Anisa Rahmawati - k4420007 - A - Uas Asia Tenggara II
Anisa Rahmawati - k4420007 - A - Uas Asia Tenggara II
NIM : K4420007
KELAS :A
Jadi, singkatnya Katolik menjadi mayoritas agama yang dianut oleh rakyat Filipina
setelah masuknya Spanyol ke Filipina dengan membawa semangat Gospel dan menggunakan
bentuk politik devide and rule serta mission sacre atau misi suci. Spanyol juga mengkristenkan
masyarakat Filipia dengan cara penaklukkan atau peperangan yang terjadi selama ratusan tahun
hingga Katolik berhasil menjadi agama mayoritas dan menggeser penganut agama Islam yang
sebelumnya pernah menjadi agama mayoritas di Filipina.
Menurut saya Malaysia menjadi pihak yang berhak memiliki kekuasaan atas Sabah.
Walaupun jika ditinjau dari sudut pandang sejarah Kerajaan Sulu di Filipina adalah pihak yang
secara sah memegang kepemilikan atas Sabah. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pada tahun
1658 Sabah merupakan daerah kekuasan Kesultanan Sulu sebagai bentuk hadiah dari Sultan
Brunei atas jasa yang dilakukan oleh Kesultanan Sulu yang telah membantu Brunei dalam
pemberontakan yang tejadi pada 1660 sampai sekitar tahun 1700- an. Hal tersebut menjadi
dasar klaim Pemerintah Filipina atas Sabah.
Seperti yang diketahui bahwa pada masa kolonial Inggris di Filipina, British North
Borneo Company membayar uang senilai USD 1600 pertahun kepada Kesultanan Sulu untuk
menyewa wilayah Sabah, dan pembayaran sewa tersebut terus berlangsung selama perusahaan
itu masih mendiami Sabah hingga akhirnya setelah Inggris meninggalkan Sabah, sejak tahun
1963 Sabah menjadi bagian Malaysia dengan tetap membayar uang sebesar 5.000 ringgit dan
diberikan kepada keturunan Kesultanan Sulu. Namun terdapat perbedaan pandangan antara
pihak Kesultanan Sulu dengan Inggris terkait dengan kesepakatan sewa. Pihak Inggris
beranggapan bahwa uang sewa yang dibayarkan kepada Kesultanan Sulu adalah bentuk dari
pembayaran pengalihan kepemilikan Sabah, sedangkan Kesultanan Sulu berpandangan bahwa
uang yang dibayarkan oleh Inggris hanyalah uang sewa, tanpa adanya perubahan status
kepemilikan.
Meskipun secara historis Kesultanan Sulu adalah pemilik sah dari wilayah Sabah, tetapi
kekuasaan Sulu atas Sabah sudah gugur. Fakta tersebut didasarkan pada bukti tertulis berupa
Traktat Bates, yaitu perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Jamalul Kiram II dan Jenderal
John C. Bates pada 1899 yang telah melucuti kekuasaan Kesultanan Sulu. Kondisi Kesultanan
Sulu yang semakin melemah juga menjadikan Kesultanan Sulu tidak berdaya untuk
memberikan kesejahteraan bagi wilayah yang menjadi kekuasaannya, termasuk Sabah.
Selain itu terdapat hal-hal yang menjadi penguat bahwa Malaysia lebih pantas untuk
memegang kekuasaan atas Sabah, yaitu :
a. Pada saat diselenggarakan Pemilihan Dewan Distrik pada bulan Desember 1962 yang
menyediakan sebanyak 111 kursi untuk Dewan Legislatif Sabah, maka terdapat sebanyak 96
kursi yang mendukung Sabah menjadi bagian dari Federasi Malaysia.
b. Hasil dari Perjanjian Manila yang diselenggarakan pada tahun 1963 antara Malaysia,
Indonesia, serta Filipina yang menyetujui untuk mengajukan kepada Sekretaris Jenderal PBB
guna melakukan penelitian tentang apakah Pemilihan Dewan Distrik berjalan secara bebas.
Hasil dari penelitian mengungkapkan bahwa Pemilihan Dewan Distrik pada 1963 berjalan
secara bebas dan tidak diragukan.
d. Pada bulan April 1967, Indonesia dan Malaysia yang tidak setuju dengan kepemilikan Sabah
atas Malaysia diminta untuk mengirimkan peninjau, tetapi faktanya hanya Indonesia saja yang
mengirimkan peninjau, sedangkan Filipina tidak mengirim peninjaunya. Pada akhirnya hasil
menyebutkan bahwa mayoritas penduduk Sabah lebih menghendaki jika Sabah masuk ke
dalam bagian dari Federasi Malaysia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap yang ditunjukkan Malaysia dalam klaim Sabah didasarkan
pada kehendak rakyat serta pendapat negara-negara di dunia atas kepemilikan Sabah.
Keterlibatan pihak Amerika Serikat pada perang Vietnam yang melibatkan Vietnam
Utara dan Vietnam Selatan adalah suatu kekeliruan dalam kebijakan politik luar negeri
Amerika Serikat. Keterlibatan Amerika Serikat dalam konfik Perang Vietnam tidak terlepas
dari keputusan dangkal yang diambil oleh presiden Amerika Serikat yang mengeluarkan
keputusan di luar kongres. Amerika Serikat merasa perlu membantu Vietnam Selatan dalam
Perang Vietnam karena untuk membendung adanya pengaruh idiologi komunis di Vietnam.
USA menafsirkan bahwa jika indochina jatuh ke tangan pihak komunis maka akan berakibat
pada jatuhnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke tangan komunis, karen Amerika
Serikat adalah negara yang berpaham liberal.
Pada sekitar tahun 1960-an presiden Amerika Serikat memutuskan untuk USA terlibat
dalam Perang Vietnam. Keputusan dari presiden yang dianggap adalah sebuah kekeliruan ini
mengakibatkan perang yang terus terjadi secara berlarut-larut dan menimbulkan kerugian yang
besar bagi Amerika Serikat. Akibat dari keterlibatan USA dalam Perang Vietnam yang tidak
kunjung selesai tersebut, maka rakyat Amerika Serikat tidak lagi menaruh kepercayaan
terhadap pemerintah, karena keterlibatan Amerika Serikat pada Perang Vietnam tersebut
berdampak pada kondisi perekonomian luar negeri USA.
Jadi, kekalahan dan kerugian yang mendera Amerika Serikat berakar pada kesalahan
dalam hal keputusan yang diambil oleh presiden Amerika Serikat dalam kebijakan luar
negerinya yang menyalahi Kongres. Hal inilah yang disebut sebagai blunder politik Amerika
Serikat dalam keterlibatannya pada Perang Vietnam.
4. Jelaskan faksi-faksi perjuangan yang ada di Moro dalam konflik antara Philipina
Utara dan Philipina Selatan!
MIM adalah merupakan organisasi perjuangan bangsa Moro yang didirikan oleh Utdog
Matalam pada tahun 1968 di Cotabato. MIM didirikan selang dua hari setelah Incident
corregidor. Incident Corregidor tersebut merupakan peristiwa eksekusi pemuda Moro yang
sedang menjalani latihan perang gerilya oleh personel Angkatan Bersenjata Filipina. MIM
didirikan dengan tujuan untuk mendirikan Republik Islam dan juga sebagai respon atas
penyerangan yang dilakukan orang-orang Kristen terhadap umat Islam Moro.
MNLF adalah organisasi bersenjata dari Bangsa Moro yang dalam fungsinya berperan
dalam perjuangan kemerdekaan Bangsa Moro serta Mindanau, Sulu, dan Palawan atau
MinSuPala yang merupakan tanah air bagi mereka. MNLF didirikan karena keinginan Bangsa
Moro untuk terbebas dari teror, penindasan, serta sikap diktaktor pemerintah Filipina. Pada saat
itu muslim di Filipina terancam karena tempat mereka untuk beribadah serta kitab suci umat
Islam dibakar, dan orang-orang Moro juga menjadi korban pembunuhan. Pada akhirnya
didirikan MNLF pada tahun 1969 sebagai gambaran dari perwakilan suku-suku dari Moro yang
berasal dari Mindanau. Anggota yang pertama kali masul dalam MNLF adalah pemuda yang
direkrut dan diberi pelatihan militer yang bertempat di Malaysia. Kelompok pemuda yang
direkrut menjadi anggota MNLF tersebut mayoritas adalah pemuda yang menjalani pendidikan
sekuler dan sebagian lainnya merupakan mahasiswa yang berhaluan kiri. Sejak tahun 1970
sampai 1976 MNLF adalah organisasi tunggal yang menaungi gerakan perjuangan Bangsa
Moro dalam melawan penindasan.
Dalam kurun waktu 1972 hingga 1976, MNLF yang dipimpin oleh Nur Misuari
mengeluarkan pernyataan perang terhadap pemerintah Filipina. Saat itu Pemerintah Manila
yang dipimpin oleh presiden Ferdinand E. Marcos dipaksa untuk menandatangani isi perjanjian
perdamaian oleh pasukan kebebasan MNLF. Dalam perjanjian tersebut oleh pemerintah Libya
yang saat itu diwakili Kolonel Muamar Qadafi menjadi pihak yang melakukan mediasi.
Perjanjian tersebut kemudian dikenal sebagai Perjanjian Tripoli.
Kemudian akhirnya MNLF mengalami perpecahan karena dua faktor, yaitu faktor
ideologi dan politik. Dari faktor politik terjadi perpecahan internal setelah ditandatanganinya
Perjanjian Tripoli. Dalam ICFM, Menteri Luar Negeri menyatakan sikap kecewa karena
perjanjian yang disepakati oleh MNLF dengan Filipina. Sedangkan dari sudut pandang
ideologi, Nur Misuari dipandang meninggalkan komitmennya yang menyatakan MNLF akan
mewujudkan cita-cita perjuangan Bangsa Moro. Akhirnya MNLF terpecah menjadi dua, yaitu
MNLF di bawah kendali Nur Misuari serta MNLF Reformasi.
Sampai pada tahun 2003 data kuantitatif menunjukkan anggota MILF mencakup
12.500 orang gerilyawan. Dalam perkembangannya, MILF juga mempunyai tentara yang
disebut dengan Bangsamoro Islamic Armed Forces (BIAF) yang di dalamnya terdiri atas
sebanyak 60% pasukan reguler. Dapat disimpulkan bahwa dibandingkan dengan MNLF dan
juga Abu Sayyaf, MILF adalah organisasi yang paling mendapatkan dukungan dari rakyat.
Selain itu, MILF juga menjadi organisasi yang mewadai gerakan separatisme terbesar di
Mindanao.
Kelompok Abu Sayyaf merupakan kelompok separatis yang di dalamnya terdapat para
teroris muslim yang beraliran Syiah dengan basis kekuatan mereka yang berada di wilayah
sekitar kepulauan Filipina bagian selatan yang terdiri atas Pulau Jolo, Basilan, dan Mindanao.
Nama kelompok tersebut diambil dari bahasa Arab, yaitu Abu yang berarti "pemegang" dan
Sayyaf yang berarti "pedang". Kelompok Abu Sayyaf dipimpin oleh Khadaffi Janjalani.
Kelompok ini juga melakukan perlawanan terhadap angkatan bersenjata dari pemerintah
Filipina. Wilayah-wilayah seperti Pulau Jolo dan juga Zamboanga City menjadi wilayah
pergerakan bagi Kelompok Abu Sayyaf. Walaupun kelompok ini merupakan kelompok
separatis terkecil, tetapi kelompok Abu Sayyaf ini dapat dimungkinkan merupakan kelompok
paling berbahaya yang ada di Mindanao. Anggota-anggota dari Kelompok Abu Sayyaf yang
sebagian pernah belajar ataupun bekerja di Arab Saudi juga melakukan pengembangan
terhadap hubungan dengan mujahidin saat melakukan pertempuran dan latihan di Afganistan
serta Pakistan.
5. Mengapa Indonesia gagal total dalam mendapatkan pulau Sipadan dan Ligitan ?
Dalam keterlibatannya atas klaim kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan melawan
Malaysia, Indonesia harus menerima kegagalan dan kenyataan pahit. Pada perebutan wilayah
Pulau Sipadan dan Ligitan, Indonesia harus merelakan dua pulau tersebut untuk dimiliki oleh
Malaysia. Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa
Malaysia adalah pihak yang berhak atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Oleh karena
itu sejak dibacakannya keputusan Mahkamah Internasional oleh Gilbert Guillaume pada 17
Desember 2002 di Gedung Mahkamah Internasional Den Haag, Belanda secara resmi Malaysia
memenangkan sengketa Sipadan dan Ligitan.
Kekalahan Indonesia dalam sengketa kepemilikan Sipadan dan Ligitan adaah akibat
dari kurangnya usaha Indonesia sendiri dalam menjalankan efektifitas pembangunan di
Sipadan dan Ligitan. Sedangkan Malaysia sudah berusaha untuk melakukan pengelolaan
konservasi serta administrasi pada Pulau Sipadan dan Ligitan. Mahkamah Internasional
menilai bahwa argumentasi Indonesia dalam klaim atas Sipadan dan Ligitan tidak relevan.
Selain itu Mahkamah Internasional juga lebih percaya kepada Malaysia untuk menciptakan
situasi yang stabil di dua pulau sengketa tersebut. Mahkamah Internasional juga melihat bahwa
Inggris memenuhi syarat dengan mengeluarkan kebijakan terkait ketentuan pengambilan telur
serta cagar burung dan juga pembangunan mercusuar yang dilakukan di dua pulau sengketa
tersebut. Sedangkan Indonesia dalam UU No. 4 Tahun 1960 justru tidak memasukkan Pulau
Sipadan dan Ligitan dalam wilayah teritorialnya. Meskipun mengalami kekecewaan atas hasil
keputusan, tetapi pihak Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda
menyampaikan bahwa pihak Indonesia menerima tentang hasil yang telah diputuskan oleh
Mahkamah Internasional untuk memberikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia.
Sebenarnya konflik sengketa kepemilikan Sipadan dan Ligitan ini muncul pada tahun
1967 setelah dalam pertemuan teknis hukum laut baik pihak Indonesia ataupun Malaysia sama-
sama memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan mereka. Kemudian
kedua pulau tersebut menjadi status quo. Tetapi terdapat perbedaan presepsi antara Indonesia
dan Malaysia mengenai status quo ini. Indonesia menganggap bahwa dalam keadaan status
quo, di wilayah Pulau Sipadan dan Ligitan tidak boleh ditempati oleh siapapun hingga sengketa
selesai. Namun dari pihak Malaysia memiliki pandangan yang berbeda, yaitu dalam kondidi
status quo Pulau Sipadan dan Ligitan masih boleh dilakukan pembangunan. Oleh karena itu
Malaysia giat melakukan pembagunan terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan dalam bidang
pariwisata dengan membangun penginapan. Menanggapi hal tersebut kemudian pihak
pemerintah Indonesia melakukan protes agar pemerintah Malaysia menghentikan
pembangunan di Pulau Sipadan dan Ligitan karena dalam status quo dan belum diputuskan
siapa pemiliknya. Kemudian Indonesia juga mengusulkan agar sengketa ini diselesaikan dalam
Dewan Tinggi ASEAN, namun ditolak oleh Malaysia. Akhirnya pada 1991, Malaysia
mengirimkan pasukan polisi hutan untuk mengusir warga Indonesia dan meminta Indonesia
untuk mencabut klaimnya atas Sipadan dan Ligitan. Pada masa kepemimpinan Presiden
Soeharto, klaim Indonesia atas Sipadan dan Ligitan mulai melunak hingga menyetujui sengketa
Sipadan dan Ligitan untuk dibawa ke Mahkamah Internasional.
Jadi, penyebab dari kegagalan Indonesia atas klaim Sipadan dan Ligitan adalah karena
pemerintah Indonesia tidak tanggap dalam melakukan pembangunan di Sipadan dan Ligitan,
berbeda dengan Malaysia yang secara aktif melakukan pembangunan terhadap Sipadan dan
Ligitan. Hal tersebut tentu menjadi kelemahan bagi Indonesia ketika konflik Sipadan dan
Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional. Kesaahan ke dua adalah ketika masa jabatan
Presiden Soeharto Indonesia bukannya semakin gigih dalam memperjuangkan kepemilikan
Sipadan dan Ligitan namun justru semakin melunak.
Perang Saudara di Kamboja merupakan konflik yang terjadi antara partai komunis
Kamboja yang bersekutu dengan Republik Demokratik Vietnam atau Vietnam Utara melawan
pemerintah Kamboja yang saat itu mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat serta Republik
Vietnam.
Sejak tahun 1955 Norodom Sihanouk menjadi pemimpin Kamboja. Pada masa
kepemimpinannya di Kamboja, Sihanouk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak
disukai oleh rakyatnya. Kebijakan tersebut antara lain dengan melakukan penolakan terhadap
bantuan militer dari Amerika Serikat. Selain itu Sihanouk. Selain itu, Sihanoik juga
mengeluarkan kebijakan untuk memutuskan hubungan diplomatiknya dengan pihak Amerika
Serikat. Kemudian Sihanouk juga melakukan investasi untuk pembangunan dan juga
kesehatan. Ditambah lagi pada masa pemerintahan Sihanouk juga banyak terjadi korupsi serta
gaya hidup dari Sihanouk yang mewah. Kemudian pada 1967 terdapat perubahan kebijakan
yang kemudian menimbulkan kerusuhan hingga terjadi pemberontakan. Pemberontakan
tersebut terjadi pada golongan kanan, sedangkan golongan kiri lebih memilih untuk lari ke desa
dan merencanakan pemberontakan yang ditujukan kepada Sihanouk.
Pada tahun 1970, pasukan Khmer Merah mengalami keberhasilan untuk menguasai
pedesaan, dan Perdana Menteri bernama Lon Nol memutuskan untuk melakukan kudeta untuk
menggulingkan kekuasaan Sihanouk yang sedang mengalami guncangan karena konflik-
konflik yang terjadi. Lon Nol sebagai pihak yang mendukung Amerika Serikat kemudian
menjalankan pemberontakan terhadap pemerintah Norodom Sihanouk pada 18 Mei 1970.
Dengan keberhasilan kudeta yang dijalankan oleh Lon Nol, maka Lon Nol berhasil memimpin
Kamboja secara resmi menggantikan Sihanouk. Lon Nol melakukan kudeta terhadap Norodom
Sihanouk karena dianggap memberikan izin terhadap taklukan sementara Vietnam untuk
menduduki Kamboja yang hal ini dipandang melanggar kedaulatan Kamboja. Sihanouk juga
dipandang tidak memperhatikan konstitusi dalam melakukan tindakan.
Lon Nol dengan adanya dukungan dari Amerika Serikat kemudian juga mempunyai
tekad untuk bertindak secara lebih tegas dalam menghadapi komunis Kamboja dan juga
Vietnam. Amerika Serikat juga melakukan tindakan pengeboman terhadap pedesaan yang
diduga merupakan tempat dari komunis. Pengeboman tersebut menimbulkan jatuhnya korban
jiwa hingga amarah yang ditujukan kepada pemerintah Kamboja.
Namun, pada tahun 1975, Pol Pot dari Khmer Merah melakukan kudeta terhadap
pemerintahan Lon Nol yang dipandang bertindak secara semena-mena dengan tindakan-
tindakan yang dianggap membahayakan. Akhirnya Pol Pot resmi dilantik menjadi Perdana
Menteri Kamboja pada tanggal 13 Mei 1976. Dalam masa pemerintahannya, Pol Pot
menerapkan kebijakan seperti melakukan pemindahan rakyat dari kota ke desa dalam
mewujudkan revolusi agraria untuk mengubah Kamboja menjadi negara agraris. Kebijakan
yang bersifat sosialis juga dilakukan karena saat itu terjadi konflik antara Vietnam dengan
Kamboja. Konflik dengan Vietnam muncul karena adanya masalah persengketaan wilayah,
rezim Pol Pot yang memerintah secara semena-mena terhadap keturunan dari Vietnam yang
bermukim di Kamboja, adanya rasa curiga terhadap Vietnam, serta penolakan terhadap
kebijakan yang dianggap agresif terhadap Vietnam.
7. Kasus Rohingya menjadikan berbagai pendapat dari berbagai pihak bahwa Aung
San Suu Kyi tidak layak dan harus dibatalkan hadiah Nobel perdamaian yang ia
peroleh dari PBB. Jelaskan !
Pada tahun 1991 Aung San Suu Kyi adalah tokoh yang mendapatkan penghargaan
Nobel Perdamaian. Anugerah Nobel Perdamaian tersebut diberikan kepada Aung San Suu Kyi
atas perannya dalam perjuangan demokratis di Myanmar yang dilakukan tanpa adanya
kekerasan. Namun Nobel Perdamaian yang didapatkan Aung San Suu Kyi tersebut pernah
dipermasalahkan hingga akan dicabut. Hal tersebut terjadi tidak terlepas terjadinya konflik
pembantaian yang dilakukan terhadap etnis Rohingnya di Myanmar. Beberapa pihak
berpendapat bahwa Aung San Suu Kyi tidak pantas mendapatkan anugerah Nobel Perdamaian
karena dianggap tidak mampu dalam menyelesaikan konflik pembantaian terhadap etnis
Rohingnya di Myanmar. Sejumlah pihak berpandangan bahwa anugerah Nobel Perdamaian
yang pernah diberikan kepada Aung San Suu Kyi harus dicabut oleh Nobel. Bahkan inisiasi
untuk menyerukan pencabutan terhadap Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi tersebut
dituangkan dalam petisi yang ditandatangani oleh ratusan ribu partisipan.
Para pihak yang menyetujui pencabutan anugerah Nobel Perdamaian Aung San Suu
Kyi sangat menyayangkan sikap dari Aung San Suu Kyi dalam konflik Rohingnya. Seharusnya
sebagai seorang yang menerima penghargaan Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dapat
secara cepat merespon pembantaian yang dilakukan terhadap etnis Rohingnya. Namun,
penarikan terhadap penghargaan Nobel yang diberikan kepada Aung San Suu Kyi pada 1991
tersebut tidak dapat dilakukan karena memang sesuai peraturan panitia Nobel, yaitu
penghargaan Nobel yang telah diberikan tidak dapat ditarik dari pemiliknya.
Terkait kegagalan Aung San Suu Kyi untuk mengatasi konflik Rohingnya ini, ia
mendapatkan berbagai kecaman dari banyak pihak, di antaranya adalah Perdana Menteri
Mahathir Mohamad yang melayangkan kecaman terhadap sikap Aung San Suu Kyi, kemudian
juga terdapat pihak Amerika Serikat melalui Wakil Presiden Mike Pence yang menyampaikan
kepada Aung San Suu Kyi bahwa militer Myanmar melakukan persekusi tanpa alasan.
Sejumlah penghargaan yang didapatkan Aung San Suu Kyi dari organisasi-organisasi
Internasional bahkan dicabut. Penghargaan-penghargaan yang ditarik dari Aung San Suu Kyi
karena kegagalannya dalam mengatasi Konflik di Rohingya tersebut antara lain adalah
Penghargaan HAM Gwangju, Duta hati Nurani dari Amnesti Internasional, Penghargaan Elie
Wiesel dari Holocaust Memorial Museum di Amerika Serikat, Kewarganegaraan Kehormatan
Kanada, Honorary Presidency (Persatuan Pelajar London School of Econimics), serta gelar-
gelar kehormatan yang telah didapatkan oleh Aung San Suu Kyi dari sejumlah kota seperti
Paris, Edinburgh, Glasgow, Oxford, Sheffiels, Dublin, dan New Castle.