Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENYAKIT TUBERKULOSIS

Disusun untuk memenuhi tugas remidi

Mata Kuliah : Farmasi Rumah Sakit

Oleh :

Wahyuda Syahfril Majid (11)

JURUSAN FARMASI

AKADEMI KESEHATAN SUMENEP

SUMENEP 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
Makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Adapun tujuan dari penyusunan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Farmasi Rumah Sakit . Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang “Memahami Penyakit Tuberkulosis’’ bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimaksih kepada ibu Apt. Marlina Winda Puspita.S, Farm
selaku dosen pengampu yang telah memberikan tugas remedy UTS ini sehingga dapat
memperbaiki nilia UTS kami. Kami menyadari, penyusunan makalah yang kami tulis
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Pembahasan 6
BAB II PEMBAHASAN 7
A. Tuberkulosis (TB) 7
B. Gejala Penyakit Tuberkulosis   7
C. Macam macam penyakit Tuberkulosis 8
D. Pencegahan Tuberkulosis 10
E. Epideomology 10
F. Morbiditas dan mortalitas 12
G. Faktor risiko 14
H. Risiko infeksi tuberculosis 14
I. Risiko sakit tuberculosis 15
J. Pengobatan Secara Farmakologis dan Non Farmakologis 16
1) Famakologis 16
2) Non Farmakologis 23
BAB III KESIMPULAN 26
DAFTAR PUSTAKA 27

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit  menular langsung yang disebabkan oleh


infeksi  bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB  merupakan penyakit yang mudah
menular melalui  udara dari sumber penularan yaitu pasien TB BTA  positif pada
waktu batuk atau bersin, pasien  menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk 
percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan  sekitar 3000 percikan dahak.  
TB dapat menyerang siapa saja, terutama usia  produktif/masih aktif bekerja dan
anak-anak.  Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang  paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun).  Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan 
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4  bulan. Jika ia meninggal akibat TB,
maka akan  kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain  merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan  dampak buruk lainnya secara sosial bahkan 
dikucilkan oleh masyarakat .  
Indonesia berkontribusi sebesar 5,8% dari  kasus TB yang ada di dunia. TB
merupakan  masalah utama kesehatan masyarakat dan menjadi  tantangan dalam
masalah kesehatan masyarakat di  Indonesia dengan masih adanya sekitar 430.000 
pasien baru per tahun dan angka insiden  189/100.000 penduduk serta angka
kematian akibat  TB sebesar 61.000 per tahun atau 27/100.000  penduduk. Menurut
laporan WHO tahun 2013,  Indonesia menempati urutan ketiga jumlah kasus  TB
setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar  700 ribu kasus. Angka kematian
masih sama  dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka
insidennya turun menjadi  185 per 100.000 penduduk di tahun 2012.  Sebagian besar
kuman TB menyerang paru,  tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya  yang
biasa disebut dengan TB Ekstra Paru. TB Paru  merupakan bentuk yang paling
sering dijumpai  yaitu sekitar 80 % dari semua penderita. TB yang  menyerang
jaringan paru-paru ini merupakan satu satunya bentuk dari TB yang mudah menular.
TB  Ekstra Paru merupakan bentuk penyakit TB yang  menyerang organ tubuh lain
selain paru-paru. TB  pada dasarnya ini tidak pandang bulu karena kuman  ini dapat

4
menyerang semua organ dari tubuh.  Masyarakat hanya mengetahui bahwa TB 
menyerang bagian paru saja pada umumnya, namun  TB juga dapat menyerang
organ lain selain paru  yang disebut ekstra paru. TB Ekstra Paru terjadi  ketika
kuman TB menyebar ke bagian organ tubuh  lain melalui aliran darah. Diagnosis
pasti untuk  penyakit TB sering sulit ditegakkan sedangkan  diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala  klinis TB yang kuat (presumtif) dengan 
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.  Kurangnya fasilitas yang memadai,
dokter ahli  yang tidak selalu ada di tempat dan kurangnya  pengetahuan pasien
mengenai penyakit TB  seringkali membuat diagnosis TB terlambat yang  bisa
mengancam kesehatan pasien. Sebuah aplikasi  komputer yang sistematis sebagai
alat bantu untuk  melakukan diagnosis awal penyakit TB sangat  diperlukan untuk
memudahkan tenaga ahli dalam  menemukan bagian organ tubuh mana yang 
terserang penyakit TB dan dapat mempercepat hasil  diagnosa sehingga tenaga ahli
dapat memberikan  penanganan yang tepat. 
Sistem yang dibangun dalam penelitian ini  adalah sistem yang menggunakan
keahlian pakar  dalam bidang kesehatan dengan menggunakan  metode certainty
factor dalam mendiagnosa sebuah  penyakit. Menurut Martin dan Oxman (1988), 
sistem pakar adalah sistem berbasis komputer yang  menggunakan pengetahuan,
fakta, dan teknik  penalaran dalam memecahkan masalah, yang  biasanya hanya
dapat diselesaikan oleh seorang  pakar dalam bidang tertentu. Menurut Sari (2013), 
metode Certainty Factor merupakan metode yang  mendefenisikan ukuran kepastian
terhadap fakta  atau aturan, untuk menggambarkan tingkat  keyakinan pakar terhadap
masalah yang sedang  dihadapi, dengan menggunakan Certainty Factor  dapat
menggambarkan tingkat keyakinan pakar  terhadap suatu penyakit.  
Terdapat penelitian “Sistem Pakar untuk  Mendiagnosa Penyakit Polip Nasi
(Polip Hidung)  Menggunakan metode Certainty Factor”. Hasil dari  penelitian ini
adalah memberikan keputusan yang  cukup akurat mengenai diagnosa penyakit
polip  nasi berdasarkan penerapan metode Certainty  Factor yang digunakan.  
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis  membangun Sistem Pakar
Pendiagnosa Penyakit  Tuberkulosis Menggunakan Metode Certainty  Factor yang

5
mampu memberikan diagnosis akan  kemungkinan seorang pasien menderita
penyakit  TB beserta cara pengobatannya.  

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud penyakit Tuberkulosis ?
2. Mengetahui Epidemiologi tentang penyakit Tuberkulosis ?
3. Cara terapi Farmakologis dan non Farmakologis ?

C. Tujuan Masalah
Membagikan pengetahuan mengenai penyakit Tuberkulosis guna menghindari
tersebarnya dan pengobatan apa yang harus di lakukan jika terserang penyakit
tersebut.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi  menular dan bisa berakibat fatal
disebabkan oleh  Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau
Mycobacterium africanum. TB menunjukkan  penyakit yang paling sering
disebabkan oleh  Mycobacterium tuberculosis, tetapi kadang  disebabkan oleh
Mycobacterium bovis atau  Mycobacterium africanum. Di negara berkembang, 
anak-anak terinfeksi oleh mikobakterium lainnya  yang menyebabkan TB.
Organisme ini disebut  Mycobacterium bovis, yang bisa disebarkan melalui  susu
yang tidak disterilkan.  
Penyakit TB merupakan penyakit kronis atau  menahun yang telah lama
dikenal oleh masyarakat  luas. Penemuan Robbert Kock pada tahun 1882  secara
meyakinkan telah dapat memberikan bukti  bahwa tuberkulosis adalah suatu
penyakit infeksi  yang disebabkan oleh bakteri yang diberi nama  Mycobacterium
tuberculosis. Orang yang pertama  kali dapat membuktikan bahwa TB adalah suatu 
penyakit yang dapat ditularkan yaitu Villenim yang  hidup pada tahun 1827-1894.
Penyakit TB biasa  terdapat pada paru-paru, tetapi mungkin juga pada  organ lain
seperti kelenjar getah bening (nodus  lymphaticus).

B. Gejala Penyakit Tuberkulosis  


Beberapa Penyakit TB yang sering diderita  oleh masyarakat adalah:  
1. Tuberkulosis Paru  
 TB Paru adalah penyakit radang parenkim paru  yang disebabkan oleh infeksi
kuman  Mycobacterium Tuberculosis. TB Paru  mencakup 80% dari keseluruhan
kejadian  penyakit TB sedangkan 20% selebihnya  merupakan TB Ekstra Paru.  
a. Gejala utama
Batuk terus-menerus dan berdahak selama  tiga minggu/lebih.
b. Gejala tambahan yang sering dijumpai
1) Dahak bercampur darah/batuk darah
2) Demam selama tiga minggu atau lebih

7
3) Sesak nafas dan nyeri dada.  
4) Penurunan nafsu makan.  
5) Berat badan turun.  
6) Rasa kurang enak badan (malas, lemah)
7) Berkeringat di malam hari walaupun   tidak melakukan apa-apa  

2. TB Ekstra Paru  
TB Ekstra Paru merupakan penyakit yang  disebabkan oleh infeksi kuman
Mycobacterium Tuberculosis yang menyerang organ tubuh  selain paru. Penyakit
ini biasanya terjadi karena  kuman menyebar dari bagian paru ke bagian  organ
tubuh lain melalui aliran darah.

C. Macam macam penyakit Tuberkulosis


a) Tuberkulosis Kelenjar Getah Bening
TB Kelenjar atau Limfadenitis Tuberculosis adalah penyakit radang kelenjar
getah bening  yang disebabkan oleh infeksi kuman  Mycobacterium
Tuberculosis. Kelenjar getah  bening yang biasa diserang adalah bagian  leher,
ketiak, dan sela paha.  
1) Gejala sistemik/umum:  
 Batuk terus-menerus dan berdahak  selama tiga minggu/lebih  
 Demam selama tiga minggu/lebih
 Penurunan nafsu makan  
 Berat badan turun  
 Rasa kurang enak badan/malaise,  lemah 
 Berkeringat di malam hari walaupun  tidak melakukan apa-apa  
2) Gejala Khusus
 Munculnya benjolan-benjolan pada  bagian yang mengalami gangguan 
kelenjar seperti leher, sela paha, serta  ketiak.
 Ada tanda-tanda radang di daerah  sekitar benjolan kelenjar.
 Benjolan kelenjar mudah digerakkan.
 Benjolan kelenjar yang timbul terasa  kenyal.

8
 Membesarnya benjolan kelenjar yang  mengakibatkan hari demi hari 
kondisinya semakin memburuk dan  merusak tubuh.
 Benjolan kelenjar pecah dan  mengeluarkan cairan seperti nanah  kotor.
 Terdapat luka pada jaringan kulit atau  kulit yang disebabkan pecahnya 
benjolan kelenjar getah bening.  

b) Tuberkulosis PayudaraTB Payudara


Tuberkulosis PayudaraTB Payudara adalah penyakit radang  payudara yang
disebabkan oleh infeksi  kuman Mycobacterium Tuberculosis.
1) Gejala sistemik/umum:  
 Batuk terus-menerus dan berdahak  selama tiga minggu/lebih.  
 Demam selama tiga minggu/lebih  c) Penurunan nafsu makan.  
 Berat badan turun.  
 Rasa kurang enak badan (malaise),  lemah.
 Berkeringat di malam hari walaupun  tidak melakukan apa-apa. 
2) Gejala Khusus  
 Timbulnya benjolan di payudara.  
 Rasa nyeri di bagian payudara.  
 Adanya tanda radang di sekitar  benjolan yang timbul di payudara.  

c) TB Tulang Belakang (Spondilitis)  


TB Tulang Belakang atau Spondilitis Tuberculosis adalah penyakit radang
tulang  belakang yang disebabkan oleh infeksi  kuman Mycobacterium
Tuberculosis.  
1) Gejala sistemik/umum:  
 Batuk terus-menerus dan berdahak  selama tiga minggu/lebih.  
 Demam selama tiga minggu/lebih  
 Penurunan nafsu makan  
 Berat badan turun  
 Rasa kurang enak badan/malaise,  lemah  

9
 Berkeringat di malam hari walaupun  tidak melakukan apa-apa  
2) Gejala Khusus  
 Rasa nyeri pada bagian punggung  atau mengalami kekakuan punggung.  
 Penderita enggan menggerakkan  punggungnya.  
 Penderita menolak untuk  membungkuk atau mengangkat barang dari
lantai, bila diminta  penderita akan menekuk lututunya agar punggung tetap
lurus.  
 Rasa nyeri pada punggung berkurang  bila penderita beristirahat.  
 Timbulnya benjolan di bagian  punggung/tulang belakang.  

D. Pencegahan Tuberkulosis

TBC dapat dicegah dengan pemberian vaksin, yang disarankan dilakukan sebelum bayi
berusia 2 bulan. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara:

 Mengenakan masker saat berada di tempat ramai.


 Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa.
 Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.

E. Epideomology
Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab morbiditas
dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB
baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1
juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di
dua puluh dua negara dengan beban TB tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari
berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai
>25%.
Mayoritas anak tertular TB dari pasien TB dewasa, sehingga dalam
penanggulangan TB anak, penting untuk mengerti gambaran epidemiologi TB pada
dewasa. Infeksi TB pada anak dan pasien TB anak terjadi akibat kontak dengan orang
dewasa sakit TB aktif. Diagnosis TB pada dewasa mudah ditegakkan dari pemeriksaan
sputum yang positif. Sulitnya konfirmasi diagnosis TB pada anak mengakibatkan

10
penanganan TB anak terabaikan, sehingga sampai beberapa tahun TB anak tidak
termasuk prioritas kesehatan masyarakat di banyak negara, termasuk Indonesia. Akan
tetapi beberapa tahun terakhir dengan penelitian yang dilakukan di negara berkembang,
penanggulangan TB anak mendapat cukup perhatian. Dari beberapa negara Afrika
dilaporkan hasil isolasi Mycobacterium tuberculosis (MTB) 7%-8% pada anak yang
dirawat dengan pneumonia berat akut dengan dan tanpa infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), dan TB merupakan penyebab kematian pada kelompok
anak tersebut. Dilaporkan juga dari Afrika Selatan bahwa pada anak anak yang sakit TB
didapatkan prevalensi HIV 40 %-50%.
Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan pesat
selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga meningkatnya kasus
multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta mendapatkan >4% dari
kasus baru. Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG dalam pencegahan infeksi dan
penyakit TB yang masih kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan proteksi dari
vaksinasi BCG untuk pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%, secara umum
diperkirakan daya proteksi BCG hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya mencegah
terjadinya TB berat, seperti milier dan meningitis TB. Daya proteksi BCG terhadap
meningitis TB 64%, dan miler TB 78% pada anak yang mendapat vaksinasi.
Salah satu metode untuk estimasi insidensi TB dan evaluasi TB di komunitas
atau di suatu negara dilakukan dengan menilai ARTI (annual risk of tubeculosis
infections) di populasi umum. Nilai ARTI menggambarkan proporsi individu di
komunitas yang berpeluang terinfeksi atau terinfeksi ulang dalam kurun waktu satu
tahun, diperkirakan dari hasil survei uji tuberkulin di populasi umum. 8 Dilain pihak,
ARTI merupakan indikator transmisi di komunitas yang bergantung pada prevalensi
kasus TB yang infeksius dan efikasi dari aktivitas pengendalian TB seperti penemuan
kasus (case finding) dan pengobatan.
Untuk menilai faktor risiko harus dibedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
Risiko infeksi TB tergantung pada lamanya terpajan, kedekatan dengan kasus TB, dan
beban kuman pada kasus sumber. Risiko tinggi untuk sakit TB antara lain umur kurang
dari 5 tahun (balita), malnutritisi, infeksi TB baru, dan imunosupresi terutama karena
HIV.

11
F. Morbiditas dan mortalitas
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih
dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab
terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara
berkembang. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan
penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang
dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS.
Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan,
persalinan, dan nifas. Menurut perkiraan antara tahun 2000–2020 kematian karena TB
meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000 kasus TB aktif dan TB
menyebabkan hampir 5000 kematian. Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun
1990-1999 diperkirakan 88,2 juta dan 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi
HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB 226.000 di antaranya
berhubungan dengan HIV.
Setiap tahun didapatkan 250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira
100.000 kematian karena TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu
diantara penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab kematian pada
semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran napas akut.
Pasien TB di Indonesia terutama berusia antara 15-5 tahun, merupakan kelompok usia
produktif. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang
per tahun.
Tahun 1989, WHO memperkirakan jumlah kasus baru TB 1,3 juta kasus dan
450.000 kematian karena TB pada anak usia <15 tahun di dunia. Tahun 1994
diperkirakan insidensi global TB pada anak usia 0–14 tahun akan mencapai 1 juta kasus
di tahun 2000, setengah dari jumlah kasus tersebut berada di Afrika. Berarti ada
peningkatan 36% dari perkiraan tahun 1990. Pada tahun 1990, jumlah kematian karena
TB di dunia diperkirakan hampir 3 juta dan hampir 90% kematian tersebut terjadi di
negara berkembang. Pada tahun 2000 jumlah kematian diperkirakan 3,5 juta, kasus baru
meningkat setiap tahun. Pada tahun 1990 dilaporkan 7,5 juta kasus (143 kasus per

12
100.000 penduduk) menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 1995, 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan
mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Di negara berkembang,TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh
kasus TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu 5%-7%. Pada survei nasional di
Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983, didapatkan
bahwa 452 anak berusia <15 tahun menderita TB. Laporan mengenai TB anak di
Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari
total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak berusia <15
tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai
tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu
(1) diagnosis tidak tepat
(2) pengobatan tidak adekuat
(3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat
(4) infeksi endemik HIV
(5) migrasi penduduk
(6) mengobati sendiri (self treatment)
(7) meningkatnya kemiskinan
(8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena
jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40%50 % dari jumlah seluruh populasi.

Sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, maka data TB anak sangat terbatas
termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan

13
upaya dengan cara membuat konsensus diagnosis di berbagai negara. Dengan adanya
konsensus TB, diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan, sehingga
kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis dapat diperkecil dan angka
prevalens pasti dapat diketahui.

G. Faktor risiko
Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang
yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB
(infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena
itu faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB. Terdapat
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit
TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor
risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).

H. Risiko infeksi tuberkulosis


Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan,
lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan
umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien
TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari seorang
ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi
tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik
renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas
pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta
terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama,

14
jumlah kuman pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan
sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi
produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya
reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada
TB anak.
Penelitian mengenai faktor risiko untuk terjadinya infeksi TB di Gambia
mendapatkan bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada anak laki laki dan perempuan
tidak berbeda sampai adolesen, setelah itu itu lebih tinggi pada anak laki laki. Hal ini
diduga akibat dari peran sosial dan aktivitas sehingga lebih terpajan pada lingkungan,
atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor predisposisi terhadap respon
hipersensitivitas tipe lambat. Selanjutnya kontak dengan pasien TB merupakan faktor
risiko utama, dan makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di
rumah (household contact) dengan anggota keluarga yang sakit TB sangat berperan
untuk terjadinya infeksi TB di keluarga, terutama keluarga terdekat. Faktor lain adalah
jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan pasien,
pernah sakit TB, dan satu kamar dengan penderita TB di malam hari, terutama bila satu
tempat tidur.

I. Risiko sakit tuberkulosis


Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB.
Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun mempunyai risiko lebih
besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum
berkembang sempurna (imatur). Risiko sakit TB akan berkurang secara bertahap seiring
dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB, 43% diantaranya akan menjadi
sakit TB, pada usia 1-5 tahun menjadi sakit 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%.
Anak berusia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti
TB milier dan meningitis TB), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun

15
pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu
antara terjadi infeksi dan timbul sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul
gejala akut. Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir. Faktor
risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi
HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes melitus,
dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah
status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian,
pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan
masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko,
sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang
mempunyai risiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberkulosis dan
dosis infeksi, namun secara klinis hal tersebut sulit untuk dibuktikan. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan salah satu faktor risiko
penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang
Borman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan
peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan risiko
terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif 7%-10% per tahun,
dibandingkan dengan pasien non-HIV yang risiko terjadinya sakit TB 5%-10% selama
hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan
diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 14% pada tahun 2000. Angka kejadian
TB yang telah menurun pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun
1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi
multiobat(multi drugresistance =MDR), bahkan sekarang sudah terjadi resistensi obat
yang ekstrim (extreme drug resistance =XDR).

J. Pengobatan Secara Farmakologis dan Non Farmakologis


1) Famakologis
farmakologi dapat ditafsirkan sebagai suatu ilmu yang mempelajari obat dan
cara kerjanya pada sistem biologis. Terutama tentang obat yang berkaitan dengan
respons bagian-bagian tubuh terhadap sifat obat, pengaruh sifaf fisika-

16
kimiawinya terhadap tubuh, kegunaan obat bagi kesembuhan dan nasib yang dialami
obat dalam tubuh. Artinya farmakologi ini akan menelaah efek-efek dari senyawa kimia
pada jaringan hidup makhluk hidup. Jika di lihat dari pengobatan farmakologis terhadap
penyakit TB yaitu.

Prinsip Pengobatan TB

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan


TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut kuman TB.

Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

• Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung


minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

• Diberikan dalam dosis yang tepat.

• Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

• Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2)
tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat
untuk mencegah kekambuhan.

Tujuan Pengobatan TB

a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas


hidup.

b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk


selanjutnya.

c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB.

d. Menurunkan risiko penularan TB.

e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

17
Jenis OAT

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan program pengendalian TB saat ini adalah OAT lini
pertama dan OAT lini kedua disediakan di fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB resistan obat. Terlampir di bawah ini jenis OAT lini
pertama dan OAT lini kedua.

Tabel 01. OAT Lini Pertama


Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan

(mg/kg)
Harian 3 x seminggu
Isoniasid (H) Bakterisid 5 10

(4-6) (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 10

(8-12) (8-12)
Pirazinamid (Z) Bakterisid 25 35

(20-30) (30-40)
Streptomisin (S) Bakterisid 15

(12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 30

(15-20) (20-35)

Tabel 02. Pengelompokan OAT Lini Kedua


Grup Golongan Jenis Obat
A Florokuinolon ▪ Levofloksasin (Lfx)
▪ Moksifloksasin (Mfx)
▪ Gatifloksasin (Gfx)*
B OAT suntik li ▪ Kanamisin (Km)
kedua ni ▪ Amikasin (Am)*
▪ Kapreomisin (Cm)
Streptomisin (S)**
C OAT oral ▪ Etionamid (Eto)/Protionamid
lini ▪ (Pto)* Sikloserin (Cs) /Terizidon

18
Kedua (Trd)*
▪ Clofazimin (Cfz)
▪ Linezolid (Lzd)
D D1 ▪ OAT ▪ Pirazinamid (Z)
lini ▪ Etambutol (E)
perta ▪ Isoniazid (H)
ma dosis
tinggi
D2 ▪ OAT ▪ Bedaquiline (Bdq)
Grup Golongan Jenis Obat
baru ▪ Delamanid (Dlm)*
▪ Pretonamid (PA-
824)*
D3 ▪ OAT ▪ Asam para
tamba aminosalisilat (PAS)
han ▪ Imipenem-silastatin
(Ipm)*
▪ Meropenem (Mpm)*
▪ Amoksilin clavulanat
(Amx-Clv)*
▪ Thioasetazon (T)*
Keterangan: *Tidak disediakan oleh program

**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada kondisi
tertentu dan tidak disediakan oleh program

Dosis OAT

Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat diberikan
dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada
dosis terapi yang telah direkomendasikan.

19
Tabel 03. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa

Obat Dosis rekomendasi


Harian 3 kali per minggu
Dosis (mg/ Maksimum Dosis (mg/ Maksimum
kgBB) kgBB)
(mg) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin (R) 10 600 10 (8-12) 600

(8-12)
Pirazinamid (Z) 25 35 (30-40)

(20-30)
Etambutol (E) 15 30 (25-35)

(15-20)
Streptomisin (S)* 15 15

(12-18) (12-18)

Dosis OAT Resistan Obat ditetapkan oleh TAK di faskes rujukan atau oleh dokter yang sudah
dilatih di faskes MTPTRO; penetapan dosis berdasarkan kelompok berat badan pasien.

Tabel 04. Perhitungan dosis OAT Resistan Obat

OAT Dosis Berat Badan (BB)> 30 kg


Harian 30-35 kg 36-45 kg 46-55 kg 56-70 kg >70 kg
Kanamisin 15-20 500 mg 625-750 mg 875-1000 mg 1000 mg 1000 mg
mg/kg/hari
Kapreomisin 15-20 500 mg 600-750 mg 750-800 mg 1000 mg 1000 mg
mg/kg/hari
Pirazinamid 20-30 800 mg 1000 mg 1200 mg 1600 mg 2000 mg
mg/kg/hari
Etambutol 15-25 600 mg 800 mg 1000 mg 1200 mg 1200 mg
mg/kg/hari
Isoniasid 4-6 150 mg 200 mg 300 mg 300 mg 300 mg

20
mg/kg/hari
Levofloksasin 750 mg/ 750 mg 750 mg 750 mg 750-1000 1000mg

(dosis standar) hari mg


Levofloksasin 1000 mg/ 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg

(dosis tinggi) hari

Moksifloksasin 400 mg/ 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg


hari
a
Sikloserin 500-750 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000mg
mg/ hari.
Etionamida 500-750 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
mg/ hari.
a
Asam PAS 8 g/ hari. 8g 8g 8g 8g 8g
Sodium PASb 8 g/ hari. 8g 8g 8g 8g 8g
Bedaquilinc 400 mg/ 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
hari
Linezolid 600 mg/ 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg
hari
d
Klofazimin 200–300 200 mg 200 mg 200 mg 300 mg 300mg
mg/ hari
Delamanid

Keterangan:

a. Sikloserin, Etionamid dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk
mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian dalam dosis terbagi
direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART.

b. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan Asam PAS dan bisa diberikan
dalam dosis terbagi. Mengingat sediaan sodium PAS bervariasi dalam hal persentase
kandungan aktif per berat (w/w) maka perhitungan khusus harus dilakukan. Misal
Sodium PAS dengan w/w 60% dengan berat per sachet 4 gr akan memiliki
kandungan aktif sebesar 2,4 gr.

21
c. Bedaquilin diberikan 400 mg/ hari dosis tunggal selama 2 minggu, dilanjutkan
dengan dosis 200 mg intermiten 3 kali per minggu diberikan selama 22 minggu
(minggu 3-24). Pada minggu ke 25 pemberian Bedaquilin dihentikan.

d. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per hari dosis tunggal selama 2
bulan, dilanjutkan dengan dosis 100 mg per hari.

Tahapan dan Lama Pengobatan

a. Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:

• Tahap Awal:

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.

• Tahap Lanjutan:

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan

b. Lama pengobatan pasien TB tergantung kriteria pasien TB dan dijelaskan di bagian


tatalaksana pengobatan TB.

Persiapan Sebelum Pengobatan

Persiapan awal sebelum memulai pengobatan TB meliputi beberapa hal yaitu:

• Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan


kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti status HIV,
diabetes mellitus, hepatitis, dll.

22
• Penimbangan berat badan

• Identifikasi kontak erat/serumah

• Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem
pencatatan yang digunakan.

• Penetapan PMO

• Pemeriksaan adanya penyakit komorbid (HIV, DM)

• Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah jika diperlukan, untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan
melalui kerjasama jejaring eksternal.

• Pemeriksaan baseline penunjang sesuai dengan indikasi yang diperlukan.

2) Non Farmakologis
Salah satu pengobatan nonfarmakologis yaitu dengan teknik distraksi (Firman, 2012).

Distraksi adalah memfokuskan perhatian klien pada sesuatu selain nyeri, atau dapat
diartikan lain bahwa distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian klien ke hal-hal diluar
nyeri. Dengan demikian diharapkan, klien tidak terfokus pada nyeri lagi dan dapat menurunkan
kewaspadaan klien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Andarmoyo,
2013).

Mendengarkan musik merupakan salah satu teknik distraksi yang efektif. Musik dapat
menurunkan nyeri fisiologis, stress dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari
nyeri. Musik terbukti menunjukkan efek antara lain menurunkan frekuensi denyut jantung,
mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri , menurunkan tekanan darah, dan
mengubah persepsi waktu. Mendengarkan musik harus didengarkan minimal 15 menit supaya
dapat memberikan efek terapeutik. Dalam keadaan perawatan akut, mendengarkan musik dapat
memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya mengurangi nyeri pascaoperasi klien terhadap
nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Firman, 2012).

Salah satu bentuk teknik distraksi yang sering digunakan adalah distraksi pendengaran.
Distraksi pendengaran biasanya dilakukan dengan mendengarkan suara alam atau instruksi

23
meditasi dan juga dapat berupa suara-suara yang mengandung unsur-unsur spiritual sesuai
dengan keyakinan yang dianut (Perry & Potter, 2008).

Suara-suara yang mengandung unsur spiritual tersebut seperti mendengarkan Al-Qur’an,


salah satu yang terkandung dalam Al-Qur’an yaitu Asmaul Husna. Asmaul Husna secara harfiah
ialah nama, sebutan, gelar Allah SWT yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya.
Membaca atau mendengar Asmaul Husna memiliki banyak manfaat dan setiap namanama yang
terkandung dalam Asmaul Husna memiliki manfaat atau khasiat tersendiri (Al-Ashqiya, 2011).

Salah satu manfaat dari Asmaul Husna yaitu untuk penyembuhan. Namanama yang
terkandung dalam Asmaul Husna bermanfaat untuk penyembuhan tersebut yaitu As-Salam (Maha
Penyelamat), Al-Ghafur (Maha Pengampun), Asy-Syakur (Maha Penerima syukur), Al-Majid
(Maha Mulia), Al-Hayyu (Maha Hidup). Nama-nama tersebut diyakini apabila dibaca atau
dibacakan (diperdengarkan) kepada orang yang sakit dapat mengurangi atau member
kesembuhan kepada orang yang sakit (Nafisa, 2011).
Mendengarkan bacaan Asmaul Husna dapat digunakan dalam menangani
kecemasan atau nyeri pada berbagai penyakit. Secara aplikatif mendengarkan Asmaul Husna
tidak sulit dilakukan, serta mudah dan cepat dilaksanakan. Terapi ini dapat dijadikan terapi
pelengkap bagi terapi farmakologi. Terapi medik saja tidak lengkap tanpa disertai dengan agama
(agama dan dzikir) dan begitu juga sebaliknya, terapi agama tidak juga lengkap tanpa terapi
medik ( Lukman, 2012).

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Hasan (2013) menunjukkan adanya
pengaruh yang signifikan setelah mendengarkan terapi Asmaul-Husna terhadap penurunan skala
nyeri pada pasien pasca operasi fraktur. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya,
penelitian Kartika (2010) tentang pengaruh mendengarkan murottal Al-Quran terhadap
penurunan intensitas nyeri pada pasien pasca operasi apendisitis, yang mana didapatkan bahwa
terdapat penurunan skala nyeri yang signifikan.

24
BAB III

KESIMPULAN

Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab morbiditas dan


mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2
juta di antaranya meninggal. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan
penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa.
Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS.

Farmakologis terhadap penyakit TB dapat di lakukan dengan memperhatikan prinsip


pengobatan OAT di mulainya dari persiapan sebelum pengobatan, tahapan, hingga lama waktu
pengobatan agar penyembuhan penyakit TB mencapai maximal.

Dari non farmakologis terhadap penyakit TB juga dapat menyembuhkan secara signifikan
dengan menerapkan terapi mendengarkan suara suara spiritual

25
DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nur. Ramadiani. Hatta, Heliza Rahmadinia. 2017. “system pakar pendiagnosa
penyakit tuberculosis”. Universitas Mulawarman.

Kartasasmita, Cissy B. 2009. “Epidemiologi Tuberkulosis”. Bandung : Universitas


Padjadjaran.

Wulandini, Putri. Rosa, Andelia. Safitri, Santi Riska. 2018. “Efektivitas Terapi Asmaul
Husna Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Fraktur Di RSUD Provinsi Riau”. Riau :
Universitas Abdurrab.

Kementerian Kesehatan RI. 2017. “Pengobatan Pasien Tuberkulosis”. Jakarta :


Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit.

26

Anda mungkin juga menyukai