuk memudahkan para
pro- duk legislasi oleh parlemen atau produk regulasi
pembaca untuk mempelaja- ri isi Undang-Undang Dasar
oleh pemegang kekuasaan regulasi yang biasanya
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara utuh dan
berada di tangan pemerintah atau badan-badan yang
menyeluruh.
mendapat delegasi kewenangan regulasi lainnya. Oleh
karena itu, bentuknya dapat berupa legislative acts
3) Peraturan Perundang-undangan Tertulis seperti Undang- Undang atau executive acts seperti
Kelima sumber hukum, sebagaimana telah diurai- Peraturan Pemerin- tah, Peraturan Presiden, atau
kan sebelumnya secara ringkas, secara umum diakui Peraturan Bank Indonesia, Peraturan KPU, KPPU, KPI,
baik di dunia teori maupun praktik di berbagai negara dan sebagainya. Demikian pula lembaga-lembaga
kon- stitutional (constitutional states). Namun, di setiap pelaksana undang-undang lain- nya biasa diberi pula
nega- ra dalam arti hukum tata negara positif, kewenangan untuk menetapkan sendiri peraturan-
pengaturan rincinya tentu berbeda-beda satu sama lain, peraturan yang bersifat internal seper- ti Mahkamah
terutama berkenaan dengan peraturan perundang- Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung
undangan yang bersifat tertulis sebagai sumber hukum (PERMA),247 Mahkamah Konstitusi menetapkan
pertama dan utama. Dalam sistem hukum Indonesia Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), 248 Badan
pun dari waktu ke waktu terjadi perubahan demi Pemeriksa Keuangan juga demikian, dan lain-lain seba-
perubahan. Terakhir, sebelum diadakan perubahan atas gainya.
Undang-Undang Da- sar 1945, ketentuan mengenai Namun, peraturan-peraturan yang termasuk pe-
sumber tertib hukum itu diatur dalam Ketetapan MPRS ngertian executive acts tersebut, tidak disebut secara
No. XX/MPRS/ 1966 ten- tang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia
dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik tetapi pada akhirnya dinyatakan tetap berlaku oleh Ketetapan MPR No.V/
MPR/1973.
Indonesia yang kemudian diubah dengan Ketetapan 246
Indonesia, Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Peundang-
MPR No. III/MPR/2000.245 undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53, TLN No. 4389.
247
Lihat Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. UU
No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang
245
Sebelumnya, Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memoran- Mahkamah Agung.
248
dum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Lihat Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia ini pernah ditinjau ulang,

173 174
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

khusus dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.


turan perundang-undangan adalah sesuai dengan
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No-
hierar- ki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut.
mor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan per-
4) Yurisprudensi Peradilan
undang-undangan Republik Indonesia hanya terdiri
Sumber berikutnya adalah yurisprudensi. Dalam
atas:
sistem common law, putusan pengadilan inilah yang
i) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
jus- tru lebih utama sesuai dengan asas precedent. Akan
Tahun 1945;
teta- pi dalam tradisi civil law, putusan pengadilan tidak
ii) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
di- anggap paling utama, meskipun tetap dijadikan
Undang-undang;
sebagai salah satu sumber hukum. Tidak semua putusan
iii) Peraturan Pemerintah;
penga- dilan dapat dijadikan referensi yang mengikat.
iv) Peraturan Presiden;
Untuk dapat mengikat sebagai sumber hukum, putusan
v) Peraturan Daerah.
penga- dilan harus lebih dulu memenuhi syarat
sehingga diakui sebagai yurisprudensi yang harus pula
Peraturan Daerah (Perda), sebagaimana dimaksud
dibedakan dari istilah yang sama yang biasa ditemukan
dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 dan seba-
dalam literatur common law.
gainya, meliputi:
Di Inggris, Amerika, Kanada, dan Australia, istilah
a) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan per-
jurisprudence berarti ilmu hukum. Sebab sejak semula,
wakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gu-
hukum dalam tradisi Anglo Saxonia memang tumbuh
bernur;
dari putusan-putusan pengadilan. Ilmu hukum dikem-
b) Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh
bangkan dengan cara mempelajari kasus-kasus dan
dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota
putusan pengadilan. Oleh karena itu, lama kelamaan, is-
bersama bupati/walikota;
tilah jurisprudence di Inggris dan negara-negara berba-
c) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat
hasa Inggris lainnya yang dipengaruhi oleh sistem hu-
oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya ber-
kum Anglo Saxon, berkembang dalam pengertian ilmu
sama dengan kepala desa atau nama lainnya.
hukum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pem-
Dalam sistem kontinental seperti di Jerman,
buatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat,
Peran- cis, dan Belanda, putusan pengadilan dianggap
menu- rut Pasal 7 ayat (3), diatur dengan Peraturan
sebagai salah satu saja dari norma hukum yang
Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
dipelajari dan di- jadikan sumber hukum. Untuk itu,
Selanjutnya, dalam Pasal 7 ayat (4) dinyatakan bahwa
istilah jurisprudentie di Belanda menunjuk kepada
jenis peraturan per- undang-undangan selain
pengertian putusan penga- dilan yang bersifat tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
yang kemudian dijadikan refe- rensi bagi hakim lain
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
dalam memeriksa perkara serupa di kemudian hari.
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peratu- ran
Pengertian inilah yang diadopsi ke da- lam sistem
perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebab, seper- ti
hukum Indonesia.
ditentukan dalam ayat (5)-nya, kekuatan hukum pera-

175 176
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Seperti dikemukakan di atas, tidak semua putusan


tidak identik dengan kebiasaan. Dengan demikian, kon-
pengadilan dapat menjadi atau dianggap sebagai yuris-
vensi ketatanegaraan juga tidak identik dengan kebiasa-
prudensi. Dalam sistem hukum Indonesia, dipersyarat-
an ketatanegaraan. Kebiasaan menuntut adanya perula-
kan bahwa putusan pengadilan itu (i) harus sudah
ngan yang teratur, sedangkan konvensi tidak selalu
meru- pakan putusan yang berkekuatan hukum tetap
harus didasarkan atas perulangan. Konvensi
(inkracht van gewijs), (ii) dinilai baik dalam arti
ketatanegaraan (the conventions of the constitution)
memang meng- hasilkan keadilan bagi pihak-pihak
dapat berbentuk kebiasaan, dapat pula berbentuk
bersangkutan, (iii) putusan yang harus sudah berulang
praktik-praktik (prac- tices) ataupun constitutional
beberapa kali atau dilakukan dengan pola yang sama di
usages. Terhadap hal ini, yang penting adalah bahwa
beberapa tempat terpisah, (iv) norma yang terkandung
kebiasaan, kelaziman, dan praktik yang harus dilakukan
di dalamnya me- mang tidak terdapat dalam peraturan
dalam proses penyelengga- raan negara, meskipun tidak
tertulis yang ber- laku, atau kalaupun ada tidak begitu
tertulis, dianggap baik dan berguna dalam
jelas, dan (v) putu- san itu dinilai telah memenuhi syarat
penyelenggaraan negara menurut un- dang-undang
sebagai yurispru- densi dan direkomendasikan oleh tim
dasar. Oleh karena itu, meskipun tidak di- dasarkan atas
eksaminasi atau tim penilai tersendiri yang dibentuk
ketentuan konstitusi tertulis, hal itu tetap dinilai penting
oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi
secara konstitusional (constitutionally meaningful).
untuk menjadi yuris- prudensi yang bersifat tetap.
Untuk diakui sebagai yurisprudensi yang bersifat Oleh sebab itu, konvensi ketatanegaraan atau
tetap, putusan pengadilan harus memenuhi kelima per- kebiasaan ketatanegaraan semacam itu dianggap harus
syaratan tersebut secara kumulatif. 249 Namun demikian, ditaati sebagai konstitusi juga, yaitu sebagai konstitusi
sekali putusan pengadilan itu benar-benar telah diang- yang tidak tertulis. Tentu, konvensi atau kebiasaan itu
gap sebagai yurisprudensi, maka bagi para hakim di pe- sendiri dapat saja diubah. Cara mengubahnya tidak
ngadilan, statusnya dianggap sebagai salah satu sumber sesulit jika dibandingkan dengan konstitusi yang
hukum yang mengikat seperti halnya undang-undang. tertulis. Konvensi ketatanegaraan ataupun kebiasaan
ketatane- garaan dapat saja diubah dengan melakukan
5) Konvensi Ketatanegaraan penyim- pangan yang dianggap perlu sebagai konvensi
Sumber selanjutnya adalah konvensi ketatanegara- baru yang untuk selanjutnya, setelah dilakukan
an atau constitutional conventions atau kadang-kadang berulang-ulang, menjadi kebiasaan yang baru pula.
Seperti diuraikan di atas, dalam praktik ketatane-
disebut juga conventions of the constitution.250 Konvensi
garaan Inggris, sebagian besar konvensi ketatanegaraan
249
mengatur hubungan antar cabang-cabang kekuasaan
Bandingkan dengan Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah pe- merintahan pusat (central government), khususnya
Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.11-12. Baca juga Yuris-
prudensi dalam Perspektif Pembangunan Hukum Administrasi Negara, (Ja-
me- ngatur (i) the relationship between the monarch,
karta: Mahkamah Agung, 1995). minis- ters, and parliament, (ii) the relationship
250
Hal tersebut misalnya dikemukan oleh A.V. Dicey dan kemudian diikuti between mi- nisters among themselves, and (iii) the
oleh banyak sarjana Inggris lainnya, seperti misalnya John Alder yang me- relationship bet-
nyebutnya dengan istilah conventions of the constitution.

177 178
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

ween ministers and civil servants. 251 Kadang-kadang


the House of Commons – nowadays an elected party
konvensi berfungsi sebagai devices for adjusting the
leader, (ii) The Queen must appoint and dismiss the
strict law to meet the changing demands of politics.
per- sons nominated by the Prime Minister all of whom
Dengan begitu, kebiasan-kebiasaan ketatanegaraan itu
must usually the Members of Parliament and most
berfungsi melancarkan jalan sehingga norma hukum
members of the House of Commons, dan (iii) The
dapat dijalankan dengan mulus dalam praktik.
government must resign if defeated on a vote of
Dalam pengalaman di Inggris, seperti contoh yang
confidence in the House of Commons.252
telah diuraikan sebelumnya, peraturan tertulis tegas
Di Indonesia juga dapat ditemukan banyak
menentukan bahwa “The Queen’s assent is required for
konven- si ketatanegaraan yang dipraktikkan sejak dulu
a valid Act of Parliament”. Dalam praktik hal itu
sampai sekarang. Umpamanya, adanya kebiasaan
berubah dan akhirnya berkembang sebagai konvensi
penyeleng- garaan kegiatan Pidato Kenegaraan Presiden
yaitu bahwa The Queen must always assent to a bill.
pada Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 16 Agustus setiap
Peraturan ter- tulis juga menentukan “Parliament must
tahun, baik yang berlaku sejak awal masa pemerintahan
meet at least every three years”, tetapi kemudian
Presiden Soeharto maupun yang berlaku sampai dengan
berubah karena konvensi menjadi Parliament must
sekarang. Di masa pemerintahan Presiden Soekarno,
meet annually.
pidato kene- garaan semacam itu dilaksanakan langsung
Peraturan tertulis di Inggris juga menentukan
di hadapan rakyat di depan Istana Merdeka pada setiap
bahwa “The Queen constitutes the executive branch of
tanggal 17 Agustus, sekaligus dalam rangka perayaan
government but cannot make law nor raise taxes
hari kemer- dekaan. Pidato Presiden Soekarno di depan
except through an Act of Parliament”. Tetapi dalam
istana ter- sebut biasanya disebut sebagai “Amanat 17
praktik, hal tersebut berubah akibat adanya konvensi
Agustus”. Beberapa sarjana dan juga Presiden Soekarno
sehingga menjadi beberapa norma, yaitu: (a) The Queen
sendiri menyatakan bahwa pidatonya itu merupakan
acts only on the advice of Ministers; (b) The cabinet is
bentuk per- tanggungjawabannya sebagai Pemimpin
collectively responsible to Parliament for the conduct of
Besar Revolusi, bukan sebagai Presiden.
the govern- ment, (c) Ministers are individually Namun, setelah masa Orde Baru, pidato kenegara-
responsbile to Par- liament for the conduct of their an tersebut diubah menjadi pidato kenegaraan di depan
departments; (d) Legis- lation involving taxation and rapat paripurna DPR-RI, dan fungsinya dikaitkan de-
public expenditure can be introduced only by ngan penyampaian nota keuangan dalam rangka ranca-
ministers; (e) Executive powers are exercised through ngan APBN oleh Presiden kepada DPR-RI. Dengan
ministers, who are collectively and individually demi- kian, fungsi Pidato Presiden tersebut berubah
responsible to Parliament. menjadi pidato yang bersifat lebih teknis, dan bukan lagi
Contoh lain lagi adalah bahwa peraturan tertulis sebagai pidato yang bersifat simbolik dan sekaligus
menentukan “The Queen appoints and dismisses minis- kerakyatan, sehingga tepat disebut sebagai Pidato
ters” tetapi dalam praktik berubah oleh konvensi menja- Kenegaraan yang
di (i) The Queen must appoint as Prime Minister the
person who can command the support of a majority
of

251 252
Alder, Op. Cit., hal. 26-27. Ibid. hal. 27-28.
179 180
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

diadakan khusus satu kali dalam setiap tahun dalam


peraturan tertulis yang berlaku; (iii) pendapat hukum
rangka perayaan hari kemerdekaan.
dimaksud telah diakui keunggulannya dan diterima oleh
Hal ini diteruskan sampai sekarang, sehingga
umum, khususnya di kalangan sesama ilmuwan. Dengan
timbul persoalan mengenai keterlibatan Dewan
kata lain, pendapat yang bersangkutan sudah menjadi
Perwaki- lan Daerah setelah terbentuk sebagai lembaga
ius comminis opinion doctorum atau sudah menjadi
negara yang tersendiri di samping Dewan Perwakilan
prinsip atau pendapat ilmiah yang diterima oleh umum
Rakyat. Namun, untuk mengatasi hal itu, diadakan
pengaturan sehingga Presiden juga dijadwalkan
7) Hukum Internasional
menyampaikan pi- dato kenegaraan yang tersendiri di
Hukum publik internasional secara umum diang-
hadapan Dewan Per- wakilan Daerah, yaitu pada setiap
gap juga menjadi sumber hukum tata negara. Meskipun
akhir bulan Agustus. Pidato di depan DPD tersebut juga
sama-sama menjadikan negara selaku subjek hukum se-
dimanfaatkan untuk menyampaikan keterangan
bagai objek kajiannya, antara hukum tata negara
pemerintah mengenai APBN, khususnya yang berkaitan
(consti- tutional law) dengan hukum internasional
dengan kepentingan daerah- daerah di seluruh
publik (Inter- national public law) jelas dapat
Indonesia.
dibedakan satu sama lain. Hukum tata negara melihat
negara dari segi inter- nalnya, sedangkan hukum
6) Doktrin Ilmu Hukum (ius comminis opinio docto-
internasional melihat negara dari hubungan
rum)
eksternalnya dengan subyek-subyek nega- ra lain.
Doktrin ilmu pengetahuan hukum juga dapat dija-
dikan sumber hukum (the source of law), karena penda-
3. Contoh Sumber Hukum Tata Negara Inggris
pat seorang ilmuwan yang mempunyai otoritas dan kre-
dibilitas dapat dijadikan rujukan yang mengikat dalam
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan di sini
membuat keputusan hukum. Fatwa atau legal opinion
pendapat A.W. Bradley dan K.D. Ewing mengenai sum-
merupakan pendapat hukum yang tidak mengikat. Pen-
ber hukum tata negara Inggris (the sources of consti-
dapat hukum itu dapat diajukan oleh ilmuwan hukum
tutional law in Britain) yang menurutnya sama saja de-
mengenai sesuatu persoalan atau oleh lembaga negara
ngan sumber hukum pada umumnya. Perbandingan ini
resmi, seperti Mahkamah Agung, asalkan pengaturan
penting, karena berbeda dengan negara-negara lain,
mengenai hal itu memang tidak terdapat dalam pera-
Ing- gris dikenal tidak memiliki naskah undang-undang
turan tertulis yang berlaku. Dalam hal demikian, maka
dasar yang bersifat tertulis dalam arti terkodifikasi
pendapat hukum (legal opinion) itu dapat dijadikan ru-
dalam satu naskah. Menurut kedua sarjana Inggris ini:
jukan dalam membuat keputusan asalkan memenuhi “In the absence of a written constitution, the two main
beberapa persyaratan. sources of constitutional law are the same as those of
Persyaratan dimaksud adalah bahwa (i) ilmuwan law in general, namely: (a) legislation (or enacted
yang bersangkutan dikenal dan diakui luas sebagai ilmu- law), and (b) judicial precedent (or case law). 253
wan yang memiliki otoritas di bidangnya dan mempu-
nyai integritas yang dapat dipercaya; (ii) terhadap perso-
alan yang bersangkutan memang tidak ditemukan dalam 253
Bradley and Ewing, Op Cit., hal 12-13.

181 182
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Walaupun peradilan dengan sistem juri dan


Untuk lebih jelasnya, keduanya dapat dielaborasi- dengan the writ of habeas corpus dipengaruhi oleh
kan sebagai berikut: sumber-sum- ber tradisi yang lain, Chapter 29 Magna
Charta menya- takan bahwa “no man should be
a. Legislation (Enacted Law) punished except by the judgement of his peers or the
Sumber hukum pertama adalah peraturan perun- law of the land and that to none should justice be
dang-undangan tertulis, termasuk acts of Parliament, denied”. Ketentuan ini mencer- minkan protes melawan
peraturan-peraturan tertulis yang ditetapkan oleh hukuman yang sewenang-we- nang dan pembatasan
peme- rintah, dan peraturan-peraturan yang ditetapkan terhadap peradilan yang fair (fair trial), serta sistem
oleh lembaga-lembaga lainnya yang mendapat delegasi hukum yang adil (just legal system). Sekarang, beberapa
kewe- nangan regulasi dari parlemen. Oleh karena ketentuan Magna Charta itu masih terdapat dalam
Inggris tidak memiliki naskah undang-undang dasar Statute Book tetapi telah diubah dengan sebutan the
tertulis yang ter- sendiri, maka sejak dulu sampai nearest approach to an irrepealable “funda- mental
sekarang cukup banyak undang-undang yang disahkan statute” that England has ever had.254
oleh parlemen yang ber- hubungan dengan sistem
penyelenggaraan pemerin- tahan. Mengenai hal ini yang 2) Petition of Right
dianggap paling penting di antaranya adalah: Dokumen atau naskah lain yang juga diundangkan
oleh Parlemen Inggris pada era konflik konstitusional
1) Magna Charta berikutnya adalah Petition of Right pada 1628, yang di-
Magna Charta dianugerahkan oleh Raja John tuangkan dalam Statute Book pada bagian 3 Car 1 c 1.255
pada tahun 1215 di Runnymede kepada the nobles, dan Petisi ini mengandung protes melawan kebijakan per-
dalam berbagai bentuknya dengan persetujuan pajakan yang diterapkan tanpa didasarkan atas persetu-
parlemen Ing- gris dikonfirmasi oleh raja-raja juan parlemen, pemenjaraan yang semena-mena, pene-
berikutnya. Magna Char- ta muncul dalam Statute rapan keadaan darurat militer di masa damai, dan pe-
Book yang dikonfirmasi oleh Raja Edward I pada tahun maksaan kebijakan penginapan bagi tentara di tempat-
1297. Pentingnya piagam atau charter ini adalah di tempat sipil (private persons). Terhadap protes-protes
dalamnya terdapat statement of grievances yang itu, Raja akhirnya menyerah, meskipun akibat selan-
dirumuskan atas nama sebagian besar komunitas rakyat jutnya dari konsesi yang diberikan itu diperlemah lagi
which the king undertook to redress. Piagam Magna oleh pandangan Charles I yang menyatakan bahwa hak
Charta ini juga merumuskan hak-hak bagi berbagai prerogatifnya sendiri masih tetap tidak terhapus.
kelas masyarakat abad pertengahan itu se- suai dengan
kebutuhan mereka masing-masing. Gereja diharuskan
untuk bebas, London dan kota-kota lainnya harus
menikmati kebebasan dan adat kebiasaannya ma- sing- 254
Pollock and Maitland, History of English Law, Vol. 1, hal. 173; juga
masing, dan para pedagang tidak boleh dipaksa un- tuk dalam R vs. Home Industry, ex Phansopkar, 1976, QB 606; R vs. Foreign
membayar pajak yang tidak adil. Secretary,
255
ex Bancoult, 2001, QB 1067; dan A. Tomkins, 2001, PL. 571.
Halsbury’s Statutes, Vol. 10, hal. 26. Lihat juga Bradley and Ewing, Op.
Cit., hal.13, ft. 10.

183 184
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

3) Bill of Right and Claim of Right war for the defence of any dominions or territories
Revolusi Kemenangan tahun 1688 atau The glo- which do not belong to the crown of England, without
rious revolution of 1688 menyebabkan jatuhnya James consent of Parliament. That no person who has an
II of England dan James VII of Scotland dari office or place of profit under the King or receives a
singgasana- nya, dan dipulihkannya kekuasaan monarki pension from the crown shall be capable of serving as
di kedua ke- rajaan itu sesuai dengan syarat-syarat yang a member of the House of Commons.”
ditentukan oleh masing-masing parlemen Inggris dan “That ... judges’ commissions be made ‘quamdiu se
Skotlandia. Di Inggris, yang menyetujui The Bill of bene gesserint’ [so long as they are of good behaviour],
Rights itu adalah House of Lords dan sisa-sisa anggota and their salaries ascertained and established, but
parlemen terakhir masa Charles II pada tahun 1689 upon the address of both Houses of Parliament it may
be lawful to remove them. That no pardon under the
yang selanjutnya di- konfirmasi oleh parlemen yang
great seal of England be pleadable to an impeachment
terbentuk sesudah revo- lusi.256 by the Com- mons in Parliament”.258
Hal inilah yang selanjutnya menjadi landasan bagi
konstitusionalisme modern Inggris dengan meninggal-
5) Other Statutes of Constitutional Importance
kan klaim yang biasa dikenal dengan the extravagant
Di samping itu, banyak lagi undang-undang lain
claims of the Stuarts to rule by prerogative right.
yang dalam sistem ketatanegaraan Inggris dianggap
mempunyai constitutional importance karena diakui se-
4) The Acts of Settlement
bagai bagian dari pengertian hukum tata negara Inggris
Undang-undang Pemukiman Tahun 1700 ini diun-
dalam arti yang luas. Untuk menyebut beberapa di anta-
dangkan oleh parlemen Inggris, tidak saja menyediakan
ranya yaitu the Act of Union with Scotland tahun 1707,
mekanisme suksesi ke singgasana, tetapi juga menam-
the Act of Union of Ireland, the Parliament Act tahun
bahkan berbagai ketentuan penting yang bersifat kom-
1911 dan tahun 1949, the Crown Proceedings Act tahun
plementer terhadap naskah Bill of Rights. The Bill of
1947, the European Communities Act tahun 1972, the
Rights dan The Acts of Settlement tersebut menandai
British Nationality Act tahun 1981, dan the Public
kemenangan parlemen atas tuntutan atau klaim Raja
Order Act tahun 1986. Selain itu, dalam beberapa tahun
untuk memerintah menurut prinsip hak prerogatif yang
ter- akhir ini, terdapat pula beberapa undang-undang
bersifat mutlak.257 Sebagai contoh, dalam Acts of Sett-
baru yang disahkan antara tahun 1997 sampai dengan
lement ini ditentukan bahwa: tahun 2000. Misalnya, dapat dikemukakan di sini
“That shosoever shall hereafter come to the possession
of this crown shall join in communion with the Church adalah the Scotland Act tahun 1998, the Human Rights
of England as by law established. That in case the Act tahun 1998, dan the House of Lords Act tahun 1999,
crown and imperial dignity of this realm shall serta undang-undang anti-terorisme atau the Terrorism
hereafter come to any person, not being a native of this Act tahun 2000.
kingdom of England, this nation be not obliged to Sekiranya Inggris memiliki naskah undang-
engage in any undang dasar tertulis, tentulah materi-materi undang-
256
undang
257
Ibid., hal. 14.
Ibid., hal. 15.
258
Ibid., hal. 40.

185 186
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tersebut di atas seharusnya tercantum dalam naskah un-


lenggaraan referendum apabila muncul usulan untuk
dang-undang dasar, sehingga untuk mengadopsikannya
melakukan perubahan ketentuan konstitusional tertentu
memerlukan perubahan-perubahan naskah undang-un-
telah pula dikembangkan sejak tahun 1973.
dang dasar sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,
dikatakan oleh A.W. Bradley dan K.D. Ewing:
b. Judicial Precedent (Case Law)
“.... in two respects a distinction is sometimes drawn
between constitutional and other legislation. First, the Sumber utama lainnya dari rule of law di Inggris
House of Commons may refer Bills of constitutional dapat ditemukan dalam berbagai putusan pengadilan
significance for detailed consideration to a committee yang lebih tinggi atau pengadilan terdahulu. Putusan-
of the whole House rather than to a standing putusan pengadilan dimaksud dapat ditemukan dalam
committee of the House, but not all Bills of bentuk laporan-laporan resmi (law reports) ataupun
constitutional signi- ficance are treated in this way. berita-berita negara sebagai tempat penuangan dan
Second, by the doctrine of implied repeal, a later Act, pem- beritaan resmi adanya putusan pengadilan yang
however, in the case of some statutes of special telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijs).
significance, the courts are sometimes reluctant to hold
Di bawah doktrin preseden atau stare decisis,261
that they have been over- riden by a later Act. Under
this category might come such Acts as the Bill of Rights putusan- putusan tersebut bersifat mengikat bagi
1689, the Acts of Union with Scotland and Ireland, the pengadilan-pe- ngadilan di bawahnya ataupun bagi
European Communities Act 1972, and the Human pengadilan-pengadi- lan yang terkemudian.262
Rights Act 1998”.259
c. The Common Law
Seperti dikatakan oleh Lord Wilberforce, seorang Secara harfiah, yang dimaksud dengan common
hakim senior Inggris: law itu adalah hukum kebiasaan, yaitu terdiri atas the
“In strict law there may be no difference in status ... as laws and customs yang sejak dahulu kala diakui sebagai
between one Act of Parliament and another, but I con- hukum oleh para hakim dalam mengadili suatu perkara
fess to some reluctance in holding that an Act of such tertentu yang diajukan kepada mereka. Dalam berbagai
constitutional significance as the Union with Ireland laporan resmi mengenai hal ini, dapat ditemukan ber-
Act is subject to the doctrine of implied repeal or of bagai kasus hukum yang berkaitan dengan the preroga-
obsolescence”.260 tives of the Crown, the remedies of the subject against
illegal acts by public authorities and officials, and the
Dengan doktrin implied repeal itu berarti terjadi writ of habeas corpus, yang dalam hukum Inggris
penghapusan secara diam-diam, sedangkan dengan melin- dungi kebebasan warga negara dari tindakan
dok- trin obsolescence berarti terjadi proses penataan pemasu- ngan dan pengekangan yang melanggar
alamiah yang menyebabkannya tidak terpakai lagi. hukum.
Apalagi, mes- kipun tidak dipersyaratkan, kebiasaan
praktik penye- 261
Dengan doktrin stare decisis ini berarti bahwa adalah tugas pengadilan
untuk mengamati dan memperhatikan kasus-kasus terdahulu yang telah
259 dipu- tus.
260
Ibid. 262
Cross and Harris, “Precedent in English Law”, dalam Bradley and Ewing,
Lord Wilberforce, Report by the Committee of Privileges on the Petition
of the Irish Peers, 1966, HL. 53, hal. 16. Op. Cit., hal. 16.

187 188
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Sebagai contoh, dalam putusan Entick vs Carring- Action, ch 2, 1994, 110 LQR 270.
ton ditentukan bahwa Secretary of State tidak mempu-
nyai kekuasaan untuk mengeluarkan general warrants
for the arrest and search of those publishing seditious
papers, dan pada kasus Burmah Oil Co. vs Lord Advo-
cate yang menentukan bahwa kerajaan harus membayar
ganti rugi atas subjek kekayaan yang diambil dalam
rangka pelaksanaan kewenangan prerogatifnya. Contoh
kasus lainnya yaitu Conway vs Rimmer yang menen-
tukan bahwa pengadilan mempunyai kewenangan untuk
memerintahkan pengadaan atau pembuatan dokumen
dalam rangka pembuktian untuk mana hak-hak keu-
tamaan kerajaan diklaim oleh kementerian dalam negeri
atau Home Secretary. Demikian pula dalam kasus M vs
Home Office yang menentukan bahwa Home Secretary
telah melakukan tindakan penghinaan terhadap
pengadi- lan (contempt of court) dengan tidak
mematuhi perintah hakim untuk membawa seorang
guru berkebangsaan Zaire kembali ke Inggris.
Semua putusan-putusan dalam kasus-kasus ter-
sebut di atas, dibuat oleh para hakim yang dikenal luas
tergolong paling senior di Inggris. Putusan-putusan ter-
sebut mengandung norma aturan yang sangat penting di
lapangan hukum publik, yang tidak mungkin akan di-
tetapkan sebagai norma hukum oleh parlemen. Dengan
tidak adanya naskah undang-undang dasar tertulis,
putusan-putusan ini justru menyediakan apa yang dise-
but pondasi hukum bagi konstitusionalisme Inggris (the
legal foundations of British constitutionalism).263
Meski- pun demikian, putusan-putusan tersebut tidak
dapat dikatakan mengikat sepanjang waktu, karena
putusan- putusan itu juga dapat dikesampingkan atau
diubah oleh

263
Lihat Allan, Law, Liberty and Justice, chs 1, hal. 4. Lihat juga S. Sedley,
dalam Richardson and Genn (eds), Administrative Law and Government

189 190
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
parlemen, bahkan dapat pula diubah secara retros- 266
R vs Lambert, 2001, 3 All ER 577; Cf. R vs Kansal No. 2, 2002, 1 All
pektif.264 ER, hal. 257.

d. Interpretation of the Statute Law


Pengadilan tidak berwenang untuk memutus
atau menentukan keberlakuan undang-undang buatan
parle- men (Acts of Parliament).265 Artinya, hakim di
Inggris tidak diperkenankan melakukan pengujian
konstitusio- nalitas atas undang-undang (judicial
review). Penga- dilan hanya berwenang menguji
peraturan yang lebih rendah daripada undang-undang
(judicial review on the legality of regulations). Di
samping itu, pengadilan Ing- gris juga mempunyai
kewenangan untuk menafsirkan peraturan perundang-
undangan dalam hal pengertian dari suatu undang-
undang yang bersangkutan sedang di- perselisihkan.
Persoalan-persoalan penting mengenai hukum publik
dapat timbul dari penafsiran terhadap undang-undang
sebagaimana terlihat dari 2 (dua) putu- san House
Lords baru-baru ini.
Dalam putusan pertama, House of Lords menen-
tukan bahwa menurut Undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia (the Human Rights Act) tahun 1998,
se- seorang yang terbukti bersalah di pengadilan
sebelum berlakunya undang-undang, dan mereka yang
terbukti bersalah setelah berlakunya undang-undang
tersebut, tidak dapat mengajukan permohonan bahwa
haknya me- nurut undang-undang ini telah
dilanggar.266
Sedangkan dalam putusan yang kedua, Menteri
Lingkungan Hidup (the Environment Secretary), ber-
dasarkan undang-undang tahun 1985, mempunyai ke-
kuasaan yang luas untuk melindungi penghuni dari
ke-
264
Lihat “The War Damage Act” tahun 1965, reversed the Burmah Oil
Decision seperti tersebut di atas.
265
A.W. Bradley and K.D. Ewing, Op. Cit., hal. 17.

189 190
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

naikan harga sewa yang dihasilkan oleh putusan penga-


dang, dan tujuan yang hendak dicapai oleh proses legis-
dilan mengenai sewa; para tuan tanah atau rumah
lasinya.
mengklaim bahwa kekuasaan hanya dapat digunakan
Dikarenakan sebagian besar kekuasaan pemerin-
se- bagai ukuran menghadapi inflasi. Dalam menaati
tahan berasal dari peraturan tertulis atau undang-un-
aturan- aturan tersebut, para petinggi hukum
dang, maka hukum buatan hakim (judge-made law)
membahas pende- katan pengadilan dalam memutus
yang bersumber dari penafsiran terhadap peraturan ter-
makna undang-un- dang tahun 1958 itu. Seperti
tulis (interpretation of statutes) menjadi sangat penting
dikemukakan oleh Lord Bingham, “the overriding aim...
dalam hukum administrasi negara. Prinsip-prinsip atau
must always be to give effect to the intention of
pra-anggapan (presumptions) dalam penafsiran pera-
Parliament as expressed in the words used”.267 Menurut
turan perundang-undangan yang diterapkan oleh
Lord Nicholls:
penga- dilan adalah jarang bersifat konklusif, dan malah
“The task of the court is often said to be to ascertain the
ka- dang-kadang menunjuk kepada pengertian yang
intention of Parliament expressed in the language
under consideration. This is correct and may be berke- balikan arah. 269 Tugas pengadilan dalam
helpful, so long as it is remembered that the ‘intention menemukan pengertian atau akibat dari perkataan yang
of Parlia- ment’ is an objective concept, not subjective. dipilih oleh parlemen memerlukan analisis tekstual atas
The phrase is a shorthand reference to the intention perundang- undangan yang bersangkutan. Akan tetapi,
which the court reasonably imputes to Parliament in jika kebijakan atau tujuan suatu undang-undang dapat
respect of the lan- guage used. It is not the subjective ditentukan, sangat mungkin untuk memberikan
intention of the minister or other persons who penafsiran yang konsisten dengan hal itu.
promoted the legislation. Nor is it the subjective
Sebelumnya, ada aturan yang melarang pengadilan
intention of the draftsman, or of individual members
or even of a majority of individual members of either untuk melihat catatan atau risalah perdebatan di par-
House”. 268 lemen. Akan tetapi, pada tahun 1992, House of Lords
memperbaiki ketentuan ini. Sekarang, pengadilan diper-
Lord Nicholls menerangkan bahwa dalam mencari bolehkan menggunakan dokumen-dokumen yang dise-
makna kata-kata yang dipakai oleh Parlemen, but the Hansard itu sebagai alat bantu untuk
pengadilan menggunakan prinsip-prinsip baku dalam melakukan konstruksi (statutory construction) apabila
penafsiran sebagai pedoman. Jika diperlukan, suatu un- dang-undang atau ketentuan dalam undang-
pengadilan juga akan menggunakan dukungan internal undang yang bersangkutan bersifat ambiguous atau
(internal aids) yang ditemukan dalam bagian lainnya tidak jelas. Hal tersebut dilakukan karena dokumen-
dari undang-undang yang bersangkutan ataupun dokumen oten- tik yang terdapat dalam arsip parlemen
dukungan eksternal (exter- nal aids) seperti bahan- justru berisi per- nyataan-pernyataan yang sangat jelas
bahan dari luar undang-undang untuk dari seorang men-
mengidentifikasikan penyakit (the mischief) yang ingin
disembuhkan atau dipulihkan oleh undang-un-

267
R vs Environment Secretary, ex p Spath Holme Ltd, 2001, 2 AC 349,
388. 269
Lihat Marshall, Constitutional Theory, ch. 4; Cross, Statutory
268
Ibid., 396, hal.17.
191 192
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
Interpretation; Bennion, Statutory Interpretation.

191 192
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

teri atau para anggota parlemen yang mengusung ide


Misalnya, jika seseorang ingin mengutip susuatu
rancangan undang-undang yang bersangkutan.270
pasal undang-undang dalam tulisannya, maka ia dapat
Dalam penafsiran konstitusi dan peraturan perun-
(i) mengutip bunyi pasal tersebut dari buku atau tulisan
dang-undangan, pra-anggapan tertentu mempunyai arti
orang lain yang sudah lebih dulu mengulas atau mem-
konstitusional yang sangat penting (constitutional im-
bahas pasal undang-undang yang bersangkutan; (ii)
portance). Atas dasar pra-anggapan tersebut, banyak
mengutip bunyi pasal itu dari berita koran atau majalah;
undang-undang yang dapat dikatakan tidak mengikat
(iii) mengutip bunyi pasal itu dari buku undang-undang
bagi pemerintah pusat. Hal tersebut dikarenakan bahwa
terbitan penerbit swasta; (iv) mengutip bunyi pasal itu
mahkota kerajaan Inggris diasumsikan tidak terikat
dari kumpulan undang-undang yang diterbitkan oleh
oleh undang-undang, kecuali jika hal itu secara eksplisit
lembaga negara atau instansi pemerintah yang bersang-
dinyatakan berlaku atau dianggap perlu diberlakukan
kutan dengan undang-undang itu; atau (v) mengutip
secara diam-diam (necessarily implied).
bunyi pasal undang-undang itu dari terbitan resmi Lem-
baran Negara Republik Indonesia. Dari kelima cara me-
4. Sumber Hukum Primer,
ngutip tersebut, yang bersifat resmi dan dapat diper-
Sekunder, dan Tertier
tanggungjawabkan secara ilmiah adalah yang terakhir,
Dalam penelitian hukum dikenal pula adanya
yaitu pengutipan dari terbitan resmi Lembaran Negara
istilah sumber primer, sekunder, dan tertier. Pengertian
Republik Indonesia.
sumber di sini lebih konkrit sifatnya, yaitu sumber fisik
Di samping bahwa sumber resmi itulah yang
dari mana suatu norma hukum (norm) dikutip atau
dinilai dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
diambil untuk diterapkan dalam menilai sesuatu fakta
secara il- miah, sumber resmi itu juga merupakan
(feit). Pengertian sumber dalam arti demikian pada
jaminan keabsa- han pengutipan itu secara hukum.
umumnya dianggap penting, baik dalam dunia teori
Artinya, ketentuan mengenai pengutipan tersebut
maupun praktik, untuk menjamin bahwa pengutipan
berlaku tidak saja di du- nia ilmiah, tetapi juga haruslah
norma dilakukan dengan benar. Kualifikasi sumber
dijadikan standar dalam praktik penerapan norma
hukum itu menjadi penting untuk menentukan derajat
hukum itu di pengadilan dan lembaga-lembaga pembuat
keterpercayaan atau tingkat kebenaran referensi atau
keputusan hukum lainnya. Apabila pengutipan suatu
perujukannya. Oleh sebab itu, kategori sumbernya dibe-
norma hukum tidak dilakukan dari sumber resminya,
dakan antara sumber primer yang mempunyai nilai
maka dengan sendirinya hal itu dapat dianggap tidak
keterpercayaan paling tinggi, karena sifatnya yang lang-
benar secara ilmiah, dan sekaligus tidak “sah” secara
sung dengan sumber sekunder melalui perantara. Demi-
hukum. Kita tidak dapat membenar- kan seorang hakim
kian pula dengan sumber yang tingkat keterpercaya-
membuat putusan dengan mengutip suatu pasal
annya paling rendah, yaitu sumber tertier dengan lebih
undang-undang dari sumber koran atau dari sumber
banyak perantara.
buku terbitan swasta yang tidak dapat dipertang-
gungjawabkan ketepatan redaksionalnya secara hukum.
270
Demikian pula dengan calon sarjana hukum S1, S2, dan
Pepper vs Freemans plc, 1989, AC 66. Ibid., hal. 18.
S3, dalam menulis skripsi, tesis, dan disertasi, tidak da-
pat dibenarkan mengutip sesuatu bunyi pasal undang-

193 194
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

undang atau peraturan perundang-undangan lainnya


Selain dari sumber-sumber yang bersifat resmi ter-
da- ri sumber yang tidak resmi.
sebut, maka sumber-sumber lainnya haruslah dinilai
Sumber resmi itu adalah Lembaran Negara,
tidak resmi. Seperti yang tergambar dalam keempat
Tambahan Lembaran Negara, dan Berita Negara, serta
contoh pengutipan tersebut di atas, dapat dikatakan
Tambahan Berita Negara, tergantung bentuk hukum
bah- wa pengutipan model pertama, kedua, ketiga, dan
per- aturan perundang-undangan yang bersangkutan
keem- pat sama-sama tidak dapat
yang ditentukan berdasarkan peraturan yang berlaku.
dipertanggungjawabkan seca- ra hukum dan ilmiah.
Ada peraturan yang pengundangannya dilakukan
Apabila dinilai dari tingkat keter- percayaannya dan
dengan penerbitannya dalam Lembaran Negara,
jarak atau jumlah lapisan perantara dari media
Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, atau
sumbernya yang resmi, maka yang dapat dikatakan
Tambahan Berita Negara. Selain dari keempat sumber
paling dekat adalah pengutipan dari sumber buku
tersebut, ada pula sumber-sumber lain seperti risalah-
terbitan instansi resmi. Misalnya, himpunan pera- turan
risalah rapat dan sidang yang berkaitan dengan
perundang-undangan tentang partai politik dan
penyusunan, perumusan, perdebatan, dan pengesahan
pemilihan umum dikumpulkan dan diterbitkan oleh Ko-
peraturan perundang- undangan itu sebagai
misi Pemilihan Umum dengan misalnya mengutipnya
keseluruhan atau bunyi ketentuan- ketentuan hukum
langsung dari sumber Lembaran Negara, Tambahan
tertentu yang terdapat dalam pera- turan perundang-
Lembaran Negara, Berita Negara, dan Tambahan Berita
undangan yang bersangkutan yang me- mang
Negara. Buku kumpulan peraturan perundang-
dipersoalkan.
undangan terbitan Komisi Pemilihan Umum ini dapat
Dokumen-dokumen tersebut bernilai resmi dan
dianggap sebagai sumber sekunder, karena fungsinya
otentik, serta berisi fakta-fakta historis yang dapat
sebagai pe- rantara satu lapis ke sumber resminya
dijadi- kan dasar rujukan dalam memahami pengertian
tersebut.
sesuatu norma hukum yang tertulis dalam teks resmi.
Akan tetapi, teknik pengutipan model pertama dari
Fungsinya tiada lain untuk menjamin agar produk
buku atau tulisan orang lain, model kedua dari berita
peraturan perun- dang-undangan yang bersangkutan
koran atau majalah, dan model ketiga dari buku-buku
dapat dijadikan alat bukti (bewijsbaar) dan menjamin
undang-undang terbitan penerbitan swasta, tidak dapat
stabiliteit sistem hu- kum karena adanya kepastian
dikategorikan sebagai sumber sekunder, apalagi sumber
mengenai kesatuan sistem referensi hukum. Semua
primer. Sering terjadi, naskah undang-undang yang di-
dokumen tersebut biasanya ter- dapat dalam arsip-arsip
terbitkan oleh penerbit swasta terdapat kesalahan ketik
lembaga negara atau lembaga pemerintah yang
atau kesalahan tanda baca, ataupun penulisan huruf
bersangkutan dengan hal itu, dan wajib dipelihara dan
besar menjadi kecil dan huruf kecil menjadi besar, yang
disimpan dengan sebaik-baiknya. Dengan sistem
dalam hukum semua itu mempunyai arti dan pengaruh
penyimpanan (filing) atau kearsiapan yang tepat dan
yang sangat besar dalam penafsiran untuk pelaksana-
benar, dimensi availability (ketersediaan), reliabi- lity
annya. Apalagi pengutipan yang dilakukan di berbagai
(keterpercayaan), dan legality (keabsahan) dari ar- sip-
media koran dan majalah, yang karena waktu dan ruang
arsip hukum dimaksud benar-benar dapat terjamin
yang terbatas, seringkali salah dalam pengutipan,
dengan sebaik-baiknya.
sehing- ga sangatlah berbahaya untuk diandalkan
sebagai sum- ber rujukan normatif.

195 196
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Oleh karena itu, menurut saya, 3 (tiga) teknik


bahwa setiap peraturan hukum yang bertentangan de-
pengutipan pertama tersebut hanya mungkin
dikategori- kan sebagai sumber tertier yang sifatnya ngan Pancasila tidak boleh berlaku.
hanya menun- jang dan memudahkan orang membaca Dalam bentuk formilnya, nilai-nilai Pancasila itu
peraturan per- undang-undangan. Akan tetapi, jika tercantum dan dalam perumusan Undang-Undang
sampai kepada ke- perluan untuk penulisan yang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
bersifat resmi, maka pengutipannya harus langsung hukum tertulis yang tertinggi di Republik Indonesia.
diambil dari sumber pri- mer tersebut.271 Penulisan Namun di samping itu, sumber hukum formil itu tidak
resmi itu dapat berupa penu- lisan ilmiah, yaitu (i) karya hanya ter- batas kepada yang tertulis saja. UUD Negara
ilmiah resmi seperti skripsi, tesis, dan disertasi, (ii) Republik Indonesia Tahun 1945 hanyalah salah satu
laporan penelitian ilmiah, (iii) buku ilmiah yang bersifat bentuk yang tertulis dari norma dasar atau hukum dasar
standar, (iv) buku-buku teks ilmiah yang baku, (v) yang bersifat tertinggi itu. Di samping hukum dasar
keputusan administratif, (vi) kete- tapan pengadilan, yang tertulis da- lam naskah UUD 1945, ada pula hukum
dan (vii) putusan pengadilan. dasar atau kon- stitusi yang sifatnya tidak tertulis.272
Sumber hukum formil Hukum Tata Negara Indone-
B. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia sia itu dapat dilihat pertama-tama pada Undang-Undang
1. Sumber Materiel dan Formil Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber
Pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum hukum, selain merupakan hukum dasar tertulis yang
dalam perumusan sila-sila Pancasila yang dijadikan fal- mengatur masalah kenegaraan, juga merupakan
safah hidup bernegara berdasarkan UUD 1945. Sebagai landasan hukum bagi ketentuan-ketentuan yang terdapat
pandangan hidup bangsa dan falsafah bernegara, Panca- dalam peraturan-peraturan lainnya. Misalnya, Pasal 19
sila itu merupakan sumber hukum dalam arti materiel ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Susunan Dewan
yang tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus dilaksana- Perwaki- lan Rakyat (DPR) diatur dengan Undang-
kan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan undang”. Penunjukan diatur dengan Undang-undang
hukum Indonesia. Oleh karena itu, hukum Indonesia dalam ayat ini menyebabkan Undang-Undang Dasar
haruslah berketuhanan Yang Maha Esa, 1945 menjadi sum- ber hukum bagi pembentukan
berkemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan undang-undang yang akan mengatur tentang susunan
faktor pemersatu bangsa, bersifat kerakyatan, dan Dewan Perwakilan Rakyat itu. Dengan demikian, dari
menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ketentuan UUD 1945 itu mengalir peraturan-peraturan
Pancasila merupa- kan alat penguji untuk setiap pelaksanaan yang merupakan sum-
peraturan hukum yang ber- laku, apakah bertentangan
atau tidak dengan nilai-nilai yang terkandung di 272
Penjelasan UUD 1945 menyiratkan bahwa Undang-Undang Dasar seba-
dalamnya. Dengan demikian berarti gian dari hukum dasar. Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya
sebagian dari hukumnya dasar Negara. Undang-Undang Dasar itulah hukum
dasar yang tertulis, sedangkan di sampingnya, berlaku juga hukum dasar
271
yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
Lihat dan bandingkan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).

197 198
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

ber hukum formil pula sesuai dengan tingkatan


dalam arti yang seluas-luasnya untuk menjalankan
hierarkis- nya bagi peraturan-peraturan di bawahnya tugas dan kewenangannya.
masing-ma- sing.273 Pada pokoknya, hukum konstitusi itu mendahului
keberadaan organisasi negara,276 seperti apa yang
2. Peraturan Dasar dan Norma Dasar dikata- kan oleh Thomas Paine bahwa konstitusi lebih
Seperti dikemukakan oleh O. Hood Phillips, Paul dulu ada daripada adanya pemerintahan, karena
Jackson, dan Patricia Leopold dalam “The pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan
constitutional law of a state is the law relating to the konstitusi. Oleh karena itu, menurut Thomas Paine:
constitution of that state”,274 maka penting sekali untuk “A constitution is not the act of a government, but of a
memahami hu- kum, negara, dan konstitusi secara people constituting a government, and a government
bersamaan. Hukum sendiri diakui tidak mudah untuk without a constitution is power without right”.277
didefinisikan. H.L.A. Hart sendiri menyatakan bahwa
mengenai apa itu hukum merupakan pertanyaan yang Konstitusi bukanlah peraturan yang dibuat oleh
senantiasa diajukan di sepanjang sejarah umat manusia. pemerintahan, tetapi merupakan peraturan yang dibuat
Menurutnya, “it is a persistent question”275 yang selalu oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan
diajukan dari waktu ke waktu. pemerin- tahan itu sendiri tanpa konstitusi sama
Namun demikian, di lapangan hukum tata negara, dengan kekuasa- an tanpa kewenangan.278
kita memusatkan perhatian hanya kepada hukum dalam Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan
konteks kenegaraan, yaitu hukum negara (state law), sekaligus paling tinggi kedudukannya dalam sistem ber-
hukum kota (municipal law), hukum desa (village law), negara. Namun, sebagai hukum, konstitusi itu sendiri
dan sebagainya. Dalam perspektif hukum tata negara, tidak selalu bersifat tertulis (schreven constitutie atau
hukum negara (the law of a state) kita lihat sebagai written constitution). Konstitusi yang bersifat tertulis
hukum yang terdiri atas pedoman perilaku (rules of biasa disebut undang-undang dasar sebagai konstitusi
con- duct) yang ditetapkan oleh lembaga negara yang dalam arti sempit, sedangkan yang tidak tertulis meru-
bertin- dak sebagai legislator atau regulator dan yang pakan konstitusi dalam arti yang luas. Menurut Hans
ditegakkan oleh lembaga pengadilan yang dibentuk oleh Kelsen, gerund norm atau norma dasar itulah yang
negara (duly constituted courts of the state). Tetapi di disebut konstitusi. Gerund norm itu dijabarkan lebih
pihak lain juga berfungsi sebagai pedoman bagi organ- lanjut menjadi abstract norms yang selanjutnya
organ negara diopera- sionalkan dengan general norms yang untuk
seterusnya

273
Bandingkan mengenai sumber hukum tata negara Indonesia yang 276
Lihat N. MacCormick, Questioning Sovereignty, 1993, 56 MLR 1, dan
dikemukakan oleh beberapa sarjana, seperti misalnya Ni’matul Huda, C.M.G. Himsworth, 1996, 639.
Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, 2005, Jakarta, hal. 277
“Rights of Man in the Complete Works of Thomas Paine”, pp. 3020
32-37; Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: dalam Allen and Thompson, Op Cit., hal. 1.
Prestasi Pustaka, 2006), hal. 13-35.; dan lain sebagainya. 278
Ada juga sarjana yang berpendapat bahwa tidak mungkin ada suatu
274
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 3.
275 negara tanpa adanya konstitusi. Lihat, misalnya, Max Boli Sabon, Fungsi
H.L.A. Hart, Op Cit.
Ganda Konstitusi, (Bandung: PT Graviti, 1991), hal. 44.

199 200
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dilaksanakan dengan keputusan-keputusan yang berisi


Maria Farida Indrati mengenai hal tersebut. 279 Pokok
concrete and individual norms. Bagi Hans Kelsen, pera-
pikiran yang melandasi pandangan demikian tidak lain
turan perundang-undangan berisi general and abstract
adalah stuffenbau theorie menurut versi Hans Nawiasky
norms yang tertuang dalam bentuk formal, sedangkan
tersebut di atas, yang sangat berbeda dari stuffenbau
gerund norms tercakup dalam rumusan pengertian kon-
theorie menurut versi Hans Kelsen. Bagi Kelsen, gerund
stitusi dalam arti materiel. Konstitusi dalam arti
norm itulah konstitusi, sedangkan peraturan
materiel inilah yang disebut Kelsen dengan the first
perundang- undangan berisi general and abstract
constitution yang mendahului the (second) constitution
norms, sehingga Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
atau konsti- tusi dalam bentuknya yang formal tersebut.
tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari
Sementara itu, Hans Nawiasky, salah seorang mu-
pasal-pasal UUD 1945 itu sendiri. Keduanya tercakup
rid Hans Kelsen, menyebut gerund norms itu dengan
dalam pengertian UUD 1945 sebagai konstitusi yang
istilah staatsfundamentalnorms yang juga
tertulis yang berisi gerund norms. Tentu saja, di
dibedakannya dari konstitusi. Tidak semua nilai-nilai
samping UUD 1945 sebagai konsti- tusi tertulis, ada
yang terdapat dalam konstitusi merupakan
pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam
staatsfundamental norms. Nilai-nilai yang termasuk
kesadaran hukum dan praktik penyeleng- garaan negara
staatsfundamentalnorm me- nurutnya hanya spirit
yang diidealkan sebagai bagian dari pe- ngertian
nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi itu,
konstitusi dalam arti luas dan oleh karena itu adalah
sedangkan norma-norma yang ter- tulis di dalam pasal-
juga norma-norma dasar atau gerund norms yang
pasal undang-undang dasar terma- suk kategori
mengikat sebagai bagian dari konstitusi.
abstract norms. Oleh karena itu, jika dikait- kan dengan
sistem konstitusi Republik Indonesia, dapat dibedakan 3. Peraturan Perundang-undangan
antara Pembukaan UUD 1945 dengan pasal- pasal UUD Peraturan perundang-undangan adalah peraturan
1945. tertulis yang berisi norma-norma hukum yang mengikat
Bahkan, Padmo Wahyono dan Hamid S. Attamimi
untuk umum, baik yang ditetapkan oleh legislator mau-
menyejajarkan pengertian staatsfundamentalnorm itu
pun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana un-
dengan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara, se-
dang-undang yang mendapatkan kewenangan delegasi
dangkan pasal-pasal UUD 1945 didudukan sebagai ab-
dari undang-undang untuk menetapkan peraturan-
stract norms. Oleh karena itu, dalam hierarki peraturan
pera- turan tertentu menurut peraturan yang berlaku.
perundang-undangan menurut Padmo Wahyono dan
Produk legislatif atau produk legislator yang dimaksud
Hamid S. Attamimi, Pancasila itu harus ditempatkan di
di sini adalah peraturan yang berbentuk undang-
luar dan di atas UUD 1945.
undang, di- bentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Pandangan yang demikian, sampai sekarang terus
(DPR), dan pem- bahasannya dilakukan bersama-sama
dianut oleh murid-murid Padmo Wahyono dan Hamid
dengan Presiden/- Pemerintah untuk mendapatkan
S. Attamimi, seperti tercermin, misalnya, dalam
persetujuan bersama yang akhirnya setelah mendapat
pandangan
persetujuan bersama

279
Lihat Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius, 1998).

201 202
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

akan disahkan oleh Presiden dan diundangkan sebagai-


ketetapan-ketetapan MPR/S yang masih ada dan yang
mana mestinya atas perintah Presiden. Untuk undang-
undang tertentu, pembahasan bersama dilakukan de- sampai sekarang masih diberlakukan berdasarkan Kete-
ngan melibatkan pula peranan Dewan Perwakilan Dae- tapan (TAP) MPR No. I/MPR/2003, meskipun MPR
rah (DPD).280 sendiri dewasa ini tidak lagi mempunyai kewenangan
Selain peraturan yang berbentuk undang-undang, menetapkan ketetapan yang bersifat mengatur (rege-
ada pula peraturan yang disusun dan ditetapkan oleh ling).
lembaga eksekutif pelaksana undang-undang. Setiap Selain itu, dalam praktik, kita juga dapat menjum-
lembaga pelaksana undang-undang dapat diberi kewe- pai banyak sekali bentuk-bentuk peraturan lainnya,
nangan regulasi oleh undang-undang dalam rangka seperti Peraturan Menteri, Peraturan Bank Indonesia
men- jalankan undang-undang yang bersangkutan. Di (PBI), Peraturan Mahkamah Agung (PERMA),
samping itu, pemerintah karena fungsinya diberi Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), Peraturan atau
kewenangan pula untuk menetapkan sesuatu peraturan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lain-
tertentu, di samping undang-undang itu sendiri dapat lain seba- gainya. Keputusan-keputusan para pejabat
pula menen- tukan adanya lembaga regulasi yang yang bersifat regeling atau yang mengandung regulasi
bersifat tertentu pula. Semua produk hukum tertulis
juga masih banyak yang dituangkan dalam bentuk
yang berisi norma yang bersifat mengatur (regeling) itu
keputusan-kepu- tusan yang ditetapkan untuk maksud
dalam ilmu hukum kita namakan peraturan perundang-
undangan. mengikat untuk umum. Misalnya, keputusan-keputusan
Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 10 Komisi Pemili- han Umum (KPU), Komisi Pengawas
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peratuan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan
Perundang- undangan, bentuk-bentuk dan tata urut Korupsi (KPK), serta termasuk Keputusan-Keputusan
peraturan perun- dang-undangan dimaksud adalah (i) Menteri, seperti Men- teri Dalam Negeri, Menteri Luar
Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang Negeri, Menteri Keua- ngan, Menteri Perindustrian,
Dasar; (ii) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri
Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan Pemerintah; Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Tenaga
(iv) Peratu- ran Presiden; dan (v) Peraturan Daerah. 281 Kerja, dan sebagainya. Demi- kian pula Keputusan-
Namun, di samping bentuk-bentuk yang disebut dalam Keputusan Direktur Jenderal, se- perti Direktur
Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 itu, masih ada Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai,
bentuk peraturan lainnya yang sampai sekarang masih Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, dan lain
berlaku atau masih terus dibuat dalam praktik. sebagainya.
Misalnya, banyak
1) Undang-undang (UU)
280
Lihat Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 42 UU No. 22 Tahun 2003 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
tentang
281
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. menyatakan, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang ke-
Lihat kembali Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

203 204
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

kuasaan membentuk undang-undang”. 282 Undang-un-


media pengumuman (publication).283
dang itu selalu berisi segala sesuatu yang menyangkut
Namun, tanggal efektifitas keberlakuan (effective
kebijakan kenegaraan untuk melaksanakan amanat un-
validity) suatu undang-undang untuk dilaksanakan da-
dang-undang dasar di bidang-bidang tertentu yang me-
lam praktik, kadang-kadang ditentukan berbeda waktu-
merlukan persetujuan bersama antara Presiden dan
nya dari tanggal pengundangan. Misalnya tanggal pe-
Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, ditentukan
ngundangannya adalah tanggal 1 Januari 2005, tetapi
oleh Pasal 20 ayat (2) bahwa ”Setiap rancangan un-
tanggal berlakunya ditentukan baru efektif mulai
dang-undang itu dibahas oleh Dewan Perwakilan Rak-
tanggal 1 Januari 2006. Masa satu tahun itu disediakan
yat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersa-
sebagai waktu tenggang yang dapat dipakai untuk
ma”. Pada ayat (4)-nya menentukan, ”Presiden menge-
tujuan sosiali- sasi undang-undang itu sebelum
sahkan rancangan undang-undang yang telah
dijalankan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.
tanggal pengundangan tidak selalu atau tidak mutlak
Produk undang-undang ini merupakan bentuk
harus ditentukan sama dengan tanggal pemberlakuan.
hukum peraturan yang paling tinggi statusnya di bawah Misalnya, Undang-Undang No- mor 16 Tahun 2002
undang-undang dasar. Jika dibandingkan dengan
tentang Yayasan, 284 diundangkan pada tahun 2002,
sistem hukum di negeri Belanda, undang-undang dapat
tetapi mulai diberlakukan secara efektif baru pada tahun
dise- padankan dengan wet yang mempunyai
2003. Bahkan, pelaksanaannya pernah ditunda satu
kedudukan ter- tinggi di bawah grondwet, atau seperti
tahun sehingga pelaksanaanya dimulai pada tahun
di Amerika Seri- kat dengan act (legislative act) yang
2004.
berada langsung di bawah constitution. Sebagai produk
Di samping itu, tanggal pengesahan undang-
hukum, undang- undang baru mulai mengikat untuk
undang secara formil dapat pula dibedakan dari tanggal
umum sebagai alge- meene verbindende voorschiften
pengesahannya secara materiel. Ketentuan Pasal 20 ayat
(peraturan yang mengikat untuk umum), yaitu pada saat
(4) UUD 1945 yang dilaksanakan dengan tindakan pe-
diundangkan. Tindakan administrasi pengundangan
ngundangan seperti dimaksud di atas, dapat disebut
undang-undang dilakukan dengan cara menerbitkan
sebagai pengesahan yang bersifat formil. Sedangkan,
naskah undang- undang dimaksud (published) dalam
pengesahan suatu rancangan undang-undang oleh dan
Lembaran Negara Republik Indonesia (LN-RI).
dalam rapat paripurna DPR sebagai tanda bahwa suatu
Sedangkan untuk naskah Penjelasannya dalam
rancangan undang-undang telah mendapat persetujuan
Tambahan Lembaran Negara Re- publik Indonesia
bersama antara DPR dan Pemerintah dapat disebut
(TLN-RI). Media Lembaran Negara dan Tambahan
seba- gai pengesahan materiel. Sebelum rancangan
Lembaran Negara ini juga berfungsi sebagai
undang- undang disahkan dalam rapat paripurna DPR,
maka dari

283
Lihat juga “BAB IX: Pengundangan dan Penyebarluasan” dalam UU No.
282
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 UUD 1945 sebelum amandemen, 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan.
284
yang menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- Indonesia, Undang-undang tentang Yayasan, UU No. 16 Tahun 2002, LN
undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. No. 112 Tahun 2002, TLN No. 4132.

205 206
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

pihak Pemerintah seyogyanya diberi kesempatan untuk


undang, yaitu sebagai produk hukum yang dibentuk dan
menyampaikan pendapat akhirnya sebagai tanda per-
dibahas bersama oleh DPR dengan persetujuan bersama
setujuan atas rancangan suatu undang-undang untuk
dengan Presiden. Akan tetapi, dari segi isi atau materi-
disahkan. Apabila dalam rapat paripurna DPR tersebut
nya, APBN itu sebenarnya bukanlah norma hukum yang
rancangan undang-undang telah disahkan sebagai tanda
biasa dikenal dengan pengertian undang-undang.
telah dicapainya persetujuan bersama, maka pengesahan
Oleh sebab itu, UU tentang APBN itu biasa disebut
tersebut sama dengan pengesahan yang bersifat materiel.
sebagai undang-undang dalam arti formil (wet in mate-
Dikatakan pengesahan itu bersifat materiel, karena
riele zin), bukan undang-undang dalam arti materiel
setelah itu terhadap materi rancangan undang-undang
(wet in materiele zin).286
dimaksud tidak dapat lagi diadakan perubahan apapun
Sebenarnya, setiap keputusan tertulis yang
juga. Dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 ditentukan:
ditetap- kan oleh pejabat yang berwenang di bidang
”Dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden pengaturan (regelendaad) yang berisi norma hukum
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan (legal norms) dan mengatur tingkah laku yang mengikat
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang- untuk umum dapat disebut sebagai peraturan
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib perundang-undangan. Undang-undang hanyalah
diundangkan”.285 merupakan salah satu bentuk- nya, 287
yaitu sebagai
peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan
Artinya, meskipun dari segi bentuknya naskah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, dan disahkan
rancangan undang-undang itu masih berupa rancangan oleh Presiden, serta diundangkan sebagai- mana
yang belum disahkan oleh Presiden dan karena itu mestinya atas perintah Presiden, sehingga menjadi
belum mengikat sebagai hukum, tetapi materinya sudah norma hukum mengikat untuk umum. Dengan begitu,
final. Rancangan yang sudah disahkan dalam rapat undang-undang berbeda dari pengertian peraturan per-
paripurna DPR itu sudah menjadi wet in materiele zin, undang-undangan pada umumnya. Peraturan perun-
meskipun belum menjadi undang-undang dalam arti dang-undangan itu adalah segala bentuk peraturan
yang resmi atau wet in formele zin. nega- ra dari jenis yang tertinggi di bawah undang-
Dalam ilmu hukum atau rechtswetenschap, me- undang dasar sampai dengan yang terendah, yang
mang dibedakan antara pengertian wet in formele zin dihasilkan dan ditetapkan secara atributif dari
dan wet in materiele zin. Misalnya, Anggaran Penda- peraturan yang lebih tinggi atau secara delegasi dari
patan dan Belanja Negara biasa dituangkan dalam ben- pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang
tuk atau diberi baju hukum dalam bentuk undang- (legislative power, wetge-
285
Bandingkan dengan Pasal 21 UUD 1945 sebelum amandemen yang ber-
bunyi: “Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan 286
Bandingkan dengan pendapat dari Arifin P. Soeria Atmadja dalam bebe-
Rak- yat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh rapa tulisannya seperti pada “Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan
dimaju- kan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Negara: Suatu Tinjauan Yuridis” (1986) dan “Keuangan Publik dalam
Perspektif Hukum” (2005).
287
Lihat Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia,
(Jakarta: Ind-Hill Co., 1992), hal. 4.

207 208
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

vende macht, atau gesetzgebende gewalt).288 Maka arti-


Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang
nya bahwa Undang-Undang Dasar tidak termasuk pe-
merupa- kan undang-undang yang dibentuk dalam
ngertian peraturan perundang-undangan.
keadaan yang darurat yang menurut istilah Pasal 22
ayat (1) UUD 1945 disebutkan ”Dalam hal ihwal
2) Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU)
kegentingan yang memak- sa”. Istilah hal-ihwal
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu
sebagai sumber hukum dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat
tidak boleh dikacaukan atau diiden- tikkan dengan
(2) dan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 5
pengertian ”keadaan bahaya” menurut ke- tentuan Pasal
ayat (2) UUD 1945 menentukan, ”Presiden menetapkan
12 UUD 1945. Keadaan darurat atau dalam hal ihwal
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
kegentingan yang memaksa di sini adalah kea- daan
undang sebagaimana mestinya”. Sedangkan, Pasal 22
yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pan- dang
menentukan:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presi- Presiden/ Pemerintah, di satu pihak karena (i)
den berhak menetapkan peraturan pemerintah Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-
seba- gai pengganti undang-undang; undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetu- yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di
juan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia
yang berikut;
untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut. Rakyat ti- dak mencukupi sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya
Untuk memudahkan, Peraturan Pemerintah juga merupakan undang-undang dalam arti materiel
sebagai Pengganti Undang-undang ini biasanya (wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang ter-
disingkat ”Perpu”. Dalam Konstitusi RIS 1949 dan kandung di dalamnya adalah materi undang-undang
UUDS 1950, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti bukan materi peraturan pemerintah. Materi normatif
Undang- undang disebut dengan istilah ”undang- tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan
undang darurat”. Kecuali terhadap sebutannya yang pemerintah hanya bersifat sementara waktu saja, karena
berlainan, tidak ada perbedaan yang prinsipil antara itu harus mendapat persetujuan DPR dalam
Perpu menurut UUD 1945 dan undang-undang darurat persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat
menurut Konstitusi RIS dan UUDS 1950 itu. persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut oleh Presiden. Jadi, substansinya adalah
288
Bandingkan dengan pendapat H. Abdul Latief yang menganggap bahwa
substansi undang-undang, tetapi bentuk formilnya
istilah peraturan perundang-undangan itu juga mengandung pengertian adalah Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, perpu
sebagai proses pembentukan peraturan dimaksud. Lihat H. Abdul Latief, dianggap sederajat kedudukannya dengan undang-
Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan undang, sehingga materi muatannya sa- ngat mungkin
Daerah, (Yogyakarta: UII-Press, 2005), hal. 38-39.
bertentangan atau bersifat mengubah

209 210
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

ketentuan undang-undang yang ada sebelumnya.289


si lowongan jabatan. Oleh karena itu, tidak ada lagi
Kete- tapan MPR yang bersifat pengaturan (regeling)
3) Ketetapan MPR/S yang boleh dibuat oleh MPR di masa mendatang.
Istilah ketetapan dalam Ketetapan MPR/S tersebut Terhadap berbagai Ketetapan MPR/S yang sudah
sebenarnya tidak terdapat dalam ketentuan Undang- ada dan diwarisi dari masa lalu, telah diadakan
Undang Dasar 1945. Menurut Moh. Kusnardi dan peninjau- an menyeluruh mengenai materi dan status
Harmaily Ibrahim, istilah ini mungkin diambil oleh hukumnya berdasarkan Ketetapan MPR No.
MPRS pada sidang-sidangnya yang pertama dari bunyi I/MPR/Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan
menyebut- kan bahwa MPR berwenang menetapkan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun
Undang- Undang Dasar, Garis-garis besar daripada 2002.290 Ada Ketetapan MPR/S yang dinyatakan sudah
haluan negara (Pasal 3), dan memilih Presiden dan dicabut, ada yang dinyatakan masih berlaku sampai
Wakil Presiden (Pa- sal 6 ayat 2). Namun, Ketetapan terbentuknya pemerintahan baru hasil Pemilu 2004,
Majelis Permusyawara- tan Rakyat Sementara (MPRS) ada pula ketetapan yang dinyatakan masih berlaku
itu sendiri sampai dengan sekarang masih merupakan sampai materinya diatur dengan undang- undang.
sumber hukum, karena masih ada beberapa Ketetapan Namun demikian, selain itu semua, sampai sekarang
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang masih terdapat 8 (delapan) Ketetapan MPR/S yang
dinyatakan tetap berlaku oleh Ketetapan MPR Nomor dapat dikatakan masih berlaku sebagai peraturan yang
I/MPR/2003. mengikat untuk umum.
Seperti diketahui, setelah Perubahan Keempat Kedelapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
UUD 1945, status hukum Ketetapan MPR/S yang Rakyat (MPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat
bersifat mengatur (regeling) dianggap tidak lagi Sementara (MPRS) tersebut adalah:
mempunyai dasar konstitusional. MPR menurut Pasal 3 (i) Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
juncto Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 hanya memiliki 4 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai
(empat) kewe- nangan konstitusional saja, yaitu (i) Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara
mengubah dan menetapkan UUD, (ii) melantik Presiden RI bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk
dan/atau Wakil Presiden, (iii) memberhentikan Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau
Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya Ajaran Komu- nis/Marxisme-Leninisme
menurut UUD 1945, dan (iv) memilih Presiden dan/atau dinyatakan tetap berlaku, dengan ketentuan
Wakil Presiden untuk mengi- seluruh ketentuan dalam Kete- tapan MPRS-RI
Nomor XXV/MPRS/1966 ini, ke depan
289
Lihat dan cermati ketentuan-ketentuan pada Undang-undang Nomor 10 diberlakukan dengan berkeadilan dan meng-
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khusus-
nya pada bagian Bab III mengenai Materi Muatan. Bandingkan juga 290
Lihat Himpunan Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Berdasarkan
pengertian mengenai klausa “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dalam Ketetapan MPR-RI No. I/MPR/Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian Undang-undang Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan bertanggal 7 Juli 2005. 1960 sampai dengan Tahun 2002, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, 2003).

211 212
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

hormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi


sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam
manusia;
Ketetapan tersebut.
(ii) Ketetapan MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi
Status hukum kedelapan Ketetapan MPR/S yang
Ekono- mi, dinyatakan tetap berlaku dengan
tersisa ini tidak dapat dikategorikan sebagai undang-
ketentuan, Pemerintah berkewajiban mendorong
undang dasar, karena ketika dibuat materinya memang
keberpiha- kan politik ekonomi yang lebih
tidak dimaksudkan sebagai norma hukum dasar atau
memberikan kesem- patan dukungan dan
konstitusi. Namun, karena lembaga yang
pengembangan ekonomi, usa- ha kecil menengah,
menetapkannya adalah MPR, maka dapat saja timbul
dan koperasi sebagai pilar eko- nomi dalam
penafsiran seakan- akan Ketetapan MPR/S itu setingkat
membangkitkan terlaksananya pemba- ngunan
kedudukannya dengan undang-undang dasar. Akan
nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai
tetapi, status hukum Ketetapan MPR/S yang tersisa itu
hakikat Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia
dapat pula ditafsirkan setingkat kedudukannya atau
Tahun 1945;
dapat dipersamakan de- ngan undang-undang.
(iii) Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Dipersamakan itu berarti tidak harus sama, tetapi
Pengangkatan Pahlawan Ampera tetap berlaku de- secara teknis hukum kedudukannya dapat dianggap
ngan menghargai Pahlawan Ampera yang telah sama. Sebab, MPR sendiri telah menentukan, ada di
ditetapkan hingga terbentuknya undang-undang antara ketetapan-ketetapannya itu yang masih berlaku
tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain sampai materinya diatur dengan undang-undang. Hal
tanda kehormatan; itu menunjukkan bahwa MPR sendiri telah
(iv) Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penye- menundukkan status hukum ketetapan-ketetapannya
lenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN sam- itu setingkat de- ngan undang-undang, karena
pai terlaksananya seluruh ketentuan dalam keteta- ketetapan-ketetapan terse- but dapat diubah dengan
pan tersebut. Sekarang telah terbentuk UU tentang undang-undang. Meskipun secara formil bentuknya
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meskipun bukan undang-undang (wet), tetapi secara materiel
masih ada aspek yang terkait dengan mantan Ketetapan-Ketetapan MPR/S ter- sisa itu adalah juga
Presi- den Soeharto yang belum terselesaikan; undang-undang atau wet in mate- riele zin.
(v) Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa; 4) Peraturan Pemerintah
(vi) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945,
Indonesia Masa Depan; Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
(vii) Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang men- jalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Dikare- nakan Peraturan Pemerintah diadakan untuk
Pencegahan KKN sampai terlaksananya seluruh melak- sanakan Undang-undang, maka tidak mungkin
ketentuan dalam ketetapan tersebut; bagi Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah
(viii) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang sebe- lum ada undang-undangnya. Oleh karena itu, UU
Pemba- ruan Agraria dan Pengelolaan Sumber selalu
Daya Alam

213 214
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

mendahului Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan


bentukan Peraturan Perundang-undangan,292 ditentukan
Pemerintah dapat dibentuk hanya atas dasar perintah
juga bahwa Peraturan Pemerintah itu dapat dibentuk
undang-undang. Dengan perkataan lain, Peraturan Pe-
atas dasar pendelegasian yang tegas atau tidak tegas
merintah itu merupakan bentuk delegated legislation
dari undang-undang. Pasal 10 undang-undang ini
atau kewenangan yang didelegasikan oleh principal
menyata- kan, ”Materi muatan Peraturan pemerintah
legislator atau pembentuk undang-undang kepada
berisi materi untuk menjalankan undang-undang
Presi- den selaku kepala pemerintahan yang akan
sebagai- mana mestinya”.
menjalankan (eksekutif) undang-undang yang
Dalam Penjelasan pasal tersebut dinyatakan
bersangkutan.
bahwa yang dimaksud dengan ”sebagaimana mestinya”
Dalam hubungan dengan pendelegasian kewena-
adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan
ngan itu, kadang-kadang timbul persoalan, misalnya,
Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang
ke- wenangan yang didelegasikan tersebut
diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Dari
disalahgunakan oleh Pemerintah. Jika kewenangan
penjelasan ini timbul penafsiran bahwa sekiranya tidak
regulasi itu disalah- gunakan, seperti umpamanya,
diperintahkan secara eksplisit pun oleh undang-undang,
materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah itu
PP tetap dapat dikeluarkan oleh Pemerintah asalkan
berlebihan sehingga menam- bah-nambah atau bahkan
materinya tidak bertentangan dengan undang-undang,
mengubah materi yang diatur dalam undang-undang
dan asalkan hal itu memang diperlukan sesuai dengan
yang menjadi dasar berpijaknya, maka tersedia
kebutuhan yang timbul dalam praktik untuk maksud ”...
mekanisme untuk mengujinya ke Mah- kamah Agung.
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menen- tukan,
Perbedaan penafsiran atas prosedur teknis pelaksanaan
”Mahkamah Agung berwenang ... menguji pera- turan
pendelega- sian yang tidak tegas itulah yang nantinya
perundang-undangan di bawah undang-undang
dapat menim- bulkan masalah serius di lapangan.
terhadap undang-undang, ...”.291
Dengan perkataan lain, jika di dalam undang-
undang tidak ada perintah yang tegas agar Peraturan 5) Peraturan Presiden
Pemerintah ditetapkan oleh Pemerintah, maka Peme- Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
rintah tidak dapat menetapkan Peraturan Pemerintah Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah adalah ben-
sama sekali. Pengaturan dengan Peraturan Pemerintah tuk-bentuk peraturan yang disebut oleh Undang-
itu semata-mata untuk maksud mengatur lebih lanjut Undang Dasar 1945. Namun, tidak demikian halnya
hal-hal yang diperintahkan untuk diatur dalam dan dengan Pera- turan Presiden. Sebelum dibentuknya UU
dengan Peraturan Pemerintah. Hanya saja, dalam No. 10 Tahun 2004, istilah yang biasa dipakai untuk ini
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pem- adalah Keppres (Keputusan Presiden). Keputusan
Presiden sebagai ben- tuk peraturan, baru ditetapkan
oleh Ketetapan Majelis
291
Bandingkan dengan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi yang
mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang- 292
Undang Dasar. Lihat Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1984 tentang Mahkamah Indonesia, Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Agung dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53, TLN No. 4389.

215 216
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XX/MPRS/


jian peraturan (judicial review), 294 sedangkan upaya
1966. Dengan ketetapan MPRS ini, bentuk-bentuk pera-
hukum untuk melawan keputusan administrasi negara
turan yang ada sebelumnya, seperti Peraturan Presiden
(beschikking) adalah melalui gugatan ke pengadilan tata
(Perpres) dan Penetapan Presiden (Penpres) ditiadakan.
usaha negara (TUN). Dengan demikian, istilah
Keputusan Presiden dalam Ketetapan MPRS ini dimak-
peraturan dan keputusan memang tidak tepat untuk
sud untuk melaksanakan ketentuan UUD 1945 dan kete-
dikacaukan atau dicampuradukkan satu sama lain. Oleh
tapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Se-
karena itu, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004, istilah
mentara/Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
Peraturan Presiden yang pernah dikenal sebelum masa
bidang eksekutif, atau Peraturan Pemerintah.293
Orde Baru, dihidupkan kembali untuk mewadahi
Namun, materi Keputusan Presiden ini ada yang
kewenangan regu- lasi yang dimiliki oleh Presiden di
bersifat mengatur (regeling) dan ada pula yang hanya
luar bentuk Peraturan Pemerintah yang ditentukan
bersifat penetapan administratif (beschikking) dan
dalam UUD 1945.
berlaku untuk sekali atau einmalig saja. Karena mua-
Menurut ketentuan Pasal 11 UU No. 10 Tahun
tannya tercampur-aduk antara yang bersifat regeling
2004 dijelaskan, “materi muatan Peraturan Presiden
dan beschikking, maka dipandang perlu untuk diadakan
berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-
pembedaan yang tegas di antara keduanya. Dalam ber-
Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan
bagai makalah yang kemudian tertuang dalam berbagai
Pemerintah”. Dalam ketentuan ini dapat timbul dua
buku saya, sangat sering saya usulkan adanya pembeda-
persoalan. Per- tama, Pasal 11 ini memungkinkan
an semacam itu.
pembentuk undang- undang memberikan delegasi
Alasan pertama ialah bahwa penggunaan nomen-
kewenangan pengaturan mengenai materi tertentu
klatur untuk bentuk hukum yang berisi norma yang me-
langsung kepada Peraturan Presiden atau kepada
ngatur haruslah ”peraturan”, bukan ”keputusan”. Se-
Peraturan Pemerintah. Pilihan mengenai salah satu dari
dangkan untuk bentuk hukum yang bersifat penetapan,
kedua bentuk peraturan ini se- penuhnya tergantung
tidak boleh disebut ”peraturan” karena sifatnya memang
kepada pembentuk undang- undang sendiri. Dengan
tidak mengatur (regeling).
logika demikian, berarti kedua jenis peraturan ini
Kedua, adanya pembedaan tersebut penting dan
haruslah berbeda satu sama lain, terutama dari segi
memudahkan masyarakat memahami bahwa keduanya
kriteria isinya. Sebab, jika keduanya tidak berbeda,
memang berbeda, sehingga upaya hukum untuk mela-
untuk apa pembentuk undang-undang
wannya juga berbeda mekanismenya. Upaya hukum
untuk melawan produk peraturan disebut sebagai
294
pengu- Dalam arti luas, gugatan terhadap keputusan pejabat administrasi negara,
dalam bahasa Inggris (British), biasa disebut dengan istilah judicial review
juga. Tetapi, judicial review yang dimaksud di sini sesuai pengertian yang
biasa dipahami di Indonesia, yakni dalam arti sempit hanya mencakup
293
Ketetapan MPRS XX/MPRS/1966 bagian II Tata Urutan Peraturan pengertian pengujian peraturan saja. Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945. Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2005);
dan Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki oleh Hakim
dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005).

217 218
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

diharuskan memilih di antara kedua jenis peraturan itu.


delegasi pengaturan dari undang-undang dan Peraturan
Bukankah cukup PP saja yang berfungsi sebagai pera- Presiden yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1)
turan pelaksana langsung atas ketentuan undang- UUD 1945. Kedua macam Peraturan Presiden tersebut
undang. Sedangkan, Peraturan Presiden cukup difung- dapat menimbulkan kerancuan seperti halnya kedudu-
sikan sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah sesuai kan Keputusan Presiden dalam sistem yang pernah di-
dengan tata urutan hierarkisnya. Kedua, dalam Penjela- praktikkan di masa lalu.295
san Pasal 11 itu juga ditentukan bahwa: Jika perintah untuk mengatur itu tercantum secara
“Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut UUD tegas dalam undang-undang, maka niscaya produk
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan pera- turan yang harus ditetapkan oleh Presiden itu
Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara sebagai adalah dalam bentuk sebagaimana yang diperintahkan
atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUD Negara Republik dalam undang-undang tersebut. Akan tetapi, apabila
Indonesia Tahun 1945”. perintah mengenai bentuknya tidak disebut dengan
tegas, atau bahkan tidak ada perintah sama sekali untuk
Dengan penjelasan ini berarti, Peraturan Presiden mengatur- nya, maka Presiden dianggap dengan
dipahami oleh pembentuk undang-undang sebagai sendirinya memi- liki ruang gerak kewenangan diskresi
peraturan yang bersifat mandiri yang dapat terlepas dari (discretionary power) berdasarkan prinsip freies-
Undang-undang atau apalagi Peraturan Pemerintah. ermessen atau beleidsvrijhei untuk berkreasi. Asalkan
Jika suatu undang-undang tidak menentukan harus hal itu berada dalam batas-batas kebutuhan yang
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, maka rasional, objektif, wa- jar (reasonable) dan sewajarnya
untuk melaksanakan berbagai ketentuan undang- (proporsional), Presiden dapat berinisiatif untuk
undang yang bersangkutan dapat ditetapkan Peraturan mengeluarkan Peraturan Presiden yang dibutuhkan,
Presiden seba- gaimana mestinya. kecuali jika materi yang hen- dak diatur itu termasuk
Demikian pula untuk kepentingan menjabarkan kategori materi yang harus diatur dengan undang-
lebih lanjut ketentuan Peraturan Pemerintah, maka Pre- undang, tentu Presiden tidak dapat menuangkannya
siden dapat lebih lanjutnya menetapkan Peraturan dalam bentuk Peraturan Presi- den.
Presiden. Bahkan, meskipun Undang-undang (UU) Namun, berkenaan dengan hal tersebut di atas,
atau- pun Peraturan Pemerintah (PP) tidak mengatur, dapat timbul persoalan di lapangan, yaitu bagaimana
jika Presiden menganggapnya penting untuk diatur menentukan batasan yang wajar, sehingga kewenangan
dalam rangka menjalankan roda pemerintahan, maka
diskresi yang dimiliki oleh Presiden untuk
berdasar- kan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945,
mengeluarkan Peraturan Presiden itu tidak dilakukan
Presiden dianggap dapat menafsirkan kewenangan
atributifnya untuk mengatur hal itu dengan Peraturan dengan sewe-
Presiden. Dengan demikian, terdapat dua macam
Peraturan Presi- den, yaitu Peraturan Presiden yang 295
Lihat pendapat Bagir Manan mengenai hal ini dalam Anna Erliyana,
bersumber dari Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987-1998, (Jakarta: Fakultas Hu-
kum Universitas Indonesia, 2004), hal. 23.

219 220
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

nang-wenang. Jika hal itu dilakukan sewenang-wenang, Anna Erliyana dalam disertasinya pada tahun 2004.
maka pemerintahan akan kembali berkembang seperti
di masa Orde Baru, di mana banyak sekali tindakan
peme- rintahan yang dilakukan hanya dengan
Keputusan-Kepu- tusan Presiden, sehingga saya sendiri
pernah menama- kannya sebagai gejala Government by
Keppres. 296
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, sebe-
narnya, Penjelasan Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004 ter-
sebut, jelas mengandung substansi konsep Keputusan
Presiden yang bersifat mandiri yang pernah dipopuler-
kan oleh Prof. Dr. Hamid S. Attamimi di masa Orde
Baru yang banyak mendapat kritik dari para ahli
hukum.297

6) Peraturan Daerah (Perda)


Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10
Tahun 2004, Peraturan Daerah (Perda) meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi yang dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan
gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota yang dibuat oleh
dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, yang
dibu- at oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya.

296
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Konpress, Jakarta, 2005. Dalam semangat yang sama, Frans Hendrawinarta
juga menulis artikel di Harian Kompas dengan judul, “Keppres Sarana Legi-
timasi
297
Praktik KKN”, 26 Oktober 1998, hal. 9.
Lihat Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden dalam
Penyeleng- garaan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
IV, disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990. Di samping
Hamid
S. Attamimi, kajian ilmiah tentang Keputusan Presiden juga dilakukan oleh
221 222
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Mengenai pengertian Peraturan Desa (Perdes)


ini dapat timbul persoalan serius di lapangan. Sebagai
ben- tuk peraturan di tingkat desa, seharusnya
Peraturan Desa dikeluarkan dari pengertian Peraturan
Daerah yang tercantum resmi sebagai bentuk
peraturan yang berada dalam posisi hierarki kelima
dalam susunan peraturan perundang-undangan yang
dimaksud oleh Pasal 7 ayat
(2) UU No. 10 Tahun 2004 tersebut. Unit
pemerintahan desa, sudah seharusnya dibedakan dari
unit pemerin- tahan daerah pada umumnya.
Kehidupan masyarakat desa merupakan bentuk
komunitas yang dapat mengurus dirinya sendiri. Oleh
karena itu, masyarakat desa juga biasa disebut sebagai
self-governing communities (zelf- bestuur
gemeinschap) yang merupakan unit-unit kegia- tan
masyarakat di luar pengertian formal daya jangkau
organisasi negara. Oleh karena itu, Peraturan Desa
tidak perlu dimasukkan ke dalam kategori peraturan
perun- dang-undangan negara.
Dengan demikian, bentuk Peraturan Desa itu
sebenarnya tidak perlu dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan yang berada di bawah
undang- undang, sehingga memenuhi kualifikasi
sebagai bentuk peraturan yang dapat diuji oleh
Mahkamah Agung. Jika peraturan desa dikategorikan
sebagai bentuk peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang sebagai- mana dimaksud
dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, maka berarti
bahwa peraturan desa itu dapat dijadikan objek
pengujian oleh Mahkamah Agung. Hal demikian
tentulah dapat dianggap tidak realistis, dan justru
tidak sesuai dengan maksud perumusan Pasal 24A
ayat (1) UUD 1945 itu sendiri, karena akan membebani
Mahka- mah Agung dengan tugas-tugas yang sangat
tidak realis- tis. Kehidupan masyarakat desa sebagai
self-governing communities merupakan unit-unit
kegiatan masyarakat di luar pengertian formal daya
jangkau organisasi nega-
221 222
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

ra. Meskipun desa merupakan kaki-kaki yang kokoh


syawaratan Rakyat Nomor V/MPR/ 1973 dinyatakan
bagi organisasi negara dalam arti yang umum, tetapi
daya jangkau organ-organ negara memang tidak tetap berlaku.299 Sumber-sumber hukum tersebut meru-
seharusnya menjangkau sampai ke tingkat desa. Oleh pakan sumber hukum formil menurut tingkat kewena-
sebab itu, Peraturan Desa tidak perlu dimasukkan ke ngannya (hierarkinya), sehingga setiap peraturan
dalam kate- gori peraturan perundang-undangan hukum yang berlaku senantiasa bersumber pada dan
negara. dari pera- turan hukum yang lebih tinggi tingkatannya.
Namun demikian, terlepas dari hal itu, secara Setelah ditetapkannya Ketetapan MPR Nomor
normatif pada ayat (3) pasal ini, lebih lanjut telah diten- III/MPR/2000 di masa reformasi, bentuk dan jenis-
tukan bahwa tata cara pembuatan Peraturan Desa atau jenis peraturan perundang-undangan disederhanakan
peraturan yang setingkat peraturan desa itu diatur sehing- ga terdiri atas (i) Undang-Undang Dasar, (ii)
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang ber- Ketetapan MPR/S, (iii) Undang-undang (UU), (iv)
sangkutan. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (4) menentukan Peraturan Peme- rintah Pengganti Undang-undang
bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang (Perpu), (v) Peraturan Pemerintah (PP), (vi) Keputusan
ditentukan pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004, Presiden (Keppres),
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
(vii) Peraturan Daerah (Perda). Sedangkan, bentuk-
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Per-
bentuk lainnya yang tetap diakui adalah Peraturan/
undang-undangan yang lebih tinggi.
Keputusan Menteri, lembaga-lembaga independen lain-
7) Peraturan Pelaksanaan Lainnya nya, Mahkamah Agung, dan sebagainya, yang disebut
Di masa awal Orde Baru dulu, yang dimaksud de- pe- raturan atau keputusan yang bersifat mengatur.
ngan peraturan pelaksanaan lainnya adalah bentuk-ben- Setelah diadakan peninjauan kembali mengenai
tuk peraturan yang ada setelah Ketetapan MPRS No. materi dan status hukum Ketetapan-Ketetapan
XX/ MPRS/1966, dan harus bersumber kepada MPR/MPRS sejak tahun 1960 sampai dengan tahun
peraturan perundangan yang lebih tinggi. Umpamanya, 2002, maka oleh Ketetapan MPR No. I/MPR/2003
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan sebagainya. ditentukan bahwa TAP MPR No. III/MPR/2000
Sumber- sumber hukum formil Hukum Tata Negara tersebut di atas dinyatakan masih tetap berlaku sampai
pada masa itu adalah sebagaimana ditentukan dalam terbentuknya undang-undang yang mengatur materi
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Nomor XX/ MPRS/ 1966,298 yang kemudian oleh turan Perundangan Republik Indonesia tersebut pada Pasal 1 berlaku bagi
Ketetapan Majelis Permu- pelaksanaan
299
Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan produk-produk
yang berupa ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen-
298
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR tara Republik Indonesia. Pasal 3, dinyatakan tetap berlaku dan perlu disem-
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan purnakan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara:
Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pasal 1, menerima baik isi (1) Tap XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber
memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966, khusus mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Republik Indonesia. Pasal 2, Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Pera-

223 224
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

yang diatur dalam ketetapan itu. Untuk itu, maka


atas, sepanjang bersifat mengatur (regeling) harus di-
dibentuklah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 baca sebagai peraturan, dan untuk seterusnya, semua
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. produk yang bersifat mengatur tersebut harus disebut
Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 ini, maka dengan nama peraturan yang pembentukannya tunduk
segala sesuatu yang berkenaan dengan bentuk dan kepada ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 itu.
pembentukan peraturan perundang-undangan harus Peraturan-peraturan dimaksud, misalnya, Peratu-
tunduk kepada ketentuan yang diatur oleh undang- ran Tata Tertib MPR, Peraturan Tata Tertib DPR,
undang ini. Pasal 54 UU No. 10 Tahun 2004 Peratu- ran Tata Tertib DPD, 300 Peraturan Mahkamah
menjelaskan bahwa: Agung (PERMA), Peraturan Mahkamah Konstitusi
“Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan (PMK), Pe- raturan Badan Pemeriksa Keuangan,
Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawara- Peraturan Bank Indonesia (PBI), Peraturan Menteri
tan Rakyat, dan Keputusan Pimpinan Dewan (Permen), Peraturan Kepala Badan, Peraturan Lembaga,
Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 301
Perwakilan Dae- rah, Keputusan Ketua Mahkamah Peraturan Komisi Pembe- rantasan Tindak Pidana
Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi,
Korupsi, atau peraturan lembaga yang setingkat lainnya.
Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan,
Keputusan Gubernur Bank Indo- nesia, Keputusan Semua peraturan perundang- undangan tersebut
Menteri, Keputusan Kepala Badan, Lembaga atau merupakan bentuk-bentuk peraturan pelaksanaan
Komisi yang setingkat, Keputusan Pim- pinan Dewan undang-undang atau biasa disebut subor- dinate
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kepu- tusan legislations yang merupakan peraturan yang
Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwa- kilan didelegasikan oleh undang-undang (delegated legisla-
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati tions). Semua itu tetap dapat disebut sebagai peraturan
/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat, perundang-undangan yang termasuk ke dalam kategori
harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau allgemeene verbindende voorschriften atau peraturan
bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
yang mengikat untuk umum.
Bahkan, dalam bahasa Belanda, bentuk-bentuk
Sementara itu, dalam Pasal 56 Undang-undang
pengaturan yang ditetapkan oleh para administrator
No- mor 10 Tahun 2004 tersebut dinyatakan pula:
sebagai pejabat pelaksana fungsi-fungsi administrasi
”Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Ke-
putusan Gubernur, Keputusan Bupati/ Walikota, atau
keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud da- 300
Peraturan-peraturan ini biasanya ditetapkan dalam bentuk atau dengan
lam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada
memakai baju hukum keputusan, tetapi dinamakan Peraturan Tata Tertib
sebelum Undang-undang ini berlaku, harus dibaca karena isinya bersifat mengatur.
pera- turan, sepanjang tidak bertentangan dengan 301
Sebelum diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Undang- Undang ini”. Peraturan Perundang-undangan, jenis-jenis peraturan seperti yang dikeluar-
kan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) biasa disebut dengan istilah
Oleh karena itu, semua keputusan lembaga-lemba- Keputusan Ketua KPU. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU No.
10 Tahun 2004 tersebut, semua sebutan Keputusan yang berisi norma yang
ga seperti yang dimaksud dalam Pasal 54 tersebut di bersifat pengaturan (regeling) itu harus dibaca sebagai peraturan menurut
ketentuan UU No. 10 Tahun 2004.

225 226
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

negara dalam rangka melaksanakan ketentuan undang-


Kabupaten/Kota, dan Peraturan Bupati/Walikota.
undang disebut juga dengan istilah besluit van allge-
Hubu- ngan antara Perda Provinsi dengan Peraturan
meene strekking atau keputusan yang berisi ketentuan
Kepala Pemerintah Daerah itu dapat disetarakan
yang berlaku untuk umum. Oleh sebab itu, bentuk
dengan hubu- ngan antara Undang-undang dengan
hukum pengaturan seperti itu sebelum dibentuknya UU
Peraturan Pemerin- tah atau Peraturan Presiden di
No. 10 Tahun 2004, biasa disebut juga dengan istilah
tingkat pusat. Demikian pula bentuk-bentuk peraturan
”Keputusan”. Misalnya, Keputusan Menteri, Keputusan
lainnya, dapat pula dis- ebut, misalnya Peraturan Tata
Direktur Jenderal Pajak, Keputusan Gubernur, Keputu-
Tertib DPRD Provinsi, dan Peraturan Tata Tertib DPRD
san Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya, disebut
Kabupaten/Kota, mes- kipun tidak termasuk pengertian
dengan istilah keputusan, padahal isinya bersifat
allgemeine verbin- dende voorschriften, tetapi tetap
menga- tur (regeling). Kebiasaan penggunaan istilah
dapat disebut sebagai peraturan tingkat daerah.
keputusan itu disebabkan oleh karena dalam bahasa
Belanda, bentuk-bentuk pengaturan seperti itu juga 4. Konvensi Ketatanegaraan
biasa disebut dengan istilah besluit van allgemeene
strekking.
Dalam Hukum Tata Negara (constitutional law),
Di samping itu, ada pula bentuk-bentuk atau jenis-
jenis peraturan di tingkat daerah. Bentuk-bentuk atau dikenal pula apa yang disebut konvensi ketatanegaraan
jenis peraturan tingkat daerah ini sebenarnya dapat saja (the convention of the constitution). Konvensi ketata-
disebut atau tidak disebut sebagai peraturan perundang- negaraan mempunyai kekuatan yang sama dengan
undangan. Misalnya, undang-undang dapat Undang-undang, karena diterima dan dijalankan, mes-
menentukan ada atau tidaknya pembedaan yang jelas kipun hakim di pengadilan tidak terikat olehnya.
antara penger- tian peraturan pusat dan peraturan Bahkan seringkali konvensi ketatanegaraan ini
daerah. Akan tetapi, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (1) menggeser ber- lakunya suatu peraturan perundang-
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 telah dengan undangan yang tertulis.
jelas menentukan bahwa Peraturan Daerah yang Sebagai contoh, pada awal kemerdekaan, dapat di-
mencakup pengertian Peraturan Daerah Provinsi, kemukakan bahwa menurut Pasal 17 Undang-Undang
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa Dasar 1945, Menteri Negara bertanggung jawab kepada
atau yang setingkat, termasuk ke dalam pengertian Presiden, karena ia adalah pembantu Presiden. Dalam
peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat perkembangan ketatanegaraan Indonesia di tahun 1945,
(1) jelas menentukan bahwa Peraturan Daerah itu adalah ternyata ketentuan yang menyatakan bahwa Menteri
peraturan perundang-undangan yang berada dalam Negara harus bertanggung jawab kepada Presiden, kare-
uru- tan hierarkis ke-5 setelah UUD, UU/Perpu, PP, dan na konvensi ketatanegaraan, diubah menjadi bertang-
Per- pres. gung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional In-
Dengan demikian, peraturan tingkat daerah donesia Pusat (BP-KNIP). Pada masa itu, Badan Pekerja
beserta peraturan pelaksanaannya adalah termasuk juga Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ini berfungsi
dalam pengertian peraturan perundang-undangan. sebagai semacam Dewan Perwakilan Rakyat yang
Peraturan- peraturan tingkat daerah itu terdiri atas menja-
Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Gubernur,
Peraturan Daerah
227 228
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

lankan tugas-tugas yang bersifat legislatif.


tindak penyimpangan dari ketentuan konstitusi, tetapi
Hal ini terjadi karena keluarnya Maklumat Wakil telah mendapatkan kesepakatan bersama atau dibiarkan
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang kemudian berlaku oleh semua pihak yang terkait, maka hal itu
diikuti dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 dapat diterima sebagai konvensi ketatanegaraan, meski-
Novem- ber 1945, di mana Komite Nasional Indonesia pun belum menjadi kebiasaan yang dimaksud di atas.
Pusat yang semula membantu Presiden dalam Kebiasaan mempersyaratkan terjadinya perulangan-
menjalankan wewe- nangnya berdasarkan Aturan perulangan. Tetapi dalam konvensi tidak harus lebih
Peralihan Pasal IV Un- dang-Undang Dasar 1945, dulu terjadi perulangan. Uraian lebih rinci beserta con-
menjadi badan yang sederajat dengan Presiden, dan toh-contoh mengenai hal ini akan dibahas dalam sub
sebagai tempat Menteri Negara bertanggung jawab. bab tersendiri.
Dengan demikian, sistem pemerin- tahan yang semula
menganut sistem presidentil (presi- dential system) 5. Traktat (Perjanjian)
berubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Hal Sumber hukum formil yang lain dari Hukum Tata
ini dapat dilihat dalam kabinet Syahrir I, II, dan III, Negara adalah traktat atau perjanjian, sepanjang traktat
serta kabinet Amir Sjarifudin yang meng- gantikannya. atau perjanjian itu menentukan segi hukum ketata-
Konvensi ketatanegaraan dapat dibedakan dari negaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang
kebiasaan ketatanegaraan. Dalam kebiasaan terdapat terikat di dalamnya, sekalipun ia termasuk dalam
un- sur yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan yang bidang Hukum Internasional. Bentuk traktat (treaty)
sama berulang-ulang dilakukan, yang kemudian tersebut tidak selalu tertulis karena kemungkinan
diterima dan ditaati. Kebiasaan ketatanegaraan akan terjadi bahwa perjanjian hanya diadakan dengan
menjadi hukum kebiasaan yang mengikat apabila ia pertukaran nota atau surat-surat belaka. Dalam kamus
diberi atau dilengkapi dengan sanksi. Kebiasaan Hukum Internasional, tidak dibedakan antara traktat
ketatanegaraan ialah perbuatan dalam kehidupan dan perjanjian. Bahkan, traktat dan perjanjian sering
ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali, sehingga dikatakan mempunyai arti yang sama saja. Akan tetapi,
Bellefroid berpendapat bahwa kedua hal itu mempunyai
ia diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan,
arti yang berbeda. Traktat adalah perjanjian yang terikat
walaupun ia bukan hu- kum. Di sinilah letak
pada bentuk ter- tentu, sedangkan perjanjian tidak
perbedaannya dengan ketentuan hukum yang sudah
selalu terikat pada bentuk tersebut.302
tidak diragukan keabsahannya. Kebiasaan Traktat atau perjanjian adalah perjanjian yang
ketatanegaraan walaupun bagaimana penting- nya tetap diadakan oleh dua negara atau lebih. Apabila perjanjian
merupakan kebiasaan saja.
Sebagian kebiasaan ketatanegaraan memang dapat 302
Bellefroid, Mr. J.H., Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland,
disebut sebagai konvensi ketatanegaraan. Akan tetapi, (Utrecht: Dekker & van de Vegt. N.V. Nijmegen, 1948), hal. 107, “De
tidak selalu konvensi ketatanegaraan merupakan kebia- stalen gaan ook overeenkomst aan, waarby de tractaatsvorm enkel en alleen
saan ketatanegaraan, sebab konvensi dapat timbul mes- door nota-wiselling of door briefwisseling gesboten worden. Al worden die
overeenkomst doorgaans niet met de naam tractaten bestempeld toch staatn
kipun sesuatu belum menjadi kebiasaan. Misalnya,
zij, van juridisch standpunt beschouwd met tractaten op een lijn”.

229 230
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

itu diadakan oleh dua negara, ia disebut perjanjian bila-


dengan saling menukarkan piagam perjanjian. 303
teral. Sedangkan, apabila diadakan oleh banyak negara,
ia disebut perjanjian multilateral. Dalam praktik, mana
yang disebut traktat dan mana yang dapat disebut Dapat dikatakan bahwa pada tahap pertama, yaitu
sebagai persetujuan, tidak mudah untuk dibedakan. tahap perundingan, sepenuhnya merupakan
Keduanya sama-sama termasuk ke dalam pengertian kewenangan Presiden. Dalam rangka hubungan dengan
perjanjian yang seringkali tidak dapat dipisahkan secara luar negeri, Presiden dapat menentukan dalam hal apa
tajam. saja dan kapan saja perlu diadakan perjanjian antara
Dalam lapangan Hukum lnternasional, suatu pro- Republik Indonesia dengan negara lain. Dalam hal ini
ses pembuatan perjanjian sampai mengikat kedua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sama sekali tidak perlu
negara atau lebih, dilakukan dalam beberapa tahap, ikut campur untuk menentukan secara langsung. Akan
yaitu: tetapi, kadang-kadang DPR dapat pula menyatakan
1) perundingan atau pembicaraan diadakan mengenai pendapat- nya di muka umum mengenai hal itu.
hal-hal yang menyangkut kepentingan masing- Misalnya, DPR dapat menyatakan pendapatnya bahwa
masing negara. Pembicaraan atau perundingan hubungan antara Republik Indonesia dengan negara
terse- but merupakan tindakan persiapan sebelum lain belum waktunya diadakan perjanjian. Pendapat
terjadi- nya suatu traktat; yang demikian itu dapat muncul sebagai pendapat
2) jika para pihak telah memperoleh kata sepakat, perorangan anggota DPR, atau pun kemudian diadopsi
maka substansi pokok yang dihasilkan dari menjadi pendapat DPR sebagai institusi. Jika pendapat
perundingan itu diparaf sebagai tanda persetujuan seperti itu timbul, tentu hal ini dapat saja menimbulkan
sementara. Dikata- kan sementara, karena naskah akibat tertentu terhadap Presi- den, setidak-tidaknya
itu masih memerlukan persetujuan lebih lanjut dari secara politik.
lembaga perwakilan rakyat atau parlemen masing- Jika diukur dengan asas kedaulatan rakyat, se-
masing negara; benarnya, tahap kedualah yang terpenting, yaitu tahap
3) sesudah diperoleh persetujuan dari masing-masing penentuan kesepakatan materiel mengenai hal-hal yang
negara, kemudian disusul dengan penguatan (be- diperjanjikan itu. Sebab, bagaimanapun juga, sudah se-
krachtiging) oleh Kepala Negara masing-masing. harusnya rakyat mengetahui segala tindakan, langkah
Sesudah keputusan dicapai, tidak mungkin lagi bagi dan kegiatan Presiden yang berhubungan dengan
kedua pihak untuk mengadakan perubahan, karena negara lain. Setiap perjanjian dengan negara lain dapat
perjanjian tersebut sudah mengikat kedua belah beraki- bat langsung ataupun tidak langsung terhadap
pihak; kehidu-
4) keputusan yang sudah disetujui dan ditandatangani
oleh para pihak kemudian diumumkan. Lazimnya
303
pe- ngumuman itu dilakukan dalam suatu upacara Lihat Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Op. Cit, hal 186,
sebagai berikut : 1. Penetapan, 2. Persetujuan masing-masing Dewan Perwa-
kilan Rakyat dari pihak yang bersangkutan, 3. Ratifikasi, atau pengesahan
oleh masing-masing Kepala Negara, 4. Pelantikan atau pengumuman (afkon-
diging).

231 232
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

pan rakyat banyak. Oleh karena itu, wakil-wakil rakyat


lanjut apakah semua perjanjian seperti halnya dengan
yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat harus
persetujuan termasuk pengertian perjanjian
mengetahui apakah suatu perjanjian akan
antarnegara (international agreement). Ismail Suny
menguntungkan rakyat atau justru sebaliknya akan
menyebutkan bahwa hal-hal yang termasuk
merugikan rakyat yang mere- ka wakili kepentingannya
International Agreement itu tidaklah memerlukan
di lembaga perwakilan rakyat.
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.305
Di samping itu, perlu dicatat pula bahwa, selain
Dalam praktek di masa pemerintahan Presiden
merupakan sumber hukum materil, perjanjian juga di-
Soekarno, Pasal 11 UUD 1945 pernah diartikan menca-
akui sebagai sumber hukum formil dalam Hukum Tata
kup pengertian perjanian internasional yang penting
Negara. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ada-
dan yang kurang penting. 306 Hal itu, misalnya tercermin
nya hubungan antarnegara. Sebagai contoh, dapat dike-
dalam Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan
mukakan adanya perjanjian dwi-kewarganegaraan yang
Rakyat Gotong Royong tanggal 22 Agustus 1960
dikenal pada masa Undang-Undang Dasar Sementara
No.2826
1950. Perjanjian yang mengatur persoalan dwi-kewarga-
/HK/ 1960 yang membedakan dua macam perjanjian
negaraan tersebut dulu dianggap sebagai sumber hukum
internasional, yaitu:
formil bagi Hukum Tata Negara, karena masalah kewar-
(i) perjanjian internasional yang memuat materi yang
ganegaraan itu merupakan salah satu bidang kajian
penting (treaty);
yang dianggap penting dalam Hukum Tata Negara.
(ii) perjanjian internasional yang mengandung materi
Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 sendiri
yang kurang penting (agreement).
tidak membedakan antara istilah perjanjian dan traktat.
Pasal 11 UUD 1945 hanya menyebut istilah perjanjian Perjanjian internasional yang dapat dikatakan
dengan negara lain. Dalam kepustakaan, wewenang mempunyai kandungan materi yang penting adalah
yang timbul dalam hubungan dengan negara lain ini perjanjian yang memuat persoalan politik dan
disebut sebagai kekuasaan diplomatik (diplomatic persoalan- persoalan yang dapat mempengaruhi
power) atau hubungan luar negeri (foreign Affairs).304 kebijakan atau haluan politik luar negeri negara, seperti
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut perjanjian per- sahabatan, persekutuan, perubahan
tidak dirinci lebih wilayah atau pene- tapan tapal batas, dan sebagainya,
304
yang dari segi materi- nya, berkenaan dengan:
C.F. Strong memakai istilah diplomatic power, lihat dalam Strong, Op
Cit., hal. 233; Bernard Schwartz menyebutnya foreign affairs, lihat Bernard (i) perikatan-perikatan yang sedemikian rupa sifatnya,
Schwartz, American Constitutional Law, (Cambridge University Press,
1955), hal. 102 dst.; Wolhoff memakai istilah “hubungan luar negeri”, lihat 305
lsmail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op. Cit., hal. 83.
dalam Pengantar Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Timun 306
Sebelum Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, pasal ini hanya
Mas, 1960), hal. 193; lsmail Suny menggunakan istilah “kekuasaan diplo- berisi 1 butir ketentuan, yaitu “Presiden dengan persetujuan DPR menyata-
matic”, lihat dalam Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Nilam, 1965), kan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain”.
hal. 34, 83 dan 125; Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro memakai istilah Ketentuan tersebut sekarang mempunyai rumusan Pasal 11 ayat (1) yang
“hubungan luar negeri”, lihat dalam Azas-Azas Hukum Tata Negara di baru dengan ditambah ayat (2) dan ayat (3).
Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1974), hal. 67.

233 234
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri


bulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
negara; dan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
(ii) persoalan-persoalan yang menurut Undang-Undang
dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
Dasar 1945 atau menurut sistem peraturan perun-
un- dang-undang harus dengan persetujuan DPR”.
dang-undangan negara kita hanya diatur dapat
Dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000 tentang
dengan Undang-undang, seperti soal kewarganega-
Perjan- jian Internasional,308 diatur bahwa pengesahan
raan.
perjanji- an internasional oleh Pemerintah dilakukan
dengan undang-undang atau dengan keputusan
Apabila materi perjanjian dengan negara lain itu
presiden.309
berkenaan dengan kedua hal tersebut, maka perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 10 UU No. 24 Tahun
itu dapat dikatakan penting. Akan tetapi, jika perjanjian 2000, pengesahan perjanjian internasional dilakukan
itu berkenaan dengan hal-hal di luar itu, maka dapat di- dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
anggap sebagai perjanjian internasional yang kurang a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan ke-
penting. amanan negara;
Namun, oleh karena materi dari suatu perjanjian b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah ne-
internasional (internasional agreement) itu kadang- gara Republik Indonesia;
kadang sangat berkaitan dengan kepentingan atau me- c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
nyangkut hajat hidup rakyat banyak, maka hal-hal yang d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
demikian itu dianggap memang sudah seharusnya me- e. pembentukan kaidah hukum baru;
merlukan persetujuan DPR. Misalnya, persetujuan f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
inter- nasional yang berkenaan dengan pinjaman luar
negeri yang berjangka panjang, atau bantuan pinjaman Kemudian, berdasarkan pada ketentuan Pasal 11
dari negara kita kepada negara lain atau suatu UU No. 24 Tahun 2000 tersebut, pengesahan perjanjian
organisasi di luar negeri. Kedua-duanya menyangkut internasional yang materinya tidak termasuk materi
keuangan nega- ra, yang pada akhirnya membebani seperti yang dimaksud di atas, cukup dilakukan dengan
seluruh rakyat. Un- tuk itu, hal-hal demikian harus keputusan presiden.
mendapat persetujuan dari DPR.
C. Konvensi Ketatanegaraan
Oleh karena itu, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 307 menentukan bahwa ”Presiden dengan persetu- 1. Hakikat Konvensi Ketatanegaraan
Menurut pendapat Albert Venn Dicey (1835-1922)
dalam bukunya “Introduction to the Study of the Law of
juan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian,
dan perjanjian dengan negara lain”; ”Presiden dalam 308
Indonesia, Undang-undang Tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24
membuat perjanjian internasional lainnya yang menim- Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000, TLN No. 4012.
309
Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Per-
307
wakilan Rakyat. Pengesahan dengan Keputusan Presiden selanjutnya diberi-
Merupakan hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. tahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

235 236
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

the Constitution”, kita harus membedakan antara (i) the


ngan kebiasaan atau kebiasaan ketatanegaraan, padahal
law of the constitution, dan (ii) the conventions of the
sebenarnya berbeda. Kebiasaan mempersyaratkan pe-
constitution, 310 yang keduanya sama-sama sebagai dua
ngulangan, sedangkan konvensi tidak. Dalam praktik,
maxim yang penting dalam ilmu hukum tata negara. 311 konvensi juga dianggap sebagai salah satu cara untuk
Termasuk ke dalam pengertian the laws of the consti- mengubah apa yang tertulis dalam teks konstitusi,
tution itu adalah segala ketentuan peraturan sesuai dengan kebutuhan yang baik untuk memastikan
perundang- undangan yang berlaku mengikat, yang beker- janya norma konstitusi dalam praktik. K.C.
dapat dipaksa- kan dan diakui berlakunya oleh badan- Wheare dalam bukunya “Modern Constitutions”,
badan peradilan (which are enforced or recognized by misalnya, ada- lah salah seorang sarjana yang
the court), yaitu menganggapnya demi- kian. Menurut K.C. Wheare:
(a) statutes, atau undang-undang, (b) norma-norma “Many important changes in the working of a
yang berasal dari custom atau adat kebiasaan, tradisi constitution occur without any alteration in the
atau prinsip-prinsip yang diciptakan oleh hakim (judge- rules which regulate a government, whether they
made maxims) yang biasa dikenal sebagai common strictly legal or rules of custom and convention”.313
laws. Sedangkan, norma-norma hukum lain selain hal
tersebut di atas, dikategorikan oleh A.V. Dicey sebagai Banyak perubahan yang terjadi dalam rangka
the con- ventions of the constitution atau konvensi pelaksanaan undang-undang dasar tanpa mengubah
ketatanega- raan. secara mutlak bunyi teks hukum ketentuan yang menga-
Konvensi ketatanegaraan atau constitutional tur suatu pemerintahan, melainkan terjadi begitu saja
convention merupakan peristilahan yang lazim disebut melalui kebiasaan dan konvensi (rules of custom and
dalam pembicaraan mengenai masalah-masalah praktik convention). K.C. Wheare bahkan menguraikan lebih
ketatanegaraan dan dalam ilmu hukum tata negara lanjut mengenai perubahan-perubahan konstitusi yang
(constitutional law).312 Kadang-kadang, istilah konvensi dapat terjadi melalui (i) perubahan hukum dalam arti
atau konvensi ketatanegaraan itu dianggap identik de- yang strict, yaitu perubahan melalui amandemen
formal;
310
Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of the (ii) perubahan melalui penafsiran yudisial atas teks
Constitution, 10th edition, (London: Macmillan, 1959). Buku ini sudah konstitusi, yaitu melalui proses peradilan tata negara
tergolong buku klasik (classical work of Dicey), tetapi sampai sekarang tetap (constitutional adjudication); dan (iii) perubahan mela-
dianggap
311
sebagai bacaan umum di bidang hukum tata negara. lui kebiasaan dan konvensi. 314 Artinya, konvensi juga
Bandingkan dengan Michael T. Molan yang menggunakan istilah legal
rules of the constitution untuk pengertian Dicey mengenai the law of the dapat dianggap sebagai salah satu metode perubahan
Constitution, dan non-legal rules of the constitution untuk istilah the conven- konstitusi.
tions of the constitution. Lihat Michael T. Molan, Textbook on
Constitutional Law: The Machinery of Government, 4th edition, (Old Bailey
Prees, 2003), hal. 21-22.
313
312
Constitutional Convention di dalam Oxford Dictionary Law diartikan Wheare, Op Cit.,. Bandingkan dengan terjemahan Muhammad Hardani,
sebagai “Practices relating to the exercise of their functions by the crown, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003). Lihat juga
the government, Parliament, and the judiciary that are not legally enfor- Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1986),
ceable but are commonly followed as if they were”. hal.
314
31.
Ibid.

237 238
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Secara umum, konvensi sering diartikan sebagai


Untuk memahami lebih tepat mengenai konvensi
unwritten laws, tetapi kadang-kadang dibedakan dan
itu, kita dapat pula menghubungkannya dengan
bahkan tidak dianggap sebagai hukum sama sekali. Di
pengertian yang berlaku dalam sosiologi hukum dan
Inggris, unwritten laws biasa diidentikkan dengan
antropologi hukum. Dalam kaitannya dengan daya ikat
pengertian common law. Sering juga unwritten laws itu
norma, biasa dibedakan antara pengertian (i) cara (usa-
sendiri diidentikkan pula dengan customs atau adat
ges), (ii) kebiasaan (folkways), (iii) tata laku (mores),
kebiasaan atau adat istiadat. Semua ini berpotensi
dan (iv) adat istiadat (customs).317 Dalam konteks yang
menimbulkan kebingungan jika dikaitkan dengan pe-
demikian, maka yang kita maksudkan dengan konvensi
ngertian hukum kebiasaan atau customary laws yang
ketatanegaraan (the conventions of the constitution) itu
tidak saja merupakan hukum dalam pengertian yang
sendiri tidak lain adalah praktik-praktik ketatanegaraan
mutlak (strict sense) tetapi juga memerlukan immemo-
yang berisi salah satu dari keempat jenis norma, yaitu
rial antiquity untuk pemberlakuannya. Sedangkan,
usages (cara), folkways (kebiasaan), mores (pola
constitutional convention sama sekali tidak membutuh-
kelaku- an), atau customs (adat istiadat) tersebut, yang
kan immemorial antiquity semacam itu.315
terang- kum dalam istilah constitutional usages, dan
Perkataan convention sering digunakan oleh para
constitu- tional practices, serta constitutional customs
ahli hukum tata negara atau constitutional lawyers
atau kebia- saan ketatanegaraan.
untuk menunjuk kepada pengertian rules of political
practice atau norma yang timbul dalam praktik politik Konvensi-konvensi ketatanegaraan, tidak saja
yang juga dianggap berlaku mengikat oleh pihak-pihak dijumpai di negara-negara yang tidak mengenal doku-
yang terkait dengannnya, terutama oleh para penye- men konstitusi tertulis, tetapi juga di kebanyakan nega-
lenggara negara. Namun, norma praktik itu sendiri, ra-negara dengan konstitusi tertulis. Di semua negara
kare- na tidak didasarkan atas ketentuan yang bersifat anggota Persemakmuran (Commenwealth) seperti Aus-
tertulis, dianggap tidak mengikat para hakim, jika tralia, 318 Amerika Serikat, dan sebagainya. Konvensi-
kepada mereka diajukan perkara oleh pihak-pihak yang konvensi ketatanegaraan itu diakui sebagai sumber
berkepentingan yang menggugat atau melawan praktik- hukum yang penting dalam praktik. Misalnya, tata cara
praktik politik yang tidak tertulis itu. O. Hood Phillips, pemilihan presiden dan tata cara penentuan anggota
Paul Jackson, dan Patricia Leopold berpendapat bahwa: kabinet pemerintahan Amerika Serikat sebagian
“The lack of judicial enforcement distinguishes conven- terbesar diatur menurut kebiasaan ketatanegaraan
tions from laws in the strict sense. This is an important (constitutional conventions), bukan atas dasar peraturan
formal distinction for the lawyer, though the politician yang bersifat tertulis.319 Begitu juga di Indonesia, banyak
may not be so interested in the distinction”.316 sekali usages dan practices dalam penyelenggaraan
negara yang tidak

317
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan
Penerbit
318
UI, 1975), hal. 75.
315
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 136. Mengenai konvensi ketatanegaraan di Australia, baca misalnya George
316
Ibid., hal. 24. Winterton, The Executive and the Governor General, 1983.
319
W.B. Munro, The Government of the United States, 4th edition, 1936, hal.
80-83.

239 240
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

didasarkan atas aturan tertulis, melainkan hanya di-


pun konstitusinya dikatakan tidak tertulis seperti
dasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi dari
Inggris dan Israel, tetap dianggap memiliki konstitusi
masa lalu. Misalnya, adanya Pidato Kenegaraan
dan dise- but sebagai constitutional state. Demikian
Presiden pada setiap tanggal 16 Agustus di depan Rapat
pula konvensi yang tidak mutlak harus bersifat tidak
Paripurna DPR-RI dapat juga dikatakan sebagai
tertulis, sehingga perbedaan antara the laws of the
konvensi ketata- negaraan.
constitution dan the conventions of the constitution
Akan tetapi, sifat konvensi yang tertulis atau tidak
tidak dapat dibedakan dari sekedar sifatnya yang
tertulis itu sendiri sebenarnya tidaklah mutlak. Kadang-
tertulis atau yang tidak tertulis. Hal yang terpenting
kadang, konvensi ketatanegaraan dapat juga dituangkan
adalah bahwa yang pertama dapat dipaksakan dan
dalam bentuk tulisan tertentu, meskipun ia tetap dapat
diakui berlakunya di pengadilan dan oleh pengadilan,
disebut sebagai konvensi ketatanegaraan atau consti-
sedangkan yang kedua (convention) tidak dapat
tutional convention. Ismail Suny, misalnya, termasuk
dipaksakan di pengadilan dan oleh pengadilan.322
guru besar hukum tata negara yang berpendapat Namun, meskipun tidak dapat dipaksakan berlaku-
demiki- an. Menurutnya, “konvensi tidak perlu selalu nya, peranan the conventions of the constitution dalam
merupa- kan ketentuan yang tidak tertulis, yang praktik ketatanegaraan di semua negara konstitusional
timbul dari persetujuan (agreement) boleh saja (constitutional state) dapat dikatakan sangat penting.
berbentuk tertu- lis”.320 Sebagai salah satu contoh, Demikian pula di Inggris yang memang dikenal tidak
misalnya, jika Presiden mengadakan persetujuan memiliki naskah konstitusi yang tertulis dan menganut
dengan pimpinan parlemen mengenai sesuatu agenda tradisi common law, norma-norma hukum kebiasaan
persidangan parlemen, dan persetujuan itu dituangkan justru lebih menonjol peranannya. Bahkan, menurut
secara tertulis dalam bentuk express agreement, maka Hood Phillips, Paul Jackson, dan Patricia Leopold
hal itu dapat menjadi konvensi dalam bentuk yang ditegaskan:
tertulis. Misalnya, persetujuan antara Wakil Presiden ”Not only do the British have no written constitution,
Mohammad Hatta dan Badan Pekerja Komite Nasional but they have been reluctant to stereotype their rules of
Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 16 Oktober 1945 government in the form of statutes. Many important
atas Maklumat Pemerintah bertanggal 14 November political developments have been effected since 1688
1945 juga ditandatangani dalam bentuk ter- tulis. without recourse to legal forms at all”.323
Oleh karena itu, banyak sarjana yang berpendapat
bahwa pengertian written versus unwritten atau docu- Konvensi ketatanegaraanlah yang mendeskripsikan
mentary versus non-documentary dalam hukum dan menjelaskan bagaimana konstitusi dijalankan,
konsti- tusi (constitutional law) sebenarnya tidaklah tumbuh, dan berkembang. Fungsi utamanya adalah me-
mutlak sifatnya. 321 Di negara mana saja di seluruh ngadaptasikan struktur kepada fungsinya. Dengan begi-
dunia, meski- tulah kerajaan Inggris yang kuat pada tahun 1688

320
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op Cit., hal. 41.
321
Lihat misalnya G.S. Diponolo, Ilmu Negara, jilid 2, (Jakarta: Balai 322
Bandingkan dengan Kusnardi dan Saragih, Op. Cit..
Pustaka, 1975), hal. 173-174, dan Kusnardi dan Saragih, Op Cit. 323
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 25.

241 242
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

(strong monarchy) diubah menjadi kerajaan yang


vensi ketatanegaraan atau constitutional convention
dibatasi (limited monarchy) dengan sistem pemerinta-
dalam studi ilmu hukum tata negara.
han yang bertanggung jawab kepada parlemen (respon-
Oleh karena kompleksitas pengertian konvensi
sible parliamentary government).
yang demikian, dalam bukunya “Constitutional and
Oleh karena itu, studi mengenai konvensi
Administrative Law”, O. Hood Phillips, Paul Jackson,
ketatanegaraan sangat penting untuk mengetahui beker-
dan Patricia Leopold merumuskan definisi
janya konstitusi yang tertulis dalam praktik. Meskipun
constitutional convention sebagai “rules of political
sejak lama konvensi ketatanegaraan sudah menjadi per-
practice which are regarded as binding by those to
hatian para ahli sejak abad ke-19, seperti E.A. Freeman
whom they apply, but which are not laws as they are
dalam bukunya “Growth of the English Constitution”
not enforced by the courts or the Houses of
(1872), 324 tetapi pentingnya konvensi itu baik dalam
Parliament”. Dengan rumusan definisi tentang konvensi
rangka pemahaman terhadap konstitusi maupun untuk
yang demikian, konvensi ketatanegaraan jelas berbeda
penerapan konstitusi dalam praktik, dapat dikatakan
dengan kebiasaan, dari aturan yang berlaku di
baru berkembang sejak prakarsa A.V. Dicey yang mene-
lingkungan parlemen, prosedur- prosedur beracara di
kankan pentingnya konvensi ketatanegaraan di dalam
pengadilan, ataupun dengan norma aturan yang bersifat
bukunya “An Introduction to the Study of the Law of
non-hukum, seperti etik, dan lain sebagainya. Untuk
the Constitution” yang pertama kali terbit pada tahun
lebih jelasnya, konsepsi mengenai konvensi
1885.325 Albert Venn Dicey, namanya biasa disingkat
ketatanegaraan, dapat dibedakan dari kelima hal di
A.V. Dicey atau Dicey, menekan pembedaan antara
bawah ini, yaitu:326
hukum konstitusi (laws of the constitution) dan (i) Praktik, penerapan, kebiasaan, atau fakta-fakta
kebiasaan kon- stitusi (the conventions of the (mere practice, usage, habit or fact) yang tidak
constitution), bukan untuk maksud mengeluarkan yang dianggap bersifat kewajiban (obligatory), seperti
kedua dari perhatian para mahasiswa hukum. keberadaan partai politik (fakta) atau kebiasaan-
Sebaliknya, Dicey membedakan keduanya untuk kebiasaan seperti kebiasaan Presiden menerima
meyakinkan para mahasiswa agar tidak mengabaikan tamu umum pada hari Raya Iedul Fitri dan Iedul
pentingnya penyelidikan mengenai kon- Adha, ataupun kebiasaan tabur bunga dan re-
nungan suci pada tanggal 17 Agustus malam di
324
makam pahlawan Kalibata.
O. Hood Phillips, Constitutional Conventions: Dicey’s Predecessors, 29,
(ii) Norma-norma aturan yang tidak bersifat politik
M.L.R, 1966, hal. 137.
325
Dicey, Op Cit.. Lihat juga R.A. Casgrove, The Rule of Law, Albert Venn (non-political rules), seperti rules of conduct atau
Dicey, Victorian Jurist, 1981, hal. 87-90; Sir Ivor Jennings, The Law and the kode etik yang tidak berkaitan dengan persoalan
Constitution, 5th edition; Cabinet Government, 3rd edition; Parliament, 2 nd pemerintahan, ataupun hal-hal yang berhubungan
edition; K.C. Wheare, Modern Constitutions, 1951 (lihat juga terjemahannya
dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi
dengan sopan santun tata upacara kerajaan yang
Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003), The Constitutional Structure of tidak memiliki constitutional significance sama
the Commonwealth, 1960; O. Hood Phillips, Constitutional Conventions: A sekali untuk dipermasalahkan.
Conventional Reply, 1964; serta Geoffrey Marshall, Constitutional
Conventions, 1984. 326
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 136-138.

243 244
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

(iii) Judicial rules of practice seperti kebiasaan hakim


(v) Rules enforced by the Houses of Parliament mela-
dalam memeriksa dan memutus dengan mengikuti
lui para pejabatnya, seperti Ketua Parlemen menu-
rules of precedent dari contoh-contoh perkara
rut peraturan tata tertib parlemen yang
serupa yang pernah diputus sebelumnya. Dalam
bersangku- tan. Sebagian dari the law and custom
praktik di Inggris misalnya, hal ini sama sekali
of Parlia- ment dapat disebut termasuk ke dalam
tidak ada aturan tertulisnya melainkan tumbuh
pengertian the common law dalam arti yang luas.
sendiri dalam praktik. Itu sebabnya, seperti dalam
Oleh karena itu, sering dipahami secara tumpang
kasus R. vs Knuller Ltd (Publishing, Printing and
tindih dengan pengertian konvensi. Memang ada
Promotions), House of Lords tidak merasa terikat
juga praktik- praktik penyelenggaraan kegiatan
dengan keputusan yang dibuatnya sendiri pada
parlemen yang menciptakan konvensi (constitute
masa sebelumnya.
conventions), seperti perlindungan atau
(iv) Rules enforced by the courts, yaitu peraturan
pemberian kesempatan khusus kepada kelompok
perundang-undangan yang diterapkan atau di-
minoritas dalam perde- batan ataupun dalam
tegakkan oleh pengadilan, baik dalam bidang
rangka komposisi penyusu- nan anggota komisi-
perdata, pidana, tata usaha negara, ataupun tata
komisi tertentu. Peraturan Tata Terbit (Standing
negara. Sambil mengakui ada-nya perbedaan
Orders) kadang-kadang juga disebut sebagai
formal antara laws dan conventions, Sir Ivor
constitutional conventions, tetapi jika ditelaah
Jennis cenderung pada pendapat bahwa
lebih seksama, peraturan tata tertib atau Standing
perbedaan keduanya tidaklah bersifat substantif.
Order itu sendiri terdiri atas norma yang (i)
Perbedaannya itu mungkin tidak penting bagi
sebagian dapat disebut sebagai hukum (law), (ii)
ilmuwan politik, tetapi sangat penting bagi ahli
sebagian merupakan mere practice, dan
hukum. Bahkan, pembedaan itu sendiri dikritik (iii) barulah sebagian kecil lainnya dapat disebut
oleh Mitchell, mengingat there may be laws with conventions.
no judicial sanction. 327 Menurutnya ada juga
hukum yang tidak disertai ketentuan mengenai Di samping itu, menurut Hood Phillips, Paul
sanksi peradilan. Memang benar, seperti Jackson, dan Patricia Leopold, “It is also useful to dis-
dikemukakan oleh Sir Ivor Jennings, ada undang- tinguish ‘conventions’ from such distinct, if allied con-
undang misalnya di bidang pidana yang tidak cepts as ‘traditions’, ‘principles’ and ‘doctrines’”.329 Kegu-
dapat diterapkan untuk badan-badan naan konvensi dapat dilihat juga untuk memberikan arti
pemerintahan, tetapi dapat diterapkan terhadap kepada tradisi, prinsip-prinsip, atau nilai-nilai.
orang perorang yang menduduki jabatan dalam Misalnya, Sir John Donaldson mengaitkan hubungan
badan pemerin- tahan itu.328 antara par- lemen dan pengadilan dengan istilah
konvensi, yaitu dengan menyatakan:
327
J.D.B. Mitchell, Constitutional Law, 2nd edition, 1968, hal. 34-39. “Although the United Kingdom has no written con-
328
Raleigh vs Goschen, 1893, 1 Ch. 73 dalam Phillips, Jackson, and stitution, it is a constituional convention of the
Leopold, op. cit., hal. 137. highest

245 246
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

329
Geoffrey Marshall, Constitutional Conventions, 1984, hal. 3.

245 246
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

importance that the legislature and the judiciary are


those exercising the rights or wielding the powers
separate and independent of one another, subject to
legally conferred, defined, or permitted”.333
certain ultimate rights of Parliament over the judica-
ture”.330
Tidak ada peraturan, apalagi undang-undang
Independensi peradilan (the independence of the dasar sebagai hukum yang tertinggi yang bersifat garis
judiciary) dapat dipandang sebagai a principle of the besar, yang secara mendetil menentukan cara norma-
Constitution sejak tahun 1668, yang tercermin dalam norma dasarnya dilaksanakan dalam praktik. Selalu
ketentuan undang-undang (statutory provisions) yang diperlukan peraturan pelaksanaan atau norma-norma
berisi jaminan atas masa jabatan para hakim (judicial lain yang ber- sifat tidak tertulis yang memungkinkan
security of tenure).331 peraturan yang bersangkutan dijalankan dengan sebaik-
Konvensi itu sendiri, menurut Michael Allen dan baiknya. Setiap tingkatan peraturan yang lebih rendah
Brian Thompson, dapat ditemukan dalam semua un- pada pokoknya merupakan peraturan yang bersifat
dang-undang dasar yang dibentuk (established consti- lebih rinci dalam rangka melaksanakan peraturan yang
tutions), termasuk bahkan dalam konstitusi yang baru lebih tinggi. Oleh karena itu, pelaksanaan setiap
terbentuk sekalipun. Menurut kedua sarjana ini, peraturan umum, memer- lukan penafsiran yang
penting- nya konvensi itu disebabkan oleh kenyataan mengelaborasikan atau merinci pengertian-pengertian
bahwa tidak ada peraturan umum yang bersifat self- normatifnya sehingga dapat dilak- sanakan dengan
applying, me- lainkan harus diterapkan menurut syarat- sebaik-baiknya.
Proses penafsiran semacam itu dapat dilakukan,
syarat aturan tambahan tertentu (no general rules of
melalui pembentukan peraturan yang lebih rendah, me-
law is self- applying, but must be applied according to
lalui proses peradilan yang akan menerapkan norma-
the terms of additional rules). 332 Dikatakan lebih lanjut
norma hukum yang bersifat umum itu dalam kasus-
oleh Allen dan Thompson:
“These additional rules may be concerned with the kasus perkara hukum yang konkrit, ataupun melalui
interpretation of the general rule, or with the exact cir- kon- vensi ketatanegaraan tertentu. Hal yang terakhir
cumstances in which it should apply, about wither of ini sangat penting, karena selain melalui proses
which uncertainty may exist, and the greater the gene- pembentu- kan peraturan yang lebih rendah dan
rality the greater will the uncertainty tend to be. Many mekanisme pera- dilan, dalam praktik, selalu terdapat
constitutions include a large number of additional ruang yang sangat luas dan terbuka untuk munculnya
legal rules to clarify the meaning and application of significant degree of discretion Adanya ruang bagi
their main provisions, but in a changing world it is discretionary power ini tentu saja di satu pihak dapat
rarely possible to eradicate or prevent all doubts on
dikatakan sangat berguna, tetapi di lain pihak dapat
these points by enactment or even by adjudication. The
result often is to leave a significant degree of pula disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa, semata-
discretion to mata untuk kepentingan ke- kuasaan itu sendiri.

330 332
Lihat kasus R. vs H.M. Treasury, ex p. Smedley, 1985, Q.B. 657, 666. Allen and Thompson, Op. Cit., hal. 242.
331
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 138.

247 248
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

333
Ibid.

247 248
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

2. Pengakuan Hakim terhadap Konvensi


bahwa konvensi itu tidak memiliki kualitas kualifikasi
(Judicial Recognition)
yang sama dengan hukum dalam arti yang sebenarnya.
Seperti dikemukakan di atas, para hakim tidak
Kemudian yang dapat juga dipastikan ialah bahwa
terikat atau tidak ada keharusan bagi pengadilan untuk
konvensi itu tidak dapat ditegakkan oleh pengadilan dan
menerapkan konvensi dalam memutus sesuatu perkara.
pelanggaran terhadapnya tidak dapat dikenakan sanksi
Sebab, pada pokoknya, konvensi itu sendiri tidak dapat
oleh hakim. Meskipun demikian, tentu tidak berarti
dipersamakan atau bukanlah hukum (law) dalam arti
bahwa pengadilan tidak mengakui sama sekali
yang sebenarnya. Itu sebabnya, dalam artikelnya ber-
keberada- an konvensi sebagai sumber hukum. Setiap
judul “Laws and Conventions Distinguished” (1975),
konvensi tetap dapat dijadikan pegangan yang dipercaya
C.R. Munro menyatakan:
“The validity of conventions cannot be the subject of
bagi hakim sebagai alat bantu untuk menafsirkan
the proceedings in a court of law. Reparation for peraturan tertulis yang berlaku. Konvensi
breach of such rules will not be effected by any legal ketatanegaraan (constitu- tional conventions) juga
sanction. There are no cases which contradict these dapat dijadikan alat untuk justi- fikasi sikap pengadilan
propositions. In fact, the idea of a court enforcing a yang mengambil jarak dari ke- putusan-keputusan tata
mere convention is so strange that the question hardly usaha negara di bidang-bidang yang pengadilan sendiri
arises”.334 menganggap dirinya tidak terlibat atau tidak boleh
dilibatkan.
Dalam bukunya yang lain, dinyatakan pula oleh Di Inggris, dapat dikemukakan beberapa contoh
C.R. Munro, “In a legal system, a certain number of mengenai adanya pengakuan pengadilan terhadap
sources are recognized as law-constitutive. So there are konvensi ketatanegaraan (constitutional conventions).
rules specifying what counts as law (or what, by impli- Misalnya, House of Lords menjadikan pertanggung-
cation, does not)”.335 Di Inggris, menurutnya: jawaban Menteri Dalam Negeri kepada parlemen
“The courts accept as law only legislation made or sebagai salah satu alasan untuk memutus dalam perkara
authorised by Parliament and the body of rules Liversidge vs Anderson (1942).337 Demikian pula dalam
evolved by the courts called common law. There are
perkara Padfield vs Minister of Agriculture, Fisheries
formal signs, such as the words of enactment used for
Acts of Parliament, denoting that rules have passed a and Food (1968), di mana konvensi mengenai pertang-
test for being laws”.336 gungjawaban menteri juga dijadikan pertimbangan.
Begitu pula dalam kasus Air Canada vs Secretary of
Penting untuk ditegaskan di sini, bukanlah bahwa State for Trade (1983),338 tercantum beberapa konvensi
status konvensi itu berada di luar kategori hukum, tetapi sebagai referensi yang melarang Menteri yang berasal
dari satu partai politik untuk mendapatkan akses
kepada dokumen-dokumen dari menteri pendahulunya
yang berasal dari partai politik yang lain tanpa
334
C.R. Munro, “Laws and Conventions Distinguished”, 91 Law Q Review, persetujuan
218,
335
1975, hal. 228.
C.R. Munro, Studies in Constitutional Law, 2nd edition, 1999, hal. 69-71.
336
Ibid. 337
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 139.
338
Lihat Lord Hunt of Tanworth, “Access to A Previous Government’s
Papers”, P.L. 1982, hal. 514.

249 250
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dari pejabat terdahulu (without the agreement of the


politik, meskipun pelanggaran terhadap konvensi
previous administration).
ketata- negaraan dapat juga disebut sebagai sesuatu
Di Mahkamah Agung Kanada, baik soal eksistensi
yang tidak konstitusional atau inkonstitutional.
maupun isi konvensi, juga pernah menjadi perkara yang
Mahkamah Agung Kanada juga menerima kriteria yang
menyebabkan Mahkamah Agung terlibat dalam pem-
diajukan oleh Sir Ivor Jennings tentang konvensi
bahasan mengenai the general nature of constitutional
ketatanegaraan (consti- tutional conventions).
conventions. Berkenaan dengan hal itu, mayoritas para
Konvensi diakui tidak saja oleh para politisi, tetapi
hakim Mahkamah Agung Kanada berpendirian bahwa a
juga oleh masyarakat luas pada umumnya. Pada umum-
constitutional convention cannot crystallise into law.
nya para sarjana mengakui bahwa konvensi itu merupa-
Menurut mereka:
kan norma aturan yang mengikat untuk umum. Seperti
“No instance of an explicit recognition of a convention
as having matured into a rule of law was produced. misalnya oleh G. Marshall dikatakan:
The very nature of a convention, as political in “on the obligatory nature of the conventions dis-
tinguishes between ‘positive morality’ (subjective test)
inception and as depending on a persistent course of
political recognition by those for whose benefit and to and ‘critical morality’ (objective test), preferring the
latter but not stating definitely whose opinion is to be
whose detriment (if any) the convention developed
over a considerable period of time, is inconsistent with taken”.340
its legal enforcement.... The attempted assimilation of
the growth of a convention to the growth of the Oleh karena itu, legislasi perundang-undangan
common law is misconceived. The latter is the product dapat pula mengakui atau menyerap isinya sebagaimana
of judicial effort, based on justifiable issues which mestinya (Legislation may recognize or presuppose
attained legal formulation and are subject to conventions). Konvensi ketatanegaraan dapat
modification and even reversal by the courts which diformula- sikan ke dalam rumusan undang-undang,
gave them their birth. No atau bahkan ke dalam rumusan undang-undang dasar.
such parental role is played by the courts with respect Misalnya, the Statute of Westminster tahun 1931
to conventions...”.339
telah dimuat dalam berbagai konstitusi negara-negara
anggota Persemakmuran atau Commonwealth, 341 baik
Konvensi diakui eksistensinya, tetapi jika ada dengan efek penerapannya di pengadilan ataupun tidak
peraturan perundang-undangan tertulis, dan terdapat
(with or without justiciable effect).342 Selain itu,
pertentangan antara konvensi dimaksud dengan pera-
kedudu- kan konvensi ketatanegaraan Inggris juga
turan perundang-undangan, maka pengadilan harus
terdapat dalam
menerapkan peraturan perundang-undangan tertulis di
atas konvensi. Oleh karena itu, konvensi tidak dapat di-
terapkan secara mandiri, atau bahkan sering dikatakan 340
341
Marshall, Op. Cit., catatan 18, hal. 11-12.
bahwa konvensi itu memang tidak dapat ditegakkan Ulasan dan ringkasan atas “Statute of Westminster” ini dapat dibaca
dalam D.G. Cracknell, Cracknell’s Statutes: Constitutional and Adminis-
atau diterapkan oleh pengadilan. Sanksi konvensi itu trative Law, 3rd edition, (London: Old Bailey Press, 2003), hal. 18-19.
bersifat 342
Lihat de Smith, The New Commonwealth and its Constitution, 1964, hal.
51-52, dan 88-90; juga C. Samford and D. Wood, “Codification of Consti-
tutional Conventions in Australia”, 1978, P.L. 231.
339
Phillips, Jackson, and Leopold, Op. Cit., hal. 140.

251 252
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Konstitusi Nigeria. Konvensi dimaksud sama sekali any given moment of our lifetime, there may be one
tidak diadopsi secara expresis verbis dalam Konstitusi. pratice called ‘Constitutional’ which is falling into de-
Akan tetapi, dalam praktik, konvensi ketatanegaraan suetude and the may be another practice which is
Inggris biasa digunakan dalam rangka membantu para creeping into use but which is not yet called ‘con-
hakim menafsirkan Konstitusi Nigeria tersebut.343 stitutional”.344
Hukum konstitusi, bagaimanapun juga, dapat
berdiri sendiri sebagai hukum, meskipun normanya 3. Fungsi Konvensi Ketatanegaraan
yang karena sifatnya yang statis dapat tertinggal dalam Konvensi ketatanegaraan (constitutional conven-
per- kembangan zaman. Sedangkan, konvensi dapat tion) merupakan aturan politik (rules of political beha-
berkem- bang dinamis, tetapi akan kehilangan arti jika viour) yang penting untuk kelancaran bekerjanya kon-
tidak didukung oleh legal context. Setiap konvensi stitusi. Pentingnya konvensi ini, tidak saja berlaku di
ketata- negaraan (constitutional conventions) pastilah Inggris, tetapi juga di semua negara yang mengenal
terkait erat dengan satu atau beberapa norma hukum undang-undang dasar tertulis. Seperti dikatakan oleh
tertentu. Konvensi membentuk sistem kabinet, K.C. Wheare:345
misalnya, didasar- kan atas anggapan bahwa aturan
hukum yang terkait dengan hal itu sebagai kekuasaan “in all countries, usage and convention are
prerogatif Raja atau Ratu (the Queen’s royal impor- tant and... in many countries which have
prerogative), kewenangan menteri, konstitusi Con- stitutions usage and convention play as
pemerintahan departemen (the con- stitution of important a part as they do in England”.
government departments), dan komposisi keanggotaan
parlemen. Artinya, terdapat beberapa lapi- san Konvensi memfasilitasi evolusi dan perubahan
peraturan perundang-undangan, konvensi, dan fakta- dalam diri konstitusi itu sendiri, sementara bentuk
fakta atau praktik politik (political practices) dalam hukumnya tetap tidak berubah (Conventions
setiap tingkatan organisasi pemerintahan, terma- suk facilitate
undang-undang yang mengakui keberadaan konven- si.
Sementara itu, konvensi ketatanegaraan itu sendiri
juga mengalami proses pertumbuhan dan transformasi. 344
H.C. Deb., vol. 261, ser. 5, col. 515, 1932, dalam O. Hood Phillips, Paul
Seperti dikatakan oleh Baldwin: Jackson, and Patricia Leopold, Op. Cit., hal. 141.
“The historian can probably tell you perfectly clearly 345
K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, 1966, hal.
what the constitutional practice of the country was at 122. Bandingkan dengan terjemahan Muhammad Hardani, Konstitusi-
any given period in the past, but it would be very Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hal. 204. Perkataan
difficult for a living writer to tell you at any given usage and convention diterjemahkan secara tidak tepat oleh Muhammad
period in his lifetime what the constitution of the coun- Hardani dengan kebiasaan dan tradisi. Convention atau konvensi tidak sama
dengan tradisi yang mempersyaratkan sifat immemorial dan sifat berulang-
try is in all respects, and for this reason, that at almost
ulang. Oleh karena itu, saya menganjurkan sebaiknya convention itu diter-
343
jemahkan dengan memakai istilah aslinya saja yang memang sudah lazim
K.J. Keith, “The Courts and the Conventions of the Constitution”, 1967, dipakai dalam ilmu hukum tata negara, yaitu konvensi atau lebih tepatnya
16 I.C.L.Q. 542. konvensi ketatanegaraan.

253 254
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

evolution and change within the constitution while the


putusan atas perkara konstitusi yang diajukan kepada-
legal form remain unchanged).346
nya. Konvensi dapat dipakai sebagai alat penunjang pe-
Dalam praktik, konvensi ketatanegaraan dikem-
nafsiran terhadap peraturan tertulis atau untuk men-
bangkan untuk keperluan mengatur kewenangan
dukung keputusan-keputusan hakim (an aid to
diskresi yang bersifat terbuka. Jika kewenangan yang
statutory interpretation or to support judicial
bersifat terbuka tidak diatur, kebijakan kenegaraan
decisions).349
(state policy) akan ditetapkan berdasarkan
discretionary power yang sangat mungkin tidak
4. Beberapa Contoh Konvensi di Indonesia
terkendali. Hal demikian tentu akan rawan terhadap
Dalam pelaksanaan undang-undang dasar, banyak
penyalahgunaan semata-mata untuk kepentingan
perubahan yang terjadi terhadap norma yang
kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, pengertian
terkandung di dalamnya tanpa melalui proses
konvensi dapat dikaitkan dengan fungsi- nya, yaitu
perubahan formal, melainkan hanya terjadi begitu saja
untuk membatasi penggunaan diskresi kon- stitusional
melalui kebiasaan ataupun konvensi ketatanegaraan.
(constitutional discretion).
Menurut Profesor Ismail Suny, perubahan yang terjadi
Dengan perkataan lain, konvensi merupakan non- dalam sistem peme- rintahan berdasarkan UUD 1945,
legal rules yang mengatur cara bagaimana legal rules yakni dengan diprak- tikkannya sistem
diterapkan dalam praktik. 347 Hubungan antara hukum pertanggungjawaban menteri sebagai- mana termuat
dan konvensi dapat dikatakan sangat penting dan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
mempunyai karakteristik yang fundamental dalam sis- 1945, merupakan salah satu contoh konvensi
tem dan struktur ketatanegaraan. Bahkan, dalam penye- ketatanegaraan yang mengubah bunyi teks UUD 1945
lenggaraan negara konstitusional di seluruh dunia, kon- mengenai pertanggungjawaban pemerintahan. Seperti
vensi ketatanegaraan terus tumbuh dan berkembang dikemukakan oleh K.C. Wheare:
dalam praktik. Dapat dikatakan, tidaklah mungkin me- “Many important changes in the working of a
nyelesaikan berbagai perselisihan dan sengketa konsti- constitution occur without any alteration in the rules
tusional dalam praktik penyelenggaraan negara dengan which regulate a government, whether they strictly
hanya mengandalkan rujukan kepada norma hukum (it legal or rules of custom and convention”. 350
is impossible to settle constitutional disputes merely by Oleh karena itu, konvensi ketatanegaraan atau the
reference to the state of the law).348 conventions of the constitution mempunyai kedudukan
Meskipun pengadilan tidak dapat menerapkan atau yang sangat penting dalam hukum tata negara, dan
menentukan sanksi atas pelanggaran terhadap dianggap mempunyai kekuatan yang sama dengan
ketentuan konvensi ketatanegaraan, tetapi pengakuan undang-undang, diterima, dan dijalankan seperti halnya
pengadilan terhadap adanya konvensi ketatanegaraan undang-undang. Bahkan, seringkali konvensi ketatane-
tersebut tetap mempunyai arti penting bagi hakim garaan itu menggeser berlakunya peraturan perundang-
dalam menjatuhkan undangan tertulis. Meskipun, lazim dipahami bahwa
hakim di pengadilan tidak terikat untuk melaksanakan
346
347
Allen and Thompson, Op. Cit., hal. 241.
Ibid., hal. 242. 349
348
Ibid. 350
Ibid., hal. 262.
Wheare, Op. Cit., hal. 119.

255 256
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

atau tidak melaksanakan konvensi ketatanegaraan ter-


Syahrir I, II, dan III, sampai dengan kabinet Amir
sebut, tetapi di luar pengadilan konvensi ketatanegaraan
Sjarifudin yang menggantikannya.
biasanya ditaati seperti halnya orang menaati undang-
Dalam rangka konvensi ketatanegaraan itu, jelas
undang.
terdapat unsur yang menunjukkan bahwa suatu perbua-
Sebagai contoh, seperti diuraikan oleh Moh.
tan yang sama berulang-ulang dilakukan, yang
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dapat dikemukakan di
kemudian diterima dan ditaati. Konvensi demikian itu
sini mengenai konvensi yang berlaku atas ketentuan
dapat pula disebut sebagai kebiasaan ketatanegaraan
Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, pada masa-masa
karena di dalamnya terkandung pengulangan-
awal kemerdekaan. Menurut ketentuan Pasal 17 itu, 351
pengulangan yang menjadi ciri pokok adanya kebiasaan.
Menteri Negara adalah pembantu Presiden, dan karena
Kebiasaan-kebia- saan itu, termasuk kebiasaan
itu bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam praktik
ketatanegaraan pada tahun 1945 ternyata ketentuan ketatanegaraan, akan ber- kembang menjadi hukum
mengenai Menteri Negara bertanggung jawab kepada kebiasaan (customary law) apabila ia diberi sanksi
Presiden tersebut, disimpangi dengan dasar konvensi (legal sanction). Oleh karena itu, dapat dikatakan
ketatanegaraan. Ketentuan tersebut diubah, sehingga bahwa kebiasaan ketatanegaraan ialah praktik dalam
Menteri ditentukan harus bertanggung jawab kepada kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali,
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga ia diterima dan ditaati dalam ke- giatan
yang merupakan lembaga semacam DPR pada masa penyelenggaraan negara, walaupun tidak diang- gap
sekarang.352 sebagai hukum (the laws of the Constitution).
Hal itu dilakukan dengan dikeluarkannya Mak- Namun demikian, unsur perulangan itu
lumat Wakil Presiden Nomor X bertanggal 16 Oktober sebenarnya tidaklah bersifat mutlak. Unsur perulangan
1945, yang selanjutnya diikuti oleh Maklumat Pemerin- merupakan salah satu ciri kebiasaan, tetapi konvensi itu
tah tanggal 14 Nopember 1945, di mana Komite sendiri tidak identik dengan kebiasaan. Ketika tindakan
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula yang bersifat menyimpang dari norma aturan tertulis
membantu Pre- siden dalam menjalankan yang resmi per- tama kali dilakukan, belum ada unsur
wewenangnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV perulangan. Akan tetapi, tindakan yang baru pertama
UUD 1945, menjadi badan yang sederajat dengan kali itu sudah dapat diterima sebagai konvensi
Presiden, tempat ke mana para Menteri Negara ketatanegaraan. Dengan demi- kian, dalam pengertian
diharuskan bertanggung jawab. Penger- tian demikian konvensi ketatanegaraan terca- kup pengertian yang
ini terus dipraktikkan mulai dari kabinet lebih luas daripada sekedar kebiasa- an ketatanegaraan.
Di samping kebiasaan, konvensi mencakup pula
pengertian tindakan-tindakan (usages) atau praktik-
351
Pasal 17 UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan: (1) Presiden praktik ketatanegaraan (constitutional practices) yang
dibantu oleh menteri-menteri negara, (2) Menteri-menteri itu diangkat dan
diperhentikan oleh Presiden, dan (3) Menteri-menteri itu memimpin depar-
diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
temen pemerintahan. Namun harus dicatat bahwa konvensi ketatane-
352
Kusnardi dan Ibrahim, Op.Cit. garaan itu sendiri pada hakikatnya bukanlah hukum
(the

257 258
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

laws of the constitution). Di sinilah letak perbedaannya


Revolusi dan bukan pidato pertanggungjawabannya se-
dengan ketentuan hukum (the law of the constitution)
bagai Presiden.
yang sudah tidak diragukan lagi keabsahan dan daya
Pidato lainnya yang juga dianggap sebagai
ikatnya secara hukum. Kebiasaan ketatanegaraan,
konvensi ketatanegaraan adalah pidato yang diucapkan
bagai- manapun pentingnya, ia tetap merupakan
sebagai keterangan Pemerintah tentang Rancangan
kebiasaan saja (habbit and custom) yang tidak mengikat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada minggu
bagi para hakim. Di samping itu, kebiasaan
pertama bulan Januari setiap tahunnya. Isinya berupa
ketatanegaraan juga harus dibedakan dari konvensi
hasil-hasil kegiatan nasional serta hasil penilaian tahun
ketatanegaraan. Kebiasa- an ketatanegaraan tidak selalu
yang lalu dan rencana anggaran pendapatan dan belanja
dapat disebut sebagai konvensi ketatanegaraan, sebab
negara untuk tahun yang akan datang. Setelah Orde
konvensi dapat timbul meskipun sesuatu belum menjadi
Baru, Pida- to Presiden sebagai pengantar nota
kebiasaan. Misalnya, suatu tindak penyimpangan dari
keuangan RAPBN ini selalu digabungkan dengan
ketentuan konstitusi, tetapi disepakati atau dibiarkan
”Amanat 17 Agustus” ter- sebut di atas, sehingga timbul
berlaku oleh semua pihak yang terkait, maka hal itu
konvensi baru, yaitu Pidato tanggal 17 Agustus
dapat diterima sebagai konvensi ketatanegaraan,
ditiadakan dan digabung men- jadi Pidato Kenegaraan
meskipun belum menjadi kebiasaan sebagaimana yang
dan Penyampaian Nota Keu- angan RAPBN di depan
dimaksud di atas. Dengan demikian, konvensi
rapat paripurna DPR pada setiap tanggal 16 Agustus.
ketatanegaraan lebih luas cakupan pengertiannya
Sekarang, setelah Dewan Perwakilan Daerah
daripada kebiasaan ketatanegaraan.
(DPD) terbentuk sebagai hasil dari Pemilu 2004, timbul
Sebagai contoh mengenai konvensi ketatanegaraan
tun- tutan agar DPD juga terlibat dalam forum
yang telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan ketata-
persidangan DPR tanggal 16 Agustus itu. Namun,
negaraan Indonesia, sebagaimana telah disinggung
karena Peraturan Tata Tertib DPR-RI tidak
sebe- lumnya, yaitu bahwa pada setiap tanggal 16
memungkinkan hal itu, maka akibatnya, timbul
Agustus, Presiden selalu mengucapkan pidato
perbedaan pendapat antara DPR dan DPD. Untuk
kenegaraan di depan rapat paripurna Dewan Perwakilan
mengatasi hal tersebut Presiden, Ketua DPR, dan Ketua
Rakyat. Pidato kenegaraan tersebut pada hakikatnya
DPD mengadakan kesepakatan bahwa untuk DPD
merupakan lebih dari suatu laporan tahunan yang
diadakan forum tersendiri di DPD, di mana Presiden
bersifat informatoris dari Presiden, karena di dalamnya
juga akan menyampaikan pidato mengenai APBN yang
juga dimuat suatu rencana mengenai kebijakan-
berkaitan dengan kepentingan daerah pada tanggal yang
kebijakan yang akan ditem- puh pada tahun yang akan
berbeda, akan tetapi tetap pada bulan Agustus juga. Jika
datang. Pada masa Presiden Soekarno, pidato semacam
hal ini dianggap baik, tentunya akan terus dipraktikan
itu disampaikan langsung di hadapan rakyat di depan
sebagai kebiasaan ketatanegaraan yang diterima.
istana, , pada tiap tanggal 17 Agustus, yang disebut
Namun, saya sendiri tidak menganggap penting
sebagai “Amanat 17 Agustus”. Me- nurut Presiden
adanya forum yang tersendiri itu. Seharusnya,
Soekarno, pidatonya itu merupakan pidato
keberada-
pertanggungjawabannya sebagai Pemimpin Besar

259 260
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

an forum rapat paripurna di DPR itu pun dievaluasi


Di Amerika Serikat, contoh dari kebiasaan ketata-
kembali kegunaannya. Apalagi, siklus anggaran dewasa
negaraan juga cukup banyak. Misalnya, seorang calon
ini sudah berubah dari Januari sampai dengan Desem-
Presiden Amerika Serikat dan Wakilnya dipilih oleh
ber. Sementara itu, di samping Dewan Perwakilan Rak-
kon- vensi partai politik yang bersangkutan, baru
yat (DPR) sekarang ada pula Dewan Perwakilan Daerah
kemudian dipilih oleh rakyat melalui electoral
(DPD). Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai insti-
college.353 Contoh lain adalah mengenai timbulnya
tusi juga tetap ada. Dalam format kelembagaan dan
sistem parlementer di negeri Belanda sebagai akibat
konfigurasi fungsi-fungsi ketatanegaraan yang sudah
dari perselisihan antara Pemerintah dan Parlemen pada
berubah seperti itu, sudah seharusnya menjelang
tahun 1866-1868 atas masalah daerah jajahan (koloni).
peraya- an Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
Dalam perselisihan itu, Parlemen mempergunakan hak
setiap tahun, forum tahunan yang diadakan untuk itu
budgetnya untuk meno- lak rancangan anggaran
haruslah benar- benar merupakan forum yang bersifat
pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh
kerakyatan yang memiliki makna simbolik sebagai
Menteri Keuangan pada waktu itu. Penolakan itu terkait
forum bersama semua komponen bangsa. Oleh sebab
dengan perselisihan yang sedang dihadapi. Akibatnya,
itu, kepentingan-kepen- tingan yang bersifat teknis
kabinet berhasil dijatuhkan (ver- werping van de
anggaran negara haruslah dipisahkan dari agenda
begrooting om redenen daar buiten gelegen).
tahunan perayaan hari kemer- dekaan Republik
Sejak itu terjadi perubahan dalam sistem Pemerin-
Indonesia itu.
tahan di Kerajaan Belanda. Dalam sistem pertanggung-
Terlepas dari keseluruhan hal-hal tersebut di atas,
jawaban menteri yang dianut semula, pihak Pemerintah
satu hal yang pasti adalah bahwa konvensi ketata-
selalu memenangkan perselisihan yang terjadi dengan
negaraan selalu ada di setiap negara. Beberapa contoh
parlemen (overwicht van het cabinet). Setelah jatuhnya
mengenai kebiasaan ketatanegaraan yang terdapat di
kabinet karena penolakan anggaran pendapatan dan
Inggris, misalnya, ditentukan bahwa seorang Menteri
belanja negara itu, maka setiap kali ada perselisihan
ha- ruslah mempunyai kedudukan sebagai seorang
yang timbul antara Pemerintah dan Parlemen,
anggota parlemen. Ketika Patrick Gordon Walker yang
Parlemenlah yang menang, dan kabinet harus berhenti.
bukan anggota parlemen diangkat oleh Partai Buruh
Sistem ini tidak diatur dalam Grondwet Kerajaan
Inggris sebagai Menteri setelah pemilihan umum pada
Belanda, tapi timbul dan hidup sebagai konvensi yang
bulan Ok- tober 1964, diharuskan memperoleh
menggeser
keanggotaan House of Commons. Untuk itu ia ikut
dalam pemilihan umum tambahan/susulan yang
diadakan setelah pemilihan umum bulan Oktober 353
Barnes & Noble, Op.Cit., hal. 29-30, “Through the development of
tersebut. Sayangnya, dalam pemi- lihan umum itu, political parties, the election of the President has been changed from the
Patrick Gordon Walker tidak terpilih, sehingga original plan of indirect choice by a small group of elections to a system of
nomination and election in which the whole country participates”. Lihat
akibatnya ia harus meletakkan jabatannya seba- gai juga Bernard Schwarts, Op.Cit., hal. 92-93, “The nominating organ of
Menteri Luar Negeri. Ketentuan seperti ini timbul dari American parties has been a convention composed of representatives of the
praktik ketatanegaraan yang tidak tertulis di Inggris. member of the party”.

261 262
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

ketentuan dalam Undang-Undang Dasarnya.354


maka pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi-kon-
Contoh lain di Kerajaan Inggris ialah bahwa Raja
vensi sama sekali tidak dihiraukan oleh pengadilan.
atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menang
Konvensi-konvensi ketatanegaraan ini sudah
dalam pemilihan umum sebagai Perdana Menteri. 355 dikenal dalam konferensi-konferensi Kerajaan Inggris
Konvensi-konvensi ketatanegaraan (The Conventions of (Imperial Conferences) di masa lalu yang mengatur
the Constitution) di Inggris jumlahnya banyak sekali, hubungan antara Kerajaan Inggris dan wilayah-wilayah
dan atas pengaruh pemikiran A.V. Dicey dibedakan dari Dominion. Konvensi menetapkan cara-cara kerjasama
hukum konstitusi (The Law of Constitution), karena dan hubungan antar sesama anggota Persemakmuran
konvensi tidak dapat dipaksakan berlakunya atau tidak (Commonwealth) Inggris, dan menetapkan perundi-
diakui oleh badan-badan peradilan. 356 ngan-perundingan di antara mereka dengan negara-
Konvensi-konvensi ketatanegaraan itu antara lain negara asing. Mengenai terbentuknya konvensi-
adalah kebiasaan (customs), praktik-praktik (practices), konvensi itu, Sir Ivor Jennings menyatakan, “some of
asas-asas (maxims), atau tata aturan lainnya yang hidup them, such as those expressed in resolutions of the
dalam praktik. Misalnya, kabinet yang sudah tidak men- imperial Confe- rences, are definite and clearly
dapat dukungan kepercayaan dari House of Commons established”. Dengan perkataan lain, timbulnya
(majelis rendah) akan meletakkan jabatannya, Raja konvensi ketatanegaraan tidak perlu atau tidak mutlak
harus mengesahkan setiap rancangan Undang-undang didasarkan atas the gradual crystalisation of practice.
(bill), House of Lords (majelis tinggi) tidak akan menga- 357
Konvensi dapat timbul kapan saja, tidak mutlak
jukan rancangan Undang-undang Keuangan (money harus bersifat berulang-ulang seperti dalam pengertian
bill). Betapapun pentingnya konvensi-konvensi itu ber- kebiasaan. Konvensi ketata- negaraan tidak dapat
laku dalam kehidupan ketatanegaraan, namun oleh diidentikkan dengan kebiasaan ketatanegaraan.
karena ia bukan hukum (the laws of the constitution), Kebiasaan ketatanegaraan dapat terma- suk pengertian
konvensi ketatanegaraan, tetapi konvensi
354
ketatanegaraan tidak hanya berbentuk kebiasaan ketata-
Kranenburg, Op.Cit, hal. 165-167.
355
Dicey, Op. Cit., hal. 42. “The party who for the time being command a negaraan. Konvensi dapat juga terbentuk secara tiba-
majority in The House of Commons, have (in general) a right to have their tiba tanpa preseden yang mendahuluinya.
leader placed in office. The most influential of these leaders ought
(generally speaking) to be the premier, or head of the Cabinet”.
Konvensi juga tidak selalu merupakan ketentuan
356
Ibid., hal. 417, “In an earlier part of this work stress was laid upon the yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan (agree-
essential distinction between the law of the constitution, which consisting (as ment), tapi dapat saja berbentuk tertulis. Konvensi itu
it does) of rules enforced and recognized by the courts, makes up a body of mungkin saja merupakan persetujuan yang ditanda-
laws in the proper sense consisting (as they do) of customs, practices,
maxims or precepts which are not enforced or recognized by the courts,
tangani pemimpin-pemimpin negara seperti antara
makes up a body not laws but of constitutional or political ethics”. Wakil Presiden Republik Indonesia dan Badan Pekerja
Selanjutnya dalam hal. 420 dinyatakan “A Ministry which is outvoted in the
House of Commons is in many cases bound to retire from office”.
357
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Op Cit., hal. 29; Lihat
juga pendapat Jennings dalam Law and the Constitution, Op Cit., hal. 133.

263 264
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

pada tanggal 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum


tion) yang bersifat melengkapi hukum konstitusi (the
yang dikeluarkan setelah pembicaraan antara menteri-
Law of the Constitution).
menteri seperti Maklumat Pemerintah pada tanggal 14
Tidak ada ketentuan di dalam naskah Undang-
Nopember 1945. Contoh-contoh seperti ini dalam
Undang Dasar 1945 yang tegas atau yang secara eksplisit
konsti- tusi Inggris adalah persetujuan yang dinyatakan
mengharuskan pertanggungjawaban eksekutif (pemerin-
bahwa suatu perubahan dalam hukum yang berkenaan
tah) kepada lembaga perwakilan rakyat. Namun demi-
dengan penggantian mahkota (succession) atau gelar
kian, UUD 1945 juga tidak melarang dilakukannya prak-
Raja memerlukan pengesahan Parlemen dari semua
tik semacam itu. 358 Hal ini dapat dihubungkan dengan
Domi- nion. Demikian pula mengenai pengesahan dari
pendapat George Jellinek yang membedakan pengertian
Parle- men Kerajaan Inggris sendiri juga diperlukan.
Verfassungsanderung dengan pengertian Verfassungs-
Konvensi- konvensi itu bahkan telah mencapai bentuk
wandlung. Perubahan Undang-Undang Dasar yang
yang lebih formil dalam ungkapan bahwa konvensi-
dengan sengaja dilakukan menurut tata cara yang diatur
konvensi itu tercantum dalam bagian kedua
sendiri oleh Undang-Undang Dasar disebutnya sebagai
Pendahuluan (preamble) Statute of Westminster. Oleh
Verfassungsanderung, sedangkan Verfassungswand-
karena preamble menurut hukum tata negara Inggris
lung merupakan perubahan Undang-Undang Dasar
tidak mempunyai akibat hukum, maka keadaan itu
dengan cara-cara di luar yang diatur sendiri dalam Un-
hanya dianggap sebagai faktor yang memperkuat
dang-Undang Dasar itu, yaitu cara-cara yang istimewa
berlakunya konvensi.
seperti revolusi, coup d’etat, konvensi, dan sebagainya.
Seperti telah dikemukakan di atas, perubahan Sehubungan dengan hal itu, perubahan ke arah sistem
sistem pemerintahan di mana menurut UUD 1945 parlementer tersebut merupakan perubahan yang
Menteri bertanggung jawab kepada Presiden diubah dilaku- kan bukan menurut tata cara yang diatur dalam
menjadi pertanggungjawaban Menteri kepada Komite Undang- Undang Dasar, melainkan menurut tata cara
Nasional Pusat pada bulan November 1945. Perubahan selain itu, yaitu berdasarkan konvensi ketatanegaraan
itu adalah perubahan berdasarkan konvensi ketatane-
(the conven- tion of the constitution).359
garaan. Menurut pendapat A.G. Pringgodigdo, peru-
Konvensi ketatanegaraan tidak hanya terdapat
bahan menjadi sistem pertanggungjawaban para
atau diterapkan di lingkungan negara-negara yang
menteri kepada Komite Nasional Indonesia Pusat
mem- punyai konstitusi tidak tertulis, tetapi juga di
(KNIP) itu dila- kukan dengan mengubah Undang-
negara-- negara yang mempunyai naskah undang-
Undang Dasar. Pendapat ini jelas tidak dapat
undang dasar atau konstitusi tertulis (written
dibenarkan. Dalam rangka memberikan pembenaran
constitution). Bahkan, mungkin saja konvensi-konvensi
konseptual terhadap kebijakan mengubah konsep
ketatanegaraan di
pertanggungjawaban tersebut, A.G. Pringgodigdo juga
berpendapat bahwa perubahan itu se- olah didasarkan
atas aturan yang tegas juga tidak ber- dasar. Perubahan 358
Lihat Ismail Suny, Op. Cit, hal. 29, juga A.K. Pringgodigdo, Perubahan
itu semata-mata didasarkan pada kon- vensi Kabinet,
359
Op Cit., hal. 69.
Ibid.
ketatanegaraan (the Convention of the Constitu-

265 266
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

negara-negara yang terakhir ini justru memegang pera-


Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mungkin tepat
nan yang jauh lebih penting. Menurut Bernard untuk menyebut hal ini sebagai konvensi
Schwartz, konvensi ketatanegaraan (constitutional ketatanegaraan, di mana seorang Presiden dalam
conventions) telah berkembang sedemikian rupa dalam melaksanakan kewe- nangannya untuk menyusun
praktik ketata- negaraan Amerika Serikat yang artinya kabinet, diharuskan untuk berusaha
sering kali sama atau tidak dapat dibedakan dari mengakomodasikan unsur-unsur yang luas dalam
ketentuan pasal-pasal yang resmi dalam naskah kemajemukan masyarakat Indonesia. Begitu juga
undang-undang dasar atau konstitusi yang tertulis.360 Presiden Amerika Serikat, menurut konvensi, dipastikan
Ketika seorang Presiden Amerika Serikat selalu akan mengakomodasikan beberapa unsur negara
mengang- kat anggota kabinetnya, maka praktis bagian atau pertimbangan utara dan selatan ke dalam
menurut hukum, ia mempunyai kekuasaan untuk susunan kabinetnya.361
menetapkan siapa saja yang ia sukai untuk masuk atau Suatu konvensi mungkin akan menyebabkan salah
tidak masuk dalam kabi- netnya. Akan tetapi, akibat satu pasal dari Undang-Undang Dasar (konstitusi) tidak
dari konvensi ketatanegara- an, Presiden diharuskan berlaku. Dalam hal ini, sesungguhnya konvensi tidak
menjamin bahwa pelaksanaan kewenangan yang mengubah Undang-Undang Dasar (Konstitusi) tersebut,
dimilikinya itu tidak akan mengangkat orang-orang dari hanya saja menyebabkan pasal tertentu tidak dipakai
negara bagian sebelah Utara saja atau sebelah Selatan dalam praktik ketatanegaraan.362 Sebagai contoh, dapat
saja. Presiden harus berusaha mem- bicarakan dilihat dalam perubahan sistem pemerintahan presiden-
penunjukan itu sedemikian rupa, sehingga daerah- til menjadi pemerintahan parlementer dalam pengala-
daerah utama yang dianggap mempunyai arti politis man praktik di Indonesia pada tahun 1945. Seperti telah
yang penting dapat dipastikan akan terwakili dalam dijelaskan di atas, perubahan ini pada pokoknya bersifat
susunan kabinetnya. Demikian pula misalnya, di mengesampingkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang
Indonesia, sulit untuk membayangkan bahwa semua Dasar 1945. Demikian pula pada masa pemerintahan
anggota kabinet hanya terdiri atas tokoh-tokoh dari
Orde Lama, melalui Ketetapan MPRS Nomor
suku Jawa saja atau Sunda saja tanpa
III/MPRS/1963 ditetapkan bahwa Presiden Soekarno
mempertimbangkan keragaman suku bangsa di tanah
diangkat menjadi Presiden seumur hidup. Ketetapan
air kita.
Secara psikologis-politis, memang harus diakui, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ini
tidaklah mudah untuk menyatakan hal itu secara eks- dapatlah digolongkan kepada konvensi yang terjadi
plisit dengan istilah yang biasa dikenal sebagai suatu karena diterima secara umum atas dasar persetujuan
ketentuan atau formal rule. Oleh karena itu, menurut bersama. Akibat dari ketetapan tersebut, Pasal 17
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi tidak berlaku.
360
Ismail Suny, Op. Cit., hal. 29; Georg Jellinek, Verfassugsanderung und Ketetapan tersebut
Verfassungswandlung, Eine staatsrechtlich politische Afhandlung, (Berlin:
Verslag von O. Haring, 1906), hal. 3; juga A.A.H. Struycken dalam pidato
jabatannya membedakan antara “normale en abnormale rechtsvorming.” 361
Lihat Positiefrecht Rede uit gesproken by de aanvaarding van het Hooglee- Ismail Suny, dalam kuliahnya tahun 1970. Selanjutnya mengenai
raarsambt aan de Universiteit van Amsterdam, op de 15e Oktober 1906, convention ini dapat dibaca dalam Wade and Phillips, Constitutional Law,
(Amsterdam: Scheltema & Holkema’s Boekhandel, 1906), hal. 20-21. 1975,
362
pada Bab “Convention of the Constitution”, hal. 79-96.
Kusnardi dan Ibrahim, Op.Cit.

267 268
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

sebenarnya tidak mengubah Undang-Undang Dasar 1945


dasar.363 Jika ditelusuri secara seksama dengan melihat
secara formal, tetapi telah menyebabkan pasal tersebut kembali the original framers’ intent atas ketentuan
tidak berlaku dalam praktik. Ketetapan tersebut Pasal 37 ayat (1) dan (2), jelas bahwa yang dimaksud
kemudian dicabut oleh Ketetapan Majelis Per- adalah perubahan dengan cara penyusunan teks baru
musyawaratan Rakyat Sementara Nomor sama sekali. Perubahan dan usaha penyusunan naskah
XVIII/MPRS/1966. baru itu pun bahkan sudah berkali-kali dilakukan,
Tentu saja dapat diperdebatkan perbedaan antara seperti dengan penggantian UUD 1945 dengan
tindakan yang bertentangan atau pelanggaran terhadap Konstitusi RIS Tahun 1949, kemudian dengan UUDS
konstitusi dengan konvensi konstitusi. Apakah semua Tahun 1950, usaha penyusunan Konstitusi tetap oleh
bentuk pelanggaran UUD juga dapat dikategorikan Konstituante, lalu pemberlakuan kembali naskah UUD
sebagai konvensi ketatanegaraan. Kunci jawaban atas 1945 beserta Penje- lasannya pada tahun 1959.
masalah itu terletak pada persetujuan bersama dan Semua usaha tersebut di atas, menggambarkan
pene- rimaan oleh umum (public support) atas tindakan jalan pikiran yang terkandung dalam ketentuan Bab XVI
ke- tatanegaraan yang diambil. Hanya saja sekarang Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 memang
tinggal lagi yang menjadi masalah ialah bagaimana menghendaki perubahan melalui penggantian. Dengan
mengukur ada-tidaknya atau memenuhi syarat atau perkataan lain, bagaimana bentuk perubahan itu tidak
tidaknya public support yang sifatnya sangat relatif itu. ditentukan dengan jelas. Akan tetapi, karena sistem
Pada mulanya, tindakan itu dapat dianggap sebagai hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Eropa
pelanggaran terhadap konstitusi. Akan tetapi, jika Kontinental, maka tentunya tradisi perubahan
perubahan itu dite- tapkan berdasarkan kesepakatan konstitusi model Eropa Barat pulalah yang lebih dekat
bersama di antara semua pihak yang terkait dan dengan maksud penyusun UUD 1945, yaitu melalui
selanjutnya hal itu diang- gap sudah menjadi kenyataan metode perubahan atau penyempurnaan dalam teks.
yang diterima oleh umum sebagai praktik yang baik dan Namun, sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada
berguna, maka atas dasar itulah bentuk pelanggaran tahun 1999, dilanjutkan dengan Perubahan Kedua
konstitusi tersebut dapat disebut sebagai konvensi (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Ke-
ketatanegaraan (the convention of the constitution) empat (2002), perubahan-perubahan itu dilakukan me-
yang dianggap mengikat dalam prak- tik, meskipun nurut tradisi Amerika Serikat, yaitu dengan naskah
tetap tidak mengikat bagi para hakim di pengadilan. lampiran (appendix). Pada saat dimulainya penerapan
Demikian pula konvensi ketatanegaraan yang metode lampiran ini pada tahun 1999, pilihan ini dapat
dilakukan berkenaan dengan perubahan UUD 1945. Bab dikatakan sebagai penyimpangan dari maksud Pasal 37
XVI Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945 sama sekali UUD 1945, tetapi diterima dengan baik oleh semua
tidak menentukan bahwa undang-undang dasar dapat pihak sebagai cara yang dianggap konstitusional.
atau harus diubah dengan cara tertentu yang biasa
dilakukan
menurut tradisi Amerika Serikat, yaitu melalui naskah
amandemen yang terpisah dari teks asli undang-undang 363
Lihat pada BAB XVI mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar dalam
UUD Negara RI Tahun 1945.

269 270
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Selanjutnya, setelah metode perubahan ini dilaku-


kan berulang-ulang, cara ini pun berkembang menjadi
kebiasaan (constitutional custom) yang baik dalam
prak- tik ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD
1945. Baik keputusan pertama untuk menerapkan
metode ini maupun keputusan-keputusan selanjutnya,
setelah hal itu menjadi kebiasaan karena telah terjadi
berulang- ulang, sama-sama dikenal dengan sebutan
yang diistilah- kan oleh A.V. Dicey yaitu the conventions
of the constitu- tion, bukan the laws of the constitution.

271 272
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

BAB V
dan jenis metode penafsiran itupun dikelompokkan
PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA
secara berbeda dari sarjana lainnya.365
Saya sendiri, dalam buku terdahulu, telah mengu-
raikan adanya 9 (sembilan) teori penafsiran yang ber-
beda penggambarannya dari apa yang dikemukakan
A. Penafsiran dan Anatomi Metode Tafsir oleh Arief Sidharta. Kesembilan teori penafsiran
Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat pen- tersebut adalah:366
ting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupa-
kan metode untuk memahami makna yang terkandung 1) Teori penafsiran letterlijk atau harfiah (what does
dalam teks-teks hukum untuk dipakai dalam the word mean?)
menyelesai- kan kasus-kasus atau mengambil keputusan Penafsiran yang menekankan pada arti atau
atas hal-hal yang dihadapi secara konkrit. Di samping makna kata-kata yang tertulis. Misalnya, kata servants
itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam dalam Konstitusi Jepang Art. 15 (2), “All public officials
hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), are servants of the whole community and not of any
juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan group thereof”. Contoh yang lain mengenai kata a
konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau natural association dalam Art. 29 ayat (1) dan kata the
memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks moral dalam ayat (2) Konstitusi Italia yang
undang-undang dasar. Seperti dikemukakan oleh K.C. menyatakan:
Wheare, undang- undang dasar dapat diubah melalui (i) “(1) The Republic recognizes the rights of the family as a
formal amand- ment, (ii) judicial interpretation, dan natural association founded on marriage; (2)
(iii) constitutional usage and conventions. 364 Marriage is based on the moral and legal equality of
Dikarenakan pentingnya hal tersebut di atas, maka the spouses, within the limits laid down by law to
safeguard the unity of the family”.
dalam setiap buku teks ilmu hukum lazim diuraikan
ada- nya berbagai metode penafsiran. Banyak sarjana
Contoh berikutnya lagi, misalnya terlihat pada kata
hukum yang membagi metode penafsiran ke dalam 5
inconsistent dalam ayat (1) Article 13 Konstitusi India,
(lima) macam metode penafsiran, dan 3 (tiga) macam
yaitu:
metode konstruksi. Dalam hal ini, metode konstruksi
“All laws in force in the territory of India immediately
dianggap tidak termasuk ke dalam pengertian before the commencement of this Constitution, in so
penafsiran. Tetapi, far
ada pula sarjana yang menganggap metode konstruksi
itu tiada lain merupakan varian saja atau termasuk ben- 365
Lihat dan bandingkan pendapat sarjana yang memasukkan metode
tuk lain dari metode penafsiran juga, sehingga macam intepretasi (penafsiran) sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum
yang dilakukan dengan cara Interpretasi Gramatikal (kebahasaan), Sistematis
(logis), Historis, dan Teleologis (sosiologis). Lihat, misalnya, Bambang
Sutiyoso dan Sri Hastuti, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 131-134.
366
Jimly Asshiddiqie, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, cet. I,
364
Wheare, Op. Cit. (Jakarta: Ind. Hill Co., 1997), hal. 17-18.

273 274
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

as they are inconsistent with the provisions of this Part,


shall, to the extent of such inconsistency, be void”. notulen rapat, catatan-catatan pribadi peserta rapat,
tulisan-tulisan peserta rapat yang tersedia baik dalam
2) Teori penafsiran gramatikal atau interpretasi bahasa bentuk tulisan ilmiah maupun komentar tertulis yang
(what does it linguistically mean?) pernah dibuat, otobiografi yang bersangkutan, hasil
Penafsiran yang menekankan pada makna teks wawancara yang dibuat oleh wartawan dengan yang
yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan. bersangkutan, atau wawancara khusus yang sengaja
Pernafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna dilakukan untuk keperluan menelaah peristiwa yang
menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna bersangkutan. Penafsiran kedua, mencari makna yang
teknis-yuridis yang lazim atau dianggap sudah baku. 367 dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa
Menurut Visser’t Hoft di negara-negara yang menganut lampau. Dalam pencarian makna tersebut juga kita
tertib hukum kodifikasi, maka teks harfiah undang- merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau,
undang sangat penting. Namun, penafsiran gramatikal termasuk pula merujuk kepada norma-norma hukum
saja di- anggap tidak mencukupi, apalagi jika mengenai masa lalu yang masih relevan.369
norma yang hendak ditafsirkan itu sudah menjadi
perdebatan. 4) Teori penafsiran sosiologis (what does social context
368 of the event to be legally judged)
Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan
3) Teori penafsiran historis (what is historical dapat dijadikan perhatian untuk menafsirkan naskah
background of the formulation of a text) yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masya-
Penafsiran historis mencakup dua pengertian: (i) rakat acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah
penafsiran sejarah perumusan undang-undang; dan (ii) hukum itu dirumuskan. Misalnya, pada kalimat “dipilih
penafsiran sejarah hukum. Penafsiran yang pertama, secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
memfokuskan diri pada latar belakang sejarah perumu- Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur,
san naskah. Bagaimana perdebatan yang terjadi ketika Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
naskah itu hendak dirumuskan. Oleh karena itu yang di- pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota di-
butuhkan adalah kajian mendalam tentang notulen- pilih secara demokratis.”

367
Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterje- 5) Teori penafsiran sosio-historis (asbabunnuzul dan
mahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ. asbabulwurud, what does the social context behind
Parahiayangan,
368
2001), hal. 25. the formulation of the text)
Ibid., hal. 26. Misalnya, basis sistem ekonomi sosialis Cina, seperti dalam
Art. 6 ayat (1) Konstitusi Cina: (1) “The basis of the socialist economic
Berbeda dengan penafsiran sosiologis, penafsiran
system of the People's Republic of China is socialist public ownership of the sosio-historis memfokuskan pada konteks sejarah ma-
means of production, namely, ownership by the whole people and collective syarakat yang mempengaruhi rumusan naskah hukum.
ownership by the working people”; dan makna dari sistem kepemilikan Misalnya, ide persamaan dalam teks konstitusi Republik
publik, seperti dalam Art 6 ayat (2) “The system of socialist public
ownership supersedes the system of exploitation of man by man; it applies 369
the principle of from each according to his ability, to each according to his Ibid., hal. 29.
work”.

275 276
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

V Perancis,370 ide ekonomi kekeluargaan dalam Pasal 33


7) Teori penafsiran teleologis (what does the articles
UUD 1945, dan ide Negara Kekaisaran Jepang.371 would like to achieve by the formulated text).
Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau
6) Teori penafsiran filosofis (what is philosophical formulasi kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan
thought behind the ideas formulated in the text) jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada
Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai lan-
filo- sofis. Misalnya, ide negara hukum dalam konstitusi dasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempe-
Republik V Perancis Article 66: “No person may be ngaruhi interpretasi. Dalam penafsiran demikian juga
detained arbitrarily”. Ide negara hukum dalam Pasal 1 diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
yang aktual.373
nesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Contoh lain lagi adalah
8) Teori penafsiran holistik.
rumusan ide demokrasi terpusat (centralized demo-
Penafsiran ini mengaitkan suatu naskah hukum
cracy) dalam Konstitusi Cina. 372
dengan konteks keseluruhan jiwa dari naskah tersebut.
Misalnya, The individual economy374 dalam Article 11
ayat (1) Konstitusi Cina:

(1) “The individual economy of urban and rural


working people, operated within the limits prescribed
370
Constitution of The Fifth French Republic, 1958, Article 2, “France is an by law, is a complement to the sociallist public
indivisible, secular, democratic and social Republic. It shall insure equality economy. The state protects the lawful rights and
before the law for all citizens without distinction of origin, race, or religion. interests of the individual economy”; (2) “The state
It shall respect all beliefs…” guides, helps, and supervises the individual economy
371
Art. 1 [Symbol of State]: “The Emperor shall be the symbol of the State by exercising administrative control”; (3) “The State
and of the unity of the people, deriving his position from the will of the permits the private sector of the economy to exist and
people with whom resides sovereign power”. Article 2 [Dynastic Throne]: develop within the limits prescribed by law. The
“The Imperial Throne shall be dynastic and succeeded to in accordance with
private sector of the economy is a complement to the
the Imperial House Law passed by the Diet”.
372
Konstitusi Cina, Article 3 [Democratic Centralism]: “(1) The state organs
socialist public economy. The State protects the lawful
of the People's Republic of China apply the principle of democratic rights and interests of the private sector of the
centralism. (2) The National People's Congress and the local people's economy, and
congresses at different levels are instituted through democratic election.
They are responsible to the people and subject to their supervision. (3) All 373
administrative, judicial and procuratorial organs of the state are created by 374
Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 30.
Istilah the individual economy dalam konteks negara sosialis yang dianut
the people's congresses to which they are responsible and under whose
Cina menjadi jiwa dari sistem sosialis, seperti yang dinyatakan dalam konsti-
supervision they operate. (4) The division of functions and powers between
tusi Cina, Article (1) “The People's Republic of China is a socialist state
the central and local state organs is guided by the principle of giving full
under the people's democratic dictatorship led by the working class and
play to the initiative and enthusiasm of the local authorities under the
based on the alliance of workers and peasants”; (2) “The socialist system is
unified leadership of the central authorities.”
the basic system of the People's Republic of China. Sabotage of the socialist
system by any organization or individual is prohibited”.

277 278
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

exercises guidance, supervision and control over the


private sector of the economy”. bagai pandangan para sarjana mengenai ragam metode
penafsiran itu, perlu kita himpun dan kita sarikan seba-
9) Teori penafsiran holistik tematis-sistematis (what is gaimana mestinya.
the theme of the articles formulated, or how to un-
destand the articles systematically according to the Selain ke-9 teori penafsiran tersebut di atas, dapat
grouping of the formulation) pula dikemukakan adanya pendapat Utrecht mengenai
Dalam hal ini, misalnya, regular election dalam metode penafsiran undang-undang:
Article 68 dan 69 Konstitusi Amerika Serikat:
1) Penafsirkan menurut arti kata atau istilah (taalkun-
”Regular elections to the National Assembly shall be dige interpretasi)
held within sixty days prior to the expiration of the Hakim wajib mencari arti kata dalam undang-
term of the current Asembly. Procedures for elections undang dengan cara membuka kamus bahasa atau me-
to the National Assembly shall be prescribed by law. minta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup.
The date of elections shall be fixed by Presidential hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan
decree. The first session of a newly elected National kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-
Assembly shall convene on the second Thursday
peraturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut
following the election of at least two thirds of the total
number of Deputies. Until the election of the President Utrecht, yang pertama ditempuh atau usaha permulaan
of the National Assembly, its meetings shall be chaired untuk menafsirkan.375
by the Deputy who is most senior in age.”
“The regular sessions of the National Assembly shall 2) Penafsiran historis (historische interpretatie)
convene twice per year from the second Monday of Cara penafsiran historis ini, menurut Utrecht, 376
September to the second Wednesday of December and dilakukan dengan (i) menafsirkan menurut sejarah
from the first Monday of February to the second hukum (rechtshistorische interpretatie), dan; (ii)
Wednesday of June. The sittings of the National menaf- sirkan menurut sejarah penetapan suatu
Assembly shall be open to the public. Closed door
ketentuan (wetshistorische interpretatie). Penafsiran
sittings may be convened by a resolution of the Natio-
nal Assembly.” menurut seja- rah, menurut Utrecht, merupakan
penafsiran luas atau mencakup penafsiran menurut
Di samping itu, dalam perkembangan pemikiran sejarah penetapan. Kalau penafsiran menurut sejarah
dan praktik penafsiran hukum di dunia akhir-akhir ini, penetapan dilakukan dengan cara mencermati laporan-
telah berkembang pula berbagai corak dan tipe baru laporan perdebatan dalam pe- rumusannnya, surat-surat
dalam penafsiran hukum dan konstitusi di berbagai yang dikirim berkaitan dengan kegiatan perumusan, dan
negara. Oleh karena itu, pendapat-pendapat yang biasa lain-lain, sedangkan penafsiran
kita diskusikan di berbagai fakultas hukum di tanah air
juga perlu memperhatikan dinamika perkembangan di 375
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh
dunia ilmu hukum pada umumnya. Oleh sebab itu, ber- Moh. Saleh Djindang, cet. XI, PT. (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), hal. 208.
376
Pendapat Utrecht ini sangat mirip dengan pendapat Visser”t Hoft yang
pada nantinya akan diuraikan secara tersendiri.

279 280
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

menurut sejarah hukum dilakukan menyelidiki asal


naskah dari sistem hukum yang pernah diberlakukan,
4) Penafsiran sosiologis
termasuk pula meneliti asal naskah dari sistem hukum
Menurut Utrecht, setiap penafsiran undang-un-
lain yang masih diberlakukan di negara lain.377
dang harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis agar
Bagi hakim, menurut Scholten, makna penafsiran
keputusan hakim dibuat secara sungguh-sungguh sesuai
historis berdasarkan kebutuhan praktik. Pada umumnya
dengan keadaan yang ada dalam masyarakat. Utrecht
yang penting bagi hakim ialah mengetahui maksud
mengatakan bahwa hukum merupakan gejala sosial,
pembuat naskah hukum pada waktu ditetapkan. Hukum
maka setiap peraturan memiliki tugas sosial, yaitu ke-
bersifat dinamis dan perkembangan hukum mengikuti
pastian hukum dalam masyarakat. Tujuan sosial suatu
perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, makna
peraturan tidak senantiasa dapat dipahami dari kata-
yang dapat diberikan kepada suatu kata dalam naskah
kata yang dirumuskan. Oleh karena itu, hakim harus
hukum positif sekarang berbeda dengan maknanya pada
mencarinya. Penafsiran sosiologis merupakan jaminan
waktu ditetapkan. Oleh sebab itu pula, penafsiran
kesungguhan hakim dalam membuat keputusan, oleh
menurut sejarah hakikatnya hanya merupakan
karena keputusannya dapat mewujudkan hukum dalam
pedoman saja.378 Akan tetapi, penafsiran historis tidak
suasana yang senyatanya dalam masyarakat.380
hanya menelaah risalah sebagai story perumusan
naskah, tetapi juga me- nelaah sejarah sosial, politik, 5) Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau offi-
ekonomi dan social event lainnya ketika rumusan ciele interpretatie)
naskah tersebut dibahas. Penafsiran otentik ini sesuai dengan tafsir yang
dinyatakan oleh pembuat undang-udang (legislator)
3) Penafsiran sistematis
dalam undang-undang itu sendiri.381 Misalnya, arti kata
Penafsiran sistematis merupakan penafsiran me-
yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya.
nurut sistem yang ada dalam rumusan hukum itu
Jikalau ingin mengetahui apa yang dimaksud dalam
sendiri (systematische interpretatie). Penafsiran
suatu pasal, maka langkah pertama adalah lihat penje-
demikian dila- kukan dengan memperhatikan
lasan pasal itu. Oleh sebab itu, penjelasan undang-
ketentuan-ketentuan lain dalam naskah hukum yang
undang selalu diterbitkan tersendiri, yaitu dalam
bersangkutan. Penafsiran sistematis juga dapat terjadi
Tamba- han Lembaran Negara, sedangkan naskah
jika naskah hukum yang satu dan naskah hukum yang
undang- undangnya diterbitkan dalam Lembaran
lain, di mana keduanya me- ngatur hal yang sama,
Negara.
dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain. Jika
misalnya yang ditafsirkan itu adalah pasal dari suatu
Sementara itu, Visser’t Hoft mengemukakan 7
undang-undang, maka ketentuan- ketentuan yang sama,
(tujuh) model penafsiran hukum, yaitu:382
apalagi satu asas dalam peraturan lainnya, harus
dijadikan acuan.379

377
Utrecht, Op. Cit., hal. 209 380
Ibid., hal. 216.
378
Ibid., hal. 210-211. 381
Ibid., hal. 217.
379
Ibid., hal. 212-213. 382
Ph. Visser’t Hoft, Op. Cit.

281 282
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

kaitan dengan pendapat penulis-penulis, atau konteks


1) Penafsiran Gramatikal atau Interpretasi Bahasa kemasyarakatan masa lalu.
Dalam model ini, penafsiran gramatikal yang di-
maksud mempunyai pengertian yang sama sebagaimana 5) Penafsiran Teleologis
telah dikemukakan sebelumnya. Maksudnya yaitu menafsirkan dengan cara menga-
cu kepada formulasi norma hukum menurut tujuan dan
2) Penafsiran Sistematis jangkauannya. Fokus perhatian dalam menafsirkan ada-
Makna formulasi sebuah kaidah hukum atau mak- lah fakta bahwa pada norma hukum mengandung
na dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan tujuan atau asas yang menjadi dasar sekaligus
lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem. mempengaruhi interpretasi. Bisa jadi suatu norma
Langkah yang dilakukan yaitu dengan mencari makna mengandung fungsi atau maksud untuk melindungi
kata-kata yang terdapat di dalam suatu peraturan yang kepentingan tertentu, sehingga ketika ketentuan
ada kaitannya dan melihat pula pada kaidah-kaidah tersebut diterapkan, maksud tersebut harus dipenuhi.
lain- nya. Menurut Visser’t, dalam sebuah sistem hukum Dalam melakukan penafsiran teleologis, juga
yang menitikberatkan pada kodifikasi, maka merujuk memperhitungkan terhadap konteks fak- ta
pada sistem undang-undang atau kitab undang-undang kemasyarakatan aktual. Cara ini tidak terlalu diarah-
meru- pakan hal yang biasa. Perundang-undangan kan untuk menemukan pertautan pada kehendak dari
adalah se- buah sistem. Ketentuan-ketentuan yang ada pembentuk undang-undang pada waktu perumusannya.
di dalamnya saling berhubungan dan sekaligus Maksudnya lebih diarahkan kepada makna aktual atau
keterhubunganan ter- sebut dapat menentukan suatu makna obyektif norma yang ditafsirkan. Biasanya akan
makna. Akan tetapi, da- lam tatanan hukum yang tidak segera dikenali bahwa hakim menggunakan tafsir teleo-
terkodifikasi, merujuk pada sistem dimungkinkan logis jika dalam pertimbangannya ditemukan kata-kata
sepanjang karakter sistematis dapat diasumsikan atau “…ketentuan-ketentuan bertujuan…” atau “…jangkauan
diandaikan. dari…”.

3) Penafsiran Sejarah Undang-undang 6) Penafsiran Antisipatif


Penafsiran dengan cara merujuk pada sejarah pe- Menurut Visser’t, metode penafsiran ini dilakukan
nyusunannya, membaca risalah, catatan pembahasan dengan cara merujuk RUU yang sudah disiapkan untuk
oleh komisi-komisi dan naskah-naskah lain yang berhu- dibahas atau sedang dibahas dalam parlemen. Dengan
bungan dengan pembahasan termasuk surat-menyurat cara ini sebenarnya hakim melihat ke masa yang akan
yang berhubungan dengan penyusunan suatu undang. datang (forward looking). Dengan perkataan lain,
hakim dapat saja berpendirian bahwa penafsiran
4) Penafsiran Sejarah Hukum terhadap nor- ma hukum yang dilakukannya didasarkan
Penafsiran dengan cara menentukan arti suatu ru- atas penela- haan dari sudut pandang hukum baru.
musan norma hukum dapat memperhitungkan sejarah
isi norma atau pengertian hukum dengan mencari keter- 7) Penafsiran Evolutif-Dinamis

283 284
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Penafsiran ini dilakukan karena ada perubahan


8) Interpretasi Ekstensif, menafsirkan dengn melebihi
pandangan masyarakat dan situasi kemasyarakatan.
batas hasil penafsiran gramatikal;
Makna yang diberikan kepada suatu norma bersifat
9) Interpretasi Otentik, penafsiran yang hanya boleh
men- dobrak perkembangan setelah dibelakukannya
di- lakukan berdasarkan makna yang sudah jelas
hukum tertentu. Salah satu ciri penting penafsiran ini
dalam undang-undang;
ialah pe- ngabaian maksud pembentuk undang-undang.
10) Interpretasi Interdisipliner, menggunakan logika pe-
Makna obyektif atau aktual maupun subyektif dari suatu
nafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum;
norma sama sekali tidak berperan lagi.
11) Interpretasi Multidisipliner, menafsirkan dengan
menggunakan tafsir ilmu lain di luar ilmu hukum.
Jazim Hamidi, dengan mengutip pendapat
Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Achmad Ali, dan Yudha
Ronald Dworkin mempunyai pendapat yang ber-
Bhakti, mencatat sebelas macam metode penafsiran
beda lagi mengenai soal ini. Dworkin mengidentifikasi-
hukum, yaitu:383
kan adanya ada 6 (enam) model interpretasi dalam ilmu
1) Interpretasi Garamatikal, menafsirkan kata-kata da-
hukum,384 yaitu:
lam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan
kaidah hukum tata bahasa;
1) Creative interpretation
2) Interpretasi Historis, yaitu penafsiran sejarah un-
Menurut Dworkin, interpretasi kreatif hanya ter-
dang-undang dan sejarah hukum;
hadap kasus khusus dari interpretasi conversational. 385
3) Interpretasi Sistematis, menafsirkan undang-undang
Penafsiran ini dimaksudkan untuk mengungkap maksud
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-
penyusun atau maksud-maksud dalam tulisan.
undangan;
Misalnya, novel atau tradisi tertentu masyarakat yang
4) Interpretasi Sosiologis atau Teleologis, makna un-
biasanya di- ungkapkan masyarakat dalam percakapan
dang-undang dilihat berdasarkan tujuan kemasyara-
sehari-hari. Bahwa interpretasi kreatif hanya untuk
katannya, sehingga penafsiran dapat mengurangi ke-
kasus khusus penafsiran lisan.386 Interpretasi kreatif
senjangan antara sifat positif hukum dengan kenya-
bukanlah sekedar menangkap makna dalam percakapan
taan hukum;
melainkan meng- konstruksikan atau menyusun
5) Interpretasi Komparatif, menafsirkan dengan cara
makna. 387 Penafsiran
membandingkan berbagai sistem hukum;
6) Interpretasi Futuristik, menafsirkan undang-undang
dengan cara melihat pula RUU yang sedang dalam 384
Ronald Dworkin, Law’s Empire, (Cambridge, Massachusetts, London,
proses pembahasan; England: The Belknap Press of Harvard University Press, 1986).
385
7) Interpretasi Restriktif, membatasi penafsiran berda- Ibid., hal. 51.
386
Ibid., ”Creative interpretation aims to decipher the authors’ purposes or
sarkan kata yang maknanya sudah tertentu;
intentions in writing particular novel or maintaining a particular social
tradition, just as we aim in conversation to grasp a friend’s intentions in
383
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, cet. I, (Yogyakarta: UII Press speaking as he does. … that creative interpretation is only a special case of
2005), hal. 53-57. conversational interpretaion”.
387
Ibid., hal. 52, “…that creative interpretation is not conversational but
constructive”

285 286
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

kreatif dalam pandangan konstruktif adalah interaksi


tahap diinterpretasikan, yaitu penafsir menjustifikasi
antara maksud dan tujuan.388
un- sur-unsur pokok praktik. Justifikasi tidak perlu
semua harus sesuai bagi penafsir. Namun yang
2) Artistic interpretation
terpenting pe- nafsir mampu melihat dirinya sendiri
Menemukan maksud penulis bukanlah persoalan sebagai penafsir praktis, dan menemukan suatu yang
yang mudah, sebab kita harus berupaya memahami baru. Ketiga, setelah tahap penafsiran, penafsir
maksud melalui pemaknaan ungkapan kesadaran men- menyesuaikan pendirian-nya tentang praktik
tal. Penafsiran artistik tidak selalu bermaksud
sebenarnya atau menyelesaikan.391
mengiden- tifikasikan beberapa jenis kesadaran pikiran
dalam menggunakan pengaruhnya terhadap pikiran 5) Literal interpretation
penyusun ketika dia mengatakan, menulis, atau Pendapat berbeda diperdebatkan bagi teori
melakukan se- suatu. 389 Maksud (intention) selalu lebih legislasi yang lebih dikenal dewasa ini. Hal ini kadang-
kompleks dan problematikal (complex and kadang di- sebut sebagai teori penafsiran literal,
problematical matter). walaupun tidak se- cara khusus menjelaskan gambar.
Penafsiran literal ber- tujuan bahwa kata-kata dalam
3) Social interpretation UU diberikan apabila kita menyebutnya makna yang
Penafsiran praktik sosial dan kerja seni secara tidak sesuai dengan konteks- nya. Artinya, makna kita
esensialitas lebih menekankan pada maksud daripada berikan kalau kita tidak memi- liki informasi khusus
penyebab. Penafsiran praktik sosial tidak dimaksudkan tentang konteks yang mereka guna- kan atau maksud-
menemukan apa yang dilakukan warga masyarakat, me- maksud dari penulis. Metode inter- pretasi ini
lainkan ada berbagai faktor baik ekonomi atau psikologi mensyaratkan bahwa tidak ada ketergantu- ngan
dari suatu perbuatan dengan fokus pengamatan pada konteks dan kualifikasi-kualifikasi tersembunyi di- buat
suatu lingkungan yang dekat dengan apa yang mereka terhadap bahasa umum.392
lakukan.390

4) Constructive interpretation 391


Ibid., hal. 66, “Second, there must be an interpretive stage at which the
Pertama, tahap pra-penafsiran di mana aturan- interpreter settles on some general justification for the main elements of the
atu- ran dan batasan-batasan yang digunakan untuk practice identified at the preinterpretive stage.…The justification need not
fit every aspect or feature of the standing practice, but it must fit enough
membe- rikan isi tentatif dari praktik yang
for the interpreter to be able to see himself as interpreting that practice, not
diperkenalkan. Kedua, inventing a new one. Finally, there must be a postinterpretive or reforming
stage, at which he adjusts his sense of what the practice ‘really’ requires
388 so as better to serve the justification he accepts at the interpretive stage.”
Ibid., “Creative interpretation, on the constructive view, is a matter of 392
Ibid , hal. 17-18, “The dissenting opinion, written by Judge Gray, argued
interaction
389
between purpose and object”. for a theory of legislation more popular then than it is now. This is some-
Ibid., hal. 55.
390 times called a theory of ‘literal’ interpretation, though that is not a parti-
Ibid., hal. 51, “For the interpretation of social practices and works of
cularly illuminating description. It proposes that the words of a statute be
art is essentially concerned with purposes rather than mere causes. The citi-
given what we might better call their acontextual meaning, that is, the
zens of courtesy do not aim to find, when they interpret their practice, the
meaning we would assign them if we had no special information about the
various economic or psychological or phsycological determinants of their
context of their use or the intentions of their author. This method of inter-
corvergent behavior.”
pretation requires that no context-dependent and unexpressed qualications

287 288
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Profesor Sutandyo dalam salah satu tulisannya yang


6) Conversational interpretation memperbincangkan semiotika, mengemukakan tentang
Metode ini adalah metode yang tidak lazim atau the semiotic jurisprudence. Semiotika mengkaji tentang
agak berbeda dari cara-cara yang biasa digunakan. Pe- tanda-tanda kebahasaan yang tidak lain dari hasil kon-
nafsiran ini bukan dimaksudkan untuk menjelaskan septualisasi oleh subjek-subjek atau intersubjek.
sua- ra seseorang. Penafsiran ini menandai makna
dalam menjelaskan motif-motif dan maksud-maksud Dari berbagai pendapat para sarjana yang digam-
makna yang dirasakan pembicara, dan menyimpulkan barkan di atas, pada garis besarnya dapat dibedakan ke
sebagai pernyataan tentang maksud pembicara dalam dalam 23 (dua puluh tiga) metode penafsiran, yaitu:
menga- takan apa yang dia perbuat. Dalam teknik
penafsiran ini, penafsir hendak menemukan maksud 1) Metode Penafsiran Literlijk atau Literal
atau makna yang diucapkan orang lain dalam berbagai Metode ini dapat diartikan sebagai penafsiran let-
peristiwa yang se- cara tepat untuk makna dalam terlijk atau harfiah (what does the word mean?) yang
masyarakat, seperti misal- nya sopan-santun. 393 Sebab, memfokuskan pada arti atau makna kata (word).
maksud demikian adalah esensi bagi struktur yang Utrecht memberi penjelasan tentang penafsiran
menafsirkan pelaksanaan per- janjian sebagai hal yang menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
berbeda dari pemahaman pihak lain dalam menafsirkan ini, yaitu kewajiban bagi hakim mencari arti kata dalam
sesuai pernyataan yang mereka buat dalam undang- undang dengan cara membuka kamus bahasa
penerapannya. Hal itu berlanjut bahwa pakar sosial atau me- minta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum
harus berpartisipasi dalam praktik sosial jikalau dia cukup hakim harus mempelajari kata tersebut dalam
mengharapkan untuk memahaminya, sebagaimana susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan
dibedakan dari pemahaman anggota-anggota lainnya.394 peraturan- peraturan lainnya. Cara penafsiran ini,
menurut Utrecht, merupakan penafsiran yang pertama
ditempuh atau usa- ha permulaan untuk menafsirkan.395
be made to general langguage, so Judge Gray insisted that the real statute,
constructed in the proper way, contained no exceptions for murderers.”
393
Ibid., hal. 50, “…is puposive rather than causal in some more mechanical 2) Metode Penafsiran Gramatikal (bahasa)
way. It does not aim to explain the sounds someone makes the way a Metode penafsiran gramatikal atau interpretasi ba-
biologist explains a frog’s croak. It assigns meaning in the light of the hasa (what does it linguistically mean?). Penafsiran
motives and purposes and concerns it supposes the speaker to have, and it yang menekankan pada makna teks yang di dalamnya
reports its conclusions as statements about his ‘intention’ in saying what he
did”.
kaidah hukum dinyatakan. Pernafsiran dengan cara
394
Ibid., hal. 54-55, “…that the techniques of ordinary conversational demikian bertolak dari makna menurut pemakaian
interpretation, in which the interpreter aims to discover the intentions or bahasa sehari-
meanings of another person, would in many event be in appropriate (ketepa-
tan/tepat) for the interpretation of a social practice like courtesy (kesopa-
nan/kebaikan/rasa hormat) because it is essential to the structure of such a
practice that interpreting the practice be treated (pakta) as different from practice if he hopes to understand it, as distinguished from understanding its
understanding what other participants mean by the statements they make in members”.
395
its operation. It follows that a social scientist must participate in a social Utrecht, Op. Cit., hal. 208.

289 290
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

hari atau makna teknis-yuridis yang sudah


5) Metode Penafsiran Otentik
dilazimkan.396 Menurut Visser’t Hoft, di negara-negara
Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau
yang menganut tertib hukum kodifikasi, teks harfiah
officiele interpretatie), menurut Utrecht, merupakan pe-
undang-undang di- nilai sangat penting. Namun,
nafsiran sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pem-
penafsiran gramatikal saja tidak cukup jika tentang hal
buat undang-undang (legislator) dalam undang-undang
yang ditafsirkan itu sudah menjadi perdebatan.397
itu sendiri.400 Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam
pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan
3) Metode Penafsiran Restriktif
Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan
Pitlo dan Sudikno mengartikan penafsiran ini
berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-
seba- gai kegiatan menafsirkan dengan cara membatasi
undang.
penaf- siran sesuai dengan kata yang maknanya sudah
tertentu. Jika suatu norma hukum yang sederhana
6) Metode Penafsiran Sistematik
sudah diru- muskan secara jelas atau expresis verbis,
Metode ini menafsirkan menurut sistem yang ada
maka tidak di- perlukan lagi untuk menerapkan metode-
dalam hukum (systematische interpretatie,
metode penaf- siran yang bersifat kompleks. Cukuplah
dogmatische interpretatie) itu sendiri. Artinya,
kiranya hal ter- sebut dipahami dengan maknanya yang
menafsirkan dengan memperhatikan naskah-naskah
sudah jelas itu.398
hukum lain. Jika yang ditafsirkan adalah pasal dari
suatu undang-undang, ma- ka ketentuan-ketentuan
4) Metode Penafsiran Ekstensif
yang sama apalagi satu asas da- lam peraturan lainnya
Menurut Pitlo dan Sudikno, hasil penafsiran ini
juga harus dijadikan acuan. 401 Dalam penafsiran ini,
melebihi hasil penafsiran gramatikal. Penalaran yang di-
sebagaimana telah diuraikan sebe- lumnya, makna
gunakan dalam metode ekstensif ini merupakan kebali-
formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari
kan dari penalaran dalam metode restriktif. Penafsiran
sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetap- kan lebih
restriktif bersifat membatasi, sedangkan penafsiran eks-
jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem.
tensif bersifat memperluas, sehingga penafsiran dilaku-
Langkah yang dilakukan yaitu dengan mencari makna
kan tidak hanya terbatas kepada makna teknis dan gra-
kata-kata yang terdapat di dalam suatu peraturan yang
matikal kata-kata yang terkandung dalam suatu
ada kaitannya dan melihat pula pada kaidah-kaidah
rumusan norma hukum yang bersangkutan.399
lainnya. Menurut Visser’t, dalam sebuah sistem hukum
yang menitikberatkan pada kodifikasi, maka merujuk
pada sistem undang-undang atau kitab undang-undang
merupakan hal biasa. Perundang-undangan adalah se-
buah sistem. Ketentuan-ketentuan yang ada di
396
Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 25. dalamnya saling berhubungan sekaligus saling
397
Ibid., hal. 26. berhubungan ter- sebut menentukan makna. Akan
398
Hamidi, Op. Cit. tetapi dalam tatanan
399
Ibid.
400
401
Utrecht, Op. Cit., hal. 217.
Ibid., hal. 212-213.

291 292
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

hukum yang tidak terkodifikasi, merujuk pada sistem di-


masuk surat-menyurat yang berhubungan dengan pe-
mungkinkan sepanjang karakter sistematis dapat di-
nyusunan suatu undang.404
asumsikan (diandaikan).402
8) Metode Penafsiran Historis dalam arti Luas
7) Metode Penafsiran Sejarah Undang-undang
Metode penafsiran dengan sejarah hukum, menu-
Metode ini mendasarkan diri pada makna historis
rut pendapat Utrecht, mencakup dua pengertian, yaitu
yang terkandung dalam perumusan undang-undang itu
(i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang
sendiri (what is historical background of the formula-
seperti yang sudah diuraikan di atas; dan (ii) penafsiran
tion of a text). Penafsiran Sejarah Undang-undang ini
sejarah hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran
salah satu metode penafsiran sejarah dalam arti sempit,
sejarah hu- kum yang bertujuan mencari makna yang
yaitu penafsiran dengan merujuk pada sejarah penyusu-
dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa
nannya, membaca risalah, catatan pembahasan oleh
lampau.405 Dalam arti sempit, yaitu metode penafsiran
komisi-komisi, dan naskah-nakah lain yang berhubu-
sejarah undang- undang sudah diuraikan di atas.
ngan dengan pembahasan termasuk surat-menyurat
Sedangkan pada bagian ini diuraikan mengenai metode
yang berkaitan dengan penyusunan suatu undang.
penafsiran historis dalam arti luas.
Menurut Utrecht, penafsiran sejarah undang-undang Dalam hal ini, untuk mencari dan menemukan
memfokuskan diri pada latar belakang sejarah peru-
makna historis suatu pengertian normatif dalam
musan naskah, dan bagaimana peredebatan yang terjadi undang- undang, penafsir juga harus merujuk
ketika naskah itu hendak dirumuskan.403 pendapat-pendapat pakar dari masa lampau. Termasuk
Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah kajian pula merujuk kepada hukum-hukum masa lalu yang
mendalam tentang notulen-notulen rapat, catatan-cata- relevan. Menurut Utrecht, penafsiran dengan cara
tan pribadi peserta rapat, tulisan-tulisan peserta rapat demikian dilakukan dengan me- nafsirkan suatu naskah
yang tersedia baik dalam bentuk tulisan ilmiah maupun menurut sejarah hukum (rechts- historische
komentar tertulis yang pernah dibuat, otobiografi yang interpretatie). Penafsiran historis demikian itu
bersangkutan, hasil wawancara yang dibuat oleh warta- dilakukan pula dengan menyelidiki asal usul naskah dari
wan dengan yang bersangkutan, atau wawancara khusus sistem hukum yang pernah diberlakukan, termasuk pula
yang sengaja dilakukan untuk keperluan menelaah pe- meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang masih
ristiwa yang bersangkutan. Menurut Hoft, penafsiran diberlakukan di negara lain. 406 Bagi hakim, menurut
sejarah undang-undang merupakan penafsiran dengan Scholten, makna penafsiran historis berdasar- kan
merujuk pada sejarah penyusunannya, membaca kebutuhan praktik. Pada umumnya yang terpenting bagi
risalah, catatan pembahasan oleh komisi-komisi, dan hakim ialah mengetahui maksud pembuat naskah
naskah- naskah lain yang berhubungan dengan hukum pada waktu ditetapkan. Hukum bersifat
pembahasan ter- dinamis, dan perkembangan hukum mengikuti
perkembangan

404
Ph. Visser’t Hoft, Op.Cit.
402
Ph. Viser’t Hoft, Op.Cit. 405
Utrecht, Op.Cit.
403
Utrecht, Op.Cit. 406
Ibid., hal. 209.

293 294
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

masyarakat. Oleh karena itu, makna yang dapat


9) Metode Penafsiran Sosio-Historis
diberikan kepada suatu kata dalam naskah hukum posi-
Metode ini menyangkut penafsiran sosio-historis
tif sekarang berbeda dengan maknanya pada waktu dite-
(asbab al-nuzul dan asbab al-wurud), yaitu berkenaan
tapkan. Oleh sebab itu pula penafsiran menurut sejarah
dengan persoalan what does the social context behind
hakikatnya hanya merupakan pedoman saja.407
the formulation of the text. Berbeda dari penafsiran
Akan tetapi, penafsiran historis tidak hanya
historis, dalam penafsiran sosio-historis ini, dipertim-
menelaah risalah sebagai story perumusan naskah,
bangkan pula berbagai konteks perkembangan masya-
tetapi juga menelaah sejarah sosial, politik, ekonomi
rakat yang melahirkan norma yang hendak ditafsirkan
dan social event lainnya ketika rumusan naskah
itu dengan seksama. Di pihak lain, berbeda pula dengan
tersebut dibahas. Artinya, penafsiran historis bisa
penafsiran sosiologis, penafsiran sosio-historis ini lebih
merambah ke penafsian sosio-historis baik dari aspek
memusatkan perhatian pada konteks sejarah
sosial, ekonomi, politik, dan kejadian-kejadian penting
masyarakat yang mempengaruhi rumusan naskah ketika
yang memberi nuansa ke- pada sebuah naskah hukum.
norma hu- kum yang bersangkutan terbentuk di masa
Misalnya, ketika Pasal 33 UUD 1945 dirumuskan,
lalu.
suasana anti kolonialisme se- dang marak, sehingga
penolakan terhadap yang berlatar belakang liberalisme
10) Metode Penafsiran Sosiologis
dan kapitalisme sangat kuat dan sangat logis terjadi
Metode penafsiran sosiologis (sociological inter-
ketika itu.
pretation) ini mendasarkan diri pada penafsiran yang
Latar belakang yang sama juga dapat menjadi
sebab mengapa hak asasi manusia sangat kurang dirinci bersifat sosiologis (what does social context of the event
dalam rumusan UUD 1945 versi aslinya. Memang benar to be legally judged). Konteks sosial ketika suatu naskah
bahwa hak asasi manusia ada kaitannya dengan indi- dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsir-
vidualisme yang menjadi basis paham liberalisme kan naskah. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
ekono- mi, politik, dan kapitalisme dalam bidang acapkali mempengaruhi legislator ketika sebuah naskah
ekonomi. Akan tetapi, ketika Pasal 33 ditafsirkan pada hukum dirumuskan.
tahun 2005 atau 50 tahun kemudian apakah konteks
11) Metode Penafsiran Teleologis
sosio-historis tahun 1945 harus ditanggalkan?
Sepanjang kekuatan argumen- tasi dapat menunjukkan Metode penafsiran teleologis memusatkan perha-
tian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai
bahwa liberalisme memang terbukti benar-benar
mengancam sistem ekonomi nasio- nal dalam sistem oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks (what
does the articles would like to achieve). Penafsiran ini
ekonomi global, maka apapun alasan- nya liberalisme
ekstrim harus ditolak dan prinsip pe- nguasaan negara di- fokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-
kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya.
harus dipertahankan dengan penye- suaian di sana-sini.
Tekanan taf- siran pada fakta bahwa pada kaidah
hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan
dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut
mempengaruhi interpretasi. Dalam

407
Ibid., hal. 210-211.

295 296
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

penafsiran yang demikian ini juga diperhitungkan kon-


teks kenyataan kemasyarakatan aktual.408
Utrecht tidak mengenal penafsiran teleologis, se-
dangkan menurut Hoft, penafsiran seperti ini dilakukan
13) Metode Penafsiran Tematis-Sistematis
dengan cara mengacu kepada formulasi norma hukum
Di sini yang menjadi pusat perhatian adalah per-
menurut tujuan dan jangkauannya. Dalam menafsirkan
soalan what be the substantive theme of the articles for-
secara teleologis, fokus perhatian adalah fakta bahwa
mulated, or how to understand the substantive theme
pada norma hukum mengadung tujuan yang menjadi
of the articles systematically according to the grouping
da- sar atau asas sekaligus mempengaruhi interpretasi.
of the formulation. Misalnya, ketentuan mengenai
Bisa jadi suatu norma mengandung fungsi atau
pemili- han umum berkala dalam Article 68 Konstitusi
mengandung maksud untuk melindungi kepentingan
Amerika Serikat menentukan bahwa pemilihan umum
tertentu, se- hingga ketika ketentuan tersebut
berkala di- selenggarakan dalam waktu selambat-
diterapkan, maksud tersebut harus dipenuhi. Penafsiran
lambatnya 30 hari sebelum masa jabatan anggota
teleologis juga mem- perhitungkan konteks fakta
Nasional Assembly berakhir. Pemilihan umum anggota
kemasyarakatan aktual. Cara ini tidak terlalu diarahkan
National Assembly dimaksud diselenggarakan menurut
untuk menemukan pertautan pada kehendak dari
tata cara yang diatur dengan undang-undang.
pembentuk undang-undang pada waktu perumusannya.
Selanjutnya ditentukan pula bahwa tanggal
Maksudnya, lebih diarahkan ke- pada makna aktual
penyelenggaraan pemilihan umum itu di- tetapkan
atau makna obyektif norma yang di- tafsirkan,
dengan keputusan (Presidential decree) dengan
sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
ketentuan bahwa sidang pertama para anggota National
Assembly yang baru terpilih harus sudah diadakan pada
12) Metode Penafsiran Holistik hari Kamis kedua sesudah terpilih sekurang-kurangnya
Metode penafsiran holistik mengumakan aspek ke- 2/3 jumlah seluruh anggota National Assembly (on the
seluruhan unsur yang terkait. Teori penafsiran holistik second Thursday following the election of at least two
mengaitkan penafsiran suatu naskah hukum dengan thirds of the total number of Deputies). Sebelum terpilih
konteks keseluruhan jiwa dari naskah hukum tersebut. seorang Ketua National Assembly (President of the
Ide yang terkandung di dalam metode ini mengandaikan National Assembly), persidangan dipimpin oleh 2 (dua)
bahwa setiap naskah hukum seperti undang-undang orang anggota yang tertua usianya.409 Jika diperhatikan,
ataupun undang-undang dasar haruslah dilihat sebagai
satu kesatuan sistem norma hukum yang mengikat
409
untuk umum (integral and integrated constitution or Article 68 UUD Amerika Serikat itu berbunyi, ”Regular elections to the
legis- lation), sehingga kandungan makna yang diatur di National Assembly shall be held within sixty days prior to the expiration of
the term of the current Assembly. Procedures for elections to the National
dalamnya tidak dapat dipahami pasal demi pasalnya, Assembly shall be prescribed by law. The date of elections shall be fixed by
melain harus dimengerti sebagai satu kesatuan yang Presidential decree. The first session of a newly elected National Assembly
menyeluruh (holistik). shall convene on the second Thursday following the election of at least two
thirds of the total number of Deputies. Until the election of the President of
408 the National Assembly, its meetings shall be chaired by the Deputy who is
Visser’t Hoft, Op. Cit., hal. 30.
the most senior in age”.

297 298
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika Serikat


yang harus diberikan kepada norma hukum yang ditaf-
mengatur mengenai tema yang berkenaan dengan pro-
sirkan haruslah bersifat mendobrak perkembangan se-
sedur penyelenggaraan pemilihan umum.
telah dibelakukannya suatu norma hukum tertentu. Sa-
lah satu ciri penting metode penafsiran ini ialah diabai-
14) Metode Penafsiran Antisipatif atau Futuristik
kannya maksud asli pembentuk undang-undang (the
Metode penafsiran ini dilakukan dengan cara me-
original intent) dari keharusan untuk dijadikan refe-
rujuk suatu rancangan undang-undang yang sudah
rensi. Makna obyektif atau aktual maupun subyektif dari
mendapat persetujuan bersama, tetapi belum disahkan
suatu norma sama sekali tidak dianggap berperan lagi.
secara formil. Kemungkinan lain juga dapat terjadi, mi-
Semua itu dianggap tidak lagi relevan dengan
salnya, suatu rancangan undang-undang sudah disiap-
kebutuhan nyata untuk menegakkan keadilan di
kan untuk dibahas atau sedang dibahas dalam
lapangan.
parlemen, tetapi diperkirakan ada materi-materi
tertentu yang di- nilai sudah pasti lolos untuk pada
16) Metode Penafsiran Komparatif
saatnya disahkan men- jadi norma hukum yang
Pitlo dan Sudikno mengartikan penafsiran ini se-
mengikat. Jika hakim di pengadilan melihat ke depan
bagai kegiatan menafsirkan dengan cara membanding-
(forward looking) atau antisipatif dan futuristik, ia
kan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan
dapat menerapkan norma- norma hukum yang belum
dapat dilakukan untuk maksud memahami hukum
berlaku secara formil itu dalam memeriksa dan
sendiri atau dapat pula dimaksudkan untuk
memutus sesuatu kasus yang untuk tujuan mewujudkan
menemukan prinsip- prinsip yang berlaku umum dari
keadilan yang nyata mem- butuhkan referensi yang
objek-objek yang diper- bandingkan. Dengan demikian,
bersifat futuristik tersebut. Dengan cara demikian, maka
perbandingan dapat di- lakukan antar dua objek atau
para hakim dapat melihat nilai-nilai keadilan dengan
antar banyak objek. Di samping itu, perbandingan dapat
kacamata yang memandang jauh ke masa yang akan
dilakukan dengan cara membandingkan unsur-unsur
datang. Dengan kata lain, hakim dapat menilai dan
yang sama dan/atau unsur-unsur yang berlainan dari
menerapkan suatu norma hukum yang ada dengan
objek-objek yang diper- bandingkan satu sama lain.
menafsirkannya dari sudut pandang hukum baru.
Hasil dari proses perban- dingan itu pada akhirnya
adalah untuk diterapkan dalam menyelesaikan suatu
15) Metode Penafsiran Evolutif-Dinamis kasus atau permasalahan hukum dengan seadil-adilnya
Istilah penafsiran yang demikian digunakan oleh dan setepat-tepatnya.411
Visser’t Hoft dikarenakan bahwa metode penafsiran
evo- lutif-dinamis ini dilakukan karena adanya 17) Teori Penafsiran Filosofis
perubahan pandangan dalam dinamika kehidupan Penafsiran filosofis memusatkan perhatian pada
masyarakat. 410 Situasi dan kondisi kemasyarakatan segi what is the underlying philosophical thought yang
secara luas mengala- mi perubahan yang mendasar. terkandung dalam perumusan teks hukum yang ditaf-
Oleh karena itu, makna sirkan. Penafsiran ini mempunyai fokus perhatian pada
aspek filosofis yang terkandung dalam norma hukum

299 300
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

410 411
Visser’t Hoft, Op.Cit. Jazim Hamidi, Op. Cit.

299 300
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

yang hendak ditafsirkan. Misalnya, ide negara hukum


kasus-kasus yang tidak memerlukan pendekatan
dalam Konstitusi Republik V Perancis Art. 66: “No per-
interdi- siplin yang menyeluruh, melainkan cukup
son may be detained arbitrarily”. Tidak seorangpun
dengan meng- gunakan bantuan penafsiran menurut
yang dapat ditahan hanya didasarkan atas
suatu cabang ilmu di luar ilmu hukum. Misalnya, suatu
kebijaksanaan penguasa. Demikian pula ide negara
pembuktian untuk menentukan seseorang bersalah atau
hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
tidak yang semata- mata tergantung kepada penafsiran
menyatakan, “Negara Indone- sia adalah Negara
yang terdapat dalam ilmu kedokteran. Untuk
Hukum”, ide demokrasi terpusat dalam Konstitusi Cina
menerapkan suatu norma hu- kum terhadap kasus yang
(democratic centralism), dan lain sebagainya. Ide-ide
konkrit tergantung kepada penafsiran menurut ilmu
yang dirumuskan itu tidak dapat di- pahami hanya
kedokteran, sehingga penaf- siran tersebut dapat
dengan pendekatan biasa, melainkan harus dimengerti
dikatakan dilakukan dengan meng- gunakan tafsir ilmu
secara mendalam, yaitu pada latar be- lakang filosofis
lain di luar ilmu hukum. Metode penafsiran yang
tumbuhnya ide negara hukum itu sendiri dalam sejarah
demikian inilah yang disebut sebagai penafsiran
perkembangan umat manusia, baik yang terkait dengan
multidisiplin, bukan interdisiplin seperti yang sudah
konsep rule of law maupun dengan kon- sep
diuraikan di atas.
rechtsstaat.
20) Metode Penafsiran Kreatif (Creative Interpretation)
18) Metode Penafsiran Interdisipliner
Menurut Dworkin, interpretasi kreatif (creative
Menurut Pitlo dan Sudikno, menggunakan logika
interpretation) dapat digunakan, tetapi hanya terhadap
penafsiran dengan mengunakan bantuan banyak cabang
kasus khusus dari interpretasi conversational. Penafsi-
ilmu pengetahuan, banyak cabang ilmu hukum sendiri,
ran ini dimaksudkan untuk mengungkap maksud
ataupun dari banyak metode penafsiran, juga dianjurkan.
penyu- sun atau maksud-maksud dalam tulisan.
Metode ini dianggap penting, karena banyak kasus yang
Misalnya, novel atau tradisi tertentu masyarakat yang
kompleks yang tidak dapat dipecahkan jika kita hanya
biasanya diung- kapkan masyarakat dalam percakapan
mendekatinya dari satu sudut pandang saja. Apalagi,
sehari-hari. Bah- wa interpretasi kreatif hanya untuk
untuk tujuan mewujudkan keadilan, kadang-kadang
kasus khusus pe- nafsiran lisan. Interpretasi kreatif
per- masalahan yang dihadapi sangat kompleks sifatnya
bukanlah sekedar me- nangkap makna dalam
dan memerlukan pendekatan-pendekatan yang
percakapan melainkan meng- konstruksikan atau
interdisiplin. Oleh karena itu, metode penafsiran
menyusun makna. Penafsiran kreatif dalam pandangan
demikian disebut se- bagai metode penafsiran
konstruktif adalah interaksi antara maksud dan
interdisipliner.412
tujuan.413
19) Metode Penafsiran Multidisipliner
21) Metode Penafsiran Artistik
Metode penafsiran multidisiplin ini berbeda dan
Sebagaimana dikemukakan oleh Dworkin, melaku-
dibedakan dari penafsiran interdisiplin, sebagaimana
kan kegiatan penafsiran dengan cara menemukan mak-
yang sudah dikemukakan di atas. Kadang-kadang ada
sud penulis bukanlah persoalan yang mudah dan seder-

412 413
Ibid. Dworkin, Op. Cit.

301 302
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

hana. Oleh karena itu, berupaya untuk memahami suatu


makna yang diucapkan oleh orang lain dalam berbagai
maksud, dilakukan melalui pemaknaan ungkapan kesa-
peristiwa yang secara tepat untuk makna dalam
daran mental. Penafsiran artistik tidak selalu
masyara- kat, misalnya sopan-santun. Sutandyo dalam
bermaksud mengidentifikansikan beberapa jenis
salah satu tulisannya semiotika, mengemukakan tentang
kesadaran pikiran dalam menggunakan pengaruhnya
the semio- tic jurisprudence. Semiotika mengkaji
terhadap pikiran pe- nyusun ketika dia mengatakan,
tentang tanda- tanda kebahasaan yang tidak lain dari
menulis, atau melakukan sesuatu. Dalam hal ini,
hasil konsep- tualisasi oleh subjek-subjek atau
maksud selalu lebih kompleks dan problematikal.414
intersubjek.
22) Metode Penafsiran Konstruktif
Dalam hubungannya dengan penafsiran, dapat
Metode penafsiran konstruktif ini, menurut Dwor-
dikemukakan pula pendapat Jerzy Wroblewski yang me-
kin, dapat dilakukan dengan tiga tahap. Pertama, tahap ngembangkan meta-teori rasionalistik dan relativistik
pra-penafsiran dimana aturan-aturan dan batasan-bata-
mengenai penafsiran dan implementasi undang-undang
san yang digunakan untuk memberikan isi tentatif me- (legal statutes), yaitu teori tentang interpretasi atau
ngenai praktik yang diperkenalkan. Kedua, adalah tahap
teori tentang ideologi-ideologi penafsiran undang-
interpretasi sendiri, di mana penafsir menjustifikasi
undang.415
unsur-unsur pokok yang timbul dari praktik. Justifikasi
Dalam penafsiran dikenal pula adanya tipe-tipe
tidak perlu semua harus sesuai bagi penafsir. Menjadi
argumen-argumen yang digunakan, (MacCormick and
sa- ngat penting dalam hal ini, bahwa mampu melihat
Summers, 1991), yaitu:416
diri- nya sendiri sebagai penafsir praktis dan
1) The argument from ordinary meaning, atau meng-
menemukan suatu yang baru. Ketiga, setelah tahap
gunakan argumen makna umum yang berlaku dalam
penafsiran, penaf- sir menyesuaikan pendiriannya
masyrakat;
tentang praktik sebenar- nya atau menyelesaikan.
2) The argument from technical meaning, atau meng-
gunakan argumen teknis yang dipakai dalam istilah-
23) Metode Penafsiran Konversasional. istilah teknis;
Metode ini sebenarnya agak berada di luar 3) The argument from contextual-harmonization;
kebiasa- an penafsiran yang biasa digunakan. Penafsiran 4) The argument from precedent;
konver- sasional (conversational interpretation) ini 5) The argument from analogy;
bukan di- maksudkan untuk menjelaskan suara 6) The argument from relevant principles of law;
seseorang. Penaf- siran ini menandai makna dalam 7) The argument from history;
menjelaskan motif- motif dan maksud-maksud 8) The argument from purpose;
mengenai makna yang dira- sakan pembicara, dan 9) Substantive reasons;
menyimpulkan sebagai pernyataan tentang maksud 10) The argument from intention.
pembicara dalam mengatakan apa yang dia perbuat.
Penafsir hendak menemukan maksud atau
415
Jerzy Wroblewsky, dalam Aleksander Peczenik, “Kinds of Theory of
414
Ibid. Legal Argumentation”, http://www. ivr2003.net/Peczenik_Argumenta-
tion.htm.
416
Aleksander Peczenik, Op. Cit.

303 304
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

William Eskrige dalam bukunya mengembangkan practice is the theory that puts legal practice in its ‘best
teori dinamika penafsiran undang-undang (dynamic light’. By ‘best light’ Dworkin means a measure of de
theory of statutory interpretation) dengan menyatakan, desirability or goodness: the true theory of legal prac-
“…that statutory interpretation changes in response to tice, says Dworkin, potrays the practice at its most
new political aligments, new interpreters, and new desireable. Now why would that be the case? What’s
ideo- logies”. Sementara Aulis Aarnio mengatakan, between the desirability of a theory and its truth?”.
tugas dogmatik hukum adalah menginterpretasikan dan
men- sistematisasi norma-noma hukum (The tasks of Terlepas dari segala macam metode atau teori
legal dogmatic are interpretation and systematization penafsiran di atas, suatu hal yang perlu menjadi per-
of legal norms). Dua kebutuhan pokok dalam hatian serius adalah bahwa hukum, baik yang tertulis
penafsiran hukum, menurutnya, adalah rasionalitas dan maupun tidak tertulis, adalah konsep yang berasal dari
aksepta- bilitas. Sistematisasi bermaksud melakukan kata-kata yang dahulunya diucapkan oleh satu, dua,
reformulasi norma-norma hukum dalam pengungkapan atau lebih banyak orang yang kemudian disusun dalam
abstrak da- lam hubungannya terhadap konsep-konsep kali- mat. Tiap-tiap perkataan itu di dalamnya
dasar. mengandung beberapa atau bahkan banyak makna,
Sistematisasi adalah pembawa tradisi hukum. sehingga hukum dalam konteks norma sesungguhnya
Dikatakan oleh Aulis Aarnio, interpretasi adalah adalah simbol- simbol atau tanda-tanda yang disusun
aktivitas hermenutik yang menjustifikasi dalam sedemikian rupa dalam bentuk pasal yang dituangkan
hubungannya terhadap audien hukum, yang dalam rumusan undang-undang dasar, undang-undang,
dikarakterisasikan sebagai esensia secara relativistik atau peraturan- peraturan tertulis lainnya.
dalam pengertian mengakui kemungkinan perselisihan Hukum yang tertulis dalam batas-batas tertentu
tentang evaluasi. Dworkin mengatakan: dapat ditelusuri maksudnya, meskipun adakalanya keti-
“The adjudicative principle of integrity instructs judges ka harus diterapkan pada suatu kasus dalam banyak
to identify legal rights and duties, so far as possible, on situasi dan kondisi sosial ternyata tidak mudah.
the assumption that they were all created by a single Korupsi, misalnya, adalah kata yang memerlukan
author — the community personified – expressing a kecermatan dalam penerapannya meskipun sudah jelas
coherent conception of justice and fairness. […] Accor- rumusannya. Demikian pula kata “jasa” dalam konteks
ding to law as integrity, propositions of law are true if
hukum, apakah orang yang menerima imbalan atas
they figure in or follow from the priciples of justice,
fairness, and procedural due process that provide the jasanya membantu memperkenalkan kepada panitera
best contructive interpretation of the community’s kepala di pengadilan dapat dianggap terlibat dalam
legal practice”. kejahatan, jikalau ternyata orang diperkenalkan itu
kemudian menyuap penitera tersebut.
Selanjutnya Dworkin mengatakan pula: Dalam penerapan hukum selain penafsiran, seperti
“Law as integrity […] holds that people have as legal telah diuraikan sebelumnya, dikenal pula kegiatan pe-
rights whatever rights are sponsored by the priciples nemuan hukum atau metode konstruksi. Metode ini
that provide the best justification of legal practice as a digunakan ketika juris (hakim, penuntut umum, dan
whole. Dworkin claim’s … that the true theory of legal

305 306
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

pakar hukum) menghadapi ketiadaan atau kekosongan


B. Hermeneutika Hukum
aturan untuk menyelesaikan persoalan konkrit. Pene-
muan hukum secara lebih umum pada prinsipnya Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief
adalah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau mema-
yang dipa- parkan dalam peristilahan hukum. hami.418 Hakikat memahami sesuatu adalah yang
Tujuannya adalah memberi jawaban terhadap disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau
persoalan-persoalan dan mencari penyelesaian sengketa metode me- mahami atau metode interpretasi dilakukan
konkret.417 Tentang pene- muan hukum ini sebagian terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan
pakar memisahkannya dari penafsiran hukum, sebagian antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. 419 Memahami
lagi menganggapnya ter- masuk metode penafsiran se- suatu adalah menginterpretasi sesuatu agar mema-
hukum. haminya. Dalam hubungan ini Gadamer mengatakan,
se- perti dikutip oleh Arief Sidharta, 420 Ilmu Hukum
Konstruksi hukum menurut teori dan praktik dapat adalah sebuah eksamplar Hermeneutik in optima
dilakukan dengan 4 (empat) metode, yaitu: forma, yang diaplikasikan pada aspek kehidupan
1) Analogi atau Metode argumentum per analogium. bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkan Ilmu Hukum
Cara kerjanya, metode ini diawali dengan pencarian ketika mengha- dapi kasus hukum, maka kegiatan
esensi umum suatu peristiwa hukum yang ada dalam interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks
undang-undang. Esensi yang diperoleh kemudian yuridis, tetapi juga ter- hadap kenyataan yang
di- coba terhadap peristiwa yang dihadapi. Apakah menyebabkan munculnya masa- lah hukum itu sendiri.
peris- tiwa itu memiliki kesamaan prinsip dengan Dalam melakukan interpretasi tentu saja antara
prinsip yang terdapat dalam esensi umum tadi. penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat per-
Umpamanya apakah seorang yang “memancing bedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau
belut” dapat diberi sanksi, sementara larangan yang ratusan tahun. Oleh karena itu, ketika melakukan inter-
tertera di sudut kolam berbunyi “dilarang pretasi acapkali muncul dua sudut pandang yang ber-
memancing ikan”; beda antara teks yang hendak ditafsirkan dengan pan-
2) Metode Argumentum a Contrario. Ini digunakan dangan penafsir sendiri. Kedua pandangan itu
jika ada ketentuan undang-undang yang mengatur kemudian diramu dengan berbagai aspek yang
hal tertentu untuk peristiwa tertentu, sehingga dipedomani oleh penafsir, yaitu keadilan, kepastian
untuk hal lain yang sebaliknya dapat ditafsirkan hukum, prediktabi- litas, dan kemanfaatan.
sebaliknya; Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan manu-
3) Metode penyempitan hukum. Misalnya “perbuatan siawi dan produk budayanya, termasuk teks-teks hukum
melawan hukum” dapat dipersempit artinya untuk yang dihasilkan olehnya. 421 Gregory Leyh mengatakan,
peristiwa tertentu yang termasuk perbuatan
melawan hukum, sehingga terdapat peristiwa yang 418
B. Aref Sidharta, dalam kata Pengantar, Jazim Hamidi, Op Cit., hal. xi-xv.
dapat di- kategorikan perbuatan melawan hukum; 419
Hamidi, Op. Cit., hal. 45.
420
4) Fiksi Hukum. Ibid., hal. xiii.
421
Ibid., hal. 39.

417
J.A.Pointer, Op.Cit.
307 308
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali


pribadi anggota badan pembentuk undang-undang,
dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian
tidak bisa otomatis dianggap pengungkapan pandangan
membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara
mayo- ritas yang paling mempengaruhi suatu undang-
utuh, di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan
undang. Pendukung kelompok-kelompok kepentingan
para ahli humaniora.422 Tujuan hermeneutika hukum itu
boleh jadi menyembunyikan tujuan yang sebenarnya
ada- lah untuk menempatkan perdebatan kontemporer
dari legislasi.
ten- tang penafsiran atau interpretasi hukum di dalam
Penafsiran konstitusi, di Jerman misalnya, menu-
ke- rangka hermeneutika pada umumnya.423 rut Leibholz, Mahkamah Konstitusi Jerman adalah
Dalam hubungan dengan penafsiran atau inter- mahkamah yang bebas, membantu dengan memberikan
pretasi, Alexander Peezenick menyatakan, “...statements jaminan kebebasan bagi pengadilan dan menjalankan
are partly a result of the author’s philosophical back-
fungsi administrasi hukum dalam pengertian materil.426
ground, partly a useful tool for political debate”.424 Pan- Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi Jerman disebut
dangan konvesional dalam penafsiran undang-undang hukum yang sesungguhnya (real law). Keputusan-kepu-
menganggap bahwa pengadilan harus berupaya me- tusannya merupakan putusan yang murni bersifat
nemukan tujuan atau maksud dari pembuat undang- hukum, di mana hakim-hakim tidak melakukan pene-
undang (the framers’ intent). Penafsiran demikian se- muan-penemuan di luar batas substansi hukum dasar,
jalan dengan pandangan bahwa proses pembentukan melainkan mengungkapkan makna esensi hukum seba-
undang-undang didominasi oleh kesepakatan nilai-nilai gai suatu pendirian atau sikap. Hukum konstitusi
di antara berbagai kelompok kepentingan. Bagi pemben- tertulis juga tunduk pada perubahan, dan Mahkamah
tuk undang-undang, kesepakatan adalah produk tawar Konstitusi
menawar (political bargain).
Metode serupa juga digunakan dalam penafsiran
perjanjian-perjanjian perdata. Proses penemuan private contracts are appropriate (tepat). The process of dicovering legisla-
maksud pembentuk undang-undang, bagaimanapun, tive intent, however, is more difficult than that of discovering the intent
behind an ordinary contract because of the plural nature of enacting body.
lebih sulit ketimbang menemukan maksud yang The statements of individual legislators, even of legislative commitees, can-
melatarbelakangi kontrak-kontrak perdata, sebab badan not automatically be assumed to express the views of the ‘silent majority’
pembuat undang memiliki ciri kemajemukan. 425 that is necessary for enacment. Furthermore, the proponents (pendukung) of
Pernyataan-pernyataan interest groups legislation may conceal the true objective of the legislation
in order to increase the information cost of opponents. Yet to some extent at
least, this reticense is self-defeating. What is concealed from the public is
422
Ibid., hal. 42. likely to be cocealed from the judges, leading the construct a public interest
423
Ibid., hal. 45. rationale that may blunt the redistributive thrust of the legislation (but
424
Peczenik, Op. Cit. sometimes exaggerate it-when?).
426
425
Posner, Op. Cit., hal. 576-577. The conventional view of statutory G. Leibholz , Politics and Law, (Leiden: A.W. Sythoff, 1965), hal. 271-
interpretation is that the court endeavors (mengusahakan) to discover 276. “The Federal Constitutional Court is called upon to realize law; its
(menemukan) and effect to the itentions of the enacting legislature. This is decisions are,.., genuine judicial decisions, where the judges do not in their
consisten with viewing the legislative process as one dominated by deals findings go beyond the limits of the content of the Basic Law, but express in
(kesepakatan) among intrest groups; in this view legislative enacment is a their findings the essential meaning of that law, as it already stands.
bargained sale and the same methods used in the interpretation of ordinary Written constitutional law too is subject to changes, and the Federal Consti-
tutional Court is called upon in a special degree to participate in these
changes throught he exercise of its judicial functions”.

309 310
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

disebut pada tahap tertentu berperan dalam perubahan-


hukum Islam dalam teori dan praktik sampai sekarang.
perubahan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yudisial-
Oleh karena itu, patut dipertanyakan, mengapa sudah
nya.
berabad-abad lamanya, ilmu hukum modern belum juga
Apa perlunya kita mempersoalkan mengenai
mengembangkan cabang ilmu yang tersendiri di bidang
penaf- siran konstitusi dan hermeneutika hukum di
penafsiran hukum. Padahal, cabang dan sub-cabang
sini? Saya sendiri berpendapat bahwa ilmu hukum
atau bahkan ranting ilmu pengetahuan yang timbul atau
kontemporer se- benarnya telah membawa dalam
tum- buh dari ilmu hukum sudah sangat banyak
dirinya sendiri kele- mahan-kelemahaan yang bersifat
jumlahnya.
bawaan. Kegiatan in- terpretasi atau penafsiran,
Misalnya, di bidang hukum pidana, telah sejak la-
merupakan akitivitas yang inheren terdapat dalam
ma muncul cabang ilmu yang secara khusus mengkaji
keseluruhan sistem bekerjanya hukum dan ilmu hukum
ke- jahatan (crime) sebagai fenomena ilmiah yang
itu sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangannya sejak
tersendiri, yaitu disebut Criminology. Dari Criminology
zaman dahulu sampai sekarang, ilmu hukum belum juga
ini bahkan berkembang pula cabang ilmu yang secara
berusaha memberikan tempat yang khusus kepada
khusus meng- kaji korban kejahatan, yaitu disebut
kegiatan interpretasi itu sebagai pusat perhatian yang
Victimology sebagai cabang ilmu penunjang
utama. Bagaimanapun juga, ilmu hukum itu berkaitan
(hulpwetenschap). Akan tetapi, sampai sekarang, belum
dengan soal kata-kata, sehingga aktivitas tafsir-menafsir
juga berkembang adanya cabang ilmu yang khusus
menjadi sesuatu yang sangat sentral di dalamnya.
mengkaji metode-metode penafsiran hukum dan
Jika belajar dari pengalaman tradisi sistem hukum
konstitusi.
Islam, akan didapati bahwa dalam rangka
Syukurlah bahwa sejak beberapa dasawarsa terak-
perkembangan ilmu fiqh dalam pengertian ilmu hukum
hir abad ke-20, dunia ilmu pengetahuan mulai memper-
(Islam), telah berkembang luas dengan adanya ilmu
kembangkan hermeneutics sebagai salah satu cabang fil-
ushul fiqh (filsafat hukum Islam). Namun bersamaan
safat yang memusatkan perhatian mengenai kegiatan
dengan hal itu, berkembang pula kegiatan penafsiran
penafsiran. Oleh para ahli hukum, hermeneutics itu di-
terhadap al-Quran dan al-Hadits, sehingga membentuk
coba untuk diterapkan di dunia ilmu hukum. Saya sen-
suatu cabang ilmu pengetahuan yang tersendiri, di
diri menyambut baik perkembangan ini dengan harapan
samping ilmu bahasa yang didukung oleh ilmu manti
hendaknya ilmu hukum dapat mengembangkan kreatifi-
(ilmu logika), ma’ani, bayan, dan sebagainya. Ilmu
tasnya dalam bidang metodologi penafsiran. Kegiatan
Tafsir itu terkait erat dengan aktivitas penafsiran
interpretasi atau penafsiran hukum tentu dapat me-
terhadap al-Quran sebagai ilmu penunjang bagi
ngembangkan epistimologinya sendiri untuk tumbuh
kegiatan ilmiah di bidang pe- nafsiran hukum. Bahkan,
sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan hukum yang
terkait dengan hal ini berkem- bang pula ilmu hadits
tersendiri. Di dalamnya, bahkan dapat pula dikem-
yang khusus disertai oleh “ilmu mustholah al-hadits”
bangkan suatu ranting ilmu yang tersendiri, yaitu ilmu
yang mempelajari latar belakang hadits-hadits Nabi
penafsiran konstitusi atau the science of constitutional
Muhammad SAW.
interpretation.
Dalam sejarah, ilmu tafsir itu telah memberikan Dengan berkembangnya ilmu tafsir hukum dan
sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan konstitusi yang tersendiri, para sarjana hukum dapat di-
sistem lengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang

311 312
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dapat diandalkan dalam bidang penafsiran hukum dan


konstitusi. Kegiatan penafsiran hukum dan interpretasi
konstitusi mungkin saja beraneka ragam metode dan
pola kerjanya, tergantung mazhab pemikiran yang men-
jadi paradigma konseptual yang melandasinya atau ka-
sus-kasus konkrit yang dihadapinya. Namun, berbagai
ragam metode penafsiran tersebut akan menyediakan
banyak alternatif yang rasional dan objektif untuk
dipilih dalam memecahkan suatu kasus konkrit yang
dihadapi, sehingga perbedaan penafsiran tidak
didasarkan hanya atas perbedaan kepentingan dari para
penafsir yang ter- libat.
Jikalau di antara satu sarjana hukum dengan
sarjana hukum yang lain berbeda pendapat dalam me-
mahami sesuatu norma hukum, adalah bukan karena
perbedaan kepentingan di antara mereka, melainkan
karena perbedaan mazhab atau aliran pemikiran dan
metodologi penafsiran yang dianut. Oleh karena itu,
tidak perlu lagi adanya adagium yang bersifat men-
cemooh seolah-olah, jika terdapat 2 (dua) orang sarjana
hukum berdebat, maka akan menghasilkan 3 (tiga)
pendapat. Seolah-olah para sarjana hukum itu sendiri
memang tidak memiliki metodologi yang jelas dalam
memahami dan menafsirkan sesuatu peraturan hukum
yang dikaitkan dengan kasus konkrit yang dihadapi.
Oleh karena itulah, maka saya mengusulkan agar
para ahli hukum dan ahli hukum tata negara dapat
menyumbang ide dan gagasan bagi upaya mengembang-
kan cabang ilmu yang tersendiri di bidang penafsiran
hukum dan konstitusi di masa yang akan datang sebagai
salah cabang ilmu yang bersifat penunjang (hulpweten-
shap). Sebagai cabang ilmu penunjang, ilmu penafsiran
hukum itu akan sangat membantu semakin
berkembang- nya ilmu hukum pada umumnya, dan ilmu
hukum tata negara pada khususnya, baik di Indonesia
sendiri mau- pun di dunia ilmu hukum pada umumnya.

313 314
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

BAB VI
guru di bidang ini di tingkat sekolah menengah juga
PRAKTIK HUKUM TATA NEGARA
kurang berhasil membangun daya tarik keilmuan yang
tersendiri, baik karena penguasaan mereka terhadap
masalah yang memang kurang atau karena
ketidakmam- puan ilmu hukum tata negara sendiri
A. Pergeseran Orientasi Politis ke Teknis untuk meyakinkan mengenai daya tarik ilmiah dan
Selama lebih dari 50 tahun sejak Indonesia mer- kebergunaan praktisnya, maka studi hukum tata negara
deka, atau tepatnya dari tahun 1945 sampai tahun 1998 di mana-mana menjadi kurang diminati.
ketika terjadinya reformasi nasional (53 tahun sejak Oleh karena itu, pada bagian terakhir buku ini,
kemerdekaan), bidang ilmu hukum tata negara atau perlu digambarkan secara selintas mengenai dimensi
con- stitutional law agak kurang mendapat pasaran di dan lahan praktik bagi ilmu Hukum Tata Negara itu
kala- ngan mahasiswa di Indonesia. Penyebabnya ialah sebenar- nya. Sebelum menguraikan hal itu, perlu
bahwa selama kurun waktu tersebut, orientasi bidang diketahui pula mengenai perubahan orientasi yang
studi hu- kum tata negara ini sangat dekat dengan terjadi dalam corak keilmuan bidang hukum tata negara
politik, sehing- ga siapa saja yang berminat dalam perkemba- ngannya di Indonesia. Sejak sebelum
menggelutinya sebagai bidang kajian yang rasional, kemerdekaan sam- pai dengan kurun waktu lebih dari
kritis, dan objektif, di- hadapkan pada resiko politik dari 50 tahun sejak kemer- dekaan, bidang kajian hukum
pihak penguasa yang cenderung sangat otoritarian. tata negara telah berkem- bang sedemikian rupa
Selama masa pemerin- tahan Presiden Soekarno dan sehingga menjadi sangat dipe- ngaruhi oleh suasana
Presiden Soeharto, siklus kekuasaan mengalami politik yang melingkari aktivitas keilmuannya. Barulah
stagnasi, sehingga dinamika de- mokrasi tidak dapat setelah masa reformasi, orientasi yang demikian itu
tumbuh dengan sewajarnya yang memungkinkan dapat dikatakan secara perlahan mulai mengalami
berkembangnya pandangan-pandangan kritis mengenai perubahan yang signifikan. Mengapa demi- kian?
persoalan-persoalan politik ketatanega- raan. Seperti sudah diuraikan di atas, Hukum Tata
Akibatnya, menjadi sarjana hukum tata negara Nega- ra dapat pula disebut dengan istilah Hukum
bukanlah cita-cita yang tepat bagi kebanyakan generasi Konstitusi sebagai terjemahan dari istilah
muda. Constitutional Law da- lam bahasa Inggris. Oleh sebab
Resiko kedua adalah bahwa bidang kajian hukum itu, bidang kegiatannya selalu berkaitan dengan
tata negara ini dianggap sebagai lahan yang kering, konstitusi. Namun dalam prak- tiknya selama ini,
tidak begitu jelas lapangan kerja yang dapat dimasuki. bentuk konkrit aktivitas Hukum Tata Negara atau
Itulah sebabnya setelah kurikulum fakultas hukum Hukum Konstitusi itu biasanya selalu ber- hubungan
menyedia- kan program studi hukum ekonomi, rata-rata dengan kegiatan-kegiatan politik di sekitar Majelis
mahasiswa fakultas hukum di seluruh Indonesia Permusyawaratan Rakyat atau di sekitar pem- bentukan
cenderung memilih program studi hukum ekonomi atau undang-undang atau kegiatan legislasi yang dilakukan
hukum perdata umum daripada program studi hukum oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama dengan
tata negara. Di samping kedua resiko tersebut, para Presiden. Hukum Tata Negara pada umumnya
dosen dan guru- membahas persoalan-persoalan akademis yang
berkaitan

315 316
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dengan undang-undang dasar, yang dalam praktiknya


vitas hukum tata negara di bidang peradilan kurang
berhubungan erat dengan fungsi-fungsi legislatif di DPR
mendapat perhatian yang utama.
atau fungsi-fungsi konstitutif di lembaga MPR. Akibat-
Keadaan yang demikian sangat berbeda dari
nya, dunia Hukum Tata Negara itu seolah selalu ber-
bidang Hukum Administrasi Negara yang relatif lebih
hubungan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut-
berkem- bang dinamis sesuai dengan hakikatnya
paut dengan dinamika politik ketatanegaraan.
sebagai bidang hukum yang melihat negara dalam
Teori dan pemikiran akademis di perguruan tinggi
keadaan bergerak (staat in beweging). Di bidang
bermuara hanya kepada akitivitas politik di DPR dan
hukum administrasi, sejak lama telah ada sistem
MPR, dan sangat jarang berhubungan dengan praktik di
peradilan tata usaha negara. Sehingga, lahan untuk
pengadilan. Oleh karena itu, sifat-sifat yang berkembang
praktik bagi para sarjana hukum administrasi negara itu
dalam perkembangan ilmu hukum tata negara menjadi
relatif tersedia. Meskipun, per- kembangan hukum
sangat politis, karena memang selalu berhubungan
administrasi negara itu sendiri se- bagai bidang ilmu
dengan aktivitas di lembaga-lembaga politik. Para sar-
juga tidak menggembirakan dengan adanya pengadilan
jana hukum tata negara (constitutional lawyers) juga
tata usaha negara, tetapi setidak- tidaknya, lahan
kebanyakan dipengaruhi pula oleh cara berpikir politis.
praktik untuk ilmu hukum administrasi negara itu
Norma hukum cenderung dilihat dari kacamata
tersedia dengan baik. Dengan demikian, aspek-aspek
seharus- nya, bukan yang nyatanya mengatur kasus-
teori dan praktik hukum administrasi nega- ra itu dapat
kasus konkrit yang dihadapi. Setiap kali orang membaca
dikembangkan secara bersamaan.
dan me- nafsirkan undang-undang, maka yang muncul Sekarang, setelah masa reformasi, sistem ketata-
di pikiran- nya adalah apa yang seharusnya ada atau apa negaraan yang kita anut berdasarkan Undang-Undang
yang ia inginkan ada dalam undang-undang itu. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah me-
Akibatnya, para sarjana hukum tata negara tak ubahnya ngalami perubahan yang fundamental. Mahkamah Kon-
bagaikan para politisi hukum yang cenderung stitusi telah resmi terbentuk sejak Agustus 2003. 427
mengambil posisi sebagai orang yang memperjuangkan Dengan adanya Mahkamah Konstitusi ini berarti
nilai-nilai hukum daripada berpikir sebagai jurist yang tersedia pula lahan praktik di bidang yudisial bagi
memahami dan mencoba untuk menerapkannya apa bidang Hukum Tata Negara di Indonesia. Saatnya
adanya terhadap kasus kon- krit yang dihadapi. sekarang, para sarjana dan para calon sarjana bidang
Kecenderungan yang demikian itu terjadi, karena
hukum tata negara untuk mengembangkan tradisi
bidang hukum tata negara tidak memiliki lahan praktik
pemikiran baru yang lebih ber- sifat juristik. Dengan
selain di lingkungan lembaga politik. Pokok persoalan
demikian, pengaruh politik dalam kajian Hukum Tata
yang menjadi objek perhatiannya hanya terkait dengan
Negara dapat diimbangi oleh pe- ngaruh cara berpikir
MPR, DPR, (dan sekarang ada pula DPD), fungsi peme-
yang lebih juristik itu.
rintahan pusat dan daerah, Partai Politik dan Pemilihan
Dalam semua wilayah kehidupan kita, baik dalam
Umum, persoalan kewarganegaraan, dan aspek-aspek
ranah negara (state) maupun dalam ranah masyarakat
kegiatan politik ketatanegaraan lainnya. Sedangkan, akti-

427
Pembentukan tersebut setelah disahkannya UU No. 24 Tahun 2003 ten-
tang Mahkamah Konstitusi, yang tepatnya jatuh pada tanggal 13 Agustus
2003.

317 318
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

madani (civil society), dan bahkan dalam dinamika


yang khusus, sehingga mana yang konstitusional dan
pasar (market), dibutuhkan dukungan banyak sarjana
mana yang inkonstitutional tidak dapat ditentukan se-
hukum tata negara yang dapat mengawal aspek-aspek
cara adil, kecuali hanya ditentukan secara sepihak saja
konstitu- sionalitasnya. Mereka itu dapat diharapkan
oleh pemegang kekuasaan pemerintahan. Sekarang, ke-
membantu menjawab bagaimana partai politik dan
empat bidang kegiatan itu dapat diselenggarakan secara
organisasi ke- masyarakatan dapat berperan dalam
simultan dan seimbang.
membangun bu- daya kewarganegaraan yang sadar
Upaya pembentukan hukum konstitusi bersifat
konstitusi, dan bagai- mana di dalam kehidupan
evolving, terus tumbuh dan berkembang. Undang-
internal organisasi-organisasi itu sendiri dapat pula
Undang Dasar 1945 telah mengalami 4 (empat) kali pe-
tumbuh budaya konstitusi seperti Anggaran Dasar
rubahan, dan tetap terbuka untuk terus mengalami
sebagai konstitusi organisasi dapat benar-benar menjadi
peru- bahan lagi di waktu-waktu yang akan datang,
pegangan dalam kegiatan berorga- nisasi. Semua
tergantung kebutuhan dan kemungkinan. Dengan
bidang-bidang ini memerlukan dukungan expertise dari
meminjam istilah yang digunakan oleh K.C. Wheare,
kalangan yang bergelut dengan aspek- aspek hukum
upaya penyempurna- an atas kekurangan-kekurangan
konstitusi dalam arti yang luas.
yang terdapat di dalam UUD 1945 tersebut, juga dapat
Di samping itu, kegiatan hukum tata negara itu
terus dilakukan, baik me- lalui formal amendment,
sendiri dalam arti yang lebih spesifik, dapat pula lebih
constitutional convention, ataupun melalui judicial
berkembang secara seimbang di bidang-bidang (i)
interpretation. Di samping itu, proses pembentukan
pembentukan hukum konstitusi, (ii) penyadaran hukum
undang-undang dan peraturan per- undang-undangan
konstitusi, (iii) penerapan hukum konstitusi, dan (iii)
lainnya menurut prosedur yang di- tentukan oleh UUD
pe- radilan hukum konstitusi. Selama masa Orde Baru
1945 juga terus dilakukan, sehingga dengan demikian,
yang lalu, bidang kegiatan yang diutamakan hanya yang
proses pembentukan hukum konsti- tusi itu terus
ke- dua, yaitu penyadaran hukum konstitusi, yaitu
berkembang dinamis dalam rangka penata- an sistem
melalui kegiatan penataran Pedoman, Penghayatan, dan
ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik di masa yang
Penga- malan Pancasila (P4). Sedangkan kegiatan
akan datang.
pertama, yaitu pembentukan norma-norma hukum
Namun, bersamaan dengan itu, pembentukan
konstitusi, meski- pun terus menerus dilakukan melalui norma hukum itu di atas kertas tentu tidaklah cukup.
pembentukan undang-undang dan peraturan Pembentukan norma hukum di atas kertas itu harus di-
perundang-undangan lainnya, tetapi ide pembentukan lengkapi dengan upaya penyadaran yang luas, sehingga
hukum itu hanya ter- batas kepada undang-undang ke apa yang tertulis akan dipahami dengan persepsi yang
bawah. Sedangkan, ide perubahan terhadap undang- sama oleh semua subjek hukum tata negara yang ada.
undang dasar sama sekali ditabukan. Setiap warga negara perlu disadarkan akan hak dan ke-
Kegiatan penerapan hukum konstitusi juga sangat
wajiban asasinya masing-masing sebagai warga negara,
terbatas, karena semuanya diukur dari kehendak Pre-
yaitu sebagai subjek dalam hukum tata negara
siden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
Indonesia berdasarkan UUD 1945. Bahkan, menurut
negara. Lebih-lebih dalam upaya penegakan hukum
saya, proses pembentukan hukum konstitusi yang baik
kon- stitusi itu sendiri tidak tersedia mekanisme
adalah apabila norma hukum yang tertulis secara
peradilan
tekstual di atas kertas

319 320
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

undang-undang dasar itu sudah menjadi bagian dari


Bahkan, dapat dikatakan, sejak umat manusia ber-
kesadaran umum warga negara tentang norma-norma
kenalan dengan gagasan Mahkamah Konstitusi pada ta-
yang tertuang dalam konstitusi tertulis itu sendiri.
hun 1920-an, luas sekali pengaruhnya terhadap perkem-
Sebaliknya, bagi seorang ahli hukum konstitusi
bangan teori dan praktik dalam hukum tata negara di
yang baik, norma hukum yang terkandung dalam kon-
seluruh dunia. Pelembagaan ide peradilan konstitusi ini
stitusi yang tertulis itu haruslah dibaca sebagai bagian
melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Ketua Mah-
dari persepsi dan kesadaran umum segenap warga ne-
kamah Agung Amerika Serikat, John Marshall, dengan
gara tentang norma hukum yang terkandung dalam
ide pengujian konstitusionalitas undang-undang yang ia
kon- stitusi itu. Oleh karena itu, kegiatan pertama dan
putuskan dalam kasus yang sangat terkenal, yaitu Mar-
kedua haruslah dilihat sebagai dua kegiatan yang
bury versus Madison pada tahun 1803. Fungsi
simultan dalam proses terbentuknya norma hukum
pengujian undang-undang itulah yang biasa disebut
konstitusi. Dengan perkataan lain, hal itulah yang saya
dengan istilah judicial review yang dijadikan
namakan sebagai proses the making of the
kewenangan tambahan bagi Mahkamah Agung Amerika
constitutional law.
Serikat dalam mengawal dan menjaga agar Undang-
Di samping itu, kegiatan penerapan norma hukum Undang Dasar benar-benar ditegakkan (the guardian of
konstitusi itu juga dapat terus dilakukan menurut stan- the constitution).
dar yang jelas dan terukur. Untuk itu, kegiatan penera- Oleh karena itu, peradilan tata negara atau consti-
pan hukum konstitusi terkait pula dengan kegiatan tutional adjudication dapat dilakukan melalui lembaga
pera- dilan hukum konstitusi. Apa tindakan yang dapat Mahkamah Agung atau lembaga tersendiri yang
disebut konstitusional dan apa yang inkonstitusional dinama- kan Mahkamah Konstitusi. Bahkan, dalam
dapat di- ukur secara jelas, dan ditentukan oleh lembaga sistem yang berlaku di Perancis, lembaga serupa ini
indepen- den dan imparsial berupa pengadilan, yaitu disebut sebagai Dewan Konstitusi, bukan Mahkamah
Mahkamah Konstitusi. Konstitusi. Artinya, sifat kerjanya bukan sebagai
Sebenarnya, fungsi peradilan konstitusi itu sendiri pengadilan, dan para ang- gotanya tidak disebut sebagai
tidaklah identik dengan fungsi Mahkamah Konstitusi. hakim seperti dalam sis- tem Austria, Jerman, dan
Peradilan konstitusi atau constitutional adjudication Indonesia.428 Namun, fungsi- fungsi yang dilakukannya
ter- sebut dapat dilakukan juga oleh lembaga peradilan merupakan bentuk-bentuk praktik dari hukum tata
biasa (ordinary court) atau lembaga peradilan yang negara, setidak-tidaknya sebagai fungsi quasi-peradilan
secara khusus diberi nama Mahkamah Konstitusi atau tata negara.
Consti- tutional Court (Verfassungsgerichtshof). Di Dengan adanya perluasan lahan praktik ini,
samping itu, meskipun fungsi peradilan konstitusi hukum tata negara (constitutional law) dapat
(constitutional adjudication) itu tidak identik dengan diharapkan ber- geser ke arah orientasi yang lebih
Mahkamah Kon- stitusi, namun di semua negara praktis dan terhindar dari kecenderungan yang terlalu
kehadiran lembaga Mah- kamah Konstitusi ini berorientasi politik. Setidak-tidaknya, kecenderungan
menyebabkan terjadinya lompatan dalam sejarah studi hukum tata nega- ra yang sangat berorientasi
perkembangan ketatanegaraan di negara- negara yang politik dapat diimbangi oleh
bersangkutan.
428
Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di

321 322
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
Berbagai Negara, Op.Cit.

321 322
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

orientasi yang lebih teknis-yuridis. Dengan demikian,


9) pendidikan dan pembinaan kesadaran hukum masya-
hukum tata negara sebagai cabang ilmu hukum dapat
rakat.
berkembang sesuai dengan kompleksitas penemuan-
penemuan hukum dalam praktik. Semakin kaya penga-
Kesembilan bidang kegiatan tersebut, terutama
laman empiris suatu cabang ilmu pengetahuan, semakin
berkenaan dengan aspek-aspek pelembagaannya (instel-
terbuka luas pula potensinya untuk terus berkembang
lingen), pengaturan (regelendaad), dan pengambilan
dengan teori-teori ilmiah baru.
ke- putusan (besslissing) lainnya, menyediakan lahan
yang sangat luas untuk kegiatan praktik hukum tata
B. Lahan Praktik Hukum Tata Negara
negara. Ketujuh kegiatan itu juga menyangkut tugas-
Sebenarnya, lahan praktik bagi ilmu hukum tata tugas banyak lembaga hukum dan pemerintahan,
negara dapat dikatakan cukup luas, banyak, dan tempat hukum tata negara dipraktikkan, yaitu:
terbuka. Bidang-bidang yang terkait dengan hukum tata a) lembaga parlemen seperti MPR, DPR, DPD, DPRD
negara sangat luas, termasuk hukum administrasi, dan Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di seluruh
men- cakup kegiatan-kegiatan yang sangat luas Indonesia. DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indo-
aspeknya. Ke- giatan-kegiatan kenegaraan dan nesia tercatat berjumlah 440 DPRD;
pemerintahan yang tercakup dalam bidang hukum tata b) lembaga administrasi pemerintahan eksekutif secara
negara dan tata usa- ha negara atau administrasi negara vertikal mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah
itu mencakup kegia- tan-kegiatan: provinsi, dan kabupaten/kota, dan secara horizontal
1) legislasi dan pembentukan peraturan perundang- mulai dari departemen pemerintahan, lembaga pe-
undangan; merintahan non-departemen, dewan-dewan, komisi-
2) administrasi yang berkenaan dengan kegiatan komisi dan badan-badan eksekutif yang bersifat
penge- lolaan informasi dan penyebarluasan inde- penden, semuanya memerlukan dukungan
informasi hu- kum; expertise di bidang hukum tata negara;
3) pendidikan hukum dan pembinaan profesi hukum; c) lembaga-lembaga penegak hukum mulai dari
4) penyelenggaraan hukum atau pelaksanaan dalam Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS),
arti penerapan hukum oleh pelaksana yang Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, dan badan-badan
ditentukan oleh hukum tersebut (the administration peradilan ser- ta quasi-peradilan baik secara vertikal
of law); maupun se- cara horizontal di seluruh Indonesia;429
5) aspek hukum kegiatan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan negara; Semua lembaga-lembaga negara dan badan-badan
6) kegiatan penegakan hukum yang dimulai dari pemerintahan tersebut di atas membutuhkan dukungan
penyidikan dan penuntutan hukum;
7) penyelenggaraan peradilan sampai ke pengambilan
putusan hakim yang bersifat tetap; 429
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan badan-badan peradilan secara ver-
8) pelaksanaan putusan pengadilan dan pemasyaraka- tikal adalah peradilan tingkat pertama, kedua (banding), dan kasasi. Sedang-
tan terpidana; kan, badan peradilan secara horizontal adalah hubungan horziontal antara
pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara.

323 324
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

keahlian dari para sarjana hukum tata negara. Misalnya,


raturan cukup diserahkan kepada staf ahli saja. Dengan
di bidang legislature saja, di tingkat pusat, kita memiliki
demikian, peranan staf ahli yang terdiri atas para ahli
3 (tiga) lembaga, yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat),
hukum sebagai legal dafter menjadi sangat penting, dan
DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan MPR (Majelis
lama kelamaan terbentuk menjadi suatu profesi ter-
Permusyawaratan Rakyat). Anggota ketiga lembaga ini
sendiri yang memang perlu dipersiapkan dalam jumlah
berjumlah lebih dari 750 orang. 430 Sedangkan di tingkat
dan mutu yang memadai.
provinsi terdapat 33 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Di pihak lain, dengan keterlibatan para politisi
(DPRD), dan di tingkat Kabupaten/Kota 440 DPRD.
ang- gota DPR dan DPRD itu dalam urusan-urusan
Jika rata-rata setiap anggota lembaga perwakilan ini,
redak- sional, akan menyebabkan mereka kehabisan
baik di tingkat Kabupaten/Kota dan provinsi di seluruh
waktu. Padahal, para politisi anggota DPR dan DPRD
Indo- nesia berjumlah 30 orang saja, ditambah dengan
tidaklah dipersiapkan untuk maksud menjadi legal
jumlah anggota DPR dan DPD di tingkat pusat, maka
drafter. Sementara itu, lahan praktik bagi para ahli
berarti anggota parlemen kita di seluruh Indonesia
hukum, ter- utama sarjana hukum tata negara menjadi
berjumlah lebih dari 15.000 orang. Idealnya, setiap
tidak ber- kembang, karena justru diambil oleh para
anggota par- lemen lokal maupun nasional didampingi
politisi yang seharusnya memikirkan kebijakan-
oleh sekurang- kurangnya beberapa orang legal advisor
kebijakan yang lebih substantif untuk kepentingan
sebagai staf ahli di bidang hukum tata negara. Jika
rakyat yang diwakilinya. Dengan perkataan lain, di masa
dihitung dengan kebutuhan minimal saja, misalnya,
depan, potensi lahan praktik bagi sarjana hukum tata
satu orang staf ahli, maka jumlah sarjana hukum tata
negara akan terbuka se- makin lebar bersamaan dengan
negara yang dapat di- butuhkan juga sekurang-
kesadaran orang akan peran dan fungsi tenaga ahli atau
kurangnya 15.000 orang.
staf ahli (expertise) di lingkungan lembaga perwakilan
Bahkan, seperti terlihat di berbagai parlemen nega-
rakyat.
ra-negara yang sudah maju, apa yang biasa dikerjakan
Demikian pula fungsi-fungsi hukum di lingkungan
oleh anggota DPR dan DPRD di Indonesia di bidang cabang kekuasaan eksekutif, juga membutuhkan du-
legislasi, cukup dikerjakan oleh staf ahli yang terdiri atas kungan keahlian dari para sarjana hukum tata negara.
para ahli hukum. Misalnya, diskusi dan perumusan Di semua jajaran instansi pemerintahan, selalu
kata- kata redaksional undang-undang dan peraturan dibutuhkan adanya direktorat hukum, biro hukum,
daerah, tidak perlu dikerjakan oleh anggota DPR dan bagian hukum, divisi hukum, ataupun seksi hukum. Di
DPRD. Para politisi cukup memikirkan dan semua unit kerja demikian itu, diperlukan pula banyak
memutuskan hal-hal yang menyangkut prinsip sarjana hukum tata negara dan sarjana hukum
kebijakannya saja. Sedangkan, bagaimana hal itu harus administrasi negara dalam jumlah dan mutu keahlian
dirumuskan dalam redaksi pe- yang memadai dan dapat diandalkan. Belum lagi aparat
430
di lingkungan paradilan tata usaha negara, para
Bandingkan komposisi dan jumlah anggota dari ketiga Lembaga Negara
tersebut sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Sebelum
advokat, dan konsultan hukum juga membutuhkan
amandemen, MPR terdiri dari DPR (500 orang), Utusan Daerah (135 orang banyak sarjana hukum di bidang ini.
yang berasal masing-masing 5 orang dari 27 provinsi), dan Utusan Golongan Para anggota DPR dan DPD di tingkat pusat pun
(65 orang). Sedangkan, setelah amandemen, MPR terdiri dari DPR (550 sebenarnya masing-masing harus pula dilihat sebagai
orang) dan DPD (128 orang, yang berasal masing-masing 4 orang dari 32 institusi-institusi yang tersendiri. Oleh karena itu, setiap
provinsi).
325 326
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

anggota DPR dan DPD itu sudah seharusnya dilengkapi


dan badan pemerintahan selalu membutuhkan
dengan sejumlah staf ahli, di mana salah satu di antara-
direktorat hukum, biro hukum, bagian hukum, divisi
nya harus dipastikan berlatar belakang sarjana hukum
hukum, atau petugas-petugas di bidang hukum.
tata negara. Anggota DPR dan anggota DPD adalah
Meskipun sifatnya sangat relatif, tetapi dapat dikatakan
jabatan resmi kenegaraan. Menurut teori Hans Kelsen,
bahwa yang tepat untuk memimpin pelaksanaan tugas-
dalam masing-masing jabatan negara itu terdapat law
tugas di bidang hukum itu adalah para sarjana hukum
creating function dan law applying function, sehingga
tata negara, bukan bidang hukum yang lain.
dapat disebut secara sendiri-sendiri sebagai organ
Apalagi jika di lingkungan instansi yang bersang-
negara atau state organ (staatsorgan). Oleh sebab itu,
kutan terdapat pula fungsi PPNS atau Pejabat Penyidik
adalah wajar jika setiap organ jabatan itu dipandang
Pegawai Negeri Sipil yang sekarang ini jumlahnya lebih
sebagai suatu institusi yang tersendiri yang tentunya
dari 52 macam yang tersebar di berbagai sektor dan
harus dilengkapi secara memadai dengan sejumlah staf,
instansi pemerintahan. Misalnya, petugas-petugas
per- lengkapan kantor, dan perangkat penunjang lain
pajak, bea cukai, imigrasi, meteorologi, lalu lintas jalan
yang diperlukan.
raya, polisi hutan, hak kekayaan intelektual, pengawas
Di negara maju seperti Amerika Serikat, misalnya,
obat dan makanan, dan lain-lain sebagainya diberi tugas
seorang Senator biasa mempunyai staf antara 25–35
pula di bidang penyidikan. Fungsi penyidikan oleh
orang yang seluruhnya dibayar dan diberi honor dari
petugas- petugas tersebut diciptakan atau diberikan
anggaran negara, meskipun sistem kerjanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
berdasarkan kontrak selama masa jabatan Senator yang
bahkan oleh un- dang-undang yang kadang-kadang
dibantunya itu menduduki jabatannya. Dengan
sangat berorientasi kepada substansi fungsi dari sektor
demikian, tugas dan fungsi seorang anggota lembaga
masing-masing sede- mikian rupa, sehingga agak
perwakilan rakyat dapat efektif dalam menyalurkan dan
mengabaikan aspek hukum- nya. Padahal, sebagai
memperjuangkan ke- pentingan rakyat yang
pejabat penyidik PPNS, fungsinya jelas termasuk ranah
diwakilinya. Dalam kaitan itu, staf ahli di bidang
pro-justisia yang memerlukan keahlian di bidang
hukum, khususnya hukum tata negara merupakan
hukum. Meskipun tidak mutlak, se- harusnya bidang ini
keniscayaan. Oleh karena itu, dapat dikata- kan bahwa
juga ditangani oleh sarjana hukum tata negara,
di masa-masa mendatang, kebutuhan negara kita akan
khususnya para sarjana hukum administrasi negara.
tenaga ahli hukum tata negara ini, sebagai- mana juga Di bidang tugas kejaksaan, keahlian yang diutama-
dialami oleh semua negara-negara maju, akan terus kan adalah di bidang hukum pidana. Namun, keahlian
meningkat seiring dengan tingkat perkembangan di bidang hukum pidana itu adalah menyangkut aspek
kesejahteraan masyarakat dan kematangan sistem de- materiel atau substansi dari fungsi kejaksaan itu, se-
mokrasi yang dikembangkan dalam praktik. dangkan aspek formil atau aspek kerangka dari fungsi
Di bidang administrasi negara di lingkungan
kejaksaan itu tetaplah merupakan bidang hukum tata
lembaga-lembaga negara dan badan-badan pemerinta-
negara. Misalnya, pengkajian mengenai persoalan inde-
han lainnya, juga selalu diperlukan peranan para
pendensi struktural lembaga kejaksaan dan mekanisme
sarjana hukum tata negara dalam arti luas, yaitu
hubungan antara kejaksaan dengan lembaga negara
termasuk sar- jana hukum administrasi negara. Setiap
yang
lembaga negara

327 328
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

lain, seperti kepolisian,431 Komisi Pemberantasan Tindak


ngan orietansi juristik. Dengan adanya lembaga ini,
Pidana Korupsi (KPK),432 Komisi Nasional HAM,433 dan yang pada hakikatnya berfungsi sebagai pengawal
sebagainya, sepenuhnya merupakan aspek-aspek yang demokrasi dan konstitusi, maka sangat dirasakan
berkaitan dengan hukum tata negara, bukan hukum perlunya banyak ahli hukum tata negara di seluruh
pidana. Apalagi di lingkungan kejaksaan juga terdapat tanah air.
fungsi-fungsi yang menangani persoalan perdata dan Sebagai akibat adanya mekanisme peradilan kon-
tata usaha negara yang dipimpin oleh seorang Jaksa stitusi dengan berbagai putusan-putusannya yang ber-
Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. sifat final dan mengikat untuk umum itu, maka tersedia
Oleh karena itu, di lingkungan kejaksaan, dibutuhkan pula bahan-bahan hukum yang timbul dari pengalaman
banyak sarjana hukum tata negara dan hukum admi- praktik yang bersifat empiris dalam bangsa kita. Apalagi
nistrasi negara, di samping para sarjana hukum pidana. oleh Mahkamah Konstitusi, putusan-putusannya itu di-
Namun demikian, di antara semua fungsi dan edarkan secara luas dan dapat pula diakses secara
lembaga-lembaga tersebut di atas, yang paling berpe- mudah melalui internet, sehingga secara mudah dapat
ngaruh terhadap perubahan orientasi ilmu hukum tata dijadikan bahan bagi para mahasiswa dan para peneliti
negara adalah pembentukan lembaga peradilan kon- dalam melakukan pengkajian hukum tata negara. Hal
stitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi. Dengan telah ini dapat mendorong pengkajian yang dilakukan di
terben- tuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, sesudah lainnya tidak lagi terpaku pada teks-teks undang-
reformasi, maka tersedialah lahan praktik beracara di undang dasar dan peraturan perundang-undangan yang
pengadilan bagi ilmu hukum tata negara.434 Bidang berlaku di bidang hukum tata negara, tetapi juga
kajian yang semula hanya bersifat teoritis-politis diperkaya oleh kasus- kasus yang tercermin dalam
berkembang menjadi bidang kajian yang dapat putusan-putusan Mah- kamah Konstitusi.435
dipraktikkan di pengadilan de- Dengan demikian, orientasi pengkajian dapat ber-
kembang menjadi lebih praktis dan dinamis, termasuk
431
Lebih lanjut lihat Indonesia, Undang-undang tentang Kepolisian Republik dengan mempertimbangkan penggunaan metode studi
Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, LN No. 2, TLN No. 4168. kasus atau case study seperti yang dipraktikkan dalam
432
Lebih lanjut lihat Indonesia, Undang-undang tentang Komisi Pembe- sistem pendidikan hukum di negara-negara yang
rantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002, LN No. 137, TLN menga- nut tradisi case-law atau common law. Para
No. 4250.
433 dosen dan mahasiswa dapat menjadikan perkara-
Lebih lanjut lihat Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden
Republik Indonesia tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Keputusan perkara konstitusi yang telah diselesaikan melalui
Presiden Republik Indonesia bertanggal 7 Juli 1993. putusan (vonnis) yang telah berkekuatan hukum tetap
434
Ditinjau dari aspek waktu, Indonesia tercatat sebagai negara ke-78 yang (in kracht van gewijs) oleh Mahkamah Konstitusi
membentuk Mahkamah Konstitusi, sekaligus merupakan negara pertama di sebagai bahan kajian. Demi- kian pula, para peneliti dan
dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini. Pembentukan MK
pakar hukum tata negara dapat berperan aktif
merupakan salah satu wujud gagasan-gagasan hukum kenegaraan yang baru
dan modern dalam upaya memperkuat usaha membangun hubungan-hubu- mengadakan peninjauan hukum atau law review
ngan yang saling mengendalikan antar cabang-cabang kekuasaan negara melalui jurnal-jurnal hukum yang ada,
(checks and balances).
435
Lihat pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan_sidang.php.

329 330
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

sehingga dengan begitu, kegiatan akademis di bidang


C. Praktik Peradilan Tata Negara
hu- kum tata negara di tanah air kita dapat terus
tumbuh dan berkembang secara aktif di masa-masa 1. Peradilan Tata Negara
yang akan da- tang. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dengan
Dengan perkataan lain, dengan adanya Mahkamah terbentuknya Mahkamah Konstitusi, bidang kajian hu-
Konstitusi, hukum tata negara atau constitutional law kum tata negara mendapatkan lahan praktik yang
dapat terus berkembang, baik di dunia teori maupun sangat efektif dan berarti. Jika hukum tata negara
praktik dengan didukung oleh para sarjana hukum tata dilihat secara luas mencakup bidang hukum
negara yang cukup banyak dan bermutu. Kebutuhan administrasi negara, maka sebenarnya lahan praktik
akan banyaknya sarjana hukum tata negara itu tentu peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata
tidak saja dimaksudkan untuk keperluan praktis beraca- negara di Mahkamah Konstitu- si dan peradilan tata
ra di Mahkamah Konstitusi, untuk menjadi calon-calon usaha negara di Mahkamah Agung serta badan-badan
hakim konstitusi, atau pun untuk maksud bekerja di peradilan tata usaha negara yang ada di bawahnya.
Mahkamah Konstitusi. Hakim konstitusi kita hanya Namun, apabila peradilan tata negara itu kita persempit
berjumlah 9 (sembilan) orang, dan jumlah pegawainya maknanya dengan tidak mencakup pera- dilan tata
pun tidak terlalu banyak. usaha negara yang dilembagakan secara ter- sendiri di
Oleh sebab itu, kebutuhan akan banyaknya tenaga dalam lingkungan Mahkamah Agung, maka pe- radilan
ahli yang bermutu itu adalah untuk kepentingan yang tata negara dimaksud dapat kita kaitkan dengan fungsi
lebih luas, yaitu sebagai mitra bagi Mahkamah Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari
Konstitusi dalam menjalankan fungsinya sebagai Mahkamah Agung.
pengawal de- mokrasi dan konstitusi (the Guardian of Oleh sebab itu, peradilan tata negara itu sendiri
democracy and the constitution) ataupun sebagai dapat kita bedakan dalam tiga pengertian, yaitu (i) pe-
penjaga atau pelindung hak konstitusional warganegara radilan tata negara dalam arti yang paling luas di mana
(the Protector of the constitutional rights). Untuk mencakup peradilan tata negara (constitutional adjudi-
mengawal proses demok- ratisasi di tingkat nasional cation) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan
dan dinamika demokrasi lokal di seluruh Indonesia, peradilan tata usaha negara (administrative adjudica-
diperlukan sangat banyak sarjana hukum yang tion) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung serta
menggeluti bidang hukum tata negara dan hukum badan- badan peradilan tata usaha negara; (ii) peradilan
administrasi negara untuk bekerja di biro-biro hukum, tata ne- gara dalam arti yang lebih sempit tetapi masih
bagian-bagian, ataupun divisi-divisi hukum, baik di tetap luas adalah peradilan tata negara (constitutional
sektor formal maupun di sektor informal, baik di sek- adjudica- tion) yang dilakukan oleh Mahkamah
tor negara, di sektor masyarakat madani (civil society), Konstitusi ditam- bah peradilan pengujian peraturan
ataupun di sektor dunia usaha (market). perundang-undangan dibawah undang-undang yang
dilakukan oleh Mahka- mah Agung menurut Pasal
24A ayat (1) UUD 1945.436

436
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ini berbunyi, “Mahkamah Agung ber-
wenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-unda-

331 332
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Pengujian peraturan perundang-undangan itu juga ter-


hukum pidana, akan tetapi hal-hal yang berkenaan
masuk lingkup peradilan tata negara dalam arti luas;
dengan aspek kelembagaan dan fungsi-fungsi kekuasaan
(iii) peradilan tata negara dalam arti yang paling sempit,
yang terkait di dalamnya adalah persoalan hukum tata
ya- itu peradilan yang dilakukan di dan oleh Mahkamah
negara. Bahkan, hukum acara pidana dan demikian pula
Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan
hukum acara perdata, pada hakikatnya berkaitan
Pasal 7B khususnya ayat (4) UUD 1945.437
dengan aspek administrasi dari hukum pidana dan
Dalam rangka peradilan tata negara dalam penger-
hukum per- data itu sendiri. Oleh karena itu, terdapat
tian yang kedua, maka proses pengujian peraturan per-
daerah kelabu yang menghubungkan antara disiplin
undang-undangan di bawah undang-undang terhadap
ilmu hukum tata negara, khususnya hukum tata usaha
undang-undang dapat dikategorikan sebagai bentuk pe-
negara atau hukum administrasi negara, dengan hukum
radilan tata negara juga. Demikian pula dalam penger-
acara pidana dan hukum acara perdata.
tian yang pertama, peradilan tata usaha negara juga ter-
Dengan perkataan lain, lahan praktik bagi ilmu
masuk ke dalam pengertian peradilan tata negara. De-
hukum tata negara itu terbuka sangat lebar yang terkait
ngan demikian, peradilan tata negara itu tidak hanya
dengan kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga peradi-
berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Artinya, proses
lan pada umumnya. Hanya saja, dalam pengertiannya
peradilan tata usaha negara, proses pengujian peraturan
yang lebih khusus dan spesifik, lahan praktik yang khas
perundang-undangan, dan proses peradilan di Mahka-
terkait dengan bidang kajian hukum tata negara (con-
mah Konstitusi sama-sama merupakan lahan praktik
stitutional law) dalam arti yang sempit adalah peradilan
bagi kajian ilmu hukum tata negara. Bahkan, keseluru-
yang dilakukan di dan oleh Mahkamah Konstitusi seba-
han bangunan struktural dan fungsional kelembagaan
gai lembaga pengadilan konstitusi. Dalam UUD 1945
peradilan di dalam lingkungan Mahkamah Agung serta
dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
aparatur penegakan hukum sebagai keseluruhan, juga
Konstitusi, kewenangan mengadili yang dikaitkan
termasuk objek kajian hukum tata negara sebagai ilmu.
dengan mah- kamah ini ada 5 (lima), yaitu (i) perkara
Misalnya, mekanisme hubungan antara kepolisian pengujian kon- stitusionalitas undang-undang, (ii)
sebagai lembaga penyidik dengan kejaksaan sebagai perkara sengketa ke- wenangan konstitusional lembaga
lembaga penuntut atau mekanisme hubungan antara negara, (iii) perkara perselisihan atas hasil pemilihan
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, juga termasuk umum, (iv) perkara pembubaran partai politik, dan (v)
ke dalam lingkup kajian hukum tata negara. Substansi perkara dakwa-an pemberhentian atau pemakzulan
pe- nyidikan dan penuntutan memang merupakan Presiden dan/atau Wa- kil Presiden.438
persoalan

ngan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai


wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
437
Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 ini berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib
memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap penda-
pat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari 438
Mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi lihat dalam Pasal 24C
setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah UUD 1945 dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kon-
Konstitusi”. stitusi.

333 334
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

2. Pengujian Konstitutionalitas Undang-Undang


gaimana mestinya, maka berarti undang-undang yang
Pihak yang berhak mengajukan permohonan pe-
bersangkutan telah mencerminkan kehendak politik
ngujian undang-undang adalah (i) perorangan atau ke-
mayoritas rakyat yang diwakili oleh DPR dan aspirasi
lompok warga negara, (ii) kesatuan masyarakat hukum
rakyat pemilih Presiden yang mendapatkan dukungan
adat yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan
mayoritas suara rakyat melalui pemilihan umum.
dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang
Namun demikian, suara mayoritas rakyat yang
diatur dalam undang-undang, (iii) badan hukum privaat
tercermin dalam undang-undang tidaklah identik
atau badan hukum publik, atau (iv) lembaga negara.439
dengan suara seluruh rakyat yang tercermin dalam
Syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut UU No. 24
undang-undang dasar. Sua- ra mayoritas rakyat tidak
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bah-
selalu identik dengan suara keadilan dan kebenaran
wa keempat subjek hukum tersebut dapat membuktikan
konstitusi.
dirinya mempunyai hak atau kewenangan konstitusional
Oleh sebab itu, jika undang-undang bertentangan
yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
dengan undang-undang dasar, maka undang-undang itu
atau ketentuan undang-undang yang bersangkutan, se-
baik sebagian materinya atau seluruhnya dapat dinyata-
hingga ia memohon agar undang-undang atau bagian
kan tidak mengikat untuk umum, meskipun yang me-
dari ketentuan undang-undang dimaksud dinyatakan
nyatakannya hanya terdiri atas 5 dari 9 orang hakim pa-
tidak mengikat untuk umum.440 da Mahkamah Konstitusi. Dengan cara demikian, mela-
Undang-undang merupakan produk demokrasi lui proses peradilan tata negara yang fair, independen,
atau produk kehendak orang banyak. Jika undang-un- imparsial, dan terbuka, Mahkamah Konstitusi dapat
dang telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan menjalankan fungsinya sebagai pengimbang atau pe-
Presiden, lalu kemudian disahkan oleh Presiden seba- nyeimbang (countervailing power) dan sekaligus me-
ngawal dinamika proses demokrasi berdasarkan konsti-
439
Terhadap legal standing Pemohon berserta syarat permohonannya, lihat
tusi (the guardian of the constitutional democracy).
dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Melalui peradilan konstitusi ini ditegaskan pula bahwa
Pasal 3 s/d Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 undang-undang dasar sebagai de hoogste wet, the sup-
tentang
440
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang. reme law, dapat benar-benar ditegakkan dalam praktik
Berdasarkan jurisprudensi Mahkamah Konstitusi, kerugian konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 penyelenggaraan negara.441
(lima) syarat, yaitu (1) adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945, (ii) bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh 3. Sengketa Kewenangan Konstitusional
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji, (iii) bahwa Lembaga Negara
kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
Kewenangan konstitusional lembaga negara
dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, (iv) adanya hubungan sebab akibat adalah kewenangan-kewenangan yang ditentukan oleh
(causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang atau da-
dimo- honkan untuk diuji, dan (v) adanya kemungkinan bahwa dengan
dikabulkan- nya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi. 441
Untuk lebih memahami tentang Pengujian Konstitusionalitas Undang-
undang ini, lihat dan pelajari buku saya yang berjudul Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia (2005) dan Hukum Acara Pengujian Undang-
undang (2005).

335 336
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

lam undang-undang dasar berkenaan dengan subjek- apakah bersumber dari undang-undang dasar, dari un-
subjek kelembaga-an negara yang diatur dalam UUD
1945. Apabila dipandang dari sudut kewenangan atau-
pun fungsi-fungsi kekuasaan yang diatur dalam UUD
1945, akan nampak jelas bahwa organ-organ yang me-
nyandang fungsi dan kewenangan konstitusional di-
maksud sangat beraneka ragam. State institutions atau
staatsorgan dapat dibedakan dari organisasi civil
society atau badan-badan usaha dan badan hukum
lainnya yang bersifat perdata. Organ yang bergerak di
lapangan civil society biasa disebut organisasi non-
pemerintah (Or- nop), lembaga swadaya masyarakat
(LSM), atau organi- sasi kemasyarakatan (Ormas).
Sedangkan, badan-badan usaha swasta dan koperasi
merupakan organisasi yang bergerak di lapangan dunia
usaha atau market.
Oleh karena itu, institusi, organ, atau organisasi
lain yang berada di luar kategori organisasi civil society
dan organisasi yang bergerak di lingkungan dunia usaha
tersebut, dapat kita sebut sebagai organ negara dalam
arti yang luas. Artinya, pengertian lembaga negara itu
tidak seperti yang dipahami secara keliru oleh banyak
sarjana hukum selama ini, sangat luas cakupan makna-
nya. Lembaga negara itu tidak hanya terkait dengan
fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif seperti
yang pada umumnya dipahami selama ini. Institusi apa
saja yang dibentuk oleh negara, dibiayai oleh negara,
dikelola oleh negara, atau dibentuk karena kebutuhan
negara sebagai pemagang otoritas publik dapat
dikaitkan dengan pengertian organ negara atau lembaga
negara dalam arti luas.
Hal yang membedakan organ atau lembaga-lem-
baga negara dalam pengertian yang luas tersebut satu
sama lainnya, hanyalah kategori fungsinya apabila di-
kaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara atau
kategori sumber legalitas kewenangan yang dimilikinya

337 338
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I
dang-undang, atau dari ketentuan peraturan yang Negara Pasca Reformasi (2006).
lebih rendah kedudukannya daripada undang-undang.
Jika kewenangannya bersumber dari undang-undang
dasar, berarti lembaga negara tersebut mempunyai
kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam
atau oleh undang- undang dasar.442 Lembaga negara
dalam kategori yang terakhir inilah yang terkait
dengan kewenangan Mah- kamah Konstitusi untuk
mengadilinya apabila dalam pelaksanaan kewenangan
konstitusional lembaga negara yang bersangkutan
timbul persengketaan dengan lemba- ga negara yang
lain. Inilah yang dimaksud dengan seng- keta
kewenangan konstitusional lembaga negara yang
termasuk lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi un-
tuk mengadilinya.

4. Pembubaran Partai Politik


Partai politik (parpol) dan pemilihan umum (pe-
milu) merupakan pilar atau tiang utama demokrasi.
Rumah dan bangunan demokrasi akan runtuh apabila
partai politik dan pemilu tidak sehat dan kuat. Partai
politik (parpol) juga merupakan cermin kemerdekaan
berserikat (freedom of association) dan berkumpul
(free- dom of assembly) sebagai perwujudan adanya
kemer- dekaan berpikir dan berpendapat (freedom of
thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of
expression). Oleh karena itu, kemerdekaan berserikat
dalam bentuk partai politik sangat dilindungi oleh
setiap undang- undang dasar negara demokrasi
konstitusional (consti-

442
Untuk memahami lebih lanjut mengenai konsepsi terhadap “Lembaga
Negara”, pelajari juga buku saya yang berjudul Sengketa Kewenangan An-
tarlembaga Negara (2005) dan Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga

337 338
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

tutional democracy) atau negara hukum yang demok-


pemilihan umum, dan kualitas hasilnya tergantung pula
ratis (democratische rechtsstaat).443
pada kualitas proses penyelenggaraan pemilihan umum
Oleh karena itu, maka partai politik tidak boleh
itu sendiri. Oleh sebab itu, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945
dibubarkan secara semena-mena oleh penguasa.
menentukan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara
Seorang penguasa yang menduduki jabatan karena
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
peranan par- tai politik tidak boleh diberi peluang untuk
lima tahun sekali”. Jika sebelum asas pemilihan umum
membubar- kan partai politik lain yang merupakan
hanya ditentukan harus langsung, umum, bebas, dan ra-
lawan politiknya. Sebab, jika hal demikian terjadi, maka
hasia (luber), maka sekarang ditambah dengan dua asas
kemerdekaan ber- serikat dapat terganggu oleh watak
lagi, yaitu jujur dan adil.
kekuasaan para penguasa yang cenderung tidak
Jika dalam penyelenggaraan penghitungan suara
menghendaki adanya persaingan politik yang sehat. Jika
hasil pemilihan umum itu timbul perselisihan pendapat
ditemukan kenyataan adanya partai politik yang secara
di antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu,
objektif memang meng- haruskan tindakan pembubaran
maka perselisihan semacam itu apabila tidak dapat lagi
dari luar partai politik itu sendiri, maka pembubaran
diatasi melalui upaya-upaya yang bersifat administratif,
semacam itu hanya dapat dilakukan melalui suatu
akan diselesaikan melalui perkara di Mahkamah Konsti-
proses peradilan konstitusional yang bersifat objektif,
tusi.444 Mahkamah Konstitusi harus menyediakan jalan
independen, imparsial, dan ter- buka.
konstitusi atau mekanisme hukum untuk menyelesaikan
Oleh karena sifat peradilan atas perkara semacam
perselisihan mengenai hasil pemilu itu, sehingga per-
ini terkait erat dengan persoalan konstitusionalitas, ma-
selisihan itu tidak berkembang menjadi konflik politik
ka UUD 1945 menentukannya sebagai kewenangan
atau apalagi berubah menjadi konflik sosial.445
Mah- kamah Konstitusi, bukan kewenangan Mahkamah
Pada pokoknya, perkara perselisihan hasil pemilu
Agung. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi benar-
itu merupakan perkara perselisihan antar dua pihak, ya-
benar difungsikan untuk maksud mengawal agar UUD
itu pihak peserta pemilu versus pihak penyelenggara pe-
1945 benar-benar dilaksanakan dan ditegakkan sebagai-
milu, yaitu Komisi Pemilihan Umum. Peserta pemilu
mana mestinya. Artinya, UUD 1945 itu tidak dibiarkan
untuk pemilu calon anggota DPR (Dewan Perwakilan
hanya berada di atas kertas, melainkan sungguh-
Rakyat) dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
sungguh diterapkan dalam kenyataan praktik.
adalah partai politik yang bersangkutan, sedangkan pe-
5. Perselisihan Hasil Pemilu serta pemilu untuk pemilu calon anggota DPD (Dewan
Hasil pemilihan umum merupakan hasil dari suatu
kompetisi politik antar peserta pemilihan umum. Kua- 444
Lihat Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi:
litas demokrasi sangat tergantung kepada kualitas hasil Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,
2005.
445
443
Mengenai tata cara dan proses persidangan dalam perkara perselisihan
Lihat Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, lihat dalam Pedoman Mahkamah
Politik, dan Mahkamah Konstitusi, cetakan ke-2, Sekretariat Jenderal dan Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perseli-
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. sihan Hasil Pemilihan Umum.

339 340
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Perwakilan Daerah) adalah perorangan yang telah me-


atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hu-
menuhi kualifikasi persyaratan. Sementara itu, peserta
kum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
pemilu untuk pemilu Presiden adalah pasangan calon
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
Presiden dan calon Wakil Presiden yang bersangkutan.
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau
Komisi Pemilihan Umum sebagai institusi
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Pre-
penyelenggara pemilihan umum dipandang sebagai satu
siden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat DPR tersebut,
kesatuan insti- tusi penyelenggara pemilu. Artinya,
menurut ayat (2) pasal ini, adalah dalam rangka
KPUD di daerah dianggap hanya sebagai bagian dari
pelaksa- naan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan
KPU tingkat pusat. Demikian pula partai politik sebagai
Rakyat.
peserta pemilu dipandang sebagai satu kesatuan
Menurut Pasal 7B ayat (3), pengajuan permintaan
institusi badan hukum. Oleh karena itu, Pengurus
DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan duku-
Wilayah Partai Politik yang bersangkutan tidak dapat
ngan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR
tampil tersendiri di luar kesatuan unit kelembagaannya
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
dengan kepengurusan di tingkat pusat.
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Se-
lanjutnya, Pasal 7B ayat (4) menentukan:
6. Pemakzulan Presiden dan/atau
Wakil Presiden “Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili,
Kewenangan lain yang dimiliki oleh Mahkamah dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat
Konstitusi adalah peradilan atas tuntutan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sem-
pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan/ atau bilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan
Wakil Presiden. Menurut ketentuan Pasal 7A UUD 1945 Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi”.
yaitu:
Kemudian, menurut ayat (5)-nya, apabila MK
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan memutus bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden ter-
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan bukti bersalah dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyeleng-
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, garakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pem-
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
berhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. MPR.

Dalam hal demikian, maka menurut Pasal 7B ayat 7. Kebutuhan akan Sarjana Hukum Tata Negara
(1) UUD 1945, usul pemberhentian Presiden dan/atau Dalam keseluruhan aspek peradilan di kelima bi-
Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dang perkara tersebut di atas, cukup banyak pihak yang
hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan terlibat dan harus dilibatkan. Memang jumlah hakim
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, konstitusi hanyalah sembilan orang. Akan tetapi, di
menga- dili, dan memutus pendapat DPR bahwa samping para hakim, juga dibutuhkan pula banyak te-
Presiden dan/

341 342
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

naga ahli yang bersifat pendukung. Lagi pula, karena


pribadi orang perorang seperti dalam peradilan biasa,
periodesasi masa kerja hakim konstitusi bersifat ter-
melainkan kepentingan umum (public interest) dan ke-
batas, yaitu lima tahunan, maka terbuka peluang untuk
pentingan ketatanegaraan berdasarkan Undang-Undang
terjadinya pergantian hakim pada setiap lima tahun
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 447 Oleh
sekali.446 Artinya, perlu dipersiapkan calon-calon hakim
karena itu, diperlukan pengertian mengenai constitutio-
konstitusi yang mumpuni dari waktu ke waktu sesuai
nal lawyers yang tersendiri, di samping para advokat
dengan perkembangan negara dan masalah-masalah ke-
pada umumnya. Untuk itu diperlukan program-program
tatanegaraan yang timbul dalam praktik.
pendidikan dan sertifikasi advokat konstitusi yang ter-
Dalam penyelesaian perkara konstitusi di Mah-
sendiri pula.
kamah Konstitusi, banyak pihak yang terlibat. Misalnya,
Di samping itu, para saksi, para ahli, para pejabat
yang dapat terlibat atau dilibatkan adalah (i) advokat,
pemerintah, anggota DPR, anggota DPD, dan lembaga-
(ii) para ahli hukum tata negara, (iii) para ahli dari
lembaga negara lainnya, banyak yang terlibat dalam
semua bidang keilmuan, baik ilmu hukum maupun ilmu
pro- ses pemeriksaan sesuatu perkara konstitusi di
yang berkenaan dengan substansi kebijakan yang diatur
Mahka- mah Konstitusi. Masih banyak orang yang
oleh suatu undang-undang yang bersangkutan, (iv) para
belum me- ngerti dengan tepat mengenai seluk-beluk
saksi fakta, (v) para politisi wakil rakyat atau calon wakil
berperakara di Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu,
rak- yat, (vi) para pejabat pemerintah pusat dan pejabat
diperlukan ba- nyak tenaga ahli di seluruh Indonesia
pemerintah daerah, (vii) para anggota DPR, (viii) para
mengenai seluk beluk Mahkamah Konstitusi dan teknik-
anggota DPD, (ix) para pejabat tinggi negara atau ang-
teknik beracara di Mahkamah Konstitusi.448
gota lembaga tinggi negara, (x) biro-biro dan divisi-
Selain itu, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
divisi hukum badan-badan hukum publik dan privat,
Mahkamah Konstitusi itu dapat disebut sebagai lembaga
(xi) ka- langan perguruan tinggi, khususnya fakultas-
pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, pelindung hak
fakultas hu- kum dan pusat-pusat kajian konstitusi di
asasi manusia, dan bahkan sebagai lembaga pengawal
seluruh Indo- nesia, (xii) kalangan tokoh-tokoh aktivist
serta pengimbang demokrasi. Untuk menjalankan
lembaga swa- daya masyarakat di bidang hukum dan
fungsi formalnya itu secara kelembagaan diperlukan
hak asasi manu- sia, (xiii) dan lain sebagainya. Sebagai
pula duku- ngan jaringan ekspertise oleh tokoh-tokoh
contoh, para advo- kat yang bekerja di bidang litigasi
ilmuwan dan aktivist di lapangan. Demokrasi dan
seringkali menghadapi persoalan dalam beracara di
proses demokrati- sasi tidaklah sekaligus jadi. Proses
Mahkamah Konstitusi, kare- na sifat acaranya yang
pertumbuhan dan kemajuannya perlu dibina secara
sama sekali berbeda dengan pe- ngadilan biasa.
tahap demi tahap, baik
Kepentingan yang dipertaruhkan dalam persi-
dangan di Mahkamah Konstitusi bukanlah kepentingan
447
Perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam perkara
pengujian undang-undang, tidaklah bersifat contentious yang berkenaan
446
Sesuai dengan Pasal 22 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain,
Konstitusi, masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat akan tetapi menyangkut kepentingan kolektif semua orang dalam kehidupan
dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. bersama
448
sebagai bangsa.
Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005).

343 344
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Oleh karena


bergerak tanpa dukungan hukum, dan hukum yang di-
itu, Mahkamah Konstitusi juga membangun jaringan
perlukan untuk itu adalah hukum tata negara. Demokrasi
kerjasama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta di
hanya dapat tumbuh apabila didukung oleh para
seluruh tanah air sebagai jaringan amicus curiae atau
demok- rat, dan seseorang tidak mungkin menjadi
friends of the court dalam arti luas.
demokrat jika tidak memahami dengan tepat beraneka
Mahkamah Konstitusi mengontrol dan mengim-
sistem aturan bernegara berdasarkan hukum dan
bangi peranan demokrasi dan mendorong proses
konstitusi yang men- jadi bidang keahlian para sarjana
demok- ratisasi di tingkat nasional dan lokal di seluruh
hukum tata negara.
Indonesia melalui peranan constitutional expertises
Oleh sebab itu, banyak sekali sarjana hukum tata
yang diharap- kan tumbuh dan berkembang dari
negara yang dibutuhkan oleh suatu bangsa dan negara
kalangan perguruan tinggi di seluruh tanah air.
yang sedang bergerak ke arah demokrasi. Negara kita
Misalnya, setiap anggota par- lemen pusat dan lokal di
telah memilih jalan demokrasi dan konstitusi untuk
seluruh Indonesia pada saatnya haruslah dapat
terus berkembang di masa depan. Oleh karena itu, tidak
didampingi oleh legal advisor dari kalangan sarjana
ada jalan lain bagi para sarjana hukum Indonesia untuk
hukum tata negara. Seperti sudah di- ungkapkan pada
se- cara intensif mempersiapkan diri dengan beraneka
bagian sebelumnya , jumlah anggota DPRD kita di
keah- lian di bidang hukum tata negara. Itulah
seluruh tanah air tercatat lebih dari 15.000-an orang.
sebabnya, ma- hasiswa Indonesia yang tercerahkan
Jumlah kabupaten/kota di seluruh In- donesia ada 440.
pikirannya akan berusaha mempelajari dan mendalami
Hanya 2 (dua) daerah di antaranya yang belum
bidang kajian hukum tata negara di samping bidang-
terbentuk DPRD yang tersendiri. Artinya, jumlah DPRD
bidang hukum yang lain atau bidang-bidang kajian ilmu
di seluruh Indonesia dewasa ini tercatat 438 buah yang
pengetahuan lain pada umumnya.
terdiri atas 352 DPRD Kabupaten dan 86 DPRD Kota. Pendek kata, di semua instansi dan institusi, diper-
Sedangkan DPRD Provinsi berjumlah 33 buah, sehingga lukan sarjana hukum tata negara yang mahir dan dapat
seluruh DPRD tercatat 461 buah dengan jumlah anggota diandalkan keahliannya dalam upaya penataan kelem-
berkisar antara 25 orang sampai dengan bagaan negara. Lebih-lebih di masa pancaroba sekarang
45 orang. Semuanya membutuhkan legal advisor di
ini, di mana negara kita sedang memerlukan penataan
bidang hukum tata negara.
di segala bidang, terutama di bidang kelembagaan
Demikian pula di lingkungan birokrasi pemerin-
berne- gara. Sekarang dan di masa datang, sangat
tahan di semua instansi, baik pusat maupun daerah,
banyak sar- jana hukum tata negara yang diperlukan
terutama yang bekerja di bidang, bagian, biro, atau
oleh negara kita. Demikian pula jika dikaitkan dengan
divisi hukum, juga membutuhkan banyak tenaga ahli
kebutuhan untuk memperkuat sektor civil society atau
bidang hukum tata negara. Para aktivist lembaga
masyarakat madani, kebutuhan akan keahlian di bidang
swadaya ma- syarakat, para pejabat negara di lembaga-
ini sangat luas, banyak, dan beragam. Para pekerja hak
lembaga inde- penden dan lembaga-lembaga negara di
asasi manu- sia, para aktivis pembaruan hukum, para
luar peme- rintahan semuanya memerlukan dukungan
pejuang de- mokrasi, semuanya memerlukan keahlian di
legal exper- tise di bidang hukum tata negara. Bahkan
bidang hukum tata negara. Demokrasi tidak dapat
dapat di- katakan bahwa pada pokoknya, demokrasi
tumbuh tan- pa disertai dan dikawal oleh keahlian di
tidak dapat
bidang hukum,

345 346
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

dan bidang hukum yang dimaksud adalah hukum tata


negara.
Oleh karena itu, melalui buku ini, saya ingin me-
ngajak kalangan generasi muda, khususnya para maha-
siswa hukum untuk tidak ragu-ragu memilih bidang
hukum tata negara. Indonesia di masa kini dan apalagi
di masa depan sangat membutuhkan peranan sarjana
hu- kum tata negara untuk menata kehidupan
kenegaraan kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Tentu saja, untuk jangka pendek sekarang, karena
kebutuhannya sangat luas, banyak, dan sangat
mendesak, sementara jumlah sarjana hukum tata
negara yang ada terbilang sangat sedikit jumlah,
persaingan yang ada belumlah ketat benar. Namun, di
masa depan, bidang hukum tata negara ini cenderung
berkembang semakin populer dan banyak diminati.
Oleh sebab itu, yang diperlukan oleh negara kita di masa
depan, di samping jumlahnya yang banyak juga
mutunya yang harus tinggi. Untuk itu, hen- daklah para
mahasiswa berlomba-lomba menjadi sarjana hukum
tata negara yang keahliannya dapat diandalkan dalam
arena persaingan yang makin ketat di masa depan.

347 348
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

DAFTAR PUSTAKA . Perkembangan dan Konsolidasi


Lem- baga Negara Pasca Reformasi. Jakarta:
Sekreta- riat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI,
2006.
Buku-Buku: . Sengketa Kewenangan
Antarlembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
. Teori & Aliran Penafsiran Hukum
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi Muhammad SAW: Tata Negara. cet. I. Jakarta: Ind Hill Co., 1997.
Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Du- Attamimi, Hamid S. Peranan Keputusan Presiden
nia. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara:
Alder, John and Peter English. Constitutional and Suatu Studi Ananlisis mengenai Keputusan
Admi- nistrative Law. London: Macmillan, 1989. Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam
Alen, A. Handboek van het Belgisch Staatsrecht. Kurun Waktu Pelita IV, disertasi, Fakultas Hukum
Antwerpen: Kluwer Rechtswettenschappen, 1995. Universitas Indonesia, 1990.
Allen, Michael and Brian Thompson. Cases and Mate- Atmadja, Arifin Soeria. Mekanisme Pertanggungjawa-
rials on Constitutional and Admnistrative Law. 7th ban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis.
edition. London-New York: Oxford University Jakarta: Gramedia, 1986.
Press, 2003. Azhary, Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang
Appadorai, A. The Substance of Politics, Oxford Univer- Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum
sity Press. Oxford India Paperbacks, 2005. Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Madinah dan Masa Kini. cet. Kedua. Jakarta:
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Ja- Kencana, 2004.
karta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994. Bahar, Saefroedin dkk. (Ed.). Risalah Sidang BPUPKI-
. Hukum Acara Pengujian Undang- PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indo-
undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepani- nesia, 1992.
teraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005. Barents. De Wetenshap der Politiek, een terreinverken-
. Hukum Tata Negara dan Pilar- ning, derde durk, (Gravenhage: A.A.M. Stols’s,
Pilar Demokrasi. cet. Kedua. Jakarta: Konstitusi 1952).
Press, 2005. Basu, Durga Das. Introduction to the Constitution of
. Kemerdekaan Berserikat, Pembubar- India. 18th edition. Nagpur: Wadhwa & Company,
an Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. 2000.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Bellefroid, J.H. Inleiding tot de rechtswetenschap in
Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Nederland. Utrecht: Dekker & van de Vegt. N.V.
. Konstitusi dan Konstitusionalisme Nijmegen, 1948.
Indonesia. Jakarta: Konpress, 2005. Benedek, Wolfgang and Minna Nikolova (eds.). Under-
. Pergumulan Peran Pemerintah dan standing Human Rights: Manual on Human
Parlemen dalam Sejarah. Jakarta: UI-Press, 1996. Rights Education. European Training and
Research
349 350
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Center for Human Rights and Democarcy (ETC),


dan Pelaksanaan. Bandung: Citra Aditya Bakti,
Graz. Austria, 2003.
2003.
Bennis, Warren G. The Coming Death of Bureaucracy.
Dekker, I Nyoman. Hukum Tata Negara Republik Indo-
Think, 1966.
nesia, Suatu Pengantar. Malang: IKIP Malang,
Berki, R.N. The History of Political Thought: A Short
1993.
Introduction. London: Everyman’s University Lib-
Dicey, A.V. An Introduction to Study of the Law of the
rary, 1988.
Constitution. 10th edition. London: English
Bocken, H. and W. De Bondt (eds.). Introduction to Bel-
Langu- age Book Society and Macmillan, 1968.
gian Law. Brussel:Bruylant, 2001.
Diponolo, G.S. Ilmu Negara. Jakarta: Balai Pustaka,
Bogdanor, Vernon (ed.) Blackwell’s Encyclopaedia of
1975.
Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.
Djokosoetono. Ilmu Negara. Himpunan oleh Harun
Bradley, A.W. and K.D. Ewing. Constitutional and
Alrasid. Jakarta: Ind Hill Co., 2006.
Admi- nistrative Law. 13th edition. Pearson . Hukum Tata Negara. Himpunan oleh
Education Ltd., 2003. Harun Alrasid. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. vol. 1. Duguit, Leon. L’Etat, Le Droit Objectif et la Loi Positive,
Oxford: Clarendon Press, 1901. 1901.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Erliyana, Anna. Keputusan Presiden: Analisis Keppres
Gramedia Pustaka Utama, 1992. RI 1987-1998. Jakarta: Fakultas Hukum Univer-
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, sitas Indonesia, 2004.
1990. Farida, Maria. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Da-
Bushroh, Abu Daud dan Abu Bakar Busroh, Azas-Azas sar dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998.
Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki
1991. oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia. Ja-
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur:
karta: RajaGrafindo Persada, 2005.
International Law Book Services, 1994.
Feith, Herbert and Lance Castles (eds.). Indonesian
Chemerinsky, Erwin. Constitutional Law: Principles
Political thinking 1945 – 1965. Ithaca and London:
and Policies. New York: Aspen Law & Business,
Cornell University Press, 1970.
1997.
Finer, S.E., Vernon Bogdanor, and Bernard Rudden.
Cracknell, D.G. Cracknell’s Statutes: Constitutional and
Comparing Constitutions London: Oxford Univer-
Administrative Law. 3rd edition. London: Old
sity Press, 1995.
Bailey Press, 2003.
Flynn, N. and S. Leach. Joint Boards and Joint Commit-
Dahlan, Zaini dkk. Filsafat Hukum Islam. Jakarta:
tees: An Evaluation. University of Birmingham:
Bumi Aksara, 1992.
Institute of Local Government Studies, 1984.
Dahl, Robert A. Preface to Democratic Theory, 1956.
Friedrich, C.J. Man and His Government. New York:
Darumurti, Krishna D. Dan Umbu Rauta.
McGraw-Hill, 1963.
Otonomi
Daerah: Perkembangan Pemikiran, Pengaturan

351 352
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Garner, Bryan A. (ed.). Black’s Law Dictionary. Eight


Hoft, Ph. Visser’t. Penemuan Hukum. diterjemahkan
Edition. St. Paul: West Group, 2004.
oleh B. Arief Sidharta. Bandung: Laboratorium
Glyn, W.B. The Meaning of the Separation of Powers.
Hukum FH Univ. Parahiayangan, 2001.
1965.
Iver, Mac. Negara Modern. Jakarta: Aksara Baru, 1988.
Goldsworthy, David J. (Ed.). Development and Social
Jellinek, George. Verfassungsanderung und
Change in Asia: Introductory Essays. Radio Aus-
Verfassung-
tralia-Monach Development Studies Centre, 1991.
swandlung, Eine staatsrechtlich politische
Gough, Ian. The Political Economy of the Welfare State.
Afhandlung. Berlin: Verslag von O. Haring, 1906.
London and Basingstoke: The Macmillan Press,
Jennings, Sir Ivor. The Law and The Constitution. fifth
1979.
edition. London: Hodder and Stoughton, 1979.
Griffith. The Politics of the Judiciary, 1985.
Jhaveri, Satyavati S. The Presidency in Indonesia,
GTZ. Pegangan Memahami Desentralisasi: Beberapa
Dilem- mas of Democracy. Disertasi. Bombay:
Pengertian Tentang Desentralisasi. terjemahan
Populer Prakashan Private Limited, 1975.
Decentralization: A Sampling of Definitions. cet.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Kaidah-Kaidah Yuris-
Kesatu. Yogyakarta: Pembaharuan, 2004.
prudensi. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Hadjon, Phillipus M. Dkk. Pengantar Hukum Adminis- Kartasapoetra, R.G. Sistematika Hukum Tata Negara.
trasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Administrative Law). cet. ke-9. Yogyakarta: Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New
Gadjah Mada University Press, 2005. York: Russel and Russel, 1961.
Hailsham, Lord. The Dilemma of Democracy, 1978. Khadduri, Majid. War and Peace in the Law of Islam.
Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum. Cet. I. Yogya- Baltimore: The John Hopkins Press, 1955.
karta: UII Press 2005. Koesoemaatmadja, Djenal Hoesen. Pokok-Pokok
Hanson, A.H. and M. Walles. Governing Britain. 4th Hukum Tata Usaha Negara. Bandung: Alumni,
edition. Fontana, 1985. 1979.
Hardani, Muhammad. Konstitusi-Konstitusi Modern.
Kranenburg. Het Nederlandsch Staatsrecht, eeerste deel
Surabaya: Pustaka Eureka, 2003. zesde durk. Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon,
Harlow, C. and R. Rawlings. Law and Administration. 1947.
2nd edition. London: Butterworths, 1997. Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara.
Hart, H.L.A. The Concept of Law. 2nd edition, edisi revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
1994. Harun, Nasrul. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos, Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar
1996. Hukum Tata Negara Indonesia. Cet-kelima.
Hitti, Philips K. Capital Cities of Arab Islam. Jakar- ta: Pusat Studi Hukum Tata Negara,
Minnesota: University of Minnesota Press, 1973. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983.
Hodges, Donald C. The Bureaucratization of Socialism. Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar
The University of Massachussetts Press, 1981. 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Hogan, James. Election and Representation, Cork Universitas Indonesia, 2004.
University Press.

353 354
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Latief, Abdul. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan


MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960
(Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah. Yogya-
sampai dengan Tahun 2002. Jakarta: Sekretariat
karta: UII-Press, 2005.
Jenderal MPR, 2003.
Leca, J. and M. Grawitz (eds.). Traite de Science
. Laporan Komisi Konstitusi. Jakarta:
Politique. Paris: PUF, 1985.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2003.
Leibholz , G. Politics and Law. A.W. Leiden: Sythoff,
Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-Undangan
1965.
Indonesia. Jakarta: Ind-Hill Co., 1992.
Leyland, Peter and Terry Woods. Textbook on Adminis-
, Perkembangan UUD 1945, FH-UII Press,
trative Law. 4th edition. New Delhi: Oxford
Yogyakarta, 2004.
Univer- sity Press, 2003.
, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
Linscott, Robert N. (eds.). Man and the state: The Poli-
Suatu Negara, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995.
tical Philosophers. Modern library, Random
Marshall, Geoffrey. Constitutional Conventions, 1984.
House, 1953.
Martin, Elizabeth A. (ed.). Oxford Dictionary of Law.
Logemann, J.H.A. Over de Theorie van Eeen Stellig
Fifth Edition. Oxford University Press, 2o03.
Staatsrecht (1948). Jakarta: Ichtiar Baru-Van Mast, A., J.Djuardin, M.van Damme and J. Vande
Hoeve, 1975. Lanotte, Overzicht van het Belgisch Administra-
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Yurisprudensi tiefsrecht. Antwerpen: Kluwer-Rechtswetens-
dalam Perspektif Pembangunan Hukum Adminis- chappen, 1999.
trasi Negara. Jakarta: MA-RI, 1995. Maurer, H. Allgemeines Verwaltungsrecht. 13th edition.
Mahfud M.D., Moh. Perkembangan Politik Hukum Munich: Beck, 2000.
(Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi Politik Ter- McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient
hadap Produk Hukum di Indonesia), Disertasi, and Modern. Ithaca, New York: Cornell University
Pasca Sarjana, UGM-Yogyakarta, 1993. Press, 1966.
Mahmassani, Subhi Rajab. Konsep Dasar Hak-Hak Meny, Yves and Andrew Knapp. Government and
Asasi Manusia: Studi Perbandingan dalam Sya- Politics in Western Europe: Britain, France, Italy,
riat Islam dan Perundang-Undangan Modern. Germany. 3rd edition. Ofxord University Press,
terjemahan Hasanuddin dari Arkan al-Huquq al- 1998.
Insan. cet. Kesatu. Jakarta: Tintamas, 1993. Mitchell, J.D.B. Constitutional Law. second edition.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 1968.
Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun Michels, Robert. Partai Politik: Kecenderungan Oligar-
1960 sampai dengan 2002. Jakarta: Sekretariat kis dalam Birokrasi. Jakarta: Penerbit Rajawali,
Jenderal MPR-RI, 2002. 1984.
. Himpunan Ketetapan MPRS dan Molan, Michael T. Textbook Constitutional and
Ketetapan MPR-RI Berdasarkan Ketetapan MPR- Adminis- trative Law: The Machinery of
RI No. I/MPR/Tahun 2003 Tentang Peninjauan
Government. 4th edition. London: Old Bailey Press,
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
2003.

355 356
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Montesquieu, C.L. The Spirit of Laws. Hafner. 2nd


Rhodes, R. Beyond Westminster and Whitehall: The
edition. 1949.
Sub-Central Government of Britain. London:
Munro, C.R. Studies in Constitutional Law. 2nd edition.
Allen & Unwin, 1988.
1999.
Sabon, Max Boli. Fungsi Ganda Konstitusi. Bandung:
Munro, W.B. The Government of the United States. 4th PT Graviti, 1991.
edition, 1936. Saleh, Ismail. Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum. Ja-
Muslimin, Amrah. Beberapa Azas-Azas dan karta: Departemen Kehakiman Republik
Pengertian- Pengertian Pokok Tentang Indonesia, 1988.
Administrasi dan Hu- kum Administrasi. Schmitt, Carl. Verfassungslehre. Duncker & Humbolt,
Bandung: Alumni, 1980. 1957.
Nicholson, R.A. A Literacy History of the Arabs. New Schwartz, Bernard. American Constitutional Law. New
York: Cambridge University Press, 1969. York: Cambridge University Press, 1955.
Oliver, Dawn Constitutional Reform in the UK. Oxford Seerden, Rene dan Frits Stroink (eds.). Administrative
University Press, 2003. Law of the European Union, Its Member States
Oppenheims bundel J. Nederlandsch Administratief- and the United States. Groningen: Intersentia
recht, 1921. Uitgevers Antwerpen, 2002.
Osborne, David and Peter Plastrik. Banishing Bureau- Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah
cracy: The Five Strategies for Reinventing Konstitusi RI. Jakarta: Konstitusi Press, 2004.
Government. A Plume Book, 1997. Siong, Gouw Giok. Hukum Perdata Internasional
Osborne, David and Ted Gaebler. Reinventing Govern- Indonesia. jilid 2 (Bagian I). Jakarta: Kinta, 1962.
ment. William Bridges and Associaties, Addison , Warga Negara dan Orang Asing. cet. ke-2.
Wesley Longman, 1992. Jakarta: Kengpo, 1960.
Phillips, O. Hood Paul Jackson, and Patricia Leopold. Sitorus, L.M. Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapa-
Constitutional and Administrative Law. 8th edi- ngan. cet. ke-3. Jakarta: PT. Pembangunan, 1958.
tion. London: Sweet and Maxwell, 2001. Soedarsono. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal
Poesponoto, Soebakti. Asas dan Susunan Hukum Adat. Demokrasi : Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. 2004 oleh Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekre-
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Tata Negara tariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kon-
di Indonesia. cet. Keenam. Jakarta: Dian Rakyat, stitusi RI, 2005.
1989. Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1998.
Pudjosewojo, Kusumadi. Pedoman Pelajaran Tata Hu- Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum.
kum Indonesia. cet. ke-10. Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta: UI-Press, 1986.
2004. . Sosiologi: Suatu Pengantar.
Purbopranoto, Kontjoro. Beberapa Catatan Hukum Tata Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975.
Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Nega-
ra. Bandung: Alumni, 1978.

357 358
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka. Sendi-


Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti. Aspek-Aspek
Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Bandung:
Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indo-
Citra Aditya Bakti, 1993.
nesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Soemantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara
Suwandi. Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi,
Indonesia. Bandung: Alumni, 1992.
Konstitusi Demokrasi Modern. Djakarta:
. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD
Pembangunan, 1957. Thaib, Dahlan dkk. Teori
1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam
Konstitusi dan Hukum Konstitusi. Cet. Kelima.
Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Hara-
Jakarta: RajaGrafindo
pan, 1993. Persada, 2005.
. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi.
Tholosano, Authore D. Petro Gregorio. De Republica
Bandung: Alumni, 1987.
Libri Sex et Viginti. Lugduni, 1609.
. Sistem Dua Partai. Jakarta: Bina Tjipta,
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and
1968.
Admi- nistrative Law. edisi ke-3. London:
Soemantri, Sri dkk. Ketatanegaraan Indonesia Dalam
Blackstone Press Ltd., 1997.
Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali
Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-Asas dan Pe-
ke Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pustaka
ngantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Sinar Harapan, 1993.
Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Soemodiredjo, Soegondo. Sistem Pemilihan Umum.
Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakar-
Jakarta : Nasional, 1952.
ta: Ichtisar.
Strong, C.F. Modern Political Constitutions: An Intro-
Van der Pot, C.W. Nederlandsche Staatsrecht, 1950.
duction to the Comparative Study of Their
Vile, M.J.C. Constitutionalism and the Separation of
History and Existing Forms. London: Sidgwick &
Powers. 1967.
Jackson, 1973.
Vollenhoven, Christian van. H.D. Tjeenk Willink & Zoon.
Stoker, Gerry. The Politics of Local Government. 2nd
Haarlem: Martinus Nyhoof & Gravenhage, 1934.
edition. London: The Macmillan Press, 1991.
Vyshinsky, Andrei Y. The Law of Soviet State.
Struyeken A.A.H. Het staatsrecht won het Komisikrijk
Translated from the Russian by Rugh W. Babb.
der Nederlanden, 1915.
New York: The Macmillan Company, 1961.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-
Wade and Philips, G. Godfrey. Constitutional Law: An
Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan Ten-
Outline of The Law and Practice of The Constitu-
tang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
tion, Including Central and Local Government,
Majemuk. Jakarta: UI-Press, 1995.
The Citizen and The State and Administrative
Suny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta:
Law. Seventh edition. London: Longmans, 1965.
Aksara Baru, 1986.
Wahjono, Padmo. Ilmu Negara. Jakarta: Indo Hill Co.,
. Sistem Pemilihan Umum yang Menjamin
1999.
Hak-hak Demokrasi Warga Negara. Dihimpun
Werner, Fritz. Deutsches Verwaltungsblatt, 1959.
oleh Harmaily Ibrahim, 1970.
Whitecross, Paton George. Textbook of Jurisprudence.
Oxford: The Clarendon Press, 1951.

359 360
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Wilberforce, Lord. Report by the Committee of


Munro, C.R. “Laws and Conventions Distinguished”, 91
Privileges on the Petition of the Irish Peers, 1966.
Law Q Review, 218, 1975.
Winterton, George. The Executive and the Governor
Phillips, O. Hood Constitutional Conventions: Dicey’s
General, 1983.
Predecessors, 29, M.L.R, 1966.
Wolhoff, G.J. Pengantar Hukum Tata Negara
Samford, C. and D. Wood, “Codification of Constitutional
Republik Indonesia. Jakarta: Timun Mas, 1960.
Conventions in Australia”, 1978, P.L. 231.
Woodbine, George E. (ed.). Glanvill De Legibus et
Tomkins, A. 2001, PL. 571.
Consuetudinibus Angiluae. New Haven, 1932.
Vegting, W.G. Plaats en aard van het Adminiatra-
Yamin, Muhamad. Naskah Persiapan Undang-Undang
tiefsrecht, pidato inagurasi, Amsterdam, 1946.
Dasar 1945. djilid I. Djakarta: Prapantja, 1959.
Vinogradoff, Sir Paul. “Outlines of Historical Juris-
. Proklamasi dan Konstitusi
prudence”, Vol. II, The Jurisprudence of the Greek
Republik Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1959.
City, S. Sedley, dalam Richardson and Genn (eds),
. Masalah Ketatanegaraan
Administrative Law and Government Action, ch 2,
Indonesia Dewasa ini. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1994, 110 LQR 270.
1984.
Kasus-Kasus:
Makalah dan Artikel:
Central Control Board vs Cannon Brewery Co., 1919, AC
744, 752.
Asshiddiqie, Jimly. The Role of Constitutional Court in
Cf. R vs Kansal, No. 2, 2002, 1 All
Guaranteeing Access to Justice in a New Transi-
ER. Chester vs Bateson, 1920, 1 KB
tional State, Keynote Address at “the Conference
829. Maclaine-Watson vs DoT ,
of Comparing Access to Justice in Asian and
1988.
European Transitional Countries”, Bogor,
Marbury vs Madison (1803) 5-US, 1 Cranch, 137.
Indonesia, 27-28 June 2005.
McGonnell vs United Kingdom (2000), 30 E.H.R.R.
, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Nega-
241. Pepper vs Freemans plc, 1989, AC 66.
ra Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan,
Raleigh vs Goschen, 1893, 1 Ch.73.
pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas
R. vs Environment Secretary, ex p Spath Holme Ltd,
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
2001, 2 AC 349, 388.
Casgrove, R.A. The Rule of Law, Albert Venn Dicey,
R. vs Foreign Secretary, ex Bancoult, 2001, QB 1067.
Victorian Jurist, 1981.
R. vs Lambert, 2001, 3 All ER.
Hunt of Tanworth, Lord. “Access to A Previous Govern-
R. vs Lord Chancellor, ex p Witham, 1998, QB 575.
ment’s Papers”, P.L. 1982.
R. vs H.M. Treasury, ex p. Smedley, 1985, Q.B. 657, 666.
Keith, K.J. “The Courts and the Conventions of the
R. vs Home Industry, ex Phansopkar, 1976, QB
Constitution”, 1967, 16 I.C.L.Q. 542.
606. R .vs Home Secretary, ex p Pierson, 1998, AC
MacCormick, N. Questioning Sovereignty, 1993, 56
539.
MLR 1.
R. vs Home Secretary, ex p Simms, 2000, 2 AC 115.

361 362
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Perundang-undangan:
, Undang-undang Tentang Mahkamah Konsti-
Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
tusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun
, Undang-Undang Dasar Negara Republik
2003, TLN Nomor 4316.
Indo- nesia Tahun 1945.
, Undang-undang Tentang Otonomi Khusus
, Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Indonesia.
Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, UU No. 18
, Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia,
Tahun 2001, LN No. 114 Tahun 2001, TLN 4143.
UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999,
, Undang-undang Tentang Otonomi Khusus
TLN No. 3886.
Bagi Provinsi Papua, UU No. 21 Tahun 2001, LN
, Undang-undang Tentang Kekuasaan Keha-
No. 135 Tahun 2001, TLN No. 4151.
kiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN No. 8 Tahun
, Undang-undang Tentang Partai Politik, UU
2004, TLN No. 4358.
Nomor 31 Tahun 2002, LN Nomor 138 Tahun
, Undang-undang Tentang Kepailitan dan Pe-
2002, TLN Nomor 4251.
nundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No.
, Undang-undang Tentang Pembentukan
37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No.
Peratu- ran Perundang-undangan, UU No. 10
4443.
Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No.
, Undang-undang Tentang Kepolisian Republik
4389.
Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, LN No. 2 Tahun
, Undang-undang Tentang Pemerintahan
2002, TLN No. 4168.
Daerah, UU No. 22 Tahun 1999, LN No. 60 Tahun
, Undang-undang Tentang Ketentuan-Keten-
1999, TLN No. 3839.
tuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14
, Undang-undang Tentang Pemerintahan Dae-
Tahun 1970, LN No. 74 Tahun 1970, TLN No.
rah, UU Nomor 32 Tahun 2004, LN Nomor 125
2951.
Tahun 2004, TLN Nomor 4437.
, Undang-undang Tentang Kewarganegaraan
, Undang-undang Tentang Pemilihan Umum
Republik Indonesia, UU Nomor 62 Tahun 1958,
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Per-
LN No. 113 Tahun 1958, TLN No. 1647.
wakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
, Undang-undang Tentang Komisi Pemberanta-
Daerah, UU No. 12 Tahun 2003, LN. No. 37 Tahun
san Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun
2003, TLN No. 4277.
2002, LN No. 137, TLN No. 4250.
, Undang-undang Tentang Pemilihan Umum
, Undang-undang Tentang Komisi Yudisial, UU
Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 23 Tahun
No. 22 Tahun 2004, LN No. 89 Tahun 2004, TLN
2003, LN No.93 Tahun 2003, TLN No. 4311.
No. 4415.
, Undang-undang Tentang Penetapan
, Undang-Undang Tentang Mahkamah Agung,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
UU No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985,
Undang Nomor 1 Tahun 2005 Tentang
TLN No. 3316.
Penangguhan Mulai Ber- lakunya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Menjadi Undang-Undang, UU No. 2

363 364
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Tahun 2005, LN No. 73 Tahun 2005, TLN No.


, Undang-undang Tentang Perubahan Atas
4523.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang
, Undang-undang Tentang Pengadilan Anak,
Pokok-Pokok Kepegawaian, UU No. 43 Tahun
UU No. 3 Tahun 1997, LN No. 3 Tahun 1997, TLN
1999, LN No. 169 Tahun 1999, TLN No. 3890.
3668.
, Undang-undang Tentang Pokok-Pokok
, Undang-undang Tentang Pengadilan Pajak,
Kepega- waian, UU No. 8 Tahun 1974, LN No.
UU No. 14 Tahun 2002, LN No. 27 Tahun 2002, 55 Tahun 1974, TLN No. 3041.
TLN No. 4189. , Undang-undang Tentang Susunan dan
, Undang-undang Tentang Penyelesaian Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Tahun 2004, LN No. 6 Tahun 2004, TLN No. Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
4356. UU No. 22 Tahun 2003, LN No. 92 Tahun 2003,
, Undang-Undang Tentang Peradilan Tata TLN Nomor 4310.
Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986. LN No. 77 , Undang-undang Tentang Tindak Pidana
Tahun 1986, TLN No. 3344. Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 140
, Undang-undang Tentang Peradilan Umum, Tahun 1999, TLN No. 140.
UU No. 2 Tahun 1986, LN No. 20 Tahun 1986, , Undang-undang Tentang Yayasan, UU No. 16
TLN No. Tahun 2002, LN Tahun 2002 No. 112, TLN No.
3327. 4132.
, Undang-undang Tentang Perjanjian Inter- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Peraturan
nasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No. 185 Mahkamah Konstitusi Tentang Kode Etik dan
Tahun 2000, TLN No. 4012. Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi, Pera-
, Undang-undang Tentang Pernyataan Tidak turan Mahkamah Konstitusi No. 02/PMK/2003
Berlakunya Undang-undang No. 2 Tahun 1958 bertanggal 24 September 2003.
Tentang Persetujuan Perjanjian Antara Republik , Peraturan Mahkamah Konstitusi Tentang
Indonesia dan RRT Mengenai Soal Dwikewarga- Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
negaraan, UU Nomor 4 Tahun 1969. Pemilihan Umum, Peraturan Mahkamah
, Undang-undang Tentang Perikanan, UU No. Konstitusi No. 04/PMK/2004 bertanggal 4 Maret
31 Tahun 2004, LN No. 118 Tahun 2004, TLN 2004.
No. , Peraturan Mahkamah Konstitusi Tentang
4433. Pem- berlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku
, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Hakim Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang No. 07/PMK/2005 bertanggal 18 Oktober 2005.
Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 2004, LN No. , Putusan Tentang Pengujian Undang-undang
9 Tahun 2004, TLN No. 4359. Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
, Undang-undang Tentang Perubahan Pasal 18 Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU Nomor
3 Tahun 1976, LN 20, TLN 3077.
365 366
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-


, Keputusan Presiden Republik Indonesia
073/PUU-II/2004 bertanggal 22 Maret 2005.
Tentang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
, Putusan Tentang Pengujian Undang-undang
Mahkamah Konstitusi, Keputusan Presiden
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan ter-
Nomor 51 Tahun 2004 bertanggal 22 Juni 2004.
hadap Undang-Undang Dasar, Putusan Mahka-
, Peraturan Pemerintah Tentang Larangan
mah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005
Pegawai Negeri Menjadi Anggota Partai
bertanggal 7 Juli 2005.
Politik, Peraturan Presiden Republik Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Ketetapan
Nomor 37 Tahun 2004 bertanggal 16 Oktober
Tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sum-
2004.
ber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indone- sia, Ketetapan No. XX/MPRS/1966
Internet:
bertanggal 5 Juli 1965.
, Ketetapan Tentang Pembentukan Komisi
http://www.courses.unt.edu/chandler/SLIS5647/slides/
Konstitusi, Ketetapan No. I/MPR/2002 bertanggal
cs402adminiReg/sld008.html.
11 Agustus Tahun 2002.
http://www. ivr2003.net/Peczenik_Argumentation.htm.
, Ketetapan Tentang Peninjauan Produk-Produk
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan_sidang.
yang Berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis Per-
php.
musyawaratan Rakyat Sementara Republik
http://www.minagric.gr/en/agropol/OECD-EN-310804.
Indo- nesia, Ketetapan No. V/MPR/1973
html.
bertanggal 22 Maret 1973.
http://www.mpr.go.id/index.php?section-ketetapan.
, Ketetapan MPR Tentang Sumber Hukum dan
http://www.oecd.org/statportal/0,2639,en_2825_29356
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,
4_1_1_1_1_1,00.html.
Ketetapan No. III/MPR/2000 bertanggal 18
http://www.hold/datacenter/dms/default.asp.
Agustus, 2000.
Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden
Republik Indonesia Tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2003 bertanggal 7 Juli
1993.
, Keputusan Presiden Tentang Penetapan Uni-
versitas Pendidikan Indonesia Sebagai Badan
Hukum Milik Negara, Keputusan Presiden Repub-
lik Indonesia Nomor 6 Tahun 2004 bertanggal 30
Januari 2004.

367 368
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

DAFTAR INDEKS C D

C.R. Munro, Dekrit, 3, 169, 170, 171


A Article, 71, 274, 277, 249 Calvinis, Dewan Eksekutif, 68
278, 279, 298 111, 112 Dicey, 30, 160, 161, 164,
A.G. Pringgodigdo, 265 Auguste Comte, 121 Carl Schmitt, 16, 126, 236, 237, 243, 263,
A.V. Dicey, 29, 30, Australia, 144, 176, 240, 127, 128, 129, 130, 352, 361, 362
160, 161, 177, 237, 252, 353, 362 133, 134, 147 Djokosoetono, 18, 37,
243, 263, 271 Austria, 43, 67, 322, 351 Carl Scmitt, 133 49, 120, 121, 352
A.W. Bradley and K.D. bahasa Latin, 89, 94, Carrington, 189 DPR-GR, 173, 223, 224,
Ewing, 33, 54, 71, 103, 119 Charles Howard 367
190 McIlwain, 89, 90, 94, DPR-RI, 180, 241, 260
A.W. Bradley dan K.D. B 101, 102 Dworkin, 286, 302, 303,
Ewing, 32, 72, 79, Charles I, 305
182, 187 Baldwin, 253 184 Christian
Abubakar, 110 Beauma-noir, 92 van E
al-ahkam, 154 Belanda, 16, 20, 21, 22, Vollenhoven, 24, 25,
Albert Venn, 160, 236, 23, 46, 50, 114, 119, 37, 55 E.A. Freeman, 243
237, 243, 361 137, 138, 166, 176, Cicero, 93, 100, 101, 102, ekonomi, 6, 14, 23,
Alder, 71, 78, 155, 156, 205, 226, 262 103, 104 45,
163, 165, 166, 179, 349 Bernard Schwartz, 146, Cina, 275, 277, 278, 301 47, 69, 213, 275, 277,
Alexander Peezenick, 233, 267 civic behavioral 281, 287, 295, 315
309 besslissing, 324 realities, 35 England, 30, 160, 184,
al-Hadits, 153, 311 BHMN, 114 Clarke, 14, 15 185, 186, 254, 286
Ali ibn Abi Thalib, 110 Bill of Rights, 148, 161, collective minds, 35, 36, Entick, 189
al-Quran, 109, 153, 154, 185, 187 167 Executive, 71, 72, 74, 75,
311 common law, 24, 100, 179, 240, 361
158, 162, 176, 188,
al-Sunnah, 153, 154 body politic, 13 239, 242, 246, 249,
F
Amir Sjarifudin, 229, BPK, 204 251, 330
258 Bracton, 92 constitutie, 21, 44, 119,
antropologi, 45, 240 132, 136, 138, 148, Federal, 19, 51, 74, 75,
Brian Jones, 81, 82
APBN, 180, 181, 208, 147, 310
Brian Thompson, 19, 70, 166, 169, 200
260 Ferdinand Lassalle, 123,
113, 115, 161, 247, 349 constitutio, 44, 76, 89,
127
Arief Sidharta, 274, 275, Bryce, 118, 351 90, 91, 92, 93, 94, 119,
308, 354 filosof, 90, 95, 98, 100,
BUMD, 114 135, 160, 161, 169,
102, 103
Aristoteles, 90, 95, 96, BUMN, 114 237, 246, 263, 271
97, 98, 99, 100, 101 Cromwell, 140

369 370
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

filsafat, 100, 154, 157,


Herman Heller, 19, 123, Inggris, 115, 140 Justifikasi, 288, 303
308, 311, 312
138 inhoud, 37, 38, 39
formeele, 37
Hermann Heller, 16, Islam, 106, 107, 109, 110, K
124, 125, 138 112, 113, 153, 154, 311,
G Hindia Belanda, 22 312, 350, 351, 353, K.C. Wheare, 145,
Hoft, 275, 280, 291, 293, 354, 355, 360 238, 243, 254, 256,
G. Marshall, 252 297, 354 Ismail Suny, 126, 145, 273, 320
G.S. Diponolo, 150, Hukum Dagang., 63 234, 238, 241, 256, Kanada, 176, 251, 252
241 Gadamer, 308 Hukum Eropa, 69 264, 266, 267, 268 Karl Loewenstein, 135
Georg Jellineck, 42 Hukum Gereja, 90 Italia, 17, 22, 119, 274 Katharine, 81, 82
George Jellinek, 266 Hukum Internasional, ius constituendum, 5 Kemal Ataturk, 113
Gereja, 183 46, 65, 66, 68, 159, ius constitutum, 5 Kerajaan Inggris, 112,
gerundgestz, 21 166, 182, 230 Ivo D. Duchacek, 155, 263, 264, 265
Gijsbert Karel Hukum Pajak, 85 116 Khalifatu al-Rasyidin,
van Hukum Perdata, 52, 63, 110
Hogendorp, 22, 120 358 J KNIP, 228, 241, 257, 265
Glanvill, 91, 92, 361 Hukum Tata Usaha, Konstitusi Weimar, 133
Gregoire, 92 42, 53, 58, 85, 354 J.H.A. Logemann, 26, KPI, 174
Gregory Leyh, 308 human creation, 13 37, 60, 70 KPK, 204, 329
Human Rights, 71, 186, James II, 185 KPPU, 174, 204
H 187, 190, 350 James VII, 185 KPU, 174, 204, 226, 341
Jerman, 16, 17, 21, 46, KPUD, 341
H.L.A. Hart, 32, 199 I 51, 69, 114, 119, 133, Kranenburg, van
Hamid S. Attamimi, ijma, 153 137, 138, 166, 176, der Pot, 63
201, ijtihad, 153 310, 322 Kristen, 112
221 ilmu fiqh, 155, 157, 311 Jerzy Wroblewski, 304 K-TUN, 87
Hans Kelsen, 12, 19, 62, Ilmu Hukum, 7, 15, 27, John Alder, 53, 54, 71,
121, 122, 129, 130, 152, 36, 39, 41, 42, 44, 46, 76, 77, 155, 156, 157, L
163, 200, 201, 202, 75, 157, 181, 308, 359 162, 163, 165, 166,
327 Ilmu Politik, 14, 17, 44, 167, 177 L.J. van Apeldoorn, 21
Harlow, 83, 84, 353 351 Judicial Precedent, 188 legal fiction theory,
Harmaily Ibrahim, 9, 16, ilmu sosial, 14, 45, 46 Judiciary, 71, 72, 76, 353 20 Leon Duguit, 121,
33, 34, 54, 55, 74, 111, Ilmu Sosial, 44, 46 juridis, 20, 27, 123, 124, 122 lex, 91, 102
141, 211, 257, 268, Ilmu” Hukum 139, 152 Literlijk, 290
354, 359 Tata jurisprudence, 176, 290, llmu Negara, 50
Harun Alrasid, 16, 49, Negara, 47 304
120, 352 Independence, 71 jurist, 4, 5, 48, 317

371 372
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

Lord Bingham, 191


Michael Allen, 19, 70, P Pierre Gregoire Tholosano,
Lord Nicholls, 191
161, 247 92
Lord Wilberforce, 187 Pitlo, 285, 291, 292,
Michael J. Allen, 70 Padmo Wahyono, 126,
LSM, 337
Michael T. Molan, 135, 201 300, 301
30, Pahlawan Ampera, 213 Plato, 95, 97, 98
M 31, 71,
Moh. 237
Kusnardi, 9, 16, Pancasila, 130, 151, 197, PMK, 174, 204, 226,
33, 34, 37, 54, 55, 74, 198, 201, 202, 319 335, 340, 366
M.G. Clarke, 14 111, 135, 141, 211, 257, Paton George Politea, 91
Mac Iver, 27 268 Whitecross, 29, 156 politeia, 89, 93, 94, 95
MacCormick, 200, 304, Montgomery Watt, 107 Patricia Leopold, 11, 31, PPNS, 324, 328
361 Muhajirin, 108 71, 199, 239, 242, 244, Prof. Dr. Djokosoetono,
Madinah, 106, 107, 108, Mukminin, 108 246, 254, 357 16, 18
109, 350 Muslimin, 58, 108, 357 Patrick Gordon Walker, Prof. Dr. Jahnel Ilmar,
Magna Charta, 92, 161, 261 67, 68
183, 184 N Paul Jackson, 11, 31, 71, PTUN, 87
Mahfud M.D, 146, 355 199, 239, 242, 244,
Mahkamah Agung, 87, Nabi Muhammad SAW, 246, 254 Q
118, 119, 174, 177, 181, 311 Paul Scholten, 25, 26
204, 215, 222, 224, Nasional Assembly, 298 penyelidikan hukum, 59 qiyas, 154, 155
225, 226, 251, 252, Nicholson, 107 Perancis, 15, 17, 20, 21, Quraisy, 108
322, 332, 333, 339, normwissenschaft, 47 30, 53, 92, 119, 121,
355, 363, 365 135, 138, 141, 166, 176, R
Mahkamah Konstitusi, O 277, 301, 322
174, 215, 310, 318, Peraturan Pemerintah Raja Dyonisius II,
321, 322, 329, 330, O. Hood Phillips, 11, (PP), 215, 219, 224 98 Raja Edward, 183
331, 332, 333, 334, 31, 71, 72, 199, 239, PERMA, 174, 204, 226 Rawlings, 83, 84, 353
335, 336, 338, 339, 243, 244, 254 Peter Leyland, 83, 84 Recht, 19, 34, 37, 48, 51,
340, 342, 343, 344, obsolete., 8 Phillips, 11, 29, 32, 72, 53
345, 349, 358, 366, Oppenheim, 25, 51, 53, 107, 115, 199, 239, regelendaad, 208, 324
367, 368 55, 56 242, 244, 245, 246, Rengers Hora Siccama,
Majid Khadduri, 107 Orde Baru, 180, 218, 247, 250, 251, 357, 48, 49
materieele, 37 221, 223, 260, 319 362 Romawi, 90, 93, 100,
Maurice Duverger, 30 ordinary law, 27, 28, Piagam Madinah, 106, 101, 102, 103, 104, 105
Maurice Hauriou, 150 118 107, 108, 109, 111, 112, RUU, 114, 284, 285
Meinhard Schroder, 51 359
Mekkah, 106, 108

373 374
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

S Sudikno, 285, 291, 292, Utrecht, 157, 230, 232, Visser’t Hoft, 275, 278,
300, 301 280, 281, 282, 290, 282, 291, 294, 297,
Sabien Lust, 80 Summers, 304 292, 293, 294, 297, 299
Scholten, 25, 26, 281, Sutandyo, 290, 304 350, 360 vorm, 37, 39, 126, 128
294 Syahrir, 229, 258 Utsman ibn Affan, 110
Scotland, 185, 186, 187 syari’at, 154 W
Sir Ivor Jennings, 243, V
245, 252, 264 T W.L. Newman, 95
Sir John Donaldson, 246 van Apeldoorn, 27, 157 Wade, 28, 268, 360
Skotlandia, 185 TAP, 204, 224 van der Pot, 26 Wade and Phillips, 28,
society, 11, 12, 13, 14, 84, Terry Woods, 83, 84, Van der Pot, 360 268
100, 319, 331, 337, 355 van Vollenhoven, 24, 25, Wet, 34
346 The Common Law, 188 37, 55, 56 William Eskrige, 305
Soeharto, 180, 213, 315 the law of torts, 31 Vegting, 63, 64, 65, 362 wilsovereen-stemming,
Soekarno, 180, 234, 259, theorie, 19, 42, 48, 59, Vegting. Kranenburg, 63 38
268, 315 60, 62, 63, 202 verfassung, 17, 19, 21, Wirjono Prodjodikoro,
Sri Soemantri, 17, 22, Thomas Paine, 19, 94, 119, 124, 126, 127, 134, 15, 28, 45, 52, 233
119, 120, 126, 135, 144, 200 137, 138, 139
171 Timur Tengah, 106 verfassungslehre, 16, 35 Y
staat in beweging, TLN-RI, 205 Verfassungslehre, 16,
35, 41, 51, 56, 318 Tuhan, 66, 101, 104 18, 124, 126, 128, 358 Yahudi, 108
staat in rust, 35, 41, 51, Turki Usmani, 113 verfassungsrecht, 16, 19, Yastrib, 106
55, 56 27, 35, 43, 44, 47, 86 Yunani, 89, 90, 91, 94,
staatslehre, 19, 42, 43 U Verfassungsrecht, 16, 17, 98, 100, 101, 102, 103,
Staatsrecht, 16, 25, 26, 18, 41, 51, 68 105
37, 60, 62, 64, 70, 80, Ulpian, 102 Verwaltungsrechtlehre,
124, 349, 354, 355, Umar ibn Khattab, 42 Z
360 110 Undang-Undang Visser’t, 275, 278, 282,
Staatswissenschaft, 43 Merton, 92 283, 284, 291, 292,
Zainal Abidin Ahmad,
status quo, 99 Uni Eropa, 6, 68, 69, 79 294, 297, 299, 354
107
Statute Law, 190 Uni Soviet, 20 Zaire, 189
Stellinga, 61, 62, 63 Universitas Salzburg, 67,
stelselmatigheid, 37 68
Stoic, 103 Universitas Vienna, 67,
struktural, 66, 328, 333 68
Struycken, 141, 267

375 376
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

3. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakar-


TENTANG PENULIS ta (1986-1990), dan Van Vollenhoven Institute,
serta Rechts-faculteit, Universiteit Leiden, program
doctor by research dalam ilmu hukum (1990).
4. Post-Graduate Summer Refreshment Course on Le-
gal Theories, Harvard Law School, Cambridge,
Massachussett, 1994.
5. Dan berbagai short courses lain di dalam dan luar
negeri.

Pengabdian dalam Tugas Pemerintahan dan


Jabatan Publik lainnya:
1. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia se-
jak tahun 1981 sampai sekarang. Sejak tahun 1998
diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara,
Nama : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan sejak 16 Agustus 2003 berhenti sementara
Lengkap
seba- gai Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama
Alamat : Jl. Widya Chandra III No. menduduki jabatan Hakim Konstitusi, sehingga
Rumah 7, Jakarta Selatan. berubah status menjadi Guru Besar Luar Biasa.
Telp.: 021-5227925. 2. Anggota Tim Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Repu-
HP : 0811-100120. blik Indonesia, 1988-1993.
Email : jimly21@hotmail.com 3. Anggota Kelompok Kerja Dewan Pertahanan dan
Alamat : Mahkamah Konstitusi Republik Ke- amanan Nasional (Wanhankamnas), 1985-1995.
Kantor Indonesia 4. Sekretaris Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6- Hukum (DPKSH), 1999.
7, Jakarta Pusat. 5. Ketua Bidang Hukum Tim Nasional Reformasi
Telp/Faks.: 021-3522087. Nasi- onal Menuju Masyarakat Madani, 1998-1999,
Email : dan Penanggungjawab Panel Ahli Reformasi
jimly@mahkamahkonstitusi.go.id Konstitusi (bersama Prof. Dr. Bagir Manan, SH),
Pendidikan: Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1998-1999.
1. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 6. Anggota Tim Nasional Indonesia Menghadapi Tan-
1982 (Sarjana Hukum). tangan Globalisasi, 1996-1998.
2. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 7. Anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc I (PAH I), Badan
Jakar- ta, 1984 (Magister Hukum). Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia dalam rangka Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945 (2001).

377 378
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

8. Senior Scientist bidang Hukum BPP Teknologi, Ja-


20. Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum ber-
karta, 1990-1997.
bagai Universitas Negeri dan Swasta di Jakarta,
9. Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Yogyakarta, Surabaya, dan Palembang.
Repu- blik Indonesia, Jakarta, 1993-1998.
10. Anggota Tim Pengkajian Reformasi Kebijakan Pen-
Publikasi Ilmiah:
didikan Nasional Departemen Pendidikan dan Ke-
1. Gagasan Kedaulatan dalam Konstitusi dan Pelak-
budayaan, Jakarta, 1994-1997.
sanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van
11. Asisten Wakil Presiden Republik Indonesia bidang
Hoeve, 1994.
Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan
2. Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:
Kemiskinan, 1998-1999 (Asisten Wakil Presiden
Angkasa, 1995.
B.J. Habibie yang kemudian menjadi Presiden RI
3. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen da-
sejak Presiden Soeharto mengundurkan diri pada
lam Sejarah, Jakarta: UI-Press, 1996.
bulan Mei 1998).
4. Agenda Pembangunan Hukum di Abad Globalisasi,
12. Diangkat dalam jabatan akademis Guru Besar
Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
dalam Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
5. Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara
Univer- sitas Indonesia, Jakarta, 1998.
Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Jakarta:
13. Koordinator dan Penanggungjawab Program Pasca
Universitas Indonesia, 1998.
Sarjana Bidang Ilmu Hukum dan Masalah
6. Reformasi B.J. Habibie: Aspek Sosial, Budaya dan
Kenegara- an, Fakultas Hukum Universitas
Hukum, Bandung: Angkasa, 1999. Edisi bahasa Ing-
Indonesia, Jakarta, 2000-2004.
geris Habibie’s Reform: Socio-Cultural Aspect and
14. Anggota Senat Akademik Universitas Indonesia,
the Legal System, Bandung: Angkasa, 1999.
2001-sekarang.
7. Islam dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Gema
15. Penasehat Ahli Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002-
Insani Press, 1997.
2003.
8. Teori dan Aliran Penafsiran dalam Hukum Tata
16. Penasehat Ahli Menteri Perindustrian dan Perda-
Negara, Jakarta: InHilco, 1998.
gangan Republik Indonesia, 2002-2003.
9. Pengantar Pemikiran Perubahan Undang-Undang
17. Anggota tim ahli berbagai rancangan undang-
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
undang di bidang hukum dan politik, Departemen
Tahun 1945, Jakarta: The Habibie Center, 2001.
Dalam Negeri, Departemen Kehakiman dan HAM,
10. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Pasca Perubahan
serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Keempat, Jakarta: PSHTN FHUI, 2002.
sejak tahun 1997-2003.
11. Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD,
18. Pengajar pada berbagai Diklatpim Tingkat I dan
UU, dan Peraturan tentang Mahkamah Konstitusi
Tingkat II Lembaga Administrasi Negara (LAN)
di 78 Negara, Jakarta: PSHTN-FH-UI, 2003.
sejak tahun 1997-sekarang.
12. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Ke-
19. Pengajar pada kursus KSA dan KRA LEMHANNAS
kuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH-UII-
(Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) se-
Press, 2004.
jak 2002-sekarang.

379 380
Pengantar Ilmu Hukum Tata Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara Jilid I Negara Jilid I

13. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,


25. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Kons-
Jakar- ta: MKRI-PSHTN FHUI, 2004.
titusi Press (bekerjasama dengan PT Syaamil Cipta
14. Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung Repu-
Media, Bandung), 2006.
blik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
26. Ratusan makalah yang disampaikan dalam berbagai
15. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
forum seminar, lokakarya dan ceramah serta yang
Jakarta: Konstitusi Press, (cetakan pertama 2004,
dimuat dalam berbagai majalah dan jurnal ilmiah,
cetakan kedua 2005).
ataupun dimuat dalam buku ontologi oleh penulis
16. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai
lain berkenaan dengan berbagai topik.
Negara, Jakarta: Konstitusi Press (cetakan pertama
April 2005, cetakan kedua Mei 2005).
17. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai
Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konsti-
tusi Press (cetakan pertama Juli 2005).
18. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Poli-
tik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Setjen dan
Kepaniteraan MKRI (cetakan pertama November
2005).
19. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Jakar- ta: Konstitusi Press (cetakan pertama Juli
2005).
20. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Jakar- ta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan
pertama November 2005).
21. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta: Yarsif Watampone (cetakan pertama
November 2005).
22. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI (cetakan
pertama November 2005).
23. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Ja-
karta: Konstitusi Press (cetakan pertama Oktober
2005).
24. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Ja-
karta: Konstitusi Press (cetakan kedua Februari
2006).

381 382

Anda mungkin juga menyukai