Anda di halaman 1dari 19

PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM

DALAM MENGHADAPI
PERSOALAN EKONOMI KONTEMPORER
Eli Suryani*

Abstract: Islam as a theory (religion) is an integral and totality. Islam have an


eco­nomic system that is fundamentally different from the conventional economic
system. It has its roots in the shari’a that shape the world view (world view) as well
as strategic objectives (maqasid al-shari’a) which different from the secular system.
Islamic theory construct it concept with mainstream of happiness (falah) and the
good life (hayaatan tayyibah) which really emphasize brotherhood (ukhuwah)
and the values of humanism, justice, socio-economic, and fulfillment of spiritual
human needs. For that in problems of economics, Islam build principles: Tawhid,
khilafah, terms of reference and framework, uni­versal brotherhood, the resource
is a responsibility from Allah, human happiness, brotherhood, and justice. With
those principles that built would be able to construct a happy prosperous life in the
world and the hereafter.

Keywords: Islamic economics, principles of economics, social change, and Islam­ic


law

Pendahuluan
Pada tataran teoritis, Islam dipahami sebagai suatu sistem ajaran yang
ber­sifat komprehensif tentang kehidupan manusia, yang meliputi keseluruhan
dimensinya termasuk dimensi sosial, politik dan ekonomi­­.­ 1 Setiap muslim di
perintahkan untuk masuk ke dalam sistem Islam secara totalitas dan integral.2
Dalam artian tidak menerima sebagian ajaran Islam dan meninggalkan seba­
giannya. Keseluruhan ajaran Islam itu merupakan satu kesatuan sistem ajaran

*
Staf pengajar STAIN Sjech. M. Djamil Djambek Bukittinggi
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

yang saling berkorelasi dan bertujuan untuk membawa kebahagiaan manusia


di dunia dan akhirat. Islam sesungguhnya menyediakan cita-cita keba­hagiaan
dan kesejahteraan moralitas, etos kerja, manajemen usaha serta apa saja yang
di butuhkan manusia dalam mengelola tujuan hidupnya dalam merealisasikan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Akan tetapi dalam kurun waktu yang relatif
panjang, ajaran-ajaran Islam (Islamic Injuctions) tersebut sering disalahartikan
oleh orang Islam itu sendiri, dan tercakup di dalamnya persoalan ekonomi.
Persoalan sekitar ekonomi, khususnya, kurang mendapat atensi serius dari
umat Islam, sehingga ajaran-ajaran dalam bidang itu tidak dapat berkembang
dengan baik. Kurangnya perhatian umat Islam itu sendiri adalah karena faktor
kuatnya hegemoni­­­3­ Barat terhadap dunia Islam melalui proyek modernisasi
yang disuarakan oleh barat, di samping perasaan inferior yang menggejala di
tubuh umat Islam itu sendiri. Baru pada pertengahan abad 20 ini tumbuh ke­
cenderungan di sementara intelektual Islam yang menjadikan tauhid dan ke­
adilan sebagai komitmen perjuangan yang mewarnai sistem tersebut.4
Ajaran Islam tentang ekonomi mendapat perhatian khusus dan mulai
ber­kembang menjadi sebuah sistem yang mempunyai metodologi keilmuan
tersendiri dan menjelma menjadi sebuah sistem yang independen.
Situasi seperti apa yang digambarkan di atas makin berkembang secara dra­
matis selama beberapa dekade terakhir. Hegemoni institusional dan intelektual
yang ditiupkan oleh sistem kapitalis dan sosialis makin redup dan makin banyak
ekonom yang menentang sistem tersebut. Indikasinya adalah dengan makin
ba­nyaknya literatur-literatur tentang persoalan Islam yang memperlihatkan pe­
ningkatan, baik dari segi kualitas maupun kualitasnya. Literatur-literatur ter­
sebut tidak lagi hanya berbicara pada wilayah argumentasi teoritis tetapi juga
menjurus pada kerangka aplikatif. Seperti dengan menjamurnya muncul bank-
bank syari’ah atau lembaga keuangan Islam lainnya.
Menyikapi kemajuan terma “Ekonomi Islam” sering muncul pertanyaan
beragam mulai dari yang bersifat epistimologis sampai pada yang bersifat prag­
matis, bahkan yang bersifat praktis. Pertanyaan yang muncul di antaranya ada­
lah, pertama mempertanyakan validalitas ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu
karena mengandung muatan nilai (value load), kedua mempertanyakan tentang
kemampuan ekonomi Islam dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan dan
persoalan ekonomi dunia dengan masyarakat yang pluralis dan homogen.
Premis utama yang akan di bicarakan dalam pembahasan ini adalah prinsip
ekonomi Islam sebagai sebuah sistem yang bisa ditelusuri ke belakang.

2 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011


Eli Suryani

Pembahasan
Kata ekonomi berasal dari kata penggabungan dua kata bahasa Yunani:
yaitu oikos dan nomos yang berarti pengaturan dan pengolahan rumah tangga.
Is­­tilah ini pertamakali digunakan oleh Xenophone seorang filusuf Yunani.5 Ber­
hubungan dengan persoalan ekonomi, Xenophone telah menulis satu uraian
atau sebuah tulisan yang memuji tentang pertanian sebagai basis kekayaan
ekonomi dan mengajukan perdagangan dan perkapalan sebagai usaha yang
da­pat memajukan perekonomian negara.6
Pada masa Yunani Kuno sudah ada teori tentang uang, bunga, jasa tenaga
kerja dan perbudakan serta perdagangan. Bukti tentang itu dapat di lihat da­ri
buku Republika yang ditulis oleh Plato (427-347 SM) atau sekitar 400 ta­hun
sebelum masehi. Karena dia melahirkan pemikiran paling awal tentang pereko­
nomian, maka pemikirannya tentang paling perekonomian banyak dipelajari
orang. Tapi sayang walaupun Plato banyak pemikirannya dipelajari orang, te­
tapi pembahasannya tidak sistematis, sejalan dengan bentuk suatu masyarakat
sempurna ataupun sebagai utopia.7
Gagasan Plato tentang perekonomian muncul tanpa sengaja dari pemi­
kirannya tentang keadilan dalam sebuah Negara ideal, dimana dia menyatakan
bahwa dalam sebuah Negara ideal, demikian kata Plato: kemajuan tergantung
pada pembagian kerja (division of labor) yang tumbuh secara alamiah dalam
masyarakat.
Sedangkan secara terminologi ada beberapa difenisi yag dikemukan oleh
para ekonom, diantaranya definisi yang dikemukakan oleh A. Marshall yang
mengatakan “Economics is a study of mankind in the ordinary business of life
or economics is a study of the use of scarce recources to satisfy unlimited human
wants”.8 Definisi ini lebih menekankan persoalan perekonomian tersebut
sebagai studi tentang upaya yang di lakukan oleh manusia atau individu dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup yang dimaksud di sini ada­
lah kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Oxford Dictionary of Current English mendefinisikan ilmu ekonomi se­
ba­gai “science of the production, distribution, and consumption of good condition of
coun­try” 9 ( ilmu yang membahas tentang cara produksi, distribusi dan konsumsi
da­lam suatu Negara untuk mencapai kemakmuran).
Sedangkan menurut Adam Smith, ilmu ekonomi adalah ilmu yang khusus
mempelajari tentang sarana-sarana kekayaan bangsa dengan memperhatikan

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 3


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

secara khusus pada sebab-sebab materil dan kemakmuran, seperti hasil industri
dan pertanian … dst.10
Sehubungan degan definisi yang di kemukakan oleh Adam Smith di atas
tampak ia lebih menekankan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang mem­­pe­
lajari tentang persoalan kekayaan dengan memalingkan manusia yang mempunyai
kemauan, sedangkan produksi itu sendiri tidak akan sempurna kecuali dihasilkan
oleh manusia yang punya kreasi, dan untuk mereka pula.11
Menyikapi terhadap beberapa definisi yang di kemukakan di atas, kalau
dianalisa lebih jauh tidak ada satupun definisi yang bebas kritik dan bersifat
kom­­prehensif. Karena dari sekian definisi yang dikemukakan ada kesan ilmu di
luar ekonomi terkesampingkan. Ia hanya berkisar pada uraian dan pemecahan
gejala ekonomi belaka, tidak sampai menerangkan masalah-masalah hukkum
politik dan budaya dan tindakan-tindakan lain dalam menghadapi gejala eko­
nomi.
Menghadapi kritik-kritik yang ditujukan terhadap beberapa definisi di
atas, maka sementara orang berusaha mengajukan satu definisi yang bebas kri­
tik, dan pada saat yang sama tercakup di antara lipatan-lipatan definisi tersebut,
yaitu se­gi-segi fundamental gejala ekonomi.
Untuk mengkaver segala dikursus kontraversial tentang definisi ilmu
eko­­nomi tersebut maka definisi yang relatif agak sempurna adalah, bahwa il­­
mu ekonomi adalah ilmu social (social science) yang intinya adalah manusia
yang mempunyai kemauan berbuat, bertujuan untuk memepelajari kebutuhan
yang banyak dengan memanfaatkan sumber daya yang teratas, dengan maksud
mereal­isasikan sebanyak mungkin kebutuhan dengan mengoptimalkan segala
ke­mampuan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan sekuat mung­
kin sumber-sumber tersebut.12
Karena premis utama yang dikaji dalam persoalan ekonomi adalah per­
soalan pemenuhan kebutuhan hidup, meskipun masih berorientasi pada ma­
terialisme, tetapi pada level tertentu ia masih mengakui akan aspek rohani
dan moral, tetapi ia tidak memposisikan segi rohani dan moral sebagai suatu
yang ber­harga.
Secara keseluruhan premis utama yang dikaji dalam persoalan ekonomi
adalah persoalan pemenuhan kebutuhan hidup, meskipun masih beriorentasi
pada materialisme, tetapi pada level tertentu ia masih mengakui akan aspek
rohani dan moral, tetapi ia akan memposisikan segi rohani dan moral sebagai
su­atu yang berharga.

4 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011


Eli Suryani

Secara keseluruhan sistem ekonomi konvensional memusatkan perhatian


pada perilaku individu dan masyarakat guna membuat pilihan guna memuas­
kan kebutuhannya yang bersifat tidak teratas.
Sumber daya yang terbatas dalam pandangan ekonomi konvensional di­
anggap sebagai kendala sehingga manusia mesti memaksimumkan peman­
faatannya agar tidak sia-sia. Sumber daya tidak bias diperoleh secara gratis dan
me­miliki alternatif penggunaanya baik antar objek pemuas kebutuhan untuk
generasi sekarang maupun generasi akan datang.
Dengan demikian dimensi pilihan meliputi ruang dan waktu. Penggunaan
sumber daya sebagai konsekuensi pilihan yang di ambil mengandung biaya
dan manfaat. Adanya biaya dan manfaat menghendaki efisiensi di dalam peng­
guna­an sumber daya, selanjutnya, manusia di pandang sebagai pemilik mutlak
sumber daya, karena itu ia bebas mengeksploitasi alam secara individual. Ke­
pentingan diri sendiri dan pasar menjadi petunjuk arah penggunannya.
Peran Tuhan yang menciptakan alam tidak masuk dalam pertimbang­an
ma­nusia dalam menentukan arah penggunaan sumber daya, manusia berhak
memanfaatkan apa yang tersedia tanpa ada campur tangan Tuhan. Nilai spi­
ritualisme tidak mendapat tempat yang signifikan dalam pertimbangan peng­
alokasian sumber daya milik manusia. Ilmu ekonomi di pandang sebagai ilmu
yang bebas nilai (value free) dimana rasionalitasnya dapat berlaku di dalam
msayarakat dimana saja.
Melihat pardigma yang digunakan oleh sistem ekonomi konvensional
ter­­sebut muncul pertanyaan “apakah tepat untuk menerima ilmu ekonomi
seba­gai ilmu yang bebas nilai?”. Pemahaman-pemahaman terhadap asumsi
eko­nomi me­ngenai manusia ekonomi memperlihatkan bahwa ilmu ekonomi se­
benarnya tidak bebas nilai. Karena itu pengembangan pemikiran ekonomi yang
sejalan de­ngan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat
adalah lebih efisien di bandingkan dari pada memaksakan sebuah implementasi
pemikir­an dan sistem yang asing bagi nilai lokal.
Ekonomi Islam diperlukan untuk memberikan solusi alternatif krisis eko­
nomi masyarakat yang secara bersamaan mendukung masyarakat madani.13
sebuah masyarakat yang tunduk dan menjadikan tauhid sebagai komitmen to­
talitas kehidupan dalam menata peradaban dunia yang berwawasan futuristik
dan spritualistik.

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 5


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

Pada tataran epistimologis masih terjadi perdebatan di kalangan teoritis


dan ekonom Islam itu terlihat dalam memberikan definisi tentang ekonomi
Islam.
Sementara ahli, seperti Husain Zaman, menjelaskan bahwa ekonomi Islam
adalah pengetahuan dan pengaplikasian petunjuk dan aturan syari’ah yang bi­
as mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan mengelola sumber daya,
gu­na untuk menghasilkan kepuasan bagi manusia, dengan demikian mereka
melaksanakan kewajibannya pada Allah swt.14
M.A. Mannan mengemukakan bahwa ilmu ekonomi Islam merupakan
ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah ekonomi rakyat yang di­
ilhami oleh nilai-nilai Islam.
Dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia diperlukan pedoman nor­
natif yang dijadikan sebagai standarisasi yang mengarahkan prilaku ekonomi
yang tidak cendrung menimbulkan kerugian dan manipulasi terhadap orang
lain. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (apalagi sampai me­
manipulasi Tuhan). Kedudukan nilai-nilai Islam inilah yang menjadi pem­beda
utama antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam.
Ini tidak berarti bahwa Ekonomi Islam bersifat normatif melulu, tetapi
me­rupakan penggabungan antara normatif dan positifis. Metode pengkajiannya
juga adalah penggabungan antara deduksi dan induksi.16
Definisi yanga agak sempurna dikemukakan oleh Umar Chapra, yaitu:
Ilmu Ekonomi Islam sebagai contoh cabang pengetahuan yang membantu me­
realisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber
daya langka yang seirama dengan maqasihd al-syari’ah, tanpa mengekang ke­
bebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi
yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosi­al serta
jaringan moral.17
Adanya keseimbangan antara aspek normatif dan positif merupakan sua­
tu indikasi bahwa sistem ekonomi Islam bukanlah suatu sistem yang menjadi
mimpi. Dalam pengertian, ketika sistem ekonomi islam hanya berpijak pada
logika posistifistik maka pada waktu itu sistem tersebut sudah tercerabut dari
akarnya, hilang kontrol dan terjadinya proses alienasi terhadap eksitensi Tu­
han. Begitu juga sebaliknya kalau seandainya sistem ekonomi Islam tersebut
selalu bermuatan normatif dan spritualis dengan hanya mengedepankan aspek
moral, rohani dan mengenyampingkan kebendaan dalam kehidupan manusia
maka pada akhirnya akan menjadi sistem yang selalu mengawang tidak sampai

6 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011


Eli Suryani

membumi pada realitas empiric kemasyarakatan. Disinilah letak keistimewa­


an sistem ekonomi Islam, sebuah sistem yang mensinergikan antara kerangka
berfikir normatif dan empirik.
Islam mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrim (antara normatif
dan empirik) tersebut, mencoba menempatkannya pada proposi yang tepat
da­lam membangun sebuah sugesti baru, bahwa kesejahteraan hanya akan bias
terwujud dengan meletakkan kerangka normatif dan empirik pada level dan
stadium yang sama. Seorang tidak sepatutnya menyerahkan diri pada paham
normatif dan spritualisme an sich dengan tidak mengindahkan paham mate­
rialistik, begitu juga sebaliknya.
Pedoman normatif dalam Islam membawa dampak yang serius dalam
teori dan praktek ekonomi Islam. Tujuan hidup yang dikehendaki oleh Islam
dengan sendirinya menentukan tipe ideal manusia atau masyarakat yang men­
jadi tujuan seluruh aktivitas ekonomi. Islam tidak memandang aspek normatif
sebagai satu-satunya penilaian yang tidak dapat di dukung oleh bukti emperis.
Setiap nilai atau institusi yang ditekankan oleh Al-Qur’an dan sunnah pada
hakikatnya memiliki sifat sebagai satu hubungan teoritis antara nilai-nilai ke­
manusiaan, sekalipun hubungan kausalitas (hikmat dan liat) tidak selalu di je­
laskan secara eksplisit).
Islam memiliki sistem Ekonomi yang secara fundamental berbeda dari
sistem ekonomi konvensional yang tengah berjalan. Ia memiliki akar dalam
syari’at yang membentuk pandangan dunia (world view) sekaligus sasaan stra­
tegis (maqasidh al syari’ah) yang berbedadari sistem sekuler yang menguasai
dunia hari ini. Sasaran yang dikehendaki oleh Islam bukan hanya material an
sich, te­tapi juga spritualitas.
Islam mengkontruksi konsepnya dengan mainstream kabahagian (falah)
dan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) yang sangat menekankan aspek
persaudaraan (ukhwah) dan nilai-nilai humanism, keadilan sosio ekonomi ser­
ta pemenuhan kebutuhan spiritual manusia.18 Ini disebabkan karena adanya
ke­percayaan bahwa umat manusia memiliki kedudukan yang sama dengan
khalifah (the vice on earth) Allah di muka bumi sekaligus sebagai hamba-Nya,
yang tidak akan dapat merasakan kebahagian dan ketentraman batin kecuali
jika kebahagian sejati telah tercapai melalui pemenuhan kebutuhan hidup,
material dan spiritual.
Ilmu pengetahuan kesusilaan ekonomi Islam berusaha merubah keingin­
an, hasrat dan kesukaan-kesukaan manusia. Sebuah prinsip penting tentang

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 7


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

kultural Islam yang integral adalah bahwa kesejahteraan ekonomi tidaklah me­
rupakan barometer atau alat penting agar manusia tersebut dapat mencapai
kebahagian secara totalitas.19
Sebuah garis besar dari fungsi kesejahteraan dalam ekonomi Islam tersebut
yang berlandaskan pada filosofis moral itu terdiri dari prinsip-prinsip dan nilai
esensial dari keseluruhan sistem ekonomi Islam tersebut. Maka pembahasan
be­rikut dalam tulisan ini adalah membicarakan tentang prinsip-prinsip dari
ekonomi Islam tersebut di kemukakan oleh ekonom Islam.
Prinsip Tauhid20
Tauhid merupakan batu fondasi keimanan Islam. Pada konsep ini ber­
muara semua pandangan dunia dan strateginya. Tauhid mengandung se­bu­
ah komitmen totalitas bahwa alam semesta didesain dan di ciptakan secara
sadar oleh Tuhan yang Maha Esa, yang bersifat esa bukan di ciptakan secara
aksiden.21
Paradigma tauhid merupakan suatu pengakuan akan adanya kekuatan
supranatural di luar diri manusia yang senantiasa mengawasi setiap aktivitas
ma­nu­sia. Lebih jauh tauhid dalam dimensinya yang lebih dalam tidak cukup
de­­ngan hanya sikap batin yang hanya percaya akan adanya eksitensi Tuhan,
tapi menuntut manifestasi lahirnya atau eksternalisasinya dalam setiap tindakan
built in di dalamnya aktivitas ekonomi.
Dalam pengertian inilah tepat kiranya di pahami sabda Nabi yang me­
nga­takan “bahwa satu aktivitas yang tidak di dahului dengan mengucapkan bas­
mallah maka tidak ada nilai kontinuitasnya (terputus).”
Basmalah mengandung makna yang sangat mendasar bahwa Tuhan men­
jadi basis fundamental bagi semua aktifitas manusia. Tauhid merupakan “pass­
word” untuk melepaskan diri dari segala ikatan eksternal dari selain Tuhan, dan
dijadikan sebagai starting point untuk melangkah pada langkah berikutnya.
Tauhid ini direfleksikan dalam komitmen umatnya terhadap persaudara­
an universal manusia, bukan hanya sebatas slogan kosong, melainkan sebagai
konsep hidup yang menyamakan kehidupan sosial tanpa diskriminasi rasial.
Islam menyediakan nilai-nilai dasar institusi-institusi yang akan membantu ma­
nusia merealisasikan impiannya, yaitu akan adanya suatu masyarakat egaliter
yang bertanggung jawab, dimana setiap individu bertanggung jawab di hadapan
Allah terhadap apa yang dilakukannya dalam kehidupan dunia.

8 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011


Eli Suryani

Juga dalam interaksi sesama manusia tauhid adalah kata kunci dalam
men­­­­­­­­jalin suatu ikatan emosional antar sesame, ketika ini hilang maka sulit
un­tuk menciptakan suatu masyarakat yang beriman yang kaya dengan nilai-
nilai spiritual.
Prinsip Khalifah
Manusia di utus oleh Tuhan kemuka bumi adalah dipersiapkan sebagai kha­
lifah Tuhan di muka bumi yang akan mengemban misi suci untuk untuk me­
ngelola alam semesta ini. Ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Baqarah: 30

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman : sesungguhnya aku akan


menciptakan seorang khalifah di muka bumi (Q:S:2:30)

Sebagai wakil Tuhan di muka bumi, manusia sudah dibekali dengan se­
mua karakteristik mental dan spiritual serta materil yang memungkinkannya
hidup dan mengemban misi suci secara efektif.22
Dalam rangka fungsi kekhalifahannya, manusia mampu berfikir, memi­lih
dan memilah mana yang baik dan terbaik untuknya dalam rangka melakukan
evolusi sosial di tengah-tengah masyarakat. Dengan potensi fitrah23-nya manusia
di harapkan mampu meningkatkan kualitas dirinya dihadapan manusia dan
di­hadapan Tuhan. Artinya, dengan mengemban misi suci sebagai representasi
Tuhan di muka bumi maka sudah menjadi suatu keharusan bagi manusia untuk
menampilkan sifat-sifat ketuhanan sesuai dengan Asmaul Husna.
Di samping itu, meskipun manusia sudah diberi mandat untuk mengatur
manajemen pengelolaan alam semesta bukan berarti bebas secara totalitas dan
tanpa kontrol. Tapi pengelolaan tersebut mesti dilakukan secara efisien dan
mem­­perhatikan nuasa kemaslahatan, sehingga kemakmuran yang merupakan
cita-cita suci bersama terealisasi sebagaimana semestinya. Ini hanya terlaksana
jika pengelolaan tersebut di lakukan dengan penuh tanggung jawab dalam
satu margin yang di bimbing oleh petunjuk Tuhan dalam kerangka maqashid
al-syari’ah.24
Dijadikannya maqashid al-syari’ah sebagai kerangka acuan dalam setiap
praktek dan kegiatan perekonomian ini di dasarkan pada keyakinan bahwa
ma­nusia sebagai khallifah Tuhan di muka bumi adalah satu sosok yang mulia
dan terhormat. Ia diciptakan bukan tanpa suatu alasan yang pasti dan secara

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 9


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

sia-sia. Inilah sebenarnya esensi dari pengertian ibadah atau persembahan (az-
Zariat : 56) dalam pengertian Islam.
Kerangka Acuan dan Kerangka Kerja Harus Islami25
Dalam setiap aktivitas perekonomian secara umum kerangka kerja yang
digunakan harus Islamiy. Q.S. 2 : 168.

Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi yang baik dari apa
yang terdapat di muka bumi ini, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu (al-Baqarah: 168).

Dalam pengertian yang lebih kongkrit Islam menganjurkan umatnya da­


lam memenuhi kebutuhannya dengan cara yang Islami, sesuai dengan ajaran
mo­dal islam, menolak cara yang batil dan tidak benar, serta menjauhkan diri
da­ri unsur riba26 dan judi (gambling).
Pemenuhan kebutuhan dengan cara batil dan tidak fail hanya akan me­
nimbulkan dampak sosial kemasyarakatan yang tidak baik, karena adanya
pihak yang merasa di rugikan dan tidak di akui eksistensinya sebagai juga kha­
lifah Tuhan.
Persaudaraan Universal27
Sejak awal penurunannya dari langit, misi suci yang dibawa oleh Islam
ada­­lah untuk membentuk satu tatanan sosial kemasyarakatan yang solid dalam
satu ikatan iman dan ihsan yang sama. Dalam konteks itu setiap individu dalam
satu masyarakat diikat oleh satu ikatan persaudaraan (ukhwah) dan kasih sayang
yang diilustrasikan bagai satu anggota tubuh dan bagai satu bangunan yang
saling menyangga satu sama lain. Sebuah persaudaraan universal dan tidak di­
pisahkan oleh sekat batas geografis, ras, etnik, dan golongan. Firman Allah al-
Hujarat ayat 13 :

10 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011


Eli Suryani

Artinya : ”Hai sekalian manusia sungguh kami ciptakan kamu dari golongan
laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berlainan suku dan
bangsa, (yang tujuannya adalah) agar kamu saling kenal mengenal”

Konsep persaudaraan universal memberikan implikasi pada persamaan


so­sial dan mengangkat martabat semua manusia, tanpa harus ada diskriminasi
ra­­sial, apakah mereka berkulit hitam atau putih, berkedudukan rendah atau
ting­gi, sebagai satu elemen pokok keimanan Islam.
Disamping itu, Islam juga tidak menganjurkan harus ada kesamaan eko­­
nomi, tapi ia mendukung dan menggalakkan persamaan sosial sehingga sampai
pada tahap kekayaan Negara yang tersedia tidak hanya di nikmati oleh segelintir
orang atau satu kelompok kemasyarakatan saja.28
Kriteria untuk menentukan nilai, eksistensi, dan kualitas seseorang
­bu­kan­lah terletak dan didasarkan pada ras, keluarga dan kekayaannya, tetapi
ter­letak pada karakteristik yang merupakan refleksi dari iman dan ketakwaan
se­seorang dalam preksis kehidupan keseharian dan perhatiaannya pada sesama
(solidaritas sosial).
Faktor sosial kultural, baik yang fisiologis, warisan ataupun hasil kreasi
ma­nusia jangan sampai melanggar martabat manusia, serta menimbulkan ke­
cenderungan-kecenderungan dalam bidang ekonomi; seperti diskriminasi di
an­tara penguasa dan rakyat dan menghalangi pihak yang lemah untuk menjabat
satu tampuk kepemimpinan.
Paradigma Islam tidak mengakui yang kuat yang menang, seperti hukum
rimba untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival of the fittest),
tapi reputasi Islam mengajarkan suatu sikap hidup pengorbanan dan kerja sa­
ma yang saling menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan pokok semua
orang, mengembangkan seluruh potensi kemanusian serta memberikan warna
kesejahteraan pada setiap individu dan sosial. Karena itu persaingan akan tetap
survive selama hal itu tetap berjalan pada koridor dan paradigm peningkatan
efi­siensi, membantu mendorong kesejahteraan yang merupakan sasaran akhir
(ultimate goal) dari misi Islam. Seandainya kompetisi yang dilakukan ada in­
dikasi tidak sehat lagi dan sudah melampaui batas-batas toleran ke-Islaman
maka semua itu harus dikoreksi secara bersama dan bijak.
Sumber Daya Adalah Amanah Allah
Ketika Allah memberikan mandat kepada manusia sebagai khalifah Tuhan
di muka bumi, maka di saat bersamaan ia mempersiapkan segala sesuatu yang

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 11


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

di perlukan manusia, seperti kelengkapan kekuatan logika, nurani juga alam


se­mesta dengan segala isinya merupakan “pemberian” (given) dari–nya, karena
manusia wajjib memelihara segenap isi alam semesta tersebut dengan menjaga
keseimbangannya. Karena Allah pemilik hakiki alam semesta tersebut sedang
manusia hanya memiliki hak guna usaha.
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah (2) : 284

Artinya : Kepunyaan Allah lah apa yang ada di langit dan di bumi (Q.S.
2: 284)

Sebagai konsekuensi logis dari hak guna usaha tersebut maka sudah se­
yogyanya manusia memanfaatkan segala kekayaan alam tersebut dengan penuh
hak bijak dan mengalokasikannya kepada segala sesuatu yang mendukung bagi
terlaksananya kesejahteraan manusia untuk semua orang tidak terbatas hanya
pada satu kelompok masyarakat.
Lebih jauh manusia di larang untuk mempergunakan sumber daya alam
yang tersedia secara berlebihan, ekslosif, tak terbatas29 yang merupakan para­
digma etika hedonistik30 dan bersifat individualistic yang berimplikasi pada
ti­dak meratanya pendapatan serta kekayaan di antara manusia dan bangsa-
bangsa di dunia.
Dalam Islam ada suatu opini yang di bangun bahwa bagian Allah harus
di keluarkan untuk tujuan privacy dan juga untuk keperluan sektor sosial yang
bersifat altruistik,31 sesuai dengan firman Allah Q.S. 2: 267;

Artinya: ”Hai orang yang beriman nafkahkanlah dari yang baik-baik dari
apa yang kamu usahakan”

Kebebasan Manusia
Misi utama yang didengungkan oleh Islam sejak awal kedatangannya
ada­lah untuk menyuarakan suara kebebasan manusia untuk melakukan peng­
hambaan kepada selainnya. Oleh karena itu tidak seorangpun yang berhak
mem­belenggu kebebasan manusia, sebab salah satu yang membedakan manusia
dari makhluk lain adalah bahwa manusia tersebut mempunyai kebebasan (free­
dom) berbuat dan bertindak serta berfkir.
12 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011
Eli Suryani

Termasuk kebebasan yang disuarakan oleh Islam adalah dalam sektor per­
ekonomian, setiap individu berhak menentukan dan memilih corak per­eko­
nomian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak satu argumenpun yang
dapat digunakan untuk membatasi ataupun untuk mencabut kemerdeka­an hak
individu32 seseorang untuk melakukan sesuatu, selama kegiatan terse­but tidak
memberikan atau mengganggu kondisi sosial kemasyarakatan.
Hidup Sederhana33
Satu-satunya gaya hidup yang dianjurkan oleh Islam adalah gaya hidup
yang sederhana. Sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mandataris Tuhan
di muka bumi ini. Perpektif Islam dalam hidup adalah tidak boleh merefleksikan
sikap arogansi, kemegahan, kecongkakan dan yang mencerminkan kerendahan
moral serta sikap mubazir.
Dalam hidup, Islam memberikan nilai apresiasif tersendiri bagi orang-
orang yang mampu menjauhkan diri dari gaya hidup hedonistik karena gaya
hidup tersebut akan menimbulkan sikap berlebihan yang pada akhirnya ber­
pengaruh terhadap stabilitas ekonomi dan pasar serta distribusi pendapatan
yang tidak merata.
Keadilan
Ajaran Islam yang terkandung dalam al- Qur’an dan sunnah menganjurkan
kepada manusia untuk melaksanakan suara dan pesan-pesan keadilan dalam
se­­mua perkara yang mempengaruhi kehidupan manusia. Tujuan utama dari
wah­yu yang di turunkan kepada Nabi Muhammad adalah untuk mengajarkan
kepada manusia keadilan Tuhan di muka bumi dan bertindak adil kepada se­
mua orang.34
Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam
(mashadiru al tasyri) menjanjikan penghapusan semua bentuk eksploitasi, pe­
nin­dasan dan ketidakadilan. Keduanya juga berfungsi sebagai sumber inspirasi
utama dalam, dan untuk melakukan setiap aktivitas, dan juga merupakan se­
bagai sebuah filter moral untuk menghapuskan strategi dan desain yang tidak
sejalan dengan pesan-pesan Tuhan. Firman Q.S. al-Maidah: 8;

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 13


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang


yang senantiasa menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan
adil, dan juga janganlah sekali-kali karena kebencian terhadap satu kaum
mendorong kamu untukberlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat pada takwa. Dan bertaqwalah kamu kepada-Ku sesungguhnya
Allah maha mengetahui yang kamu kerjakan”.

Ayat di atas di perkuat oleh hadist Rasullulah menekankan dengan menya­


man­kan ketidakadilan dengan”kegelapan absolut” dengan memperingatkan,
yaitu:

Artinya : Dari Abi Hurairah jauhilah kezaliman karena kezalimaan itu


adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Prinsip keadilan inilah yang menentukan perbedaan fundamental ilmu


eko­nomi Islam dari ilmu ekonomi konvensional, khususnya pada sektor pan­
dangan pertumbuhan dan distribusi. Di kalangan sebagian besar ahli ekonomi
kon­vensional, pertumbuhan merupakan prioritas utama ekonomi masyarakat
termasuk golongan menengah kebawah dan perusahaan suatu keharusan untuk
menopang pertumbuhan ekonomi.36 Diharapkan dengan sebab pertumbuhan
ekonomi yang tinggi terjadi distribusi pendapatan terhadap seluruh atau sebagi­
an anggota masyarakat.
Pada prinsipnya, pandangan ini sebenarnya mendapat kritikan tajam dari
sebagian ekonom karena berdasarkan studi empirik orang-orang kaya yang di
untungkan dengan prioritas pertumbuhan tidak selalu melakukan saving atau
investasi sehingga pertumbuhan tidak selalu signitifikan untuk merangsang
per­tumbuhan barang atau jasa untuk kebutuhan lokal.

14 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011


Eli Suryani

Sesungguhnya kelangsungan tidak adil dalam pengertian tingkat peng­


hasilan selalu berada pada dua titik ekstrim yang sangat jauh dan jarak. Terkesan
bahwa pertumbuhan menjadi prioritas karena di pandang sebagai economical
necessity, sementara faktor nonekonomi sebagai sesuatu yang tidak begitu perlu
dalam sektor perekonomian.
Dalam perpektif Islam tingkat pertumbuhan dan distribusi harus dilak­
sa­nakan secara simultan tanpa memprioritaskan salah satu dari yang lain.
Pertumbuhan dan distribusi yang bersifat simultan tersebut dapat dilihat dalam
konsep al-mudharabah (loos and profit sharing) yang terdapat dalam sistem
lembaga keuangan Islam. Dalam konsep al-mudharabah pemilik modal dan en­
trepreneur (pengusaha) di tempatkan pada kedudukan yang adil, masing-masing
memperoleh posisi total profit dan menerima resiko dari kerugian usaha.37
Pada tingkat yang lebih mikro, ajaran Islam mengharuskan setiap kegiatan
ekonomi bersifat fair dan bersih dari praktek kolusi, monopoli, eksploitasi dan
semacamnya yang membawa dampak penghancuran terhadap tatanan sosial
kemasyarakatan.38
Dari uraian singkat tentang prinsip-prinsip ekonomi Islam di atas dapat
dipahami dengan mudah bahwa dalam ekonomi Islam, persaingan bisnis dan
segala kegiatan ekonomi tidaklah bersifat libera. Persaingan secara liberal sering
membawaketidakadilan dan selanjutnya membawa pada kesenjangan ekonomi
yang tajam. Kebijakan dalam persaingan bisnis seharusnya mengandung makna
pemberdayaan bagi golongan al-mustad’afiin sehingga secara berangsur-angsur
mereka mempunyai kemampuan untuk bersaing secara seimbang dengan mi­
tra bisnis.

Kesimpulan
Ekonomi Islam mengandung muatan nilai dan moral (sistem ekonomi
rab­bani) pada sistemnya tersendiri. Muatan nilai dan moral tersebut melekat
secara intrinsik pada sistem ekonomi Islam itu sendiri. Ajaran Islam tentang
ekonomi mengharuskan pemerintah yang lebih sekedar praktek kolusi, in-
efisiensi, dan pemberantasan praktek-praktek yang akan mengalami benturan-
benturan dengan nilai yang melekat pada sistem dan karakteristik sistem eko­
nomi Islam.
Sebagai sistem ekonomi berwatak ke-Tuhanan sistem ekonomi Islam
mem­­punyai nilai normatif imperatif, dengan mengakses pada aturan ilahiah.

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 15


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

Setiap dimensi aktivitas manusia tidak boleh terlepas dari nilai yang secara ver­
tikal berdimensi moralitas dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia
dan makluk lainnya. [ ]

EndNotes
1
Abu al-Hasan M.Sadeq (ed) Financing Economic Development: Islamic and Manistream
Aproach, (Malaysia : Petaling Jaya Longaman, 1992) p.3
2
Q:S:2:85: 2:2:208, dan Q.S.: 2: 201-202
3
Hegemoni adalah sebuah mata rantai kemenangan yang diperoleh melalui mekanisme
kon­sensus, karena itu hegemoni pada hakikatnya adalah upaya untuk menggiringi orang agar
orang menilai dan memandang sebuah fenomena sosial dalam kerangka berfikir yang sudah di
tentukan, lihat nazar patria dan Andi Arif, Antonio Gramsci, Negara dan hegemoni, (Yogyakarta:
Puataka pelajar, 1997), h.119.
4
M.Yasir Nasution, Pemberdayaan Ekonomi Islam dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Eko­nomi Islam, di sampaikan dalam seminar Ekonomi Islam di STAIN Syekh Jamil Jambek
Bukittinggi 27 Oktober 1998, h.1
5
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi , (Jakarta : Rajawali Press, 1995) cet ke, h. 9
6
Marshal Green, Buku Pintar Ekonomi, (terj), judul asli, The Economic Theory, (Jakarta :
Budi Mulia Madani, 1997), h.12 lebih jauh Marshall menjelaskan bahwa Xenophone adalah
prototype kapitalisme
7
Deliarmov, Op.cit, h.10 pada fase berikutnya pemikiran ekonomi ada beberapa fase; yaitu
pemikiran kaum skolastik abad 15, era merkantalisme abad 17 dan era fisiokratis.
8
Richard.G.Lipsy dan Paul .N.Courant, Economic Eleven Edition (USA: Harper Columbus
College Publiser, 1996), p5
9
AS Hornby, Oxford Dictionary of Current English (Britanian Oxford University Press,
1986) p. 276
10
Ahmad Muhammad al-Ashal. Sistem Ekonomi Islam : Prinsip dan tujuannya, (terj) Abu
Ahma­dim, Judul asli, An- Nizham al-Iqtishadi fi al- Islam: Mabadiuhu wa Dahf ‘uhu (Surabaya:
Bi­na Ilmu, 1980), h.2
11
Ibid.,
12
Ibid
13
Masyarakat madani atau civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorga­
nisir dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary),keswasembadaan (self generating) dan
keswadayaan (self-supporting) kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan
dengan norma-norma atau nilai-nilai yang diikuti oleh warganya, lihat AS.Hikam, Demokrasi
dan Civil Society, (Jakarta : LP3ES, 1999), cet ke 3, h.3
14
Jafri Kahlil, Ekonomi Aternatif dan Pengaplikasiaanya dalam Masyarakat, seminar sehari
STAIN Syekh Jamil Jambek 28 Okt 2000
15
M.A.Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, (terj) Potan Hari Harahap, Judul asli,
Islamic Economic : Theory and Paractive,( Jakarta : PT. Intermasa, 1991), h.19

16 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011


Eli Suryani
16
Ibid
17
Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam, (terj) Ikhwan Abidin, judul asli The Fu­
ture of an Islamic Perspective, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001),h. 100
18
Umar Chapra,: Islam dan Tantangan Ekonomi , terj . Ikhwan Abidin, judul asli Islam and
Economic Chalenge, (Jakarta : Gema Insani Press, 200),h.7
19
S. Waqar Ahmad Husaini, Sistem Rekayasa Sosial Dalam Islam, (Jakarta : Dirjen Bimbaga
Islam, 1986), h. 199
20
Chapra, Islami, Op. cit, 204
21
Ibid
23
Fitrah adalah satu potensi di bawa manusia sejak ia dalam rahim, yang merupakan pusat
ke­sucian batin, dimana pada idealnya manusia secara fitrah mempunyai potensi untuk berbuat
kebijakan dalam rangka hanif atau tunduk pada jalan kehidupan tuhan.
24
Tema maqhasid al-syariah adalah satu tema hukum yang pertama kali diperkenalkan
oleh al-Syatibi yang esensinnya adalah apapu hukum yang dilegalkan oleh Tuhan selalu
mema­cu pada kemaslahatan (tidak ada hukum yang sunyi dari kemaslahatan). Pemeliharaan
kemaslahatan tersebut terkover dalam pemeliharaan lima aspek, yaitu agama, jiwa, akal, harta,
dan kehormatan
25
Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syaria’h dari teori sampai praktek, (Jakarta : Gema Insa­
ni Press, 2001), h.11
26
Riba berasal dari kata raba, yarbi, riba artinya tumbuh, bertambah dan berkembang. Akan
tetapi tidak setiapn kata penambahan yang dilarang oleh Islam. Dalam pengertian syari’ah secara
tekns riba mengacu pada pembayaran premi yang harus di bayarkan oleh peminjam disamping
pengembalian pokok sebagai syarat peminjam atau perpanjang jatuh tempo. Dalam pengertian
ini riba memilik persamaan makna dengan kepentingan bungan (interest) menurut konsensus
para fuqaha , tanpa kecuali. Akan tetapi dalam pengertian syariah, riba memiliki dua kategori
riba, yaitu riba an-nasiah dan riba al-fadhl, lihat Umar Chapra, op.cit, h.21-23
27
Ibid, h.206
28
Afzhalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (terj) Soroyo,dkk, judul asli Economics Doctrine
Of Islam, (Jakarta : Dana Bakti Waqaf, 1995), Jilid II, h.9
29
Waqar, Op.cit,h. 200
30
Hedonistik maksudnya pemikiran filsafat yang menilai baik atau buruk sesuatu itu se­
jauh mana kegiatan dilaksanakan membawa kenikmatan bagi pelaku dan dinilai buruk bila
mendatangkan kesengsaraan bagi pelakuknya.
31
Altruistik adalah dimana orang berjuang untuk kebahagiaan orang lain, mengarakan ke­
pentingan bagi kesejahteraan orang lain sekalipun kadangkala ia harus merugikan kepentingan
dirinya sendiri, di kesampingkan sama sekali.
32
Guna menjamin hak individu, sebuah sistem ekonomi paling tidak memenuhi tujuan
kriteria; (1) hak kehidupan manusia adalah suci dan tidak dapat di langgar, dan harus di berikan
per­lindungan, (2) semua orang berhak memasuki satu profesi yang di benarkan oleh Islam, (3)
semua orang memiliki kehidupan yang sama di hadapan hukum dan berhak menyampaikan
keluhannya sesuai dengan hukum syari’at, (4) setiap orang berhak memiliki harta secara individu,
atau berserikat dengan orang lain, (5) pemilikan harta terhadap sumber budaya ekonomi untuk
kepentingan publik adalah sah,(6) orang miskin memiliki hak kepada orang kaya sampai kepada

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 17


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Menghadapi Persoalan Ekonomi Kontemporer

kebutuhan dasar setiap orang terpenuhi, (7) setiap bentuk eksploitasi manusia adalah inti Islam,
karena itu harus dihentikan, lihat Karimi, Ekonomi Masyarakat Madani dan Spritualitas Islam,
se­minar Nasional STAIN Syekh Jamil Jambek Bukittinggi tanggal 29 Nov 1998,h.9
33
Chapra, Islam dan, op.cit,h.210
34
Ibid,h.4
35
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut; Dar el-Fikr,1982), Juz I,h,13
36
Abdul Hasan M.Sadeq, Economic Growth In Islamic Economic In Abdul Hasan M.Sadeq
(ed) Development Finance Islami, (Kualalumpur :IIU Press, 1997), h.67
37
Aushaf Ahmed, Contemporary Pracice of Islamic Financing Techniques,(Jeddah: IRITTI,
1993), h.34-38
38
Umar Chapra, Reforming the public Finance in muslim Countries To Relaise Growth and
Equity in Abdul Hasan M. Sadeq (ed) Financing Economics Development: Islamic and Maintream
Apoarch, (Kuala Lumpur: Long Mass, 1992), h. 128

Daftar Pustaka
Afzhalurrahman, 1995. Doktrin Ekonomi Islam, terj Soroyo,dkk, judul asli
Econo­mics Doctrine Of Islam, Jakarta : Dana Bakti Waqaf
Ahmed, Aushaf. 1993. Contemporary Pracice of Islamic Financing Techniques.
Jeddah: IRITTI
al-Ashal, Ahmad Muhammad. 1980. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip dan
tujuannya, terj Abu Ahma­dim, Judul asli, An- Nizham al-Iqtishadi fi al-
Islam: Mabadiuhu wa Dahf ‘uhu. Surabaya: Bi­na Ilmu
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syaria’h dari Teori sampai Praktek,
Jakarta: Gema Insa­ni Press
Chapra, Umar. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam, terj Ikhwan Abidin,
judul asli The Fu­ture of an Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani
Press
____________. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi , terj . Ikhwan Abidin,
judul asli Islam and Economic Chalenge, Jakarta : Gema Insani Press
____________. 1992. Reforming the public Finance in muslim Countries
To Relaise Growth and Equity in Abdul Hasan M. Sadeq ed Financing
Economics Development: Islamic and Maintream Apoarch. Kuala Lumpur:
Long Mass Husaini, S. Waqar Ahmad. 1986. Sistem Rekayasa Sosial
dalam Islam, Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam
Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi , Jakarta : Rajawali Press
Gramsci, Antonio. Negara dan hegemoni, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1997
Green, Marshal. 1997. Buku Pintar Ekonomi, terj, judul asli, The Economic
Theory, Jakarta: Budi Mulia Madani

18 Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011


Eli Suryani

Hikam, AS. 1999. Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES


Hornby, AS. Oxford Dictionary of Current English Britanian Oxford University
Press, 1986
Kahlil, Jafri. 2000. Ekonomi Aternatif dan Pengaplikasiaanya dalam Masyarakat,
Makalah dalam seminar sehari STAIN Syekh Jamil Jambek 28 Okt
2000
Karimi, Ekonomi Masyarakat Madani dan Spritualitas Islam, makalah dalam
se­minar Nasional STAIN Syekh Jamil Jambek Bukittinggi tanggal 29
Nov 1998,h.9
Lipsy, Richard. G. & Paul. N.Courant, 1996 Economic Eleven Edition USA:
Harper Columbus College Publiser
Mannan, M.A. 1991. Ekonomi Islam Teori dan Praktek, terj Potan Hari
Harahap, Judul asli, Islamic Economic: Theory and Paractive. Jakarta:
PT. Intermasa
Muslim, Imam. 1982. Shahih Muslim, Beirut: Dar el-Fikr
M. Sadeq, Abu al-Hasan (ed.). 1992. Financing Economic Development: Islamic
and Manistream Aproach, Malaysia : Petaling Jaya Longaman
Nasution, M. Yasir. 1998 Pemberdayaan Ekonomi Islam dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Eko­nomi Islam, di sampaikan dalam seminar Ekonomi
Islam di STAIN Syekh Jamil Jambek Bukittinggi 27 Oktober 1998
Sadeq, Abdul Hasan M. 1997. “Economic Growth In Islamic Economic” in
Abdul Hasan M. Sadeq (ed.). Development Finance Islami, Kualalumpur:
IIU Press

Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2011 19

Anda mungkin juga menyukai