Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DENGUE SHOCK


SYNDROME DI RUANG PEDIATRIC INTENSIVE CARE UNIT (PICU)

DI RSUD dr. CHASBULLAH ABDULMAJID KOTA BEKASI

Dosen Pembimbing :

Disusun Oleh :

Indah Fitri Amelia 1710711140

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2021
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus Dengue yang berat yang ditandai gejala panas yang mendadak, perdarahan
dan kebocoran plasma yang dapat dibuktikan dengan adanya penurunan jumlah
trombosit, peningkatan hematokrit, ditemukan efusi pleura disertai dengan
penurunan kadar albumin, protein dan natrium.
Dengue syok sindrom adalah kegagalan peredaran darah pada pasien DBD karena
kehilangan plasma dalam darah akibat peningkatan permeabilitas kapiler darah.
Syok terjadi apabila darah sudah semakin mengental karena plasma darah
merembes keluar dari pembuluh darah (Nadesul, 2007). DSS terjadi pada DBD
derajat III dan DBD derajat IV. Dengue Syok Syndrome (DSS) sebagai
manifestasi klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan ditandai syok yang
dapat mengancam kehidupan penderita.
DBD derajat III telah terdapat tanda-tanda terjadinya syok (DSS). Pasien
mengalami gejala syok yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun,
pasien gelisah, sianosis di sekitar mulut, kulit teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung hidung, jari tangan, dan kaki (Depkes, 2005). Pada DBD derajat IV
pasien sedang mengalami syok (DSS). Pasien mengalami penurunan tingkat
kesadaran, denyut nadi tidak teraba, dan tekanan darah tidak terukur (Anggraeni,
2010).

2. Anatomi Fisiologi
Darah merupakan salah satu komponen penting yang ada di dalam tubuh
manusiasebab darah berfungsi, mengalirkan zat - zat atau nutrisi yang dibutuhkan
tubuh, kemudian mengalirkan karbondioksida hasil metabolisme untuk di buang.
Ada empat fungsi utama darah, yaitu memberikan suplai oksigen keseluruh
jaringan tubuh, membawa nutrisi, membersihkan sisa-sisa metabolisme dan
membawa zat antibody ( Pearce, 2009).
a) Komposisi darah
Darah kita mengandung beberapa jenis sel yang yang tersangkut di dalam
cairan kuning yang disebut plasma darah. Plasma darah tersusun atas 90% air
yang mengandung sari makanan, protein, hormone, dan endapan kotoran
selain sel-sel darah.
Ada 3 jenis sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit) dan keeping darah (trombosit).Sel darah merah dan sel darah putih
di sebut juga korpuskel.
b) Sel darah merah
Sel darah merah berupa cakram kecil bikonkaf, cekung pada kedua sisinya,
sehingga dilihat dari samping tampak seperti dua buah bulan sabit yang
saling bertolak belakang. Dalam setiap milimeter kubik darah terdapat
5.000.000 sel darah. Jumlah sel darah merah yang diproduksi setiap hari
mencapai 200.000 biliun, rata-rata umurnya hanya 120 hari. Semakin tua
semakin rapuh, kehilangan bentuk dan ukurannya menyusun menjadi
sepertiga ukuran mula-mula. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang
kaya akan zat besi. Warnanya yang merah cerah disebabkan oleh oksigen
yang di serap dari paru-paru. Pada saat darah mengalir ke seluruh tubuh,
hemoglobin melepaskan oksigen ke sel dan mengikat karbondioksida.
Sel darah merah yang tua akhirnya akan pecah menjadi partikel- partikel
kecil di dalam hati dan limpa. Sebagian besar sel yang tua dihancurkan oleh
limpa dan yang lolos dihancurkan oleh hati. Hati mentimpan kandungan zat
besi dari hemoglobin yang kemudian di angkut oleh darah ke sumsum tulang
untuk membentuk sel darah merah yang baru. Persediaan sel darah merah di
dalam tubuh diperbarui setiap empat bulan sekali.
c) Sel darah putih
Sel darah putih yang berupa bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih
besar dari sel darah merah namun lebih sedikit. Dalam setiap milimeter
kubik darah terdapat 6000 – 10.000 rata rata 8000 sel darah putih.
Granulosit hampir 75% dari seluruh jumlah sel darah putih. Trombosit
adalah sel kira kira ukuranya 1/3 ukuran sel darah merah, terdapat 300.000
trombosit dalam setiap milimeter kubik darah. Peranya penting dalam
penggumpalan darah.Fungsi sel darah putih :
Granulosit dan monosit mempunyai peran penting dalam perlindungan
dalam badan terhadap mikro organisme. Dengan kemampuanya sebagai
fagosit, mereka memakan bakteri hidup yang masuk kedalam peredaran
darah. Dengan kekuatan gerakan anti bodinya ia dapat bergerak bebas
didalam dan dapat keluar pembuluh darah kemudian berjalan mengitari
seluruh bagian tubuh. Dengan cara ini ia dapat :
1) Mengelilingi daerah yang terkena infeksi atau cidera
2) Menangkap organisme hidup dan menghancurkanya
3) Menghilangkan bahan lain seperti kotoran, serpihan kayu, benang
jahitan dan sebagainya.

Sebagai hasil kerja fagositik sel darah putih, peradangan dapat dihentikan
sama sekali. Bila kegiatanya tidak berjalan dengan sempurna maka berarti
berkurangnya jumlah sel darah putih kalah sampai 5000 atau kurang
leukopenia (pearce, 2009).

d) Pembekuan darah
Proses yang mencegah kehilangan darah dari badan melalui luka
disebuthemostasis dan proses ini terdiri dari tiga stadium yang bekerja
bersama-sama, yaitu :Spasme vaskuler : penyempitan lumen pembuluh
darah yang putus untuk mengurangi aliran darah yang hilang.
1) Pembentukan sumbat trombosit : untuk menghentikan kebocoran
darah.
2) Pembekuan fibrin disekitar sumbat trombosit dan reaksi fibrin: untuk
merekatpembuluh yang putus dan menarik sisi pinggirnya supaya
merapat (Watson,2001).
e) Fungsi darah
Menurut Watson (2001) fungsi darah dalam metabolisme tubuh kita antara
lain sebagai alat pengangkut(pengedar), pengatur suhu tubuh dan
pertahanan tubuh. Peredaran oksigen pada tubuh :
1) Oksigen diedarkan ke seluruh tubuh oleh sel darah merah
2) Darah yang di pompa dari bilik kanan jantung menuju paru-paru melepaskan
3) CO2 dan mengambil O2 dibawa menuju serambi kiri.
4) O2 dari serambi kiri disalurkan ke bilik kiri
5) Dari bilik kiri O2 dibawa keseluruh tubuh oleh sel darah merah
untukpembakaran (oksidasi).
6) Peredaran darah besar yaitu peredaran darah yang berasal dari
jantungmembawa oksigen dan sari makanan ke seluruh tubuh dan kembali ke jantung
membawa karbondioksida.
7) Peredaran darah kecil yaitu peredaran darah dari jantung membawa
karbondioksida menuju paru-paru untuk dilepas dan mengambil oksigen dibawa ke
jantung.
Jadi kesimpulannya, fungsi darah adalah :
1) Mengedarkan sari-sari makanan keseluruh tubuh
2) Mengedarkan oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh
3) Mengangkut karbondioksida ke paru-paru
4) Mengedarkan hormone

3. Etiologi
Penyebab DBD adalah virus dengue, memiliki 4 serotipe (dengue-1, dengue-2,
dengue-3, dan dengue-4), yang telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia,
termasuk dalam group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Hasil penelitian di
Indonesia menunjukkan bahwa dengue- 3 sangat berkaitan dengan kasus DBD
berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya kemudian dengue-2,
dengue-1, dan dengue-4 (Depkes, 2005). Arbovirus adalah virus yang ditularkan
melalui artropoda yaitu nyamuk. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina, karena hanya nyamuk betina yang
menggigit darah manusia yang dibutuhkan untuk bertelur. Secara umum nyamuk
aedes aegypti menggigit pada siang hari (pukul 09.00 sampai 10.00) dan sore hari
(pukul 16.00 sampai 17.00).Nyamuk aedes aegypti menyukai rumah yang sejuk,
lembab, gelap, dan hinggap di pakaian atau barang-barang yang bergelantungan.
Tempat hidupnya di air jernih yang tergenang seperti pada bak air di kamar mandi
dan tempat penampung air minum. Di luar rumah sering terdapat pada genangan
air dalam ban mobil bekas, kaleng bekas, tempat air minum burung, dan pot bunga
yang mengandung air. Umur nyamuk aedes aegypti sekitar 2 sampai 3 minggu,
bertelur sekitar 200 sampai 400 butir, dan jarak terbang sekitar 100 meter
(Nadesul, 2007). Oleh karena itu perlu diwaspadai bila ada penderita DBD dengan
radius 100 meter dari tempat tinggal kita dan bila musim penghujan datang karena
dapat menyebabkan genangan air pada tempat-tempat yang telah disebutkan
diatas.
4. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit DBD/DSS dibagi menjadi 4 derajat dan pada tiap derajat
telah terjadi trombositopenia dan hemokonsentrasi. Klasifikasi penyakit
DBD/DSS menurut Nadesul (2007) dan WHO (2009) adalah sebagai berikut:
1. Derajat I: demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji tourniquet positif.
2. Derajat II: seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
3. Derajat III: didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar
mulut, kulit dingin dan lembab, serta anak gelisah.
4. Derajat IV: syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.

5. Patofisiologi dan Patoflow


Setelah serangan virus dengue untuk pertama kali tubuh akan membentuk
kekebalan spesifik untuk dengue, namun masih memungkinkan diserang untuk
kedua kalinya atau lebih karena ada lebih dari satu tipe virus dengue (Nadesul,
2007). Orang yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali, umumnya hanya
menderita demam dengue atau demam ringan dan biasanya akan sembuh sendiri
dalam waktu 5 hari pengobatan (Depkes, 2005). Infeksi virus dengue selanjutnya
dengan tipe virus yang berbeda akan menyebabkan penyakit DBD (Nadesul,
2007).
Setelah virus masuk ke dalam tubuh, virus berkembang biak dalam
retikuloendotel sel (sel-sel mesenkim dengan daya fagosit) sehingga tubuh
mengalami viremia (darah mengandung virus) yang menyebabkan terbentuknya
komplek virus antibodi. Terbentuknya komplek virus antibodi menyebabkan
agregasi trombosit yang berdampak terjadinya trombositopenia, aktivitas
koagulasi yang berdampak meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
kebocoran plasma, aktivasi komplemen yaitu pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskular,
sehingga dapat terjadi kebocoran plasma dan timbul syok. Pada pasien syok berat,
volume plasma dapat berkurang lebih dari 30% dan berlagsung selama 24-48
jam.Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan rongga serosa (efusi pleura,
asites). Syok yang tidak tertangani dapat menyebabkan terjadinya DSS dan dapat
menyebabkan kematian (WHO, 2009).

6. Manifestasi Klinik
Menurut (Garna, 2012) kondisi penderita yang berlanjut menjadi syok memburuk
secara cepat setelah periode demam 2-7 hari. Kriteria diagnosis untuk
menegakkan Dengue Shock Syndrome (DSS) yaitu kriteria untuk DBD harus ada,
dengan ditambah munculnya kegagalan sirkulasi darah dengan tanda-tanda
sebagai berikut:
1) Demam atau riwayat demam akut yang berlangsung 2-7 hari dan sering bifasik
2) Manifestasi perdarahan : uji tourniquet positif, petekie (bintik merah akibat
perdarahan dalam kulit), ekimosis (perubahan warna kulit menjadi merah
lembayung karena perdarahan), purpura (bercak-bercak perdarahan dalam
kulit atau selaput lendir), perdarahan mukosa, epistaksis (mimisan/perdarahan
dari hidung), perdarahan gusi, hematemesis (muntah darah), dan melena (tinja
berwarna hitam karena perdarahan).
3) Terjadi pembesaran hati (Hepatomegali).
4) Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi (≤ 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki
dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (> 2 detik),
dan tampak gelisah.
Selanjutnya hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien DBD yaitu:
1) Trombositopenia (kadar trombosit dalam darah 100.000/µl atau
kurang).
2) Terjadi kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, yang
ditandai dengan peningkatan Ht ≥ 20% dari standar, penurunan Ht ≥ 20%
setelah mendapat terapi cairan, terjadi efusi pleura/pericardial, asites, dan
hipoproteinemia.

7. Komplikasi
Apabila syok tidak segera diatasi, maka penderita dapat mengalami komplikasi
berupa asidosis metabolic dan perdarahan hebat pada gastrointestinal dan organ
lainnya.Jika terjadi perdarahan intrakranial penderita dapat mengalami kejang
hingga koma, sehingga dapat menyebabkan penderita meninggal dunia. Syok
yang dapat diatasi dalam waktu 2-3 hari akan menunjukkan perbaikan berupa
pengeluaran urin yang cukup dan peningkatan nafsu makan (Soegijanto, 2012).

8. Penatalaksanaan Medis
Dengue Shock Syndrome(DSS) merupakan DBD dengan gejala gelisah, nafas
cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit (misalnya
sistolik 90 dan diatolik 80 mmHg, tekanan nadi <20 mmHg, bibir biru, tangan
kaki dingin, tidak ada produksi urin. Tata Laksana Dengue Shock Syndrome
(DSS) berdasarkan Depkes (2004) yaitu :
1) Segera beri infuse kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20 ml/kg BB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2-4
liter/menit. Untuk DSS berat diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB/jam
bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan
trombosit setiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2) Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan 15-20 ml/kg/BB/jam, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau
koloid sebanyak 10-20ml/kg BB, maksimal 30 ml/kg BB. Observasi keadaan
umum, tekanan darah, tekanan nadi tiap 15 menit dan periksa hematokrit tiap
4-6 jam.
a. Apabila syok telah teratasi disertai dengan penurunan kadar
hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi>20 mmHg, nadi kuat, maka
tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam. Volume 10 ml/kg
BB/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau menjadi 7 ml/kg/BB
sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap
cairan diturunkan 5 ml/kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/kg/BB/jam.
Dianjurkan pembelian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi.
Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiap jam
(usahakan urin >1 ml/kgBB/jam, BD urin
b. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit
menurun, tetapi masih >40 vol% berikan darah segar dalam volume kecil
(10ml/kgBB). Apabila tampak perdarahan massif, berikan darah segar 20
ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam. Pemasangan
CVP (dipertahankan 5-8 cmH2O) pada syok berat kadang-kadang
diperlukan, sedangkan pemasagan sonde lambung tidak dianjurkan.
c. Apabila syok belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan
cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila
CVP normal (. 10 mmH2O), maka diberikan dopamine.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan data yang sistematis untuk menentukan status
kesehatan saat ini dan masa lalu, status fungsional, dan pola koping yang
digunakan. Pengkajian keperawatan meliputi dua tahapan, pertama pengumpulan
dan pembuktian data dari sumber data primer (pasien) dan sumber data sekunder
(keluarga, teman, profesional kesehatan, dan rekam medis). Tahap yang kedua
adalah menganalisa semua data sebagai dasar untuk mengembangkan
diagnosa keperawatan, mengidentifikasi masalah kolaborasi, dan
mengembangkan perencanaan keperawatan individu (Potter & Perry, 2007).
Pengkajian pada pasien DBD meliputi pengkajian riwayat penyakit meliputi
waktu terjadinya demam/sakit, jumlah intake secara oral, pengkajian tanda dan
gejala yang harus diwaspadai, adanya diare, perubahan status mental, pengeluran
urin, dan pengkajian lain yang sesuai seperti adanya keluarga atau tetangga
dengan DBD, teman di sekolah yang menderita DBD, dan telah melakukan
perjalanan ke area endemik DBD (WHO, 2009).
Menurut WHO (2009) tanda dan gejala yang harus diwaspadai pada pasien DBD
antara lain nyeri abdomen, muntah yang berkepanjangan, akumulasi cairan,
perdarahan mukosa, kelemahan, pasien gelisah, dan pembesaran hati > 2 cm.
Hasil laboratorium menunjukkan adanya peningkatan hematokrit dan
trombositopenia.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pengkajian status mental, pengkajian
status hidrasi, pengkajian status hemodinamik, mengecek terjadinya
takipneu/efusi pleura, mengecek adanya nyeri pada abdomen/pembesaran
hati/asites, pengkajian adanya kemerahan dan manifestasi perdarahan serta
melakukan tes tourniquet. Pemeriksaan hemodinamik meliputi status mental,
cafillary refill time, perabaan ekstremitas, denyut nadi perifer, nadi, tekanan
darah, dan respiratory rate (WHO, 2009).
Pemeriksaan laboratorium khusus pada pasien DBD adalah pemeriksaan darah
pada saat pertama masuk rumah sakit termasuk pemeriksaan hematokrit, leukosit,
dan trombosit. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan fungsi hati, gula
darah, elektrolit, ureum kreatinin, bikarbonat atau laktat, enzim jantung,
elektrokardiografi, dan pemeriksaan urin (WHO, 2009).

Pada pasien DBD yang dirawat di rumah sakit diharapkan dapat menjalani proses
perawatan dan pengobatan dengan baik sehingga dapat menjalani fase kritis dan
mencapai kesembuhan yang diharapkan, namun bila hal tersebut tidak tercapai
dan pasien justru mengalami kondisi yang memburuk pada fase kritis maka
pasien akan mengalami syok yang dikenal dengan DSS. Pada fase syok pasien
berada pada DBD derajat III atau DBD derajat IV. Pemahaman faktor risiko
terjadinya DSS pada anak yang dirawat perlu dipahami sehingga pasien tidak
mengalami syok berulang.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang individu, keluarga, atau
respon komunitas terhadap masalah kesehatan aktual dan potensial atau proses
hidup . Diagnosa keperawatan yang tepat didukung dengan pengkajian yang
sesuai (Potter & Perry, 2007).
1. Hipertermi b/d proses infeksi virus dengue (viremia)
2. Kekurangan volume cairan b/d perpindahan cairan dari intravaskuler ke
ekstravaskuler
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake in adekuat
4. Resiko syok hipovolemik b/d permeabilitas membran meningkat
5. Resiko cedera (perdarahan) b/d trombisitopenia
6. Resiko perfusi jaringan tidak efektif b/d perdarahan dan syok
7. Resiko pola nafas tidak efektif b/d efusi pleura

3. Rencana Keperawatan
Perencanaan adalah tahap ketiga dari proses keperawatan. Selama tahap ini
perawat mengidentifikasi diagnosa, menentukan tujuan dan kriteria hasil serta
membuat perencanaan keperawatan (Potter & Perry, 2007). Perencanaan
keperawatan yang tepat akan memberikan kesembuhan pada pasien dengan cepat
pula. Berdasarkan penatalaksanaan pasien DBD (Depkes 2005; WHO, 2009)
prioritas utama perencanaan keperawatan pada anak dengan DBD adalah:
kaji Riwayat penyakit pasien, monitor tanda-tanda vital sesuai kebutuhan,
monitor tanda dan gejala yang harus diwaspadai, monitor hemodinamik pasien
sesuai kebutuhan, timbang berat badan dan ukur tinggi badan, pertahankan intake
dan output yang adekuat sesuai kebutuhan, monitor hasil laboratorium dan
pemeriksaan diagnostik yang dilakukan, kolaborasi dalam pemberian cairan infus
dan pengobatan yang sesuai dengan kondisi pasien.
Perencanaan Keperawatan per diagnosa keperawatan :
1. Hipertermi b/d proses infeksi virus dengue (viremia)
Tujuan : Suhu tubuh normal kembali setelah mendapatkan tindakan perawatan.
Kriteria hasil : Suhu tubuh antara 36 – 37, membran mukosa basah, nadi dalam
batas normal (80-100 x/mnt), Nyeri otot hilang.
Intervensi :
a. Berikan kompres (air biasa / kran).
b. Berikan / anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari ( sesuai
toleransi )
c. Anjurkan keluarga agar mengenakan pakaian yang tipis dan mudah
menyerap keringat pada klien.
d. Observasi intake dan output, tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah ) tiap 3
jam sekali atau lebih sering.
e. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat antipiretik
sesuai program.
2. Kekurangan volume cairan b/d perpindahan cairan dari intravaskuler ke
ekstravaskuler
Tujuan : Tidak terjadi devisit voume cairan / Tidak terjadi syok hipovolemik.
Kriteria : Input dan output seimbang, Vital sign dalam batas normal (TD
100/70 mmHg, N: 80-120x/mnt), Tidak ada tanda presyok, Akral hangat,
Capilarry refill < 3 detik, Pulsasi kuat.
Intervensi :
a. Observas vital sign tiap 3 jam/lebih sering
b. Observasi capillary Refill
c. Observasi intake dan output. Catat jumlah, warna, konsentrasi, BJ urine.
d. Anjurkan untuk minum 1500-2000 ml /hari (sesuai toleransi)
e. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena, plasma atau darah.
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake in adekuat
Tujuan : Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi
Kriteria : Tidak ada tanda-tanda malnutrisi, tidak terjadi penurunan berat
badan, Nafsu makan meningkat, porsi makanan yang disajikan mampu
dihabiskan klien, mual dan muntah berkurang.
Intervensi :
a. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai
b. Observasi dan catat masukan makanan pasien
c. Timbang BB tiap hari (bila memungkinkan )
d. Berikan / Anjurkan pada klien untuk makanan sedikit namun sering dan
atau makan diantara waktu makan.
e. Berikan dan Bantu oral hygiene.
f. Hindari makanan yang merangsang (pedas / asam) dan mengandung gas.
g. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang penting nutrisi/ makanan bagi
proses penyembuhan.
h. Sajikan makanan dalam keadaan hangat.
i. Anjurkan pada klien untuk menarik nafas dalam jika mual.
j. Kolaborasi dalam pemberian diet lunak dan rendah serat.
k. Observasi porsi makan klien, berat badan dan keluhan klien.
4. Resiko syok hipovolemik b/d permeabilitas membran meningkat
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria : Tanda Vital dalam batas normal
Intervensi :
a. Monitor keadaan umum pasien
b. Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih.
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika
terjadi perdarahan
d. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena
e. Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombo
5. Resiko cedera (perdarahan) b/d trombisitopenia
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan selama dalam masa perawatan.
Kriteria : TD 100/60 mmHg, N: 80-100x/menit reguler, pulsasi kuat, tidak ada
perdarahan spontan (gusi, hidung, hematemesis dan melena), trombosit dalam
batas normal (150.000/uL).
Intervensi :
a. Anjurkan pada klien untuk banyak istirahat tirah baring ( bedrest )
b. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang bahaya yang dapat
timbul akibat dari adanya perdarahan, dan anjurkan untuk segera melaporkan
jika ada tanda perdarahan seperti di gusi, hidung(epistaksis), berak darah
(melena), atau muntah darah (hematemesis).
c. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara
kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai ambil darah dan
Observasi tanda-tanda perdarahan serta tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu
dan pernafasan).
d. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium secara berkala (darah lengkap).
e. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis.
f. Monitor trombosit setiap hari
g. Kolaborasi dalam pemberian transfusi (trombosit concentrate).

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi atau tindakan keperawatan merupakan tahap keempat dari proses
keperawatan. Implementasi adalah semua perawatan yang dilakukan dengan
berdasar kepada perencanaan keperawatan yang telah dibuat dengan harapan
pencapaian dari tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan dalam perencanaan
(Potter & Perry, 2007). Implementasi pada pasien DBD sesuai dengan
perencanaan yang telah dibuat dan diharapkan kejadian DSS dapat dicegah
ataupun dilakukan penanganan dengan cepat dan tepat sehingga tidak terjadi syok
berkepanjangan yang berdampak kematian pada pasien.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan dan
untuk menentukan apakah perencanaan keperawatan yang telah dibuat perlu
dihentikan, dilanjutkan, atau direvisi (Potter & Perry, 2007). Evaluasi pada pasien
DBD dilakukan dengan meninjau kembali tujuan dan kriteria hasil yang
diharapkan, sehingga perawat dapat memutuskan dengan cepat dan tepat apakah
perencanaan yang telah dibuat perlu dihentikan, dilanjutkan, atau direvisi demi
kesembuhan pasien dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, D.S. (2010). Stop! demam berdarah dengue. Bogor: Bogor Publishing House.

Departemen Kesehatan RI. (2004). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Jakarta : Depkes RI Direktorat Jenderal P2M & PL

Depkes RI. (2005). Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan penyehatan Lingkungan

Garna, Herry. (2012). Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis. Bandung : Sagung Seto

Nadesul, H. (2007). Cara mudah mengalahkan demam berdarah. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas

Pearce Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakata: PT. Gramedia
Pustaka Utama

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2007). Basic nursing essentials for practice. (6 th ed). St Loui:
Mosby Elsevier.

WHO (2009). Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit: Pedoman bagi rumah
sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta : WHO Indonesia.

WHO (2009). Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control (New
Edition). France: WHO
LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ENCEPHALITIS DI RUANG


PEDIATRIC INTENSIVE CARE UNIT (PICU)

DI RSUD dr. CHASBULLAH ABDULMAJID KOTA BEKASI

Dosen Pembimbing :

Ns. Laksita Barbara, MN

Disusun Oleh :

Fenny Andriani

1710711077

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2021

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Encephalitis menurut mansjoer dkk (2000) adalah radang jaringan otak yang
dapat disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan protozoa. Sedangkan menurut
Soedarmo dkk (2008) encephalitis adalah penyakit yang menyerang susunan saraf
pusat dimedula spinalis dan meningen yang disebabkan oleh japanese
encephalitis virus yang ditularkan oleh nyamuk. Encephalitis adalah infeksi yang
mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang non-
purulen (+) (Muttaqin Arif,2008).
2. Epidemiologi
Angka kematian untuk encephalitis berkisar antara 35-50%. Pasien yang
pengobatannya terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada encephalitis Herpes
Simpleks) angka kematiannya tinggi bisa mencapai 70-80%. Pengobatan dini
dengan asiclovir akan menurukan mortalitas menjadi 28%. Sekitar 25% pasien
encephalitis meninggal pada stadium akut. Penderita yang hidup 20-40%nya akan
mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Gejala sisa lebih sering ditemukan dan
lebih berat pada encephalitis yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan yang
lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, Demikian juga koma. Pasien yang
mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang
berat. Banyak kasus encephalitis adalah infeksi dan recovery biasanya cepat
encephalitis ringan biasanya pergi tanpa residu masalah neurologi. Dan semuanya
10% dari kematian encephalitis dari infeksinya atau komplikasi dari infeksi
sekunder. Beberapa bentuk encephalitis mempunyai bagian berat termasuk herpes
encephalitis dimana mortality 15-20% dengan treatment dan 70-80% tanpa
treatment. (Soedarmo, Poerwo S. Sumarno. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta. 2000)
3. Etiologi
a. Encephalitis disebabkan oleh mikroorganisme : bakteri, protozoa, cacing,
jamur, spirokaeta dan virus. Macam-macam Encephalitis virus menurut
Robin :
a) Infeksi virus yang bersifat epidermik :
• Golongan enterovirus = Poliomyelitis, virus coxsackie, virus ECHO.
• Golongan virus ARBO = Western equire encephalitis, St. louis
encephalitis, Eastern equire encephalitis, Japanese B. encephalitis, Murray
valley encephalitis.
b) Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes simplek, herpes zoster,
limfogranuloma, mumps, limphotic, choriomeningitis dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
c) Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella,
pasca vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan jenis-jenis yang
mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.
b. Reaksin toxin seperti pada thypoid fever, campak, chicken pox.
c. Keracunan : arsenik, CO.

4. Klasifikasi
Klasifikasi menurut Soedamo dkk,(2008) adalah :
a. Encephalitis fatal yang biasanya didahului oleh viremia dan
perkembangbiakan virus ekstraneural yang hebat.
b. Encephalitis subklinis yang biasanya didahului viremia ringan, infeksi otak
lambat dan kerusakan otak ringan.
c. Encephalitis dengan infeksi asimptomatik yang ditandai dengan hampir tidak
adanya viremia dan terbatasnya replikasi ekstraneural.
d. Enchepalitis dengan infeksi persisten, yang dikenal dengan Japanese B
Encephalitis.

5. Gejala Klinis
a. Demam h. Pucat
b. Sakit kepala i. Halusinasi
c. Pusing j. Kaku kuduk
d. Muntah k. Kejang
e. Nyeri tenggorokan l. Gelisah
f. Malaise m. Iritable
g. Nyeri ekstrimitas n. Gangguan Kesadaran

6. Pemeriksaan Fisik
Pada klien dengan ensepalitis pemeriksaan fisik lebih difokuskan pada
pemeriksaan neurologis. Ruang lingkup pengkajian fisik keperawatan secara
umum meliputi :
a. Keadaan umum
Penderita biasanya keadaan umumnya lemah karena mengalami perubahan
atau penurunan tingkat kesadaran. Gangguan tingkat kesadaran dapat
disebabkan oleh gangguan metabolisme dan difusi serebral yang berkaitan
dengan kegagalan neural akibat proses peradangan otak.
b. Gangguan sistem pernafasan
Perubahan - perubahan akibat peningkatan tekanan intra cranial
menyebabkan kompresi pada batang otak yang menyebabkan pernafasan
tidak teratur. Apabila tekanan intrakranial sampai pada batas fatal akan
terjadi paralisa otot pernafasan (F. Sri Susilaningsih, 1994).
c. Gangguan sistem kardiovaskuler
Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan terjadi iskemik pada
daerah tersebut. Hal ini akan merangsang vasokonstriktor dan menyebabkan
tekanan darah meningkat. Tekanan pada pusat vasomotor menyebabkan
meningkatnya transmiter rangsang parasimpatis ke jantung.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan radiologi :
a. CT Scan
Computed Tomography pada kasus encephalitis herpes simpleks, CT-scan
kepala biasanya menunjukan adanya perubahan pada lobus temporalis atau
frontalis, tapi kurang sensitif dibandingkan MRI. Kira-kira sepertiga pasien
encephalitis herpes simpleks mempunyai gambaran CT-scan kepala yang
normal :
Encephalitis pada herpes simplex

b. MRI
MRI (magnetic resonance imaging) merupakan pemeriksaan penunjang
yang paling dianjurkan pada kasus encephalitis. Bila dibandingkan dengan
CT-scan, MRI lebih sensitif dan mampu untuk menampilkan detil yang
lebih bila terdapat adanya kelainan-kelainan. Pada kasus encephalitis herpes
simpleks, MRI menunjukan adanya perubahan patologis, yang biasanya
bilateral pada lobus temporalis medial dan frontal inferior.
Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan. Biasanya berwarna
jernih, jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfosit. Kadar protein
meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal. Pada fase awal
penyakit encephalitis viral, sel- sel di LCS sering kalipolimorfonuklear,
baru kemudian menjadi sel- sel. LCS sebaiknya dikultur untuk mengetahui
adanya infeksi virus, bakteri &jamur. Pada encephalitis herpes simpleks,
pada pemeriksaan LCS dapat ditemukan peningkatan dari sel darah merah,
mengingat adanya proses perdarahan diparenkim otak. Disamping itu dapat
pula dijumpai peningkatan konsentrasi protein yang menandakan adanya
kerusakan pada jaringan otak. Pada feses ditemukan hasil yang positif untuk
entero virus. Dengan pemeriksaan pencitraan neurologis (neuroimaging),
infeksi virus dapat diketahui lebih awal dan biasanya pemeriksaan ini
secara rutin dilakukan pada pasien dengan gejala klinis neurologis.
c. EEG (Electroencephalography)
Didapatkan penurunan aktivitas atau perlambatan. Procedure ini setengah
jam, mengukur gelombang aktivitas elektrik yang diproduksi oleh otak. Ini
sering digunakan untuk mendiagnosa dan mengatur penyakit kejang.
Abnormal EEG menunjukkan encephalitis. Elektroensefalografi (EEG)
pada encephalitis herpes simpleks menunjukan adanya kelainan fokal
seperti spike dan gelombang lambat atau (slow wave) atau gambaran
gelombang tajam (sharp wave) sepanjang daerah lobustemporalis. EEG
cukup sensitif untuk mendeteksi pola gambaran abnormal encephalitis
herpes simpleks, tapi kurang dalam hal spesifisitas. Sensitifitas EEG kira
kira 84 % tetapi spesifisitasnya hanya 32.5% Gambaran
elektroensefalografi (EEG) sering menunjukkan aktifitas listrik yang
merendah yang sesuai dengan kesadaran yang menurun
d. Biopsi Otak
Paling sering digunakan untuk diagnosis dari herpes simplex encephalitis
bila tidak mungkin menggunakan metode DNA atau CT atau MRI scan.
Dokter boleh mengambil sample kecil dari jaringan otak. Sampel ini
dianalysis dilaboratorium untuk melihat virus yang ada. Dokter boleh
mencoba treatment dengan antivirus medikasi sebelum biopsi otak.
8. Penatalaksanaan
a. Terapi suportif : Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan
mengusahakan jalan nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian
oksigen, pemasangan respirator bila henti nafas, intubasi, trakeostomi),
pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan gangguan
menelan, akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan
aspirasi mekanis yang periodik.
b. Terapi kausal : Pengobatan anti virus diberikan pada encephalitis yang
disebabkan virus, yaitu dengan memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap
8 jam selama 10-14 hari. Pemberian antibiotik polifragmasi untuk kemungkinan
infeksi sekunder.
c. Terapi Ganciklovir : pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis
Ganciklovir : 5 mg/kg BB dua kali sehari, kemudian dosis diturunkan menjadi
satu kali, lalu dengan terapi maintenance. Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk
encephalitis karena toxoplasmosis.
d. Terapi Simptomatik : Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas
kejang. Tergantung dari kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang
diberikan ialah valium dan luminal. Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan
surface cooling dengan menempatkan es pada permukaan tubuh yang mempunyai
pembuluh besar,misalnya pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah
proksimal betis dan diatas kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2
mg/kgBB/hari dan phenergan 4mg/kgBB/hari IV atau IM dibagi dalam 3 kali
pemberian. Diberikan antipiretikum sepeb rti parasetamol, bila keadaan telah
memungkinkan pemberian obat peroral. Untuk mengurangi edema serebri dengan
deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi 3 dosis dengan cairan rendah natrium.
Bila terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol0,5-
2 g/kgBB IV dalam periode 8-12 jam.

9. Komplikasi
Komplikasi encephalitis dapat terjadi:
a. Akut
 Edema otak
 SIADH
 Status konvulsi
b. Kronik
 Cerebral palsy
 Epilepsy
 Gangguan visual dan pendengaran

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

1) Identitas Pasien
 Nama :
 Umur :
 Alamat :
 Pekerjaan :
 No. Reg :
 Tgl. MRS :
 Tgl. Pengkajian :
 Dx Medis :
2) Identitas Penanggung Jawab
 Nama :
 Umur :
 Pekerjaan :
 Hub. dgn pasien :
3) Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama :
 Riwayat penyakit sekarang :
 Riwayat kehamilan dan kelahiran:
 Riwayat kesehatan keluarga
4) Pola Kesehatan Fungsional Pola Gordon
 Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
 Pola nutrisi dan metabolic
 Pola cairan dan metabolic
 Pola istirahat dan tidur
 Pola aktivitas dan Latihan
 Pola eliminasi
 Pola persepsi dan kognitif
 Pola reproduksi dan seksual
 Pola persepsi dan konsep diri
 Pola mekanisme koping
 Pola nilai dan kepercayaan
5) Pengkajian Fisik
 Keadaan umum pasien
 Kesadaran
 Pemeriksaan TTV
6) Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan radiologic

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
c. Hipertermi
d. Nyeri akut
e. Risiko Infeksi
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Brunner / Suddarth. 1984. Medical Surgical Nursing. JB Lippincot Company : Philadelphia.

Doenges, Marilyn E . 1993. Nursing Care Plans, F.A.Davis Company :Philadelphia.

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.

Jakarta: EGC

Joanne, dkk. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC), Fifth Edition. Amerika:
Mosby

Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak.1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Fakultas

Kedokteran UNAIR Surabaya.

Mansjoer,et al.2001. Kapita Selekta Kedokteran volume 1 edisi 3. Jakarta : Media


Aesculapius

Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourth Edition. Amerika:

Mosby

Muttaqin Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta:

Salemba Medika

Ngastiyah.1997. Perawatan Anak Sakit. EGC : Jakarta

Rahman M.1986.Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium,


Kelompok
Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran Salemba : Jakarta.

Sacharian, Rosa M. 1993. Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. EGC : Jakarta.

Sutjinigsih.1995. Tumbuh kembang Anak.EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai