Fiqih muamalah
Wahyuni (2110401027)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akad mudharabah merupakan salah satu produk pembiayaan yang disalurkan oleh
perbankan syari’ah. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syari’ah (selanjutnya disebut UUPS). Pasal 19 UUPS menyebutkan,
bahwa salah satu akad pembiayaan yang ada dalam perbankan syari’ah adalah akad
mudharabah. Selain itu bank Indonesisa juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor, 10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip
Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan
Jasa Bank Syari’ah, juga menyebutkan mudharabah adalah salah satu akad pembiayaan
yang ada didalam perbankan syari’ah.
Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal, dengan
ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan.
Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal) membiayai
sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola
usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkan dalam agama
Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar
dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki
keahlian dalam mengelola uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam
perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar
saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama
antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan
memproduktifkan modal itu.
Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada pada perbankan pada
umumnya (perbankan konvensional). Perbankan konvensional pada umumya
menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku bunga tertentu dan pengembalian
modal yang telah digunakan mudharib dalam jangka waktu tertentu. Namun Akad
mudharabah tidak menentukan suku bunga tertentu pada mudharib yang menggunakan
pembiayaan mudharabah, melainkan mewajibkan mudharib memberikan bagi hasil dari
keuntungan yang diperoleh mudharib. Pembiayaan mudharabah pada dasarnya
diperuntukan untuk jenis usaha tertentu atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami
sebagai pemakalah akan mencoba membahas tentang mudharabah ini serta
permasalahan yang ada didalamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Mudharabah
4. Jenis-jenis Mudharabah
5. Hikmah Mudharabah
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu selain sebagai salah satu tugas mata kuliah
Fiqh 2, penulis berharap dengan makalah ini dapat menambah keilmuan para pembaca
pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya
dalam menjalankan usaha, artinya berjalan di bumi untuk mencari karunia Allah yaitu
rizeki.[1]
Mudharabah adalah salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang
pakar dalam berdagang,[2] di dalam fiqh Islam di sebut dengan Mudharabah oleh ulama
fiqh Hijaz menyebutkan dengan qiradyang berarti al-qat’ (potongan). Pemilik modal
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya. Maksudnya, akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya
(salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk
diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Mudharabah berasal
dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al ardh, yaitu bepergian untuk urusan
dagang. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan, Mudharabah menurut bahasa berarti
ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain sebagai modal usaha di
mana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka berdua, dan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal.
Sedangkan menurut istilah syara’, Mudharabah merupakan akad antara dua pihak untuk
bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana
kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di
antara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan Mudharabah atau qirad dengan :
ت
أ شن يتدش فت ع ع اتلش تما لر مك ارت لى الش تعا رم مل تما كليتتت تج تر فريشهر وتيتكموش من ا للربش مح
مم ششتترر ككا
Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk
diperdagangkan oleh pemilik modal, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik
bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.
Secara teknis, al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh kelalaian si pengelola. Namun,
apabila kerugian itu disebabkan kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
1. Al-Qur’an
Akad Mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu
antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak diantara
pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya,
sementara itu banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal
untuk berdagang. Atas dasar tolong menolong dalam pengelolaan modal tersebut, Islam
memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan
seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal tersebut.
Pada masa jahiliyyah qirad telah dilaksanakan, kemudian dilanjutkan oleh generasi
berikutnya yaitu agama Islam. Timbulnya qirad karena menjadi kenyataan hajat bagi
setiap manusia. Qirad ini memberikan nilai tambah antara keduanya yang mengandung
sifat tolong menolong, karena orang yang mempunyai modal tetapi tidak pandai
berdagang, atau tidak berkesempatan, sedangkan yang lain pandai dan cakap lagi
mempunyai waktu yang cukup, tetapi tidak mempunyai modal, maka keduanya bisa
saling mengisi demi kemajuan bersama.
“Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu kepada Allah dan tinggalkanlah
(jangan pungut) apa pun bentuk riba yang masih ada, jika kamu benar beriman kepada-
Nya. Jika kamu tidak mau meninggalkannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-
Nya akan menerangimu. Tapi, jika kamu tobat (kembali kepada ajaran Allah), m
aka kamu boleh menerima modalmu, sehingga kamu tidak menganiaya si peminjam
dan kamu tidak pula dianiayanya”. (QS. AlBaqarah: 278-279).
Ayat Al-Qur’an lain yang secara umum mengandung kebolehan akad Mudharabah untuk
bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi adalah:
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah”. (QS.
Al-Muzammil: 20).
Maksud dari QS. al-muzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar
kata Mudharabah yang berarti melakuakn suatu perjalanan usaha.
“Tidak ada dosa (halangan) bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan)
dari Tuhanmu”. (QS. Al-Baqarah: 198).[3]
2. Hadis
Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah melakukan Mudharabah
dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa
modal tersebut untuk diperdagangkan.
تقا تل تر مسوو مل اللهر تص للى الل مه عتلتيشهر وتت سلل تم ثتلت ثث فريشهر لن الشبت تركت مة الشبتيشعم
Rasulullah saw bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual
beli secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan
gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.”
مس بش رن عتبشدرش الم مطتلر رب ار تذا دتفتعت الش تما تل مم تضا تربت تكا تن تسيردر تنا الشعت لبا
وت تل يتنشزر تل برهر, كة ار ششتت تر تط عتت لى تصا رحبرهر ات شن تل يت شسلم تكبرهر بت شح كرا
توادر كيا وت تل يت ششتت تشرر شرتيتم مهبر هرتر تمسدابلوش كة مل تذااللتتهر كتبرتصدعل ترلى
تجا مزه
3. Ijma’
Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari
kakeknya: “Bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan harta anak yatim dengan cara
Mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut lalu dia
mendapatkan
(bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh Al-Fadhal.
”Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni dari malik bin Ila’ bin
Abdurrahman dari bapaknya: “Bahwa Utsman telah melakukan qirad (Mudharabah)”.
Semua riwayat tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat sementara tidak ada satu
orang pun mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma’ mereka tentang
kemubahan Mudharabah ini.
2. Keuntungan
Menurut madzhab Hanafiyah rukun Mudharabah adalah ucapan tanda penyerahan dari
pihak yang menyerahkan dalam suatu perjanjian (ijab) dan ucapan tanda setuju (terima)
dari pihak yang menerima dalam suatu akad perjanjian atau kontrak (qabul), jika pemilik
modal dengan pengelola modal telah melafalkan ijab qabul, maka akad itu telah
memenuhi rukunnya dan sah.
2. Materi yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan terdiri dari atas modal
(mal), usaha (berdagang dan lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan
tersebut), keuntungan;
3. Sighat, yakni serah/ungkapan penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan
terima/ungkapan menerima modal dan persetujuan mengelola modal dari pemilik
modal (qabul)[6].
D. Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah dibagi menjadi tiga yaitu:[7]
a. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.
c. Tabungan Mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan
perjajian yang disepakati namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
Jenis Mudharabah ini merupakan simpanan khusus di mana pemilik dana dapat
menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Karakteristik jenis
simpanan ini adalah:
a. Pemilik dana wajib menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh
bank, wajib membuat akad yang mengatur persyaratn penyaluran dana simpanan
khusus.
b. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.
c. Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank
wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
a. Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank
wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos
tersendiri dalam rekening administratif.
b. Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang
diamanatkan oleh pemilik dana.
E. Hikmah Mudharabah
Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman mudharib (orang yang diberi
modal), sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat dengan harta (sebagai modal)
dengan demikian tercipta kerjasama antara pemilik modal dan mudharib. Allah tidak
menetapkan segala bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan
terbendungnya kesulitan.
4. Shahib al-mal dan mudharib haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan
cakap diangkat sebagai wakil.
5. Shahib al-mal menyediakan dana, mudharib menyediakan keahlian, waktu,
pikiran, dan upaya.
9. Shahib al-mal harus menentukan bagian tertentu dari laba kepada mudharib
dengan nisbah (prosentase).
10. Mudharabah berakhir karena telah tercapainya tujuan dari usaha tersebut.
Sebagaimana dimaksud dalam perjanjian Mudharabah atau pada saat
berakhirnya jangka waktu perjanjian Mudharabah atau karena meninggalnya
salah satu pihak, yaitu shahib al-mal atau mudharib, atau karena salah satu pihak
memberitahukan kepada pihak lainnya mengenai maksudnya untuk mengakhiri
perjanjian Mudharabahitu.[9]
Semua laba yang dihasilkan dari usaha yang telah dikerjakan adalah hak pemilik modal.
Jika terjadi kerugian maka pemilik modal juga yang menanggungnya. Karena mudharib
dalam hal ini berkedudukan sebagai buruh dan tidak dapat dibebani kerugian kecuali
karena kecerobohannya.
Jika pemilik modal yang wafat, pihak pengelola berkewajiban mengembalikan modal
kepada ahli waris pemilik modal serta keuntungan yang diperoleh diberikan kepada ahli
warisnya sebesar kadar prosentase yang disepakati. Tapi jika yang wafat itu pengelola
usaha, pemilik modal dapat menuntut kembali modal itu kepada ahli warisnya dengan
tetap membagi keuntungan yang dihasilkan berdasarkan prosentase jumlah yang sudah
disepakati.
Jika Mudharabah telah batal, sedangkan modal berbentuk ‘urudh (barang dagangan),
maka pemilik modal dan pengelola menjual atau membaginya, karena yang demikian itu
merupakan hak berdua. Dan jika si pengelola setuju dengan penjualan, sedangkan
pemilik modal tidak setuju, maka pemilik modal dipaksa menjualnya, karena si
pengelola mempunyai hak di dalam keuntungan dan dia tidak dapat memperolehnya
kecuali dengan menjualnya. Demikian menurut madzhab Asy Syafi’i dan Hambali.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik
modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib)
dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi
seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Ayat Al-Qur’an yang secara umum mengandung kebolehan akad Mudharabah untuk
bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi adalah:
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah”. (QS.
Al-Muzammil: 20). menurut jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
3. Sighat (ijab-qabul)
1. Mudharabah Mutlaqah
Daftar pustaka
https://id.scribd.com/doc/307642552/Mudharabah