NPM : 2107210210
KELAS : D 1
MATA KULIAH : Teori Kebencanaan
Pendahuluan
Bencana pandemik Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang berdampak pada
kondisi kehidupan masyarakat di hampir 207 negara di dunia, juga dirasakan dampaknya di
Indonesia. Sejak ditemukan kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada awal bulan Maret
2020, dalam sebulan hingga awal Mei 2020 telah tercatat 10.843 kasus penderita
terkonfirmasi Covid-19 dengan jumlah kematian 831 korban jiwa, walaupun terdapat 1.665
orang penderita yang sembuh dari total 22.545 orang penderita yang masih dirawat (Gugus
Tugas Covid-19, per 2 Mei 2020). Angka resmi yang diterbitkan secara harian oleh Gugus
Tugas Covid-19 sejak dibentuknya pada pertengahan bulan Maret 2020, menunjukkan
adanya kenaikan kasus korban yang terinfeksi Covid-19 yang cukup signifikan, terutama
pada periode minggu pertama Mei 2020, yang kenaikannya berkisar lebih dari 150 hingga
400 kasus per harinya.
Selain jumlah yang meningkat, sebaran kasus korban terinfeksi Covid-19 juga
bertambah secara signifikan, dari semula ditemukan kasus pertama di Kota Depok di awal
Maret, dalam waktu sebulan hingga minggu pertama Mei 2020 telah tersebar di 34 wilayah
provinsi dan 321 kabupaten/kota. Data sebaran yang diperoleh secara resmi dari Gugus
Tugas Covid-19 masih menunjukkan bahwa wilayah Provinsi DKI Jakarta dan wilayah
kabupaten/kota di sekitarnya, yaitu Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi,
Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang, merupakan
episentrum dari kasus penderita Covid-19. Selain wilayah Jabodetabek yang merupakan
episentrum dari kasus penderita dan korban akibat Covid-19, beberapa provinsi di Pulau
Jawa, khususnya Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, serta
beberapa provinsi di luar Jawa, terutama Sulawesi Selatan, Riau dan Bali menunjukkan
korban terinfeksi Covid-19 cukup banyak.
Dengan memperhatikan peningkatan kasus penderita yang terpapar Covid-19, sejak
awal ditemukannya kasus pertama Covid-19, Pemerintah sudah sangat responsif dalam
menyiapkan berbagai kerangka regulasi, kerangka kelembagaan, dan kerangka pembiayaan,
yang tidak hanya dalam merespon kondisi tanggap darurat kesehatan dengan merebaknya
pandemi Covid-19, namun juga dalam penyiapan jaring pengaman sosial dan dampak
ekonomi dari bencana multidimensional ini.
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pembentukan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 selanjutnya telah diubah melalui Keputusan Presiden
Nomor 9 Tahun 2020 untuk memperluas cakupan tugas dan keanggotaan dari Gugus Tugas
Covid-19 yang melibatkan kementerian/lembaga yang terkait dalam percepatan
penanganan Covid-19. Selain pembentukan Gugus Tugas, dengan mempertimbangkan
kenaikan kasus penderita dan sebaran lokasinya yang semakin bertambah dari waktu ke
waktu, Pemerintah selanjutnya menerbitkan beberapa kerangka regulasi yang difokuskan
pada penetapan status kedaruratan bidang kesehatan masyarakat, yang diatur dalam
Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020. Hal ini diikuti dengan penerbitan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam
percepatan penanganan Covid-19, yang menjadi dasar hukum dalam penetapan status
pembatasan sosial berskala besar lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9
Tahun 2020, yang menjadi dasar bagi pengajuan usulan penetapan wilayah pembatasan
sosial berskala besar yang diajukan oleh pemerintah daerah terkait. Selain kerangka regulasi
yang terkait dengan penanganan darurat kesehatan masyarakat akibat Covid-19 tersebut,
dengan mempertimbangkan dampak sosial ekonomi yang diakibatkan Covid-19, Pemerintah
juga telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Realokasi dan APBD
2020.
PERAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM PENANGGULANGAN
BENCANA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Astrack
Bencana telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia, oleh karena itu manusia
berusaha untuk mengelola bencana sehingga tidak memakan banyak nyawa dan properti.
Dalam penanggulangan bencana ada tiga tahap yaitu mitigasi, bantuan dan rekonstruksi di
mana semua kegiatan ini bertujuan untuk meminimalkan ancaman terhadap kehidupan
manusia. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam hal ini telah diberikan mandat oleh
Peraturan Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia untuk berpartisipasi
dalam bantuan bencana sebagai bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Tidak
dapat dipungkiri bahwa Indonesia secara geografis kerentanan yang sangat tinggi terhadap
bencana. Oleh karena itu, penulis dalam makalah ini bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang peran militer dalam penanggulangan bencana. Penulis mengambil
Provinsi DIY sebagai fokus penelitian, mengingat Provinsi DIY adalah salah satu daerah
yang sangat sering terpengaruh. Makalah ini menggunakan metode kualitatif dengan
mendasarkan analisis data yang diperoleh dari wawancara dengan informan dan observasi
lapangan. Makalah ini membahas peran yang dijalankan oleh militer dalam tahapan proses
mitigasi, bantuan dan rekonstruksi bencana.
Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah negara dengan keunikan letak geografis yang memberikan
keuntungan terkait dengan posisinya sebagai jalur pelayaran serta melimpahnya sumber
daya alam yang terkandung didalamnya. Namun, pada kenyataannya hal ini tidak pula dapat
dilepaskan dari adanya ancaman yang muncul terkait dengan letak geografis Indonesia.
Merujuk kepada geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat
sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera – Jawa – Nusa Tenggara
– Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian
didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana
seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor Kondisi
kerentanan bencana ini tersebar merata hampir diseluruh wilayah Indonesia, tentunya
dengan tingkat yang berbeda serta karakteristik bencana yang berbeda antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya. Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki kerentanan cukup
tinggi terhadap ancaman bencana adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain
gempa bumi, tanah longsor DIY dan Jawa Tengah mempunyai ancaman bencana lain yakni
letusan gunung Merapi. DIY memiliki dua kategori kerentanan bencana
yakni bencana yang terkait dengan bencana yang bersifat klimatologi (baniir, tanah
longsor, angin puting beliun ), bencana yang bersifat vulkanologi (erupsi gunung api) dan
bencana yang bersifat tektonik (gempa dan tsunami). Hal ini terlihat dari
gempa besar yang terjadi pada tahun 2006 yang telah menelan korban jiwa mencapai
angka lebih dari 6000, dengan puluhan ribu orang terluka, dari luka memar hingga patah
tulang85.serta erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 yang menurut data
resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Sleman sebanyak 277 Orang. Belum lagi
bencana-bencana lain yang seringkali terjadi di Provinsi DIY yang bukan hanya menimbulkan
korban jiwa, namun juga kerugian materiil yang cukup besar.
Dalam setiap upaya terkait dengan penanggulangan bencana terdapat hal menarik
dimana selain melibatkan instansi pemerintah (sipil) namun juga melibatkan instansi militer
khususnya dalam hal ini adalah personil Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bahkan dalam
beberapa bencana yang terjadi peran dari TNI dalam bencana terlihat sangat dominan,
demikian pun dengan bencana yang senantiasa terjadi di wilayah DIY. Kondisi ini yang
kemudian menjadi perhatian peneliti untuk diangkat dalam tulisan ini, dengan maksud
untuk membahas peran yang dijalankan oleh TNI dalam penanggulangan bencana yang
difokuskan di wilayah DIY sebagai wilayah yang memiliki tingkat kerentanan bencana yang
tinggi serta karakteristik bencana yang cukup beragam pula. Pembahasan dalam tulisan ini
didasarkan kepada metode penelitian kualitatif dengan mengkombinasikan data primer
berupa wawancara, observasi lapangan serta studi litelatur untuk menginventarisasi dan
kemudian menganalisis peran yang dijalankan oleh TNI dalam penanggulangan bencana di
Provinsi DIY.
Abstrack
Wilayah Bandar Lampung merupakan daerah dengan potensi bencana alam seperti
tsunami, banjir rob, dan gempa bumi. Terakhir wilayah ini diguncang gempa bumi dan
tsunami tahun 2018 dengan korban jiwa berjumlah 118 orang dan korban luka-luka 3130
orang. Jumlah yang banyak ini, menggambarkan bahwa persiapan dan kesiapsiagaan
masyarakat masih tergolong rendah, terutama faktor kurngnya pengetahuan dan
kepedulian terhadap fenomena alam ini. Fokus pemerintah dan masyarakat kota Bandar
Lampung selama ini adalah pengelolaan bencana saat tanggap darurat, kegiatan rehabilitasi,
serta rekonstruksi pascabencana. Kesiapsiagaan masyarakat belum menjadi prioritas
kegiatan. Untuk melihat kesiapsiagaan bencana tersebut, penelitian ini menggunakan
metode analisis 5 parameter framework pengembangan kesiapsiagaan masyarakat dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan United Nations for
Educations/International Strategy for Disaster Reduction (UNESCO/ISDR). Kelima parameter
tersebut adalah: 1) Pengetahuan yang berkaitan dengan fenomena alam kesiapsiagaan, 2)
Kebijakan, Peraturan dan Panduan 3) Rencana untuk Keadaan Darurat Bencana (ROB), 4)
Sistem Peringatan Bencana (PB), dan 5) Mobilisasi Sumber Daya (MSD). Berdasarkan hasil
analisa dan wawancara di lapangan, umumnya masyarakat sudah memiliki pengetahuan
dasar
bencana gempa bumi dan tsunami, namun fasilitas atau akses menuju tempat mengungsi
jika terjadi gempa maupun tsunami masih belum tertata dengan baik. Hal menarik lain yang
ditemukan adalah nelayan menjadi salah satu pusat informasi yang dipercaya masyarakat
jika terjadinya tsunami.
Pendahuluan
Indonesia kerap dijuluki "supermarket" bencana, karena berbagai bencana yang kerap
menerpa, seperti: banjir, topan, gempa bumi, tanah longsor, tsunami dan angin puting
beliung pernah melanda hampir di pelosok negeri secara geografis dan geologis Indonesia
berada di daerah yang tergolong rawan terhadap bencana alam. Serangkaian bencana alam
ini telah menelan banyak korban jiwa, kerusakan lingkungan dan kerugian harta benda
Dampak dari berbagai bencana yang terjadi begitu besar, baik korban jiwa maupun harta
benda. Bencana sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, bahkan dapat dikatakan
masyarakat kita hidup bersama bencana dalam keseharian aktivitas. Dalam keadaan alam
yang ditinggalinya maupun pada pemenuhan kebutuhan akan penghidupan yang
bersentuhan dengan alam. Hal yang perlu disadari pula bahwa, seringnya masyarakat
Indonesia masih kurang atau bahkan tidak memberi perhatian yang serius terhadap
bencana justru sebelum bencana itu terjadi dan menimpa. Saat terjadi, bencana hampir
selalu membawa kekhawatiran dan ketakutan atas tragedi kemanusiaan. Bencana banyak
memberikan kerugian baik moril maupun materil, bencana juga menyebabkan degradasi di
dalam masyarakat akibat jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda. Pada hakikatnya,
bencana menyandera kita, dan bagaimana kenyataan masyarakat memaknainya.
Upaya meminimalisir dampak bencana harus dilakukan dengan komunikasi yang
baik dari pemerintah kepada masyarakat. Bahkan pemerintah menetapkan Hari Kesiap
siagaan Bencana (HKB) yang diperingati setiap tanggal 26 April dalam rangka melatih kesiap
siagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Komunikasi dalam bencana tidak saja
dibutuhkan dalam kondisi darurat bencana, tapi juga penting dilakukan pada saat bencana
dan lebih penting lagi sebelum bencana itu terjadi. Perlu kegiatan penelitian untuk
mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang makna bencana sehingga dapat
dilakukan komunikasi yang efektif kepada masyarakat akan dampak bahaya dari bencana.
Komunikasi mitigasi bencana menjadi langkah awal dan termasuk dalam sikap
kesiapsiagaan dan kewaspadaan yang harus diusahakan agar masyarakat dapat hidup
harmonis dengan alam. Dengan konteks untuk keselamatan lingkungan Ketika
mengantisipasi terjadinya bencana tsunami, banjir, dan bencana lain, komunikasi mitigasi
bencana menjadi salah satu sarana penyampai informasi penting yang berkaitan dengan
bencana. Hal tersebut menjadikan komunikasi mitigasi bencana sangat diperlukan,
mengingat dampak kerugian yang sangat besar pasca bencana seperti korban jiwa, materi,
infrastruktur, dan lain-lain.
Alih-alih kekayaan sumber daya alam dan sumber dana negara, kesigapan kepemimpinan
sebuah negara agaknya lebih menjadi peubah yang menentukan tingkat keefektifan
menghadapi serangan pandemi Covid-19. Studi ini menyoroti kepemimpinan di Indonesia
dalam menghadapi wabah Covid-19 dengan menelaah tingkat kesigapan, ketanggapan,
kekompakan, dan koordinasi di intra dan antarunsur kepemimpinan selevel serta sinergitas
dan soliditas koordinasi antara level nasional, regional, dan lokal. Riset pustaka ini
menemukan sindroma kegagapan decision-making para pemimpin di semua tingkat dan
kegejetan koordinasi kepemimpinan di semua level, baik intra maupun antarlevel. Sindroma
ini pada awalnya disebabkan oleh sikap meremehkan wabah yang kemudian diperburuk oleh
ketidaksiap-sanggupan menanggung risiko kebijakan. Soal kefektifan kepemimpinan
nasional, regional, lokal, dan nonformal di Indonesia dalam menangani wabah Covid-19
belum bisa dinilai data-data seputar wabah belum fixed dan masih mengalami perkembangan
Evakuasi menjadi salah satu Tindakan yang sangat penting saat terjadinya bencana,
hal ini dilakukan untuk menjauhkan masyarakat dari lokasi bencana dengan tujuan
menghindarkan jatuhnya korban jiwa akibat bencana tersebut. Peran TNI dalam evakuasi
bencana letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 sebagai contohnya adalah dengan
memberikan pengumuman serta menyiagakan truk-truk untuk mengangkut warga yang
berada pada jalur awan panas untuk secepatnya menjauhi wilayah tersebut. Selain itu proses
evakuasi warga juga dilakukan saat bencana banjir lahar dingin di bantaran , dimana personil
TNI melakukan evakuasi terhadap warga khususnya yang telah lanjut usia untuk
meninggalkan rumah mereka ketempat yang lebih aman. Disamping evakuasi untuk
menghindarkan warga dari wilayah bencana
3. Strategi Dalam Mitigasi Bencana
Strategi sendiri mempunyai definisi sebagai serangkaian usaha untuk
meminimalisir dampak buruk dari bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana10. Saat ini
terjadi pergeseran pandangan tentang penanggulangan terhadap bencana, dari yang
semula paradigma konvensional (memandang penanggulangan bencana bersifat
bantuan dan kedaruratan) menjadi paradigma mitigasi yang memandang pada
identifikasi daerah-daerah rawan bencana.
Paradigma mitigasi dibuat dengan tujuan identifikasi daerah-daerah yang rawan
bencana, untuk mengenali pola-pola yang dapat menimbulkan kerawanan, serta
melakukan kegiatan-kegiatan mitigasi yang bersifat struktural (seperti membangun
konstruksi) maupun non-struktural seperti penataan ruang, dan
sebagainya. Peran pemerintah di sini sangat sentral dalam membangun pengetahuan
dan pemahaman tentang paradigma mitigasi bencana ini. Perlu dilakukan strategi
komunikasi yang tepat kepada masyaraka.