Anda di halaman 1dari 16

FAKTOR - FAKTOR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK

KEJADIAN INFEKSI SALURAN NAPAS PADA


BALITA
Nora, Elta1, Marlinda, Evy2, Ivana, Theresia3
1Mahasiswa STIKES Suaka Insan Banjarmasin
2,3Dosen STIKES Suaka Insan Banjarmasin

Email: Eltanora02@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Puskesmas Pekauman memiliki jumlah kasus balita yang


terkena ISPA tertinggi di Kota Banjarmasin. ISPA merupakan penyebab angka
kesakitan pada bayi dan balita yang cukup tinggi, sekitar 20-30%, apabila
dibiarkan akan dapat menjadi ISPA berulang pada balita/anak yang sama dalam
waktu yang relatif singkat.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor intrinsik dan
ekstrinsik dari kejadian ISPA pada balita di puskesmas Pekauman Banjarmasin.
Metode Penelitian: Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan rancangan
penelitian cross sectional, sampel yang digunakan sebanyak 117 orang tua (ibu)
yang memiliki balita dan berobat ke Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Teknik
sampling Consecutive Sampling, instrumen yang digunakan adalah kuesioner,
dengan analisa data menggunakan Chi Square.
Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa, kejadian ISPA di Puskesmas
Pekauman dari 117 sampel, sebanyak 71 balita termasuk dalam ISPA non-
pneumonia dan 46 balita yang termasuk ISPA pneumonia. Dari 5 faktor yang
diteliti, hasil penelitian menunjukan hubungan signifikan, pemberian ASI
eksklusif dengan p value = 0,0001 (Prevalence Odds Ratio (POR) = 4,645 (95%
CI 1,999-10,793), perilaku kesehatan dengan p value = 0,000 (POR = 8,580 (95%
CI 3,552-20,724, jenis kelamin dengan p value = 0,002 (POR = 4,365 (95% CI
1,786-10,665), status ekonomi dengan p value = 0,581 pada ekonomi tinggi (POR
= 0,768 (95% CI 0,302-1,958) dan p value = 0,003 pada ekonomi sedang (POR =
0,171 (95% CI 0,053-0,551), sedangkan untuk faktor yang tidak berhubungan
yaitu BBL dengan p value = 0,151 (POR = 0,511 (95% CI 0,227-1,150).
Kesimpulan: Faktor intrinsik dan ekstrinsik yang berhubungan dengan kejadian
ISPA pada balita di Puskesmas Pekauman Banjarmasin adalah, jenis kelamin,
pemberian ASI eksklusif, status ekonomi pada ekonomi sedang, dan perilaku
kesehatan.

Kata Kunci: Balita, ISPA, Intrinsik ISPA, Ekstrinsik ISPA


PENDAHULUAN kasus balita yang terkena ISPA pada
ISPA (Infeksi Saluran bulan Januari-September 2017
Pernapasan Akut) merupakan infeksi tertinggi, di puskesmas Pekauman
akut yang menyerang salah satu dengan jumlah kasus pneumonia 410
bagian/lebih dari saluran napas mulai dan batuk non-pneumonia 2.505
dari hidung sampai alveoli, termasuk (Dinkes Banjarmasin, 2017),
adneksanya (sinus, rongga telinga sehingga perlu menjadi perhatian
tengah dan pleura), dan merupakan bagi pengelola program ISPA pusat,
penyakit yang sering terjadi pada provinsi, dan kabupaten, serta sangat
anak (Kemenkes, 2011). Episode dibutuhkan peranan yang besar dari
penyakit batuk-pilek pada balita di pemerintah daerah agar target
Indonesia diperkirakan 3-6 kali Sustainable Development Goals
pertahun (rata-rata 4 kali per tahun), nomor 4 (SDGs-4) dapat tercapai
artinya seorang balita rata-rata (Kementrian PPN/Bappenas, 2017).
mendapatkan serangan batuk pilek Faktor-faktor yang menjadi
sebanyak 3-6 kali setahun (Irianto, penyebab ISPA yaitu faktor
2014). lingkungan, faktor intrinsik/penjamu
Riset World Health (seperti status gizi, status imunisasi
Organization (WHO) menyebutkan balita, berat badan lahir, jenis
bahwa ± 13 juta balita di dunia kelamin, umur balita, pemberian
meninggal akibat ISPA setiap tahun vitamin A, pemberian ASI eksklusif)
dan sebagian besar kematian tersebut dan faktor ekstrinsik (pendidikan,
terdapat di negara berkembang. paritas, status ekonomi, pengetahuan,
WHO memperkirakan insiden ISPA perilaku kesehatan) (Maryunani,
di negara berkembang dengan angka 2010).
kematian balita di atas 40 per 1000 Kejadian ISPA pada anak
kelahiran hidup adalah 15%-20% dibawah usia 5 tahun didominasi
pertahun pada usia balita (WHO, oleh anak laki-laki. Anak laki-laki
2010). Insiden ISPA di Indonesia lebih rentan terkena ISPA karena
pada tahun 2016 pada kelompok aktivitasnya yang lebih aktif
umur < 1 tahun yaitu ada 169.163 dibandingkan anak perempuan
kasus dan pada kelompok umur 1-4 (Iskandar dkk, 2015). Menurut
tahun yaitu 334.555 kasus Ranantha dkk (2012) ada hubungan
(Kemenkes, 2016). ISPA merupakan antara jenis kelamin laki-laki dengan
salah satu penyebab utama kejadian ISPA pada balita. Anak
kunjungan pasien di puskesmas (40- dengan BBLR sangat rentan terhadap
60%) dan rumah sakit (15-30%) infeksi, karena daya tahan tubuh
(Dinkes Kalsel, 2013). Prevalensi BBLR yang masih rendah. Angka
ISPA yang terjadi di Provinsi BBLR di Provinsi Kalimantan
Kalimantan Selatan merupakan salah Selatan adalah 16,6%. Ini
satu dari 16 provinsi yang menunjukan masih adanya
mempunyai prevalensi ISPA diatas permasalahan kesehatan
angka nasional (25,50%) (Riskesdas, dimasyarakat (Riskesdas, 2010).
2013). Berhentinya pemberian ASI sebelum
Insiden ISPA yang terjadi di usia 6 bulan akan meningkatkan
Banjarmasin pada bulan Januari- morbiditas dan mortalitas bayi, oleh
September 2017 yaitu 28.486 kasus karena itu WHO merekomendasikan
(Dinkes Banjarmasin, 2017). Jumlah untuk memberikan ASI eksklusif
sampai usia 6 bulan (Ranuh, 2013). ditutup menggunakan tangan atau
Menurut penelitian Sirait (2017) ada sapu tangan maka akan
hubungan antara pemberian ASI menyebabkan virus menyebar di
eksklusif dengan kejadian ISPA pada dalam ruangan (Lestari, 2016).
balita. Tingkat ekonomi seseorang Hasil studi pendahuluan di
berhubungan erat dengan berbagai Puskesmas Pekauman Banjarmasin
masalah kesehatan (Notoadmojo, pada tanggal 31 Oktober 2017,
2007). Anak dari keluarga miskin didapatkan data, dari bulan Januari
cenderung mengalami banyak 2017 sampai dengan bulan Agustus
masalah kesehatan. Ini menunjukan 2017, terdapat balita yang
perlunya upaya keras untuk mengalami ISPA sebanyak 2.915
memperbaiki akses kepelayanan orang. Kunjungan untuk berobat ke
kesehatan untuk anak dari keluarga puskesmas dengan penyakit yang
berpendapatan rendah (Wong, 2008). sama bukan hanya sekali tetapi sudah
Kebiasaan merokok orang tua di beberapa kali kunjungan.
dalam rumah menjadikan balita Berdasarkan hasil wawancara dengan
sebagai perokok pasif yang selalu 10 orang ibu yang membawa
terpapar asap rokok. Orang tua balitanya yang terkena ISPA berobat
mempunyai kebiasaan merokok ke puskesmas Pekauman, didapatkan
berpeluang meningkatkan kejadian data bahwa, 20 % ibu belum
ISPA pada balita sebesar 7,83 kali, memberikan ASI sesuai dengan
dibandingkan dengan orang tua yang ketentuan yaitu 6 bulan (ASI
tidak merokok di dalam rumah (Milo eksklusif) dan anak lahir dengan
dkk, 2015). Menurut Syahputra berat badan lahir rendah, 50%
(2013), terdapat perbedaan signifikan keluarga masih kurang mengetahui
pada keluarga yang merokok didalam tentang ISPA sehingga membiarkan
rumah dengan keluarga yang tidak anggota keluarga menularkan
merokok terhadap kejadian ISPA penyakitnya ke anggota keluarga
pada balita. Pemakaian obat nyamuk lainnya, 30% kepala keluarga
bakar merupakan salah satu perokok dan keluarga menggunakan
penyebab yang dapat menimbulkan obat nyamuk untuk melindungi
berbagai masalah infeksi saluran anggota keluarga dari gigitan
pernapasan. Obat anti nyamuk yang nyamuk. Setelah diamati ternyata
dapat menimbulkan resiko terbesar wilayah tempat tinggal adalah
pada saluran pernapasan adalah obat lingkungan yang padat penduduk.
anti nyamuk bakar (Lestari, 2013). Berdasarkan latar belakang diatas
Rakhmanda (2012), mengatakan dan hasil studi pendahuluan maka
bahwa ada hubungan bermakna peneliti tertarik untuk meneliti
antara penggunaan obat nyamuk tentang “Faktor-faktor intrinsik dan
bakar dengan kejadian ISPA pada ekstrinsik dari kejadian ISPA pada
balita. balita di wilayah kerja Puskesmas
Anggota keluarga yang Pekauman.
mengalami ISPA mempunyai peran
terhadap penularan ISPA pada balita, METODOLOGI PENELITIAN
hal ini dikarenakan daya tahan tubuh Jenis penelitian ini adalah
balita masih rendah. Cara penularan penelitian kuantitatif, dengan
ISPA melalui udara, yaitu jika pendekatan Cross Sectional,
penderita batuk atau bersin dan tidak rancangan penelitian deskriptif
korelasional untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dan HASIL
dapat mempengaruhi kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Pekauman Tabel 4. 1. Karakteristik Responden
Banjarmasin. Penelitian dilaksanakan berdasarkan Usia Balita, Tingkat
di poli MTBS Puskesmas Pekauman Pendidikan, dan Pekerjaan di Puskesmas
Banjarmasin pada tanggal 22 Pekauman Banjarmasin
Usia Balita F %
Oktober 2017 sampai 13 April 2018,
1-3 tahun 53 45,3 %
dengan populasi semua orang tua 3-5 tahun 64 54,7 %
(ibu) yang memiliki balita dan Jumlah 117 100 %
berobat ke Puskesmas Pekauman Tingkat F %
Banjarmasin. Sample yang Pendidikan
digunakan adalah 117 orangtua (ibu) Tidak sekolah 4 3,4 %
yang memiliki balita dan berobat ke SD 6 5,1 %
Puskesmas Pekauman Banjarmasin SMP 35 29,9 %
yang diambil menggunakan rumus SMA 60 51,3 %
besar sampel dari S.K.L wanga dan Perguruan Tinggi 12 10,3 %
S. Lemeshow dkk, dengan teknik Jumlah 117 100 %

sampling Consecutive Sampling. Pekerjaan F %


Pegawai Negri Sipil 11 9,4 %
Instrument yang digunakan dalam
Wiraswasta 24 20,5 %
penelitian ini adalah kuesioner yang
Karyawan Swasta 82 70,1 %
terdiri dari 2 macam yaitu, identitas
Petani/nelayan 0 0%
responden (13 item pertanyaan) dan
Jumlah 117 100%
kuesioner perilaku kesehatan (10
item pertanyaan), diadaptasi dari
Berdasarkan tabel 4. 1 menunjukan
skripsi “Gambaran Perilaku bahwa, sebagian besar responden
Kesehatan Keluarga Terhadap memiliki balita dengan rentang usia 3-5
Kejadian ISPA pada Balita di tahun sebanyak 64 orang respoden (54,7
Puskesmas Pulang Pisau 2013” oleh %), tingkat pendidikan responden paling
Anggre Stesia, yang disusun banyak ditingkat SMA dengan jumlah
berdasarkan teori Maulana 2009 dan 60 orang (51,3%), pendidikan terendah
beberapa teori pendukung lainnya yaitu tidak sekolah, berjumlah 4 orang
mengenai perilaku kesehatan. Data (3,4%) dan sebagian besar bekerja
yang telah dikumpul kemudian sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak
dianalisis secara deskriptif dengan 82 responden (70,1%).
menggunakan tabel distribusi
frekuensi dan dilakukan korelasi
menggunakan program SPSS yaitu
uji statistik Chi square.
Tabel 4. 2. Hubungan antara BBL dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas
Pekauman Banjarmasin.

ISPA
BBL Non Pneumonia Jumlah
Pneumonia
F % F % F %
Berat Badan Lahir Normal 76,
42 55,3 34 44,7 76
0
Berat Badan Lahir Rendah 41,
29 70,7 12 16,1 41
0
Jumlah 11
71 60,7 46 39,3 100
7
P value = 0,151

Berdasarkan tabel 4. 2 menunjukan bahwa balita dengan riwayat BBL normal


maupun BBLR sama-sama cenderung mengalami ISPA non-pneumonia.
Hasil X2 hitung < X2 tabel (2.062 < 3.841) dan nilai tingkat signifikansi
(Pvalue) lebih besar dari dibandingkan nilai α (0,151 > 0,05), maka Ha ditolak dan
H0 diterima atau tidak terdapat hubungan antara BBL dengan kejadian ISPA.
Analisis berdasarkan nilai Prevalence Odds Ratio (POR) yang didapatkan yaitu
0,511 (95% CI 0,227-1,150 kurang dari angka 1), maka secara statistik diyakini
tidak signifikan, maka hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa balita dengan
riwayat BBLR dapat menurunkan peluang terjadinya ISPA sebesar odds 0,511
dibandingkan dengan balita riwayat BBL normal.

Tabel 4. 3. Tabulasi Silang antara Jenis Kelamin dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Puskesmas Pekauman Banjarmasin.
ISPA
Jenis Kelamin Non Pneumonia Jumlah
Pneumonia
F % F % F %
Perempuan 34 81,0 8 19,5 42 42,0
Laki-laki 37 49,3 38 50,7 75 75,0
Jumlah 11
71 60,7 46 39,3 100
7
P value = 0,002
OR = 4,365 (95% CI 1,786-10,665)

Tabel 4. 3 menunjukan bahwa, balita dengan jenis kelamin perempuan


cenderung mengalami ISPA non-pneumonia, sedangkan balita dengan jenis
kelamin laki-laki cenderung mengalami ISPA pneumonia.
Hasil X2 hitung > X2 tabel (9.995 > 3.841) dan nilai tingkat signifikansi
(Pvalue) lebih kecil dari dibandingkan nilai α (0,002 < 0,05), maka H0 ditolak dan
Ha diterima maka terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA.
Analisis berdasarkan nilai Prevalence Odds Ratio (POR) yang didapatkan yaitu
4,365 (95% CI 1,786-10,665 melewati angka 1), maka secara statistik diyakini
signifikan, maka hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa balita dengan jenis
kelamin laki-laki kemungkinan memiliki odds sebesar 4,365 kali untuk
mengalami kejadian ISPA dibandingkan balita jenis kelamin perempuan.

Tabel 4. 4. Tabulasi Silang antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Puskesmas Pekauman Banjarmasin
ISPA
Pemberian ASI Eksklusif Non Pneumonia Pneumonia Jumlah
F % F % F %
Diberikan ASI Eksklusif 1 50,
40 80,0 20,0 50
0 0
Tidak diberikan ASI Eksklusif 3 67,
31 46,3 53,7 67
6 0
Jumlah 4
71 60,7 39,3 117 100
6
P value = 0,000
OR = 4,645 (95% CI 1,999-10,793

Tabel 4. 4 menunjukan bahwa, balita dengan riwayat diberikan ASI eksklusif


cenderung mengalami ISPA non-pneumonia, sedangkan balita dengan riwayat
tidak diberikan ASI eksklusif cenderung mengalami ISPA pneumonia.
Hasil X2 hitung > X2 tabel (12.277 > 3.481) dan nilai tingkat signifikansi
(Pvalue) lebih kecil dari dibandingkan nilai α (0,000 < 0,05), maka H0 ditolak dan
Ha diterima maka terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA. Analisis berdasarkan nilai Prevalence Odds Ratio (POR) yang
didapatkan yaitu 4,645 (95% CI 1,999-10,793 melewati angka 1), maka secara
statistik diyakini signifikan, maka hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa
balita dengan riwayat tidak diberikan ASI ekslusif kemungkinan memiliki odds
sebesar 4,645 kali untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan balita
yang tidak diberikan ASI ekslusif.

Tabel 4. 5. Tabulasi Silang antara Status Ekonomi dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Puskesmas Pekauman Banjarmasin
ISPA
Status Ekonomi Non Pneumonia Pneumonia Jumlah
F % F % F %
Tinggi 30 83,3 6 16,7 36 36,0
Sedang 29 52,7 26 47,3 55 55,0
Rendah 12 46,2 14 53,8 26 26,0
Jumlah 11
71 60,7 46 39,3 100
7

Tabel 4. 5 menunjukan bahwa, tidak terdapat hubungan status ekonomi tinggi


dengan kejadian ISPA, dimana nilai p (0,581 > 0,05), tetapi ditemukan adanya
hubungan antara status ekonomi sedang dengan kejadian ISPA, dimana nilai p
(0,003 < 0,05).
Tabel 4. 6. Tabulasi Silang antara Perilaku Kesehatan dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Puskesmas Pekauman Banjarmasin.
ISPA
Perilaku Kesehatan
Non Pneumonia Pneumonia Jumlah
F % F % F %
Positif 48 84,2 9 22,4 57 57,0
Negatif 3
23 38,3 61,7 60 60,0
7
Jumlah 4
71 60,7 39,3 117 100
6
P value = 0,000
OR = 8,580 (95% CI 3,552-20,724)

Tabel 4. 6 menunjukan bahwa balita dengan perilaku kesehatan keluarga positif


cenderung mengalami ISPA non-pneumonia, sedangkan balita perilaku kesehatan
keluarga negatif cenderung mengalami ISPA pneumonia.
Hasil X2 hitung > X2 tabel (23.899 > 3.841) dan nilai tingkat signifikansi
(Pvalue) lebih kecil dari dibandingkan nilai α (0,000 < 0,05), maka H0 ditolak dan
Ha diterima maka terdapat hubungan antara perilaku kesehatan dengan kejadian
ISPA. Analisis berdasarkan nilai Prevalence Odds Ratio (POR) yang didapatkan
yaitu 8,580 (95% CI 3,552-20,724 melewati angka 1), maka secara statistik
diyakini signifikan, maka hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa keluarga
dengan perilaku kesehatan negatif cenderung 8,6 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan balita dengan perilaku kesehatan
positif.

PEMBAHASAN Penelitian ini sejalan dengan


Dalam keadaan status gizi yang penelitian yang dilakukan Iskandar
kurang baik dan status imunisasi (2014) bahwa tidak terdapat
yang tidak lengkap serta lingkungan hubungan yang bermakna antara
tempat tinggal yang tidak sehat, riwayat BBL dengan kejadian ISPA,
maka tubuh akan lebih rentan hal ini dapat terjadi karena jumlah
terhadap penyakit infeksi karena sampel untuk menggambarkan
tidak mempunyai cukup kemampuan kejadian ISPA pada BBL dan adanya
untuk mempertahankan diri dari faktor perancu seperti status gizi
berbagai macam serangan penyakit yang kurang serta status imunisasi
sehingga riwayat BBL balita tidak yang tidak lengkap sehingga rentan
terlalu berpengaruh terhadap menderita ISPA. Akan tetapi hasil
kejadian ISPA, melainkan ada faktor penelitian ini tidak sejalan dengan
perancu lain yang lebih berpengaruh penelitian yang dilakukan oleh
dengan kejadian ISPA seperti status Lestari (2016) yang mengatakan
gizi yang kurang, status imunisasi bahwa, pada umumnya BBL sangat
tidak lengkap dan perilaku tidak mempengaruhi status kesehatan
sehat anggota keluarga, serta anak, dan umumnya balita dengan
kurangnya pengetahuan akan riwayat BBLR akan sangat mudah
lingkungan sehat. menderita penyakit, baik penyakit
yang bersifat ringan sampai yang
berat, karena pada BBLR mudah terjadi pada anak laki-laki
terserang infeksi, disebabkan sistem dibandingkan anak perempuan. Pada
pertahan tubuh yang belum matur, anak laki-laki hormon testosteron
antibodi relatif belum terbentuk dan mempunyai sedikit aktivitas
daya fagositosis serta reaksi terhadap sehingga akan mengganggu respon
peradangan belum baik, pernyataan inflamasi ketika terjadi infeksi,
ini didukung dengan teori Adriani sedangkan pada anak perempuan
dan Wirjatmadi (2012) bahwa, balita mempunyai hormon 27 β-estradiol
yang lahir BBLR lebih besar yang akan menstabilkan dan
risikonya terdiagnosa ISPA, karena meningkatkan reaksi imunitas
pada bayi yang BBLR organ-organ apabila terjadi infeksi yakni dengan
pernapasanya belum matang yang mengeluarkan mediator inflamasi
menyebabkan pengembangan paru yang sangat berguna ketika terjadi
kurang adekuat, otot-otot pernapasan respon inflamasi saat terjadi infeksi.
masih lemah dan pusat pernapasan Penelitian ini juga sejalan
masih belum berkembang serta dengan penelitian yang dilakukan
tulang iga lemah. Syahputra (2012), bahwa ada
Anak laki-laki umumnya lebih hubungan antara jenis kelamin
aktif dari anak perempuan dan lebih dengan kejadian ISPA. Balita yang
banyak bermain diluar rumah, berjenis kelamin laki-laki lebih
sehingga lebih sering terpapar banyak dijumpai daripada balita
dengan agen penyebab ISPA, hal ini perempuan, sehingga kesempatan
memungkinkan anak laki-laki mudah balita laki-laki untuk dilakukan
terserang ISPA baik itu yang bersifat penelitian serta terkena ISPA lebih
ringan seperti non-pneumonia banyak dibandingkan balita
maupun yang bersifat sedang perempuan, sedangkan menurut
(pneumonia), sehingga umumnya penelitian Ranatha (2012), diketahui
kejadian ISPA pada anak dibawah bahwa jenis kelamin laki-laki
usia 5 tahun didominasi oleh anak mempunyai resiko 5,641 kali lebih
laki-laki. besar untuk terjadinya ISPA daripada
Penelitian ini sejalan dengan balita dengan jenis kelamin
penelitian Iskandar (2014) yang perempuan, akan tetapi menurut
mengatakan bahwa, anak laki-laki Sukamawa (2016), jenis kelamin
dan perempuan umumnya berbeda tidak berhubungan dengan kejadian
baik dari fisik maupun susunan ISPA, penyakit ISPA dapat terjadi
tubuhnya. Anak laki-laki lebih rentan pada setiap orang dengan tidak
terkena ISPA karena aktivitasnya memandang suku, ras, agama, umur,
yang lebih aktif, dimana anak laki- jenis kelamin dan status sosial.
laki suka bermain di tempat yang Menurut WHO (2007), menyatakan
kotor, berdebu, dan banyak bermain bahwa pada umumnya hanya
di luar rumah, sehingga kontak terdapat sedikit perbedaan prevalensi
dengan faktor penyebab ISPA lebih kejadian ISPA berdasarkan jenis
besar dibandingkan dengan anak kelamin, dimana lebih sering terjadi
perempuan. Selain itu, karena adanya pada balita laki-laki, hal ini
faktor hormonal karena terdapat kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan respons immunologis kurang matangnya fungsi paru-paru
antara laki-laki dan perempuan yang balita laki-laki.
mengakibatkan ISPA lebih sering
ASI eksklusif adalah pemberian optimal untuk menjamin
ASI tanpa memberi minuman pertumbuhan dan kecerdasan anak
maupun makanan tambahan lain (Yuliarti, 2010). Adanya komponen-
sampai usia 6 bulan. ASI eksklusif komponen zat anti-infeksi, maka
hanya berlaku bagi bayi yang lahir bayi atau balita yang minum ASI
full term dan normal. Berhentinya akan terlindung dari berbagai macam
pemberian ASI sebelum 6 bulan akan infeksi, baik yang disebabkan oleh
meningkatkan morbiditas dan bakteri, virus, parasit, atau antigen
mortalitas bayi. Pemberian cairan lainnya (Soetjiningsih dan Ranuh,
tambahan akan meningkatkan risiko 2013).
terkena penyakit dan menjadi sarana Hasil penelitian ini sejalan
masuknya bakteri pathogen, dengan penelitian Sirait (2017),
diketahui bahwa ASI memiliki bahwa pemberian ASI eksklusif
berbagai komponen imunitas untuk dapat mengurangi kejadian ISPA
pertahanan tubuh balita, sehingga dibandingkan dengan hanya
apabila pemberian ASI tidak adekuat diberikan susu formula. Pemberian
maka akan memudahkan balita ASI eksklusif selama 6 bulan atau
tersebut terserang suatu penyakit lebih memberikan efek protektif
khususnya penyakit yang bersifat yang lebih besar berkaitan dengan
menular, salah satunya seperti respon dosis efek protektif yang
penyakit ISPA. Air Susu Ibu (ASI) dihasilkan. Semakin besar dosis ASI
adalah species specific dan yang diberikan, semakin besar pula
merupakan makanan terbaik bagi efek protektif yang dihasilkan. ASI
bayi. ASI merupakan sumber yang sebagai proteksi pasif berpengaruh
dapat mencukupi kebutuhan energi terhadap respon sistem imun anak
dan protein dalam masa bayi 6 bulan, dengan maturasional, anti inflamasi,
dan secara tidak langsung pemberian imunomodulator, dan antimikrobial.
ASI eksklusif akan memacu Beberapa efek imun yang bisa
kematangan usus bayi untuk ditimbulkan dalam bentuk
menerima nutrisi yang diperlukan. perpanjangan proteksi terhadap
Adanya faktor-faktor bioaktif ISPA. ASI juga dapat memberikan
didalam ASI merupakan hal yang perlindungan jangka panjang melalui
sangat penting untuk kelanjutan stimulasi respon imun aktif. Imunitas
kehidupan, yaitu adanya hormon dan aktif merupakan imunitas spesifik
cytokines sebagai faktor dimana sistem imun membentuk
pertumbuhan (Maryunani, 2012). memori jangka panjang terhadap
ASI merupakan pilihan terbaik bagi paparan antigen tertentu. Pemberian
bayi karena didalamnya mengandung ASI terbukti efektif bagi
antibodi dan lebih dari 100 jenis zat perkembangan dan imunitas anak.
gizi, seperti AA, DHA, taurin, dan Penelitian ini juga sejalan dengan
spingomyelin. Taurin adalah sejenis penelitian Lestari (2013), yang
asam amino kedua yang yang mengatakan bahwa ada hubungan
terbanyak dalam ASI, yang berfungsi antara pemberian ASI eksklusif
sebagai neurotransmiter dan berperan dengan kejadian ISPA, anak yang
penting dalam pematangan sel otak. tidak mengkonsumsi ASI sampai
Decosahexoid acid (DHA) dan usia 6 bulan dan pemberian yang
arachidonic acid (AA) diperlukan kurang dari 24 bulan beresiko
dalam pembentukan sel-sel otak yang terkena ISPA. Riwayat pemberian
ASI yang buruk pada saat bayi, dengan tingkat ekonomi tinggi akan
menjadi salah satu faktor resiko yang mempunyai kesempatan lebih besar
dapat meningkatkan kejadian ISPA dalam menempuh pendidikan dimana
pada balita. Akan tetapi penelitian ini orang dengan tingkat ekonomi tinggi
tidak sejalan dengan penelitian akan lebih mudah menerima
Christi (2015), yang mengatakan informasi sehingga makin banyak
bahwa, ditemukan tidak adanya pula pengetahuan yang dimiliki,
hubungan antara riwayat pemberian sehingga akan memperhatikan
ASI dengan kejadian ISPA. Hal ini kesehatan diri dan keluarga, tentunya
disebabkan karena ASI tidak cukup, keluarga dengan ekonomi yang
kurangnya pengetahuan ibu memadai mampu memenuhi kualitas
mengenai ASI eksklusif, dan dan kuantitas makanan yang
kesibukan ibu. Terdapat faktor-faktor dikonsumsi, dengan gizi yang
lain yang mungkin berhubungan adekuat keluarga tidak gampang
dengan kejadian ISPA diantaranya terserang berbagai masalah
gizi kurang, polusi udara, lingkungan kesehatan karena sistem pertahanan
kotor, imunisasi yang tidak lengkap, tubuh dapat bekerja dengan
kontak langsung dengan penderita maksimal. Penelitian ini sejalan
ISPA, dan kepadatan penduduk di dengan penelitian Nana dan Tinah
sekitar tempat tinggal. (2012), yaitu tingkat pendapatan
Status ekonomi yang kurang merupakan faktor yang menentukan
mencukupi memiliki hubungan kualitas dan kuantitas makanan yang
dengan peningkatan penyakit, dikonsumsi. Kemampuan keluarga
terutama kejadian ISPA, hal ini untuk membeli bahan makanan
dikarenakan biaya hidup yang tinggi tergantung pada besar kecilnya
sehingga orang akan menekan biaya pendapatan keluarga. Keluarga
untuk pemenuhan konsumsi dengan pendapatan terbatas
seminimal mungkin, sehingga nutrisi kemungkinan besar kurang dapat
yang diberikan belum adekuat, dan memenuhi kebutuhan makanannya
mempermudah balita maupun terutama untuk memenuhi kebutuhan
anggota keluarga terserang berbagai zat gizi. Apabila gizinya kurang
penyakit khususnya penyakit infeksi. maka tubuh akan mudah terserang
Selain itu dari hasil penelitian penyakit. Keadaan status ekonomi
didapatkan data bahwa kebanyakan yang rendah pada umumnya
kepala keluarga bekerja sebagai berkaitan erat dengan berbagai
karyawan swasta, dimana pekerjaan masalah kesehatan yang di hadapi,
tersebut belum tetap dan sewaktu- hal ini disebabkan karena
waktu dapat diberhentikan. Apabila ketidakmampuan dan ketidaktahuan
pendapatan keluarga terbatas maka dalam mengatasi berbagai masalah
perhatian terhadap status kesehatan tersebut terutama dalam kesehatan.
keluargapun akan berkurang, anggota Hasil penelitian ini juga sejalan
keluarga yang dianggap hanya sakit dengan penelitian Christi (2015),
ringan tidak akan langsung dibawa bahwa dengan status ekonomi yang
ke petugas kesehatan dan cenderung terbatas, dapat mempengaruhi
dibiarkan sampai penyakit tersebut kejadian ISPA karena kendala biaya
dianggap sembuh dengan sendirinya. sehingga meningkatkan kejadian
Hasil penelitian ini didukung oleh ISPA.
Notoadmojo.S (2007), yaitu, orang
Perilaku sehat (positif) adalah pectoris serta dapat meningkatkan
pengetahuan, sikap, tindakan, resiko untuk mendapat serangan
proaktif untuk memelihara dan ISPA, khususnya pada balita karena
mencegah risiko terjadinya penyakit, struktur tubuh belum sempurna atau
melindungi diri dari ancaman matur dimana struktur internal
penyakit, serta berperan aktif dalam telinga dan tenggorokan terus
gerakan kesehatan masyarakat memendek dan melurus, dan jaringan
(Maryunani, 2013). Salah satu limfoid tonsil dan adenoid terus
perilaku sehat yaitu keluarga tidak bertambah besar, akibatnya, sering
merokok, tetapi dari hasil penelitian terjadi otitis media, tonsillitis, dan
didapatkan bahwa sebagian besar infeksi saluran pernafasan (Wong,
keluarga masih merokok dan bahkan 2008). Anak-anak yang orang tuanya
ada yang merokok didekat balita, perokok lebih mudah terkena
padahal dampak dari merokok penyakit saluran pernapasan seperti
tersebut sangat besar sebagai flu, asma, pneumonia dan penyakit
pencetus terserangnya berbagai saluran pernapasan lainnya. Asap
macam penyakit khususnya pada rokok yang dihisap, baik oleh
sistem pernapasan. Hasil penelitian perokok aktif maupun perokok pasif
ini sejalan dengan Proverawati dan akan menyebabkan fungsi ciliary
Rahmawati (2012), yang membahas terganggu, volume lendir meningkat,
bahwa, perilaku anggota keluarga humoral terhadap antigen diubah,
khususnya kepala keluarga, tentang serta kuantitatif dan kualitatif
kebiasaan merokok harus perubahan dalam komponen selular
diminimalisir atau dihentikan, karena terjadi. Beberapa perubahan dalam
dalam satu batang rokok yang mekanisme pertahanan tidak akan
dihisap akan dikeluarkan sekitar kembali normal sebelum terbebas
4.000 bahan kimia berbahaya seperti dari paparan asap rokok, sehingga
Nikotin, Tar, dan Karbon monoksida selama penderita ISPA masih
(CO). Merokok juga dapat mendapatkan paparan asap rokok,
menjadikan anggota keluarga lain proses pertahanan tubuh terhadap
menjadi perokok pasif, dimana orang infeksi tetap akan terganggu dan
yang tidak merokok ikut menghirup akan memperlama waktu yang
asap rokok dari orang yang merokok. dibutuhkan untuk penyembuhannya
Kebiasaan merokok juga dapat (Kusumawati, 2010).
menimbulkan berbagai penyakit Penelitian ini didukung dengan
seperti penyakit jantung, kanker penelitian Milo (2015), yang
paru-paru, bronkhitis, dll. Bukan mengatakan bahwa, ada hubungan
hanya si perokok aktif saja yang antara kebiasaan merokok di dalam
merasakan dampak tersebut bahkan rumah dengan kejadian ISPA pada
perokok pasif juga dapat ikut anak. Semakin sering kebiasaan
merasakan dampaknya, bahkan merokok di dalam rumah maka
dampak yang dirasakan bahkan lebih semakin besar juga potensi anak
besar. Jika terdapat seorang perokok menderita ISPA. Terpaparnya balita
atau lebih dalam rumah akan dengan asap rokok akan semakin
memperbesar resiko anggota tinggi pada saat berada dalam rumah,
keluarga menderita sakit, seperti disebabkan karena anggota keluarga
gangguan pernapasan, memperburuk biasanya merokok dalam rumah pada
asma, memperberat penyakit angina saat bersantai bersama anggota
keluarga lainnya, sehingga balita berbagai macam penyakit
dalam rumah tangga tersebut pernafasan. Penelitian ini sejalan
memiliki risiko tinggi untuk terpapar dengan penelitian yang dilakukan
dengan asap rokok. Asap rokok dari Rakhmanda (2012), bahwa asap obat
orang tua atau penghuni rumah yang nyamuk juga mengandung beberapa
satu atap dengan balita merupakan senyawa karbonil dengan sifat-sifat
bahan pencemaran dalam ruang yang dapat menghasilkan efek iritasi
tempat tinggal serta akan menambah kuat pada pada saluran pernapasan
resiko kesakitan pada anak-anak dari atas dan bawah. Keluarga yang
bahan toksik. Paparan yang terus memakai obat nyamuk bakar maka
menerus akan menimbulkan balitanya memiliki risiko 2,5 kali
gangguan pernafasan terutama lebih besar terkena ISPA
memperberat timbulnya infeksi dibandingkan keluarga yang tidak
saluran pernafasan akut dan memakai obat nyamuk bakar didalam
gangguan paru-paru pada saat rumahnya.
dewasa. Semakin banyak rokok yang Berbeda dengan penelitian yang
dihisap oleh keluarga semakin besar dilakukan oleh Widodo (2014), yang
pula resiko terhadap kejadian ISPA. mengatakan bahwa, tidak ada
Berbeda dengan penelitian yang hubungan yang bermakna antara
dilakukan Widodo (2014), perilaku penggunaan anti nyamuk
mengatakan bahwa, tidak ada bakar dengan kejadian ISPA, ini
hubungan bermakna antara perilaku disebabkan karena mungkin ada
merokok dengan kejadian ISPA, hal faktor lain yang lebih berperan dalam
ini disebabkan karena, mungkin ada mempengaruhi kejadian ISPA
faktor lain yang lebih berperan dalam tersebut seperti keadaan lingkungan
mempengaruhi kejadian ISPA maupun faktor internal dari si balita
tersebut seperti keadaan lingkungan tersebut.
maupun faktor internal dari si balita Keberadaan anggota keluarga
tersebut. Perilaku tidak sehat lainnya yang menderita suatu penyakit, juga
yang juga sebagian besar keluarga turut menjadi faktor pencetus
lakukan yaitu penggunaan obat terjadinya suatu penyakit kepada
nyamuk bakar untuk melindungi anggota keluarga lainnya, apabila
anggota keluarga dari gigitan terdapat anggota keluarga menderita
nyamuk, padahal menurut teori Dewi penyakit yang bersifat menular. Dari
dkk, (2014), obat nyamuk bakar hasil penelitian didapatkan bahwa
mengadung bahan aktif sebagian besar anggota keluarga lain
Octhacloroprophyl eter yang dapat dalam anggota keluarga yang
memicu penyakit kanker, iritasi kulit, mempunyai balita dengan ISPA juga
tenggorokan, dan paru-paru. Saat menderita penyakit yang sama. Hasil
obat nyamuk bakar digunakan, asap penelitian ini sejalan dengan
obat nyamuk juga akan terhirup saat penelitian yang dilakukan oleh
bernafas, partikel-partikel yang ada Widodo dkk (2014), bahwa, keluarga
dalam asap obat nyamuk juga akan sangat mempengaruhi munculnya
ikut terhirup masuk ke saluran penyakit didalam rumah. Bila salah
pernafasan dan akan diserap. Apabila satu keluarga mengalami gangguan
terpapar terus-menerus akan kesehatan yang bersifat menular,
memberikan efek toksik pada sistem maka akan mempengaruhi anggota
pernafasan sehingga menimbukan keluarga lainya. Keberadaan anggota
keluarga yang terkena ISPA juga dengan kejadian ISPA. Ditemukan
sangat mempengaruhi anggota juga adanya hubungan antara
keluarga yang lain. Penyebaran ISPA perilaku kesehatan dengan timbulnya
ditularkan kepada orang lain melalui kejadian ISPA di Puskesmas
udara pernafasan atau percikan air Pekauman Banjarmasin.
ludah, oleh sebab itu, penting untuk
melakukan upaya pencegahan ISPA ACKNOWLEDGMENT
seperti menutup mulut pada waktu Ucapan Terima kasih yang
bersin, memakai masker untuk sebesar-besarnya bagi seluruh
menghindari penyebaran kuman responden yang sudah dengan sangat
melalui udara, serta membuang baik membantu menyukseskan
dahak pada tempat yang seharusnya. kegiatan peneltian ini. Terima kasih
Keluarga juga harus memperhatikan juga kepada Puskesmas Pekauman
kebiasaan-kebiasan yang dapat Banjarmasin dan STIKES Suaka
meningkatkan resiko terserang Insan yang sudah sangat mendukung
penyakit, khususnya penyakit infeksi terselesaikannya penelitian ini.
saluran pernapasan. Hasil penelitian
ini juga sejalan dengan Lestari
(2013), yang menyatakan bahwa, DAFTAR PUSTAKA
anggota keluarga yang mengalami
ISPA, berperan terhadap penularan Adriani dan Wirjatmadi. (2012).
ISPA pada balita, hal ini dikarenakan Peranan gizi dalam siklus
balita masih mempunyai daya tahan kehidupan. Jakarta: Kencana
tubuh yang rendah. Prenadamedia Group.
Christi, H. (2015). Faktor-faktor
KESIMPULAN yang berhubungan dengan
Sebagian besar balita di kejadian ISPA pada bayi usia 6-
Puskesmas Pekauman Banjarmasin 12 bulan yang memiliki status
menderita ISPA non-pneumonia. gizi normal (studi di Wilayah
Pada faktor intrinsic, didapatkan Kerja Puskesmas Candilama
bahwa tidak terdapat hubungan Kota Semarang). Diakses pada
antara BBL dengan kejadian ISPA di tanggal 5 November 2017 dari :
Puskesmas Pekauman Banjarmasin. https://media.neliti.com/media/p
Adanya hubungan yang signifikan ublications/18498-ID-
antara jenis kelamin dengan faktorfaktor-yang-berhubungan-
kejadian ISPA Puskesmas Pekauman dengan-kejadian-ispa-pada-bayi-
Banjarmasin. Ditemukan juga adanya usia-6-12-bulan-yan.pdf.
hubungan yang signifikan antara Dewi, S.P. dkk. (2014). Hubungan
pemberian ASI eksklusif dengan faktor-faktor sanitasi rumah
kejadian ISPA Puskesmas Pekauman dengan kejadian infeksi saluran
Banjarmasin. Sedangkan dari faktor pernapasan akut di Wilayah
ekstrinsik, ditemukan bahwa, status Kerja Puskesmas IV Denpasar
ekonomi tinggi secara statistik tidak Selatan. Kesehatan Lingkungan
menunjukan adanya hubungan Poltekes Denpasar. Di akses
dengan kejadian ISPA, sedangkan pada tanggal 10 Oktober dari
pada keluarga balita dengan status http://poltekkesdenpasar.ac.id/fil
ekonomi sedang secara statistik es/JURNAL%20KESEHATAN
menunjukan adanya hubungan %20LINGKUNGAN/V4N2/Put
u%20Saptari%20Dewi1),%20I% Pasca Sarjana Universitas
20Gede%20Wayan%20Darmadi Sebelas Maret Surakarta: Tesis.
2),%20Ni%20Made%20Marwati Naskah Dipublikasikan. Di akses
3).pdf. pada tanggal 30 September dari
Irianto, K. (2014). Ilmu kesehatan :https://eprints.uns.ac.id/2269/1/
anak. Bandung: Alfabeta. 142481208201012161.pdf
Iskandar, A. dkk. (2015). Hubungan Lestari, P.N. dkk. (2013). Faktor
jenis kelamin dan usia anak satu risiko yang berhubungan dengan
tahun sampai lima tahun dengan kejadian ISPA pada bayi dan
kejadian Infeksi Saluran balita di Wilayah Kerja
Pernapasan Akut (ISPA). Puskesmas Purwoyoso
Universitas Islam Bandung. Di Semarang. Fakultas Kesehatan
akses pada tanggal 25 September Universitas Dian Nuswantoro
dari : Semarang. Di akses pada
http://ejournal.unisba.ac.id/index tanggal 29 September dari
.php/gmhc/article/view/1538 :http://eprints.dinus.ac.id/6466/1
Kementrian PPN/Bappenas (2017). /jurnal_11980.pdf.
Pengarusutamakan kesehatan Lestari, T. (2016). Asuhan
dalam sustainable development Keperawatan Anak. Yogyakarta:
goals (SDGs). Di akses pada Nuha Medika
tanggal 20 September dari Maryunani. (2013). Perilaku Hidup
:http://www.konas- Bersih dan Sehat (PHBS).
promkes.com/2017/uploads/artic Jakarta: CV Trans Info Media
le/article_13.pdf (TIM) .
Kemenkes RI. (2016). Data dan Milo, S. dkk. (2015). Hubungan
informasi profil Kesehatan kebiasaan merokok di dalam
Indonesia 2016. Di akses pada rumah dengan kejadian ISPA
tanggal 20 September dari pada anak umur 1-5 tahun di
:http://www.depkes.go.id/resour Puskesmas Sario Kota Manado.
ces/download/pusdatin/lainlain/ Program Studi Ilmu
Data%20dan%20Informasi%20 Keperawatan Fakultas
Kesehatan%20Profil%20Keseha Kedokteran Universitas Sam
tan%20Indonesia%202016%20- Ratulangi. Diakses pada tanggal
%20%20smaller%20size%20- 01 Oktober dari :
%20web.pdf https://media.neliti.com/media/p
Kemenkes RI. (2011). Pedoman ublications/107603-ID-
Pengendalian Infeksi Saluran hubungan-kebiasaan-merokok-
Pernapasan Akut. Jakarta : di-dalam-ruma.pdf.
Katalog Kemenkes RI. Di akses Nana dan Tinah. (2012). Hubungan
pada tanggal 20 September dari : pendidikan ibu dan status
http://ispa.pppl.depkes.go.id/und ekonomi keluarga dengan
uh/PEDOMAN%20PENGEND kejadian ISPA pada Balita.
ALIAN%20ISPA.pdf Akademi Kebidanan Estu
Kusumawati, I. (2010). Hubungan Utomo Boyolali. Di akses pada
antara status merokok anggota tanggal 28 September dari :
keluarga dengan lama http://webcache.googleuserconte
pengobatan ISPA Balita di nt.com/search?q=cache:yt0169Y
Kecamatan Jenawi. Program TgxMJ www.e-
jurnal.com/2016/12/hubungan- /files/subdomain/diskes/Januari
pendidikan-ibu-dan- %202015/RISKESDAS%20201
status.html+&cd=1&hl=id&ct=c 0.pdf.
lnk&gl=id&client=firefox-b-ab. RISKESDAS. (2013). Laporan Hasil
Notoatmodjo, S. (2007). Pendidikan Riset Kesehatan Dasar
dan perilaku kesehatan. Cetakan (RISKESDAS) 2013. Jakarta:
2 Jakarta: PT. RinekaCipta Badan Penelitian
Proverawati dan Rahmawati. (2012). Pengembangan Kesehatan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Depkes RI. Diakses pada tanggal
(PHBS). Yogyakarta: Nuha 15 September 2017, dari:
Medika. http://www.depkes.go.id/resourc
Rakhmanda, W.F. (2012). Hubungan es/download/general/Hasil%20R
penggunaan obat nyamuk bakar iskesdas%202013.pdf.
dengan kejadian ISPA pada Sirait, H.S. (2017). Pengaruh
Balita di Perumahan Lawu Indah pemberian Asi eksklusif dengan
Ngawi. Fakultas Kedokteran kejadian ISPA pada anak Batita
Universitas Sebelas Maret: di Puskesmas Singosari Kota
Skripsi. Naskah Dipublikasikan. Pematangsiantar. Prodi
Di akses pada tanggal 30 Kebidanan Pematangsiantar,
September dari : Poltekkes Kemenkes Medan.
https://digilib.uns.ac.id/dokumen Diakses pada tanggal 22
/detail/23490/Hubungan- September dari :
Penggunaan-Obat-Nyamuk- http://jurnal.csdforum.com/index
Bakar-Dengan-Kejadian-Ispa- .php/GHS/article/view/74.
Pada-Balita-Di-Perumahan- Soetjiningsih dan Ranuh. (2013).
Lawu-Indah-Ngawi. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:
Ranantha, L.R. dkk. (2012). EGC.
Hubungan antara karakteristik sukamawa. (2016). Determinan
Balita dengan kejadian ISPA sanitasi rumah dan sosial
pada Balita di Desa Gandon ekonomi keluarga terhadap
Kecamatan Kaloran Kabupaten kejadian ISPA pada anak balita
Temanggung. Fakultas serta manajemen
Kesehatan Universitas Dian penanggulangannya di
Nuswantoro Semarang. Diakses Pusesmas. Diakses pada tanggal
pada tanggal 25 September dari : 22 September dari :
http://eprints.dinus.ac.id/6715/2/ https://media.neliti.com/media/p
abstrak_13994.pdf. ublications/3978-ID-determinan-
Ranuh, IG. N. (2013). Beberapa sanitasi-rumah-dan-sosial-
Catatan Kesehatan Anak. ekonomi-keluarga-terhadap-
Jakarta: Sagung Seto kejadian-ispa-pad.pdf.
RISKESDAS. (2010). Laporan Syahputra, H. dkk. (2013).
Nasional Riset Kesehatan Dasar Perbandingan kejadian Ispa
(RISKESDAS) 2010. Jakarta: balita pada keluarga yang
Badan Penelitian merokok di dalam rumah dengan
Pengembangan Kesehatan keluarga yang tidak merokok.
Depkes RI. Diakses pada tanggal Program Studi Ilmu
18 September 2017, dari: Keperawatan Universitas Riau.
http://www.diskes.baliprov.go.id Di akses pada tanggal 28
September dari : September dari:
http://repository.unri.ac.id/xmlui http://www.who.int/gho/publicat
/bitstream/handle/123456789/42 ions/world_health_statistics/EN_
04/journal%20ACC.pdf?sequenc WHS10_Full.pdf.
e=1. World Health Organization (WHO).
Widodo, P.Y. (2014). Hubungan (2007). Pencegahan dan
perilaku keluarga terhadap pengendalian Infeksi Saluran
kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut yang
Pernafasan Atas (ISPA). STIKES Cenderung menjadi epidemi dan
Bhamada Slawi, Tegal. Di akses pandemi di fasilitas pelayanan
pada tanggal 09 Otober dari : kesehatan. Di akses pada tanggal
http://ojs.stikesbhamada.ac.id/oj 18 September
s/index.php/jitk/article/view/106. dari:http://apps.who.int/iris/bitstr
Wong, D.L. (2008). Buku Ajar eam/10665/69707/14/WHO_CD
Keperawatan Pediatrik, Ed.6. S_EPR_2007.6_ind.pdf .
Vol 2. Jakarta: EGC. Yuliarti, N (2010). Keajaiban ASI.
World Health Organization (WHO). Yogyakarta: CV Andi Offset
(2010). World Health Statistic (Penerbit Andi).
2010. Di akses pada tanggal 20

Anda mungkin juga menyukai

  • Sayang Ni Diagramnya
    Sayang Ni Diagramnya
    Dokumen6 halaman
    Sayang Ni Diagramnya
    Ni Made sri Santika dewi
    Belum ada peringkat
  • 36 TH 2014
    36 TH 2014
    Dokumen4 halaman
    36 TH 2014
    Ni Made sri Santika dewi
    Belum ada peringkat
  • Dialog Konseling Pa Setiadi
    Dialog Konseling Pa Setiadi
    Dokumen2 halaman
    Dialog Konseling Pa Setiadi
    Ni Made sri Santika dewi
    Belum ada peringkat
  • IJO-62-549 Af Id
    IJO-62-549 Af Id
    Dokumen5 halaman
    IJO-62-549 Af Id
    Ni Made sri Santika dewi
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Kti Nurul HD
    Jurnal Kti Nurul HD
    Dokumen8 halaman
    Jurnal Kti Nurul HD
    Ni Made sri Santika dewi
    Belum ada peringkat
  • Dapus 32
    Dapus 32
    Dokumen18 halaman
    Dapus 32
    Ni Made sri Santika dewi
    Belum ada peringkat
  • 41
    41
    Dokumen133 halaman
    41
    Ni Made sri Santika dewi
    Belum ada peringkat
  • Virus
    Virus
    Dokumen41 halaman
    Virus
    Ni Made sri Santika dewi
    Belum ada peringkat