PENYAKIT TUBERKULOSIS
Oleh :
JURUSAN FARMASI
SUMENEP 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
Makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Adapun tujuan dari penyusunan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Farmasi Rumah Sakit . Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang “Memahami Penyakit Tuberkulosis’’ bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terimaksih kepada ibu Apt. Marlina Winda Puspita.S, Farm
selaku dosen pengampu yang telah memberikan tugas remedy UTS ini sehingga dapat
memperbaiki nilia UTS kami. Kami menyadari, penyusunan makalah yang kami tulis
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
2
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Pembahasan 6
BAB II PEMBAHASAN 7
A. Tuberkulosis (TB) 7
B. Gejala Penyakit Tuberkulosis 7
C. Macam macam penyakit Tuberkulosis 8
D. Pencegahan Tuberkulosis 10
E. Epideomology 10
F. Morbiditas dan mortalitas 12
G. Faktor risiko 14
H. Risiko infeksi tuberculosis 14
I. Risiko sakit tuberculosis 15
J. Pengobatan Secara Farmakologis dan Non Farmakologis 16
1) Famakologis 16
2) Non Farmakologis 23
BAB III KESIMPULAN 26
DAFTAR PUSTAKA 27
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
menyerang semua organ dari tubuh. Masyarakat hanya mengetahui bahwa TB
menyerang bagian paru saja pada umumnya, namun TB juga dapat menyerang
organ lain selain paru yang disebut ekstra paru. TB Ekstra Paru terjadi ketika
kuman TB menyebar ke bagian organ tubuh lain melalui aliran darah. Diagnosis
pasti untuk penyakit TB sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Kurangnya fasilitas yang memadai,
dokter ahli yang tidak selalu ada di tempat dan kurangnya pengetahuan pasien
mengenai penyakit TB seringkali membuat diagnosis TB terlambat yang bisa
mengancam kesehatan pasien. Sebuah aplikasi komputer yang sistematis sebagai
alat bantu untuk melakukan diagnosis awal penyakit TB sangat diperlukan untuk
memudahkan tenaga ahli dalam menemukan bagian organ tubuh mana yang
terserang penyakit TB dan dapat mempercepat hasil diagnosa sehingga tenaga ahli
dapat memberikan penanganan yang tepat.
Sistem yang dibangun dalam penelitian ini adalah sistem yang menggunakan
keahlian pakar dalam bidang kesehatan dengan menggunakan metode certainty
factor dalam mendiagnosa sebuah penyakit. Menurut Martin dan Oxman (1988),
sistem pakar adalah sistem berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan,
fakta, dan teknik penalaran dalam memecahkan masalah, yang biasanya hanya
dapat diselesaikan oleh seorang pakar dalam bidang tertentu. Menurut Sari (2013),
metode Certainty Factor merupakan metode yang mendefenisikan ukuran kepastian
terhadap fakta atau aturan, untuk menggambarkan tingkat keyakinan pakar terhadap
masalah yang sedang dihadapi, dengan menggunakan Certainty Factor dapat
menggambarkan tingkat keyakinan pakar terhadap suatu penyakit.
Terdapat penelitian “Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Polip Nasi
(Polip Hidung) Menggunakan metode Certainty Factor”. Hasil dari penelitian ini
adalah memberikan keputusan yang cukup akurat mengenai diagnosa penyakit
polip nasi berdasarkan penerapan metode Certainty Factor yang digunakan.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membangun Sistem Pakar
Pendiagnosa Penyakit Tuberkulosis Menggunakan Metode Certainty Factor yang
5
mampu memberikan diagnosis akan kemungkinan seorang pasien menderita
penyakit TB beserta cara pengobatannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud penyakit Tuberkulosis ?
2. Mengetahui Epidemiologi tentang penyakit Tuberkulosis ?
3. Cara terapi Farmakologis dan non Farmakologis ?
C. Tujuan Masalah
Membagikan pengetahuan mengenai penyakit Tuberkulosis guna menghindari
tersebarnya dan pengobatan apa yang harus di lakukan jika terserang penyakit
tersebut.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi menular dan bisa berakibat fatal
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau
Mycobacterium africanum. TB menunjukkan penyakit yang paling sering
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, tetapi kadang disebabkan oleh
Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Di negara berkembang,
anak-anak terinfeksi oleh mikobakterium lainnya yang menyebabkan TB.
Organisme ini disebut Mycobacterium bovis, yang bisa disebarkan melalui susu
yang tidak disterilkan.
Penyakit TB merupakan penyakit kronis atau menahun yang telah lama
dikenal oleh masyarakat luas. Penemuan Robbert Kock pada tahun 1882 secara
meyakinkan telah dapat memberikan bukti bahwa tuberkulosis adalah suatu
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang diberi nama Mycobacterium
tuberculosis. Orang yang pertama kali dapat membuktikan bahwa TB adalah suatu
penyakit yang dapat ditularkan yaitu Villenim yang hidup pada tahun 1827-1894.
Penyakit TB biasa terdapat pada paru-paru, tetapi mungkin juga pada organ lain
seperti kelenjar getah bening (nodus lymphaticus).
7
3) Sesak nafas dan nyeri dada.
4) Penurunan nafsu makan.
5) Berat badan turun.
6) Rasa kurang enak badan (malas, lemah)
7) Berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan apa-apa
2. TB Ekstra Paru
TB Ekstra Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman
Mycobacterium Tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain paru. Penyakit
ini biasanya terjadi karena kuman menyebar dari bagian paru ke bagian organ
tubuh lain melalui aliran darah.
8
Membesarnya benjolan kelenjar yang mengakibatkan hari demi hari
kondisinya semakin memburuk dan merusak tubuh.
Benjolan kelenjar pecah dan mengeluarkan cairan seperti nanah kotor.
Terdapat luka pada jaringan kulit atau kulit yang disebabkan pecahnya
benjolan kelenjar getah bening.
9
Berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan apa-apa
2) Gejala Khusus
Rasa nyeri pada bagian punggung atau mengalami kekakuan punggung.
Penderita enggan menggerakkan punggungnya.
Penderita menolak untuk membungkuk atau mengangkat barang dari
lantai, bila diminta penderita akan menekuk lututunya agar punggung tetap
lurus.
Rasa nyeri pada punggung berkurang bila penderita beristirahat.
Timbulnya benjolan di bagian punggung/tulang belakang.
D. Pencegahan Tuberkulosis
TBC dapat dicegah dengan pemberian vaksin, yang disarankan dilakukan sebelum bayi
berusia 2 bulan. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara:
E. Epideomology
Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab morbiditas
dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB
baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1
juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di
dua puluh dua negara dengan beban TB tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari
berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai
>25%.
Mayoritas anak tertular TB dari pasien TB dewasa, sehingga dalam
penanggulangan TB anak, penting untuk mengerti gambaran epidemiologi TB pada
dewasa. Infeksi TB pada anak dan pasien TB anak terjadi akibat kontak dengan orang
dewasa sakit TB aktif. Diagnosis TB pada dewasa mudah ditegakkan dari pemeriksaan
sputum yang positif. Sulitnya konfirmasi diagnosis TB pada anak mengakibatkan
10
penanganan TB anak terabaikan, sehingga sampai beberapa tahun TB anak tidak
termasuk prioritas kesehatan masyarakat di banyak negara, termasuk Indonesia. Akan
tetapi beberapa tahun terakhir dengan penelitian yang dilakukan di negara berkembang,
penanggulangan TB anak mendapat cukup perhatian. Dari beberapa negara Afrika
dilaporkan hasil isolasi Mycobacterium tuberculosis (MTB) 7%-8% pada anak yang
dirawat dengan pneumonia berat akut dengan dan tanpa infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), dan TB merupakan penyebab kematian pada kelompok
anak tersebut. Dilaporkan juga dari Afrika Selatan bahwa pada anak anak yang sakit TB
didapatkan prevalensi HIV 40 %-50%.
Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan pesat
selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga meningkatnya kasus
multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta mendapatkan >4% dari
kasus baru. Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG dalam pencegahan infeksi dan
penyakit TB yang masih kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan proteksi dari
vaksinasi BCG untuk pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%, secara umum
diperkirakan daya proteksi BCG hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya mencegah
terjadinya TB berat, seperti milier dan meningitis TB. Daya proteksi BCG terhadap
meningitis TB 64%, dan miler TB 78% pada anak yang mendapat vaksinasi.
Salah satu metode untuk estimasi insidensi TB dan evaluasi TB di komunitas
atau di suatu negara dilakukan dengan menilai ARTI (annual risk of tubeculosis
infections) di populasi umum. Nilai ARTI menggambarkan proporsi individu di
komunitas yang berpeluang terinfeksi atau terinfeksi ulang dalam kurun waktu satu
tahun, diperkirakan dari hasil survei uji tuberkulin di populasi umum. 8 Dilain pihak,
ARTI merupakan indikator transmisi di komunitas yang bergantung pada prevalensi
kasus TB yang infeksius dan efikasi dari aktivitas pengendalian TB seperti penemuan
kasus (case finding) dan pengobatan.
Untuk menilai faktor risiko harus dibedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
Risiko infeksi TB tergantung pada lamanya terpajan, kedekatan dengan kasus TB, dan
beban kuman pada kasus sumber. Risiko tinggi untuk sakit TB antara lain umur kurang
dari 5 tahun (balita), malnutritisi, infeksi TB baru, dan imunosupresi terutama karena
HIV.
11
F. Morbiditas dan mortalitas
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih
dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab
terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara
berkembang. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan
penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang
dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS.
Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan,
persalinan, dan nifas. Menurut perkiraan antara tahun 2000–2020 kematian karena TB
meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000 kasus TB aktif dan TB
menyebabkan hampir 5000 kematian. Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun
1990-1999 diperkirakan 88,2 juta dan 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi
HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB 226.000 di antaranya
berhubungan dengan HIV.
Setiap tahun didapatkan 250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira
100.000 kematian karena TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu
diantara penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab kematian pada
semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran napas akut.
Pasien TB di Indonesia terutama berusia antara 15-5 tahun, merupakan kelompok usia
produktif. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang
per tahun.
Tahun 1989, WHO memperkirakan jumlah kasus baru TB 1,3 juta kasus dan
450.000 kematian karena TB pada anak usia <15 tahun di dunia. Tahun 1994
diperkirakan insidensi global TB pada anak usia 0–14 tahun akan mencapai 1 juta kasus
di tahun 2000, setengah dari jumlah kasus tersebut berada di Afrika. Berarti ada
peningkatan 36% dari perkiraan tahun 1990. Pada tahun 1990, jumlah kematian karena
TB di dunia diperkirakan hampir 3 juta dan hampir 90% kematian tersebut terjadi di
negara berkembang. Pada tahun 2000 jumlah kematian diperkirakan 3,5 juta, kasus baru
meningkat setiap tahun. Pada tahun 1990 dilaporkan 7,5 juta kasus (143 kasus per
12
100.000 penduduk) menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 1995, 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan
mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Di negara berkembang,TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh
kasus TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu 5%-7%. Pada survei nasional di
Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983, didapatkan
bahwa 452 anak berusia <15 tahun menderita TB. Laporan mengenai TB anak di
Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari
total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak berusia <15
tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai
tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu
(1) diagnosis tidak tepat
(2) pengobatan tidak adekuat
(3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat
(4) infeksi endemik HIV
(5) migrasi penduduk
(6) mengobati sendiri (self treatment)
(7) meningkatnya kemiskinan
(8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena
jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40%50 % dari jumlah seluruh populasi.
Sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, maka data TB anak sangat terbatas
termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan
13
upaya dengan cara membuat konsensus diagnosis di berbagai negara. Dengan adanya
konsensus TB, diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan, sehingga
kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis dapat diperkecil dan angka
prevalens pasti dapat diketahui.
G. Faktor risiko
Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang
yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB
(infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena
itu faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB. Terdapat
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit
TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor
risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).
14
jumlah kuman pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan
sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi
produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya
reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada
TB anak.
Penelitian mengenai faktor risiko untuk terjadinya infeksi TB di Gambia
mendapatkan bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada anak laki laki dan perempuan
tidak berbeda sampai adolesen, setelah itu itu lebih tinggi pada anak laki laki. Hal ini
diduga akibat dari peran sosial dan aktivitas sehingga lebih terpajan pada lingkungan,
atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor predisposisi terhadap respon
hipersensitivitas tipe lambat. Selanjutnya kontak dengan pasien TB merupakan faktor
risiko utama, dan makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di
rumah (household contact) dengan anggota keluarga yang sakit TB sangat berperan
untuk terjadinya infeksi TB di keluarga, terutama keluarga terdekat. Faktor lain adalah
jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan pasien,
pernah sakit TB, dan satu kamar dengan penderita TB di malam hari, terutama bila satu
tempat tidur.
15
pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu
antara terjadi infeksi dan timbul sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul
gejala akut. Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir. Faktor
risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi
HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes melitus,
dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah
status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian,
pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan
masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko,
sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang
mempunyai risiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberkulosis dan
dosis infeksi, namun secara klinis hal tersebut sulit untuk dibuktikan. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan salah satu faktor risiko
penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang
Borman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan
peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan risiko
terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif 7%-10% per tahun,
dibandingkan dengan pasien non-HIV yang risiko terjadinya sakit TB 5%-10% selama
hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan
diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 14% pada tahun 2000. Angka kejadian
TB yang telah menurun pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun
1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi
multiobat(multi drugresistance =MDR), bahkan sekarang sudah terjadi resistensi obat
yang ekstrim (extreme drug resistance =XDR).
16
kimiawinya terhadap tubuh, kegunaan obat bagi kesembuhan dan nasib yang dialami
obat dalam tubuh. Artinya farmakologi ini akan menelaah efek-efek dari senyawa kimia
pada jaringan hidup makhluk hidup. Jika di lihat dari pengobatan farmakologis terhadap
penyakit TB yaitu.
Prinsip Pengobatan TB
• Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
• Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2)
tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat
untuk mencegah kekambuhan.
Tujuan Pengobatan TB
17
Jenis OAT
Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan program pengendalian TB saat ini adalah OAT lini
pertama dan OAT lini kedua disediakan di fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB resistan obat. Terlampir di bawah ini jenis OAT lini
pertama dan OAT lini kedua.
(mg/kg)
Harian 3 x seminggu
Isoniasid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pirazinamid (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomisin (S) Bakterisid 15
(12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
18
Kedua (Trd)*
▪ Clofazimin (Cfz)
▪ Linezolid (Lzd)
D D1 ▪ OAT ▪ Pirazinamid (Z)
lini ▪ Etambutol (E)
perta ▪ Isoniazid (H)
ma dosis
tinggi
D2 ▪ OAT ▪ Bedaquiline (Bdq)
Grup Golongan Jenis Obat
baru ▪ Delamanid (Dlm)*
▪ Pretonamid (PA-
824)*
D3 ▪ OAT ▪ Asam para
tamba aminosalisilat (PAS)
han ▪ Imipenem-silastatin
(Ipm)*
▪ Meropenem (Mpm)*
▪ Amoksilin clavulanat
(Amx-Clv)*
▪ Thioasetazon (T)*
Keterangan: *Tidak disediakan oleh program
**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada kondisi
tertentu dan tidak disediakan oleh program
Dosis OAT
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat diberikan
dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada
dosis terapi yang telah direkomendasikan.
19
Tabel 03. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa
(8-12)
Pirazinamid (Z) 25 35 (30-40)
(20-30)
Etambutol (E) 15 30 (25-35)
(15-20)
Streptomisin (S)* 15 15
(12-18) (12-18)
Dosis OAT Resistan Obat ditetapkan oleh TAK di faskes rujukan atau oleh dokter yang sudah
dilatih di faskes MTPTRO; penetapan dosis berdasarkan kelompok berat badan pasien.
20
mg/kg/hari
Levofloksasin 750 mg/ 750 mg 750 mg 750 mg 750-1000 1000mg
Keterangan:
a. Sikloserin, Etionamid dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk
mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian dalam dosis terbagi
direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART.
b. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan Asam PAS dan bisa diberikan
dalam dosis terbagi. Mengingat sediaan sodium PAS bervariasi dalam hal persentase
kandungan aktif per berat (w/w) maka perhitungan khusus harus dilakukan. Misal
Sodium PAS dengan w/w 60% dengan berat per sachet 4 gr akan memiliki
kandungan aktif sebesar 2,4 gr.
21
c. Bedaquilin diberikan 400 mg/ hari dosis tunggal selama 2 minggu, dilanjutkan
dengan dosis 200 mg intermiten 3 kali per minggu diberikan selama 22 minggu
(minggu 3-24). Pada minggu ke 25 pemberian Bedaquilin dihentikan.
d. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per hari dosis tunggal selama 2
bulan, dilanjutkan dengan dosis 100 mg per hari.
a. Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:
• Tahap Awal:
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
• Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan
22
• Penimbangan berat badan
• Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem
pencatatan yang digunakan.
• Penetapan PMO
• Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah jika diperlukan, untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan
melalui kerjasama jejaring eksternal.
2) Non Farmakologis
Salah satu pengobatan nonfarmakologis yaitu dengan teknik distraksi (Firman, 2012).
Distraksi adalah memfokuskan perhatian klien pada sesuatu selain nyeri, atau dapat
diartikan lain bahwa distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian klien ke hal-hal diluar
nyeri. Dengan demikian diharapkan, klien tidak terfokus pada nyeri lagi dan dapat menurunkan
kewaspadaan klien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Andarmoyo,
2013).
Mendengarkan musik merupakan salah satu teknik distraksi yang efektif. Musik dapat
menurunkan nyeri fisiologis, stress dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari
nyeri. Musik terbukti menunjukkan efek antara lain menurunkan frekuensi denyut jantung,
mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri , menurunkan tekanan darah, dan
mengubah persepsi waktu. Mendengarkan musik harus didengarkan minimal 15 menit supaya
dapat memberikan efek terapeutik. Dalam keadaan perawatan akut, mendengarkan musik dapat
memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya mengurangi nyeri pascaoperasi klien terhadap
nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Firman, 2012).
Salah satu bentuk teknik distraksi yang sering digunakan adalah distraksi pendengaran.
Distraksi pendengaran biasanya dilakukan dengan mendengarkan suara alam atau instruksi
23
meditasi dan juga dapat berupa suara-suara yang mengandung unsur-unsur spiritual sesuai
dengan keyakinan yang dianut (Perry & Potter, 2008).
Salah satu manfaat dari Asmaul Husna yaitu untuk penyembuhan. Namanama yang
terkandung dalam Asmaul Husna bermanfaat untuk penyembuhan tersebut yaitu As-Salam (Maha
Penyelamat), Al-Ghafur (Maha Pengampun), Asy-Syakur (Maha Penerima syukur), Al-Majid
(Maha Mulia), Al-Hayyu (Maha Hidup). Nama-nama tersebut diyakini apabila dibaca atau
dibacakan (diperdengarkan) kepada orang yang sakit dapat mengurangi atau member
kesembuhan kepada orang yang sakit (Nafisa, 2011).
Mendengarkan bacaan Asmaul Husna dapat digunakan dalam menangani
kecemasan atau nyeri pada berbagai penyakit. Secara aplikatif mendengarkan Asmaul Husna
tidak sulit dilakukan, serta mudah dan cepat dilaksanakan. Terapi ini dapat dijadikan terapi
pelengkap bagi terapi farmakologi. Terapi medik saja tidak lengkap tanpa disertai dengan agama
(agama dan dzikir) dan begitu juga sebaliknya, terapi agama tidak juga lengkap tanpa terapi
medik ( Lukman, 2012).
Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Hasan (2013) menunjukkan adanya
pengaruh yang signifikan setelah mendengarkan terapi Asmaul-Husna terhadap penurunan skala
nyeri pada pasien pasca operasi fraktur. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya,
penelitian Kartika (2010) tentang pengaruh mendengarkan murottal Al-Quran terhadap
penurunan intensitas nyeri pada pasien pasca operasi apendisitis, yang mana didapatkan bahwa
terdapat penurunan skala nyeri yang signifikan.
24
BAB III
KESIMPULAN
Dari non farmakologis terhadap penyakit TB juga dapat menyembuhkan secara signifikan
dengan menerapkan terapi mendengarkan suara suara spiritual
25
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nur. Ramadiani. Hatta, Heliza Rahmadinia. 2017. “system pakar pendiagnosa
penyakit tuberculosis”. Universitas Mulawarman.
Wulandini, Putri. Rosa, Andelia. Safitri, Santi Riska. 2018. “Efektivitas Terapi Asmaul
Husna Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Fraktur Di RSUD Provinsi Riau”. Riau :
Universitas Abdurrab.
26