Anda di halaman 1dari 8

PELAYANAN PASTORAL

PERNIKAHAN KRISTEN

PENGANTAR
Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia… Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
(Kej. 2:18-25).
Berdasarkan pada ayat Alkitabiah tersebut, ada sejumlah nilai teologis yang telah berkembang dalam
pelayanan gereja dari zaman ke zaman yang perlu ditegaskan sebagai pedoman bagi pelayanan GMIT masa
kini. Seiring dengan itu, perlu disadari juga bahwa pernikahan sudah menjadi sebuah lembaga sosial yang
hampir dapat dikatakan universal. Sebagaimana agama dan bahasa memiliki bentuknya yang khas pada
setiap suku bangsa di dunia, demikian pula setiap budaya suku juga menata hubungan-hubungan antar
manusia dengan sejumlah norma, ritus, dalam kerangka lembaga sosial, termasuk yang kita sebut
“pernikahan.”1 Norma-norma dalam budaya lokal tersebut sangat beraneka ragam, namun hidup subur di
semua komunitas manusia.
Pemahaman GMIT mengenai pernikahan didasarkan pada pengajaran Alkitab mengenai seksualitas
yang kudus yaitu seksualitas yang terwujud dalam lembaga pernikahan yang sah menurut iman Kristen. Ada
dua aspek dalam pernikahan Kristen yaitu relasi/rekreasi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang disebut suami-istri dan bertujuan untuk menghadirkan kebaikan dan kegembiraan hidup bersama, dan
prokreasi yang membatasi relasi seksual dalam ikatan suami-istri dalam kesadaran bahwa memiliki
keturunan merupakan kedaulatan Allah.
Sebagai lembaga sosial yang penting, pernikahan juga ditata dan ditandai oleh seperangkat nilai,
adat-istiadat, maupun ritus yang mengatur proses pemilihan jodoh, kesepakatan kedua keluarga, pengresmian
ikatan nikah oleh gereja, serta pengakuan publik pada status yang baru itu melalui pencatatan pernikahan
oleh lembaga negara yang berwenang.

1. Sejarah dan Pemahaman Pernikahan Kristen


Orang Kristen tidak terlepas dari semua aspek sosio-budaya dalam pernikahan. Pernikahan adalah lembaga
yang lebih tua dari iman Kristen, baik dalam sejarah Israel maupun di wilayah-wilayah pekabaran injil. Itu
berarti bahwa kalau kita menyebut “Nikah Masehi” kita berbicara tentang sebuah hasil interaksi diantara
iman Kristen dan warisan kultural pernikahan yang diteruskan sepanjang sejarah. Interaksi tersebut telah
terjalin sejak awal kekristenan, ketika Yesus melakukan mujizat air menjadi anggur di Kana dalam sebuah
pesta pernikahan. Seiring dengan perkenaan Yesus atas pernikahan, Ia juga tetap bersikap kritis terhadap
pernikahan pada zamannya, khususnya persoalan perceraian dan perzinahan (Mat. 5:32; 19:1-12; Yoh. 8:2-
10).
Kita tidak tahu persis bagaimana pelaksanaan upacara pernikahan secara liturgis. Akan tetapi itu
tidak berarti tidak ada pelayanan liturgis. Percakapan Yesus dan para murid berhadapan dengan orang-orang
Farisi dalam Mat. 19:1-12 berkisar soal perceraian, termasuk perzinahan, kita mendapatkan pemahaman
bahwa dalam pernikahan ada relasi suami dan istri yang terikat sangat kuat, disatukan oleh Allah dan tidak
dapat diceraikan oleh manusia. Di bagian lain dalam surat rasul Paulus kita diberi pemahaman bahwa
pernikahan itu kudus, bersifat eksklusif, dan hanya dapat diceraikan oleh Allah melalui kematian (lih. Rm.
7:2-3; 1Kor. 7:39). Keterlibatan Allah dalam mempersatukan seorang laki-laki dan perempuan menjadi
suami-istri sekaligus berkuasa memisahkan melalui kematian menunjuk kepada kedaulatan-Nya yang
bersifat mutlak. Ketika Alkitab menggambarkan hal pernikahan sedemikian, maka kita dapat membayangkan
bahwa tentu keluarga-keluarga dan persekutuan orang percaya pada masa itu dengan serius menghormati
kedaulatan Allah dalam urusan pernikahan. Tentu ada norma, ritual budaya, dan lembaga keagamaan bahkan
lembaga sosial yang mendukungnya sebagai perwujudan penghormatan itu. Liturgi yang dapat kita
bayangkan tentu berbeda dari liturgi pernikahan pada masa kini, akan tetapi masayarakat dan persekutuan
iman pada masa itu menjamin terlaksananya pernikahan tersebut.
Di masa kini, kita sudah memiliki sejumlah liturgi pernikahan dalam ibadah jemaat yang kita sadari
mengandung warisan kultural baik dari Alkitab maupun dari adat kebiasaan colonial pada periode pekabaran
Injil, seperti penukaran cincin, pemakaian gaun putih dan jas, dan kue pengantin yang merupakan praktek
adat perkawinan Eropa. Kesinambungan praktek pelayanan pernikahan dari Alkitab, hingga ke masa kini
berpusat pada keyakinan gereja bahwa pernikahan Kristen didasarkan pada kedaulatan Allah yang
mempersatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi suami-istri yang melibatkan peran
keluarga (ayah dan ibu, bahkan masyarakat) dalam kerangka budaya tertentu. Gereja memfasilitasi pelayanan
itu dalam sebuah ibadah liturgis dan penyembahan kepada Allah untuk memohon berkat bagi pasangan
tersebut.

2. Dialektika Kekristenan dan Budaya


Hingga kini, gereja masih terus ada dalam dialektika dengan budaya lokal yang beragam di wilayah
pelayanan GMIT. Di daerah tertentu, pernikahan adat diresmikan sebagai pernikahan sipil dan kemudian

1
Demi kejernihan bahasa, ada baiknya kita membedakan pernikahan dengan perkawinan. Perkawinan merujuk pada aspek biologis
dari reproduksi seksual, sedangkan pernikahan adalah perangkat budaya, hukum, atau agama yang menata hubungan tersebut.
1
diberkati oleh gereja; di daerah lain berkembang pola adat-gereja-adat, di mana pertunangan dilakukan
secara adat, pernikahan terlaksana di gereja, dicatat oleh negara, dan kemudian dirayakan oleh sebuah pesta
adat. Dalam jangka panjang, aspek adat, aspek hukum sipil, dan aspek gereja cenderung menyatu.
Dalam konteks pelayanan GMIT tersebut, nampaknya dialektika ini masih terus berproses. Sejarah
kolonial yang panjang membangun sebuah pemahaman bahwa pernikahan bukan hanya sebagai sebuah
pelayanan kepada anggota jemaat yang hendak membentuk rumah tangga, tapi juga sebagai sebuah alat
kekuasaan gereja untuk mengontrol dan mendisiplinkan anggota jemaat. Anggota jemaat yang hendak
menikah haruslah anggota sidi; pernikahan juga seringkali menjadi prasyarat untuk menerima pelayanan
perjamuan dan baptisan anak. Pada saat yang sama, lembaga adat menuntut belis dan biaya pesta nikah yang
relatif tinggi. Demikian juga, pencatatan sipil dapat menjadi masalah kalau mereka yang mau nikah belum
memiliki identitas hukum (Akte Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP). Sehingga di antara gereja, adat, dan
hukum negara terbentuk sebuah rantai yang melilit banyak pasangan yang hendak menikah, terutama mereka
yang lemah dari segi ekonomi dan sosial.
Di berbagai daerah pedesaan NTT ada warga yang cenderung menikah tanpa pencatatan sipil,
dengan menganggap bahwa adat dan gereja sudah cukup. Namun kebiasaan ini hanya membuahkan masalah
di kemudian hari kalau mereka mau mengurus akte kelahiran untuk anak, surat-surat tanah, atau kalau terjadi
perceraian. Pernikahan yang tidak dicatat oleh negara dianggap tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga
berdampak pada status anak. Dalam keadaan ini, gereja terpanggil untuk menjadi gembala yang baik dan
bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga adat supaya wargaanggotanya mendapat
perlindungan hukum dan tidak ditahan dari pelayanan gereja oleh tuntutan adat. Terlebih dulu, gereja harus
membebaskan diri dari sikap kolonial yang cenderung memakai pemberkatan nikah sebagai alat kuasa.

Tema-Tema Teologis dalam Pernikahan


Sepanjang tradisi Kristen terdapat berbagai tafsiran terhadap makna pernikahan secara teologis. Ada empat
tema yang relatif tetap, walaupun masing-masing diberi penekanan yang berbeda sesuai konteks dan zaman:
1. Sebagai penggenapan amanat penciptaan (Kej. 1:28). >> prokreasi
“Berkembang biaklah dan penuhilah bumi Beranakcuculah dan bertambah banyak…”, sebagaimana
dicatat pada bagian pengantar pendahuluan, manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga
membutuhkan ikatan yang stabil dan berjangka panjang untuk membesarkan anak. Kesaksian Alkitab
cukup kuat bahwa Allah menghendaki manusia hidup berkeluarga, walaupun perlu dikatakan bahwa
bentuk keluarga tersebut bisa sangat beraneka ragam. Amanat penciptaan merupakan landasan
pernikahan yang paling umum, namun perlu dicatat bahwa amanat ini tidak bersifat universal. Ada
orang yang menikah namun tidak memperoleh anak, dan pernikahan mereka tetap sah. Ada orang yang
tidak pernah menikah, namun kemanusiaan mereka juga tetap sah. Hal ini menjadi alasan utama
mengapa pernikahan bukan sakramen dalam pengertian Protestan. Tidak disangkali bahwa pernikahan
bisa menjadi wadah untuk anugerah Allah bagi manusia (persyaratan pertama untuk sebuah sakramen);
namun pernikahan tidak diamanatkan oleh Yesus untuk semua pengikutnya (persyaratan yang kedua).
2. Sebagai pagar terhadap dosa. Sarana mengatur seksualitas
Nafsu seks adalah kekuatan yang dahsyat dalam diri manusia, dan kalau tidak disalurkan dan dibatasi
dapat menimbulkan berbagai macam kejahatan, misalnya pemerkosaan, perdagangan manusia,
perkelahian, dan penelantaran anak. Sebagaimana Rasul Paulus menulis pada jemaat di Korintus,
“Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari
pada hangus karena hawa nafsu” (I Kor. 7:9). Bagi Paulus, pernikahan menjadi cara yang berkenan pada
Tuhan untuk mengikat nafsu yang kuat itu pada sebuah tanggungjawab yang sama kuat. >> rumuskan
ulang: seksualitas adalah anugerah Allah yang dapat diwujudkan dalam pernikahan. Karena itu melalui
pernikahan, Allah mengijinkan pasangan suami dan istri memiliki relasi seksual. Itu berarti relasi
seksual yang terjadi di luar pernikahan tidak dapat dibenarkan, termasuk percabulan, perzinahan,
pemerkosaan, perdagangan manusia, dan penelantaran anak.
3. Sebagai wujud terkecil dari basis Umat Perjanjian
Ikatan perjanjian antara Tuhan dengan umat Israel (Hos. 1) dan antara Kristus dengan gereja jemaat (Ef.
5:22-33)) dilambangkan sebagai sebuah pernikahan di mana Allah menunjukkan kesetiaanNya kepada
manusia, dan Kristus menunjukkan kasih-Nya kepada jemaat. Dalam kasih dan kesetiaan di antara
suami dan isteri, mereka mengambil bagian dalam Umat Perjanjian yang luas itu. Terjadi sebuah
hubungan timbal balik: kesetiaan pada Tuhan menguatkan kesetiaan dalam rumah tangga, dan kesetiaan
dalam rumah tangga menguatkan kesetiaan pada Tuhan.
4. Sebagai sekolah kasih.
Salah satu ciri khas iman Kristen adalah peran kasih sebagai nilai utama, baik kasih di antara manusia
dengan Tuhan maupun manusia terhadap sesama. Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari, amat
susah bagi orang untuk “mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri.” Melalui hubungan nikah, isteri
dan suami belajar, paling sedikit, untuk mewujudkan amanat kasih itu terhadap satu orang. Dan kalau
kemudian ada anak, mereka juga belajar untuk mengasihi anak-anak seperti diri mereka sendiri.
Dengan demikian, hukum kasih terwujud mulai dari rumah tangga.

Dalam perkembangan sejarah, dasar kasih telah berkembang sebagai aspek yang paling utama. Pada masa
lampau pertimbangan ekonomis dan sosial lebih berperan, namun dalam pemahaman gereja tentang
pernikahan Kristen masa kini, cinta kasih di antara suami dan isteri telah menjadi syarat yang mutlak.

2
Pengesahan Pernikahan
Pemahaman dasar tentang apa yang merupakan sebuah pernikahan yang sah diletakkan sejak zaman
Reformasi dan tidak banyak berubah sampai sekarang:
1. Pengumuman (Banns)
Sebelum orang menikah, perlu ditentukan bahwa mereka tidak ada ikatan tunangan atau pernikahan lain,
atau tidak ada alasan lain yang menjadi rintangan untuk mereka menikah. Menurut tradisi, fungsi ini
terpenuhi oleh pembacaan rencana pemberkatan nikah tiga kali berturut-turut di gereja. Di berbagai
negara, fungsi ini juga terpenuhi oleh pencatatan sipil. Dengan demikian, substansi dari banns bukan
soal pembacaan nama tiga kali, tapi pada penentuan kelayakan orang untuk menikah di depan umum.
Karena pernikahan merupakan sebuah perjanjian, maka perlu ditentukan apakah kedua mempelai
sanggup dan bebas untuk mengikat perjanjian tersebut: mereka sudah dewasa, berakil balig, dan tidak
dibawa pemaksaan.
2. Perjanjian
Pernikahan dirupakan oleh sebuah janji di antara kedua pengantin. Janji tersebut berdasarkan cinta kasih
dan bersifat eksklusif, tanpa syarat, dan seumur hidup. Kedua pengantin tidak “dinikahkan” oleh orang
tuanya atau oleh pelayan; mereka saling menikahi melalui pertukaran janji. Pada hakekatnya, janji
tersebut dapat dilakukan di mana saja; entah dalam sebuah upacara adat, di depan pejabat pencatatan
sipil, atau di gereja. Terlaksana sebuah liturgi juga bukan syarat untuk sebuah pernikahan; liturgi
pernikahan adalah tata laksana untuk mempersembahkan sebuah pernikahan pada Tuhan dan mohon
berkatNya.
3. Peran Gereja
Walaupun gereja bukan pelaku pernikahan, namun gereja berperan penting dalam lima hal:
a. Jauh sebelum pemberkatan nikah, gereja mempersiapkan anggotanya untuk masuk ke dalam
hubungan pernikahan yang sejati. Mulai dari pembekalan tentang cinta dan seksualitas pada
kurikulum katekisasi atau program pemuda, dan dilanjutkan dengan pastoral/katekisasi nikah yang
lebih terfokus pada pasangan yang mau nikah, kwalitas relasi mereka, serta pemahaman tentang
tantangan-tantangan hidup berumah tangga dan membesarkan anak.
b. Gereja berperan sebagai saksi terhadap perjanjian yang diikat. Entah siapa yang mendampingi kedua
mempelai pada saat pemberkatan, saksi yang asli adalah jemaat itu sendiri. Kalau pemberkatan
terjadi di luar gedung gereja, sejumlah presbiter perlu hadir untuk mewakili jemaat dalam fungsi
sebagai saksi.
c. Pelayan memberi peneguhan bahwa segala persyaratan untuk menikah telah terpenuhi dan
pernikahan tersebut sudah sah. Disebut “peneguhan” dalam tradisi Reform daripada “pengesahan”
karena di kebanyakan negara fungsi pengesahan terletak pada pencatatan sipil. Khusus di Indonesia,
aspek pengesahan melibatkan lembaga-lembaga agama.
d. Pelayan memohon berkat Tuhan pada pasangan nikah.
e. Gereja memberi dukungan dan pendampingan pastoral pada rumah tangga yang baru dalam
perjalanan pernikahan mereka.

Pertimbangan-Pertimbangan dalam Konteks GMIT


1. Pernikahan gereja dan pernikahan adat
Pernikahan memiliki segi iman, sosial (adat), dan hukum, dan ketiga aspek ini perlu dihargai. Dari tinjauan
sejarah di atas, jelaslah bahwa untuk jangka waktu yang panjang, gereja menerima pernikahan adat sebagai
pernikahan yang sah. Ketika pernikahan gereja menjadi normatif pada zaman Reformasi, hal itu bukan
karena pernikahan adat dianggap tidak sah pada hakekatnya, melainkan untuk mengatasi sejumlah
penyalahgunaan pernikahan adat. Walaupun demikian, masih diperlukan waktu yang panjang juga untuk
menyelaraskan hubungan adat dan gereja dalam hal pernikahan—hal yang nampak juga dalam konteks
GMIT. Gereja tidak perlu bersaing dengan adat untuk menguasainya, dan gereja juga tidak memberi diri
(atau anggotanya) untuk disandera oleh tuntutan adat. Dari satu segi, sebuah pernikahan tidak akan nyaman
kalau tidak diakui oleh masyarakat di sekitarnya dan tidak didukung oleh kedua keluarga. Karena itu
pernikahan adat sebagai ikatan di antara dua rumpun keluarga yang berakar dalam komunitas setempat patut
dihargai sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kristen yang disebut di atas. Dari segi lain, tokoh-
tokoh adat dapat saja menyalahgunakan kuasanya untuk menghalangi orang yang dalam pandangan gereja
layak untuk menikah, dan bisa menjadikan pernikahan sebagai alat untuk mencari keuntungan atau
memperdagangkan orang. Karena itu, peran gereja secara historis untuk berjaga-jaga terhadap
penyalahgunaan adat dan dengan demikian mengambil bagian dalam transformasi adat ke arah yang lebih
manusiawi, tetap diperlukan. Dengan catatan-catatan yang di atas, pada dasarnya gereja masa kini masih
dapat mengakui pernikahan adat sebagai sebuah ikatan sosial yang sah, sambil melayani dan
menggembalakan setiap pasangan nikah untuk menggenapi ikatan mereka melalui pemberkatan di gereja
dengan beberapa persyaratan:
a. Bahwa ada hubungan cinta kasih di antara kedua mempelai;
b. Bahwa mereka yang menikah secara adat telah mencapai usia dewasa;
c. Mereka berjanji setia secara eksklusif, tanpa syarat, dan seumur hidup;
d. Tidak ada unsur penipuan, pemaksaan atau perdagangan.
Bagi pasangan yang menikah secara “terang kampung” yang memenuhi kriteria seperti yang di atas, namun
masih dihalangi untuk menikah di gereja oleh karena alasan adat (belis, ongkos pesta, dsb.), maka tidaklah
tepat kalau gereja menghukum mereka dengan cara menahan mereka dari perjamuan atau menolak anak
3
mereka untuk dibaptis. Kalau majelis jemaat setempat merasa tindakan disiplin diperlukan supaya
pernikahan Kristen dihargai, biarlah tindakan disiplin dikenakan pada tokoh-tokoh adat yang menghalangi
pasangan yang hendak menikah.

2. Pesta Nikah
Bagi kalangan tertentu, pesta pernikahan telah menjadi ajang penampilan status sosial yang tidak lagi
mencerminkan nilai-nilai gerejawi. Dalam penggembalaan menjelang pernikahan perlu diberi pemahaman
bahwa perayaan pernikahan yang utama adalah yang terjadi pada saat kebaktian pemberkatan nikah, dan
resepsi yang menyusul hendaknya dilakukan dalam kesederhanaan yang berkenan pada Kristus.

Pernikahan dini/hamil di luar nikah:


Tidak jarang di NTT terjadi kehamilan pada pasangan muda yang sebenarnya belum ada rencana dan belum
waktunya untuk menikah. Dalam kasus seperti ini, biasanya orang tua dari perempuan akan mencari laki-
laki dan menuntut pertanggungjawaban. Bisa juga pendeta didesak untuk melakukan “pemberkatan darurat,”
mungkin juga setelah “katekisasi kilat.”

Terhadap masalah ini ada tiga prinsip yang perlu ditegaskan:


Kehamilan bukan alasan secukupnya untuk menikah. Hamil adalah kondisi biologis, sedangkan nikah adalah
kondisi sosial, hukum, dan terutama spiritual. Belum tentu hubungan daging yang menyebabkan kehamilan
disertai dengan sebuah hubungan cinta kasih sebagai dasar untuk menikah. Lagipula, laki-laki yang dituntut
untuk bertanggung jawab belum tentu mengiakan secara rela dan tulus. Oleh karena itu semua persyaratan
yang dipaparkan di atas tetap berlaku dan tidak dibatalkan oleh kondisi kehamilan. (perlu dirumuskan ulang)

GMIT tidak melakukan pemberkatan nikah bagi orang yang dibawah umur pernikahan secara hukum. Hal
ini bukan hanya karena GMIT taat pada hukum negara, tapi karena hakekat pernikahan itu sendiri sebagai
sebuah perjanjian. Orang yang belum mencapai usia dewasa belum juga bisa mengangkat sebuah janji yang
mengikat. Oleh karena itu, mereka belum boleh menikah. (perlu dirumuskan ulang).

Dalam pemberkatan sebuah pernikahan, gereja tidak membedakan di antara kondisi keperawanan atau tidak,
hamil, mandul, atau sudah memiliki anak. Kudusnya sebuah pernikahan tidak terletak pada manusia yang
menikah, melainkan pada Allah yang memberkatinya. (perlu dirumuskan ulang)

Pernikahan antar gereja atau antar agama:


Dari empat tema teologis dalam pernikahan yang dicatat di atas, hanya satu memiliki hubungan langsung
dengan gereja sebagai lembaga, yaitu yang menyangkut perjanjian di dalam Umat Perjanjian. Amanat
penciptaan dan pembatasan terhadap hawa nafsu melekat pada seluruh umat manusia, bukan hanya orang
Kristen, dan pernikahan sebagai sekolah kasih masih relevan bagi setiap agama yang mengutamakan kasih.
Tetapi janji yang diikat di depan jemaat sebagai saksi, diteguhkan oleh pelayan, dan diberkati dalam nama
Allah Tritunggal mengandalkan sebuah ikatan di antara mereka yang menikah dan jemaat/pelayan yang
mendampingi mereka. (perlu dirumuskan ulang)

Oleh karena itu, gereja dapat berperan sepenuhnya dan bertanggung jawab atas perannya sebagai saksi dan
pemberi berkat hanya kalau pernikahan itu terjadi di antara sesama anggota jemaat. Secara ideal, gereja
tidak perlu berperan dalam pernikahan yang melintasi agama yang lain. Cukup kalau pasangan yang mau
nikah mengikat janjinya dalam upacara sipil. (perlu dirumuskan ulang)

Namun di Indonesia, hal itu hampir tidak mungkin oleh karena hukum perkawinan yang hanya mengakui
pernikahan melalui lembaga agama. Kondisi ini mempertentangkan hak untuk menikah dengan hak atas
kebebasan beragama. Dalam keadaan yang kurang ideal ini, wajar kalau gereja menolong anggotanya yang
hendak menikah secara lintas agama supaya mendapat pengakuan publik dan perlindungan hukum atas
pernikahannya sambil mempertahankan statusnya sebagai anggota GMIT. Oleh karena kondisi lokal dalam
hal ini sangat beragam di NTT, maka kebijakan menyangkut pemberkatan nikah di antara anggota GMIT dan
warga komunitas beragama yang lain sebaiknya diserahkan pada kearifan Majelis Jemaat setempat.

Di lingkungan GMIT, pernikahan lintas lembaga agama yang paling banyak terjadi adalah di antara anggota
GMIT dan anggota Gereja Katolik. Perlu ditegaskan bahwa Protestan dan Katolik adalah sama-sama agama
Kristen. Pembedaan oleh Departemen Agama adalah pembedaan birokratis, dan bukan teologis. Namun ada
perbedaan yang penting dihargai. Bagi Gereja Katolik, pernikahan adalah sebuah sakramen yang diwajibkan
pada mereka yang hendak berumah tangga. Oleh karena itu, sulit bagi Gereja Katolik untuk mengakui
sebuah pernikahan Protestan yang tidak bersifat sakramental (lain hal dengan baptisan yang sama-sama
sakramental dan sama-sama diakui di antara kedua gereja). Oleh karena itu, demi menghargai suara hati
saudara-saudara Katolik, adalah wajar dan bersahabat kalau anggota GMIT yang menikah dengan pasangan
dari Gereja Katolik bersedia menikah secara Katolik, sambil mempertahankan statusnya sebagai anggota
GMIT.

Gereja dan hukum negara:Selain sebagai lembaga agama dan sosial, pernikahan adalah juga sebuah lembaga
hukum yang menetapkan sejumlah hak dan kewajiban, terutama menyangkut tanggung jawab terhadap anak,
4
kepemilikan bersama, dan warisan. Dalam hal pernikahan pelayanan gereja terjadi di dalam bingkai yang
disediakan oleh hukum negara, sejauh hukum negara tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan. Ada tiga
hal yang perlu dicatat secara khusus:
1. Gereja pada dasarnya tidak melayani pemberkatan nikah yang tidak disertai dengan pencatatan sipil.
Kalau anggota jemaat mengalami kesulitan untuk melakukan pencatatan sipil, maka sebagai gembala
yang baik gereja perlu mendampingi dan menolong anggotanya untuk memperoleh perlindungan hukum
atas pernikahan mereka.
2. Fungsi saksi dalam pencatatan sipil perlu dibedakan dengan peran jemaat dan para presbiter sebagai
saksi dari segi teologis. Saksi di depan hukum perlu memenuhi persyaratan hukum, bukan persyaratan
gereja, sehingga tidak merupakan keharusan yang mutlak bahwa saksi hukum adalah juga saksi secara
iman (anggota sidi GMIT yang tidak dibawah disiplin gereja). Siapapun saksi nikah, tanggung jawab
pastoral bagi setiap pasangan nikah tetap melekat pada Majelis Jemaat setempat.
3. Seorang pendeta memiliki kebebasan pastoral untuk memutuskan kalau sepasang calon mempelai layak
diberkati atau tidak. Namun kalau formulir pencatatan sipil sudah ditandatangani oleh pendeta, maka
dia wajib melakukan pemberkatan, kecuali bisa dibuktikan ada unsur penipuan. (Sebenarnya hal yang
sama berlaku secara adat, kalau pendeta sudah menerima tempat sirih pinang.) (perlu dirumuskan ulang)

Perceraian:
GMIT tidak menginginkan, tidak mengizinkan, dan tidak mengurus perceraian. Upaya pertama dari gereja
berhadapan dengan perselisihan dalam rumah tangga adalah pendampingan supaya pasangan yang
bersangkutan dapat rukun kembali. Namun perlu diakui bahwa perceraian adalah juga hak sipil bagi setiap
warga negara yang tidak boleh dihalangi oleh gereja. Bagi mereka yang menempuh jalur hukum, gereja
tetap memberi pendampingan pastoral.

Pada dasarnya, perceraian merupakan sebuah pengakuan dosa bahwa pasangan yang hendak cerai telah sia-
siakan berkat yang Tuhan berikan, dan mereka tidak sanggup memperbaiki rumah tangga mereka lagi. Oleh
karena itu, kalau ada tindakan disiplin gereja yang dikenakan, hal itu berdasarkan prilaku yang
melatarbelakangi perceraian (perselingkuhan, kekerasan, penelantaran) dan bukan pada akta perceraian itu
sendiri.
Dalam keadaan tertentu, terutama berhadapan dengan kekerasan dalam rumah tangga, bisa terjadi bahwa
perceraian adalah jalan keluar yang kurang buruk daripada mengalami siksaan dan penderitaan terus-
menerus. Berkat nikah jangan dibiarkan menjadi kutuk. Karena larangan perceraian cukup mendarah-daging
dalam umat GMIT, bisa saja para pelayan yang mendampingi korban kekerasan perlu memberi penguatan
pada mereka bahwa Tuhan tidak menghendaki supaya mereka hidup terus dalam penyiksaan. Mungkin juga
diperlukan langkah diakonal supaya korban kekerasan mendapat pemondokan dan sumber nafkah kalau
mereka memilih untuk bercerai.
Oleh karena pertimbangan-pertimbangan di atas, gereja tidak menghakimi mereka yang bercerai setelah
melalui pendampingan pastoral yang sungguh-sungguh. Kalau di kemudian hari ada yang hendak menikah
lagi, gereja tetap mendampingi dan dapat melayani pemberkatan mereka setelah pertimbangan pastoral yang
matang.
Hal ini berlaku sama, baik bagi anggota maupun pejabat/pelayan gereja. Kalau ada presbiter yang bercerai,
bisa saja terjadi bahwa mereka perlu diberi waktu bebas tugas untuk menenangkan jiwa dan menata kembali
kehidupan mereka. Hal itu sebaiknya diberikan atas permintaan mereka sendiri, bukan sebagai hukuman tapi
sebagai wujud keprihatinan gereja. Khusus bagi pendeta yang bergantung pada gaji sebagai tunjangan hidup,
mereka tetap diberi gaji pokok. Kalau ada tindakan disiplin, itu semata-mata bukan karena perceraian itu
sendiri, melainkan karena prilaku yang terbukti melatarbelakangi perceraian: perselingkuhan, kekerasan,
penelantaran, dsb.

PERATURAN PASTORAL
PELAYANAN PENEGUHAN
DAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN

BAB I
DASAR
Pasal 1

Dasar pernikahan Kristen adalah penciptaan manusia oleh Allah sebagai laki-laki dan perempuan,
sebagaimana disaksikan oleh Firman Tuhan (Kej. 2:18).

BAB II
HAKEKAT
Pasal 2

(1) Pernikahan merupakan anugerah Allah yang patut dihormati dan dijunjung tinggi oleh
semua orang yang menikah, dan karena itu harus disambut dengan suatu pengucapan
5
syukur kepada Allah dalam sebuah kebaktian jemaat.
(2) Pernikahan berdasarkan hubungan cinta kasih antara kedua mempelai (seorang laki-laki
dan seorang perempuan dewasa), sebagaimana (sebagai refleksi/cerminan) relasi Yesus
Kristus, (Kepala jemaat) dengan jemaat, sebagai tubuh-Nya.
(3) Pernikahan dirupakan oleh sebuah janji di antara kedua mempelai (seorang laki-laki dan
seorang perempuan dewasa) di hadapan Tuhan melalui jemaat-Nya yang bersifat eksklusif,
tanpa syarat, dan seumur hidup.
(4) Janji pernikahan disaksikan oleh jemaat dan diteguhkan dan diberkati oleh seorang Pendeta
yang tidak sedang dikenakan tindak disiplin gereja.

BAB III
PENGERTIAN
Pasal 3

Pernikahan Kristen adalah persekutuan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan sejahtera sebagaimana
yang dianugerahkan oleh Allah sejak penciptaan, dan disucikan oleh perbuatan penyelamatan
Yesus Kristus sebagai suatu persekutuan kasih, sama seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya.

BAB IV
TUJUAN
Pasal 4

Tujuan pernikahan Kristen adalah membentuk persekutuan keluarga/rumah tangga Kristen sesuai
dengan Firman Allah.

BAB V
BENTUK PERNIKAHAN
Pasal 5

Bentuk pernikahan Kristen adalah monogami dalam kesetaraan.

BAB VI
PELAKSANAAN
Pasal 6

Peneguhan dan pemberkatan nikah dapat dilayani hanya bagi mereka yang telah memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh Gereja dan Pemerintah.

Pasal 7

Adapun syarat-syarat dimaksud pada Pasal 6 sebagai berikut:


(1) Calon mempelai sudah menjadi anggota sidi.
(2) Calon mempelai tidak sedang dikenakan disiplin gereja.
(3) Calon mempelai sudah memenuhi syarat umur sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan.
(4) Calon mempelai mengikuti katekisasi/percakapan penggembalaan pra nikah.
(5) Calon mempelai telah mencatatkan namanya pada pegawai pencatatan sipil setempat sesuai
Undang-Undang Perkawinan yang berlaku dengan ketentuan bahwa sebelum pencatatan,
mereka sudah mendapat persetujuan majelis jemaat setempat.
(6) Bagi anggota yang mau menikah di jemaat lain perlu surat rekomendasi dari jemaat
asalnya.

Pasal 8
Tempat Pelaksanaan dan Tata Ibadah

Pernikahan dilayani dalam ibadah jemaat dengan berpedoman pada Tata Ibadah Pernikahan yang
ditetapkan Majelis Sinode GMIT.

BAB VII
PERNIKAHAN CAMPUR
Pasal 9
6
(1) Pelaksanaan peneguhan dan pemberkatan nikah bagi pasangan warga GMIT dengan warga
gereja lain, dapat dilayani oleh GMIT apabila ada kesepakatan bersama antara majelis
jemaat, pimpinan gereja lain, dan kedua keluarga calon mempelai.
(2) Jika ada anggota GMIT yang telah memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang
beragama lain, maka gereja memberi pendampingan pastoral sambil bekerja sama dengan
kedua keluarga dan pimpinan agama lain, dengan tujuan supaya yang bersangkutan
mendapat perlindungan hukum atas pernikahannya, dan tetap mempertahankan statusnya
sebagai anggota GMIT.

Pasal 10

Bagi suami-istri yang pernikahannya sah menurut keyakinan agama non Kristen lalu keduanya
berpindah ke agama Kristen, GMIT mengakui pernikahan mereka.

Pasal 11

Peneguhan dan pemberkatan nikah bagi mereka yang dikenakan tindak disiplin Gereja dapat
dilaksanakan setelah masalahnya diselesaikan melalui penggembalaan oleh majelis jemaat.

BAB VIII
PERCERAIAN
Pasal 12

(1) GMIT tidak memperkenankan perceraian itu terjadi, namun GMIT mengakui hak setiap
anggota sebagai warga negara untuk melakukan perceraian melalui pengadilan negeri.
(2) GMIT melakukan pendampingan pastoral dan upaya rekonsiliasi bagi setiap anggota yang
hendak cerai.
(3) GMIT dapat mengadakan pengukuhan dan pemberkatan nikah bagi orang yang menikah
lagi apabila:
a. salah seorang meninggal dunia;
b. sudah bercerai secara hukum.

BAB IX
SAKSI DALAM PERNIKAHAN
Pasal 13

(1) Yang menjadi saksi utama dalam pernikahan Kristen adalah jemaat.
(2) Saksi pernikahan sesuai peraturan perkawinan bagi satu pasangan nikah Kristen hendaknya
dipilih dari anggota GMIT dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh
GMIT sebagai berikut:
a. sudah menikah;
b. tidak berada di bawah tindak disiplin gereja;
c. umur minimal 30 tahun;
d. dapat menjadi panutan/contoh dalam kehidupan berkeluarga dan berjemaat.

BAB X
PROSEDUR PERNIKAHAN
Pasal 15

(1) Calon mempelai mengajukan permohonan kepada Majelis Jemaat dengan mengisi formulir
yang sudah disediakan oleh Pencatatan Perkawinan.
(2) Calon mempelai wajib mengikuti percakapan pranikah dan penggembalaan.
(3) Majelis jemaat mengumumkan rencana pernikahan dari kedua calon mempelai dengan
merujuk pada surat pengumuman dari pencatatan perkawinan yang dimuat dalam warta
pelayanan selama 2 minggu berturut-turut.
(4) Jika ada keberatan yang sah dari jemaat dan pihak-pihak tertentu, maka majelis jemaat
dapat menangguhkan pelaksanaan pernikahannya sampai persoalannya selesai.

BAB XI
PERNIKAHAN ADAT
7
Pasal 16

(1) Pernikahan adat tidak merupakan persyaratan bagi peneguhan dan pemberkatan nikah oleh
GMIT.
(2) GMIT bekerja sama dengan kedua keluarga dan pemangku adat setempat supaya tercipta
keselarasan di antara tata laksana adat dan pemberkatan oleh gereja, dengan tidak
mengorbankan nilai-nilai Injili sebagaimana dicantumkan dalam naskah teologis tentang
pernikahan.
(3) Bagi pasangan yang sudah berumah tangga secara sah menurut lembaga adat setempat,
namun terhalang oleh tuntutan adat untuk menikah di gereja, maka gereja tidak menghakimi
mereka, melainkan berupaya untuk meluruskan jalan supaya mereka memperoleh berkat
Tuhan atas pernikahan mereka.

BAB XII
PESTA PERNIKAHAN
Pasal 17

Pesta pernikahan oleh GMIT tidak merupakan keharusan.

BAB XIII
PENUTUP
Pasal 18

Hal-hal lain yang belum diatur dalam peraturan ini diserahkan pengaturan dan pelaksanaannya
kepada majelis jemaat setempat dengan ketentuan bahwa segala sesuatu harus dijalankan sesuai
dengan kesaksian Alkitab dan tidak bertentangan dengan Tata GMIT, serta maksud dan tujuan
setiap pasal dalam peraturan ini.

Pasal 19

Peraturan Pernikahan ini mulai berlaku terhitung tanggal ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai