Anda di halaman 1dari 22

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus diambil dari kata Yunani diabetes, yang berarti

menyedot -melewati mellitus artinya manis (Sapra A, Bhandari P, 2021). Diabetes

adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat

kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis

diabetes dikaitkan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan

berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA,

2010).

Proses patogen diabetes melitus diantaranya penghancuran autoimun sel-

sel pankreas dengan akibat defisiensi insulin hingga kelainan yang mengakibatkan

resistensi terhadap aksi insulin. Dasar kelainan metabolisme karbohidrat, lemak,

dan protein pada diabetes dapat disebabkan karena defisiensi kerja insulin pada

jaringan target. Defisiensi kerja insulin terjadi akibat sekresi insulin yang tidak

adekuat dan/atau berkurangnya respons jaringan terhadap insulin. Gangguan

sekresi insulin dan defek kerja insulin sering terjadi bersamaan pada pasien yang

sama, dan seringkali tidak jelas menjadi penyebab utama hiperglikemia (ADA,

2010).

3.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2)

3.2.1 Definisi DMT2

DMT2 merupakan kondisi sel tubuh tidak sensitif terhadap insulin

sehingga menimbulkan hiperglikemia (Wild et al., 2004). Hiperglikemia pada


DMT2 merupakan tanda adanya penyakit metabolik akibat resistensi insulin

maupun penurunan sekresi insulin oleh pankreas (DEPKES, 2005). Menurut

ADA, DMT2 atau dikenal adult-onset diabetes (diabetes onset dewasa)

merupakan kondisi defisiensi insulin relatif dan resistensi insulin perifer pada

seorang individu yang secara mayoritas tidak membutuhkan terapi insulin untuk

bertahan hidup (ADA, 2018). DMT2 memiliki gejala yang menyerupai DMT1,

namun gejala awal DMT2 susah terdeteksi sehingga menyulitkan diagnosis

sampai menimbulkan komplikasi (WHO, 2016).

3.2.2 Etiologi dan Patofisiologi DMT2

Faktor gaya hidup dan pengaruh genetik merupakan penyebab utama

terjadinya DMT2. Gaya hidup yang berkontribusi dalam pengembangan penyakit

DMT2 yaitu merokok, mengkonsumsi alkohol, dan kurang berolahraga. Kurang

berolahraga dan mengkonsumsi lemak jenuh berlebihan akan menimbulkan

obesitas yang berkontribusi sebanyak 55% pada kasus DMT2 Selain obesitas,

racun lingkungan mungkin berperan, tetapi memiliki korelasi positif yang lemah

pada DMT2 (Walsh et al.,2008).

Pada DMT2 ditemukan pengeluaran insulin yang normal bahkan

meningkat, namun sensitivitas insulin menurun pada organ sasaran sehingga

berkurangnya penyerapan glukosa oleh sel sedangkan hati terus memproduksi

glukosa secara berlebihan yang menyebabkan hiperglikemia

3.2.3 Manifestasi Klinis DMT2

DMT2 memiliki gejala klasik seperti banyak kencing (poliuria), banyak

minum (polidipsi), penurunan berat badan >10% dalam 3 bulan setelah stadium
kompensasi (kenaikan berat badan), sering kencing malam hari (nokturia), dan

gejala lain. Gejala lain seperti kesemutan (parastesia), mudah lelah, mengantuk,

sering buang air kecil di siang hari, menurunya kemampuan seksual, melambatnya

penyembuhan luka, bahkan penglihatan kabur yang diakibatkan hiperglikemia

(Tjokroprawiro et al.,2015)

3.2.4. Penegakan Diagnosa DMT2

Menurut ADA (2018), dikelompokan 4 kriteria untuk mendiagnosis orang

tersebut menderita DMT2 dengan terpenuhinya salah satu kriteria dibawah ini :

1. HbA1c ≥6,5%. Test HbAIc harus dilakukan laboratorium yang

bersertifikat internasional The National Glycohemoglobin Standardization

Program (NGSP).

2. GDP ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa yang dimaksud adalah puasa

selama 8 jam sebelum dilakukan test.

3. GD2PP ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) dengan tes toleransi glukosa oral

berdasarkan WHO, dilakukan pelarutan glukosa 75 gram ke dalam dalam

air.

4. GDA ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) disertai gejala klasik hiperglikemia atau

hiperglikemia krisis.

Jika didapatkan hiperglikemia yang tidak signifikan, maka dilakukan tes

ulang untuk mengkonfirmasi (ADA, 2018).

3.2.5. Terapi Pada DMT2


Meningkatakan kualiatas hidup merupakan prioritas utama dalam menangani

penderita DMT2 dengan cara menghilangkan keluhan, memperbaiki kualitas

hidup, dan menurunkan resiko terjadinya komplikasi akut maupun kronis agar

angka kesakitan (morbiditas), dan kematian (mortalitas) dapat di turunkan

(PERKENI, 2015). Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas memerlukan

perawatan yang sistematis meliputi akses ke pelayanan medis, tim kesehatan yang

terampil, pengontrolan metabolik, dan komplikasi secara berkala (WHO, 2016).

Pengontrolan komplikasi kronis pada DMT2 diperlukan pengontrolan HbA1c

secara baik dengan mengkombinasikan terapi farmakologis, dan manajemen gaya

hidup (Reusch and manson, 2017). Manajemen gaya hidup meliputi diabetes self

management education (DSME), diabetes self-management support (DSMS),

terapi nutrisi, aktivitas fisik, bimbingan berhenti merokok, dan perawaatan

psikososial (ADA, 2018) sedangakan terapi farmakologis meliputi terapi obat anti

diabtetes (OAD), dan insulin (Tjokroprawiro et al.,2015).

3.2.5.1. Terapi Farmakologis DMT2

Terapi farmakologis pada DMT2 dibedakan ke dalam beberapa tipe

berdasarkan mekanisme kerjanya (Hauner, 2002; Ngunyen and Le, 2012; Basit et

al.,2012; Sola et al.,2015; Tjokroprawiro et al.,2015; Rena et al.,2017; Lv et

al.,2020) yang diantaranya:

1. OAD yang memicu pengeluaran insulin (insulin secretagogues)

a. Sulfonilurea

Sulfonilurea merupakan golongan obat yang meningkatkan pengeluaran

insulin sel β pankreas yang mekanismenya digambarkan dalam Gambar 3.23.


Generasi pertama sulfonylurea adalah asetoheksamid, kloropropamid, tolazamid,

dan tolbutamide yang memiliki subsitusi hidfofilik polar relatif kecil sedangkan

generasi keduanya adalah glibenklamid/gliburid, glikazid, glimepirid, dan glipizid

yang memiliki substitusi non polar lebih besar sehingga lebih mudah melewati

membran sel dan memberikan efek yang lebih bagus.

Efek samping utama golongan sulfonilurea adalah hipoglikemia sehingga

penggunaan jangka panjangmnya dihindari pada orangtua, orang yang kekurangan

asupan karbohidrat, gangguan kardiovaskuler, gangguan faal ginjal, dan gangguan

hati. Obat ini sering digunakan penderita DM yang memiliki berat badan normal

maupun kurang.

Gambar 3.23.

Mekanisme Kerja Sulfonilurea

Keterangan: Ketika sulfonilurea berikatan dengan reseptornya pada sel β

pankreas (SUR 1) maka menimbulkan penutupan kanal kalium (K +) oleh

Adenosine Triphosphate (ATP). Penutupan kanal K+ menyebabkan depolarisasi

membran sel yang membuka kanal kalsium (Ca2+) dan mencegah masuknya Ca2+

ke dalam sitosol sehingga kadar Ca2+ meningkat didalam sel β. Tingginya kadar

Ca2+ menimbulkan kontraksi dari filamen aktin dan myosin yang bertanggung
jawab atas eksositosis insulin dari granules. Dikutip dan dimodifikasi dari Sola, et

al. 2015

b. Glinid

Selain golongan sulfonilurea, golongan glinid seperti repaglinid, nateglinid,

dan miglinid juga memicu pengeluaran insulin sel β pankreas melalui penutupan

saluran K+. Obat golongan ini dapat bekerja secara cepat tetapi memiliki waktu

efisiensi yang lebih sedikit sehingga penggunaanya lebih direkomendasikan

segera setelah makan (postmeal hypergllicemia).

Selain itu, golongan obat ini sering diberikan pada penderita DM dengan

jadwal makan yang tidak teratur, orang tua, dan penderita gangguan ginjal karena

efek samping hipoglikemianya yang rendah dan mudah dibuang sisanya melalui

hati dan empedu.

2. OAD yang meningkatkan sensitivitas insulin

a. Tiazolidinedion

Golongan tiazolidinedion seperti rosiglitazone dan pioglitazone

bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin di otot rangka, hati, dan jaringan

adiposa (Gambar 3.24.). Dengan demikikan, tiazolidinedion menimbulkan

penambahan berat badan dan resistensi cairan akibat peningkatan masa lemak

sehingga penggunanya dihindarkan pada penderita gagal jantung stadium I-IV

karena dapat memperburuk retensi cairan/edema.


Gambar 3.24. Mekanisme Kerja Tiazolidinedion

Keterangan: Tiazolidinedion merupakan highafinity ligands dari gamma isoform

of the peroxisome proliferator-activated receptor (PPARc) yang ditemukan

jumlahnya lebih banyak pada sel lemak daripada otot rangka dan hati. PPARc

menurunkan resistensi insulin dengan menambah jumlah protein pembawa

glukosa perifer, mengurangi produksi fatty acids, glukeneogenesis, glikogenolisis,

serta meningkatkan adipogenesis, oksidasi glukosa, glykolisis, dan glikogenesis.

Dikutip dan dimodifikasi dari.

b. Biguanid

Metformin merupakan turunan dari bigunaid yang sering digunakan untuk

pengobatan penderita DMT2. Metformin meningkatkan sensitivitas insulin

melalui berbagai proses seperti yang ditampilkan dalam Gambar 3.25. Metformin

tidak efektif menurunkan kadar glukosa darah apabila diberikan setelah memakan

makanan tinggi lemak.

Metformin sering digunakan pada penderita DMT2 degan kelebihan berat

badan karena efeknya yang dapat menurunkan berat badan melalui beberapa

proses yang dijelaskan dalam keterangan Gambar 3.25. Selain memiliki efek di
hati, penggunaan metformin dapat menurunkan komplikasi mikroangiopati,

menekan proses inflamasi, menekan aktifitas koagulasi, menekan intercellular

adhesion molecule (ICAM), vascular cell adhesion molecule (VCAM),

memperbaiki fungsi endotel, fungsi fibronolisis, dan meningkatkan ambilan

glukosa perifer. Meskipun metformin memiliki beberapa keuntungan dalam

pemakaianya, metformin memiliki efek samping mual sehingga pemeberianya

dianjurkan setelah makan atau pada saat makan. Selain menimbulkan mual,

metformin tidak disarankan penggunannya pada penderita gangguan fungsi ginjal

(eGFR <30mL/menit), gangguan faal hati, gagal jantung, dan sepsis.

Gambar 3.25. Mekanisme Kerja Metformin

Keterangan: (1) Metformin masuk ke sel hati melalui organic cation transporter

1 (OCT1) dan (2) melewati membran mitokondria dengan mudah karena

membawa muatan positif. (2) Metformin menghambat kerja respiratory chain

complex 1 untuk menekan produksi ATP sehingga terjadi peningkatan rasio

ADP:ATP dan AMP:ATP sitoplasma yang bertanggung jawab atas aktivasinya

mitogen–activation protein kinase (MAPK). (3) Aktivasi MAPK juga melalui

mekanisme lisosom. (4) Peningkatan rasio AMP:ATP juga menekan aktivitas

enzim fruktosa-1,6-bifosfatase (FBPase) yang digunakan untuk proses

glukoneogenesis dan menghambat aktivitas enzim adenylate cyclase agar tidak

terbentuknya produk cyclic adenosine monophosphate (cAMP). (5) Aktivasi

MAPK memfosforilasi acetyl-CoA carboxylase 1 (ACC1) dan acetyl-CoA

carboxylase 2 (ACC2) untuk menghambat pembentukan lemak serta

meningkatkan oksidasi lemak sehingga menngurangi simpanan lemak di hepar

yang menyebabkan resistensi insulin. (6) AMPK juga menfosforilasi dan memacu
aktifitas cAMP-specific 3,5-cyclic phosphodiesterase 4B (PDE4B) untuk

menurunkan produksi cAMP. (7) Pada kondisi normal ketika tidak terhambatnya

produksi cAMP, produksinya di sel hati distimulasi oleh hormone glukagon yang

kemudian mengaktifkan cAMP-dependent protein kinase A (PKA). Aktifnya PKA

menyebabkan peripindahan jalur metabolisme glikolisis ke glukoneognesis

melalui fosforilasi dan inaktivasi gen PFKFB1 yang dapat menurunkan fruktosa-

2,6-bisfosfat (F2,6BP), allosteric activator of phosphofructokinase (PFK),

inhibitor FBPase. (8) Selain itu, PKA juga menfosforilasi dan menghambat kerja

enzim glikolitik piruvat kinase (Pyr K) dan (9) menfosforilasi the transcription

factor cAMP response element binding protein (CREB) untuk memicu transkripsi

gen yang mengkode enzim glukoneogenesis seperti phosphoenolpyruvate

carboxykinase (PEPCK) dan glucose-6 phosphatase (G6Pase). (10)

Penghambatan produksi PEPCK dan G6Pase diinduksi oleh AMPK melalui

fosforilasi CREB-regulated transcriptional coactivator-2 (CRTC2) dan inaktivasi

CREB. Dikutip dan dimodifikasi dari Rena, et al. 2017.

3.2.5.2. Terapi Non Farmakologis DMT2

Terapi non farmakologis pada DMT2 dapat dibedakan beberapa macam

berdasarkan Colberg et al., 2010; PERKENI, 2019; savikj and zierath, 2020 yang

diantaranya:

1. Memberikan edukasi kepada penderita DMT2

Program ini bertujuan untuk meperkenalkan gaya hidup sehat dengan cara

memberikan materi edukasi tingkat lanjutan, dan tingkat awal. Edukasi tingkat

awal diberikan pada layanan kesehatan primer yang meliputi perjalanan penyakit,
faktor resiko, penyebab, gejala, cara memantau kadar gula darah, dan tatalaksana

secara umum. Sedangkan edukasi tingkat lanjutan diberikan pada layanan

kesehatan tingkat sekunder dan tersier meliputi pengenalan komplikasi akut,

pencegahan komplikasi akut, rencana kegiatan khsusus, kondisi-kondisi khusus

yang akan dihadapi penderita DMT2.

2. Memberikan terapi nutrisi medis (TNM) kepada penderita

DMT2

Terapi nutrisi medis penderita DMT2 mengutamakan makanan seimbang

berdasarkan zat gizi, komposisi makanan, dan kebutuhan kalori. Kebutuhan kalori

pada penderita DMT2 secara umum dirumuskan dengan 25-30 kal/KgBB ideal

yang dapat dikalkulasikan melalui rumus Broca untuk menentukan berat badan

ideal seperti yang digambarkan pada Rumus 3.1., Rumus 3.2. Akan tetapi jumlah

kebutuhan kalori dapat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas sehari-hari,

berat badan, dll.

Selain menentukan jumlah kebutuhan kalori, komposisi makanan pada

penderita DMT2 harus berdasarkan anjuran seperti garam (natrium) <2300

mg/hari, serat 20-30 g/hari, protein 10-20%, lemak 20-25%, dan karbohidrat yang

dibutuhkan 45-65% untuk total asupan energi. Karbohidrat dapat dikonsumsi 3

kali sehari dengan sayrat kadar sukrosa (kandungan didalam karbohidrat) tidak

boleh melebihi 5% dari total asupan energi dan diperbolehkan menggunakan

bumbu masakan yang mengandung glukosa. Diet lemak yang dianjurkan adalah

kurang dari 30% total energi dengan ketentuan lemak tidak jenuh ganda <10%,

lemak jenuh 7%, dan kolesterol <200 mg/hari. Selain karbohidrat dan lemak,
asupan protein disarankan dari makanan laut (ikan, udang, dan cumi) ayam tanpa

lemak dan kulit, kacang-kacangan, susu rendah lemak, tahu, dan tempe. Khusus

penderitta DN, asupan protein dibatasi menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari

total asupan energi dan untuk penderita DN yang telah melakukan hemodialisa,

asupan protein dtingkatkan pada rentang 1-1,2 g/Kg BB.

Berat badan ideal=


Rumus 3.1.
Penentuan Berat Badan Ideal
90% x (TB (cm) – 100) x 1 Kg

Apabila tinggi laki-laki tidak melebihi 160 cm dan tinggi perempuan tidak

melebihi 150 cm, maka menggunakan rumus sebagai berikut:

(TB (cm) – 100) x 1 Kg


Rumus 3.2.
Penentuan Berat Badan Ideal
keterangan: Laki-Laki dan Perempuan
Dengan Tinggi Badan Kurang
BB normal: BB ideal ± 10% Dari 160 cm dan 150 cm

Kurus: <10 % BB ideal

Gemuk: >10% BB ideal

3. Memberikan terapi jasmani pada pasien DMT2

Kegiatan jasmani merupakan suatu aktivitas yang meningkatkan

kebutuhan energi tubuh yang biasanya ditujukan untuk menjaga kebugaran,

menurunkan berat badan, dan memperbaiki tidak sensitivinya insulin. Semua jenis

olahrga dapat meningkatkan sensitivitas insulin seperti yang disajikan dalam

Gambar 3.26. Latihan jasmani menstimulasi cardiorespi untuk mengirim pasokan

oksigen dan substrat dalam jumlah besar ke otot rangka untuk memenuhi
kebutuhan energi. Pada keadaan normal, otot rangka mendpatkan pasokan energi

dari pemecahan glikogen, glukosa darah, dan asam lemak nonesterfikasi/NEFA.

Glikogen berkontribusi sebagai pemasok energi pada awal latihan sedangkan

glukosa darah dan NEFA berkontribusi sebagai pemasok energi jika latihan masih

berlanjut.

Penggunaan glukosa oleh otot rangka meningkat dari 10% ke 30% pada latihan

jasmani dengan intensitas ringan dan meningkat 40% pada latihan jasmani dengan

intensitas berat sedangkan penggunaan NEFA sebagai sumber energi dapat

mencapai 50% pada latihan jasmani tingkat ringan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa glukosa merupakan sumber energi utama pada latihan

intesnitas tinggi sedangkan NEFA merupakan sumber energi utama pada latihan

intensitas ringan. Latihan

jasmani yang

dianjurkan pada penderita

DMT2 adalah latihan

aerobic meliputi jalan

cepat, bersepeda santai,

lari kecil, dan berenang

yang dilakukan secara


rutin 3- 4 kali selama 30-45 menit atau intesnitas sedang dalam seminggu dengan

syarat kadar glukosa darahhnya tidak diatas 250 mg/dL dan tidak dibawah 100

mg/dL.

Gambar 3.26. Hubungan Terapi Jasmani dan Glikemik Kontrol

Keterangan: Latihan jasmani dibedakan menjadi aerobic dan resistance. Latihan

resistance atau ketahanan mendorong pertumbuhan dan transformasi serat otot

menjadi glycolytic phenothype yang menimbulkan hipertrofi otot dan

meningkatkan aktifitas laktat dehidrogenase. Sementara latihan aerobic

meningkatkan kepadatan mitokondria sel, enzim anti oksidan, meperbaiki pola

cardiorespyration, dan meningkatkan stamina. Semua jenis latihan meningkatkan

ekspresi glucose transporte-4 (GLUT4), sintesis glikogen dan penyimpanan


glukogen yang bertanggung jawab atas pengontrolan kadar glukosa darah. Dikutip

dan dimodifikasi dari savikj and zierath, 2020.

3.3 Kaki Diabetes

3.3.1 Definisi Kaki Diabetes

Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi tersering pada pasien

diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik. Biasanya akibat kontrol

glikemik yang buruk, neuropati, penyakit pembuluh darah perifer, atau perawatan

kaki yang buruk. Dan merupakan salah satu penyebab umum osteomielitis dan

amputasi ekstremitas bawah (Singer AJ, Tassiopoulos, Kirsner RS, 2018).

3.3.2 Etiologi dan Patofisiologi

Perkembangan ulkus diabetikum biasanya dalam 3 tahap. Tahap awal

merupakan perkembangan kalus. Kalus dihasilkan dari neuropati. Neuropati

motorik menyebabkan deformitas pada kaki, dan neuropati sensorik menyebabkan

hilangnya sensorik yang berkelanjutan. Pengeringan kulit karena neuropati

otonom juga merupakan faktor pencetus lain. Akhirnya, trauma kalus yang sering

menyebabkan perdarahan subkutan dan akhirnya terkikis dan menjadi ulkus

(Armstrong, et al., 2017)

Pasien dengan diabetes mellitus juga mengembangkan aterosklerosis parah pada

pembuluh darah kecil di tungkai dan kaki, yang menyebabkan gangguan vaskular,

yang merupakan penyebab lain infeksi kaki diabetik. Karena darah tidak dapat

mencapai luka, penyembuhan tertunda, akhirnya menyebabkan nekrosis dan

gangren.
Gambar 3.32. Pathways Kaki Diabetik

3.3.3 Penegakan Diagnosa Kaki Diabetik

Penanganan kaki diabetes dapat di bagi menjadi dua kelompok besar, yaitu

pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer) dan

pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder)

A. Pencegahan Primer

Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting

untuk dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dengan

penyandang DM, dan selalu diingatkan.

Keadaan kaki penyandang diabetes di golongkan berdasarkan

risiko terjadinya dan risiko besarnya masalah yang timbul.

(Fryberg):1). Sencasi normal tanpa deformitas; 2). Sensasi normal

dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi; 3). Insentivitas tanpa

deformitas; 4). Iskemia tanpa deformitas; 5). Kombinasi/complicated:


(a) kombinasi insensitivitas, iskemia dan atau deformitas, (b) riwayat

adanya tukak, deformitas Charcot.

Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut: untuk

kaki yang kurang merasa/insentif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu

diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang insentif, jika terdapat

deformitas (kategori risiko 2 dan 5), perlu perhatian kusus mengenai

alas kaki/sepatu untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki.

Untuk ulkus complicated, semua usaha dan upaya harus segera

dikerahkan untuk mencoba menyelamatkan kaki dan masuk dalam

kategori pencegahan sekunder.

B. Pencegahan Sekunder

Dalam pengelolan penanganan kaki diabetes berbagai hal harus

ditangani dengan baik agar diperoleh hasil yang maksimal dapat

digolongkan sebagai berikut:

 Mechanical control-pressure control

 Wound control

 Microbiological control-infection control

 Vascular control

 Metabolic control

 Educational control

Kontrol metabolic. Konsentrasi glukosa darah diusahakan selalu

senormal mungkin untuk memperbaiki factor terkait hiperglikemia.

Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentrasi glukosa

darah. Selain itu juga harus diperhatikan dan diperbaiki seperti konsentrasi
albumin serum, konsentrasi Hb dan derajat oksigenasi jaringan. Demikian

juga fungsi ginjalnya.

Kontrol vascular. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer

dapat dikenali memalui berbagai cara seperti: warna dan suhu kulit,

perabaan arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior serta ditambah

engukuran tekanan darah. Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara

mengevaluasi keadaan pembuluh darah melalui non-invasif maupun

invasive dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle

pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echodopler dan kemudian

pemeriksaan arteriografi.

Terapi farmakologis. Mengacu berbagai penelitian yang sudah

dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung,

otak) obat seperti aspirin dan berbagai obat DM, dapat bermanfaat untuk

pembuluh darah kaki penyandang DM. Tetapi sampai saat ini belum ada

bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin

guna memperbaiki potensi pada penyakit pembuluh darah kaki

penyandang DM.

Revaskularisasi. Jika kemungkinan sembuh luka rendah atau ada

klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat

dianjurkan. Sebelum tindakan diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk

mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas. Untuk oklusi

yang Panjang dianjurkan bedah pintas terbuka. Untuk oklusi yang pendek

dapat dilakukan prosedur endovascular-PTCA. Pada keadaan sumbatan


akut dapat pula dilakukan trombo-arterektomi, dengan berbagai Teknik

bedah tersebut vaskularisasi darah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil

pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik.

Wound control. Perawatan luka sejak pertama kali penderita dating

merupakan hal yang haris dikerjakan dengan baik dan teliti. Klasifikasi

ulkus pedis dilakukan setelah debridemen yang adekuat. Saat ini terdapat

banyak macam dressing (pembalut) yang dapat dimanfaatkan sesuai

keadaan luka. Dressing yang mengandung carbonated dressing, alginate

dressing bermanfaat pada keadaan luka yang masih produktif. Hydrophilic

fiber dressing atau silver impregnated dressing bermanfaan untuk luka

produktif dan terinfeksi. Tindakan debridemen merupakan sarat mutlak

sebelum menilai dan mengklasifikasikan luka.

Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi

mikroba pada luka seperti, cairan salin sebagai pembersih luka, atau

yodine encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing. Demikian pula

berbagai cara debridemen non surgical dapat dimanfaatkan untuk

mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim.

Setelah luka mengalami perbaikan dan tidak terjadi infeksi, dressing

hydrocolloid dressing dapat dipertahankan.

Selama proses inflamasi masih ada proses penyembuhan luka tidak

akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu granulasi dan epitelialisasi.

Berbagai sarana dan penemuan dapat di manfaatkan untuk wound control


seperti: dermagraft, apligraft, growth factor, protease inhibitor untuk

mempercepat kesembuhan luka.

Microbiological control. Dari penelitian di RS Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta, umumnya didapatkan pola kuman yang

polimikrobial, campuran gram positif dan negative serta kuman anaerob

untuk luka yang dalam dan berbau, untuk itu kalipertama diberikan

antibiotic dengan spektrum luas, seperti: golongan sepalosporin,

dikombinasikan dengan metronidazole.

Pressure control. Berbagai cara untuk mencapai keadaan non

weight-bearing dapat dilakukan antara lain:

 Removable cast walker

 Total contac casting

 Temporary shoes

 Felt padding

 Crutches

 Wheelchair

 Electric cart

 Cradle insoles

Berbagai cara surgical dapat dipakai untuk mengurangi tekanan

pada luka seperti: 1). Dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses, 2).

Prosedur koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe, metatarsal head

resection, achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.


DAFTAR PUSTAKA

Sapra A, Bhandari P. [Updated 2021 Sep 18]. Diabetes Mellitus. In: StatPearls

[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551501/
American Diabetes Association (2010). Diagnosis and classification of diabetes

mellitus. Diabetes care, 33 Suppl 1(Suppl 1), S62–S69.

https://doi.org/10.2337/dc10-S062

Wild, S., et al. (2004) Global Prevalence of Diabetes: Estimates for 2000 and

Projections for 2030. Diabetes Care, 27, 1047-1053.

Depkes RI, 2005; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 23 tahun 2005

Tentang Kesehatan; Jakarta; Hal 1. Fisioterapi Indonesia; Jakarta; Hal.5.

American Diabetes Association. 2018. Glycemic targets: standards of medical


care in diabetes-2018. Diabetes care, 41(Suppl 1), p. S55.

World Health Organization, 2016. Global report on diabetes.

Walsh, K.B., Lodoen, M.B., Edwards, R.A., Lanier, L.L. and Lane, T.E., 2008.
Evidence for differential roles for NKG2D receptor signaling in innate host
defense against coronavirus-induced neurological and liver disease. Journal of
virology, 82(6), pp.3021-3030.
Tjokroprawiro, A. dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga.

PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia, PERKENI, Jakarta.

Reusch, J. E., & Manson, J. E. (2017). Management of Type 2 Diabetes in 2017:


Getting to Goal. JAMA, 317(10), 1015–1016.
https://doi.org/10.1001/jama.2017.0241

Sola, D., Rossi, L., Schianca, G. P., Maffioli, P., Bigliocca, M., Mella, R.,
Corlianò, F., Fra, G. P., Bartoli, E., & Derosa, G. (2015). Sulfonylureas and their
use in clinical practice. Archives of medical science : AMS, 11(4), 840–848.
https://doi.org/10.5114/aoms.2015.53304

Mladen Savikj, juleen R. Zierath. 2020. Train like an athlete: applying exercise
intervention to manage type 2 diabetes. Diabetologia (2020) 63:1491–1499

Singer, A. J., Tassiopoulos, A., & Kirsner, R. S. (2018). Evaluation and


Management of Lower-Extremity Ulcers. The New England journal of
medicine, 378(3), 302–303. https://doi.org/10.1056/NEJMc1715237
Armstrong DG, Boulton AJM, Bus SA. 2017. Diabetic Foot Ulcers and Their
Recurrence. N Engl J Med.  15;376(24):2367-2375.

Anda mungkin juga menyukai