Anda di halaman 1dari 5

Salma Nur Shohimah 17101711142

3. PENANGGULANGAN BENCANA DI NEGARA JEPANG

Jepang terletak di barat laut Samudera Pasifik. Negara ini berbatasan di sebelah barat
dengan Korea Utara, Korea Selatan, dan Rusia. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut
Okhstosk. Di sebelah timur dengan Samudera Pasifik dan di sebelah sebelah selatan berbatasan
dengan Laut China Timur dan Laut Filipina. Secara astronomis Jepang berada pada 30ºLU–47ºLU
dan 128ºBT–146ºBT. Jepang terletak di tepi bagian barat dari Samudera Pasifik. Daerah ini
merupakan bagian dari cincin api (ring of fire) yang terdiri atas banyak gunung api. Setidaknya
terdapat 192 gunung api tersebar di negara ini. Salah satu diantaranya merupakan yang tertinggi
di Jepang yaitu Gunung Fuji (3.776 m). Karena banyaknya gunung api, maka sekitar 25% wilayah
negara ini tertutup lapisan vulkanik.
Selain memiliki banyak gunung api, Jepang juga dikenal sebagai negara yang sering
mengalami bencana gempa bumi. Karena Jepang terletak pada daerah perbatasan antara
lempeng benua Asia dan Lempeng Samudera Pasifik. Lempeng Benua Asia terangkat karena
berat jenisnya lebih ringan, sehingga membentuk kepulauan Jepang. Pertemuan atau tumbukan
kedua lempeng tersebut juga menimbulkan gejala gempa dan gunung api. Fenomena tersebut
mirip dengan Indonesia yang juga berada pada perbatasan zone tumbukan lempeng Benua Asia
dengan Lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Jepang memiliki sumber daya mineral
yang sangat terbatas. Hasil tambang dari dalam negeri sangat tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan industrinya. Beberapa hasil tambang tersebut adalah batubara (kualitas rendah),
timah, seng, mangan, tungsten, antimoni, dan krom. Minyak bumi ditemukan di Honshu utara
tapi produksinya sangat jauh dari kebutuhan. Sumber daya mineral yang cukup terpenuhi adalah
belerang.

a. Strategi Negara jepang dalam menghadapi bencana :


1. Menguatkan Riset Terkait Bencana : Pada 2012, satu tahun setelah Jepang dilanda
tsunami setinggi 20 meter, Universitas Tohoku membentuk International Research
Institute of Disaster Science (IRIDeS). Institut ini dibangun di bekas kawasan yang
terdampak tsunami, dengan misi utama mempelajari manajemen tanggap bencana
dengan lebih seksama. Studi-studi yang dilakukan di IRIDeS mencakup bidang yang luas,
mulai dari pengobatan untuk kasus-kasus medis di tengah bencana, sampai ke
penanganan trauma psikologis pasca-bencana. Berbagai studi tersebut dirancang untuk
mempercepat proses pemulihan sosial-ekonomi dan rekonstruksi masyarakat Jepang
setelah tertimpa bencana alam.
2. Mengembangkan Alat Pendeteksi Bencana : Riset kebencanaan di Jepang telah
membuahkan berbagai hasil, salah satunya adalah sistem pendeteksi gempa dan
tsunami yang disebut Monitoring of Waves on Land and Seafloor (MOWLAS). Menurut
penjelasan Shin Aoi, direktur dari National Research Institute for Earth Science and
Disaster Resilience (NIED), MOWLAS adalah sistem pendeteksi bencana yang mampu
menjangkau seluruh daratan dan kawasan laut di sekitar Jepang. MOWLAS diklaim
mampu mendeteksi berbagai frekuensi getaran bumi secara langsung, dan bisa memberi
peringatan bencana hingga 20 menit sebelum kejadian. Dengan demikian, saat terjadi
gempa atau tsunami, masyarakat memiliki cukup tambahan waktu untuk melakukan
evakuasi dan meminimalisir korban jiwa.

3. Membangun Fasilitas Darurat Bencana : Pemerintah Jepang juga membangun fasilitas


darurat bencana di sejumlah wilayah yang rawan terdampak bencana. Salah satunya
adalah Tokyo Rinkai Disaster Prevention Park yang dibangun di distrik Koto, Tokyo. Saat
keadaan normal, taman seluas 13 hektare ini bisa digunakan warga untuk rekreasi. Di
hari-hari biasa, masyarakat juga bisa mengikuti latihan simulasi evakuasi bencana di
tempat ini. Namun saat terjadi gempa atau tsunami, Tokyo Rinkai Park bisa difungsikan
juga sebagai tempat berlindung. Tokyo Rinkai memiliki aula tahan gempa yang bisa
menampung hingga ratusan orang, memiliki perlengkapan medis, serta dilengkapi 7
buah helikopter penyelamat. Dengan fasilitas ini masyarakat bisa belajar cara evakuasi
bencana dengan mudah. Warga Tokyo juga tak perlu bingung mencari tempat
berlindung saat bencana terjadi. Strategi menghadapi bencana yang sangat
komprehensif yang selayaknya kita teladani.

b. Bencana alam yang sering terjadi di Negara jepang :

1. Tsunami Fukushima 2011 : tsunami pada saat tahun 2011 terjadi akibat adanya gempa
bumi dahsyat berkekuatan sekitar 8,9 SR dan menghantam timur laut, pada jumat 11
Maret 2011. Setelah gempa berkekuatan 8,9 itu, banyak gempa-gempa susulan yang
juga cukup besar dan memicu peringatan tsunami dengan ketinggian 10 meter.
2. Angin topan atau taifu : melanda Jepang setiap tahunnya yakni pada peralihan musim
panas ke musim gugur yang datang dari arah selatan menuju utara. Apabila angin topan
datang, biasanya transportasi diberhentikan untuk sementara, toko-toko pun ditutup
dan tidak banyak orang yang keluar rumah. Semakin naik ke utara, kekuatan angin topan
akan semakin melemah. Itulah sebabnya mengapa bagian utara Jepang seperti Hokkaido
hampir tidak pernah dilanda angin topan.
3. Badai salju yang sangat lebat : biasanya terjadi di wilayah seperti Hokkaido dan Tohoku
yang berada di pesisir laut Jepang, masyarakatnya sudah terbiasa dengan fenomena
alam seperti itu dan sudah mempersiapkan segalanya.
4. Banjir : Musim Hujan di Jepang disebut tsuyu. Biasanya terjadi pada pertengahan tahun,
Ketika itu terjadi biasanya aka nada erosi tanah di daerah lereng gunung karena hujan
turun dengan sangat deras. Tak jarang pula sungai akan meluap dan menyebabkan
banjir besar.

7. Kasus wabah penyakit covid-19 di Negara jepang


Pemerintah Jepang secara resmi mengonfirmasi kasus COVID-19 pertamanya pada 16
Januari 2020. Kasus ini menjadikan Jepang sebagai negara kedua setelah Thailand yang
mengonfirmasi kasus COVID-19 di luar China. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan,
Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan Jepang (MHLW, 2020), secara nasional, sampai dengan 29
Maret 2020, pemerintah Jepang telah melakukan pengujian sampel sebanyak 52.179. Per 14
April 2020, terdapat total 7.693 kasus positif di Jepang (di luar kasus Diamond Prince Cruise
sebanyak 672 kasus), dengan 799 kasus sembuh dan 146 kematian. Di antara 146 kasus
kematian yang ada, hampir seluruhnya berasal dari tiga kelompok usia yang paling rentan, yaitu
70-an, 80-an, dan 90-an.

Dilihat dari tren kenaikan angkanya, jumlah kasus positif COVID-19 di Jepang relatif
rendah pada bulan Februari, namun meningkat secara tajam sejak minggu ketiga Maret.
Puncaknya, dalam kurun waktu satu minggu (30 Maret - 5 April 2020), terjadi lonjakan
sebanyak 1.246 kasus baru. Angka persebaran kasus positif per wilayah juga sangat beragam.
Per 7 April 2020, kasus positif COVID-19 sudah terkonfirmasi di 44 dari total 47 prefektur di
Jepang. Metropolitan Tokyo dan sekitarnya (Prefektur Saitama, Kanagawa, dan Chiba)
merupakan wilayah dengan angka kasus tertinggi nasional dengan total 1.975 kasus.
Updatean terkini pada 14/09/2020 mengenai kasus terpapar covid-19 yang terjadi di
jepang adalah sebanyak 75.218 kasus terinfeksi, 66.899 kasus berhasil sembuh, dan 1439 kasus
meninggal dunia, (COVID-19 Stats, n.d.).

a. Kebijakan pemerintahan Jepang dalam penanganan kasus covid-19


Kurang dari dua pekan setelah penemuan kasus pertama, pada 28 Januari 2020,
Pemerintah Jepang memasukkan COVID-19 ke dalam kategori "penyakit menular" di bawah UU
Pengendalian Penyakit Menular Jepang (Infectious Diseases Control Law), serta "penyakit
menular yang bisa dikantina" di bawah Hukum Kekarantinaan Jepang (Quarantine Act). Revisi
ini memberikan pemerintah wewenang untuk merawat pasien COVID-19 dan mengarantina
pasien terduga COVID-19. Di samping itu, pemerintah juga menerapkan tiga pilar utama sebagai
strategi besar untuk mengurangi penyebaran COVID-19 (MHLW, 2020), yaitu:

(1) Deteksi dini dan respon cepat terhadap klaster-klaster penyebaran : merupakan fokus
utama Pemerintah Jepang dalam menangani COVID-19. Pilar ini bertujuan untuk mencegah
penyebaran infeksi dan penularan domestik serta mencegah perluasan dan munculnya
klaster baru dengan melakukan pelacakan (contact tracing). Tujuan utama dari seluruh
tindakan di pilar pertama ini adalah menghindarkan Jepang dari puncak epidemi dan
keruntuhan sistem layanan kesehatan. Keruntuhan sistem layanan kesehatan atau
keruntuhan medis ini, menurut Yusup (2020), tidak perlu menunggu terjadinya ledakan
infeksi mengingat dengan situasi sekarang pun, dengan peningkatan jumlah pasien yang
harus ditangani, para tenaga professional medis sudah kewalahan dan semakin kelelahan.
Selain itu, risiko keruntuhan medis ini juga bisa dipicu oleh berkurangnya tenaga medis
yang terpapar sehingga harus diisolasi dan tidak dapat bekerja (Yusup, 2020).

(2) Optimalisasi fasilitas intensive care terutama bagi mereka yang kondisinya buruk/kritis :
bertujuan untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai termasuk pengadaan
ventilator. Kemudian memprioritaskan pasien yang membutuhkan penanganan medis
segera, misalnya pasien dengan gejala berat, pasien yang mempunyai riwayat penyakit
bawaan atau pasien lanjut usia. Di Jepang, warga tidak bisa langsung datang ke rumah sakit
(RS) besar untuk berobat, berkonsultasi masalah COVID-19, maupun mengambil tes
polymerase chain reaction (PCR). Warga diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi
dengan petugas di pusat panggilan (call center) resmi COVID-19 (Kikoku-sha sesshoku-sha
sōdan sentā atau Call Center for Japanese Returnees and Potential Contacts), atau
mengunjungi klinik atau fasilitas kesehatan tingkat pertama setempat.

(3) Modifikasi perilaku masyarakat. Pelaksanaan ketiga pilar utama ini berkaitan erat dan saling
berimplikasi satu sama lain : dilakukan dengan cara mengoptimalkan “kampanye
pencegahan penyakit menular” yang telah ada dan berjalan dalam masyarakat Jepang.
Kampanye ini mencakup gerakan mencuci tangan dengan sabun, serta sosialisasi etika
batuk dan penggunaan masker ketika sakit. Gagasan dasar dari kampanye ini untuk
mencegah yang sehat menjadi sakit, dan juga mencegah penularan dari yang sakit ke yang
sehat. Di samping itu, pemerintah juga menggalakkan kampanye baru dalam rangka
penanggulangan COVID-19, yaitu “Hindari 3 Situasi!” [dalam Bahasa Jepang: mitsu no mitsu
wo sakemashou (hindari 3 jenis kepadatan!); dalam Bahasa Inggris, Avoid the “Three Cs”!],
yang pada dasarnya merupakan kampanye physical distancing atau jaga jarak. Dalam
konteks ini, “3 Situasi atau 3-C” mengacu pada tempat dan situasi yang berisiko tinggi
penularan COVID-19: (1) Closed spaces, yaitu ruang tertutup dengan sirkulasi udara yang
buruk, (2) Crowded places, yaitu kerumunan dengan banyak orang, dan (3) Close-contact
settings, yaitu kontak fisik dan percakapan dalam jarak dekat.
Daftar Pustaka

COVID-19 Stats. (n.d.). COVID-19 Stats - Realtime coronavirus statistics with charts. Retrieved September
14, 2020, from https://epidemic-stats.com/coronavirus/japan
Prakoso, J. R. (2019). Topan Hagibis dan Kesiapan Jepang Hadapi Bencana Alam (Typhoon Hagibis and
Japan’s Preparedness to Face Natural Disasters). https://travel.detik.com/travel-news/d-
4743997/topan-hagibis-dan-kesiapan-jepang-hadapi-bencana-alam
(Prakoso, 2019)

Anda mungkin juga menyukai