Anda di halaman 1dari 9

Buntari, (Re)Formasi Birokrasi...

(Re)Formasi Birokrasi: Profesionalisme Birokrat


pada Level Perguruan Tinggi

Buntari
FISIP, Universitas Jember

buntari.fisip@unej.ac.id

Abstract

This article is meant to discus bureaucrate professionalism issue in national bureaucrate framework,
particularly in university revitalization context. It was urgent to think how national discourse
placed university proportionate with bureaucracy professionalism discourse and bureaucracy
reformation in another side except as a post new order’s mandate. This became urge necessity
to accelerate nasional development which based on human resource excalation. Thus, education
bureaucracy affairs especially at the university level is emphasized in this article. By using
descriptive method, the research took case in state universities in Jember region. The results showed
that there was bureacracy professionalism discourse which had been interpreted differently at local
and personal level. The interpretation developed into discussion and bureaucrate practices in social
sphere which culturally formed whereas the social sphere could blur categories between status and
roles that structurally tied individual bureaucrate.

Keywords: bureaucracy, bureaucrate, professionalism, reformation, social sphere

Abstrak

Artikel ini dimaksudkan untuk membahas isu mengenai profesionalisme birokrat dalam
kerangka birokrasi nasional, khususnya pada konteks revitalisasi perguruan tinggi. Hal
yang menjadi urgent untuk dipikirkan ialah persoalan bagaimanakah wacana nasional
dalam menempatkan perguruan tinggi berjalan berbanding lurus dengan wacana
profesionalisme birokrasi dan reformasi birokrasi disisi lain, selain sebagai salah satu
mandat dari reformasi pasca orde baru. Hal ini tampaknya menjadi kebutuhan mendesak
untuk mempercepat pembangunan nasional yang berdasar pada peningkatan sumber
daya manusia. Oleh sebab itu, persoalan birokrasi pendidikan khususnya pada level
perguruan tinggi mendapat perhatian khusus dalam artikel ini. Dengan menggunakan
metode deskriptif, peneltian ini mengambil kasus pada perguruan tinggi negeri
ditingkatan kabupaten Jember. Hasil dari penelitian ini, menunjukan adanya wacana
profesionalisme birokrasi yang ditafsirkan secara berbeda pada tingkatan lokal dan
personal. Penafsiran ini menjadi isu yang berkembang menjadi pembicaraan dan praktek
birokrat dalam ruang-ruang sosial yang terbentuk secara kultural, dimana ruang sosial ini
mampu mengaburkan kategori antara status dan peran yang secara struktural mengikat
individu birokrat.

Kata Kunci: birokrasi, birokrat, profesionalisme, reformasi, ruang sosial


6 DIMENSI, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2017

Pendahuluan netral dengan berorien­tasi pada pelayan


Membicarakan birokrasi berdasar­ masyarakat, politik dan menekankan
kan kondisi real saat ini tanpa meletakkan bahwa setiap birokrasi memiliki kepen­
pada kondisi perkembangan historis bi- tingan sendiri, dan hubungan dengan
rokrasi itu sendiri, seakan meletakkan kon- strata sosial lainnya. Secara teoritik hal
sep birokrasi tanpa dasar pijakan historis ini yang dikonsepsikan sebagai otonomi
dan bagaimana inividu diposisikan dalam relatif pada sistem birokrasi dan artikulasi
sistem birokrasi. Birokrasi sebagai suatu birokrat yang menandari adanya tingkatan
sistem, meletakkan kerangka berfikirnya individual dari birokrasi, meskipun hal ini
kedalam jejajaring kerja sistematis yang tak dapat dilepaskan dari kerangka berfikir
meninggalkan fungsi-fungsi sosial dalam intersubjektif.
kearifan masyarakat tradisional, pada kon- Dalam prakteknya birokrasi hanyalah
teks ini birokrasi menjadi hal yang secara alat dimana seseorang pemimpin harus
sistematis dimak­sudkan untuk memben- memberikan arah kebijakan dan terkadang
tuk dan merubah struktur masyarakat dilakukan dengan kekerasan untuk
tradisional. Weber meletakan Birokrasi se- mengi­rimkan pesan melalui representasi
bagai bagian yang menandai adanya kapi- kekuasaan dan ketegasan. Dalam konteks
talisme dan meder­nitas, yang artinya tersebut, birokrasi menjadi suatu alat dari
sistem birokrasi sejalan dengan kebutuhan pemimpin yang dalam kondisi faktualnya
sistem modern untuk membangun suatu dibanyangkan sebagai pemerintahan.
setem yang secara integratif mampu meng- Birokrasi menjadi instrumen untuk meno­
gerakan dan meng­hu­bungkan instirusi so- pang pekerjaan sehari-hari suatu peme­
sial yang tersebar, dan mengjalankan per- rintahan, yang disitu terdapat proses
cepatan akumulasi modal. administrasi yang hierarki, sehingga
‘Biro’ sebagai sebuah konsep yang organisasi semacam birokrasi ini baik
berakar pada bahasa Prancis dan kemudian langsung maupun tak langsung selalu
berkembang dalam bahas Jerman merujuk terkonta­minasi oleh politik kekuasaan
pada sebuah meja sebagai sebuah figurasi peme­rintah yang memiliki kencenderungan
dari kerja yang terpaku pada aturan- untuk berjalan secara konservatif dan pro­
aturan administratif atau perpanjangan status quo.
sebuah kantor. Birokrasi yang dilakukan Muculnya isu reformasi birokrasi
dari aturan sebuah meja atau kantor, yaitu (Hardjapamekas, 2003, 2013) dalam sebuah
dengan persiapan dan penyampaian dari tubuh pemerintahan, memang sangat
dokumen tertulis atau, hari ini, mereka diperlukan, selain untuk mempercepat
setara elektronik. Dalam konteks tersebut, proses jalannya roda pemerintahan,
persoalan birokrasi tampak didsekripsikan hal ini diperlukan untuk memberikan
secara netral, berkerja secara berjenjang efek pendisiplinan kepada birokrat. Hal
dan saling berhubungan. ini perlu dilakukan secara sistematis
Weber sebagai pencetus gagasan biro­ sehingga pada sistem organisasi birokrasi
krasi modern (Abdullah, 1982. Tuner, yang cenderung sentralisitik dan kurang
1982) tentu saja sadar akan persoalan peka terhadap perkembangan ekonomi,
praktik birokrasi baik secara ideal sosial dan politik masyarakat harus
maupun pada level lokal. Birokrasi secara ditinggalkan. Dan menuju atau diarahkan
ideal, telah menjadi sebuah relasi yang seiring dengan tuntutan masyarakat
dikonstruksikan secara obyektif dan untuk mendapatkan pelayanan dari
Buntari, (Re)Formasi Birokrasi... 7

pemerintah dan penyelenggara negara. masih ditangani pemerintah, meskipun hal


Karenanya harus diciptakan birokrasi yang ini tidak dapat sepenuhnya diletakan pada
transparan, profesional, akuntabel dan lambatnya sistem birokrasi. Dengan makin
self improving. Dengan mengedepankan besarnya peran yang dijalankan oleh
prinsip transparansi kerja struktur masyarakat, maka seharusnya peran dan
organisasi birokrasi, sehingga masyarakat fungsi birokrasi lebih cenderung sebagai
luas tahu posisi, fungsi maupun peran dari agen yang mengarahkan pada terjadinya
birokrasi itu sendiri. pembaharuan tatanan sosial, pelayanan
Menciptakan birokrasi yang tertata dan pemberdayaan masyarakat.
dan berdasar pada profesionalisme kerja Peran ini harus dijalankan oleh
dapat dimaksudkan mencapai pember- birokrasi mengingat fungsinya sebagai
dayaan masyarakat dan mengutamakan agen perubahan dan faslitator yang menje­
pelayanan kepada masyarakat tanpa dis- mbatani kebutuhan dan kepentingan
kriminasi. Birokrasi demikian dapat ter- stake holder. Sebagai agen perubahan,
wujud apabila terbentuk suatu sistem di- birokrasi dibayangkan dan didorong
mana terjadi mekanisme Birokrasi yang mampu mengambil inisiatif dalam meme­
efisien dan efektif dengan menjaga sinergi lopori suatu kebijakan. Sementara sebagai
yang konstiruktif di antara pemerintah, fasilitator, birokrasi harus dapat mem­
sektor swasta dan masyarakat sipil yang fasilitasi kepentingan-kepentingan yang
saling menyeimbangkan. Meskipun posisi, muncul dari masyarakat sipil, sektor swasta
wewenang dan peranan Birokrasi masih maupun kepentingan negara. Selain itu,
sangat kuat dan dominan hal ini tampak pemisahan peran dan fungsi yang melekat
dari mobilisasi sumber daya pembangu- pada aparatur pemerintah menjadi suatu
nan, perencanaan, pelaksanaan pemerin- keharusan, untuk menghindarkan adanya
tahan dan pembang­unan yang masih ter- tumpang tindih wewenang dan abuse
kesan sentralistik dan kontrol berada pada of power. Aparatur pemerintah sebagai
beberapa birokrat saja. pelayan publik yang harus melayani
Kemampuan birokrasi untuk meng­ masyarakat sejalan dengan aturan yang
antisipasi tuntutan perkembangan masya­ telah ditetapkan dan sesuai dengan prinsip
rakat baik secara ekonomi, sosial dan politik kesetaraan.
memiliki kecenderungan berjalan secara Dalam rangka optimasi peran birokrasi
konservatif dan tergantung pada landasan sebagaimana dikemukakan diatas, kebijak­
hukum yang seringkali tersandra oleh sanaan debirokratisasi, deregulasi, dan
kepentingan praktis, sehingga kedudukan desentralisasi perlu dilanjutkan dan
birokrasi yang seharusnya sebagai pelayan dikawal pelaksanaannya, peningkatan
masyarakat cenderung bersifat struktural pela­yanan kepada masyarakat harus terus
dari atas kebawah daripada menjalankan menerus ditingkatkan dan diusahakan
kebijakan yang berkerja secara partisipatif secara sistematis dan terukur. Persoalannya
dan emansipatif (Martini, 2010; kemudian dalam konteks pendidikan dan
Mustopadidjaja, 2003). Kinerja birokrasi pelayan­annya, bagaimanakah praktik
masih jauh dari efisien, yang antara lain birokrasi? Untuk mengelaborasi isu
ditandai dengan adanya tumpang tindih tersebut, peneliti akan mendiskripsikan
kegiatan antar instansi dan masih banyak birokrasi sebagai sebuah sistem yang
fungsi-fungsi yang sudah seharusnya berkerja secara sistematis dan berada
dapat diserahkan kepada masyarakat dalam proses sosial yang real.
8 DIMENSI, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2017

Birokrasi Weberian: Deskripsi Reformasi ditumbuhkan. Ini prasyarat penting,


Birokrasi karena tanpa disertai spirit yang kuat dari
Birokrasi dalam konsepsi Weberian birokrat untuk berubah maka reformasi
(Weber, 1978, 1992. Gerth, H. & C.W. birokrasi akan menghadapi banyak
Mills, 1958) merupakan sebuah sistem kendala. Sebagai konsekuansinya, kultur
kerangka kerja masyarakat modern birokrasi tampak buruk, konotasi negatif
menghadirkan beberapa kekurangan seperti mekanisme dan prosedur kerja
sebagai perkembangan dari sistem berbelit-belit dan penyalahgunaan status
tradisional yang telah usang. Tampilan perlu transformasikan. Sebagai arah yang
birokrasi sebagai sebuah sistem dimana konstruktif hal tersebut perlu dilakukan
kekuasaan berdasarkan sistem kontrol pembenahan kultur dan etika birokrasi
dan pendisiplinan. Bagi Weber salah dengan konsep transparansi, melayani
satu masalah yang paling serius adalah secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
bagaimana masyarakat mempertahankan Rasionalisasi kelembagaan menjadi
dan menyeimbangkan kontrol atas penting dilakukan agar birokrasi menjadi
negara pada perkembangan birokrasi ramping dan lincah dalam menyelesaikan
yang dalam perkembangannya menjadi permasalahan serta dalam menyesuaikan,
semakin kompleks dan konservatif. Dia merespons dan mengikuti dengan
merasa masalah yang paling serius adalah perubahan-perubahan yang terjadi di
meningkat kekuatan dan keberpihakan masyarakat, termasuk kemajuan menjadi
pejabat publik. Melalui autokritik Weber melek akan teknologi informasi.
inilah yang menyebabkan pergeseran Upaya reformasi birokrasi tidak akan
kekuasaan dari para pemimpin masyarakat memberikan hasil yang optimal tanpa
kepada birokrat menjadi hal yang melekat disertai sumber daya manusia yang
dan terus menerus difikirkan ulang dalam handal, profesional dan berorientasi pada
sebuah perdebatan tentang warisan pelayanan. Oleh karena itu untuk men­
birokrasi Weberian (Doyle, 1986. Ritzer dapatkan sumber daya manusia (SDM)
dan Goodman, 2003). yang memadai diperlukan penataan dan
Reformasi birokrasi menjadi usaha sistem rekrutmen kepegawaian, sistem
mendesak dan menjadi bagian dari usaha penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan
untuk membangun kerangka konseptual peningkatan kesejahteraan. Reformasi
pada birokrasi modern model Weberian, birokrasi akan berdampak langsung pada
mengingat implikasinya yang begitu masyarakat, karena peran birokrasi yang
luas bagi masyarakat sipil, sektor swasta utama adalah memberikan pelayanan
dan pada kerbelangsungan kehidupan kepada masyarakat. Pada tataran ini
bernegara. Perlu usaha-usaha serius agar masya­rakat dapat dilibatkan untuk
pembaharuan birokrasi menjadi lancar mengawasi kinerja birokrasi.
dan berkelanjutan. Reformasi birokrasi Secara strategis, kemudian akar
harus berorientasi pada demokratisasi permasalahan buruknya birokrasi dan
dan bukan pada kekuasaan. Perubahan kinerja birokrat di Indonesia pada prinsip­
birokrasi harus mengarah pada kebutuhan nya terdiri dari dua hal penting: (1)
akan mempercepat proses kepemerintahan persoalan internal system kepegawaian
karena reformasi birokrasi harus bermuara negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal
pada pelayanan masyarakat. yang mempengaruhi fungsi dan profe­
Spirit birokrat untuk berubah harus siolisme kepegawaian negara. Dan
Buntari, (Re)Formasi Birokrasi... 9

situasi problematis terkait dengan mendapatkan kekuasaan yang semakin


persoalan internal sistem kepegawaian terbatas (Pratikno, 1998). Menjadi catatan
dapat dianalisis dengan memperhatikan penting dalam artikel ini, bahwa masih
subsistem yang membentuk kepegawaian belum tercipta budaya pelayanan public
negara. Subsistem kepegawaian negara yang berorientasi kepada pelayan akan
terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian kebutuhan pelanggan (service delivery
dan reward, (3) pengukuran kinerja, culture). Sebaliknya, yang seiring dengan
(4) promosi jabatan, (5) pengawasan. wacana profesionalisme, berkonsekuensi
Kegagalan pemerintah untuk melakukan pada menguatnya obsesi para birokrat dan
reformasi terkait dengan subsistem- politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai
subsistem tersebut telah melahirkan lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan
birokrat-birokrat yang dicirikan oleh (power culture) (Prasojo, 2006: 5). Hal ini
kerusakan moral (moral hazard) dan yang kemudian coba dideskripsikan
juga kesenjangan kemampuan untuk sebagai persoalan yang mendesak untuk
melakukan tugas dan tanggungjawabnya diantisipasi dalam setting pendidikan,
(lack of competencies) (Prasojo, 2006: 6). khususnya pada pelayanan dan ketata
Dalam konteks makro tersebut, kelolaan perguruan tinggi.
persoalan birokrasi menyentuh dua hal Reformulasi birokrasi pada level
mendasar, yakni sebagai sebuah sistem perguruan tinggi, didasari dari pembacaan
ketatakelolaan organisasi berikut segala akan adanya harkat perguruan tinggi
aturan yang dibentuk sebagai dasar dari yang secara strategis dimaksudkan
praktik birokrasi dan yang kedua pada untuk merevitalisasi perguruan tinggi
persoalan bagaimana birokrasi dijalankan dan menempatkannya pada konteks
secara personal pada tubuh para birokrat persaingan global, sehingga dibutuhkan
(Rogers, 1984). Kedua hal mendasar sistem yang secara terintegrasi mampu
tersebut kemudian diproyeksikan akan mengarahkan sumber daya nasional untuk
menjadi sistem yang secara integral dapat dapat berperan aktif pada situasi global
menyentuh kompleksitas kebutuhan (Sunyata: 1999). Pokok-pokok pemikiran
pelayanan, sehingga skenario dan strategi tersebut kemudian dibentuk oleh Dikti
disusun untuk mengarah pada pelayanan sebagai berikut:
yang efisien. Yang menjadi menarik a. Perguruan tinggi merupakan lembaga
kemudian, bagaimanakah hal tersebut ilmiah yang berfungsi sebagai pusat
dipraktekkan dalam setting pendidikan budaya, pilar bangsa, dan penggerak
dan perguruan tinggi? perubahan sosial menuju masyarakat
demokratis maju.
Skema (Re)Formasi Birokrasi: Praktek b. Perguruan Tinggi menjadi: wadah
Sosial Profesionalisme di Perguruan pendidikan calon pemimpin bangsa;
Tinggi wadah pembelajaran mahasiswa dan
Birokrasi yang dibayangkan netral masyarakat; pusat pengembangan
dan menjalankan fungsi dari penentu imu pengetahuan dan teknologi; pusat
kebijakan, dan bertanggung jawab kepada kebajikan dan kekuatan moral untuk
masyarakat (Miftah, 2002. Yuliani, 2003). mencari dan menemukan kebenaran.
Di sisi lain birokrasi dalam kerangka c. Penyelenggara Perguruan tinggi meng­
struktural semakin kebawah atau semakin utamakan prinsip-prinsip academic
berada pada tataran praktiknya, akan governance bukan aspek birokrasi,
10 DIMENSI, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2017

politik, ataupun hanya efisiensi mana­ Pada skema tersebut, secara visual
jemen. pemosisian Dikti, institusi budaya
d. Networking antara unsur lebih dan kementerian lain, diletakan dalam
penting;bukan struktur hirarki vertikal kerangka berfikir yang terstruktur dan
(power satu unit terhadap yang lain). menjadi lembaga yang terpisah tetapi
e. Senat Akademik (SA) sebagai wakil berhubungan, tetapi fungsinya dapat
masyarakat akademik baik Perguruan terintegrasi dengan dikti. Fungsi regulator,
Tinggi maupun Fakultas mempunyai fasilitator, dan pengontrol meenjadi titik
kewenangan terbesar (Direktorat Ke­ dari bagaimana perguruan tinggi dapat
lem­bagaan dan Kerjasama Direktorat menjalankan birokrasi ketata kelolaan
Jenderal Pendidikan Tinggi Kemen­ perguruan tinggi. Perguruan tinggi
terian Pendidikan dan Kebudayaan, terikat pada regulasi dan terkontrol oleh
2014). dikti, sementara dalam prakteknya, dikti
Apa yang menjadi menarik ialah memberikan dasar dari praktik perguruan
persoalan harkat perguruan tinggi yang tinggi dalam bentuk pendanaan dan
disejajarkan sebagai ruang produksi dan mandat sebagai legalitas. Dua hal yang
reproduksi kultur dalam berkenegara menjadi dasar dari berjalalanya birokrasi
bangsaan. Kemajuan dalam konteks perguruan tinggi, diletakan pada kerangka
tersebut, diletakan pada kemampuan otonomi kampus, secara konseptual hal ini
kultur nasional mampu diletakan sebagai dalam artikel ini merujuk pada kerangka
kekuatan bangsa dalam meraih kemajuan. berfikir otonomi realtif, dimana level atau
Di sisi lain hal tersebut dimaksdukan tingkatan otonomi perguruan tinggi akan
sebagai penciptaan kultur yang mampu selaluterikat pada aturan dan berada pada
beradaptasi, kritis dan kreatif dalam ketersaling hubungan dengan institusi
menempatkan kesadaran nasioanl sebagai lain.
instrumen dalam menghadapi kemajuan Sedangkan adanya masyarakat yang
yang destruktif. Dalam fungsi tersebut, difikirkan kedalam kerangka masyarkat
maka skema yang dimaksudkan oleh profesional, yang dicontohkan kedalam
Dikti ialah sebagai berikut (Direktorat kalangan industri dan kelompok-
Kelembagaan dan Kerjasama Direktorat kelompok asosiasi, hal ini menandai
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian adanya keterikatan atau keterhubungan
Pendidikan dan Kebudayaan, 2014). perguruan tinggi sebagai ruang reproduksi
budaya yang mengintergrasikan keputusan
dan kebijakannya atau tingkat otonominya
untuk sejalan dengan kehendak atau
kebutuhan masyarakat profesional.
Posisi tersebut menandai skema yang
mengarahkan perguran tinggi untuk selalu
sejalan dengan kebutuhan masyarakat
yang lebih luas dan sebagai institusi yang
menyerap lulusan perguruan tinggi.
Dalam menjalankan prinsip otonomi relatif
tersebut, prinsip Good University Governance
adalah: a. Transparansi; b. akuntabilitas
(kepada stakeholders); c. responsibility
Buntari, (Re)Formasi Birokrasi... 11

(tanggung-jawab); d. independensi (dalam pada level ekstrenal. Dari penelitian ini


pengambilan keputusan); e.fairness (adil); tampak beberapa model yang muncul
f. penjaminan mutu dan relevansi; g. seiring dengan reformasi perguruan tinggi.
efektifitas dan efisiensi; h. nirlaba. Terlepas pada afiliasi politik dan kebutuhan
Good University Governance, sebagai praktis pemimpin dan birokrat yang
konsep yang merespon kebutuhan dunia terlibat dalam lembaga perguruan tinggi,
profesional dan dikembangkan dari ide formasi sosial yang terbentuk didalam
good governance, terpusat pada karakter wacana profesionalisme birokrasi ini
kepemimpinan yang mampu menjalankan dapat ditandai dengan beberapa kategori,
fungsi kepemimpinan dan memberikan yakni: a. munculnya kelompok birokrat
arahan seseui dengan visi perguruan tinggi. yang menempatkan dirinya sebagai yang
Dalam menjalankan kepemimpinannya, berdasar pada profesionalisme kerja, yakni
hal yang ditekankan oleh Dikti ialah: yang mengandalkan dirinya pada merit
1. Not everything is improved by making sistem Weberian; b. munculnya kelompok
it democratic; 2. There are basic differences pragmatis yang mengutamakan pada
between the rights of citizenship in a nation status quo dan mengandalkan afilisi politik
and the rights that are attained by joining partikular yang bergantung pada model
a voluntary organization; 3. Rights and patron klien; c. menguatnya kelompok
responsibilities in university should reflect tradisional yang mengutamakan kinerja
the length of commitment to the institution; minimal dan berusaha pada membangun
4. Those with knowledge are entitled to a strategi subsitensi status dan fungsinya; d.
greater say; 5. The quality of decisions is munculnya kelompok yang secara prinsip
improved by continuously preventing conflict berdekatan dengan point kelompok
of interest; 6. University governance should tradisional, tetapi yang membedakannya
improve the capacity for teaching and research; pada manuver dan strateginya untuk
7. To function well, a hierarchical system membangun ruang konfliktual untuk
of governance requires explicit mechanism membangun ruang dialog pada tiap
of consultation and accountability (Henry kelompok selain dilakukan untuk men­
Rosousky, 1990). dapatkan fungsi strategis bagi dirinya,
Prinsip dasar tersebut menandai model ini menandai adanya kelompok
adanya revitalisasi kepemimpinan yang yang secara profesional merepresntasikan
dikondisikan mampu menjadi agen dari kepekaan akan fungsi politik dari birokrasi.
pembaruahan yang berkomitmen untuk Untuk memperjelas model kelompok
mengembangkan perguruan tinggi yang strategis ini, penelitian ini melihat pada
secara ideal berakar pada kebutuhan bagaimana fungsi dialog dijalankan pada
masyarakat baik pada tingkatan lokal, ruang-ruang sosial yang bersifat makro.
nasional maupun pada dimensi global. Dimana arah dan keberpihakan pada
Dalam konteks arikel ini, perguruan masyarakat memposisikan kelompok ini
tinggi yang menjadi wilyah kajian tidak hanya terjebak pada pembacaan
memperlihatkan adanya kepemimpinan parsial mengenai arah kebijakan
yang mampu mengerakan dan mengkontrol peguruan tinggi, tetapi mengarahkan
lembaganya dan mengoptimalkan dirinya untuk menjadi kelompok yang
terbentuknya formasi sosial yang secara mampu merepresentasikan kepentingan
strategis dibentuk sejalan dengan posisi masyarakat sipil sehingga pada batasan-
otonomi relatif perguruan tinggi dilevel batasan administratif dan birokratis
12 DIMENSI, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2017

kelompok ini mampu membangun kekuasaan dari atas, tetapi justru mendapat
dialog lintas kelompok, meskipun friksi mengakumulasikan kekuasaanya melalui
atar kelompok tampak tak mungkin jejaring interpersonal, yang artinya
terhindarkan. Kelompok ini, seringkali birokrasi mampu menjadi ruang bagi
tampil pda karakter pegawai yang kemunculan dominasi yang secara
memiliki jabatan fungsional dan posisi sistematis mengkontrol dan mengatas
non administratif. Meskipun pada namakan masyarakat. Dalam pengertian
level praktiknya batasan-batasan status ini, birokrasi mampu tampil menjadi
administratif kepegawaian tersebut dapat lembaga yang tidak lagi dibayangkan
dengan mudah dilampauinya. Posisi inilah menjalankan fungsi kebijakan, tetapi
yang seringkali disalah pahami dan dibaca menghadirkan kebijakan itu sendiri secara
secara kategoris pada keberpihakan saja, otonomi relatif, dengan kata lain mampu
yaitu dengan melihat posisi kelompok ini merancang dan menghasilkan kebijakan.
sebagai bagian dari variasi dan manuver Munculnya kelompok sosial dalam tubuh
individual tanpa melihatnya secara birokrasi menandai adanya impersonalitas
sistematis. birokrasi yang justru menjadi celah
dari profesionalisme birokrasi hal ini
Penutup yang perlu dikonstruksikan baik secara
Dalam kondisi real, pada tingkatan teoritik maupun dalam praktik sosial,
terkecil pun, birokrasi mampu mengem­ untuk melihat jangkauan dari kelompok-
bangkan kekuasaanya dalam ruang per­ kelompok sosial pada praktik birokrasi,
sonal, yang tak hanya bergantung pada terutama pada birokrasi pendidikan.
Buntari, (Re)Formasi Birokrasi... 13

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1982. Tesis Weber dan Islam di Indonesia (ed) dalam “Agama, Etos Kerja,
dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Brubaker, Rogers. 1984. The Limits of Rationality: An Essay on the Social and Moral Thought
of Max Weber. London: George Allen and Unwin.
Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemendikbud)
2014. http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/statuta/latih/2014/GoodUniversityGovernance.pdf.
Diunduh pada tanggal 15 Juni 2017.
Gerth, H. & C.W. Mills. 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford
University Press.
Hardjapamekas, Erry. 2003. Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Penegakan dan Pemberantasan
KKN. Makalah yang disampaikan pada Seminar Pembangunan Nasional VIII
dengan tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan.
Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Hardjapamekas. Erry. 2012. Materi Seminar Nasional: Tantangan Dan Peluang Reformasi
Birokrasi Di Indonesia. 2 Juni 2012.
Johnson, Doyle. P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terjemahan Robert M.Z. Lawang
dari judul asli “Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives”
(John Wiley & Sons Inc.). Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia.
Martini, Rina. 2010. Politisasi Birokrasi Di Indonesia, Politika : Jurnal Ilmu Politik, Vol. 1, No. 1.
Mustopadidjaja. 2003. Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN. Makalah yang
disampaikan pada Seminar Pembangunan Nasional VIII dengan tema: Penegakan
Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Suyata. 1999. Sistem Manajemen Pendidikan Menghadapi Kebijakan Deregulasi, Jurnal
Dinamika Pendidikan, Vol. 6, No. 2, November.
Pratikno. 1998. Urgensi Reformasi Basis Kekuasaan Birokrasi di Indonesia, JKAP (Jurnal
Kebijakan dan Administrasi Publik), Vol. 2. No. 1.
Prasodjo, Eko. 2006. Reformasi Kepegawaian (Civil Service Reform) Di Indonesia, Jurnal
Demokrasi dan HAM, Vol. 5, No. 3.
Ritzer, G. & Goodman, D.J. 2003. Teori Sosiologi Modern, terjemahan Alimandan dari judul
asli “Modern Sociological Theory” (McGraw-Hill). Jakarta: Kencana-Prenada Media.
Rosovsky, Henry. 1990. The University: An Owner’s Manual. New York, W.W. Norton and
Company.
Thoha, Miftah. 2002. Reformasi Birokrasi Pemerintah, Seminar Good Goverance di Bappenas.
Turner, Bryan S. 1982. Islam, Kapitalisme, dan Tesis Weber, dalam Taufik Abdullah (ed)
Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Weber, Max. 1992. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London: Routledge
Classics.
________ 1978. Economy and Society. London: University of  California Press.
Yuliani, Sri. 2003. Netralitas Birokrasi: Alat Politik Atau Profesionalisme? Dinamika, Vol.
3, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai