Program Studi Magister Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB
Abstrak
Tsunami merupakan bencana yang tidak dapat diprediksi dan jarang terjadi tetapi berpotensi menjadi bencana alam yang merusak. Energi dari
gelombang tsunami ini dapat menghancurkan hampir seluruh benda baik itu tumbuhan, atau bangunan analisis kerentanan bangunan diperlukan untuk
memperoleh pemahaman yang tepat mengenai estimasi kerusakan yang dapat diakibatkan oleh bencana tsunami. Analisis ancaman tsunami dilakukan
melalui pendekatan pemodelan tsunami secara numerik yang bersifat kuantitatif dimana model direkonstruksi menjadi model 3D kota dengan
kedetailan LOD1 dan LOD2. Metode penilaian kerentanan bangunan dapat memberikan informasi kerusakan, salah satunya menggunakan Model
Papathoma Tsunami Vulnerability Assessment (PTVA). Metode PTVA-4 akan dipergunakan dengan berbagai penyesuaian pada kelas parameter
sesuai dengan interpretasi foto udara, Google Earth, dan survei lapangan untuk mendapatkan informasi karakteristik bangunan. Hasil yang didapatkan
adalah tinggi maksimum genangan tsunami terhadap bangunan sebesar 7.53 meter, sebanyak 36 atau 11.8% bangunan terklasifikasi dalam kerentanan
tinggi, 247 atau 81.51% bangunan kerentanan menengah, dan 20 atau 6.6% bangunan terklasifikasi kerentanan rendah.
Abstract
Tsunami is an unpredictable and rare disaster but maybe a destructive natural disaster. The energy from these tsunami waves can destroy almost any
object, plant, or structure. The vulnerability analysis is needed to gain a proper understanding of what a tsunami can cause. The tsunami threat
analysis was carried out through a quantitative numerical tsunami modeling approach where the model reconstructed a 3D city model with LOD1
and LOD2 details. The building vulnerability assessment method can provide damage information, one of which uses the Papathoma Tsunami
Vulnerability Assessment (PTVA) Model. The PTVA-4 method will be used with various adjustments to the class parameters according to the
interpretation of aerial photos, Google Earth, and field surveys to obtain information on building characteristics. The results obtained are the
maximum height of the tsunami against the building of 7.53 meters, as many as 36 or 11.8% of buildings classified as high vulnerability, 247 or
81.51% of medium vulnerability buildings, and 20 or 6.6% of buildings classified as low vulnerability.
1. Pendahuluan
Pesisir Kabupaten Lebak terkenal sebagai salah satu daerah pariwisata unggulan di Provinsi Banten. Letaknya yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, menjadikannya sangat rentan terhadap tsunami akibat tingginya
aktivitas seismik di zona subduksi yang berada di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa (Pusat Studi Gempa Nasional,
2017). Berdasarkan catatan historis kejadian tsunami di bagian selatan Pulau Jawa dalam 30 tahun terakhir, tercatat 2
kali kejadian tsunami yang cukup besar yaitu pada tahun 1994 di Pacitan (Mw = 7,8) yang menelan korban jiwa
sebanyak 238 orang dengan tinggi rendaman mencapai 13,9 meter dan pada tahun 2006 di Pangandaran (Mw= 7,7)
yang menelan korban jiwa hingga 802 jiwa dengan ketinggian genangan mencapai 20,9 meter (National Center for
Environmental Information, 2018). Adanya 2 kejadian ini menunjukkan bahwa tsunami yang terjadi dalam kurun waktu
30 tahun terakhir terjadi akibat adanya gempa besar dengan kelas magnitudo 7 (Pusat Studi Gempa Nasional, 2017).
Adapun dari penelitian Hanifa dkk., 2014 menyebutkan bahwa di zona subduksi bagian barat Jawa terdapat potensi
gempa besar dengan nilai magnitudo 8 sampai 9 akibat dari akumulasi energi yang sangat besar (Hanifa dkk., 2014).
Sejalan dengan penelitian oleh Hanifa dkk. 2014, penelitian yang dilakukan oleh Widiyantoro dkk., 2020 juga
mengungkapkan adanya seismic gap pada bagian selatan Pulau Jawa yang dapat dikaitkan dengan potensi gempa
megathrust yang tinggi (Widiyantoro dkk., 2020). Adapun yang dimaksud dengan seismic gap adalah bagian dari
sebuah patahan yang dulunya pernah mengakibatkan gempabumi, tapi sekarang dalam kondisi tidak aktif.
Dengan mempertimbangkan kejadian tsunami di masa lampau dan hasil dari riset potensi bahaya tsunami di pesisir
selatan Jawa, maka diperlukan program manajemen risiko bencana yang bertujuan untuk meminimalkan risiko dari
bencana tsunami. Adapun menurut UU RI Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, program
manajemen risiko bencana terdiri dari beberapa kegiatan seperti pengkajian ancaman bencana, pemahaman mengenai
kerentanan masyarakat dan analisis probabilitas dampak atau risiko bencana.
Sebagai salah satu parameter pengkajian risiko bencana, analisis kerentanan bangunan diperlukan untuk memperoleh
pemahaman yang tepat mengenai estimasi kerusakan yang dapat diakibatkan oleh bencana tsunami. Pemahaman
mengenai estimasi kerugian ini penting sebagai dasar dalam pengembangan rencana alokasi sumber daya anggaran
berkelanjutan yang diperlukan untuk meminimalisir potensi kerusakan sehingga keselarasan arah dan efektivitas
penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat terjamin (BNPB, 2012; Cardona dkk., 2008). Selain itu, bangunan
merupakan salah satu aspek yang penting untuk dilindungi, karena selain memiliki nilai ekonomi bangunan juga
berfungsi sebagai tempat tinggal bagi mereka yang selamat dari bencana (Wibowo dkk., 2013). Kerentanan fisik
bangunan menyebabkan cidera dan kematian bagi penduduk serta kerusakan barang milik mereka jika terjadi bencana
(Thapaliya, 2006). Westen dkk., (2009) menyebutkan bahwa hilangnya nyawa yang lebih besar akibat bencana di
negara berkembang disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan kesiapsiagaan bencana oleh masyarakat. Selain itu,
bangunan yang memiliki kualitas buruk serta kurangnya rencana tata ruang untuk bangunan yang dibangun di kawasan
rawan bencana juga menjadi faktor hilangnya nyawa akibat bencana.
Dalam penelitian ini, analisis ancaman bencana dilakukan melalui pendekatan pemodelan tsunami secara numerik.
Pemodelan tsunami secara numerik dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan analisis dampak tsunami yang bersifat
kuantitatif. Selanjutnya data tersebut akan direkonstruksi menjadi model 3D kota dengan kedetailan LOD1 dan LOD2.
Pemodelan 3D dibuat karena banyaknya penulis meyakini bahwasanya visualisasi 3D memiliki potensi untuk menjadi
alat komunikasi yang lebih efektif dalam manajemen risiko bencana dibandingkan representasi 2D (Kolbe dkk., 2005;
Thomas dkk., 2007; Marincioni, 2007; Kemec dkk., 2009). Selanjutnya hasil pemodelan tsunami ini akan digunakan
dalam penilaian kerentanan bangunan di wilayah studi.
Beberapa model dan metode telah banyak dikembangkan untuk menilai kerentanan bangunan. Di Indonesia sendiri,
penilaian kerentanan bangunan terhadap tsunami mengacu kepada Perka BNPB No. 2 tahun 2012 (BNPB, 2012).
Adapun parameter yang diperhitungkan berdasarkan Perka BNPB tersebut hanya memperhatikan nilai ekonomi dari
bangunan dan kurang memperhatikan parameter dari segi struktural. Metode penilaian kerentanan bangunan dari segi
struktural yang paling terkenal adalah Model Papathoma Tsunami Vulnerability Assessment (PTVA) yang
diperkenalkan pertama kali oleh (Papathoma dkk., 2003) disebut PTVA-1. Kemudian, model tersebut direvisi menjadi
PTVA-2 (Dominey-Howes & Papathoma, 2007), PTVA-3 (Dall’Osso dkk., 2009a), dan PTVA-4 (Dall’Osso dkk.,
2016). Metode PTVA-4 merupakan metode yang relatif baru dan mutakhir dalam merumuskan parameter yang
dipertimbangkan terkait kerentanan bangunan, sehingga dalam penelitian ini dilakukan beberapa modifikasi atribut agar
hasil yang didapatkan bisa merepresentasikan kondisi bangunan di area studi.
2. Wilayah Penelitian
Penelitian dilakukan pada lingkup sepanjang pesisir Panggarangan, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Wilayah
penelitian berada diantara garis Bujur Timur 106°12’30” – 106°14’0” dan garis Lintang Selatan 6°55’0” – 6°55’30” LS
seluas 95,36 hektar wilayah yang barada di pesisir dan wilayah tersebut divisualisasikan pada Gambar 1. Lokasi
tersebut berada dikelilingi oleh beberapa segmen gempa yaitu Selat Sunda, Jawa Barat-Jawa Tengah, Pangandaran
(2006), dan Cilacap. Lokasi tersebut dipilih dikarenakan adanya permintaan dari Gugus Mitigasi Lebak Selatan untuk
dilakukan pemetaan kerentanan bangunan pada daerah tersebut.
3. Metode Penelitian
Parameter Gempa
Pada studi kasus ini terdapat dua skenario pemodelan tsunami probabilistik dengan salah satu skenario menggunakan
dua segmen gempa. COMCOT membutuhkan parameter input berupa parameter gempa yang akan menghasilkan
gelombang tsunami. Parameter tersebut tercantum pada Tabel 1. Dalam skenario probabilistik, parameter seperti
panjang, lebar, dan dislokasi pelat diperoleh melalui proses perhitungan. Parameter kedalaman, strike, dip diperoleh dari
USGS Slab model 1.0 (Hayes, dkk., 1979), dengan sudut rake dianggap berlawanan dengan arah pergerakan pelat pada
fase interseismik. Parameter pusat gempa diperoleh dari hasil kajian Pusat Studi Gempa Nasional (2017) dengan
menyesuaikan segmentasi yang dilakukan PusGen.
Kedalaman D Meter
Strike Derajat
Dip Derajat
di mana m adalah laju slip, S adalah luas segmen patahan, adalah kekakuan normal (3𝑥10^10). Setelah parameter
didapatkan, kemudian seluruh parameter dimasukan kedalam script Comcot v1.7
Cornell Multi-Grid Coupled Tsunami v.1.7 merupakan software yang digunakan untuk pemodelan gelombang tsunami
menggunakan bahasa pemrograman FORTRAN 90 dan menggunakan Shallow Water Equation (SWE) untuk
COMCOT menggunakan Persamaan Air Dangkal Linier (LSWE) dan Persamaan Air Dangkal Nonlinier (NLSWE).
Pada kejadian tsunami di laut lepas, amplitudo tsunami lebih kecil dari kedalaman sehingga menggunakan persamaan
LSWE sebagai berikut:
𝜕𝜂/𝜕𝑡 + 1/𝑅 cos 𝜑*{ 𝜕𝑃/𝜕𝜓 + 𝜕/(𝜕𝜑 (cos 𝜑𝑄))} = − 𝜕ℎ/𝜕𝑡
𝜕𝑃/𝜕𝑡 + (𝑔ℎ/𝑅 cos 𝜑)*𝜕𝜂/𝜕𝜓 − 𝑓 𝑄 = 0
𝜕𝑄/𝜕𝑡 + 𝑔ℎ/𝑅* 𝜕𝜂/𝜕𝜑 + 𝑓𝑃 = 0
Ketika tsunami menyebar di perairan dangkal, digunakan persamaan NLSWE, hal ini karena ketika gelombang tsunami
melewati daerah yang memiliki kedalaman dangkal, panjang gelombang menjadi lebih pendek dan amplitudo
gelombang menjadi lebih besar. Berikut adalah persamaan NLSWE yang digunakan:
𝜕𝑃/𝜕𝑡 + 1/𝑅 cos 𝜑 * 𝜕/𝜕𝜓 *{ 𝑃^2/𝐻 } + 1/𝑅 * 𝜕/𝜕𝜑 { 𝑃𝑄/𝐻 } + 𝑔𝐻/𝑅𝑐𝑜𝑠 𝜑 * 𝜕𝜂/𝜕𝜓 − 𝑓𝑄 + 𝐹𝑥 = 0
𝜕𝑄/𝜕𝑡 + 1/𝑅 cos 𝜑 * 𝜕/𝜕𝜓 * { 𝑃𝑄/𝐻 } + 1/𝑅 * 𝜕/𝜕𝜑 { 𝑄^2/𝐻 } + 𝑔𝐻/𝑅 * 𝜕𝜂/𝜕𝜑 + 𝑓𝑃 + 𝐹𝑦 = 0
Dengan:
dimana:
domain pemodelan tsunami dibagi menjadi empat lapisan Domain dengan Domain 1 adalah Domain sebagain Pulau
Jaw, Domain 2 adalah Domain Provinsi Banten, sedangkan Domain 3 adalah sebagian selatan Kabupaten Lebak dan
Domain 4 berada pada Kecamatan Panggarangan. Desain model Domain 1, Domain 2, Domain 3, dan Domain 4 dapat
dilihat pada Gambar 2.
Skenario pemodelan tsunami dilakukan dengan skenario domain seperti disajikan pada Tabel 2.
Kerentanan Struktural (Sv) sebuah bangunan ditentukan oleh atribut dari struktur bangunan (Bv), kedalaman air
genangan (Ex) pada titik dimana bangunan berada; dan bangunan sekitarnya (Surr). Kerentanan struktural (SV) dihitung
menggunakan persamaan (1) berikut (Dall’Osso et al., 2009):
......................................................................................................................................................... (1)
Struktur bangunan (Bv) mempertimbangkan atribut jumlah lantai (s), material bangunan dan teknik konstruksi (m),
hidrodinamisasi lantai dasar (g), fondasi (f), bentuk tapak bangunan (sh), dan pemeliharaan bangunan (pc). Persamaan
yang digunakan untuk menghitung kerentanan bangunan (Bv) adalah sebagai berikut persamaan (2) (Dall’Osso et al.,
2009):
........................................................................................(2)
Tingkat perlindungan (Surr) mempengaruhi perlindungan yang diberikan ke bangunan oleh sekitarnya
memperhitungkan baris bangunan (br), keberadaan seawall (sw), penghalang alami (nb), dinding bata di sekitar
bangunan (w), dan objek bergerak (mo). Persamaan untuk menghitung tingkat perlindungan (Surr) adalah sebagai
berikut persamaan (3) (Dall’Osso et al., 2009):
........................................................................................... (3)
.......................................................................................................................................................... (4)
Dimana WD merupakan kedalaman air yang mempengaruhi bangunan, yaitu kedalaman air di atas terrain level pada
titik area studi dimana bangunan berada; WDmax merupakan nilai maksimum WD di antara semua bangunan
yang kerentanannya dinilai.
Kerentanan keseluruhan bangunan untuk kontak dengan air jelas tergantung pada jumlah lantai yang terendam di setiap
bangunan (termasuk ruang bawah tanah). Oleh karena itu, ditetapkan "Wv" skor yang menunjukkan berapa persen dari
lantai bangunan akan tergenang. untuk menghitung "Wv" adalah sebagai berikut persamaan (5) (Dall’Osso et al.,
2009):
......................................................................................(5)
Nilai RVI bangunan yang menggunakan Metode PTVA-4 dihitung menggunakan persamaan (6) (Dall’Osso et al.,
2009):
............................................................................................................................................(6)
Dimana SV adalah skor standar untuk kerentanan struktural, dan WV adalah skor standar untuk kerentanan terhadap
intrusi air.
Tabel 4 Nilai numerik yang diberikan pada atribut komponen “Bv” berdasarkan karakteristik bangunan
-1 -0,5 0 +0,5 +1
Lebih dari 5
Jumlah lantai (s) 4 lantai 3 lantai 2 lantai 1 lantai
lantai
Beton
Material Kayu, timah, tanah liat
bertulang Batu bata
bangunan (m) atau bahan ringan
atau baja
Tidak ada ruang terbuka,
Sekitar 75% Sekitar 50% Sekitar 25%
Hidrodinamisasi Ruang tidak ada atau sangat
ruang ruang terbuka ruang terbuka
lantai dasar (g) terbuka sedikit bukaan di lantai
terbuka
dasar
Pondasi
Ketahanan Pondasi
kedalaman rata- Pondasi dangkal
fondasi (f) tiang dalam
rata
Kompleks (bentuk
Seperti Persegi atau
Bentuk tapak Persegi panjang bangunan L, T, atau X,
lingkaran hampir Persegi panjang
bangunan (sh) yang panjang atau geometri kompleks
atau segitiga persegi
lainnya)
Pemeliharaan Baik
Sangat baik Rata-rata Buruk Sangat buruk
bangunan (pc)
Sumber: (Dall’Osso et al., 2016)
-1 -0,5 0 +0,5 +1
Baris bangunan
>10 7-8-9-10 4-5-6 2-3 1
(br)
Pada Gambar 4 menunjukkan penjalaran gelombang di domain domain 4 pada saat 14 menit setelah terjadinya gempa
pada Segmen Selat Sunda 1, dapat dilihat bahwa air mulai memasuki wilayah pesisir Desa Panggarangan. Selain itu
pada Gambar 4 dapat dilihat penjalaran gelombang tsunami pada saat 120 menit setelah gempa terjadi, air memasuki
daratan Desa Panggarangan sangat jauh, air juga masuk melewati muara sungai, terus menjalar hingga menerjang
wilayah Desa Panggarangan bagian barat.
Selanjutnya dilakukan visualisasi 3D dari model genangan tsunami terhadap bangunan. Rekonstruksi model 3D
menggunakan perangkat lunak ArcScene menghasilkan peta 3D lanskap wilayah pesisir Desa Panggarangan yang
memiliki Level of Details LOD1 dan LOD2 yang disimpan dalam format multipach. Visualisasi hasil rekonstruksi
bangunan dalam LOD1 dan LOD2 dapat dilihat pada gambar 5 berikut.
Pada proses pembuatan model 3D LOD2, digunakan perangkat lunak ArcScene untuk menentukan ketinggian dari tiap
bangunan beserta detail dari atap bangunan yang ada. Nilai ketinggian bangunan didapat menggunakan fitur add
surface information dengan data masukan nDSM (Normalized Digital Surface Model) yang diperoleh dari selisih DSM
dan DTM. Shapefile yang terbentuk beserta nilai ketinggiannya kemudian dilakukan extrusion sehingga menghasilkan
model 3D. Adapun tekstur bukaan seperti pintu dan jendela menggunakan simbologi fasad yang tersedia di ArcScene
sehingga tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Namun demikian, ketinggian dari bangunan yang terbentuk
sudah menyesuaikan dengan nilai ketinggian nDSM, sehingga menggambarkan ketinggian bangunan yang sebenarnya
di lapangan. Hal ini sangatlah penting karena visualisasi bangunan ini akan di-overlay dengan data rendaman tsunami
hasil pemodelan, sehingga dapat dilihat seberapa tinggi bangunan tersebut terendam seperti yang dapat dilihat pada
gambar berikut.
Kerentanan bangunan terhadap kontak air (WV) dihitung dengan membagi berapa lantai yang tergenang dengan jumlah
semua lantai pada tiap bangunan. Skor WV menunjukan berapa persen dari lantai bangunan yang akan tergenang. Jika
dilihat pada Gambar 8b, sebagian besar bangunan memiliki kerentanan bangunan menengah dengan skor 0.5 -1.
Relative Vulnerability Index (RVI) didapatkan dengan mengolah SV yang merupakan skor standar untuk kerentanan
struktural, dan WV adalah skor standar untuk kerentanan terhadap intrusi air. Hasil akhir dari model PTVA-4 adalah
nilai RVI yang berkisar antara 0.04 – 1.45 (Gambar 8c). Skor RVI hanya dapat digunakan untuk membandingkan
kerentanan bangunan yang berbeda, tidak untuk memperkirakan kerusakan absolut (Dall’Osso et al., 2016).
Nilai RVI diklasifikasikan berdasarkan Natural Jenk’s interval ke dalam 3 kelas yakni kerentanan tinggi (high),
menengah (moderate), dan rendah (low) (Gambar 8d). sebanyak 36 atau 11.8% bangunan terklasifikasi dalam
kerentanan tinggi, 247 atau 81.51% bangunan adalah kerentanan menengah, dan 20 atau 6.6% bangunan terklasifikasi
A B
C D
Gambar 7. (a) Zona genangan tsunami, (b) Sebaran kerentanan bangunan (BV), (c) Sebaran kerentanan bangunan
sekitar (Surr), (d) Sebaran eksposur
C D
Gambar 8. (a) Sebaran kerentanan struktural (SV), (b) Sebaran bangunan terhadap kontak air (WV), (c) Sebaran nilai
indeks kerentanan relative (RVI), (d) Sebaran kerentanan bangunan terhadap tsunami.
Tabel 6 Penyesuaan nilai numerik pada atribut komponen “Bv” berdasarkan karakteristik bangunan di lapangan
-1 -0,5 0 +0,5 +1
Lebih dari 2
Jumlah lantai (s) 2 lantai 1 lantai
lantai
Material
Beton Batu bata Kayu
bangunan (m)
Hidrodinamisasi Ruang Sekitar 75% Sekitar 50% Sekitar 25% Tidak ada ruang terbuka,
Tabel 7 Penyesuaan nilai numerik pada atribut komponen “Surr” berdasarkan karakteristik bangunan di lapangan
-1 -0,5 0 +0,5 +1
Baris bangunan
>10 7-8-9-10 4-5-6 2-3 1
(br)
Tinggi dan
bentuk seawall Ada seawall Tidak ada seawall
(sw)
Dinding batu bata
sekitar bangunan Ada dinding Tidak ada
(w)
Objek bergerak
Risiko rendah Risiko sedang Risiko sangat tinggi
(mo)
Gambar 7. Berbagai jenis bangunan di wilayah Panggarangan, (a) rumah tinggal, (b) cafe, (c) sekolah, (d) masjid, (d)
kantor
Daftar Pustaka
BNPB (2012): Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Cardona, O., Ordaz, M., Yamin, L., Marulanda, M., and Barbat, A. (2008): Earthquake Loss Assessment for Integrated
Disaster Risk Management, Journal of Earthquake Engineering, 12, 48–59.
https://doi.org/10.1080/13632460802013495
D. Wells and K. Coppersmith, “New empirical relationship among magnitude, rupture, length, rupture width, rupture
area and surface displacement,” Buletin of seismological society of America, 1994.
Dall’Osso, F., Gonella, M., Gabbianelli, G., Withycombe, G., & Dominey-Howes, D. (2009a). A revised (PTVA)
model for assessing the Vulnerability of buildings to Tsunami damage. Natural Hazards and Earth System Science,
9(5), 1557–1565. https://doi.org/10.5194/nhess-9-1557-2009
Dall’Osso, F., Dominey-Howes, D., Tarbotton, C., Summerhayes, S., & Withycombe, G. (2016). Revision and
improvement of the PTVA-3 model for assessing tsunami building vulnerability using “international expert judgment”:
introducing the PTVA-4 model. Natural Hazards, 83(2), 1229– 1256. https://doi.org/10.1007/s11069-016-2387-9
Dominey-Howes, D., & Papathoma, M. (2007). Validating a tsunami vulnerability assessment model (the PTVA
Model) using field data from the 2004 indian ocean tsunami. Natural Hazards, 40(1), 113–136.
https://doi.org/10.1007/s11069-006-0007-9
G. P. Hayes, D. J. Wald and R. L. Johnson, “Slab 1.0: A three-dimensional model of global subduction zone
geometries,” Journal of Geophysical Research: Solid Earth, vol. 117, 2012.
Hanifa, N. R., Sagiya, T., Kimata, F., Efendi, J., Abidin, H. Z., and Meilano, I. (2014): Interplate coupling model off the
southwestern coast of Java, Indonesia, based on continuous GPS data in 2008–2010, Earth and Planetary Science
Letters, 401, 159–171. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.epsl.2014.06.010
Kemec, Serkan, Duzgun, H., & Zlatanova, S. (2009). A conceptual framework for 3D visualization to support urban
disaster management. Prague: Proceedings of the Joint Symposium of ICA WG on CEWaCM and JBGIS G14DM, 268–
278. http://www.gdmc.nl/zlatanova/thesis/html/refer/ps/sk_sd_sz_duzgun_Gi4DM.pdf
Kolbe, T. H., Gröger, G., & Plümer, L. (2005). CityGML: Interoperable access to 3D city models. Geo-Information for
Disaster Management, August 2015, 883–899. https://doi.org/10.1007/3-540-27468-5_63
Marincioni, F. (2007). Information technologies and the sharing of disaster knowledge: The critical role of professional
culture. Disasters, 31(4), 459–476. https://doi.org/10.1111/j.1467-7717.2007.01019.x
National Center for Environmental Information (2018): Global Historical Tsunami Database, retrieved from internet:
https://www.ngdc.noaa.gov/hazard/tsu_db.shtml. https://doi.org/doi:10.7289/V5PN93H7
Pusat Studi Gempa Nasional (2017): Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Bandung.
T. C. Hank and H. Kanamori, “A moment magnitude scale,” Journal of Geophysical Research, vol. 84, pp. 2348-2350,
1979.
Thapaliya, R. (2006). Assessing Building Vulnerability for Earthquake using Field Survey and Development Control
Data: A Case study in Lalitpur Sub-Metropolitan City, Nepal. International Institute for Geo-Information Science and
Earth Observation.
Thomas, D. S. K., Ertuˆgay, K., & Kemec¸, S. (2007). The Role of Geographic Information Systems/Remote Sensing in
Disaster Management. 83–96. https://doi.org/10.1007/978-0-387-32353-4_5
X. Wang, User Manual for COMCOT version 1.7, Institute of Geological & Nuclear Science, New Zealand, 2009.
Westen, C. J. V., Alkema, D., Damen, M. C. J., Kerle, N., & Kingma, N. C. (2009). Multi-hazard risk assessment.
Distance education course. Guide book. United Nation University-ITC School on Disasater Geoinformation
Management: Tokyo, Japan.
Wibowo, T. W. M., Mardiatno, D & Sunarto (2013). Penilaian Kerentanan Bangunan Terhadap Bencana Tsunami
Melalui Identifikasi Bentuk Atap Pada Citra Resolusi Tinggi. Prosiding Simposium National Sains Geoinformasi, III,
177-185. (https://doi.org/10.13140/2.1.2175.8248
Widiyantoro, S., Gunawan, E., Muhari, A., Rawlinson, N., Supendi, P., Ash Shiddiqi, H., and Nugraha, A. (2020):
Implications for megathrust earthquakes and tsunamis from seismic gaps south of Java Indonesia, Scientific Reports, 10.
https://doi.org/10.1038/s41598-020-72142-z