PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1
c. Menjelaskan etiologi dari penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre
Sindrome
d. Menjelaskan patofiologi dari penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine
Barre Sindrome
e. Menjelaskan prevalensi dan epidemiologi dari penyakit Myasthenia Gravis
dan Guillaine Barre Sindrome
f. Menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit Myasthenia Gravis dan
Guillaine Barre Sindrome
g. Menjelaskan klasifikasi dari penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine
Barre Sindrome
h. Menjelaskan penatalaksanaan medis dari penyakit Myasthenia Gravis dan
Guillaine Barre Sindrome
i. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari penyakit Myasthenia Gravis dan
Guillaine Barre Sindrome
j. Menjelaskan komplikasi dari penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine
Barre Sindrome
k. Membuat asuhan keperawatan sesuai dengan penyakit Myasthenia Gravis
dan Guillaine Barre Sindrome
1.3 Manfaat
a. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi penyakit Myasthenia Gravis dan
Guillaine Barre Sindrome
b. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan Fisiologi organ atau jaringan
yang berhubungan dengan penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine
Barre Sindrome
c. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dari penyakit Myasthenia Gravis
dan Guillaine Barre Sindrome
d. Mahasiswa mampu menjelaskan patofiologi dari penyakit Myasthenia
Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
e. Mahasiswa mampu menjelaskan prevalensi dan epidemiologi dari penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
f. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
g. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi dari penyakit Myasthenia
Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
h. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan medis dari penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
i. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
j. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dari penyakit Myasthenia
Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
k. Mahasiswa mampu asuhan keperawatan sesuai dengan penyakit
Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
MYASTHENIA GRAVIS
3
Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang
disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka
Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan
mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan
vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan
mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka
asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke
dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini
terdapat pada lekukan-lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri
dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma,
dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap
untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya
gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan
mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai
nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada
sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke
segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan
mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis
oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang
cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan
Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran
pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan
untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus.
4
2.3 Etiologi Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis dimasukkan dalam golongan penyakit
autoimun. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana
autoantibodi pada serum penderita Myastenia Gravis secara langsung
melawan konstituen pada o t o t . Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi
pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan
otot pasien dengan Myastenia Gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin
reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting dalam
sistem imun. Biasanya antibodi secara langsung menolak protein-protein
asing yang disebut antigen yang menyerang tubuh. Protein-protein ini
termasuk juga bakteri dan virus. Antibodi menolong tubuh untuk
melindungi dirinya dari protein-protein asing ini. Untuk alasan yang tidak
dimengerti, sistem imun pada orang dengan Myasthenia Gravis membuat
antibodi melawan reseptor pada neuromuscular junction. Antibodi yang
tidak normal ini dapat ditemukan dalam darah pada orang-orang dengan
Myasthenia Gravis. Antibodi tersebut menghancurkan reseptor dengan
lebih cepat dibanding tubuh mereka sendiri dapat melakukannya
(Myasthenia Gravis Foundation of America).
Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat
juga penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus
dalam penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di
bawah tulang dada, mempunyai peranan penting dalam mengembangkan
system imun pada awal kehidupan. Kelenjar ini pada saat bayi ada dalam
jmlah yang cukup banyak, tumbuh secara berangsur-angsur sampai masa
pubertas, dan kemudian menjadi mengecil dan digantikan dengan
pertumbuhan bersama usia.
Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan
thymoma atau tumor pada kelenjar thymus. Umumnya tumor ini jinak, tapi
bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara kelenjar thymus dan Myasthenia
Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para ilmuwan percaya bahwa
kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang salah mengenai
produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang transmisi
neuromuskular.
5
tempat atau jarak antara keduanya, tempat ini disebut neuromuskular
junction.
Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf
bagian akhir, syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang
disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak yang ada
diantara serabut syaraf dan serabut otot (neuromuscular junction) menuju
serabut otot dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup
atau mengkerut ketika reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada
Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan pada angka reseptor
asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan
dan merintangi reseptor asetilkolin.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl
Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl
Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan
reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh
impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada
pasien.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi
kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum
diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit
yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-
AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang
diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis
penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
Sub-unit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin.
Sehingga pada pasien myastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan
dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa
cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-
reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang
dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru
disintesis.
6
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.
Angka kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini
lebih sering tampak pada umur diatas 50 tahun. Wanita lebih sering
menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai
usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu
sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia
60 tahun. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa
Myasthenia Gravis adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien
yang mengalami Myasthenia Gravis sebagai akibat karena memiliki
thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis kelamin.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun
(antibodi) dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-
kasus dari Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak
umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran. Myasthenia
Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya,
penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga
yang sama.
7
berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinngi.
Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis Myasthenik,
kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi.
Tingkat kematian tinggi.
8
mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan mengunyah, dan
bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada otot
pernafasan. Dengan ikut terserangnya otot-otot yang mengontrol
pernafasan, maka hal ini menyebabkan penderita mengalami beberapa
gangguan dalam pernafasan, mulai dari nafas yang pendek, kesulitan
untuk menarik nafas yang dalam sampai dengan gagal nafas sehingga
memerlukan bantuan ventilator.
Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan pada otot-otot
ocular yang menimbulkan ptosis (menurunnya kelopak mata) dan diplopia
(penglihatan ganda). Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan
otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas
pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan
tidak akan menyebabkan kematian.
Myasthenia Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring dan
faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika
pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria), dan
pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung.
Terserangnya otot-otot pernafasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea (ketidak nyamanan
dalam bernafas) dan pasien tidak lagi mampu untuk membersihkan lendir
dari trakhea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan
panggul dapat terserang pula, dapat pula terjadi kelemahan pada semua
otot-otot rangka.
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot –otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta
fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi
kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.
Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat
aktivitas yang terus menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien
akan mengalami penurunan tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan
kelelahan dalam satu hari, atau menjelang berakhirnya aktivitas. Jika
dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien biasanya berkembang
menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari berbagai
kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya
berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan
akhir masa kehamilan.
9
Perjalanan klinis dari Myasthenia Gravis sangat bervariasi antara
pasien satu dengan yang lainnya. Dari sekian banyak pasien Myasthenia
Gravis, 14 % hanya dengan gejala-gejala mata saja yang mengarah pada
ocular MG. Kehebatan maksimum dari Myasthenia Gravis dicapai dalam
waktu 1 tahun pada 55 % dari kasus, dan dalam 5 tahun pada 85 % dari
kasus. Aspek yang paling berbahaya dari Myasthenia Gravis disebut
Myasthenia Krisis, yang memungkinkan diperlukannya ventilator pada
beberapa kasus.
10
pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa
timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien
dengan usia lebih dari 40 tahun,.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies : Hampir 50%
penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies : Antibodi ini bereaksi dengan epitop
pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini
selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan miastenia gravis
pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam seru beberapa pasien
dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan
dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita.
Anti-asetilkolin reseptor antibodi : Hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana
terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien timomatanpa miastenia gravis
sering kali terjadifalse positive anti-AChR antibody
f. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :
Single-fiber Electromyography (SFEMG) : SFEMG mendeteksi
adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan
titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal
pada motor unit yang sama) dan suatufiber density (jumlah potensial
aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) : Pada penderita miastenia gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS
terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
g. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal
atau keberadaan dari thymoma.
h. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
11
Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah
pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.
12
berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat
dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-
frozen plasma tidak diperlukan.
b. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer
antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian
besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk
tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah
memulai terapi. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data,
tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG
sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG
diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari
pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG
dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-
asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 2 4 jam pertama. Nyeri
kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,
sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.
c. Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak
ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika
respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunj ukkan respon terhadap
IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan
respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu
sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat
digunakan.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling
murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki
efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti
13
terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata
selama 3 bulan. Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid
akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan
memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi
dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia
gravis.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan
antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah
60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada
penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul
efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas
serta hipertensi.
e. Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog
dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis
nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine merupakan obat
yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan
secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Azathioprine
biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari
hingga dosis optimal tercapai.
Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal
didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada
sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan
dengan obat imunomodulasi yang lain.
f. Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine
berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T- helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek
pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
14
g. Cyclophosphamide (CPM)
Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi
dibandingkan obat lainnya. CPM adalah suatu alkilating agent yang
berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat
menekan sintesis imunoglobulin.
h. Timektomi (Surgical Care)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar
timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center
hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli
saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki
peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun
kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat
dibuktikan oleh standar yang seksama.
Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan
miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma
denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan
utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, dimana beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah
pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi
yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung
dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60%
pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan
remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).
15
b. Cholinergic Crisis
Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang lebih.
Efek muskarinik dari tingkat racun olehkarena obat antikolinesterase
menyebabkan kram perut, diare, dan sekresi paru berlebihan. Efek
nikotinik paradoksikal memperburuk kelemahan dan dapat
menyebabkan kejang bronkial. Jika status pernapasan terganggu, klien
mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik.
16
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
GUILLAIN BARRE SYNDROME
17
Neuron terdiri dari:
1. Axon
Axon merupkan serat saraf utama neuron, yang berfungsi
menghantarkan impuls keluar dari badan sel.
Axon adalah bagian yang menyampaikan impuls ke neuron lain, otot
dan kelenjar. Berukuran panjang dan berbentuk silinder tipis, tempat
lewatnya sinyal listrik yang dimulai dari dendrit dan badan sel. Akson
mentransmisikan sinyal awal ke neuron lain atau ke otot atau ke
kelenjar. Akson juga disebut serabut saraf, banyak serabut saraf yang
melintas bersama disebut saraf. Pada beberapa saraf, akson akan
ditutup lapisan lemak yang terisolasi, yang disebut myelin.
2. Badan sel
Badan sel merupakan bagian utama neuron yang berisi inti dan sel.
Badan sel merupakan tempat mengolah informasi.
3. Dendrite.
Dendrit adalah bagian penerima input neuron, berukuran pendek dan
bercabang-cabang, yang merupakan perluasan dari badan sel.
Dendrite berbentuk seperti antena, dan merupakan tempat penerimaan
sinyal dari sel saraf lain. Denrit mengumpulkan impuls saraf dari
neuron lain atau ujung saraf sensorik.
4. Nodus neurofibra
Nodus neurofibra disebut juga nodus ranfier yang merupakan bagian
akson yang tidak dibungkus oleh myelin.Nodus neurofibra berfungsi
untukmempercepat transmisi impuls saraf.Adanya nodus ranvier
tersebut memungkinkan saraf meloncat dari satu nodus ke nodus yang
lain, sehingga impuls lebih cepat sampai pada tujuan.
5. Sel Schwann
18
Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat)
untuk membentuk selubung myelin.
6. Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung
Schwann.Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi
myelin berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan
mencegah impuls pudar atau bocor.Selubung myelin sebagai isolator
listrik, mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi
konduksi.Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak
tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler.Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier
memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini
adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).
19
3.4 Patofisiologi Guillaine Barre Syndrome
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang
membungkus saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak.
Gejala GBS menghilang pada saat serangan autoimun berhenti dan akson
mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selama serangan,
beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi.
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis
yang berkembang ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena dan
menyebabkan kolaps pernafasan. Fungsi kardiovaskular dapat terganggu
karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun
lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat
antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah
limfosit yang berubah responnya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer,
maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin
terlepas dan menyebabkan sistem penghantaran implus terganggu. Karena
proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin saraf perifer, dan cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi
karena blok konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh
karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu
setelah proses peradangan/infeksi terjadi.
Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur serta
hilang pada beberapa segmen. Hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi
saltatori yang mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta terjadinya
hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel karena sel
Schwann dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru. Namun pada
banyak kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit
permanen (Djamil, 2010).
20
Penyakit Guillaine Barre Sindrom menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap
tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak
sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada
kaum pria. Penyakit ini sering ditemukan pada usia produktif (20 – 40 tahun).
Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, terinfeksi atau
terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu
atau tiga minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
21
antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur
menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf
yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul
relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan,
namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
22
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;
eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala
d) Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus
takikardia.Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
e) Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
f) Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal.
Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul
bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam
berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari
akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang
terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
23
diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat
2 atau 3.
c. Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan
berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien
demielinasi.Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama
dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah
40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali
exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti
dengan suatu substitusi plasma.
d. Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan
antibody.
Imunoglobulin IV : Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan
pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya
plasmapharesis.Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena
dosis tinggi.Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis aintenance
0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG
7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS
dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5
hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah
hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/
IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd
kehamilan.
e. Perawatan umum :
Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed sores
dengan perubahan posisi tidur.
f. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
g. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh.
h. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki
yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
24
i. Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan
trakhea.
j. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
k. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
25
a) Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan
kematian. Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang
dapat berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan
pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-
otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita.
b) Kelemahan beberapa otot dapat menetap (Corwin, 2009).
c) Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan
atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya
infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh
tertentu, dan kontraktur pada sendi (Israr, dkk, 2009).
26
BAB 4
STUDY CASE dan ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. Ali usia 45 tahun masuk UGD RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan keluhan
susah napas, dada terasa berat, gelisah. Hasil pengkajian didapatkan Tn. Ali
menderita demam 3 hari yang lalu, kemudian kaki tidak bisa digerakkan. TD:
130/80 mmHg, nadi 85x permenit, RR 24x permenit, Suhu 37’C.
4.2 Pengkajian
1. Ideentitas pasien
Nama : Tn. Ali
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
2. Keluhan utama
Susah napas, dada terasa berat, gelisah.
3. Riwayat penyakit sekarang
Tn.A mengeluh susah napas, dada terasa berat, serta gelisah. Tn. A telah
menderita demam sejak 3 hari yang lalu, serta kakinya tidak bisa
digerakkan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah ada riwayat penyakit ISPA dan infeksi saluran
pernapasan, selain itu juga apakah Tn. A pernah mengkonsumsi obat jenis
kortikosteroid, antibiotik, atau sebagainya dalam jangka waktu yang lama.
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pemeriksaan fisik
B1 [Breathing] : RR 24x/menit, susah napas, dada terasa berat
[yang paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan
frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan.
Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan
akumulasi secret dari infeksi saluran napas] .
B2 [Blood] : N 85x/menit, TD 130/80 mmHg, [ pada pasien
GBS juga sering ditemukan bradikardi yang berhubungan dengan
penurunan perfusi perifer. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD
meningkat [hipertensi transien] berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis] .
B3 [Brain] :
27
Tingkat kesadaran : pada pasien GBS biasanya kesadaran
pasien compos mentis. Apabila pasien mengalami penurunan tingkat
kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran pasien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan.
Fungsi serebri : Status mental --- observasi penampilan
pasien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara pasien dan observasi
ekspresi wajah, dan aktivitas motoric yang pada pasien GBS tahap
lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental
pasien mengalami perubahan.
Pemeriksaan saraf kranial :
Saraf I. Biasanya pada pasien GBS tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III,IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan
menutup kelopak mata, paralisis okular.
Saraf V. Pada pasien GBS didapatkan paralisis pada otot wajah
sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Per.se.psi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran bicara,
mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik
sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada devisiasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periosteum derajat refleks pada respon normal.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic, dan dystonia.
Sistem sensorik
Parestesia [kesemutan kebas] dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Pasien
mengalami penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B4 [ Bladder] : Pemeriksaan pada system kandung kemih biasanya
didapatkan berkurangnya volume haluaran urine. Hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
28
B5 [ Bowel] : Mual sampai muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambunng. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS
menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi
berkurang.
B6 [ Bone] : Penurunan kekuatan otot dam penurunan tingkat
kesadaran menurunkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari pasien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
Prognosis memburuk
Kecemasan
29
3. Do : refleks Gangguan perifer, saraf kranial Gangguan mobilitas
ekstremitas (-) dan neuromuscular fisik
Immobilitas
30
Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan otot
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan intervensi 1. Bantu klien mengekspresikan
keperawatan selama 1x24 jam klien perasaan marah, kehilangan,
dapat mengatasi rasa dan takut.
cemas/gelisahnya. 2. Monitoring tanda verbal dan
Ditandai dengan : nonverbal kecemasan,
a. Klien terlihat tenang dampingi klien, dan lakukan
b. Klien mampu mengidentifikasi tindakan bila menunjukkan
penyebab atau faktor yang perilaku merusak.
memengaruhinya 3. Hindari konfrantasi
c. Klien mampu mengungkapkan 4. Beri lingkungan yang tenang
perasaannya dan suasana penuh istirahat
31
BAB 5
KESIMPULAN
32
Daftar Pustaka
Arie, Gde Agung Anom, Made Oka Adnyana & I Putu Eka Wisyadharma.
Diagnosis dan Tata Laksana Myasthenia Gravis (Jurnal), diakses pada
13 Maret 2016 pk. 20.32 WIB.
Black, Joys & Jane Hokanson. 2009. Medical Surgical nursing : Clinical
Management for Positive Outcomes 8th Edition. USA: Elsevier
Morton, Patricia Gonce & Dorre K. Fontaine. 2009. Critical Care Nursing : a
Holistic Approach 9th Edition. China: Lippicont
MGFA, Inc. Facts About Autoimmune Myasthenia Gravis for Patients &
Families (www.myasthenia.org )
33