Anda di halaman 1dari 23

Tugas: Kelompok 2

AKUNTANSI SYARIAH
“AKAD-AKAD LAINNYA”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akuntansi Syariah
diampuh oleh Ibu Sitti Nurnaluri, SE., M.Si.

OLEH:

1. Ida Bagus Surya Saputra_B1C1 19 109


2. Inang Saslina_B1C1 19 110
3. Indar Wisya_B1C1 19 111
4. Inessya Tesalonika Wulolo_B1C1 19 112
5. Intan Rahmafita_B1C1 19 113
6. Ishbir Muhammad Echsan Effendi_B1C1 19 114
7. Jamia Nugrah_B1C1 19 115

Kelas C
Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan  kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nyalah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi
Syariah.
Dalam penyusunan makalah ini kelompok kami menemukan berbagai
kendala ,hambatan, dan tantangan, tetapi dengan kerja keras dan ridho Tuhan
Yang Maha Esa, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik,dan
semua itu tidak lepas dari dukungan, bantuan, dan dorongan dari orang-orang
yang berada di sekeliling kami. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan yang Maha Esa, Orang tua
tercinta, dan semua pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini.
Terutama terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Ibu Sitti Nurnaluri, SE.,
M.Si., selaku dosen mata kuliah ini karena telah memberikan arahan demi
terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan maupun kesalahan
dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca
sekalian sangat kami harapkan guna perbaikan kualitas dalam penyusunan
makalah selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
semua.

Kendari, 3 November 2021

Kelompok 2
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ..........................................................................
B. RUMUSAN MASALAH .....................................................................
BAB 2 PEMBAHASAN
A. AKAD SHARF ....................................................................................
B. AKAD WADIAH .................................................................................
C. AKAD AL-WAKALAH ......................................................................
D. AKAD AL-KAFALAH ........................................................................
BAB 3 PENUTUP
A. KESIMPULAN ....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam Hukum Islam diperintahkan untuk bekerja sekuat tenaga


untuk mencari rizki yang halal. Dalam menjalankan usahanya dilarang
melakukan transaksi riba dan dianjurkan untuk memanifestasikan
sejumlah nilai-nilai akhlaqul karimah seperti tolong-menolong. Prinsip At
Ta'awunadalah salah satu prinsip dalam Hukum Islam. Prinsip tolong-
menolong dalam ketakwaan merupakan salah satu faktor penegak agama
karena dengan tolong menolong akan menciptakan rasa saling memiliki di
antara umat sehingga akan lebih mengikat persaudaraan. Selain itu secara
lahiriah manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian
karena manusia butuh berinteraksi dengan sesamanya. Dengan tolong
menolonglah seorang muslim dapat dikatakan sebagai seorang muslim.
Tolong menolong yang dilakukan tidak hanya dalam lingkup yang kecil
seperti antara dua orang tapi juga dalam sebuah perkumpulan yang besar
termasuk dalam bisnis yang di dalamnya ada transaksi pembiayaan.
Salah satu bentuk aplikasi prinsip tolong menolong adalah dalam
akad qardh, yakni Qardhul Hasan. Akad Qardh merupakan salah satu
perwujudan prinsip tolong menolong dalam praktek bank syariah.
Perjanjian gardh adalah perjanjian pinjaman. Perjanjian qardh, pemberi
pinjaman (kreditor) memberikan pinjaman kepada pihak lain dengan
ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut
pada waktu yang telah diperjanjikan dengan jumlah yang sama ketika
pinjaman itu diberikan. Qardh ul-hasan merupakan perjanjian qardh untuk
tujuan sosial. Adalah tidak mustahil bagi suatu bank syariah yang
terpanggil untuk memberikan pinjaman-pinjaman kepada mereka yang
tergolong lemah ekonominya untuk memberikan fasilitasgardh ul-hasan.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Jelaskan mengenai Akad Sharf?


2. Jelaskan mengenai Akad Wadiah?
3. Jelaskan mengenai Akad Al-Wakalah?
4. Jelaskan mengenai Akad Al-Kafalah?
BAB 2
PEMBAHASAN

A. AKAD SHARF

1. Pengertian Akad Sharf


Sharf menurut bahasa adalah penambahan, penukaran,
penghindaran, atau transaksi jual beli. Sharf adalah transaksi jual beli
suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli atau pertukaran
mata uang, dapat dilakukan baik dengan mata uang yang sejenis
(misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya
rupiah dengan dolar atau sebaliknya).

(2)

VALUTA

(1)

PENJUAL PENBELI

VALUTA
(3)

Keterangan:
(1) Pembeli dan penjual menyepakati akad sharf
(2) Pembeli menyerahkan valuta kepada penjual
(3) Penjual menyerahkan valuta lain kepada pembeli

2. Sumber Hukum
Dari Abu Said al-Khudri r.a, Rasulullah SAW bersabda:
"Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran,
timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah
riba, perak dengan perak harus sama takaran, timbangan dan
tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, gandum
dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tangan ke
tangan (tunai). kelebihannya adalah riba, tepung dengan
tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan
(tunai), kelebihannya adalah riba, kurma dengan kurma harus
sama takaran, timbangan dan tangan ke langan (tunai),
kelebihannya adalah riba, garam dengan garam harus sama
takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai),
kelebihannya adalah riba.” (HR Muslim)
“Juallah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan
garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis
serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah
sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR Muslim)
“Rasulullah SAW melarang menjual perak dengan emas
secara piutang (tidak tunai).” (HR Muslim)
Umar bin Khattab mendengar seseorang menukarkan emas
sambil berkata ketika menerima tukarannya: “Tunggulah
penjagaku pulang dari hutan, lalu Umar berkata, “Demi Allah,
janganlah engkau berpisah dengannya sehingga terjadi proses
pertukarannya. Aku mendengar Rasulullah bersabda, tukar-
menukar emas dengan emas itu adalah riba, kecuali dilakukan
kontan dengan kontan. Gandum dengan gandum juga adalah
riba, kecuali dilakukan dengan kontan. Kurma dengan kurma
juga adalah riba, kecuali kontan dengan kontan.” (HR
Bukhari)
Emas, perak, kurma, gandum, anggur kering, dan garam adalah
contoh barang-barang ribawi atau barang yang secara kasat mata tidak
dapat dibedakan. Berdasarkan hadis di atas, dapat diartikan kalau
terjadi pertukaran sesama barang ribawi yang sejenis misalnya emas
dengan emas, perak dengan perak dan seterusnya harus sama
jumlahnya dan harus dari tangan ke tangan (tunai) karena kelebihannya
adalah riba. Begitu juga pertukaran untuk barang ribawi sejenis dengan
kualitas yang berbeda misalnya kurma berkualitas rendah dengan
kurma yang berkualitas lebih tinggi tetap harus dalam jumlah yang
sama (karena secara kasat mata tidak dapat dibedakan) dan tunai. Cara
lain dapat ditempuh untuk memperoleh barang ribawi yang kualitasnya
berbeda adalah dengan cara menjual kurma yang berkualitas lebih
rendah atau lebih tinggi terlebih dahulu, lalu uang yang didapatkan
digunakan untuk membeli kurma yang berkualitas berbeda.
Pada zaman Rasulullah, mata uang dinyatakan dalam satuan mata
uang Dinar (yang terbuat dari emas) dan Dirham (yang terbuat dari
perak). Dari hadis di atas dapat kita analogikan, pertukaran mata uang
yang sama harus sama jumlahnya dan tunai, misalnya uang Rp100.000
ditukar dengan uang Rp1.000 sebanyak 100 lembar tidak boleh kurang
dan tidak boleh lebih dan tunai. Sementara pertukaran untuk mata uang
yang berbeda (dalam hadis emas dan perak) misalnya ringgit Malaysia
dengan rupiah dibolehkan jumlahnya berbeda (contoh: RM 1 dengan
Rp2.500) asalkan dilakukan secara tunai/tidak boleh utang.
Menurut ajaran Islam, uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan
bukan merupakan komoditas. Tanpa didayagunakan, uang tidak dapat
menghasilkan pendapatan atau keuntungan dengan dirinya sendiri.
Apabila uang dapat “bertambah” tanpa didayagunakan, maka
tambahan itu adalah riba. Uang baru dapat menghasilkan keuntungan
atau kelebihan apabila didayagunakan atau diinvestasikan bersama
dengan sumber daya lainnya.
Terdapat 4 (empat) jenis transaksi pertukaran valuta asing, adalah
sebagai berikut.
1. Transaksi "Spot," yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas
dan penyerahannya pada saat itu atau penyelesaiannya maksimal
dalam jangka waktu dua hari, transaksi ini dibolehkan secara
syariah, karena dianggap tunai. Fleksibilitas waktu 2 hari adalah
proses yang tidak bisa dihindari dan merupakan batas normal suatu
transaksi internasional.
2. Transaksi “Forward," yaitu transaksi pembelian dan penjualan
valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan
untuk waktu yang akan datang. Jenis transaksi seperti ini tidak
diperbolehkan dalam syariah (ada unsur ketidakpastian/gharar),
karena harga yang dipergunakan adalah harga yang diperjanjikan
(muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari dan
harga pada waktu penyerahan belum tentu sama dengan harga yang
disepakati. Contoh: tanggal 1 September, Nona Lala melakukan
transaksi dengan Nona Tata akan membeli sebanyak $100.000
nanti pada tanggal 20 Desember dengan kurs $1 = Rp9.500.
Transaksi ini mengikat kedua belah pihak, maka pada tanggal 20
Desember Tata akan menyerahkan $100.000 dan Lala
menyerahkan Rp950 juta, berapa pun kurs rupiah terhadap dolar
pada tanggal tersebut. Apabila kurs sebesar $1 = Rp 9.200 maka
Lala rugi sebesar Rp30 juta; sedangkan Tata untung Rp30 juta;
sehingga ada satu pihak diuntungkan dan ada pihak yang
dirugikan. Hal ini sama dengan memperoleh harta secara batil (QS
4:29).
3. Transaksi “Swap" yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan
valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian
atau penjualan valas yang sama dengan harga forward, hukumnya
haram karena ada unsur spekulasi/judi/maisir. Misalnya Nona Lala
saat ini (1 September) membeli $100.000 dengan kurs saat ini $1 =
Rp9.000 pada Nona Tata. Nona Lala dan Tata melakukan kontrak/
perjanjian yaitu 4 bulan lagi mereka akan menukarkan kembali
yaitu Tata akan membeli $100.000 dengan kurs yang ditentukan
saat ini (1 September) sebesar $1 = Rp9.500. Dari transaksi ini ada
unsur spekulasi, dan tidak dibolehkan secara syariah.
4. Transaksi "Option", yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam
rangka membeli (call option) atau hak untuk menjual (put option)
yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valas pada harga dan
jangka waktu atau tanggal tertentu, hukumnya haram karena ada
unsur spekulasi/judi/ maisir. Contoh: Tuan Joni adalah pihak yang
menjual hak opsi dapat berupa call option atau put option dengan
harga premi Rp100 (hak jual atau hak beli untuk setiap 1 dolar).
Opsinya berupa hak untuk membeli atau menjual dolar pada waktu
yang telah ditetapkan (tanggal exercise dari tanggal 1 September-1
November) dengan harga $1 = Rp9.000. Apabila satu pihak
memprediksi harga lebih tinggi maka dia akan membeli call option
apabila sebaliknya maka ia akan membeli put option. Maka dalam
kurun waktu atau pada tanggal akhir berlakunya hak (sesuai
kesepakatan), pemegang hak mempunyai pilihan untuk
menggunakan haknya atau tidak. Apabila ternyata kurs $1 =
Rp8.700 maka yang memiliki hak membeli (call option) tidak akan
mengambil opsi untuk membeli karena kalau dilakukan berarti
setiap $1 ia rugi sebesar Rp400 (300 + 100) sedangkan bila tidak
dieksekusi maka dia hanya rugi sebesar premi hak opsi yaitu
Rp100. Sedangkan yang mempunyai opsi jual dia akan melakukan
aksi penjualan karena dia akan diuntungkan sebesar Rp200 (300 -
100) untuk setiap $1.
Dengan demikian, secara syariah transaksi pertukaran valuta asing
dibolehkan sepanjang dilakukan secara tunai dan tidak digunakan
untuk tujuan spekulasi. Bila penjualannya tunai tapi kalau tujuannya
untuk spekulasi, tetap tidak dibolehkan karena seperti yang sudah
dijelaskan di atas liang bukanlah komoditas.
Kalau tujuannya untuk tabungan atau keperluan transaksi misalnya
ingin pergi haji atau anak kuliah di luar negeri , boleh saja ia
menyimpan dalam bentuk valas. Sedangkan transaksi pertukaran valas
tidak tunai tidak diperbolehkan dengan alasan apapun, sesuai dengan
hadis di atas.
3. Rukun dan Ketentuan Syariah
a. Rukun transaksi sharf terdiri atas:
 pelaku, antara lain pembeli dan penjual;
 objek akad berupa mata uang;
 ijab kabul/serah terima.
b. Ketentuan syariah, yaitu sebagai berikut.
 Pelaku, harus cakap hukum dan baligh.
 Objek akad
1) Nilai tukar atau kurs mata uang telah diketahui oleh kedua
belah pihak, misalnya $1 = Rp9.000.
2) Valuta yang diperjualbelikan telah dikuasai, baik oleh
pembeli maupun oleh penjual, sebelum keduanya berpisah.
Penguasaan bisa berbentuk material maupun hukum.
Penguasaan secara material misalnya pembeli langsung
menerima dolar Amerika Serikat yang dibeli dan penjual
langsung menerima uang rupiah. Adapun penguasaan
secara hukum, misalnya pembayaran dengan menggunakan
cek. Apabila keduanya berpisah sebelum menguasai
masing-masing uang penukaran berdasarkan nilai tukar
yang diperjualbelikan, maka akadnya batal karena syarat
penguasaan terhadap objek transaksi sharf itu tidak
terpenuhi.
3) Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu
dari jenis yang sama, maka jual beli mata uang itu harus
dilakukan dalam kuantitas yang sama, sekalipun model dari
mata uang itu berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah
lembaran Rp50.000 ditukar dengan mata uang rupiah
lembaran Rp5.000 sebanyak 10 lembar.
4) Dalam akad sharf tidak boleh ada hak khiyar syarat bagi
pembeli. Hak yang dimaksud khiyar syarat adalah hak pilih
bagi pembeli untuk dapat melanjutkan atau tidak
melanjutkan jual beli mata uang tersebut setelah akadnya
selesai dan syarat tersebut diperjanjikan ketika transaksi
jual beli berlangsung. Alasan tidak diperbolehkannya
khiyar syarat adalah untuk menghindari adanya
ketidakpastian/gharar.
5) Dalam akad sharf tidak boleh terdapat tenggang waktu
antara penyerahan mata uang yang saling dipertukarkan,
karena sharf dikatakan sah apabila penguasaan objek akad
dilakukan secara tunai atau dalam kurun waktu 2 24 jam
(harus dilakukan seketika itu juga dan tidak boleh diutang)
dan perbuatan saling menyerahkan itu harus telah
berlangsung sebelum kedua belah pihak yang melakukan
jual beli valuta itu berpisah.
 Ijab kabul: pernyataan dan ekspresi saling ridha/rela di antara
pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis,
melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.

4. Perlakuan Akuntansi Akad Sharf


a. Saat membeli valuta asing, jurnalnya:
Dr. Kas (Dolar) XXX
Cr. Kas (Rp) XXX
b. Saat dijual, jurnalnya:
Dr. Kas (rupiah) XXX
Dr. Kerugian* XXX
Cr. Keuntungn** XXX
Cr. Kas (dolar) XXX
Keterangan:
* jika harga beli valas lebih besar dari pada harga jual
**jika harga beli valas lebih kecil dari pada harga jual

Untuk tujuan laporan keuangan di akhir periode, aset moneter


(piutang dan utang) dalam satuan valuta asing akan dijabarkan dalam
satuan rupiah dengan menggunakan nilai kurs tengah Bank Indonesia
pada tanggal laporan keuangan. Jurnal penyesuaiannya adalah sebagai
berikut.
Jika nilai kurs tengah Bi lebih kecil dari nilai kurs tanggal
transaksi, jurnal pencatatannya:
Dr. Kerugian XXX
Cr. Piutang (valas) XXX
Dr. Utang (valas) XXX
Cr. Keuntungan XXX
Jika nilai kurs tengah BI lebih besar dari nilai kurs tanggal
transaksi, jurnal pencatatannya:
Dr. Piutang (valas) XXX
Cr. Keuntungan XXX
Dr. Kerugian XXX
Cr. Utang (valas) XXX

B. AKAD WADIAH

1. Pengertian Akad Wadiah


Wadiah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada
pihak lain yang bukan pemiliknya, untuk tujuan keamanan. Wadiah
adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada
pihak yang menerima titipan dengan catatan kapan pun titipan diambil
pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang
titipan tersebut dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian
barang titipan.
Dalam akad hendaknya dijelaskan tujuan wadiah, cara
penyimpanan, lamanya waktu penitipan, biaya yang dibebankan pada
pemilik barang dan hal-hal lain yang dianggap penting.

2. Jenis Akad Wadiah (PSAK 59)


a. Wadiah amanah, yaitu wadiah di mana uang/barang yang dititipkan
hanya boleh disimpan dan tidak boleh didayagunakan. Si penerima
titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan
yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara
titipan tersebut. Contoh: titipan barang di pusat perbelanjaan.

(1)

(2)
MUWADDI
MUSTAWDA

(3)

Keterangan:
(1) Pihak yang menitipkan menyepakati akad wadiah dengan
penerima titipan.
(2) Pihak yang menitipka menyerahkan barang untuk disimpan
oleh penerima titipan.
(3) Penerima titipan menyerahkan barang kembali kepada pihak
yang menitipkan ketika diminta
b. Wadiah yadh dhamanah, yaitu wadiah di mana si penerima titipan
dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin
pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut
secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendakinya. Hasil dari
pemanfaatan barang tidak wajib dibagihasilkan dengan pemberi
titipan. Namun penerima titipan boleh saja memberikan bonus dan
tidak boleh dijanjikan sebelumnya kepada pemilik barang. Contoh:
Tabungan dan Giro Tidak Berjangka dengan akad wadiah.

3. Sumer Hukum
a. Al-Quran:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya....." (QS 4:58)
”.....Maka, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanutnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya..." (QS 2:283)
b. As-Sunah
“Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang memberi
amanat kepadamu dan jangan kamu mengkhianati orang
yang mengkhianatimu.” (HR Abu Dawud dan Al Tirmidzi)
Dari kedua ayat tersebut jelaslah bahwa amanat itu hanya sekadar
titipan dan harus dijaga serta dikembalikan kepada pemiliknya.

4. Rukun dan Keuntungan Syariah


a. Rukun wadiah ada tigat, yaitu sebagai berikut:
 Pelaku yang terdiri atas pemilik barang/pihak yang menitip
(muwaddi') dan pihak yang menyimpan (mustawda').
 Objek wadiah berupa barang yang dititipkan (wadiah).
 Ijab kabul/serah terima.
b. Ketentuan syariah, yaitu sebagai berikut.
 Pelaku harus cakap hukum, baligh serta mampu menjaga serta
memelihara barang titipan.
 Objek wadiah, benda yang dititipkan tersebut jelas dan
diketahui spesifikasinya oleh pemilik dan penyimpan.
 Ijab kabul/serah terima, adalah pernyataan dan ekspresi saling
rida/rela di antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan
secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.

5. Perlakuan Akuntansi Wadiah


Pencatatan akuntansi wadiah bagi pihak pemilik barang dan bagi
pihak penyimpan barang adalah sebagai berikut.
Bagi Pihak Pemilik Barang
a. Pada saat menyerahkan barang (menerima tanda terima penitipan
barang) dan membayar biaya penitipan (menerima tanda terima
pembayaran), jurnal:
Dr. Beban Wadiah XXX
Cr. Kas XXX
Jika biaya penitipan belum dibayar, jurnal:
Dr. Beban Wadiah XXX
Cr. Utang XXX
b. Pada saat mengambil barang dan membayar kekurangan biaya
penitipan, jurnal:
Dr. Utang XXX
Cr. Kas XXX
Bagi Pihak Penyimpan Barang
a. Pada saat menerima barang (mengeluarkan tanda terima barang)
dan penerimaan pendapatan penitipan embuat tanda terima
pembayaran), jurnal:
Dr. Kas XXX
Cr. Pendapatan Wadiah XXX
b. Jika biaya penitipan belum dibayar, jurnal:
Dr. Piutang XXX
Cr. Pendapatan Wadiah XXX
c. Pada saat menyerahkan barang dan menerima pembayaran
kekurangan pendapatan penitipan (mengeluarkan tanda penyerahan
barang), jurnal:
Dr. Kas XXX
Cr. Piutang XXX

C. AKAD AL-WAKALAH (DEPUTYSHIP/AGEN/WAKIL)

1. Pengertian Akad Wakalah


Al Wakalah atau Al Wikalah atau At Tahwidh artinya penyerahan,
pendelegasian atau pemberian mandat (Sabiq, 2008). Akad wakalah
adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain
dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Sebabnya adalah tidak semua
hal dapat diwakilkan contohnya shalat, puasa, bersuci, qishash, talak,
dan lain sebagainya.

(1)
MUTAWAKIL WAKIL

(2)

(3)
Pelaksanaan
wakalah

Keterangan:
(1) Pemberi kuasa menyepakati pemberian hak tertentu kepada pihak
yang menerima kuasa.
(2) Penerima kuasa melaksanakan wakalah.
(3) Setelah akad berakhir, penerima kuasa mengembalikan objek yang
dikuasakan.
Dalam menjalani kehidupan ini, sering kali manusia tidak dapat
menyelesaikan semua urusannya sendiri sehingga perlu pihak lain
untuk mewakilinya. Misalnya orang tua sedang pergi ke luar kota
sehingga tidak dapat mengambil raport anaknya dan meminta adiknya
mewakili dirinya untuk mengambilkan raport, atau tidak dapat
menghadiri rapat sehingga diwakilkan. Contoh lain adalah mewakilkan
dalam pembelian barang, pengiriman uang, pembayaran utang,
penagihan utang, realisasi letter of credit, dan lain sebagainya.
Wakalah dalam pendelegasian pembelian barang, terjadi dalam
situasi di mana seseorang (perekomendasi) mengajukan calon atau
menunjuk orang lain untuk mewakili dirinya membeli sesuatu. Orang
yang meminta diwakilkan (muwakkil) harus menyerahkan sejumlah
uang secara penuh sebesar harga barang yang akan dibeli kepada
agen/pihak yang mewakili (wakil) dalam suatu kontrak wadiah. Agen
(wakil) membayar pihak ketiga dengan menggunakan titipan
muwakkil untuk membeli barang.
Agen (wakil) boleh menerima komisi (al-ujr) dan boleh tidak
menerima komisi (hanya mengharap rida Allah/tolong-menolong).
Tetapi bila ada komisi atau upah maka akadnya seperti akad
ijarah/sewa menyewa. Wakalah dengan imbalan disebut dengan
wakalah bil ujrah, bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara
sepihak.
2. Sumber Hukum
a. Al-Quran
"... maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu itu....” (QS 18:19)
“jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.”
(QS 12:55)
"...Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya.” (QS 17:34)
b. As-Sunah
Diriwayatkan dari Busr bin ibn Sa'diy al Maliki berkata:
“Umar mempekerjakan saya untuk mengambil sedekah (zakat).
Setelah selesai dan sesudah saya menyerahkan zakat kepadanya,
memerintahkan agar saya diberi imbalan (fee)”. Saya berkata:
"Saya bekerja hanya karena Allah". Umar menjawab: "Ambillah
apa yang kamu beri; saya pernah bekerja (seperti kamu) pada
masa Rasul, lalu beliau memberiku imbalan; saya pun berkata
seperti apa yang kamu katakan”. Kemudian Rasul bersabda
kepada saya: “Apabila kamu diberi sesuatu tanpa kamu minta;
makanlah (terimalah) dan bersedekahlah”. (HR Bukhori Muslim)

3. Rukun dan Ketentuan Syariah


a. Rukun wakalah ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:
 Pelaku yang terdiri dari pihak pemberi kuasa/muwakkil dan
pihak yang diberi kuasa/wakil.
 Objek akad berupa barang atau jasa,
 Ijab kabul/serah terima.
b. Ketentuan syariah, yaitu sebagai berikut.
1) Pelaku
 Pihak pemberi kuasa/pihak yang meminta diwakilkan
(muwakkil), antara lain: 1) pemilik sah yang dapat
bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan; 2) orang
mukalaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu,
yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti
mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan
sebagainya.
 Pihak penerima kuasa (wakil): 1) harus cakap hukum; 2)
dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.

2) Objek yang dikuasakan/diwakilkan/taukil


 Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili
 Tidak bertentangan dengan syariah Islam
 Dapat diwakilkan menurut syariah Islam
 Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai
 Kontrak dapat dilaksanakan
c. Ijab kabul adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara
pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis,
melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi
modern.

4. Berakhirnya Akad Wakala


a. Salah seorang pelaku meninggal dunia atau hilang akal, karena jika
ini terjadi salah satu syarat wakalah tidak terpenuhi.
b. Pekerjaan yang diwakilkan sudah selesai.
c. Pemutusan oleh orang yang mewakilkan.
d. Wakil mengundurkan diri.
e. Orang yang mewakilkan sudah tidak memiliki status kepemilikan
atas sesuatu yang diwakilkan.

5. Perlakuan Akuntansi Al-Wakalah


Bagi pihak yang mewakilkan Wakil/Penerima kuasa
a. Pada saat menerima imbalan tunai (tidak berkaitan dengan jangka
waktu), jurnal:
Dr. Kas XXX
Cr. Pendapatan Wakalah XXX
b. Pada saat membayar beban, jurnal:
Dr. Beban Wakalah XXX
Cr. Kas XXX
c. Pada saat diterima pendapatan untuk jangka waktu dua tahun di
muka, jurnal:
Dr. Kas XXX
Cr. Pendapatan Wakalah Diterima di Muka XXX
d. Pada saat mengakui pendapatan wakalah akhir periode, jurnal:
Dr. Pendapatan Wakalah Diterima di Muka XXX
Cr. Pendapatan Wakalah XXX
Bagi pihak yang Meminta Diwakilkan
 Pada saat membayar ujr/ komisi, jurnal:
Dr. Beban Wakalah XXX
Cr. Kas XXX
D. AKAD AL-KAFALAH (JAMINAN)

1. Pengertian Akad Kafalah


Kafalah disebut juga dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan
za'amah (tanggungan). (Sayid Sabiq, 1997). Akad kafalah yaitu
perjanjian pemberian jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafi'il)
kepada pihak ketiga (makfullahu) untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua atau pihak yang ditanggung (makful anhulashil).
Secara teknis akad kafalah merupakan perjanjian antara seseorang
yang memberikan penjaminan (penjamin) kepada seorang kreditur
yang memberikan utang kepada seorang debitur, di mana utang debitur
akan dilunasi oleh penjamin apabila debitur tidak membayar utangnya.
Contoh akad kafalah garansi bank (bank guarantee), stand by Letter of
Credit, pembukaan L/C impor, akseptasi, endorsement, dan lain
sebagainya.
Kafalah bisa atas sesuatu yang bersifat segera misalnya utang yang
harus segera dilunasi atau sesuatu di masa depan. Kafalah dapat juga
bersyarat, misalnya kalau kamu pinjamkan uang pada adikku maka aku
akan jamin utangnya.
Kafalah merupakan salah satu jenis akad tabarru' yang bertujuan
untuk saling tolong-menolong. Namun, penjamin dapat menerima
imbalan sepanjang tidak memberatkan. Apabila ada imbalan maka
akad kafalah bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan secara
sepihak.

(2)
KAAFIL MAKFUL

(1)

MAKFUL’ALAIHI
Keterangan:
(1) Penanggung bersedia menerima tanggungan dan pihak yang
ditanggung.
(2) Penanggung menyepakati akad kafalah dengan pihak ketiga.

2. Sumber Hukum
a. Al-Quran
“Dan Dia (Allah) menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya
(Maryam)”. (QS 3:37)
“Dan bagi siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya.” (QS 12:72)
b. As-Sunah
Dari Abi Humamah, bahwa Rasulullah bersabda : “Penjamin
adalah orang yang berkewajiban mesti membayar”. (HR Abu
Dawud, At Tirmidzi)
Telah dihadapkan kepada Rasulullah (mayat seorang lelaki
untuk dishalatkan)... Rasulullah bertanya “Apakah dia
mempunyai warisan?" Para sahabat menjawab “Tidak”,
Rasulullah bertanya lagi, “Apakah dia mempunyai utang?”
Para sahabat menjawab. “Ya, sejumlah tiga dinar” Rasulullah
pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi
beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “saya
menjamin utangnya ya Rasulullah”. Maka Rasulullah pun
menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari)

3. Rukun dan ketentuan Syariah


a. Rukun kafalah ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:
 Pelaku, yang terdiri atas pihak penjamin, pihak yang berutang,
dan pihak yang berpiutang.
 Objek akad berupa tanggungan pihak yang berutang baik
berupa barang, jasa, maupun pekerjaan.
 Ijab kabul/serah terima.
b. Ketentuan syariah, yaitu sebagai berikut.
1) Pelaku
 Pihak Penjamin (Kafiil): Baligh (dewasa) dan berakal
sehat; Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum
dalam urusan hartanya dan rela (rida dengan tanggungan
kafalah tersebut.
 Pihak Orang yang Berutang (Ashiil, Makful 'anhu):
Sanggup menyerahkan tanggungannya (utang) kepada
penjamin; Dikenal oleh penjamin.
 Pihak Orang yang Berpiutang (Makful Lahu): Diketahui
identitasnya; Dapat hadir pada waktu akad atau
memberikan kuasa; Berakal sehat.
2) Objek Penjaminan (Makful Bihi)
 Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik
berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
 Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
 Harus merupakan utang mengikat, yang tidak mungkin
hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
 Harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya.
 Tidak bertentangan dengan syariah.
3) Ijab Kabul, adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di
antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal,
tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.

4. Berakhirnya Kafalah
a. Ketika utang telah diselesaikan, baik oleh orang yang berutang atau
oleh penjamin, atau jika kreditur menghadiahkan atau
membebaskan utangnya kepada orang yang berutang.
b. Kreditur melepaskan utangnya kepada orang yang berutang, tidak
pada penjamin. Maka penjamin juga bebas untuk tidak menjamin
utang tersebut. Namun, jika kreditur melepaskan jaminan dari
penjamin, bukan berarti orang yang berutang telah terlepas dari
utang tersebut.
c. Ketika utang tersebut telah dialihkan (transfer utang/hawalah).
Dalam kasus ini baik orang terutang atau pun penjamin terlepas
dari tuntutan utang tersebut.
d. Ketika penjamin menyelesaikan ke pihak lain melalui proses
arbitrase dengan kreditur.
e. Kreditur dapat mengakhiri kontrak kafalah walaupun penjamin
tidak menyetujuinya.

5. Perlakuan Akuntansi Al-Kafalah


Bagi Pihak Penjamin
a. Pada saat menerima imbalan tunai (tidak berkaitan dengan jangka
waktu), jurnal:
Dr. Kas XXX
Cr. Pendapatan Kafalah XXX
b. Pada saat membayar beban, jurnal:
Dr. Beban Kafalah XXX
Cr. Kas XXX

Bagi pihak yang Meminta Jaminan


 Pada saat membayar beban, jurnal:
Dr. Beban Kafalah XXX
Cr. Kas XXX

E. ILUSTRASI KASUS

PT A menitipkan emas yang dimilikinya kepada Bank X untuk disimpan


dalam safety box. Biaya yang dikeluarkan oleh PT A untuk hal tersebut
adalah Rp300.000,00/bulan dan pembayaran dilakukan dimuka untuk
periode 1 tahun. Buatlah jurnal untuk pembayaran dan pembeban biaya
oleh PT A dan Bank X!
Penyelesaian:
 Jurnal untuk pemilik barang (PT A)
Beban Wadiah Rp3.600.000,00
Kas Rp3.600.000,00
(Rp300.000,00 x 12 bulan)
 Jurnal untuk penyimpan barang (Bank X)
Kas Rp3.600.000,00
Pendapatan Wadiah Rp3.600.000,00
BAB 3

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Menurut terminologi hukum Islam akad adalah pertalian antara


penyerahan (ijab) dan penerimaan (qobul) yang dibenarkan oleh syariah
yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Aplikasi dalam
Perbankan Akad qard biasanya diterapkan sebagai produk perlengkapan
kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya, yang
membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek.
Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang
dipinjamnya itu. Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan
seseorang kepada tanggungan orang lain. Adapun akad-akad lainnya yang
dibahas dalam makalah ini yaitu:
a. Akad Sharf adalah transaksi jual beli suatu valuta dengan valuta
lainnya.
b. Akad Wadiah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai
uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan
kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib
menyerahkan kembali uang/barang titipan tersebut dan yang
dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
c. Akad Wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak
kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
d. Akad Kafalah yaitu perjanjian pemberian jaminan yang diberikan
oleh penanggung (kafi'il) kepada pihak ketiga (makfullahu) untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau pihak yang ditanggung
(makful anhulashil).
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma, Andi. 2020. KLP 5 Makalah Akad-Akad Lainnya. (online). Tersedia:


https://id.scribd.com/document/466223898/Klp-5-Makalah-Akad-akad-
lainnya-doc [Diakses, 7 November 2021].

Nurhayati, Sri, & Wasilah. 2015. Akuntansi Syariah Di Indonesia, Edisi 4. Jakarta
Selatan: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai