Anda di halaman 1dari 8

MANAJEMEN ZISWAF DI NEGARA LAIN

Aisyatur Ridha (202042023)


Wahyuni Fatimah Rambe (202042014)
Program Studi Perbankan Syariah, FEBI IAIN Lhokseumawe

Abstrak
Pola pengumpulan zakat di Indonesia menerapkan pembayaran dengan prinsip sukarela akan
tetapi zakat telah diintegrasikan dengan pajak sehingga dapat mengajukan klaim atas
pembayaran zakat. Di Sudan, pembayaran dilakukan dengan prinsip wajib bagi warganya
disertai sanksi bagi yang mengabaikan dan non-muslim wajib membayar pajak solidaritas
sosial. Sedangkan Kuwait, pembayaran dilakukan dengan prinsip wajib bagi perusahaan
swasta dan sukarela bagi individu. Selanjutnya dalam pola pendistribusian zakat, ketiga
negara tersebut menyalurkan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an yaitu kepada delapan asnaf
namun memiliki sedikit perbedaan dalam skala prioritas, yaitu : Indonesia memprioritaskan
penyaluran pada fakir miskin, Sudan memprioritaskan kepada kebutuhan masing-masing
mustahik dan diperbolehkan muzakki untuk membagikan kepada kerabat sebesat 20% dari
wajib zakat, dan Kuwait yang mengutamakan fakir miskin, orang membutuhkan dan
fisabilillah.
Kata kunci: Zakat, Lembaga Pengelola Zakat, Pola Pengumpulan, Pola Pendistribusian

A. Pendahuluan
Islam hadir ke muka bumi sebagai rahmatan lil ‘alamin, yakni rahmat bagi seluruh
alam. Tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta namun juga
mengatur hubungan antar manusia. Islam adalah syariat yang didalamnya dapat
memperbaiki keadaan masyarakat, menjamin keamanan harta, kehormatan dan segala
aspek kehidupan. Pilar-pilar dalam rukun Iman dan rukun Islam menjadi tolak ukur
untuk mencapai sempurnanya identitas sebagai muslim.
Sebagai bagian dari rukun Islam, menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi
individu Muslim yang telah memenuhi syarat tertentu. Perintah zakat tercantum
dalam Al-Qur’an Surat At-taubah ayat 103 yang berisi tentang perintah mengambil
zakat dari mereka yang telah mencapai nishab agar membersihkan dan mensucikan
hati, serta dapat menumbuhkan ketenteraman jiwa bagi mereka. Selanjutnya
dijelaskan pula dalam surat AtTaubah ayat 60 mengenai delapan golongan yang
berhak menerima zakat. Menurut Haasanah kata “zakat” disebutkan dalam Al-Qur’an
berulang kali dan sering bergandengan dengan kata “sholat”. Ini menunjukkan betapa
pentingnya lembaga zakat dalam pembangunan kehidupan yang manusiawi.1
Berdasarkan penelitian oleh Baznas pada tahun 2019 menunjukkan bahwa potensi
zakat nasional mencapai Rp 233,8 triliun. Nilai tersebut sama dengan 1,72 persen dari

1
Hassanain, K. M. A., dan Ali, A. E. E. S. (2016). Zakah for Poverty Alleviation : Evidence from
Sudan. International Research Journal of Finance and Econoic, (154), hal 42

1
PDB tahun 2017 yang senilai Rp.13.588,8 triliun. Namun, realisasi penerimaan zakat
Indonesia pada tahun 2017 hanya sebesar Rp 6,2 triliun atau kurang dari 1 %.2
Rendahnya realisasi penerimaan zakat di Indonesia menarik untuk diteliti lebih
jauh. Perlu dilakukan analisis mengenai pengelolaan zakat di Indonesia dengan
melakukan perbandingan pengelolaannya dengan beberapa negara muslim lainnya.
Pengelolaan zakat di berbagai negara yang mayoritas beragama Islam, umumnya
diatur dalam undang-undang.3 Dari lebih dari 56 negara anggota Islamic Development
Bank, baru ada 11 negara yang memiliki peraturan atau perundang-undangan
tersendiri tentang zakat, dengan berbagai variasi kewenangan, lingkup dan institusi
pendukungnya. Kesebelas negara itu adalah Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam,
Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, Libya, Sudan, Bahrain, Pakistan, dan Bangladesh.
Dari beberapa negara tersebut, Arab Saudi, Sudan, Yordania dan Pakistan adalah
negara yang mewajibkan warganya membayar zakat, sedangkan yang lainnya tidak
mewajibkan warganya membayar zakat yaitu Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan dan
Bangladesh.4
Umumnya, ada dua model pengelolaan zakat yang dikenal di dunia Muslim.
Pertama, zakat dikelola oleh negara dalam sebuah departemen. Pada model ini,
pengumpulan dan pendistribusian zakat ditetapkan oleh kebijakan pemerintah dengan
melihat pada kebutuhan masyarakat sehingga mirip seperti pajak yang dilakukan pada
negara-negara sekuler. Sistem pengelolaan zakat seperti ini bersifat langsung, artinya
bahwa warga masyarakat Muslim berkewajiban membayar zakat dengan cara
dipotong langsung dari harta yang dimilikinya.
Model kedua adalah zakat dikeola oleh lembaga non pemerintah (masyarakat
sipil) atau semi pemerintah dengan mengacu pada aturan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Oleh karena itu, pengelolaan zakat dilakukan oleh masyarakat sipil
dengan cara sukarela dan negara hanya bertindak sebagai fasilitator dan regulator.
Meskipun demikian, kedua model ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-
masing.
Melihat berbagai bentuk permodelan dalam pengelolaan zakat ini, peneliti tertarik
untuk meneliti lebih jauh mengenai pengelolaan zakat di Indonesia dengan melakukan
perbandingan pengelolaannya dengan beberapa negara muslim lainnya yaitu di Sudan
dan Kuwait.

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian
kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan mengalisis fenomena, peristiwa,

2
BAZNAS dan STEI. (2019). Indikator Pemetaan Potensi Zakat ( IPPZ ) (P. K. S.- B. A. Z. N. P.
BAZNAS dan S. A.-I. Cirebon, Eds.). Jakarta: Pusat Kajian Strategis - Badan Amil Zakat Nasional (PUSKAS
BAZNAS). Hal 117
3
Hassanain, K. M. A., dan Ali, A. E. E. S. (2016). Zakah for Poverty Alleviation : Evidence from
Sudan. International Research Journal of Finance and Econoic, (154), hal 42
4
BI dan UII. (2016). Pengelolaan Zakat Yang Efektif: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara (D. E.
dan K. S.- BI & P. F. E.-U. I. Indonesia, Eds.). Jakarta: Indonesia, Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah
- Bank Indonesia. Hal 180

2
aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi dan pemikiran manusia secara individu
maupun kelompok. 5
Selanjutnya pendekatan deskriptif dipilih terkait dengan tujuan penelitian untuk
menggambarkan fenomena pada obyek yang sedang diteliti untuk memberikan
gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomen. 6
Jadi, penelitian ini akan menggambarkan dan menganalisis fenomena untuk
memberikan gambaran yang detail mengenai tata kelola dan manajemen zakat di
negara Indonesia, Sudan dan Kuwait.
C. Pembahasan
Istilah zakat merupakan istilah khusus yang ada dalam agama Islam yang diambil
dari bahasa Arab yaitu “zakaa” yang berarti bertambah atau berkembang (BI dan UII,
2016: 58). Sedangkan secara terminologis, zakat mempunyai arti mengeluarkan
sebagian harta dengan persyaratan tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu
(mustahik) dengan persyaratan tertentu pula.7
Zakat adalah salah satu pilar dalam rukun Islam dan secara tegas diperintahkan
oleh Allah melalui firman-firman-Nya dalam kitab suci Al-Quran. Banyak sekali
firman Allah dalam kitab suci Al-Quran yang berisi perintah untuk membayar zakat
dan pentingnya perintah zakat ini disejajarkan dengan perintah untuk mendirikan
shalat.8 Menurut Hasanah kata “zakah” disebutkan sebanyak 82 kali dengan
menggunakan istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat, seperti shadaqah dan
infaq dan diantaranya bergandengan dengan kata “sholah”. Di antara redaksi perintah
Allah tentang zakat adalah pada surat AlBaqarah (2) ayat : 43, 83, 110, 177, 277
Harta yang akan diberikan kepada yang berhak harus memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan secara syara’. Syarat wajib zakat adalah merdeka, Islam, baligh dan
berakal, harta yang dikeluarkan adalah harta yang wajib dizakati, harta yang
disepakati telah mencapai nisab, harta yang dizakati adalah milik penuh, kepemilikan
harta telah mencapai satu tahun, harta tersebut bukan merupakan hasil hutang dan
harta yang dizakati melebihi kebutuhan pokok.
Secara garis besar, zakat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu zakat nafs (zakat
jiwa) yang dalam masyarakat dikenal dengan zakat fitrah dan zakat mal (zakat harta).
Sebagai sistem moral, zakat memiliki peran penting dalam membersihkan jiwa
dari sifat kikir dan rakus yang terkadang sudah menyebar kedalam setiap nadi
manusia dari mereka yang berlebih. Selain itu, zakat juga sekaligus membersihkkan
jiwa hasud, dengki dan iri dari mereka yang tidak punya dan yang lebih utama sebagai
sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan
ibadah tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Allah. Kahf (1997) dalam Norvadewi

5
Ghony, M. D., dan Almanshur, F. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif (R. T. Sari, Ed.).
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 13
6
Priyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif (T. Chandra, Ed.). Surabaya: Zifatama Publishing. Hal
37
7
Firmansyah. (2013). Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan Dan Kesenjangan
Pendapatan. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan, 21(2), Hal 180.
8
Adib, C. (2017). Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat Umat Islam Di Indonesia. Jurnal Nestor
Megister Hukum, hal 9

3
menyebutkan bahwa tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial
ekonomi.9
Peradaban Islam adalah cermin kultural dari kalangan elit yang dibangun dengan
kekuatan-kekuatan ekonomi dan perubahan sosial.10 Dalam sejarahnya, pengsyari’atan
zakat tampak seiring dengan upaya pembinaan tatanan sosial yang baru dibangun oleh
nabi Muhammad SAW setelah beliau hijrah dan terbentuknya pemerintahan di
Madinah. Sedangkan selama berada di Mekkah, fokus pembangunan keislaman ada
pada pembentukan aqidah, qashas dan akhlaq. Baru pada periode di Madinah, periode
pembangunan terjadi dalam segala bidang, tidak saja bidang aqidah dan akhlaq, akan
tetapi juga memperlihatkan bangunan mua’amalah dengan konteksnya yang sangat
luas dan menyeluruh. Termasuk bangunan ekonomi sebagai salah satu tulang
punggung bagi pembangunan umat Islam bahkan umat manusia secara keseluruhan.11
Dalam bahasa Arab, manajemen diartikan dengan nazzama yang berarti
menyiapkan, mengatur, mengontrol, menyusun, mengorganisir, mempersiapkan,
menyesuaikan, merencanakan. Secara terminologi, terdapat dua pengertian
manajemen yang mengemuka yaitu manajemen sebagai seni dan manajemen sebagai
proses. Lebih lanjut, menurut Mary Parker Follet menjelaskan bahwa manajemen
adalah “seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain”. Menurutnya karena
dalam kepemimpinan diperlukan kharisma, stabilitas emosi, kewibawaan, kejujuran,
kemampuan menjalin hubungan antar manusia yang semuanya banyak ditentukan
oleh bakat seseorang dan sukar dipelajari.
Secara operasional dan fungsional manajemen dapat dijelaskan secara rinci di
antaranya berkaitan dengan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controling).12
Proses awal dalam manajemen adalah dengan melakukan perencanaan. Secara
konseptual perencanaan merupakan proses pemikiran, penentuan sasaran dan tujuan
yang ingin dicapai, tindakan yang harus dilaksanakan, bentuk organisasi yang tetap
untuk mencapainya, dan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang
hendak dilaksanakan oleh lembaga zakat.
Dalam pelaksanaan kegiatan zakat, diperlukan pengelola yang profesional,
mempunyai kompetensi dan komitmen sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dan
tujuan organasisasi.
Dalam pengumpulan zakat, mustahik merupakan sasaran dan sumber dalam
menggali zakat sehingga Amil harus cakap dan pandai melakukan sosialisasi zakat,
baik melalui media masa, media cetak, media elektronik maupun secara langsung
dengan tujuan agar masyarakat semakin tumbuh kesadarannya terhadap pentingnya
ibadah zakat.
Secara konsepsional dan operasional pengawasan adalah suatu upaya sistematis,
untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan

9
Norvadewi. (2012). Optimalisasi peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan di indonesia. Mazahib.
Hal 68
10
Faisal. (2011). Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim Dan Indonesia (Pendekatan Teori
Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve). Analisis, XI(2), hal 246
11
Hidayat, Z. A. (2019). Reinterpretasi Zakat Pertanian Tinjauan Terhadap Teori Double Movement
Fazlur Rahman Berdasarkan Realita Sosial. IAIN Tulungagung. Hal 15
12
Abdullah, M. M. (2012). Manajemen Berbasis Syariah (B. R. Hakim, Ed.). Banjarmasin. Hal 19

4
balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah
ditentukan untuk menetapkan apakah terjadi suatu penyimpangan dan mengukur
signifikansi penyimpangan tersebut untuk mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya organisasi zakat telah
digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan organisasi.

D. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Pengelolaan Zakat di Indonesia
Pengelolaan zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2011. Terdapat beberapa pasal dalam UU tersebut yang menjadi
pijakan dalam prinsip utama pengelolaan zakat oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga
Amil Zakat agar bisa berjalan dengan baik sesuai dengan pola manajemen.
Di Indonesia, pembayaran zakat juga memiliki payung hukum, sekalipun tidak
“memaksa” sebagaimana di negara-negara Islam lainnya sehingga prinsip
pembayarannya bersifat sukarela.13 Andriani menyatakan bahwa model penerapan
pengelolaan zakat di Indonesia adalah partial model, dalam hal ini kewajiban
pembayaran zakat didasarkan oleh dorongan individu muslim dan agama yang
mewajibkannya dengan tegas (wajib syar’i) namun dalam ketatanegaraan zakat tidak
ditempatkan sebagai kewajiban (wajib siyasi) akan tetapi aturan atas zakat termuat
dalam regulasi negara. Selanjutnya sistem manajemen pengelolaan zakat di Indonesia
tergolong unik, karena pelaksanaan zakat di Indonesia dilakukan secara resmi terkait
dengan otoritas negara, namun masih mengikutsertakan kelompok masyarakat secara
luas .14
kompilasi hukum zakat dengan hukum pajak dilakukan oleh pemerintah pada
level legal formal. Tercantum dalam UU No. 23 pada pasal 22 bahwa zakat yang
dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ menjadi pengurang dari
penghasilan kena pajak. Selanjutnya dalam upaya optimalisasi pengelolaan zakat,
undangundang itu juga menyebutkan bahwa Lembaga Pengelola Zakat tidak hanya
mengelola zakat, tetapi juga mengelola infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan
kafarat.15
2. Karakteristik Pengelolaan Zakat di Sudan
Zakat pertama kali dikelola oleh negara pada masa Dinasti Mahdia tahun 1884
sampai 1898. Sejak runtuhnya dinasti tersebut, pengelolaan zakat di Sudan dilakukan
secara individu, sukarela, dan langsung diserahkan kepafa fakir miskin yang
membutuhkan Perjalanan sejarah zakat di Sudan hingga akhirnya dikelola oleh
Dewan Zakat melalui tahapan panjang. Pada tahun 1980, pemerintah Sudan
mengeluarkan zakat fund yang berbentuk korporasi. Selanjutnya pada tahun 1984
dikeluarkan Zakat Act atau Undang-Undang Zakat 1404, dimana kewajiban
mengelola zakat merupakan tanggung jawab negara melalui Direktorat Pajak

13
Faisal. (2011). Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim Dan Indonesia (Pendekatan Teori Investigasi-
Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve). Analisis, XI(2), hal 244
14
Nadhari, A. K. (2013). Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim. Economic: Jurnal Ekonomi Dan Hukum
Islam, 3(2), hal 60
15
Ascarya dan Yumanita, D. (2018). Analisis Rendahnya Pengumpulan Zakat di Indonesia dan
Alternatif Solusinya. Working Paper Bank Indonesia, 1–95. Retrieved from www.bi.go.id. Hal 20

5
meskipun masih bersifat sukarela. Uniknya pada masa ini tarif pajak yang dikenakan
kepada non muslim sama dengan tarif zakat.
UU zakat tahun 2001 (Zakat Act 2001) menjelaskan bahwa pengelolaan zakat di
Sudan dilaksanakan oleh Sudanese Zakah Chamber (SZC) atau Dewan Zakat sebagai
operator, dan Majelis Tinggi Kepengurusan Zakat sebagai legislator. Artinya, Dewan
Zakat bekerja berdasarkan arahan dan keputusan dari Majelis Tinggi Kepengurusan
Zakat. Dewan Zakat merupakan lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah
Sudan untuk melakukan pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat
sehingga Sudanese Zakah Chamber (SZC) atau Dewan Zakat bersifat otonom.
Mengenai jumlah anggota Dewan Zakat, tidak disebutkan dalam UU. Dewan Zakat
ada dua yaitu Dewan Zakat Pusat dan Dewan Zakat Provinsi. Untuk Dewan Zakat
Pusat, Sekretaris Jenderal menjadi penanggung jawab operasional kepada Majelis
Tinggi Kepengurusan Zakat, sedangkan untuk Dewan Zakat Provinsi, Sekretaris
Dewan Zakat Provinsi yang menjadi penanggung jawab operasional kepada Majelis
Tinggi Kepengurusan Zakat Provinsi. Baik Dewan Zakat Pusat maupun Dewan Zakat
Provinsi, keduanya tunduk dan bekerja sesuai dengan kebijakan dan rencana Majelis
Tinggi Kepengurusan Zakat maupun Majelis Kepengurusan Zakat provinsi sesuai
dengan tingkatannya.16
Penghimpunan zakat di Sudan berada satu atap dengan penghimpunan pajak
sehingga ada koordinasi antara otoritas negara dan lembaga zakat. Dalam hal ini,
pegawai pajak memiliki tugas untuk menyalurkan zakat. Dewan Zakat
mendelegasikan pendistribusikan zakat kepada Departemen Keuangan dan
Perencanaan Ekonomi Nasional. Kewajiban membayar zakat menjadi pengurang
kewajiban pajak pribadi dengan menunjukkan surat tanda lunas zakat yang diterbitkan
oleh Sekretaris Jenderal maupun Sekretaris sesuai dengan wilayahnya.
3. Karakteristik Pengelolaan Zakat di Kuwait
Perkembangan pengelolaan zakat di Kuwait dapat disimpulkan menjadi tiga tahap.
Pertama, zakat dikelola secara pribadi dan sukarela, langsung didistribusikan oleh
muzaki. Kedua, aktivitas kolektif. Ketiga, aktivitas terlembaga diawal abad ke 20
dengan berdirinya Perhimpunan Kebajikan Arab tahun 1931.
Dalam perkembanganya, pengelolaan zakat diarahkan pada otoritas dan
pengawasa negara yang direpresentasikan oleh dua kementerian, yaitu:Kementerian
Waqaf dan Urusan Islam yang tugasnya mengarahkan kerja Baituz Zakat Kuwait
sekaligus mengurus lembaga milik pemerintah, dan Kementerian Sosial dan Tenaga
Kerja yang tugasnya mengurusi lembaga zakat swasta. Pada 16 Januari 1982,
Pemerintah Kuwait menerbitkan UU No 5/ 82 tentang Pendirian Baituz Zakat.
Karakter utama dari peraturan zakat di Kuwait adalah:
a. Peran pemerintah terbatas untuk mengatur upaya pengumpulan dan distribusi zakat.
Untuk tujuan ini, lembaga otonom pemerintah telah membentuk afiliasi dengan
pelayanan wakaf, lembaga ini disebut Baituz Zakat.
b. UU dan peraturan yang terkait tidak memaksakan Baituz Zakat untuk menerima zakat
dan sumbangan. Baituz Zakat telah menetapkan bagian tertentu untuk menerima dan
menyalurkan zakat dalam bentuk tertentu. Di sisi lain, lembaga ini dapat menerima

16
Sari, A. C. (2017). Pengelolaan zakat di negara sudan. Jurnal Zakat Dan Wakaf, 4(2), hal 358

6
ushr serta zakat pada setiap jenis harta tetap selama hal itu diberikan kepada lembaga
atas dasar sukarela.
c. Karena Kuwait tidak memiliki pajak penghasilan atau pajak kekayaan, maka
peraturan tersebut tidak membuat referensi atau aturan apapun untuk konsesi pajak,
juga tidak menyebutkan kerahasiaan catatan dan informasi zakat.
UU zakat Kuwait No. 46 tahun 2006 tersebut mengatur dengan sangat detail
mengenai teknis pelaksanaan zakat perusahaan. Dalam UU tersebut juga memuat
mengenai sanksi bagi perusahaan yang melalaikan kewajibannya. Secara eksplisit
Exucutive law No. 16 UU Zakat Kuwait No. 46 menyatakan bahwa perusahaan yang
menolak membayar kewajibannya atau melakukan manipulasi data dalam upaya
rekayasa kewajiban pembayaran zakat atau pajaknya akan dikenakan sanksi penjara
paling lama tiga tahun dan denda paling besar lima ribu dinar atau jumlah lainnya
yang telah dipersyaratkan. Namun, bagi perusahaan yang menyatakan dalam laporan
keuangan mengalami kerugian, maka tidak diwajibkan membayar zakatnya.17
E. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,, dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
a. Praktik pengelolaan zakat dibawah UU RI No 23 tahun 2011 terpusat di tangan
pemerintah melalui BAZNAS, dan masyarakat dapat membentuk lembaga pengelola
zakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) atas izin menteri. Dalam melaksanakan
tugasnya BAZNAS diawasi oleh Menteri dalam bidang agama, Gubernur, dan dewan
pengawas syariah. Tidak ada landasan legal yang mewajibkan pembayaran zakat.
Zakat hanya bersifat wajib secara religius, tetapi telah terintegrasi dengan peraturan
pajak di mana wajib zakat dapat mengajukan klaim atas pembayaran zakatnya sebagai
pengurang zakat.
b. Dalam Undang-undang Zakat tahun 2001 (Zakat Act 2001) dijelaskan bahwa
pengelolaan zakat dilaksanakan oleh Sudanese Zakah Chamber (SZC) atau Dewan
Zakat sebagai operator, dan Majelis Tinggi Kepengurusan Zakat sebagai legislator.
Pembayaran zakat berprinsip wajib bagi warganya dengan disertai penerapan sanksi
bagi yang mengabaikan. Untuk non-Muslim di Sudan wajib membayar pajak
solidaritas sosial.
c. Pengelolaan zakat diatur dengan dua undang-undang yang berbeda yaitu UU No. 5
tahun mengatur tentang pembentukan Rumah Zakat (Zakah house) dibawah
pengawasan Menteri Wakaf dan Urusan Islam 1982 dan UU No. 46 mengatur tentang
administrasi zakat pada perusahaan bisnis dibawah institusi Kementrian Keuangan.
Pembayaran zakat berprinsip sukarela bagi individu namun wajib bagi perusahaan
swasta. Perusahaan swasta bebas dari kewajiban pajak namun wajib menyisihkan 1%
dari keuntungannya untuk keperluan pembayaran zakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. M. (2012). Manajemen Berbasis Syariah (B. R. Hakim, Ed.). Banjarmasin.

17
Andriani; Mairijani; Ainun, B. (2020). Zakat Perusahaan di Indonesia : Penerapan dan Potensinya
(1st ed.). Yogyakarta: Deepublish. Hal 55

7
Adib, C. (2017). Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat Umat Islam Di Indonesia. Jurnal
Nestor Megister Hukum,
Andriani; Mairijani; Ainun, B. (2020). Zakat Perusahaan di Indonesia : Penerapan dan
Potensinya (1st ed.). Yogyakarta: Deepublish.
Ascarya dan Yumanita, D. (2018). Analisis Rendahnya Pengumpulan Zakat di Indonesia dan
Alternatif Solusinya. Working Paper Bank Indonesia, 1–95. Retrieved from
www.bi.go.id.
BAZNAS dan STEI. (2019). Indikator Pemetaan Potensi Zakat ( IPPZ ) (P. K. S.- B. A. Z. N.
P. BAZNAS dan S. A.-I. Cirebon, Eds.). Jakarta: Pusat Kajian Strategis - Badan Amil
Zakat Nasional (PUSKAS BAZNAS).
BI dan UII. (2016). Pengelolaan Zakat Yang Efektif: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara
(D. E. dan K. S.- BI & P. F. E.-U. I. Indonesia, Eds.). Jakarta: Indonesia, Departemen
Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia.
Faisal. (2011). Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim Dan Indonesia (Pendekatan
Teori Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve).
Analisis, XI(2),
Firmansyah. (2013). Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan Dan Kesenjangan
Pendapatan. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan, 21(2).
Furqon, H. A. (2015). Manajemen zakat. Semarang.
Ghony, M. D., dan Almanshur, F. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif (R. T. Sari, Ed.).
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hassanain, K. M. A., dan Ali, A. E. E. S. (2016). Zakah for Poverty Alleviation : Evidence
from Sudan. International Research Journal of Finance and Econoic, (154).
Hidayat, Z. A. (2019). Reinterpretasi Zakat Pertanian Tinjauan Terhadap Teori Double
Movement Fazlur Rahman Berdasarkan Realita Sosial. IAIN Tulungagung.
Nadhari, A. K. (2013). Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim. Economic: Jurnal Ekonomi Dan
Hukum Islam, 3(2).
Norvadewi. (2012). Optimalisasi peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan di indonesia.
Mazahib.
Priyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif (T. Chandra, Ed.). Surabaya: Zifatama
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai