Anda di halaman 1dari 6

TSUNAMI TARO DAN HUDAI

Anandhika Arifianto / 15416008

Program Studi Perencenanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung


Jl. Ganesha No.10, Coblong, Bandung
Anandhka_arif@students.itb.ac.id

ABSTRAK

PENDAHULUAN

Jepang sebagai negara kepulauan di tepi Samudera Pasifik yang terletak di


atas wilayah Pasific Rings of Fire. Wilayah yang merupakan pertemuan empat
lempeng tektonik aktif, yaitu lempeng tektonik Pasifik, lempengtektonik laut
Filipina, lempeng Amerika Utara dan lempeng Eurasia. Tekanan yang sangat kuat
pada zona subduksi oleh lempeng Pasifik dan lempeng laut Filipina diterima
kepulauan di Jepang sehingga menjadi penyebab tingginya intensitas gempa
tektonik di Jepang, terutama bagian pantai timur Jepang atau akrab disebut The
Great East. Tidak sebatas gempa bumi, melihat secara geografis negara Jepang
yang terletak di tepi samudera Pasifik menjadikan Tsunami sebagai salah satu
bencana alam yang perlu dipertimbangkan dalam upaya mitigasi kebencanaan.

Gambar 1. Ilustrasi Pertemuan Lempeng Tektonik di Jepang


Sumber: umtech.edu

Sebagai negara yang kerab dilanda gempa bumi dan tsunami, pemerintah
negeri sakura ini harus mencoba bersahabat dengan bencana tersebut. Terlebih
lagi dengan garis pantai sepanjang 29.751 kilometer, pemerintah Jepang
mengalokasikan anggaran darurat sebesar 4 triliun yen atau sekitar US$ 48,8
miliar untuk penanggulanan bencana di pesisir timur pantai Jepang. Mitigasi
struktural dengan membangun infrastruktur berupa seawall, tsunami gates, dan
hutal kontrol ini difokuskan pada kawasan pesisir timur kepulauan Jepang yang
rentan, seperti tsunami gates di Fudai dan seawall di Taro.

Tsunami besar melanda pantai timur Jepang karena gempa tektonik


dengan magnitudo 9 pada 11 Maret 2011. Lebih dari 120.000 bangunan hancur,
278.000 hancur setengahnya dan 726.000 hancur sebagian. Kerugian keuangan
diperkirakan sekitar US$ 199 miliar (sekitar 16,9 triliun yen), menurut
pemerintah Jepang. Gempa dan tsunami pada 2011 tersebut yang menunjukan
andil dari investasi membangun infrastruktur dan anggaran daruratnya dalam
upaya mitigasi bencana tsunami. Keberadaan infrastruktur tersebut diharapkan
dapat meminimalisasi dampak bencana yang terjadi, namun demikian di Kota
Taro bagian timur laut Jepang seawall yang telah dibangun dalam garis ganda
seperti yang ditunjukan pada gambar 2, dengan ketinggian 10 meter tetap tidak
dapat membendung tsunami yang terjadi. Tsunami meluap dan menghancurkan
seawall di Kota Taro dan akhirnya menelan banyak korban.

Gambar 2. Seawall di Taro


Sumber: COLLAPSE MECHANISM OF SEAWALLS BY IMPULSIVE LOAD
DUE TO THE MARCH 11 TSUNAMI, 2011

PEMBAHASAN

Masyarakat Jepang memiliki tingkat kesadaran akan risiko bencana yang


sangat tinggi, pendekatan akar rumput dilakukan Jepang agar penanganan
bencana alam bisa berlangsung optimal. Seluruh masyarakat memiliki kesadaran
mengenai apa yang harus dilakukan ketika bencana datang, juga penghirmatan
akan bencana tersebut. Posisi negara sakura ini yang terletak pada pertemuan
empat lempeng tektonik. Bagian selatan Jepang, lempeng laut Filipina bergerak
ke arah lempeng Eurasia yang memotong Pulau Honshu, Kansai. Bagian tengah
dan utara Jepang adalah lempeng Amerika Utara yang bergerak ke arah lempeng
Eurasia. Sementara itu, lempeng Pasifik bergerak ke arah lempeng Amerika
Utara. Posisi tersebut menyebabkan Jepang memiliki intensitas gempa bumi yang
tinggi, seperti halnya Indonesia. Bentuk negara Jepang yang merupakan negara
kepulauan yang dekat dengan zona subduksi memungkinkan timbulnua tsunami
apabila gempa terjadi di zona subduksi bawah laut dengan magnitudo besar dan
kedalaman episentrum yang dangkal.

Begitu tinggi risiko kebencanaan di Jepang, membuat kesadaran


masyarakat perlu diimbangi dengan mitigasi-mitigasi struktural dan non-
struktural. Jepang secara ilmiah mulai memahami terjadinya gempa dan tsunami
sejak terjadinya tsunami pada 1896. Dan baru pada tahun 1923, Jepang mulai
menjalankan upaya mitigasi yang terintegrasi, hingga pada 1933 mulailah
diperkenalkan sistem pembangunan tanggul pantai, jalur evakuasi, penambahan
ketinggian muka tanah, dan pemindahan permukiman ke tempat yang lebih
tinggi. Peneliti melakukan berbagai simulasi sehingga pada akhirnya diperoleh
kesesuaian perhitungan tanggul pantai dengan kemunginan terburuk tinggi
tsunami. Namun demikian kita belajar dari Kota Taro, bahwa seawall yang
dibangun tidak dapat menanggulangi tsunami yang terjadi. Hingga akhirnya
muncul sebuah pedoman tsunami bernama “A Guidance on Reinforcement of
Tsunami Disaster Prevention Countermeasures in Local Disaster Prevention
Planning”.

Pesisir pantai timur Jepang memiliki risiko bencana gempa bumi dan
tsunami yang tinggi, sehingga pemerintah Jepang menginvestasikan dana untuk
membangun infrastruktur dalam mitigasi bencana. Salah satu contoh
implementasi mitigasi bencana struktural tersebut adalah dengan membangun
seawall, tsunami gates, evaviation building dan breakwater di beberapa lokasi
sepanjang pantai timur Jepang, misalkan seawall di Taro dan tsunami gate di
Fudai.

Desa Fudai terletak di sepanjang sungai Fudai dan pernah dilanda tsunami
pada tahun 1896, dimana air limpasan masuk melalui sungai Fudai dan meluluh
lantakan desa Fudai. Sehingga pada 1967, pemerintah Jepang melakukan
pembangunan tsunami gates di belakang pelabuhan nelayan di mulut sungai
Fudai setinggi 15,5 meter untuk memperkecil dampak tsunami. Hal ini
mempertimbangkan kondisi topografi Fudai yang dikelilingi oleh tebing tinggi
dengan bukaan sempit ke arah laut, hingga pada akhirnya tsunami gates ini
dinilai tepat untuk dibangun. Tsunami gate di Fudai juga digunakan untuk
mengalirkan air dari sungai ke teluk kecil.

Pada mulanya sebagian masyarakat tidak menyetujui pembangunan


tsunami gates dikarenakan lebar dari tsunami gates sebesar 205 meter dianggap
terlalu lebar dan hanya membuang-buang uang. Namun demikian kepala Desa
Fudai dapat meyakinkan masyarakatnya hingga pada 1984, tsunami gates
rampung dikerjakan bersamaan dengan pensiunnya kepala desa.
Pada kejadian bencana tsunami pada tahun 2011, Early Warning System
bekerja dengan baik, dalam selang waktu 3 menit infprmasi tentang
kemungkinan terjadinya tsunami tersebar ke seluruh penjuru Jepang. Gelombang
setinggi 17 meter menghantam tsunami gates di Fudai, walaupun terjadi
overtopping aliran tsunami, namun air hanya menggenangi daratan dibalik
bangunan sejauh beberapa puluh meter dengan kekuatan kecil. Walau air
tsunami telah overtopping dan melewati tsunami gates, akan tetapi korban jiwa
hanya sedikit karena lokasi masyarakat yang tinggal di Desa Fudai terletak cukup
jauh dari tsunami gates. Tsunami gates di Desa Fudai dapat secara optimal
dibangun karena memanfaatkan bentuk topologi yang berbukit di sekeliling Desa
Fudai. Dengan keuntungan tersebut, pembangunan tsunami gates hanya
membutuhkan biaya yang lebih sedikit.

Gambar 3. Tsunami Gates di Desa Fudai

Sumber:

Dalam kasus ini dapat diambil pelajaran bahwa intervensi pemerintah


dalam melakukan mitigasi struktural seperti membangun seawall sangat
diperlukan. Terutama dalam meyakinkan masyarakat bahwa keperluan mitigasi
struktural yang telah diperhitungkan dengan matang dapat mengurangi risiko
bencana alam. Pembangunan infrastruktur sebagai salah satu upaya mitigasi
struktural harus mempertimbangkan dan memanfaatkan aspek lingkungan
sekitar, sehingga pembangunannya tepat sasaran. Seperti juga contoh di Desa
Fudai, yang mempertimbangkan topologi kawasan tersebut dalam membangun
tsunami gate di bibir sungai.

Berbeda dengan Fudai,

PENUTUP

Memanfaatkan alam

Mitigasi non struktural

DAFTAR PUSTAKA

Oskin, Becky. 2017. Japan Earthquake & Tsunami of 2011: Fact and Information.
https://www.livescience.com/39110-japan-2011-earthquake-tsunami-
facts.html

Anda mungkin juga menyukai