Anda di halaman 1dari 6

FREEPORT DAN IRIAN JAYA

Pada tahun 1936, dalam upaya mendaki gletser beberapa kilometer ke sebelah timur,
seorang geolog muda berkebangsaan Belanda bernama Jean Jacquez Dozy mengenali sebuah
gunung dalam peta yang dibawanya. Meskipun tujuan utamanya adalah melakukan
pendakian gletser Cartenz, Dozy menaruh perhatian tersendiri terhadap gunung aneh tersebut
dan terdorong untuk membuat catatan serta mengambil beberapa contoh batuan.
Contoh batuan kemudian dikirim ke beberapa laboratorium untuk dianalisis. Hasil
analisis berserta penjelasan-penjelasan tentang lapisan batuan di sekeliling gunung yang
dibuat oleh Dozy diterbitkan dalam Jurnal Geologi Leiden. Anomali yang lebih menarik dan
lebih dramatis adalah Ertsberg atau Gunung BIjih, yakni sebuah gunung dengan kandungan
tembaga kadar tinggi. Perusahaan yang saat ini dikenal sebagai Freeport McMoran Copper &
Gold dan merupakan induk dari PT Freeport Indonesia, memulai usaha 80 tahun yang lalu
dengan sebuah perusahaan belerang yang beroperasi di sepanjang Gulf Coast di Amerika
Serikat.
Dalam tahun 1960-an dilakukan eksplorasi di Australia dengan tujuan utama
menemukan nikel. Forbes Wilson yang pada saat itu menjabat manager eksplorasi Freeport,
sebenarnya sedang mencari nikel di Indonesia pada saat dia menemukan laporan tentang
tembaga di pedalaman Irian Jaya, yang pada waktu itu masih bernama Netherlands New
Guinea. Pada akhir 1960-an, setelah adanya perubahan pemerintahan di Indonesia, proyek di
Ertsberg pun dimulai.

MEMBANGUN TAMBANG
Untuk melanjutkan proyek Ertsberg PT. Freeport membutuhkan transportasi untuk
mengirimkan tim ahli dan peralatan pemboran karena untuk mencapai lokasi membutuhkan
waktu yang lama dan akses yang dilalui sangat sulit. Alat transportasi yang digunakan adalah
helikopter. Tetapi, permasalahan yang utama adalah terjadinya perubahan politik di new
guenea barat. Pada tahun 1960 ertsberg masih terletak di New Guinea belanda namun pada
tahun 1963, ertsberg sudah menjadi bagian Irian Jaya. Setelah dalam kekuasaan indonesia
new guenea berganti nama menjadi irian barat.
Pada saat pergantian Presiden Republik Indonesia keadaan mulai berubah dengan
drastis dimana pada tahun 1966 PT Freeport memulai babak baru untuk memulai proyek
Ertsberg. Pimpinan tertinggi Freeport mendengar tentang perubahan keadaan di Indonesia
yang mengembirakan. Keberhasilan Texaco ditentukan oleh peran salah satu manager
indonesia yaitu julius tahija. Tahija mengatur pertemuan antara pejabat PT Freeport dengan
menteri pertambangan dan perminyakan, jendral ibnu sutowo. Ibnu sutowo sudah mengetahui
tentang expedisi yang dilakukan oleh PT Freeport, ibnu sutowo mengatakan bahwa pihak
jepang sudang mendekati beliau namun karena beliau merasa bahwa PT Freeport akan lebih
mampu, maka beliau lebih memilih PT Freeport untuk meneruskan pekerjaan.

ERA BAWAH TANAH


Pada tahun 1975,perusahaan sedang menghadapi ketidakpastian masa depan operasi di
Indonesia.Pada saat itu cadangan bijih Ertberg hanya tersisa 12 juta.Sedangkan kapasitas
pengolahan sebanyak 2,7 juta ton per tahun.Dengan tanggungan hutang $105 juta,sedangkan
pendapatan bersih 6,8 juta maka hal tersebut merupakan kondisi yang sulit. Mengingat umur
tambang tinggal 4 tahun lagi. Dalam kondisi tersebut satu satunya harapan untuk
mendapatkan profit adalah dengan menggali bijih tembaga dibawah perut Ertsberg.

Pada akhirnya Dewan Direktur Freeport Indonesia dengan dukungan utusan


bank,menyetujui usulan tersebut. Setelah rencana perluasan tambang terbuka selesai,maka
kesempatan untuk menemukan tambahan cadangan terbuka luas. Pada struktur geologi
Ertsberg,mineralisasi tembaga dapat ditemukan pada setiap sudut dan celah daerah
penambangan. Endapan bijih Ertsberg merupakan skarn atau endapan “kontak metasomasis”.
ERA GRASBERG
Pada awal tahun 1996,diperoleh kenyataan bahwa Grasberg mengandung deposit
sebesar 1,76 milyar ton batuan bijih dengan kadar rata-rata 1,11 % tembaga atau sama
dengan 35,2 milyar ton tembaga murni. Hal ini mengingat bahwa jenis endapan Grasberg
merupakan tipe porpiri,dimana pada tahun tersebut studi mengenai porpiri belum banyak.
Hingga pada akhirnya pemboran di Grasberg mendapat persetujuan setelah mengatas
namakan para penyandang dan. Pada tahun 1985, bor eksplorasi pertama Grasberg
ditancapkan. Dalam suatu lubang bor selanjutnya ditemukan emas dalam kadar yang masih
sedikit. Pemboran pun terus dilanjutkan hingga pada tahun 1989 para geologi dan insinyur
telah memperkirakan bahwa Grasberg mengandung batuan bijih sedikinya 99 juta ton.

PENGGUNAAN DAN PENJUALAN TEMBAGA

Sampai pada akhir-akhir ini, seluruh penjualan kosentrat tembaga yang merupakan satu-
satunya produk Freeport, dilakukan di pasar konsentrat yang dikenal dengan nama “custom
concentrate market”. Di pasar ini para penambang menjual konsentrat kepada pabrik
peleburan yang tidak mengoperasikan tambang terpadu. Pada umumnya custum smelter
berlokasi dakat palabuhan, dimana kapal-kapal besar berkapasitas 35.000 ton berlabuh
dengan muatan konsentrat tembega.
Pada tahun 1995, Freeport menghasilkan 500.000 ton tembaga, setara dengan 1,6 juta
ton konsentrat. Sekitar 450.000 ton konsentrat dijual ke perusahaan peleburan yang beraflliasi
dengan Freeport di Spanyol, sedangkan sisanya yang 1,15 juta tor dijual kepada pasar
konsentrat internasional. Jumlah konsentrat yang di jual ke pasar mewakili 13,6 persen dari
seluruh jumlah penjualan konsentrat tembaga di pasar dunia dalam tahun 1995.Dalam
volume, jumlah penjualan Freeport hanya diungguli oleh perusahaan tambang di Cili,
Escondida yang meliputi 17 persen dari penjualan pasar. Setelah PT Freeport Indonesia,
penjual konsentrat terbesar selanjutnya adalah Ok Tedi (7,6 persen) di Papua New Guinea
dan Highland Valley Copper (5,8 persen) di Canada. Peleburan di Gresik yang diharapkan
akan beroperasi pada tahun 1988 atau 1999, akan melebur sebagian besar konsentrat dari
Grasberg, sehingga peran Freeport dalam pasar dunia akan menurun menjadi 5 persen.
HUBUNGAN MASYARAKAT

Freeport melakukan pendekatan pada para penghuni pemukiman dengan tujuan


menyakinkan mereka untuk pindah ke TImika agar mendapat pemukiman yang lebih sehat
dan layak. Daerah sekitar Freeport yang dianggap sebagaisimbol nyata dari kedaulatan
pemerintahan Indonesia dijadikan sasaran kegiatan OPM. Dalam musim semi 1977
bersamaan dengan hari pemilu di Indoneisa, pengacauan keamanan terjadi di beberapa daerah
pegunungan. Pada bulan juli 1977 beberapa anggota OPM memotong jaringan pipa
konsentrat dengan gergaji tangan, merobohkan pohon pada kawat jaringan listrik serta
membakar tangki bahan bakar. Dalam serangan pembalasan yang dilakukan oleh tentara
Indonesia sebagaian besar dari 17 bangunan yang dibangun oleh Freeport untuk penduduk
Wa dihancurkan, dan beberapa kelompok gubuk liar dibakar.

Pada tahun 1994 Freeport membangun rumah sakit di TImika yang kemudia
dialihkan menjadi rumah sakit pemerintah. Perluasan rumah sakit yang dibiayai Freeport
meliputi ruang gawat darurat, ruang untuk perawatan pasien luar, ruang pemeriksaaan, ruang
arsip, mesin sinar x, dan beberapa peralatan laboratorium. Permasalahan terbesar di daerah
rendah adalah malaria, yang juga meluas diseluruh Irian Jaya. Dibawah pimpinan Dr. Marvin
Clark, pada tahun 1992, Freeport melakukan pemberantasan malaria secara besar besaran.
Regu pemantau malaria setiap hari melakukan pemeriksaan ke seluruh pemukimam, di
kawasan daerah rendah termasuk pemukimam transmigrasi dan di pemmukimam pekerja
perusahaan pemotongan kayu serta kota Timika.
Orang Amungme sebenarnya menyadari manfaat rumah sehat, dimana perapian dapur
terpisah dari ruang tinggal, namun tradisi yang kuat tidak dapat mereka lepaskan. Tidak
semua bantuan bahan bangunan dari Freeport merupakan bahan setempat.

Anda mungkin juga menyukai