Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Konsep Teori Acute Coronary Syndrome (ACS)

a. Definisi

Penyakit pembuluh darah arteri coroner adalah gangguan fungsi system kardiovaskuler yang disebabkan karena

otot jantung kekurangan darah akibat adanya oklusi pembuluh darah arteri coroner dan tersumbatnya pembuluh darah

jantung (AHA, 2017).

Penyempitan lumen arteri terjadi karena adanya penumpukan lemak, klasifikasi lemak dan proliferasi sel-sel otot

polos. Penyumbatan pada pembuluh darah koroner disebabkan oleh adanya penumpukan lemak dan kolesterol yang

mengeras disepanjang dinding arteri. Kolesterol yang menumpuk ini akan menyumbat aliran darah sehingga akan

mengganggu kerja jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh, sehingga akan menyebabkan penyumbatan darah

koroner, bersifat parsial maupun total (Lee, Kang, Song, Rho & Kim, 2015).

Acute Coronary Syndrome adalah suatu kondisi yang dikenal sebagai sindrom koroner akut (SKA) yang terjadi

akibat tersumbatnya aliran darah di pembuluh darah koroner. Kondisi ini melibatkan tersumbatnya plak atheroma yang

terlepas sehingga mengganggu aliran darah. Akibatnya seseorang akan merasakan gejala nyeri ada seperti ditindih benda
berat, menjalar ke tangan kiri hingga ke rahang, menembus ke punggung, mual ataupun muntah, keringat dingin, serta

dirasakan cukup lama akibat tidak adanya suplai darah menuju sel otot jantung (ESC, 2020).

Yang termasuk ke dalam sindrom koroner akut adalah angina tak stabil, IMA dengan elevasi segmen ST (STEMI)

dan IMA tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) (Bassand, 2017).

b. Klafisikasi / Tipe-Tipe

c. Etiologi dan Faktor Risiko

American Heart Association/American College of Cardiologi (2017), membagi faktor risiko kardiovaskuler dalam 3

bagian, yaitu:

1) Faktor risiko utama yaitu faktor risiko yang menunjukkan hubungan kuantitatif fajtor risiko dengan risiko ACS,

yaitu:

a) Merokok

Orang yang merokok mempunyai risiko 2 kali lebih banyak untuk menderita penyakit kardiovaskuler

dibanding orang yang tidak merokok. Efek merokok terhadap terjadinya aterosklerosis antara lain dapat

menurunkan kadar HDL, trombosir lebih mudah mengalami agregasi, mudah terjadi luka endotel karena

radikal bebas dan pengeluaran katekolamin berlebihan serta dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah.

Merokok dapat menaikkan kadar karbondioksida dalam darah, kemampuan mengikat oksigen menjadi

menurun dan jumlah oksigen yang rendah dapat mengganggu kemampuan jantung untuk memompa dan
nikotin yang terkandung dalam rokok menstimulasi diproduksinya katekolamin yang akan meningkatkan

frekuensi heart rate dan blood pressure. Merokok akan mengganggu respon vaskuler sehingga

meningkatkan adhesi dari platelet, yang akan meningkatkan risiko terjadinya thrombus (Hoo, Foo, Lim,

Ching & Boo, 2016).

b) Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah sistolik atau tekanan darah diastolic yang

tidak normal. Nilai yang dapat diterima berbeda sesuai usia dan jenis kelamin. Hipertensi merupakan faktor

risiko yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Hipertensi merupakan beban

tekanan terhadap dinding arteri yang mengakibatkan semakin berat beban jantung untuk memompakan

darah ke seluruh jaringan, hal ini mengakibatkan fungsi jantung akan semakin menurun dan dinding jantung

akan semakin menebal dan kaku (AHA, 2015). Selain itu, pada kondisi menurunkan kelenturan dinding

arteri dan meningkatnya adhesi platelet, tingginya tekanan juga akan mengakibatkan plak yang menempel

pada dinding arteri akan mudah terlepas dan mengakibatkan thrombus (Hoo et al, 2016).

AHA merekomendasikan target tekanan darah pada ACS adalah <140/90 mmHg pada pasien berusia <80

tahun dan <150/90 mmHg pada mereka yang berusia >80 tahum. European Society of Cardiology (ESC)

juga merekomendasikan untuk menurunkan tekanan darah >140/90 mmHg tanpa mempertimbangkan usia

dan <140/85 mmHg pada pasien dengan diabetes mellitus (Archbold, 2016).
c) Dyslipidemia

Dyslipidemia adalah meningkatnya kadar kolesterol dan bentuk ikatannya dengan protein seperti

trigliserida dan LDL, tetapi sebaliknya kadar HDL menurun. Dyslipidemia tidak lepas dari keterpajanan

terhadap asupan lemak sehari-hari terutama asupan lemak jenuh dan kolesterol, yang dapat meningkatkan

insidens penyakit jantung koroner. Kolesterol merupakan suatu jenis lemak yang terdapat di dalam darah,

bentuknya seperti lilin berwarna kuning dan diproduksi oleh hati dan usu halus. Bila tubuh mengkonsumsi

cukup banyak makanan maka jumlah trigliserida dan kolesterol akan meningkat. Kelebihan trigliserida akan

disimpan dalam jaringan lemak dibawah kulit yang kemudian akan digunakan sebagai cadangan makanan

untuk tubuh. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hipertrigliseridemia berat berkorelasi positif

dengan mortalitas ACS. Atherogenic Dyslipidemia (AD) adalah komponen utama dari sindrom metabolic

dan merupakan predictor penyakit jantung koroner (ACS). Sedangkan LDL merupakan faktor utama

penyebab pathogenesis ACS (Wan et al., 2015).

d) Diabetes Mellitus

Pada penderita diabetes terjadi kelainan metabolism yang disebabkan oleh hiperglikemia yang mana

metabolit yang dihasilkan akan merusak endotel pembuluh darah teermasuk didalamnya pembuluh darah

koroner. Pada penderita diabetes yang terlah berlangsung lama akan mengalami mikroangiopati diabetic
yaitu mengenai pembuluh darah besar, dimana pada penderita ini akan sering mengalami triopati diabetik

yaitu neuropati, retinopati dan nefropati. Pada penderita D, terjadi percepatan aterosklerosis dan 75-80%

kematian penderita DM disebabkan oleh makroangiopati terutama yang terjadi pada jantung, yaitu SKA.

e) Stress

Banyak ahli yang mengatakan bahwa faktor stress erat kaitannya dengan kejadian penyakit jantung koroner.

Dalam kondisi stress yang kronis dan berkepanjangan syaraf simpatis akan dipacu setiap waktu dan

adrenalin pun akan meningkat, yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah bersamaan dengan

meningkatnya kadar kolesterol dalam darah. Hal ini tentunya akan membebani jantung dan merusak

pembuluh darah koroner. Stress merupakan salah sat risiko koroner yang kuat, tapi sukar diidentifikasi.

Stress merupakan respon yang tidak spesifik dari seseorang terhadap setiap tuntutan kehidupan. Stress yang

terus menerus berlangsung lama akan meningkatkan tekanan darah dan kadar katekolamin sehingga

mengakibatkan penyempitan pada arteri koroner yang menyebabkan stress psikologis dengan kejadian ACS

(Onk et al, 2016).

2) Faktor risiko yang tidak dapat dirubah, yaitu:

a) Umur dan jenis kelamin

Semakin bertambahnya umur akan meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit jantung koroner. SKA

lebih sering timbul pada usia lebih dari 35 tahun keatas dan pada usia 55-64 tahun terdapat 40% kematian
disebabkan oleh penyakit jantung koroner. (Lee et al, 2015) menyatakan bahwa seseorang yang berumur

lebih atau sama dengan 60 tahun memiliki risiko kematian sebesar 10,13 kali dibandingkan yang berumur

25-49 tahun. Insiden SK dikalangan wanira lebih rendah daripada laki-laki, tetapi hal ini akan berubah

begitu memasuki periode menopause. Aterosklerosis mengalami peningkatan seiring dengan adanya

pertambahan usia. Pada wanita usia dibawah 55 tahun angka kejadian ACS lebih rendah dibandingkan

dengan laki-laki, namun pada usia 55 tahun angka kejadian relative sama anatara keduanya. Pada usia

diatas 55 tahun angka kejadian jantung koroner pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

Hasil penelitian menunjukkan wanita mempunyai risiko lebih tinggi terjadi serangan jantung dibandingkan

dengan laki-laki (AHA, 2016).

b) Obesitas

Seseorang yang obesitas secara umum berisiko mengalami hyperlipidemia dan hiperkolesterolemia yang

merupakan faktor dominan yang dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Selain itu beban cairan

tubuh yang cukup besar dan menurunnya kemampuan beraktivitas secara bertahap akibat dari obesitas,

lambat laun akan menimbulkan meningkatnya beban kerja jantung dan menurunkan fungsinya. Obesitas

berhubungan dengan peningkatan volume darah dan curah jantung yang disebabkan oleh peningatan

aktivitas metabolic yang tinggi dan jaringan adipose yang akan mempengaruhi perubahan hemodinamik
pasien ACS. Hasil perubahan hemodinamik tersebut menyebabkan left ventrikel (LV) remodeling,

peningkatan stress dinding miokard sehingga berdampak pada ketidaknyamanan fisik (Lee et al, 2015).

d. Patofisiologi

Sebagian besar ACS adalah manifestasi akut dari plak atheroma pembuluh darah coroner yang koyak atau pecah akibat

perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses

agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk thrombus yang kaya trombosit. Thrombus ini akan

menyumbat lubang pembuluh darah coroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat

pembuluh darah coroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokontriksi sehingga

memperberat gangguan aliran darah coroner. Berkurangnya aliran darah coroner menyebabkan iskemia miokardium. Suplai

oksigen yang berhenti kurang lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (Infark Miokard). Infark Miokard

tidak selalu disebabkan oleh oklusi pembuluh darah coroner. Sumbatan total yang disertai vasokontriksi yang dinamis juga

dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung. Selain nekrosis, iskemia juga dapat menyebabkan

gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), disertai distritmia dan

remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Pada Sebagian pasien, ACS terjadi karena sumbatan

dinamis akibat spasme local arteri koronaria epikardia (angina prizmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun

thrombus, dapat disebabkan oleh progesi pembentukan plak atau restenosis setelah intervensi coroner perkutan (IKIP).
Beberapa factor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya

ACS pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. (PERKI, 2018).

e. Diagnosis ACS

1) Manifestasi Klinis

Diagnosis klinis unstable angina ditegakkan berdasarkan onset, durasi dan frekuensi dari nyeri dada. Unstable angina

dapat dikatagorikan menjadi rest angina, new-onset severe angina atau increasing angina. Perubahan EKG pada angina

mungkin tidak ada dan biasanya serum kardiak marker normal (Califf & Roe, 2010).

a) Rest angina, yaitu angina yang terjadi pada waktu istirahat, biasanya terjadi selama satu minggu dengan lama

episode > 20 menit.

b) New-onset severe angina, yaitu angina yang baru pertama kali dirasakan dengan jenis angina pada kelas III-IV.

Angina terjadi setelah melakukan perkerjaan minimal.

c) Increasing angina yaitu pasien yang sudah pernah terdiagnosis angina sebelumnya. Keluhan angina semakin

bertambah, serangan angina timbul lebih sering dan lebih lama. Pada angina jenis ini setidaknya terdapat kenaikan satu

kelas derajat nyeri misalnya dari kelas III ke kelas IV.

Klasifikasi Angina menurut Canadian Cardiovascular Cociety (CCS) adalah :

a) Menjelaskan tingkat disabiliti yang disebabkan angina


b) Kelas I – Angina hanya terjadi saat aktivitas berat atau lama

c) Kelas II – keterbatasan ringan akibat angina pada aktivitas normal

d) Kelas III – keterbatasan berat akibat angina pada aktivitas biasa

e) Kelas IV – tidak mampu melakukan aktivitas fisik. Terjadi angina pada waktu istirahat (Gray, et al., 2005).

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pada pasien dengan Akut Miocard Infark (AMI). Sifat

nyeri dada angina sebagai berikut:

a) Lokasi : substernal, retrosternal dan precordial

b) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih beban berat seperti ditusuk, rasa diperas dan

terpelintir

c) Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut

dan dapat juga ke lengan kanan

d) Faktor pencetus : latihan fisik, stress, emosi, udara dingin dan sesudah makan

Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. Infark Miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) tanpa nyeri

dada lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan usia lanjut. Kombinasi nyeri dada substernal selama > 30 menit

dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Gejala penyerta seperti dispnea, mual, muntah, diaporesis dan

cemas biasanya sering terjadi pada STEMI dan jarang ditemukan pada NSTEMI (Alwi, 2009). Gejala khas pada

NSTEMI adalah nyeri dada dengan lokasi nyeri di retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher atau bagian rahang. Nyeri
tersebut bisa terjadi secara intermittent (biasanya berlangsung beberapa menit) atau persistent. Gejala khas merupakan

nyeri seperti diikat, terbakar, nyeri tumpul rasa berat atau tertekan. Gejala tidak khas seperti nyeri epigastrium,

gangguan pencernaan, nyeri dada yang menusuk atau dispneu. Gejala tidak khas ini lebih sering terjadi pada kelompok

pasien berusia lebih dari 75 tahun, wanita, pasien dengan diabetes, gagal ginjal kronis, atau demensia (Hamm, et al.,

2011).

f. Komplikasi ACS

Ada beberapa komplikasi yang dapat ditemukan, antara lain (Setiawan, 2018):

a. Aritmia

b. Kematian mendadak

c. Syok kardiogenik

d. Gagal jantung

e. Emboli paru

f. Rupture septum ventrikuler

g. Rupture muskulus papilaris

h. Anerisma ventrikel
g. Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan Buku Pedoman Tatalaksana Sindrom Koronaria Akut pada tahun 2018, ada beberapa Pemeriksaan Penunjang

yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis ACS, yaitu:

1) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit dan

menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitas katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan

hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitas

katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah hasul atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap ACS.

Pericardial friction rub karena pericarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitas katup aorta akibat diseksi

aorta, pneumothoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam

memikirkan diagnosis banding ACS.

2) Pemeriksaan Elektrokardiogram

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani

pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruangan perawatan. Sadapan V3R dan V4R, serta V7-

V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.

Sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non-diagnostik. Perekaman

EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa didapatkan perbandingan dengan hasil
EKG sebelumnya sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan

perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus, EKG yang mungkin dijumpai pada pasien IMA-NEST dan

APTS anatara lain:

a) Depresi segmen ST dan atau inversi gelombang T, dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten

(<20 menit)

b) Gelombang Q yang menetap

c) Non-diagnostik

d) Normal

3) Pemeriksaan Biomarka Jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan beomarka nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka

untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai biomarka nakrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesivitas

lebih tinggi dari CK-MV. Peningkatan biomarka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak

dapat dipakai untuk emnentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner atau non-koroner). Pemeriksaan

biomarka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Troponin I/T juga dapat meningkat akibat kelainan

kardiak non-koroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/pericarditis.

Keadaan non-kardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit

neurologic akut, emnboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi dan insufisiensi ginjal. Pemeriksaan di ruang darurat
atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih

cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitive. Point of care testing sebagai alat diagnostic rutin ACS hanya dianjurkan

jika waktu pemeriksaan dilaboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika biomarka jantung secara point of care

testing menunjukkan hasil negative maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.

4) Pemeriksaan Non-Invasif

Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum

dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dinding ventrikel kiri dapat

terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta,

kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan,

pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia diruang perawatam dan dilakukan secara rutin

sesegera mungkin pada pasien tersangaka SKA. Stress test seperti EKG dapat membantu menyingkirkan diagnosis

banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan marka jantung yang negative.

5) Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan

segera dilakukan untuk tujuan diagnostic pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas.

Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri serkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang

mengalami gejala atau peningkatan troponin, namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostic. Pada pasien dengan
penyakit pembuluh multiple dan pasien dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian

kardiovaskuler yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional

seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain

eksentrisitas, batas yang irregular, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya

thrombus intrakoroner.

6) Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium, disampung biomarka jantung yang harus dikumpulkan di ruang perawatan adalah tes darah rutin,

gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak

boleh menunda terapi SKA.

7) Pemeriksaan Foto Polos Dada

Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

Dengan mengintegrasikan informasi yagn diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, tes bimarka jantung, dan

foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non-kardiak,

angina stabil, kemungkinan SKA dan definitive SKA. Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda: nyeri dada

yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang perawatan, EKG

normal atau non-diagnostik dan biomarkan jantung normal.


2. Konsep Nyeri

a. Definisi

Pengalaman sensori dan emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak

atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan atau lebih dari 3 bulan (SDKI, 2018).

b. Klasifikasi Nyeri

a) Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan kerusakan jaringan actual atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas

ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan (SDKI, 2018).

Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala gejala seperti

peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis, dan dilatasi pupil.

Secara verbal klien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri dan

memberikan respons emosi perilaku seperti mengerutkan wajah, menangis, mengerang, atau menyeringai.

b) Nyeri kronik

Nyeri kronik merupakan kerusakan jaringan actual atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas

ringan hingga berat yang berlangsung lebih dari 3 bulan (SDKI, 2018). Pasien yang mengalami nyeri kronis sering

menjadi depresi, sulit tidur, dan menganggap nyeri seperti hal yang biasa. Nyeri kronis dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Nyeri maligna, biasanya terjadi karena berkembangnya penyakit yang dapat mengancam jiwa atau berkaitan dengan

terapi. Misalnya nyeri kanker

2) Nyeri nonmaligna, nyeri yang tidak mengancam jiwa dan tidak terjadi melebihi waktu penyembuhan yang diharapkan.

Nyeri punggung bawah, penyebab utama penderitaan dan merupakan penyita waktu kerja, masuk ke dalam kategori

ini.

c. Penyebab Nyeri

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indoneia (2018), antara lain:

b) Nyeri akut

1) Agen pencedera fisiologis (misal inflamasi, iskemia, neoplasma)

2) Agen pencedera kimiawi (misal terbakar bahan kimia)

3) Agen pencedera fisik (misal terbakar, abses, prosedur operasi, amputasi, trauma, terpotong, Latihan fisik berlebihan,

mengangkat berat)

c) Nyeri Kronik

1) Kerusakan system saraf

2) Ketidakseimbangan neurotransmitter, neuromodulator, dan reseptor

3) Riwayat penganiayaan (misal fisik, psikologis, seksual)

4) Gangguan imunitas (misal neuropati, virus varicella zoster)


5) Peningkatan indeks massa tubuh

6) Infiltrasi tumor

7) Penekanan saraf

8) Gangguan fungsi metabolic

9) Tekanan emosional

10) Kondisi muskuloskeletas kronis

11) Riwayat penyalahgunaan obat/ zat

12) Riwayat posisi kerja statis

13) Kondisi pasca trauma

d. Tanda dan Gejala Nyeri

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indoneia (2018), antara lain:

a) Nyeri Akut

Secara mayor

1) Subjektif

- Mengeluh nyeri

2) Objektif

- Gelisah
- Meringis

- Sulit tidur

- Bersikap protektif (mis. Menghindari nyeri, waspada)

- Frekuensi nadi meningkat

Secara minor

1) Subjektif : tidak tersedia

2) Objektif

- Berfokus pada diri sendiri

- Tekanan darah meningkat

- Nafsu makan berubah

- Pola napas berubah

- Diaphoresis

- Proses berfikir terganggu

- Menarik diri

b) Nyeri kronik

Secara mayor

1) Subjektif
- Mengeluh nyeri

- Merasa depresi (tertekan)

2) Objektif

- Tidak mampu menuntaskan aktivitas

- Gelisah

- Meringis

Secara minor

1) Subjektif

- Mengalami berulang

- Takut cedera

2) Objektif

- Waspada

- Bersikap protektif (menghindari nyeri)

- Pola tidur berubah

- Berfokus pada diri sendiri

- Focus menyempit

- Anoreksia
e. Kondisi Klinis Terkait

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indoneia (2018), antara lain:

a) Nyeri Akut

- Sindrom coroner akut

- Kondisi pembedahan

- Glaucoma

- Cedera traumatis

- infeksi

b) Nyeri Kronis

- Kondisi kronis (mis. Arthritis, rheumatoid)

- Kondisi pasca trauma

- Cedera medulla spinalis

- Infeksi

- Tumor

f. Karakteristik Nyeri
Karakteristik dapat juga dilihat dengan pendekatan analisis symptom, meliputi PQRST: P (Paliatif/ Provocatif = yang

menyebabkan timbulnya masalah). Q (Quality dan Quantity = kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan), R (Region = lokasi

nyeri). S (Severity = keparahan), T (Timing = waktu).

g. Pengukuran Nyeri

Menurut Sulistyo Andarmoyo (2013), yaitu:

1. Skala Deskriptif

Garis yang terdiri dari 3 – 5 kata deskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis disebut Skala

pendeskriptis verbal (Verbal Descriptor Scale (VDS)). Skala deskriptif merupakan alat yang digunakan untuk mengukur

tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Cara ini dapat dilihat dari seseorang yang tidak merasa nyeri sampai rasa nyeri

tidak dapat tertahankan.

Gambar. Skala Nyeri Deskriptif (Wulan & Chynthia, 2015)

2. Skala Numerik
Dalam menilai nyeri dapat menggunakan skala numerik (Numerical Rating Scale (NRS)). Penilaian ini untuk

menyebutkan pendeskripsian yang diubah menjadi skala angka 0-10, yang artinya 0 tidak nyeri, 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri

sedang, 7-9 nyeri berat, ≥10 nyeri tidak tertahankan.

Gambar. Skala Nyeri Numeric (Aziah & Azma, 2015)

3. Konsep Thermotherapy

a. Definisi

Terapi panas atau thermotherapy merupakan terapi dengan menggunakan suhu panas biasanya dipergunakan dengan

kombinasi dengan modalitas fisioterapi yang lain seperti exercise dan manual therapy (Novita, 2019). Pengertian terapi panas

atau thermotherapy adalah bentuk terapi yang diaplikasiakan ke tubuh untuk meningkatkan suhu pada jaringan otot (Scott F.

Nadler, 2019).

b. Tujuan

Tujuan dari pemberian thermotherapy yaitu untuk meningkatkan aliran darah pada kulit dengan jalan melebarkan pembulub

darah yang dapat meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan. Menurut Asmadi (2018) tujuan pemberian terapi
panas untuk memperlancar sirkulasi darah, mengurangi rasa sakit, memberi rasa hangat dan tenang, merangsang peristaltic

usus. Thermotherapy dilakukan untuk meningkatkan aliran darah pada daerah tersebut (Novita, 2020)

c. Jenis Thermotherapy

Terdapat beberapa jenis thermotherapy (Novita, 2020), antara lain:

1) Krim panas (hot cream), dapat meredakan nyeri otot ringan. Walaupun demikian krim tidak dapat menembus otot

sehingga kurang efektif dalam mengatasi nyeri otot

2) Bantal pemanas (heat pad), bantal yang digunakan berupa kain yang berisi silika gel yang dapat dipanaskan. Biasanya,

bantal panas dipergunakan untuk mengurangi nyeri otot pada leher, tulang belakang, kaki, kekakuan otot/ spasme otot,

inflamasi pada tendo dan bursa.

3) Kantung panas (heat pack), berisi silika gel yang dapat direndam air panas. Kantung panas kemudian diaplikasikan selama

15-20 menit. Kantung panas ini diindikasikan untuk mendapatkan relaksasi tubuh secara umum dan mengurangi siklus

nyeri spasme iskemia hipoksia. Pengobatan tradisional China, selama lebih dari 2000 tahun lebih memilih untuk

menangani cedera musculoskeletal karena berdasarkan para terapis tradisional, panas berdampak lebih baik sebagai upaya

untuk melancarkan sirkulasi (John, 2017).

4) Tanki Whirpool, merupakan jenis kombinasi hydrotherapy, thermotherapy, dan massage. Efek fisiologis yang ditimbulkan

terapi ini antara lain untuk meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan pelebaran pembuluh darah dan membantu untuk
melemaskan jaringan kolagen. Terapi tanki whirpool diindikasikan untuk mengurangi pembengkakan pada radang kronis,

spasme otot, dan mengurangi nyeri

5) Paraffin Bath, merupakan Teknik yang sering dipergunakan untuk terapi bagian ujung tubuh. Paraffin merupakan

semacam lilin cair yang tidak berwarna yang terbuat dari hidrokarbon yang dipergunakan sebagai pelumas. Paraffin

biasanya dicampur dengan minyak mineral pada bak khusus dimana bagian tubuh yang mengalami keluhan dicelupkan di

dalamnya.

6) Contras Bath, merupakan terapi jenis hydrotherapy yang mengkombinasikan suhu panas dan dingin. Biasanya contras bath

ini digunakan pada aplikasi ekstremitas. Pelaksanaannya terapi ini memerlukan dua container untuk penampungan air

hangat dengan suhu (41-43 °c) dan penampungan air dingin (10-18 °c). terapi ini diindikasikan pada fase peralihan antara

tahap akut dan kronis dimana diperlukan peningkatan suhu secara maksimal untuk meningkatkan aliran darah dan

mencegah terjadinya pembengkakan.

d. Indikasi

Terapi panas dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai keadaan (Novita. 2020) seperti

1) Kekakuan otot, arthritis (radang persendian)

2) Hernia discus intervertebral, nyeri bahu

3) Bursitis (radang bursa)

4) Sprain (robekan pada ligament sendi


5) Strain (robekan otot)

6) Nyeri pada mata yang diakibatkan oleh peradangan kelopak mata (blepharitis)

7) Gangguan sendi temporo mandibular, nyeri dada yang disebabkan oleh nyeri pada tulang rusuk (costochondritis)

8) Nyeri perut dan pelvis

9) Fibromyalgia dengan gejala nyeri otot, kekakuan, kelelahan dan gangguan tidur, gangguan nyeri kronis seperti pada lupus

e. Kontraindikasi

Menurut Ardiansyah (2019) kontraindikasi pemberian terapi panas yaitu, kulit yang bengkak terjadi perdarahan, karena panas

akan meningkatkan perdarahan dan pembengkakan yang semakin parah, perdarahan aktif, panas akan menyebabkan

vasodilatasi dan meningkatkan perdarahan, edema noninflamasi, panas meningkatkan permeabilitas kapiler dan edema, tumor

ganas terlokalisasi, karena panas mempercepat metabolism sel, pertumbuhan sel, dan meningkatkan sirkulasi, panas dapat

mempercepat metastase (tumor sekunder), gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau lepuh.
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Karviovaskular Indonesia. Buku Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi 4. Jakarta:

Centa Communications. 2018

2. Anderson JL, Morrow DA. Acute Myocardial Infarction. N Engl J Med. 2017; 376: 2053-64

3. European Society of Cardiology. 2020 ESC Guidelines for the management og acute coronary syndromes in patients

presenting without persistents ST-segment elevation. European Heart Journal. 2020; 00, 1-79

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12599/%286%29%20BAB%202%20KTI%20FAJAR%20RIFKI
%20PRASETYA_20130310025.pdf?sequence=6&isAllowed=y
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/18198/BAB%202.pdf?sequence=3&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai