Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PANCASILA DALAM ARUS SEJARAH BANGSA INDONESIA

1. Periode Pengusulan Pancasila


Jauh sebelum periode pengusulan Pancasila, cikal bakal munculnya
ideologi bangsa itu diawali dengan lahirnya rasa nasionalisme yang menjadi
pembuka ke pintu gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Ahli sejarah, Sartono
Kartodirdjo, sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Pabottinggi dalam
artikelnya yang berjudul Pancasila sebagai Modal Rasionalitas Politik,
menengarai bahwa benih nasionalisme sudah mulai tertanam kuat dalam
gerakan Perhimpoenan Indonesia yang sangat menekankan solidaritas dan
kesatuan bangsa. Perhimpoenan Indonesia menghimbau agar segenap suku
bangsa bersatu teguh menghadapi penjajahan dan keterjajahan. Kemudian,
disusul lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 merupakan momen-
momen perumusan diri bagi bangsa Indonesia. Kesemuanya itu merupakan
modal politik awal yang sudah dimiliki tokoh-tokoh pergerakan sehingga
sidang-sidang maraton BPUPKI yang difasilitasi Laksamana Maeda, tidak
sedikitpun ada intervensi dari pihak penjajah Jepang. Para peserta sidang
BPUPKI ditunjuk secara adil, bukan hanya atas dasar konstituensi, melainkan
juga atas dasar integritas dan rekam jejak di dalam konstituensi masing-masing.
Perumusan Pancasila itu pada awalnya dilakukan dalam sidang BPUPKI
pertama yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI
dibentuk oleh Pemerintah Pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan
jumlah anggota 60 orang. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat
yang didampingi oleh dua orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji
Suroso dan Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen
Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei
1945. Sehari setelah dilantik, 29 Mei 1945, dimulailah sidang yang pertama
dengan materi pokok pembicaraan calon dasar negara. Menurut catatan sejarah,

1
diketahui bahwa sidang tersebut menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr.
Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Soepomo. Keempat
tokoh tersebut menyampaikan usulan tentang dasar negara menurut
pandangannya masing-masing. Meskipun demikian perbedaan pendapat di
antara mereka tidak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan demi
mewujudkan Indonesia merdeka. Sikap toleransi yang berkembang di kalangan
para pendiri negara seperti inilah yang seharusnya perlu diwariskan kepada
generasi berikut, termasuk kita.
Sebagaimana Anda ketahui bahwa salah seorang pengusul calon dasar
negara dalam sidang BPUPKI adalah Ir. Soekarno yang berpidato pada 1 Juni
1945. Pada hari itu, Ir. Soekarno menyampaikan lima butir gagasan tentang
dasar negara sebagai berikut:
a. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia,
b. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan,
c. Mufakat atau Demokrasi,
d. Kesejahteraan Sosial,
e. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Berdasarkan catatan sejarah, kelima butir gagasan itu oleh Soekarno diberi
nama Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan jika seandainya
peserta sidang tidak menyukai angka 5, maka ia menawarkan angka 3, yaitu
Trisila yang terdiri atas (1) Sosio-Nasionalisme, (2) Sosio-Demokrasi, dan (3)
Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno akhirnya juga menawarkan angka 1, yaitu
Ekasila yang berisi asas Gotong-Royong. Sejarah mencatat bahwa pidato lisan
Soekarno inilah yang di kemudian hari diterbitkan oleh Kementerian
Penerangan Republik Indonesia dalam bentuk buku yang berjudul Lahirnya
Pancasila (1947). Perlu Anda ketahui bahwa dari judul buku tersebut
menimbulkan kontroversi seputar lahirnya Pancasila. Ketika Soekarno masih
berkuasa, terjadi semacam pengultusan terhadap Soekarno sehingga 1 Juni
selalu dirayakan sebagai hari lahirnya Pancasila.

2
2. Periode Perumusan Pancasila
Hal terpenting yang mengemuka dalam sidang BPUPKI kedua pada 10 - 16
Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang
kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta itu merupakan
naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada alinea keempat Piagam
Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila sebagai berikut.
1 Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemelukpemeluknya.
2 Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3 Persatuan Indonesia
4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
5 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta”
ini di kemudian hari dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah
perubahan di sana-sini. Ketika para pemimpin Indonesia sedang sibuk
mempersiapkan kemerdekaan menurut skenario Jepang, secara tiba-tiba terjadi
perubahan peta politik dunia. Salah satu penyebab terjadinya perubahan peta
politik dunia itu ialah takluknya Jepang terhadap Sekutu. Peristiwa itu ditandai
dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Sehari
setelah peristiwa itu, 7 Agustus 1945, Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta
mengeluarkan maklumat yang berisi:
(1) pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan bagi Indonesia (PPKI),
(2) panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai
bersidang 19 Agustus 1945, dan 54
(3) direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan.
Esok paginya, 8 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil
Jenderal Terauchi (Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang

3
berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang kota itu bernama Ho Chi Minh).
Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera
membentuk suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai dengan
maklumat Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi. Sepulang dari Saigon, ketiga
tokoh tadi membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang, yaitu: Soekarno,
Moh. Hatta, Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo,
Suryohamijoyo, Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir,
Abdul Abbas, Ratulangi, Andi Pangerang, Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan,
Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan. Jatuhnya Bom di Hiroshima
belum membuat Jepang takluk, Amerika dan sekutu akhirnya menjatuhkan bom
lagi di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang meluluhlantakkan kota tersebut
sehingga menjadikan kekuatan Jepang semakin lemah. Kekuatan yang semakin
melemah, memaksa Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada
14 Agustus 1945. Konsekuensi dari menyerahnya Jepang kepada sekutu,
menjadikan daerah bekas pendudukan Jepang beralih kepada wilayah perwalian
sekutu, termasuk Indonesia. Sebelum tentara sekutu dapat menjangkau wilayah-
wilayah itu, untuk sementara bala tentara Jepang masih ditugasi sebagai sekadar
penjaga kekosongan kekuasaan. Kekosongan kekuasaan ini tidak disia-siakan
oleh para tokoh nasional. PPKI yang semula dibentuk Jepang karena Jepang
sudah kalah dan tidak berkuasa lagi, maka para pemimpin nasional pada waktu
itu segera mengambil keputusan politis yang penting. Keputusan politis penting
itu berupa melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan Jepang dan
mempercepat rencana kemerdekaan bangsa Indonesia.

3. Periode Pengesahan Pancasila


Peristiwa penting lainnya terjadi pada 12 Agustus 1945, ketika itu
Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer
Jepang di Asia Selatan ke Saigon untuk membahas tentang hari kemerdekaan
Indonesia sebagaimana yang pernah dijanjikan. Namun, di luar dugaan ternyata

4
pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pada 15
Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia. Kedatangan
mereka disambut oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa
Indonesia diproklamasikan secepatnya karena mereka tanggap terhadap
perubahan situasi politik dunia pada masa itu. Para pemuda sudah mengetahui
bahwa Jepang menyerah kepada sekutu sehingga Jepang tidak memiliki
kekuasaan secara politis di wilayah pendudukan, termasuk Indonesia. Perubahan
situasi yang cepat itu menimbulkan kesalahpahaman antara kelompok pemuda
dengan Soekarno dan kawan-kawan sehingga terjadilah penculikan atas diri
Soekarno dan M. Hatta ke Rengas Dengklok (dalam istilah pemuda pada waktu
itu “mengamankan”), tindakan pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang
diadakan pada pukul 24.00 WIB menjelang 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71
Jakarta. Melalui jalan berliku, akhirnya dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks kemerdekaan itu didiktekan oleh Moh.
Hatta dan ditulis oleh Soekarno pada dini hari. Dengan demikian, naskah
bersejarah teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini digagas dan ditulis oleh
dua tokoh proklamator tersebut sehingga wajar jika mereka dinamakan
Dwitunggal. Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Rancangan
pernyataan kemerdekaan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI yang diberi
nama Piagam Jakarta.
Proklamasi
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Halhal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll. diselenggarakan dengan
cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus 2605
Atas Nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka memerlukan perangkat dan
kelengkapan kehidupan bernegara, seperti: Dasar Negara, Undang-Undang

5
Dasar, Pemimpin negara, dan perangkat pendukung lainnya. Putusan-putusan
penting yang dihasilkan mencakup hal-hal berikut:
1. Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara (UUD ‘45) yang terdiri atas
Pembukaan dan Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam
Jakarta dengan sejumlah perubahan. Batang Tubuh juga berasal dari
rancangan BPUPKI dengan sejumlah perubahan pula.
2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta).
3. Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI
ditambah tokoh-tokoh masyarakat dari banyak golongan. Komite ini dilantik
29 Agustus 1945 dengan ketua Mr. Kasman Singodimejo.

BAB II
PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA.
1. Pancasila sebagai Identitas Bangsa Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa setiap bangsa mana pun di dunia ini pasti
memiliki identitas yang sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing.
Budaya merupakan proses cipta, rasa, dan karsa yang perlu dikelola dan
dikembangkan secara terus-menerus. Budaya dapat membentuk identitas suatu
bangsa melalui proses inkulturasi dan akulturasi. Pancasila sebagai identitas
bangsa Indonesia merupakan konsekuensi dari proses inkulturasi dan akulturasi
tersebut. Kebudayaan itu sendiri mengandung banyak pengertian dan definisi.
Salah satu defisini kebudayaan adalah sebagai berikut: ”suatu desain untuk
hidup yang merupakan suatu perencanaan dan sesuai dengan perencanaan itu
masyarakat mengadaptasikan dirinya pada lingkungan fisik, sosial, dan gagasan”
Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan hasil inkulturasi, yaitu proses
perpaduan berbagai elemen budaya dalam kehidupan masyarakat sehingga
menjadikan masyarakat berkembang secara dinamis.
Pemaparan tentang Pancasila sebagai identitas bangsa atau juga disebut
sebagai jati diri bangsa Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai literatur, baik

6
dalam bentuk bahasan sejarah bangsa Indonesia maupun dalam bentuk bahasan
tentang pemerintahan di Indonesia.

2. Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia


Pancasila disebut juga sebagai kepribadian bangsa Indonesia, artinya nilai-
nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diwujudkan
dalam sikap mental dan tingkah laku serta amal perbuatan. Sikap mental,
tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia mempunyai ciri khas, artinya dapat
dibedakan dengan bangsa lain. Kepribadian itu mengacu pada sesuatu yang unik
dan khas karena tidak ada pribadi yang benar-benar sama. Setiap pribadi
mencerminkan keadaan atau halnya sendiri, demikian pula halnya dengan
ideologi bangsa (Bakry, 1994: 157). Meskipun nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan juga terdapat dalam ideologi bangsa-bangsa
lain, tetapi bagi bangsa Indonesia kelima sila tersebut mencerminkan
kepribadian bangsa karena diangkat dari nilai-nilai kehidupan masyarakat
Indonesia sendiri dan dilaksanakan secara simultan. Nilai-nilai spiritual, sistem
perekonomian, politik, budaya merupakan contoh keunggulan yang berakar dari
kepribadian masyarakat Indonesia sendiri.

3. Pancasila sebagai Pandangan Hidup bangsa Indonesia


Pancasila dikatakan sebagai pandangan hidup bangsa, artinya nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diyakini
kebenarannya, kebaikannya, keindahannya, dan kegunaannya oleh bangsa
Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa dan menimbulkan tekad yang kuat untuk mengamalkannya dalam
kehidupan nyata.

4. Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa

7
Sebagaimana dikatakan von Savigny bahwa setiap bangsa mempunyai
jiwanya masing-masing, yang dinamakan volkgeist (jiwa rakyat atau jiwa
bangsa). Pancasila sebagai jiwa bangsa lahir bersamaan dengan lahirnya bangsa
Indonesia. Pancasila telah ada sejak dahulu kala bersamaan dengan adanya
bangsa Indonesia.

5. Pancasila sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia


Perjanjian luhur, artinya nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa bangsa dan
kepribadian bangsa disepakati oleh para pendiri negara (political consensus)
sebagai dasar negara Indonesia (Bakry, 1994: 161). Kesepakatan para pendiri
negara tentang Pancasila sebagai dasar negara merupakan bukti bahwa pilihan
yang diambil pada waktu itu merupakan sesuatu yang tepat.

BAB III
MENGGALI SUMBER HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIS, YURIDIS
TENTANG PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA
INDONESIA
1. Sumber Historis Pancasila
Nilai-nilai Pancasila sudah ada dalam adat istiadat, kebudayaan, dan agama
yang berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan
dahulu. Misalnya, sila Ketuhanan sudah ada pada zaman dahulu, meskipun
dalam praktik pemujaan yang beranekaragam, tetapi pengakuan tentang adanya
Tuhan sudah diakui. Dalam Encyclopedia of Philosophy disebutkan beberapa
unsur yang ada dalam agama, seperti kepercayaan kepada kekuatan
supranatural, perbedaan antara yang sakral dan yang profan, tindakan ritual pada
objek sakral, sembahyang atau doa sebagai bentuk komunikasi kepada Tuhan,
takjub sebagai perasaan khas keagamaan, tuntunan moral diyakini dari Tuhan,
konsep hidup di dunia dihubungkan dengan Tuhan, kelompok sosial seagama
dan seiman.
8
2. Sumber Sosiologis Pancasila
Nilai-nilai Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
keadilan) secara sosiologis telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu
hingga sekarang. Salah satu nilai yang dapat ditemukan dalam masyarakat
Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang adalah nilai gotong royong.
Misalnya dapat dilihat, bahwa kebiasaan bergotongroyong, baik berupa saling
membantu antar tetangga maupun bekerjasama untuk keperluan umum di desa-
desa. Kegiatan gotong royong itu dilakukan dengan semangat kekeluargaan
sebagai cerminan dari sila Keadilan Sosial. Gotong royong juga tercermin pada
sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat secara
bersama-sama mengumpulkan iuran melalui pembayaran pajak yang
dimaksudkan untuk pelaksanaan pembangunan.

3. Sumber Politis Pancasila


Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
Pancasila bersumber dan digali dari local wisdom, budaya, dan pengalaman
bangsa Indonesia, termasuk pengalaman dalam berhubungan dengan bangsa-
bangsa lain. Nilai-nilai Pancasila, misalnya nilai kerakyatan dapat ditemukan
dalam suasana kehidupan pedesaan yang pola kehidupan bersama yang bersatu
dan demokratis yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan sebagaimana
tercermin dalam sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Semangat seperti ini
diperlukan dalam mengambil keputusan yang mencerminkan musyawarah.

9
BAB IV

HUBUNGAN PANCASILA DENGAN PEMBUKAAN UUD 1945


Secara ilmiah-akademis, Pembukaan UUD 1945 sebagai
staatsfundamentalnorm mempunyai hakikat kedudukan yang tetap, kuat, dan tak
berubah bagi negara yang dibentuk, dengan perkataan lain, jalan hukum tidak
lagi dapat diubah. Dalam kaitan itu, ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) sampai
ayat (5) UUD 1945 pasca amandemen ke-4, dalam Pasal 37 tersebut hanya
memuat ketentuan perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945, tidak memuat
ketentuan untuk mengubah Pembukaan UUD 1945. Hal ini dapat dipahami
karena wakil-wakil bangsa Indonesia yang tergabung dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat memahami kaidah ilmiah, terkait kedudukan
Pembukaan UUD 1945 yang sifatnya permanen sehingga mereka
mengartikulasikan kehendak rakyat yang tidak berkehendak mengubah
Pembukaan UUD 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal (lihat Pasal II Aturan
Tambahan UUD 1945). Hal ini berarti bahwa Penjelasan UUD 1945 sudah tidak
lagi menjadi bagian dari ketentuan dalam UUD 1945. Meskipun Penjelasan
UUD 1945 sudah bukan merupakan hukum positif, tetapi penjelasan yang
bersifat normatif sudah dimuat dalam pasal-pasal UUD 1945.
Terkait dengan penjabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD 1945, bunyi
penjelasan UUD 1945, sebagai berikut. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi
suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-
pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai
hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang- Undang Dasar)
maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-
pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.”
Pola pemikiran dalam pokok-pokok pikiran Penjelasan UUD 1945 tersebut,
merupakan penjelmaan dari Pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan asas
kerohanian dari Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm.
10
Apabila disederhanakan, maka pola pemikiran tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD 1945 sebagai
staatsfundamentalnorm.
2. Pembukaan UUD 1945 dikristalisasikan dalam wujud Pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
3. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 terjelma
dalam pasal-pasal UUD 1945. Untuk mengimplementasikan nilai-nilai dasar
Pancasila dalam kehidupan praksis bernegara, diperlukan nilai-nilai
instrumental yang berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan nilai dasar.
Adapun nilai instrumental dari Pancasila sebagai nilai dasar adalah pasal-
pasal dalam UUD 1945. Oleh karena itu, kedudukan pasal-pasal berbeda
dengan kedudukan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Implikasinya pasal-
pasal dalam UUD 1945 tidak bersifat permanen, artinya dapat diubah
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD
1945.

BAB V

IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN


a. Bidang Politik
Pernahkah Anda lihat rapat Rukun Warga di tempat tinggal Anda? Apa
yang biasanya terjadi dalam rapat tersebut? Pasti Anda melihat sekumpulan
orang atau beberapa orang yang berkumpul dan membicarakan masalah yang
dihadapi daerahnya dengan musyawarah. Seperti itulah implementasi Pancasila
dalam perumusan kebijakan politik terjadi di lingkungan tempat tinggal. Mereka
merumuskan kebijakan bukan dengan suara terbanyak, melainkan saling
memberi dan saling menerima argumen dari peserta musyawarah. Dengan

11
demikian, kepentingan masyarakat secara keseluruhan akan lebih diutamakan
dalam kebijakan yang dirumuskan.
Implementasi Pancasila dalam perumusan kebijakan pada bidang politik
dapat ditransformasikan melalui sistem politik yang bertumpu kepada asas
kedaulatan rakyat berdasarkan konstitusi, mengacu pada Pasal 1 ayat (2) UUD
1945. Implementasi asas kedaulatan rakyat dalam sistem politik Indonesia, baik
pada sektor suprastruktur maupun infrastruktur politik, dibatasi oleh konstitusi.

b. Bidang Ekonomi
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dalam bidang ekonomi
mengidealisasikan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, kebijakan ekonomi nasional harus bertumpu kepada asas-asas
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan peran perseorangan, perusahaan
swasta, badan usaha milik negara, dalam implementasi kebijakan ekonomi.
Selain itu, negara juga harus mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah termasuk fakir
miskin dan anak terlantar, sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana
diamanatkan Pasal 34 ayat (1) sampai dengan ayat (4) UUD 1945. Kebijakan
ekonomi nasional tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung oleh dana
pembangunan yang besar. Dana pembangunan diperoleh dari kontribusi
masyarakat melalui pembayaran pajak. Pajak merupakan bentuk distribusi
kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin, sehingga pada hakikatnya pajak
itu dari rakyat untuk rakyat.

c. Bidang Sosial Budaya


Apakah Anda pernah mencoba menyapu halaman rumah dengan
menggunakan satu lidi? Bagaimana kalau lidi itu banyak, kemudian diikat dalam
satu ikatan? Bagaimana hasilnya, apakah cepat yang satu lidi atau seikat lidi?
Pertanyaan di atas merupakan dasar berpijak masyarakat yang dibangun dengan

12
nilai persatuan dan kesatuan. Bahkan, kemerdekaan Indonesia pun terwujud
karena adanya persatuan dan kesatuan bangsa.

d. Bidang Hankam
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945, “Setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Bagi Anda
sebagai warga negara yang baik, bela negara bukan hanya dilihat sebagai
kewajiban, melainkan juga merupakan kehormatan dari negara. Bela negara
dapat didefinisikan sebagai segala sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai
oleh kecintaannya kepada tanah air dan bangsa, dalam menjaga kelangsungan
hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila guna mewujudkan tujuan
nasional. Wujud keikutsertaan warga negara dalam bela negara dalam keadaan
damai banyak bentuknya, aplikasi jiwa pengabdian sesuai profesi pun termasuk
bela negara.
Prinsip-prinsip yang merupakan nilai instrumental Pancasila dalam bidang
pertahanan dan keamanan sebagaimana terkandung dalam Pasal 30 UUD 1945
dapat dikemukakan sebagai berikut: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.
Adapun sistem pertahanan dan keamanan yang dianut adalah sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang lazim disingkat Sishankamrata.
Dalam Sishankamrata, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI) merupakan kekuatan utama, sedangkan rakyat
sebagai kekuatan pendukung.

13
BAB VI

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA


1. Konsep pancasila sebagai ideologi negara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi didefinisikan sebagai
kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan
arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Dalam pengertian tersebut, Anda
dapat menangkap beberapa komponen penting dalam sebuah ideologi, yaitu
sistem, arah, tujuan, cara berpikir, program, sosial, dan politik.
Untuk mengetahui posisi ideologi Pancasila di antara ideologi besar dunia,
maka Anda perlu mengenal beberapa jenis ideologi dunia sebagai berikut.
a. Marxisme-Leninisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam
perspektif evolusi sejarah yang didasarkan pada dua prinsip; pertama,
penentu akhir dari perubahan sosial adalah perubahan dari cara produksi;
kedua, proses perubahan sosial bersifat dialektis.
b. Liberalisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif
kebebasan individual, artinya lebih mengutamakan hak-hak individu.
c. Sosialisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif
kepentingan masyarakat, artinya negara wajib menyejahterakan seluruh
masyarakat atau yang dikenal dengan kosep welfare state.
d. Kapitalisme; suatu paham yang memberi kebebasan kepada setiap individu
untuk menguasai sistem pereknomian dengan kemampuan modal yang ia
miliki (Sastrapratedja, 2001: 50 – 69).

2. Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara


Pancasila sebagai ideologi negara menghadapi berbagai bentuk tantangan.
Salah satu tantangan yang paling dominan dewasa ini adalah globalisasi.
Globalisasi merupakan era saling keterhubungan antara masyarakat suatu bangsa
dan masyarakat bangsa yang lain sehingga masyarakat dunia menjadi lebih
terbuka. Dengan demikian, kebudayaan global terbentuk dari pertemuan
14
beragam kepentingan yang mendekatkan masyarakat dunia. Sastrapratedja
menengarai beberapa karakteristik kebudayaan global sebagai berikut:
a. Berbagai bangsa dan kebudayaan menjadi lebih terbuka terhadap pengaruh
timbal balik.
b. Pengakuan akan identitas dan keanekaragaman masyarakat dalam berbagai
kelompok dengan pluralisme etnis dan religius.
c. Masyarakat yang memiliki ideologi dan sistem nilai yang berbeda
bekerjasama dan bersaing sehingga tidak ada satu pun ideologi yang
dominan.
d. Kebudayaan global merupakan sesuatu yang khas secara utuh, tetapi tetap
bersifat plural dan heterogen.
e. Nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), kebebasan, demokrasi menjadi nilai-
nilai yang dihayati bersama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda-beda.

3. Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Ideologi Negara


Warga Negara Memahami dan Melaksanakan Pancasila sebagai Ideologi
Negara Sebagai warga negara, Anda perlu memahami kedudukan Pancasila
sebagai ideologi negara karena ideologi Pancasila menghadapi tantangan dari
berbagai ideologi dunia dalam kebudayaan global. Pada bagian ini, perlu
diidentifikasikan unsur-unsur yang memengaruhi ideologi Pancasila sebagai
berikut:
a. Unsur ateisme yang terdapat dalam ideologi Marxisme atau komunisme
bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Unsur individualisme dalam liberalisme tidak sesuai dengan prinsip nilai
gotong royong dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Kapitalisme yang memberikan kebebasan individu untuk menguasai sistem
perekonomian negara tidak sesuai dengan prinsip ekonomi kerakyatan. Salah
satu dampak yang dirasakan dari kapitalisme ialah munculnya gaya hidup
konsumtif. Pancasila sebagai ideologi, selain menghadapi tantangan dari

15
ideologi-ideologi besar dunia juga menghadapi tantangan dari sikap dan
perilaku kehidupan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat umum.
Tantangan itu meliputi, antara lain terorisme dan narkoba. Sebagaimana yang
telah diinformasikan oleh berbagai media masa bahwa terorisme dan narkoba
merupakan ancaman terhadap keberlangsungan hidup bangsa Indonesia dan
ideologi negara.

4. Penyelenggara Negara Memahami dan Melaksanakan Pancasila sebagai


Ideologi Negara
Perlu diketahui bahwa selain warga negara, penyelenggara negara
merupakan kunci penting bagi sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa
sehingga aparatur negara juga harus memahami dan melaksanakan Pancasila
sebagai ideologi negara secara konsisten. Ada beberapa unsur penting dalam
kedudukan Pancasila sebagai orientasi kehidupan konstitusional:
a. Kesediaan untuk saling menghargai dalam kekhasan masing-masing, artinya
adanya kesepakatan untuk bersama-sama membangun negara Indonesia,
tanpa diskriminasi sehingga ideologi Pancasila menutup pintu untuk semua
ideologi eksklusif yang mau menyeragamkan masyarakat menurut
gagasannya sendiri. Oleh karena itu, pluralisme adalah nilai dasar Pancasila
untuk mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini berarti bahwa Pancasila
harus diletakkan sebagai ideologi yang terbuka.
b. Aktualisasi lima sila Pancasila, artinya sila-sila dilaksanakan dalam
kehidupan bernegara sebagai berikut:
(1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dirumuskan untuk menjamin tidak
adanya diskriminasi atas dasar agama sehingga negara harus menjamin
kebebasan beragama dan pluralisme ekspresi keagamaan.
(2) Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi operasional dalam
jaminan pelaksanaan hak-hak asasi manusia karena hal itu merupakan tolak ukur
keberadaban serta solidaritas suatu bangsa terhadap setiap warga negara.

16
(3) Sila Persatuan Indonesia menegaskan bahwa rasa cinta pada bangsa
Indonesia tidak dilakukan dengan menutup diri dan menolak mereka yang di
luar Indonesia, tetapi dengan membangun hubungan timbal balik atas dasar
kesamaan kedudukan dan tekad untuk menjalin kerjasama yang menjamin
kesejahteraan dan martabat bangsa Indonesia.
(4) Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan berarti komitmen terhadap demokrasi yang wajib
disukseskan.
(5) Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti pengentasan
kemiskinan dan diskriminasi terhadap minoritas dan kelompok-kelompok lemah
perlu dihapus dari bumi Indonesia.

5. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila


sebagai Ideologi Negara
Dinamika Pancasila sebagai ideologi negara dalam sejarah bangsa
Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dalam pelaksanaan nilai-nilai
Pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara dalam masa pemerintahan Presiden
Soekarno; sebagaimana diketahui bahwa Soekarno termasuk salah seorang
perumus Pancasila, bahkan penggali dan memberi nama untuk dasar negara.
Dalam hal ini, Soekarno memahami kedudukan Pancasila sebagai ideologi
negara. Namun dalam perjalanan pemerintahannya, ideologi Pancasila
mengalami pasang surut karena dicampur dengan ideologi komunisme dalam
konsep Nasakom. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan Presiden
Soeharto diletakkan pada kedudukan yang sangat kuat melalui TAP MPR No.
II/1978 tentang pemasayarakatan P-4. Pada masa Soeharto ini pula, ideologi
Pancasila menjadi asas tunggal bagi semua organisasi politik (Orpol) dan
organisasi masyarakat (Ormas). Pada masa era reformasi, Pancasila sebagai
ideologi negara mengalami pasang surut dengan ditandai beberapa hal, seperti:
enggannya para penyelenggara negara mewacanakan tentang Pancasila, bahkan

17
berujung pada hilangnya Pancasila dari kurikulum nasional, meskipun pada
akhirnya timbul kesadaran penyelenggara negara tentang pentingnya pendidikan
Pancasila di perguruan tinggi.
Pancasila sebagai ideologi negara memiliki tiga dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi realitas; mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam dirinya bersumber dari nilai-nilai real yang hidup dalam
masyarakatnya. Hal ini mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila
bersumber dari nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia sekaligus juga berarti
bahwa nilai-nilai Pancasila harus dijabarkan dalam kehidupan nyata sehari-
hari baik dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat maupun dalam
segala aspek penyelenggaraan negara.
b. Dimensi idealitas; mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai
bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini berarti
bahwa nilai-nilai dasar Pancasila mengandung adanya tujuan yang dicapai
sehingga menimbulkan harapan dan optimisme serta mampu menggugah
motivasi untuk mewujudkan cita-cita.
c. Dimensi fleksibilitas; mengandung relevansi atau kekuatan yang merangsang
masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru tentang nilai-
nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Pancasila
sebagai ideologi bersifat terbuka karena bersifat demokratis dan mengandung
dinamika internal yang mengundang dan merangsang warga negara yang
meyakininya untuk mengembangkan pemikiran baru, tanpa khawatir
kehilangan hakikat dirinya

18
BAB VII

PANCASILA MERUPAKAN SISTEM FILSAFAT


1. Pengertian Pancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan bahan renungan yang
menggugah kesadaran para pendiri negara, termasuk Soekarno ketika
menggagas ide Philosophische Grondslag. Perenungan ini mengalir ke arah
upaya untuk menemukan nilai-nilai filosofis yang menjadi identitas bangsa
Indonesia. Perenungan yang berkembang dalam diskusi-diskusi sejak sidang
BPUPKI sampai ke pengesahan Pancasila oleh PPKI, termasuk salah satu
momentum untuk menemukan Pancasila sebagai sistem filsafat. Kendatipun
demikian, sistem filsafat itu sendiri merupakan suatu proses yang berlangsung
secara kontinu sehingga perenungan awal yang dicetuskan para pendiri negara
merupakan bahan baku yang dapat dan akan terus merangsang pemikiran para
pemikir berikutnya.
Beberapa ciri berpikir kefilsafatan meliputi: (1). sistem filsafat harus
bersifat koheren, artinya berhubungan satu sama lain secara runtut, tidak
mengandung pernyataan yang saling bertentangan di dalamnya. Pancasila
sebagai sistem filsafat, bagian-bagiannya tidak saling bertentangan, meskipun
berbeda, bahkan saling melengkapi, dan tiap bagian mempunyai fungsi dan
kedudukan tersendiri; (2). sistem filsafat harus bersifat menyeluruh, artinya
mencakup segala hal dan gejala yang terdapat dalam kehidupan manusia.
Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa merupakan suatu pola yang dapat
mewadahi semua kehidupan dan dinamika masyarakat di Indonesia; (3). sistem
filsafat harus bersifat mendasar, artinya suatu bentuk perenungan mendalam
yang sampai ke inti mutlak permasalahan sehingga menemukan aspek yang
sangat fundamental. Pancasila sebagai sistem filsafat dirumuskan berdasarkan
inti mutlak tata kehidupan manusia menghadapi diri sendiri, sesama manusia,
dan Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; (4). sistem filsafat
bersifat spekulatif, artinya buah pikir hasil perenungan sebagai praanggapan
19
yang menjadi titik awal yang menjadi pola dasar berdasarkan penalaran logis,
serta pangkal tolak pemikiran tentang sesuatu. Pancasila sebagai dasar negara
pada permulaannya merupakan buah pikir dari tokoh-tokoh kenegaraan sebagai
suatu pola dasar yang kemudian dibuktikan kebenarannya melalui suatu diskusi
dan dialog panjang dalam sidang BPUPKI hingga pengesahan PPKI.

2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Di zaman modern sekarang ini, manusia memerlukan filsafat karena
beberapa alasan. Pertama, manusia telah memperoleh kekuatan baru yang besar
dalam sains dan teknologi, telah mengembangkan bermacam-macam teknik
untuk memperoleh ketenteraman (security) dan kenikmatan (comfort). Akan
tetapi, pada waktu yang sama manusia merasa tidak tenteram dan gelisah karena
mereka tidak tahu dengan pasti makna hidup mereka dan arah harus tempuh
dalam kehidupan mereka. Kedua, filsafat melalui kerjasama dengan disiplin
ilmu lain memainkan peran yang sangat penting untuk membimbing manusia
kepada keinginan-keinginan dan aspirasi mereka. Dengan demikian, manusia
dapat memahami pentingnya peran filsafat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

3. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai


Sistem Filsafat
a. Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada 12 Agustus 1928, Soekarno pernah menulis di Suluh Indonesia yang
menyebutkan bahwa nasionalisme adalah nasionalisme yang membuat manusia
menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat manusia hidup dalam roh.
Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam
sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut.

20
 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-
agama lokal, yaitu sekitar 14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad
pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Tuhan telah menyejarah dalam
ruang publik Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih berlangsungnya
sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup
di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi,
termasuk di Indonesia, agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian
institusi-institusi sosial.
 Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari
perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa Indonesia
sejak dahulu dikenal sebagai bangsa maritim telah menjelajah keberbagai
penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu membentuk karakter
bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan istilah
Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Kemanjuran konsepsi
internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab
menemukan ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa Indonesia, tampak jelas
bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam
historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu
bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki
komitmen pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan sosial serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana
kekeluargaan kebangsan Indonesia.
 Sila Persatuan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman
serta kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang

21
menakjubkan karena kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu
dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah
bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaan-
kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air yang kurang lebih
sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya,
maka tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir
kegemilangan.
 Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat memang merupakan fenomena baru di Indonesia, yang muncul sebagai
ikutan formasi negara republik Indonesia merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa
kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-
raja autokrat. Meskipun demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu
telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam
unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali,
dan lain sebagainya.
 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah
berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia.
Impian kebahagian itu terpahat dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu,
para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-cita
tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa
yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini kemudian dirampas
oleh kolonialisme.

22
b. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan
ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama, masyarakat awam yang memahami
Pancasila sebagai sistem filsafat yang sudah dikenal masyarakat Indonesia
dalam bentuk pandangan hidup, Way of life yang terdapat dalam agama, adat
istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia. Kelompok kedua,
masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat
dengan teori-teori yang bersifat akademis. Kelompok pertama memahami
sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dalam pandangan hidup atau
kearifan lokal yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis Pancasila itu masih
berbentuk pedoman hidup yang bersifat praktis dalam berbagai aspek
kehidupan. Dalam konteks agama, masyarakat Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang religius karena perkembangan kepercayaan yang ada di
masyarakat sejak animisme, dinamisme, politeistis, hingga monoteis.

c. Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat


Sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem
filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara
tahun 1958 dan 1959, tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis.
Kelompok kedua, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai
sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik
Habibie 1 Juni 2011. Wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat
mengemuka ketika Soekarno melontarkan konsep Philosofische Grondslag,
dasar filsafat negara. Artinya, kedudukan Pancasila diletakkan sebagai dasar
kerohanian bagi penyelenggaran kehidupan bernegara di Indonesia. Sumber
politis Pancasila sebagai sistem filsafat berlaku juga atas kesepakatan
penggunaan simbol dalam kehidupan bernegara. Garuda Pancasila merupakan
salah satu simbol dalam kehidupan bernegara. Dalam pasal 35Undang-Undang

23
Dasar 1945 berbunyi sebagai berikut. ”Bendera Negara Indonesia ialah sang
merah putih”. Pasal 36, ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Pasal 36A,
”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal
Ika”. Pasal 36B, ”Lagu kebangsaan Indonesia ialah Indonesia Raya”. Bendera
merah putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan lagu Indonesia Raya,
semuanya merupakan simbol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Burung Garuda, diterima sebagai simbol oleh bangsa Indonesia
melalui proses panjang termasuk dalam konvensi. Contoh, simbol Burung
Garuda sebagai berikut:
a. Garuda Pancasila sendiri adalah Burung Garuda yang sudah dikenal melalui
mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Wishnu yang
menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang
Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar
dan negara yang kuat.
b. Warna keemasan pada Burung Garuda melambangkan keagungan dan
kejayaan.
c. Garuda memiliki paruh, sayap, cakar, dan ekor yang melambangkan
kekuatan dan tenaga pembangunan.
d. Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari jadi Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, di antaranya:
1) 17 helai bulu pada masing-masing sayap
2) 8 helai bulu pada ekor
3) 19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
4) 45 helai bulu di leher
e. Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan
peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan,
pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
f. Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan
garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara Kesatuan Republik

24
Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis khatulistiwa membentang
dari timur ke barat.
g. Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera kebangsaaan negara
Indonesia "Merah-Putih", sedangkan pada bagian tengah berwarna dasar
hitam.
h. Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara
Pancasila. Pengaturan pada lambang perisai adalah sebagai berikut:
1) Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa; dilambangkan dengan cahaya di
bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam.
2) Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; dilambangkan dengan
tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar
merah.
3) Sila ketiga: Persatuaan Indonesia; di lambangkan dengan pohon beringin
di bagian kiri atas perisai berlatar putih.
4) Sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dilambangkan dengan kepala banteng
di bagian kanan atas perisai berlatar merah.
5) Sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia;
Dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar
putih.
Rancangan awal burung garuda dibuat oleh Sultan Hamid II. Sultan Hamid
II lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan
Pontianak Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di Pontianak, Kalimantan
Barat, 12 Juli1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret1978 pada umur 64 tahun).

4. Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal
dengan istilah “Philosofische Grondslag”. Gagasan tersebut merupakan
perenungan filosofis Soekarno atas rencananya berdirinya negara Indonesia

25
merdeka. Ide tersebut dimaksudkan sebagai dasar kerohanian bagi
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Ide tersebut ternyata mendapat sambutan
yang positif dari berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama,
persisnya pada 1 Juni 1945. Namun, ide tentang Philosofische Grondslag belum
diuraikan secara rinci, lebih merupakan adagium politik untuk menarik perhatian
anggota sidang, dan bersifat teoritis. Pada masa itu, Soekarno lebih menekankan
bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi
budaya bangsa Indonesia.
Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat
berkembang ke arah yang lebih praktis (dalam hal ini istilah yang lebih tepat
adalah weltanschauung). Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya bertujuan
mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai pedoman
hidu sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan sistem filsafat
Pancasila menjadi penataran P-4.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang terdengar
resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana
akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam
pidato 1 Juni 2011. Habibie menyatakan bahwa: “Pancasila seolah-olah
tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan untuk
disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori
kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan
dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun
kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di
tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan
demokrasi dan kebebasan berpolitik” (Habibie, 2011: 1--2).

5. Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat
muncul dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

26
Pertama, kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan
individual pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam rangka meraih
keuntungan sebesar-besarnya merupakan upaya untuk menyejahterakan
masyarakat. Salah satu bentuk tantangan kapitalisme terhadap Pancasila sebagai
sistem filsafat ialah meletakkan kebebasan individual secara berlebihan sehingga
dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti monopoli, gaya hidup
konsumerisme, dan lain-lain.
Kedua, komunisme adalah sebuah paham yang muncul sebagai reaksi atas
perkembangan kapitalisme sebagai produk masyarakat liberal. Komunisme
merupakan aliran yang meyakini bahwa kepemilikan modal dikuasai oleh
negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Salah satu bentuk tantangan
komunisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah dominasi negara
yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan
bernegara.

6. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Hakikat (esensi) Pancasila sebagai sistem filsafat terletak pada hal-hal
sebagai berikut: Pertama; hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa
Indonesia bahwa Tuhan sebagai prinsip utama dalam kehidupan semua
makhluk. Artinya, setiap makhluk hidup, termasuk warga negara harus memiliki
kesadaran yang otonom (kebebasan, kemandirian) di satu pihak, dan
berkesadaran sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang akan dimintai
pertanggungjawaban atas semua tindakan yang dilakukan. Artinya, kebebasan
selalu dihadapkan pada tanggung jawab, dan tanggung jawab tertinggi adalah
kepada Sang Pencipta. Kedua; hakikat sila kemanusiaan adalah manusia
monopluralis, yang terdiri atas 3 monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa, raga),
sifat kodrat (makhluk individu, sosial), kedudukan kodrat (makhluk pribadi yang
otonom dan makhluk Tuhan) (Notonagoro). Ketiga, hakikat sila persatuan
terkait dengan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan terwujud dalam bentuk

27
cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu tanah air real, tanah air
formal, dan tanah air mental. Tanah air real adalah bumi tempat orang
dilahirkan dan dibesarkan, bersuka, dan berduka, yang dialami secara fisik
sehari-hari. Tanah air formal adalah negara bangsa yang berundang-undang
dasar, yang Anda, manusia Indonesia, menjadi salah seorang warganya, yang
membuat undang-undang, menggariskan hukum dan peraturan, menata,
mengatur dan memberikan hak serta kewajiban, mengesahkan atau
membatalkan, memberikan perlindungan, dan menghukum, memberikan paspor
atau surat pengenal lainnya. Tanah air mental bukan bersifat territorial karena
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, melainkan imajinasi yang dibentuk dan
dibina oleh ideologi atau seperangkat gagasan vital. Keempat, hakikat sila
kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah. Artinya, keputusan yang diambil
lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk mufakat, bukan
membenarkan begitu saja pendapat mayoritas tanpa peduli pendapat minoritas.
Kelima, hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan
distributif, legal, dan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat
membagi dari negara kepada warga negara. Keadilan legal adalah kewajiban
warga negara terhadap negara atau dinamakan keadilan bertaat. Keadilan
komutatif adalah keadilan antara sesama warga negara
Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Hal-hal penting yang sangat
urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem filsafat meliputi hal-hal
sebagai berikut. Pertama, meletakkan Pancasila sebagai sistem filsafat dapat
memulihkan harga diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam
politik, yuridis, dan juga merdeka dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya
untuk kemajuan bangsa, baik secara materiil maupun spiritual. Kedua, Pancasila
sebagai sistem filsafat membangun alam pemikiran yang berakar dari nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga mampu dalam menghadapi berbagai
ideologi dunia. Ketiga, Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar
pijakan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang dapat melunturkan

28
semangat kebangsaan dan melemahkan sendi-sendi perekonomian yang
berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak. Keempat, Pancasila sebagai
sistem filsafat dapat menjadi way of life sekaligus way of thinking bangsa
Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi antara tindakan dan
pemikiran. Bahaya yang ditimbulkan kehidupan modern dewasa ini adalah
ketidakseimbangan antara cara bertindak dan cara berpikir sehingga
menimbulkan kerusakan lingkungan dan mental dari suatu bangsa.

BAB VIII
PANCASILA MENJADI SISTEM ETIKA
Mahasiswa sebagai insan akademis yang bermoral Pancasila juga harus
terlibat dan berkontribusi langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sebagai perwujudan sikap tanggung jawab warga negara. Tanggung jawab yang
penting berupa sikap menjunjung tinggi moralitas dan menghormati hukum
yang berlaku di Indonesia. Taat beragama dalam kehidupan individu,
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan dalam pengembangan keilmuan, serta
kehidupan akademik dan profesinya; mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila
dalam bentuk pribadi yang saleh secara individual, sosial, dan alam;
mengembangkan karakter Pancasilais yang teraktualisasi dalam sikap jujur,
disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, cinta
damai, responsif, dan proaktif; berkontribusi aktif dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, berperan dalam pergaulan dunia dengan menjunjung tinggi
penegakan moral dan hukum; menguasai pengetahuan tentang pengertian etika,
aliran-aliran etika, etika Pancasila, dan Pancasila sebagai solusi problem
moralitas bangsa; terampil merumuskan solusi atas problem moralitas bangsa
dengan pendekatan Pancasila; melaksanakan projek belajar implementasi
Pancasila dalam kehidupan nyata.

29
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika
Pernahkah Anda mendengar istilah “etika”? Kalaupun Anda pernah
mendengar istilah tersebut, tahukah Anda apa artinya? Istilah “etika” berasal
dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir.
Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.

2. Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila
Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-
nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai
tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek
kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai
spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan
kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi
humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya
meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila
persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein),
cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap
menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau
peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain. Etika
Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu kebijaksanaan,
kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan

30
suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju pada kebaikan serta
atas dasar kesatuan akal – rasa – kehendak yang berupa kepercayaan yang
tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan memelihara nilai-nilai hidup
kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius. Kesederhaaan artinya membatasi diri
dalam arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan. Keteguhan artinya
membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam menghindari
penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri
dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah
menjadi haknya.

3. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan
dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama
generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara.
Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai
dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat
globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi ketika
pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi justru
nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara
lain: penyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat
kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar.
Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan
kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-
sekolah. Kedua, korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara
negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para

31
penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak,
pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika
terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad). Archie
Bahm dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk
merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis dalam
kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk
selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk
melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa
saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan,
minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58). Ketiga, kurangnya rasa perlu
berkontribusi dalam pembangunan melalui pembayaran pajak. Hal tersebut
terlihat dari kepatuhan pajak yang masih rendah, padahal peranan pajak dari
tahun ke tahun semakin meningkat dalam membiayai APBN. Pancasila sebagai
sistem etika akan dapat mengarahkan wajib pajak untuk secara sadar memenuhi
kewajiban perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak yang tinggi
maka program pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat dijalankan
dengan sumber penerimaan dari sektor perpajakan. Keempat, pelanggaran hak-
hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara di Indonesia ditandai
dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak pihak lain. Kasus-
kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di berbagai media, seperti
penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT), penelantaran anak-anak
yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya
melindungi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain-lain. Kesemuanya
itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai nilai Pancasila
sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping
diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem
etika ke dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM (Lihat Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Kelima, kerusakan lingkungan yang
berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, seperti kesehatan,

32
kelancaran penerbangan, nasib generasi yang akan datang, global warming,
perubahan cuaca, dan lain sebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan
bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum
mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa
ini cenderung memutuskan tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang
sendiri, keuntungan sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari
perbuatannya. Contoh yang paling jelas adalah pembakaran hutan di Riau
sehingga menimbulkan kabut asap. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem
etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang menindak
tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun perusahaan yang
terlibat.

BAB IX
PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU
Relasi antara iptek dan nilai budaya, serta agama dapat ditandai dengan
beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama, iptek yang gayut dengan nilai
budaya dan agama sehingga pengembangan iptek harus senantiasa didasarkan
atas sikap human-religius. Kedua, iptek yang lepas sama sekali dari norma
budaya dan agama sehingga terjadi sekularisasi yang berakibat pada kemajuan
iptek tanpa dikawal dan diwarnai nilai human-religius. Hal ini terjadi karena
sekelompok ilmuwan yang meyakini bahwa iptek memiliki hukum-hukum
sendiri yang lepas dan tidak perlu diintervensi nilai-nilai dari luar. Ketiga, iptek
yang menempatkan nilai agama dan budaya sebagai mitra dialog di saat
diperlukan. Dalam hal ini, ada sebagian ilmuwan yang beranggapan bahwa iptek
memang memiliki hukum tersendiri (faktor internal), tetapi di pihak lain
diperlukan faktor eksternal (budaya, ideologi, dan agama) untuk bertukar
pikiran, meskipun tidak dalam arti saling bergantung secara ketat.

33
1. Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
a. Konsep Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pengertian Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat
mengacu pada beberapa jenis pemahaman. Pertama, bahwa setiap ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dikembangkan di Indonesia haruslah
tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kedua,
bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-
nilai Pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri. Ketiga,
bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi
pengembangan iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar
tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. Keempat,
bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi
bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indegenisasi
ilmu (mempribumian ilmu). Keempat pengertian Pancasila sebagai dasar
pengembangan ilmu sebagaimana dikemukakan di atas mengandung
konsekuensi yang berbeda-beda. Pengertian pertama bahwa iptek tidak
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mengandung
asumsi bahwa iptek itu sendiri berkembang secara otonom, kemudian dalam
perjalanannya dilakukan adaptasi dengan nilai-nilai Pancasila. Pengertian kedua
bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-
nilai Pancasila sebagai faktor internal mengandaikan bahwa sejak awal
pengembangan iptek sudah harus melibatkan nilai-nilai Pancasila. Namun,
keterlibatan nilai-nilai Pancasila ada dalam posisi tarik ulur, artinya ilmuwan
dapat mempertimbangkan sebatas yang mereka anggap layak untuk dilibatkan.
Pengertian ketiga bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif
bagi pengembangan iptek mengasumsikan bahwa ada aturan main yang harus
disepakati oleh para ilmuwan sebelum ilmu itu dikembangkan. Namun, tidak
ada jaminan bahwa aturan main itu akan terus ditaati dalam perjalanan
pengembangan iptek itu sendiri. Sebab ketika iptek terus berkembang, aturan

34
main seharusnya terus mengawal dan membayangi agar tidak terjadi
kesenjangan antara pengembangan iptek dan aturan main. Pengertian keempat
yang menempatkan bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari
budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri sebagai proses indegenisasi ilmu
mengandaikan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu, tetapi sudah menjadi paradigma ilmu yang berkembang di Indonesia.
Untuk itu, diperlukan penjabaran yang lebih rinci dan pembicaraan di kalangan
intelektual Indonesia, sejauh mana nilai-nilai Pancasila selalu menjadi bahan
pertimbangan bagi keputusan-keputusan ilmiah yang diambil.
b. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Apakah Anda menyadari bahwa kehadiran ilmu pengetahuan dan
teknologi di sekitar kita ibarat pisau bermata dua, di satu sisi iptek memberikan
kemudahan untuk memecahkan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang
dihadapi, tetapi di pihak lain dapat membunuh, bahkan memusnahkan peradaban
umat manusia. Contoh yang pernah terjadi adalah ketika bom atom yang
dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia Kedua. Dampaknya
tidak hanya dirasakan warga Jepang pada waktu itu, tetapi menimbulkan
traumatik yang berkepanjangan pada generasi berikut, bahkan menyentuh nilai
kemanusiaan secara universal. Nilai kemanusiaan bukan milik individu atau
sekelompok orang atau bangsa semata, tetapi milik bersama umat manusia.
Pentingnya Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu dapat ditelusuri ke
dalam hal-hal sebagai berikut. Pertama, pluralitas nilai yang berkembang dalam
kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini seiring dengan kemajuan iptek
menimbulkan perubahan dalam cara pandang manusia tentang kehidupan. Hal
ini membutuhkan renungan dan refleksi yang mendalam agar bangsa Indonesia
tidak terjerumus ke dalam penentuan keputusan nilai yang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa. Kedua, dampak negatif yang ditimbulkan kemajuan iptek
terhadap lingkungan hidup berada dalam titik nadir yang membahayakan
eksistensi hidup manusia di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan

35
tuntunan moral bagi para ilmuwan dalam pengembangan iptek di Indonesia.
Ketiga, perkembangan iptek yang didominasi negara-negara Barat dengan
politik global ikut mengancam nilai-nilai khas dalam kehidupan bangsa
Indonesia, seperti spiritualitas, gotong royong, solidaritas, musyawarah, dan cita
rasa keadilan. Oleh karena itu, diperlukan orientasi yang jelas untuk menyaring
dan menangkal pengaruh nilai-nilai global yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
kepribadian bangsa Indonesia.

2. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan


Ilmu
Pancasila diperlukan sebagai dasar nilai pengembangan iptek dalam
kehidupan bangsa Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama,
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh iptek, baik dengan dalih
percepatan pembangunan daerah tertinggal maupun upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius. Penggalian
tambang batubara, minyak, biji besi, emas, dan lainnya di Kalimantan,
Sumatera, Papua, dan lain-lain dengan menggunakan teknologi canggih
mempercepat kerusakan lingkungan. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut,
maka generasi yang akan datang, menerima resiko kehidupan yang rawan
bencana lantaran kerusakan lingkungan dapat memicu terjadinya bencana,
seperti longsor, banjir, pencemaran akibat limbah, dan seterusnya.
Kedua, penjabaran sila-sila Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
iptek dapat menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan
iptek yang berpengaruh pada cara berpikir dan bertindak masyarakat yang
cenderung pragmatis. Artinya, penggunaan benda-benda teknologi dalam
kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini telah menggantikan peran nilai-nilai
luhur yang diyakini dapat menciptakan kepribadian manusia Indonesia yang
memiliki sifat sosial, humanis, dan religius. Selain itu, sifat tersebut kini sudah

36
mulai tergerus dan digantikan sifat individualistis, dehumanis, pragmatis,
bahkan cenderung sekuler.
Ketiga, nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi simbol kehidupan di
berbagai daerah mulai digantikan dengan gaya hidup global, seperti: budaya
gotong royong digantikan dengan individualis yang tidak patuh membayar pajak
dan hanya menjadi free rider di negara ini, sikap bersahaja digantikan dengan
gaya hidup bermewah-mewah, konsumerisme; solidaritas sosial digantikan
dengan semangat individualistis; musyawarah untuk mufakat digantikan dengan
voting, dan seterusnya.

3. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila


sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pancasila sebagai pengembangan ilmu belum dibicarakan secara eksplisit
oleh para penyelenggara negara sejak Orde Lama sampai era Reformasi. Para
penyelenggara negara pada umumnya hanya menyinggung masalah pentingnya
keterkaitan antara pengembangan ilmu dan dimensi kemanusiaan (humanism).
Kajian tentang Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu baru mendapat
perhatian yang lebih khusus dan eksplisit oleh kaum intelektual di beberapa
perguruan tinggi, khususnya Universitas Gadjah Mada yang menyelenggarakan
Seminar Nasional tentang Pancasila sebagai pengembangan ilmu, 1987 dan
Simposium dan Sarasehan Nasional tentang Pancasila sebagai Paradigma Ilmu
Pengetahuan dan Pembangunan Nasional, 2006. Namun pada kurun waktu
akhir-akhir ini, belum ada lagi suatu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
Pancasila dalam kaitan dengan pengembangan Iptek di Indonesia. Ada beberapa
bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai dasar pengembangan iptek di
Indonesia:
a. Kapitalisme yang sebagai menguasai perekonomian dunia, termasuk
Indonesia. Akibatnya, ruang bagi penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
pengembangan ilmu menjadi terbatas. Upaya bagi pengembangan sistem

37
ekonomi Pancasila yang pernah dirintis Prof. Mubyarto pada 1980- an belum
menemukan wujud nyata yang dapat diandalkan untuk menangkal dan
menyaingi sistem ekonomi yang berorientasi pada pemilik modal besar.
b. Globalisasi yang menyebabkan lemahnya daya saing bangsa Indonesia
dalam pengembangan iptek sehingga Indonesia lebih berkedudukan sebagai
konsumen daripada produsen dibandingkan dengan negara-negara lain.
c. Konsumerisme menyebabkan negara Indonesia menjadi pasar bagi
produk teknologi negara lain yang lebih maju ipteknya. Pancasila sebagai
pengembangan ilmu baru pada taraf wacana yang belum berada pada tingkat
aplikasi kebijakan negara.
d. Pragmatisme yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu: workability
(keberhasilan), satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) (Titus, dkk., 1984)
mewarnai perilaku kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

4. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai


Pengembangan Ilmu untuk Masa Depan
Hakikat Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dikemukakan
Prof. Wahyudi Sediawan dalam Simposium dan sarasehan Pancasila sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, sebagai berikut:
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesadaran bahwa
manusia hidup di dunia ibarat sedang menempuh ujian dan hasil ujian akan
menentukan kehidupannya yang abadi di akhirat nanti. Salah satu ujiannya
adalah manusia diperintahkan melakukan perbuatan untuk kebaikan, bukan
untuk membuat kerusakan di bumi. Tuntunan sikap pada kode etik ilmiah dan
keinsinyuran, seperti: menjunjung tinggi keselamatan, kesehatan, dan
kesejahteraan masyarakat; berperilaku terhormat, bertanggung jawab, etis dan
taat aturan untuk meningkatkan kehormatan, reputasi dan kemanfaatan
professional, dan lain-lain, adalah suatu manifestasi perbuatan untuk kebaikan

38
tersebut. Ilmuwan yang mengamalkan kompetensi teknik yang dimiliki dengan
baik sesuai dengan tuntunan sikap tersebut berarti menyukuri anugrah Tuhan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan arahan, baik
bersifat universal maupun khas terhadap ilmuwan dan ahli teknik di Indonesia.
Asas kemanusiaan atau humanisme menghendaki agar perlakuan terhadap
manusia harus sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu memiliki
keinginan, seperti kecukupan materi, bersosialisasi, eksistensinya dihargai,
mengeluarkan pendapat, berperan nyata dalam lingkungannya, bekerja sesuai
kemampuannya yang tertinggi. Hakikat kodrat manusia yang bersifat mono-
pluralis, sebagaimana dikemukakan Notonagoro, yaitu terdiri atas jiwa dan raga
(susunan kodrat), makhluk individu dan sosial (sifat kodrat), dan makhluk
Tuhan dan otonom (kedudukan kodrat) memerlukan keseimbangan agar dapat
menyempurnakan kualitas kemanusiaannya.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia memberikan landasan esensial bagi
kelangsungan Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu,
ilmuwan dan ahli teknik Indonesia perlu menjunjung tinggi asas Persatuan
Indonesia ini dalam tugas-tugas profesionalnya. Kerja sama yang sinergis
antarindividu dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing akan
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada penjumlahan
produktivitas individunya (Wahyudi, 2006: 66). Suatu pekerjaan atau tugas yang
dikerjakan bersama dengan semangat nasionalisme yang tinggi dapat
menghasilkan produktivitas yang lebih optimal.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan memberikan arahan asa kerakyatan, yang
mengandung arti bahwa pembentukan negara republik Indonesia ini adalah oleh
dan untuk semua rakyat Indonesia. Setiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama terhadap negara. Demikian pula halnya dengan ilmuwan
dan ahli teknik wajib memberikan kontribusi sebasar-besarnya sesuai
kemampuan untuk kemajuan negara. Sila keempat ini juga memberi arahan

39
dalam manajemen keputusan, baik pada tingkat nasional, regional maupun
lingkup yang lebih sempit (Wahtudi, 2006: 68). Manajemen keputusan yang
dilandasi semangat musyawarah akan mendatangkan hasil yang lebih baik
karena dapat melibatkan semua pihak dengan penuh kerelaan.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia memberikan
arahan agar selalu diusahakan tidak terjadinya jurang (gap) kesejahteraan di
antara bangsa Indonesia. Ilmuwan dan ahli teknik yang mengelola industri perlu
selalu mengembangkan sistem yang memajukan perusahaan, sekaligus
menjamin kesejahteraan karyawan. Selama ini, pengelolaan industri lebih
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dalam arti keuntungan perusahaan
sehingga cenderung mengabaikan kesejahteraan karyawan dan kelestarian
lingkungan. Situasi timpang ini disebabkan oleh pola kerja yang hanya
mementingkan kemajuan perusahaan. Pada akhirnya, pola tersebut dapat
menjadi pemicu aksi protes yang justru merugikan pihak perusahaan itu sendiri.
Pentingnya Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, meliputi hal-
hal sebagai berikut:
a. Perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia dewasa ini tidak berakar pada
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga ilmu pengetahuan yang
dikembangkan di Indonesia sepenuhnya berorientasi pada Barat (western
oriented).
b. Perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia lebih berorientasi pada
kebutuhan pasar sehingga prodi-prodi yang “laku keras” di perguruan tinggi
Indonesia adalah prodi-prodi yang terserap oleh pasar (dunia industri).
c. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia belum
melibatkan masyarakat luas sehingga hanya menyejahterakan kelompok elite
yang mengembangkan ilmu (scientist oriented).

40

Anda mungkin juga menyukai