Dosen Pengampu
SUKRON MA’MUN, M.Pd.I
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan serta kelancaran
dalam penyusunan makalah Fiqih Muamalah. Sholawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Bab Tentang Hukum
Perkreditan dalam Syariah Islam yang dibimbing oleh Bapak Sukron Ma’mun,
M.Pd.I. Kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu kami
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada :
Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan
karena keterbatasan pengetahuan kami, untuk itu kritik dan saran sangat kami
harapkan demi kesempurnaan kami dalam menyelesaikan tugas-tugas dimasa yang
akan datang.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................3
C. Tujuan.................................................................................................3
A. Kesimpulan.......................................................................................22
B. Saran.................................................................................................22
DAFTAR RUJUKAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kartu kredit merupakan sebuah alat pembayaran yang berfungsi sebagai pengganti
uang tunai, di mana alat tersebut dapat digunakan oleh konsumen untuk ditukarkan dengan
berbagai barang dan jasa yang dibelinya di tempat-tempat yang bisa menerima pembayaran
dengan menggunakan kartu kredit (merchant).
Hal ini juga sesuai dengan pengertian kartu kredit yang tertulis di dalam Pasal 1
Angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 sebagaimana kemudian diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, yaitu:
“Kartu Kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan
untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi,
termasuk transaksi pembelanjaan atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana
kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau
penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran
tersebut pada waktu yang disepakati, baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara
angsuran.”
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
4
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud kartu kredit dalam perspektif syariah
7. Untuk mengetahui apa itu kartu kredit syariah
3. Kartu Debit
Kartu debit atau debit adalah kartu yang diterbitkan oleh pihak bank sebagai
pelengkap rekening tabungan pada umumnya.
4. Cash Card
Cash card ialah sistem pembayaran menggunakan kartu yang digunakan pekerja
Pertamina untuk keperluan operasional dalam menjalankan program kerjanya.
5. Private Label Card
Privat label card merupakan jenis kartu kredit yang diterbitkan oleh bank penerbit
sendiri, tanpa menggandeng jaringan organisasi global seperti Mastercard atau VISA.
6. Smart Card
Smart card adalah sebuah kartu yang telah dipendam sirkuit terpadu. Meskipun
banyak kegunaannnya, tetapi ada dua pembagian dasar dari kartu ini, yaitu kartu
memori dan kartu dengan mikroprosesor. Contoh kegunaan kartu ini yang paling
banyak adalah untuk sistem pembayaran elektronik dan dalam kartu SIM.
7. Check Guarantee Card
5
Check guarantee card adalah surat kredit portabel yang disingkat yang diberikan
oleh bank kepada deposan yang memenuhi syarat dalam bentuk kartu plastik yang
digunakan bersama dengan cek. Skema tersebut memberikan pengecer yang
menerima cek dengan keamanan yang lebih besar.
BAB II
PEMBAHASAN
Agar penundaan waktu pembayaran dan angsuran menjadi sah, maka harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
6
c. Tidak ada unsur kecurangan yang keji pada harga. Penjual
berkewajiban membatasi keuntungan atau laba sesuai kebiasaan yang berlaku
dan tidak mengeksploitasi keadaan pembeli yang sedang kesulitan dengan
menjual barang dengan laba yang berlipat-lipat, karena hal ini termasuk
kerusakan, ketamakan, merugikan manusia dan memakan harta semasa secara
bathil.
e. Tidak ada persyaratan dalam jual beli sistem kredit ini. Apabila
pembeli menyegerakan pembayarannya penjual memotong jumlah tertentu
dari harga yang semestinya.
f. Dalam akad jual beli secara kredit, penjual tidak boleh membeli
kepada pembeli, baik pada saat akad maupun sesudahnya, menambah harga
pembayaran atau keuntungan ketika pihak yang berhutang terlambat
membayar utangnya.
7
282 : البقرة.ُيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن إِلَى أَ َج ٍل ُم َس ّم ًى فَا ْكتُبُوه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang,
sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat
ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
متفق عليه. نسيئةً ورهنه درعَهqًاشترى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم من يهوديٍّ طعاما
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang
yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau
kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد هللا بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى هللا عليه
وباألبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسولqو سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد هللا بن عمرو البعير بالبعيرين
رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه األلباني.هللا صلى هللا عليه و سلم
8
harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.
Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu
memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan
dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian
dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
متفق عليه.من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan
dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas
pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu
fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan
kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan
tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh
atau halal untuk dilakukan.
رواه الترمذي وغيره. أو الرِّ بَاqمن بَا َع بَ ْي َعتَي ِْن في بَ ْي َع ٍة فَلَهُ أَوْ َك ُسهُ َما
9
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya
dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke
dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah
apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah
larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual
kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang
diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan
pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan
contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia
dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara
kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa
pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya
dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut
dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan
cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang
motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan
motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia
mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
10
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita:
mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan,
bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan
piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya
menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi.
Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual
beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang
sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan
kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan
hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp
10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom
tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar
piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini
jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam
hadits berikut:
رواه مسلم. هم سواء: وقال، لعن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه:عن جابر قال
11
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba
(nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga
bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya
kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank
telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu
showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum
sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor
tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas
nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang
terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas
diharamkan dalam syari’at.
:q قال ابن عباس. فال يبعه حتى يقبضهq من ابتاع طعاما: رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلمqعن ابن عباس
متفق عليه.وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia
menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya
berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun
‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:
، فأردت أن أضرب على يده، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، ابتعت زيتا في السوق:عن ابن عمر قال
ال تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول هللا: فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال، فأخذ رجل من خلفي بذراعيe نهى
رواه أبو داود والحاكم.أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar,
dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan
menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka
akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-
tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh,
12
dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual
minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat
barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke
tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim) ([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena
kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu
sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga
ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli
kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika
muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ: كيف ذاك؟ قال:qقلت البن عباس
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena
sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan
makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang
membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang
tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli,
kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung
menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap
berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar
(menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai
konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan
saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan
dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena
merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
13
A. Kartu Kredit Dalam Perspektif Syari’ah
Menurut DSN MUI, kartu pembiayaan syariah adalah kartu yang berfungsi sebagai
kartu kredit antara pihak berdasarkan prinsip syariah. Pihak yang dimaksud adalah penerbit
kartu atau bank, pemegang kartu atau nasabah serta penerima kartu.
Melihat bahwa kartu kredit termasuk transaksi riba, yang status akadnya batil dan
diharamkan dalam islam, maka bank syariah mengeluarkan produk kartu kredit syariah.
Adapun akad yang digunakan adalah akad ijaroh, qard dan kafalah.
Akad ijaroh atau disebut sewa, dengan menggunakan akad ini, nasabah dikenakan charge
sewa penggunaan jasa kartu pembiayaan syariah atau sering disebut dengan wakalah bil
ujroh. Bank syariah menjadi wakil pembayaran dan mendapatkan fee atas perwakilan
tersebut. Pemberian fee tersebut dapat dikenakan atas dasar keikut sertaan member kartu pada
nasabah.
Hanya saja perbedaan terletak pada prinsipnya. Menurut Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), prinsip dasar syariah dalam perbankan melarang hal berikut ini:
14
1. BNI Syariah Hasanah Card Gold
2. BNI Syariah Hasanah Card Platinum
3. BNI Syariah Hasanah Car Classic
4. CIMB Niaga Syariah Gold MasterCard
Menurut Sudarsono rukun dan syarat jual beli terbagi menjadi dua,
yaitu:12
b. Sehat akalnya.
Solusi
15
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita
dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari
pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al
wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha
yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah
barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita
membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan
memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya
menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala
demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan
keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan
tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa
bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga
kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-
benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-
Nya kepada kita:
7 إبراهيم. َوإِ ْذ تَأ َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَئِن َشكَرْ تُ ْم ألَ ِزي َدنَّ ُك ْم َولَئِن َكفَرْ تُ ْم إِ َّن َع َذابِي لَ َش ِدي ٌد
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah
dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan
memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke
luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-
3)
16
Dahulu dinyatakan oleh para ulama:
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan
menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
17