Anda di halaman 1dari 36

Makalah Sejarah Asia Tenggara

Masalah Internal Negara Asia Tenggara


(Kasus Bangsa Moro di Filiphina, Kasus Rohingya di Myanmar, dan Kasus
Muslim Minoritas di Fatani)

Dosen Pengampu:
Febta Pratama, M.Pd

Disusun Oleh:
Arista Dewi Putri (201915500127)
Daffa Dev Piero (201915500141)
Rachma Ahadina Putri (201915500122)
Robiatul Adawiyah (201915500126)

Universitas Indraprasta PGRI


Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial
Program Studi Pendidikan Sejarah
2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr.Wb.

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena Atas segala rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafaat nya di hari akhir kelak. Tak lupa juga kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
orang yang telah mendukung kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami membuat makalah ini sebagai bahan diskusi dari mata kuliah Sejarah Asia Tenggara dan
sebagai media untuk lebih mendalami setiap unit yang akan dipelajari dan dibahas dalam mata
kuliah ini. Kami mendapat bahan diskusi mengenai “Masalah Internal Negara Asia Tenggara
(Kasus Bangsa Moro di Filiphina, Kasus Rohingya di Myanmar, dan Kasus Muslim Minoritas di
Fatani)”.

Kami menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti menyampaikan
informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca lain. Kami memohon maaf
yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah. Tidak ada manusia yang
sempurna kecuali Allah SWT.

Demikian Kami ucapkan terima kasih atas waktu Anda telah membaca hasil makalah Kami.

Wassalamualikum Wr.Wb.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2

1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................................. 2

BAB II ISI PEMBAHASAN ........................................................................................................ 3

2.1 Kasus Bangsa Moro di Filiphina ...................................................................................... 3

2.2 Kasus Rohingya di Myanmar ......................................................................................... 11

2.3 Kasus Minoritas Muslim Patani ..................................................................................... 20

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 27

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 27

3.2 Saran ............................................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang memiliki ketertarikan kuat, baik secara
geografis dan nilai ekonomis, Asia Tenggara dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian
daratan dan kepulauan.1 Bagian kepulauan inilah yang menjadi persoalan bagi Negara-
negara di regional Asia Tenggara untuk membina hubungan baik di balik permasalahan
perbatasan. Kawasan Asia Tenggara menjadi penting ketika pasca perang dunia kedua
ketika Negara di kawasan berdiri sendiri setelah masa kolonialisasi. Banyak konflik yang
terjadi di Asia Tenggara sejak bangsa Eropa menginjakan kaki di Asia Tenggara untuk
pertama kalinya. Krisis kemanusiaan menjadi fenomena yang terus saja muncul dari masa
ke masa. Walaupun pada saat ini dunia sudah memasuki abad ke-21, krisis kemanusiaan
masih saja melanda umat manusia. Krisis kemanusiaan adalah suatu kondisi yang mana
hak-hak dasar bagi seorang manusia tidak terpenuhi. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak
untuk memperoleh rasa aman, dan hak untuk memperoleh keadilan tidak mampu diperoleh
seorang individu. Penyebab krisis kemanusiaan sering kali karena adanya konflik di
lingkungan tempat tinggal kelompok-kelompok yang berselisih. Konflik yang terjadi
disebabkan oleh perbedaan antara kelompok-kelompok tersebut. Baik itu perbedaan etnis,
ras, maupun perbedaan agama. Selain itu, penyebab krisis kemanusiaan terjadi dikarenakan
pemerintah yang terkait tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi konflik.2
Minoritas Muslim adalah sebagian masyarakat yang menganut agama Islam dalam
suatu negara. Mereka disebut minoritas karena kalah jauh dalam hal jumlah dengan
masyarakat mayoritas. Mereka sering mendapat perlakuan berbeda dari masyarakat yang
tidak berkeyakinan Muslim. Mereka harus menentukan nasibnya sendiri sekalipun

1
Dr. Agus Aris Munandar. 2009,. Kawasan Asia Tenggara Dalam Dinamika Sejarah Kebudayaan.
Departemen Arkeologi FIB UI. http://www.fib.ui.ac.id
2
Indah Anggraini Sawal. 2017. IMPLIKASI KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR TERHADAP
NEGARA-NEGARA ASEAN.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/25716/SKRIPSI%20FIXXXXX.pdf?sequence=1

1
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Masyarakat minoritas harus bersedia
memperjuangkan kepentingannya (Sukandia, 1999: 180). Faktor-faktor yang membuat
suatu komunitas menjadi minoritas adalah perbedaan etnis warna kulit, ras, agama dan
sebagainya. Adapun Minoritas Muslim di Asia Tenggara adalah Muslim Rohingnya yang
tidak mendapat pengakuan dari pemerintah Myanmar yang mayoritas penganut agama
Budha, Muslim Pattani yang mendapat kekerasan dari mayoritas agama di Thailand, dan
Muslim Moro yang mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari mayoritas agama di
Filipina.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang terjadi pada kasus bangsa Moro di Filiphina?


2. Apa yang terjadi pada kasus Rohingya di Myanmar?
3. Apa yang terjadi pada kasus muslim minoritas di Fatani?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui peristiwa yang terjadi pada kasus bangsa Moro di Filiphina.


2. Mengetahui peristiwa yang terjadi pada kasus Rohingya di Myanmar.
3. Mengetahui peristiwa yang terjadi pada kasus muslim minoritas di Fatani.

2
BAB II

ISI PEMBAHASAN

2.1 Kasus Bangsa Moro di Filiphina


Salah Jubair dalam bukunya Bangsamoro : A Nation Under Endless Tyranny (1999)
menyebutkan bahwa istilah Moro atau Bangsamoro (“bangsa” disini memiliki arti yang
sama dengan “bangsa” dalam bahasa Indonesia) adalah istilah yang berasal dari penjajah
Spanyol (Spaniards). Sama halnya dengan sebutan etnis lain di Philipina seperti ‘Indio”
dan “Filipino”. Kata “Moro” sendiri diadopsi dari bangsa Mauri atau Mauritania di Afrika
yang kemudian juga dikenakan kepada bangsa Berbers di Afrika Utara dan juga kepada
kaum muslimin yang datang dan menaklukkan Spanyol berabad-abad silam. Maka, istilah
Moro akhirnya tidak merujuk kepada kelompok etnis, ras, waktu dan geografis tertentu,
namun lebih merujuk kepada kelompok orang yang berafiliasi kepada agama tertentu,
dalam hal ini adalah Islam.

A. Kedatangan Spanyol di Filiphina


Pada saat masuknya kolonial Spanyol ke Filipina pada tanggal 16 Maret 1521
M, penduduk muslim telah mencium adanya maksud lain di balik ekspedisi ilmiah
Ferdinand de Magelhands. Ketika kolonial Spanyol menaklukkan wilayah Utara
Filipina tidak banyak perlawanan berarti dari wilayah tersebut. Tetapi ketika mereka
berusaha menaklukkan wilayah Selatan Filipina seperti Mindanao, Sulu, Basilan,
Cotabato, Lanao Selatan, Lanao del Norte ternyata penduduk muslim melakukan
perlawanan dengan gigih dan tanpa henti menyerah, karena didasari oleh semangat
Jihad fi Sabilliah, dan perlawanan ini berjalan hingga tahun 1876 M. Kolonial Spanyol
menghabiskan waktu tidak kurang 375 tahun untuk melawan dan menaklukkan
kelompok muslim Selatan Filipina, namun hal ini umat Islam tetap tidak dapat
ditaklukan, hingga berpindah kekuasaan kolonial Spanyol kepada Amerika. Menurut
Cesar Adib Majul adanya konflik antara muslim Moro dengan koloni Spanyol lebih
dominan dilatarbelakangi oleh perebutan pengaruh agama (Gospel) ketimbang faktor-
faktor lain seperti ekonomi (gold) dan politik (glory), sehingga munculnya “perang

3
Moro”. Majul menegaskan bahwa perang ini seperti ada benang merah dan kelanjutan
dari perang Salib antakekuasaan Islam dengan Eropa.
Spanyol telah melancarkan serangan terhadap Umat Islam Filipina yang mereka
sebut dengan “Moro”3, dengan pertimbangan persaingan dan pertentangan agama dan
politik (Barangay) dengan berbagai cara, baik kekerasan, pujukan maupun cara-cara
halus dengan memberikan hadiah dan posisi sosial, agar orang Islam bersedia memeluk
Kristian. Dan untuk selanjutnya mereka yang telah dikristiankan, akan menjadi sekutu
Spanyol dalam menambah luas lagi pengaruhnya ke selatan. Namun tidak seluruh
orang Filipina dapat dikristiankan, khususnya umat Islam Sulu, Mindanao dan
sekitarnya bukan saja menolak untuk dikristiankan, tapi memberikan perlawanan yang
tidak kenal menyerah.
Kesulitan menaklukan Selatan Filipina membuat Koloni Spanyol memusuhi
masyarakat Muslim setempat dan menjajah Filipina selama tiga ratus tahun. Spanyol
menganggap Pulau Mindanao dan Sulu merupakan bagian dari teritorialnya meskipun
Spanyol gagal menaklukan kedua wilayah tersebut. Spanyol menyadari bahwa
penduduk wilayah Selatan melakukan perlawanan yang gigih, berani dan pantang
menyerah. Hal tersebut membuat Koloni Spanyol untuk menyerah dalam menaklukan
wilayah Filipina Selatan, maka dari itu Spanyol menjual Filipina kepada Amerika
Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898. Kekuasaan Spanyol atas Filipina beralih
kekuasaan ke Amerika Serikat. Amerika datang untuk menjunjung tinggi hak dan
kebebasan warga negara dalam memilih agama dan beribadah sesuai dengan
kepercayaannya4.

3
Perkataan Moro berasal dari sebutan bahasa Spanyol Moor, berasal dari perkataan Latin maurus dan moriscor
yang maksudnya Umat Islam di Spanyol lama, dan penduduk pendatang dari Aljazair dan Maroko, dan kemudian
disebutkan juga untuk Umat Islam di Filipina. Umat Islam Filipina sendiri tidak begitu menyukai istilah Moro, dan
sebaliknya Umat Islam menyebut Orang Spanyol dengan Kastilas (Castilians).
4
Apipudin. 2008. Islam Asia Tenggara. Jakarta: Akbar Media EkaSarana. Hlm. 109

4
B. Kedatangan Amerika di Filiphina
Pada masa-masa awal Penguasa Amerika Serikat di Filipina berusaha menarik
para pemimpin Islam agar menerima kekuasaan Amerika. General Bates, melalui
Perjanjian Bates pada 1898, melakukan pendekatan dengan para Datu Sulu. Isinya
bahwa Amerika Serikat tidak akan campur tangan dalam masalah intern Umat Islam
Sulu, dan sebaliknya Umat Islam juga tidak campur tangan dalam peperangan antara
Amerika Serikat dengan pemberontak Filipina (1899-1901). Setelah peperangan
berakhir, mulailah Amerika merancang penyatuan wilayah Sulu dan sekitarnya yang
sebelumnya diperintah oleh Sultan dan Datu Sulu ke dalam wilayah Filipina, dan mulai
sejak itu Umat Islam menolak penguasa Amerika dengan semua kebijakannya. Seorang
pemimpin tentara Islam, Panglima Hasan dan pengikutnya berusaha menyerang
Amerika Serikat di Sulu pada 1901 hingga Maret 1904, ketika itu Hasan dapat dibunuh.
Penentangan paling sengit dilakukan oleh Bud Dajo pada 1906. Peperangan ini
melibatkan 790 orang tentara Amerika dan 1000 orang umat Islam. Dalam peperangan
ini diperkirakan 600 orang umat Islam shahid.5
Setelah dibuatnya traktat Bates oleh Amerika tahun 1898 M, maka Amerika
dengan gencar berusaha menerapkan sistem politiknya di wilayah selatan, padahal
eksistensi kesultanan Mindanao dan Sulu belum mampu ditaklukkan oleh Spanyol.
Memasuki tahun 1914-1920 M, Amerika semakin kuat melakukan tekanan bagi
muslim Moro dengan menerapakan beberapa kebijakan. Kebijakan pertama, kebijakan
sistem agraria (pertanahan) baru. Di antara bentuk kebijakan pertanahan itu antara lain
kebijakan Land Registration Act no. 496 (1902 M) yang menyatakan keharusan
mendaftarkan tanah miliki pribadi kepada pemerintahan kolonial Amerika dalam
bentuk tertulis ditandatangani dan di bawah sumpah. Kebijakan Kedua, koloni Amerika
membentuk propinsi Moro Land, dengan alasan untuk memberikan arah pembentukan
sistem masyarakat modern (civilizing) bagi bangsa Moro. Akibatnya perlawanan tidak
dapat dihindarkan oantara orang muslim melawan koloni Amerika. Menurut Teofisto
Guingoana sejak tahun 1914- 1920 terjadi 19 kali pertempuran besar yang dilakukan
bangsa Moro menolak dua kebijakan tersebut. Perlawanan itu terinspirasi oleh

5
Majul, membagi Sejarah Perjuangan Umat Islam Filipina Selatan (MORO) menjadi 6 periode, lihat Majul, MORO,
86.

5
penduduk Moro dengan semangat jihad fi sabillah. Ketidakmampuan muslim Moro
untuk membendung tekanan yang dilakukan Amerika, maka sejak tahun 1920-an itulah
seluruh wilayah Selatan Filipina yang berada di bawah kesultanan Mindanao dan Sulu
takluk di bawah koloni Amerika dan dikendalikan oleh gubernur orang Amerika,
kecuali wilayah Lanao Selatan dan Lanao del Sure.
Strategi Amerika meredam perlawanan muslim Moro ternyata tidak cukup
efektif, karena itu selain dua kebijakan di atas juga diterapkan pada aspek pendidikan
dan penerapan sistem hukum, sehingga norma-norma yang mengikat bagi warga
negara cenderung tidak bermoral dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Seiring
dengan melemahnya perlawanan muslim Moro karena kekuasaan Sulthan semakin
berkurang bahkan hilang karena masuknya arus kekuasaan pemerintahan Manila di
bawah bayang-baynag koloni Amerika. Langkahini bisa mengancam kekuasaan umat
Islam secara bertahap dan berpindah pada kekuasaan pemerintah Manila sehingga
kemadirian Muslim Moro semakin tergerus.

C. Masa Pemerintahan Filiphina


Setelah berlangsung pemerintahan transisi Manila-Amerika, tepat pada tanggal
4 juli 1946 Filipina mendapatkan kemerdekaan dari Amerika dengan nama Republik
Filipina, yang merujuk pada nama Philip II, raja Spanyol ketika awal penjajahan pada
abad ke 16 M. Kemerdekaan tersebut tidak banyak memberikan makna bagi muslim
Moro, karena keluarnya koloni Amerika dari kawasan Filipina, ternyata muncul model
penindasan baru yaitu pemerintahan Filipina Merdeka, karena pada kenyataanya
mereka berusaha melanjutkan program integrasi nasional, politik agraria, pemindahan
orang Utara ke wilayah selatan sehingga penindasan dan diskriminasi minoritas muslim
masih terjadi saat memasuki Filipina Merdeka.6
Pemerintah Filipina memandang sejarah bangsa Moro merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari perkembangan geopolitik Filipina secara keseluruhan, setidaknya
setelah hilangnya koloni Barat dari wilayah itu. Dalam ilustrasi yang digambarkan oleh
tokoh Moro National Libration Front (MNLF), Abhound Lingga “meskipun Muslim

6
Lingga, Abhound, 1980, The Struggle of the bangsa Moro people for national Librations. Cotabato City

6
Moro mendapatkan tempat “dalam Rumah” secara fisik di Filipina saat memasuki
Filipina Merdeka, tetapi seringkali muslim Moro tidak mendapatkan rasa aman,
tentram dan tidak ada kemandirian atau kewenangan untuk mengatur wilayah muslim
secara otonom”. 7

D. Perjuangan Bangsa Moro


Perjuangan Muslim Moro secara garis besar dapat dikelompok dalam dua
bagian. Pertama, kelompok moderat yang didukung oleh mayoritas penduduk, karena
mereka berusaha untuk mempertahankan hidup sebagai komunitas muslim tetapi pada
sisi lain mereka terpaksa hidup dalam sistem politik yang dikendalikan pemerintahan
Manila merdeka. Meskipun kemerdekaan tersebut tidak banyak memberikan makna
bagi muslim Moro, karena keluarnya koloni Amerika dari kawasan Filipina, ternyata
muncul model tekanan baru dari pemerintahan Filipina Merdeka, karena kenyataannya
mereka masih melanjutkan program integrasi nasional, (politik agraria, pemindahan
orang Utara ke wilayah selatan sehingga penindasan dan diskriminasi) kepada
minoritas muslim. Konsekuensinya, muslim Moro berusaha melawan dan berjuang
bahkan kadang mengangkat senjata untuk menuntut hak mereka dalam banyak hal
sebagai warga negara, tindakan dan perlawanan yang dilakukan kelompok Muslim
Moro ini masih dalam cara-cara yang elegan, legal dan konstitusional. Walaupun dalam
beberapa peristiwa mereka memanggul senjata demi menuntut hak mereka. Kelompok
pertama ini lebih sering dikenal dengan kelompok pro-integrasi dan memperjuangkan
otonomi di wilayah Moro. (Abdullah, 1980 : 355). Kelompok kedua, sering disebut
dengan kelompok radikal, karena mereka berusaha memperjuangkan kemerdekaan
dengan cara-cara menarik perhatian dunia internasional, khususnya negara-negara
Islam tentang nasib mereka yang masih tertindas dan ditekan dia alam negara merdeka.
Langkah-langkah lain yang mereka lakukan adalah dengan melakukan perlawanan
melalui perang grilya, tujuannya untuk melemahkan pemeritahan Filipina
(Ensiklopedi, 2003:480).

7
Hilario Molijon Gomez, 1992, The Muslim Filipina Rebelion and Changes to the Mission and the Ministryof the
Cristian Church in Filipines, Mhicican University. Hlm 38-40.

7
Perjuangan muslim Moro setelah memasuki babak baru Filipina merdeka, secara
terorganisir paling awal lahir di tahun 1968 M dengan nama Muslim Independent
Movement (MIM). Gerkan pembebasan muslim Moro MIM lahir sebagai akibat dari
tekanan yang semakin berat dari pemerintah Filipina pimpinan presiden Ferdinand
Marcos yang berkuasa dari tahun 1965-1986 M. Ia seringkali mengeluarkan kebijakan
yang cenderung represif dan bertindak otoriter terutama bagi penduduk muslim Moro.
MIM didirikan oleh seorang politisi muslim Uldog Maltalan. Organisasi ini tidak dapat
bertahan lama karena mendapat tekanan dari pemerintah. Kemudian muncul organisasi
perjuangan kemerdekaan muslim Moro dengan nama Moro Libration Front (MLF)
pada tahun 1971 yang tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih otoriter
apalagi pada masa itu di keluarkan kebijakan Presidential Proclamation no. 1081. Sejak
saat itu perjuangan muslim Moro terus berbenah, meskupun banyak pula mengalami
perubahanperubahan mendasar karena adanya perbedaan ideologi dan langkah-langkah
perjuangan. Dari organisasi MLF ini lahir pula organisasi perjuangan muslim Moro
seperti Anshor el Islam; Moro national Libration Front (MNLF) pimpinan DR. Nur
Misuari ; Moro Islamic Libration Front (MILF) dipimpin oleh Hasyim Selamat.8
Di satu sisi pihak muslim Moro menghendaki diselesaikannya dengan cara
diplomatik di wakili Moro national Libration Front (MNLF) pimpinan DR. Nur
Misuari, sementara di pihak lain mengehndaki perjuangan dengan tetap mengangkat
senjata (jihad) yang dipimpin oleh kelompok Moro Islamic Libration Front (MILF)
oleh Hasyim Selamat (Yunanto, 2003). Akhirnya pemerintah Filipina tetap dengan
tindakan represif dengan pendekatan militer di wilayah basis muslim dengan alasan
menumpas kelompok radikal MILF (Nugroho, 1996). Semua kelompok memandang
caranyalah yang paling efektif dan tepat untuk menyelesaikan konflik bangsa Moro,
sedang mereka berjalan sendiri-sendiri sehingga amat mudah dipatahkan dan
dikendalikan pemerintah. Sedangkan pihak pemerintah Filipina (Fidel Ramos) hanya
memilih satu diantara beberapa kelompok yang ada untuk dirangkul dan diajak
berunding, Sementra beberapa kelompok lain sengaja ingin ditumpas dan tidak ikut
dilibatkan di dalam perundingan-perundingan. Pada tahun 1997, untuk pertama kalinya

8
Yunanto, Y, et. Al. 2003, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakata : Frederich Ebert
Shiftung, 2003

8
perwakilan MILF & Filipina terlibat dalam perundingan resmi tidak terkecuali
kelompok MNLF Nur Misuari. Beberapa kali perundingan antara keduanya sukses
menghasilkan kesepakatan damai. Namun beberapa kali pula kesepakatan damai
tersebut gagal membawa perdamaian jangka panjang akibat pecahnya kembali aksiaksi
kekerasan bersenjata. Lepas dari itu semua, toh pada tahun 2013 perwakilan MILF &
Filipina mengklaim kalau keduanya berhasil merumuskan perjanjian damai yang
diharapkan bisa mengakhiri aktivitas pemberontakan MILF secara permanen.
Berdasarkan kesepakatan di tahun 2013 tadi, wilayah Filipina selatan akan memperoleh
otonomi lebih luas & kebebasan menggunakan hukum Islam. Kesepakatan tersebut
juga menjanjikan jatah keuntungan hasil eksploitasi SDA yang lebih besar bagi
komunitas setempat. Sebagai gantinya, MILF setuju untuk mengesampingkan ide
kemerdekaan Filipina selatan & membiarkan senjatanya dilucuti. Bulan Januari 2014,
kesepakatan damai tersebut akhirnya diresmikan di Kuala Lumpur, Malaysia.

E. Penyelesaian dan masa Depan Umat Islam Filipina


Tidak dapat dibantah bahwa selama ini, setiap orang membicarakan Islam di
Filipina, yang terbayang adalah perjuangan bersenjata, separatisme Islam Moro untuk
berusaha lepas dari cengkraman Filipina yang dianggap menekan umat Islam, dengan
semua polemik argumentasi masing-masing. Tapi sebenarnya kajian tentang Islam di
Filipina juga mengandung banyak ragam dan nuansa, seperti munculnya “kebangkitan”
Islam yang cukup dinamis, namun yang berada dalam kerangka Filipina, pembangunan
Muslim Filipina dalam suasana harmoni, sinergis dan mulai belajar saling percaya.
Bahwa menumbuhkan suasana harmoni itu memang sulit dan tidak mudah, tapi tetap
mungkin dilakukan kalau diperjuangkan secara sungguhsungguh dan terus menerus.
Seorang ilmuan Muslim Filipina, Asiri Abubakar menguraikan beberapa faktor
yang turut menyumbang bagi kebangkitan Islam di Filipina di masa depan 9 :
a) Bertambahnya hubungan dengan ulama dan para pendatang Muslim yang
terpelajar dari dunia Arab dan sekitar Filipina,

9
Sebagaimana dikutip oleh Nagasura Madale, “Kebangkitan Kembali Islam dan Nasionalisme di Filipina”, dalam
Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1988),
347.

9
b) Bertambahnya jumlah warga Moro yang pergi naik haji,
c) Bertambahnya kesempatan melakukan studi di berbagai pusat studi Islam di
seluruh dunia,
d) Partisipasi aktif dalam berbagai pertemuan regional dan internasional,
e) Kembalinya ratusan pelajar Muslim Filipina dari luar negeri,
f) Semakin banyaknya didirikan madaris (madrasah, sekolah agama) di daerah-
daerah yang selama ini terisolir, dan
g) Berbagai konperensi pers internasional dan peliputan perang yang sedang
berlangsung di Mindanao serta kekejaman yang dilakukan oleh beberapa
personil militer di wilayah tersebut.

Umat Islam Filipina mempunyai satu tujuan bersama, yakni “pemberdayaan


(enpowering)” umat Islam dan institusi Islam, namun mereka berbeda dalam stategi
pencapaiannya. Kelompok garis keras melakukan dua strategi: 1). Menarik perhatian
internasional, khususnya negara-negara Islam, tentang nasib mereka yang malang,
ditindas oleh penguasa Filipina yang tirani, 2). Menjalankan perang gerilya untuk
melemahkan pemerintah Filipina. Kelompok moderat, yang didukung oleh mayoritas
masyarakat Muslim, berusaha mempertahankan diri dan identitas mereka, dengan
memasuki sistem politik Filipina, dengan menggunakan semua cara yang legal dan
konstitusional yang tersedia. Termasuk menyebarluaskan pikiran-pikiran,
mengorganisir kelompok-kelompok penekan dan berpartisipasi dalam usaha-usaha
pemerintah untuk menemukan suatu penyelesaian yang damai, adil dan menyeluruh
bagi umat Islam Filipina.

Sedang dari aspek Pemerintah Filipina sendiri, melakukan dua sikap sekaligus:
Pertama, Konsiliasi, yakni berbagai upaya damai, dialog-dialog terbuka dengan semua
kelompok yang terlibat dalam pemberontakan dan membahas semua persoalan untuk
sampai pada penyelesaian yang dapat diterima. Kedua, pembangunan wilayah,
melakukan pembangunan yang melibatkan semua sumber-sumber daya nasional bagi
penyediaan berbagai fasilitas ekonomi, sosial, kultural dan kebudayaan serta perluasan
partisipasi penduduk dalam pembangunan tersebut. Dan tidak dapat dibantah, juga
menggunakan kekerasan dan tekanan, pada waktu dan tempat tertentu. Salah satu

10
implementasi dari dua sikap pemerintah adalah menubuhkan pemerintah regional yang
otonom.

2.2 Kasus Rohingya di Myanmar

A. Sejarah Rohingya
Menurut catatan sejarah, ada beberapa versi asal muasal bangsa Rohingya di
Myanmar. Pertama, ada yang mengatakan bahwa mereka bukanlah keturunan Arab
tetapi generasi Muslim Chittagonian yang bermigrasi dari Bengal (Bangladesh
sekarang) saat Burma dijajah oleh Inggris.10 Kedua, terminologi Rohingya mulai
dikenal untuk penamaan sebuah komunitas oleh sebagian kecil kaum intelektual
Muslim Bengal yang mendiami bagian tenggara Arakan di awal 1950-an. Mereka
adalah keturunan para imigran berasal dari Chittagong Timur Bengal dengan perjanjian
Yandabo saat perang Inggris-Burma I berakhir (1824-1826).11 Ketiga, dalam skrip
Ananda Chandra dikatakan pada tahun 957 SM, terjadi migrasi populasi Tibeto-
Burman Theravada Buddhist ke kawasan Arakan. Dengan mengalahkan bala tentara
Chandra mereka menguasai Arakan dan orang-orang yang berparas seperti India
kembali mendiami wilayah bagian utara Arakan atau balik ke Bengal. Ini merupakan
exodus orang berparas India pertama ke Bengal.12 Keempat, Rohingya adalah
masyarakat mayoritas Muslim dan minoritas Hindu secara rasial berasal dari Indo-
Semitic. Mereka bukanlah kelompok (Arakan Rakhine) etnis yang berkembang dari
gabungan satu suku atau ras tertentu. Mereka adalah percampuran Brahmin dari India,
Arab, Moghuls, Bengals, Turks, dan Asia Tengah yang mayoritas sebagai pedagang,
pejuang, dan juru dakwah datang melalui laut dan berdiam diri di Arakan. Pada zaman
Chandra, mereka bercampur baur dengan masyarakat lokal dan melahirkan generasi
mayarakat Rohingya.13

10
Hla, M. T. (2009). Rohingya Hoax. New York: Buddhist Rakhaing Cultural Association.
11
Chan, A. (2005). The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma . SOAS Bulletin
Burma Research, Vol.3, NO.2. SBBR.
12
Bahar, A. (2012, July 29). Ancient Kingdom of Arakan: Understanding The Arab- Chandra Synthesis.
13
Ibid

11
Akan tetapi, selain beberapa paparan tentang asal-usul etnis Rohingya di atas,
seorang sejarawan Jaques P. Leider mempunyai pendapat tentang asal- usul etnis
Rohingya itu sendiri. Ia mengatakan bahwa pada abad ke-18 ada 20 catatan seorang
Inggris yang bernama Francis Buchanan-Hamilton yang sudah menyebutkan adanya
masyarakat Muslim di Arakan. Mereka menyebut diri mereka “Rooinga”. Ada yang
mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata “rahma” (rahmat) dalam bahasa Arab
atau “rongha” (perdamaian) dalam bahasa Pashtun. Selain itu, ada pula yang
mengaitkannya dengan wilayah Ruhadi Afghanistan yang dianggap sebagai tempat
asal Rohingya.14
Meski sudah tinggal berabad-abad lamanya di Myanmar, pemerintah Myanmar
menganggap Rohingya bukan kelompok etnis asli. Keturunan Rohingya tetap
dipandang sebagai pengungsi ilegal dari negara tetangga Bangladesh. Di pihak lain,
Bangladesh juga tidak mengakui mereka sebagai warga negara.15 Menurut Burmese
Rohingya Organisation UK (Brouk) atau organisasi Rohingya di Inggris, Pemerintah
Myanmar selalu membuat kebijakan yang menekan kelompok etnis Rohingya sejak
1970-an. Tekanan terhadap warga Rohingya secara bertahap meningkat sejak proses
reformasi yang diperkenalkan Thein Sein pada 2011.16

B. Sikap Pemerintah Myanmar Terhadap Etnis Rohingya


Akibat tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar,
masyarakat etnis Rohingya mengalami berbagai bentuk perlakuan diskriminatif dalam
berbagai aspek. Diskriminasi yang terjadi terhadap etnis Rohingya di Myanmar seperti
penolakan status kewarganegaraan, kerja paksa, penyitaan properti secara sewenang-
wenang, terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan. Berbagai perlakuan diskriminatif
tersebut menjadi penyebab terjadinya eksodus17 etnis Rohingya ke Bangladesh dan
terus mendorong arus pengungsi baru ke negara-negara tetangga Myanmar lainnya
seperti Thailand, Indonesia, Malaysia.

14
Hartati, A. Y. (2013). Konflik Etnis Myanmaar (Studi Eksistensi Rohingya ditengah Tekananan Pemerintah).
Semarang: Universitas Wahid Hasyim.
15
Kompas, Menelisik Akar Pengungsi Rohingya, 2015
16
Ibid
17
Eksodus merupakan kegiatan meninggalkan kota secara besar-besaran.

12
Tidak hanya pemerintah Burma yang mengintimidasi mereka, tetapi juga junta
militer pun menggembar-gemborkan gerakan anti Islam di kalangan masyarakat
Buddha Rakhine dan penduduk Burma sebagai bagian dari kampanye memusuhi
Rohingya. Bagi junta militer gerakan tersebut cukup berhasil membuat warga
Rohingya etnis Bengali keluar dari Myanmar. Masyarakat Rohingya banyak yang
menghadapi diskriminasi oleh pergerakan demokrasi Burma. Sebagian masyarakat
Rakhine dan Burma menolak untuk mengakui Rohingya sebagai golongan etnis, dan
mereka telah ditolak dalam keanggotaan Dewan Nasional Etnis. Etnis Rohingya
merasa menjadi golongan kelas kedua sebagai masyarakat tertindas. Mereka berupaya
meningkatkan solidaritas kelompok untuk melawan dominasi kekuasaan etnis Rakhine
yang bekerjasama dengan junta militer. Oleh karena itu sangat disayangkan dengan
adanya diskriminasi yang diberikan kepada etnis Rohingya, mereka rentan terhadap
radikalisme karena dalam kondisi sangat tertekan dan menderita seperti saat ini, hal
tersebut dapat terjadi dan akan sangat berbahaya karena dapat memengaruhi stabilitas
kawasan Asia Tenggara termasuk selat Malaka.
Adanya UU Kewarganegaraan tahun 1982 yang menjadikan warga Rohingya
etnis Bengali tidak diakui kewarganegaraannya membuat nasib mereka penuh dengan
ketidakpastian dan kehilangan banyak hak dasarnya sebagai warga negara, Mereka
dilarang menikah tanpa mengantongi izin resmi. Setelah menikah, mereka tidak
diperbolehkan punya anak lebih dari dua orang. Mereka juga tidak berhak memiliki
paspor. Dengan status seperti itu, anak-anak Rohingya kehilangan akses terhadap
pendidikan serta kesehatan. Tak heran, dengan kondisi seperti itu, UNHCR
mengkategorikan Rohingya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia.18 Bahkan
mereka sering mendapatkan perlakuan sadis dari junta militer Myanmar seperti
penjarahan, pembakaran hidup-hidup, pengrusakan tempat tinggal dan rumah ibadah,
pemerkosaan, dan pembunuhan secara sewenang-wenang melalui Operasi Nagamind
tahun 1990. Etnis Rakhine sering terlibat perselisihan dengan etnis Rohingya karena
mereka membantu dan mendukung junta militer Myanmar dalam berupaya moslem
cleansing atau ethnocide terhadap etnis Rohingya seperti pemerkosaan, penjarahan
toko yang dikelola warga Rohingya, pengrusakan rumah dan tempat ibadah,

18
Kompas, Menelisik Akar Pengungsi Rohingya, 2015

13
pembakaran hidup-hidup warga Rohingya, sekolah-sekolah Muslim, jembatan, dan
jalan raya.19

C. Pemicu Terjadinya Konflik a Etnis Rohingya dengan Etnis Rakhine Tahun 2012-2013.
Perkembangan konflik kemudian terjadi pada kerusuhan Mei 2012 yang telah
memicu perhatian dunia internasional. Secara umum, kekerasan dipicu oleh kasus
pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Buddha yang diduga dilakukan
oleh laki-laki Muslim. Aparat kepolisian Rakhine melakukan penahanan ketiga
tersangka secara tidak transparan sehingga menekan amarah kedua etnis. Etnis Rakhine
merasa bahwa tindakan ketiga pemuda tersebut telah melecehkan martabat wanita etnis
Rakhine secara terang-terangan. Terlebih lagi, pengadilan yang seharusnya didirikan
untuk menegakkan keadilan dan menghukum pihak yang bersalah justru menimbulkan
kekacauan. Pengadilan khusus didirikan di kantor polisi Maungdaw, untuk warga
Muslim Rohingya yang ditangkap oleh pasukan ‘keamanan’ (Hlun-tin dan Nasaka).
Pengadilan ini menjatuhkan hukuman tanpa penjelasan rinci dan akurat bahkan lebih
berupaya untuk menghukum pihak yang tidak bersalah. Para tahanan Rohingya banyak
dikirim ke penjara Buthidaung tanpa proses hukum yang transparan. Laporan terakhir
menyebutkan bahwa di penjara Buthidaung sekitar 168 warga Rohingya yang masih
ditahan dengan tuduhan membuat kerusuhan di Rakhine melanggar UU 148/506.20
Kejadian tersebut kemudian memicu kekerasan massal berupa pembunuhan dan
penyiksaan, pembakaran rumah dan properti serta pemaksaan untuk meninggalkan
tempat tinggal, terutama terhadap orang-orang muslim minoritas.

D. Reaksi Masyarakat Lokal Myanmar Terhadap Etnis Rohingya


Ada sekitar 800.000 orang dari etnis Rohingya yang tinggal di Myanmar.21 Etnis
Rohingya mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah Myanmar karena
mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Selain dari pemerintah, muncul

19
Alfi Revolusi et al., Faktor-Faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine dan Rohingya di Myanmar Tahun 2012.
20
The Recent Situation of Maungdaw and Rathidaung Township.http://www.kaladanpress.org/news/151-news-
2012/june 012/3719-the-recent-situation-of-maungdawandrathidaung-townships. Diakses 17 April 2020
21
Kallie S, Who Are the Rohingya, dalam http://asianhistory.about.com/od/Asian_History_Terms_N_Q/g/Who-
Are-The-Rohingya.htm, diakses pada 17 April 2020.

14
sentimen sosial dari warga lokal Myanmar yang tidak menyukai etnis Rohingya tinggal
di Myanmar. Mayoritas penduduk Myanmar beragama Buddha. Ketakutan terhadap
Islam etnis (Rohingya) juga menjadi pemicu munculnya sentimen tersebut.22 Seorang
biksu muda Shin Thu Mana mengatakan jika “Muslims are dangerous,” “They’re not
like other religions”. Sentimen tersebut muncul karena rasa takut kebudayaan Buddha
akan terdesak oleh warga Muslim. Apalagi, Myanmar berdekatan dengan negara yang
mayoritas penduduknya beragama Muslim seperti Bangladesh, Malaysia, dan
Indonesia. Etnis Rohingya dianggap mengancam kepercayaan Buddha dan menjadi
pintu masuk islamisasi di Myanmar.23 Seorang warga Sittwe U Than Tun mengatakan
jika Rohingya dibiarkan tinggal di Myanmar akan membahayakan generasi mendatang.
Lebih lanjut, pada bulan Mei 2015, ada sekitar 400 orang warga Myanmar
termasuk 40 Biksu yang menolak keberadaan etnis Rohingya melakukan aksi
demonstrasi dalam kampanye anti Rohingya.24 Permasalahan semakin membesar
dengan munculnya kelompok Ma Ba Tha25 yaitu kelompok ekstrimis Buddha yang
beranggotakan biksu-biksu. Kelompok tersebut secara terang-terangan menolak
keberadaan etnis Rohingya di Myanmar karena menganggap etnis Rohingya adalah
sumber masalah. Kelompok ini diketuai oleh biksu Ashin Wirathu yang menganggap
orang Muslim sebagai musuh. Pembantaian dan pengusiran yang terjadi terhadap
Rohingya adalah perintah dari Ashin Wirathu. Kelompok Ma Ba Tha merupakan
kelompok yang kuat, atas dasar permintaan dari kelompok tersebut, pemerintah
Myanmar membuat undang- undang yang isinya mengenai Hukum Ras dan Agama
yang termasuk pembatasan nikah antar agama dan aturan untuk berpindah agama.
Keberadaan kelompok Ma Ba Tha ini berpengaruh dalam perpolitikan Myanmar,
terutama di pedesaan, yang mana otoritas vihara tidak dapat ditentang. Hal tersebut
dimanfaatkan oleh partai NLD untuk bisa membantu mereka mendapatkan suara dalam

22
Shamil, Op. Cit
23
Ibid
24
Manny Maung, Monks Join Hundreds in Myanmar Anti Rohingya Rally, dalam
http://www.aljazeera.com/news/2015/05/myanmar-anti-rohingya-rally-150527105614300.html, diakses pada 17
April 2020.
25
Ma Ba Tha atau Patriotic Association of Myanmar (PAM) dalam bahasa Inggris merupakan kelompok radikal
Buddha Myanmar. Salah satu pemimpin kelompok itu yakni Biksu Ashin Wirathu. Biksu Wirathu sebelumnya
dituduh telah memprovokasi kekerasan terhadap Muslim di Myanmar, dalam Teguh Firmansyah, dalam
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/10/31/nx2r6e377-budhis-radikalhentikan-penyebaran-
Muslim-di-myanmar diakses pada 17 April 2020

15
kampanye pemilu. Kelompok Ma Ba Tha menyatakan bahwa mereka tidak akan
medukung partai yang tidak melindungi keberadaan mereka.26

E. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Negara-Negara ASEAN


Berbagai kekerasan yang dialami oleh etnis Rohingya secara individu maupun
kelompok telah memaksa mereka untuk mencari perlindungan di negara lain.
Diskriminasi secara sistemis, pelanggaran HAM berat, serta kemiskinan akut yang
dihadapi etnis Rohingya, telah membuat mereka keluar dari negaranya dengan kondisi
perjalanan yang buruk dan terdampar di beberapa negara tetangganya, seperti
Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Secara umum, pengungsi Rohingya
sudah menjadikan Malaysia sebagai destinasi utama, yang mana Thailand menjadi
lokasi transit menunggu kesempatan untuk bisa menuju ke Malaysia baik melalui darat
dan laut. Sementara untuk Indonesia, para pengungsi Rohingya ini umumnya
rombongan penumpang kapal yang terlunta-lunta di laut dan diselamatkan para nelayan
Indonesia atas pertimbangan kemanusiaan.27

1. Masuknya pengungsi Rohingya ke Thailand


Kebijakan resmi Thailand pada dasarnya tidak pernah mendukung
masuknya Rohingya ke negaranya. Pada Tahun 1980, mantan Perdana Menteri
Thailand Prem Tinsulanonda menyediakan tempat penampungan kepada ratusan
dan ribuan pengungsi lain yang berasal dari Myanmar, seperti Karen, Karenni,
Mon, dan Shan, sedangkan jumlah penampungan untuk Rohingya sangat rendah.
Selain itu, Rohingya disebut sebagai “pengungsi sementara” dan bukan
“pengungsi” untuk memperjelas keengganan Thailand untuk menerimanya.
Menurut Human Rights Watch, sejak 1992 Thailand mengambil beberapa
kebijakan. Pertama, pemerintah Thailand menolak para pengungsi yang dapat
menghadapi pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis. Kedua, pihak

26
Ucanews, Biksu Garis Keras Muncul Dalam Politik Menjelang Pemilu Myanmar, dalam
http://indonesia.ucanews.com/2015/06/23/biksu-garis-keras-muncul-politik-menjelang-pemilihanpanas-myanmar/.
Diakses pada 17 April 2020.
27
Tim Yayasan Geutanyoe. (2016). Hidup Dalam Penantian Setahun Pengungsi Rohingya di Aceh. Aceh: The
Geutanyoe Foundation.

16
berwenang Thailand sangat membatasi ruang operasional UNHCR untuk
mendukung para pengungsi Rohingya. Ketiga, untuk menyelesaikan krisis
pengungsi, Thailand mempromosikan kesepakatan gencatan senjata terhadap etnis
pemberontak dan pemerintah Myanmar.28
Migran Rohingya yang tiba di Thailand melalui Mae Sot dan Ranong
beberapa tahun lalu tinggal di daerah perbatasan dalam jangka waktu yang
bermacam-macam. Beberapa orang dengan segera mencari pekerjaan, beberapa
orang mencari perlindungan dari UNHCR di Bangkok, sementara yang lain
mencari pekerjaan dengan menjadi pekerja kasar di wilayah Mae Sot atau Tak,
seperti pembantu rumah tangga, menjadi petani, dan buruh pengangkut barang.
Sebelum awal tahun 1990, para imigran yang bepergian ke beberapa wilayah
Thailand tidak menghadapi pembatasan gerak seperti yang mereka hadapi
sekarang. Seorang pria Rohingya yang tinggal di Mae Sot selama setahun sebelum
pergi ke Bangkok menagatakan bahwa ia bersama beberapa orang lainnya
melakukan perjalanan ke India lalu ke Mae Sot. Mereka membutuhkan waktu 3
bulan. Ia tinggal di Mae Sot selama setahun dan bekerja sebagai buruh pengangkut
barang melintasi perbatasan. Setelah itu baru ia sampai di Bangkok 39 dan bekerja
sebagai pembantu rumah tangga dan menabung untuk membangun bisnis roti.29

2. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Malaysia


Pada tahun 1970 an dan 1980 an Malaysia dengan terbuka menampung
pengungsi yang berasal dari berbagai negara, seperti Indonesia, Bosnia, dan
Myanmar. Pada tahun 1991 dan 1992, pemerintah Myanmar tidak begitu
membatasi jumlah pengungsi Rohingya yang masuk ke negara tersebut. Pemerintah
mengeluarkan pass card dengan memberikan izin tinggal untuk enam bulan kepada

28
Yesmin, S. (2016). POLICY TOWARDS ROHINGYA REFUGEES: A COMPARATIVE ANALYSIS OF
BANGLADESH, MALAYSIA AND THAILAND. Journal of the Asiatic Society of Bangladesh (Hum.), Vol. 61(1),
88.
29
Equal Rights Trust . (2014). Equal Only in Name The Human Rights of Stateless Rohingya in Malaysia . London:
Equal Only in Name The Human Rights partnership with The Institute of Human Rights and Peace Studies, Mahidol
University.

17
orang-orang Rohingya sebelum tahun 1992.30 Akan tetapi, akibat dari banyaknya
tantangan yang muncul akibat imigran ilegal, seperti keterlibatan mereka dalam
aktivitas kriminal, pengangguran, dan ancaman perbatasan, maka Malaysia
mereformasi “kebijakan pekerja asing” yang mana menyebabkan banyaknya
jumlah migran yang masuk ke negara mereka. Setelah krisis ekonomi Asia pada
tahun 1997, Pemerintah Malaysia mencabut ijin kerja dan mendeportasi imigran
ilegal.31 Beberapa tahun terakhir, akibat konflik yang terjadi antara etnis Rohingya
dan etnis Rakhine pada tahun 2012, jumlah pengungsi dari Rohingya yang datang
ke Malaysia meningkat drastis. Orang-orang Rohingya terdiri dari pria, wanita, dan
anak-anak melarikan diri dari kekerasan yang menimpa mereka.
Sepanjang 2013 dan awal 2014, terdapat perubahan yang terjadi terkait
dengan perjalanan para imigran Rohingya. Dalam demografi kedatangan imigran
Rohingya, mana jumlah imigran wanita dan anak-anak mengalami peningkatan.
Diperkirakan bahwa wanita dan anak-anak memiliki persentasi 5-15% di luar
negeri secara keseluruhan. Dengan semakin banyak wanita yang menempuh
perjalanan ini menyebabkan laporan tentang pemerkosaan di kapal ini juga
meningkat. Perubahan lainnya adalah implikasi kesehatan yang timbul dari
perjalanan menggunakan perahu dan kondisi kamp yang ada. 44 Meningkatnya
jumlah pemuda Rohingya tiba, berusia 16-25 tahun mereka memiliki kondisi
kesehatan fisik yang parah, seperti “kelumpuhan akibat asupan makanan yang
kurang sehat dan kurungan yang lama”.
Sebagian besar populasi Rohingya yang telah lama tinggal di Malaysia,
tinggal di kota-kota metropolitan dimana kesempatan kerja terbuka luas, seperti
Penang, Kuala Lumpur, dan Johor. Selain itu, mereka yang telah lama tinggal 45 di
Malaysia, telah fasih menggunakan bahasa setempat dan sekarang beberapa dari
mereka mendirikan organisasi dan sekolah untuk membantu pendatang baru dan
anak-anak Rohingya yang tidak memiliki akses untuk bersekolah di sekolah resmi.

30
Yesmin, S. (2016). POLICY TOWARDS ROHINGYA REFUGEES: A COMPARATIVE ANALYSIS OF
BANGLADESH, MALAYSIA AND THAILAND. Journal of the Asiatic Society of Bangladesh (Hum.), Vol. 61(1),
88.

31
Ibid

18
Sampai saat ini, sangat jarang wanita Rohingya pergi meninggalkan
Myanmar, dan populasi pengungsi tiba-tiba sebagian besar merupakan pemuda atau
suami yang meninggalkan istri dan keluarganya di Myanmar. Setelah memiliki
pekerjaan yang tetap di Malaysia, beberapa dari mereka membuat persiapan untuk
istri mereka yang akan melakukan perjalanan dari Myanmar, yang lain yang mana
telah tinggal 15 tahun di Malaysia, menikahi wanita Muslim setempat atau wanita
migran Indonesia. dalam kedua kasus tersebut, kehadiran generasi kedua dan ketiga
Rohingya yang lahir dan tinggal di Malaysia sangat penting. Generasi-generasi ini,
meski lahir di Malaysia dan tidak pernah pergi ke Myanmar, mereka tetap dianggap
sebagai “imigran ilegal” dan tetap berada dalam keadaan tanpa kewarganegaraan
yang berlarut-larut.32

3. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Indonesia


Pengungsi Rohingya masuk ke wilayah Indonesia sejak periode 2000 an.
Pada 3 Februari 2009 sekitar 198 orang pengungsi Rohingya (semuanya lakilaki)
diselamatkan oleh nelayan Idi Rayeuk ke pelabuhan Kuala Idi karena perahu yang
mereka tumpangi sudah tidak memiliki mesin serta tidak memiliki stok makanan
dan minuman sama sekali. Sejak itu, sejumlah rombongan silih 46 berganti tiba
mendarat di pantai Aceh melalui sejumlah titik berbeda.33
Antara 10-20 Mei 2015, total 1.807 orang pencari suaka Rohingya dan
Bangladesh telah diselamatkan oleh nelayan setempatdi lepas pantai Aceh,
Indonesia setelah menempuh perjalanan selama berbulan-bulan di lautan dengan
menumpang perahu para penyelundup manusia.34 Indonesia menjadi tujuan akhir
bagi mereka yang menghadapi sikap keras pemerintah Malaysia dan Thailand.
Kedatangan pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh ke Aceh meningkat dari
tahun ke tahun. Sikap ramah dan terbuka yang secara alamiah ditunjukkan
masyarakat Aceh menjadi magnet bagi pengungsi Rohingya, selain kesamaan

32
Equal Rights Trust . (2014). Equal Only in Name The Human Rights of Stateless Rohingya in Malaysia . London:
Equal Only in Name The Human Rights partnership with The Institute of Human Rights and Peace Studies, Mahidol
University.
33
Tim Yayasan Geutanyoe. (2016). Hidup Dalam Penantian Setahun Pengungsi Rohingya di Aceh. Aceh: The
Geutanyoe Foundation.
34
Ibid.

19
agama dan cara hidup tradisional. Fenomena kecenderungan 47 Rohingya untuk
menjadikan Aceh sebagai destinasi utama pengungsiannya tampaknya akan
berlangsung hingga beberapa tahun ke depan. Peristiwa Mei 2015 ini kemudian
diingat dengan sebutan ‘Bay of Bangal Crisis’ atau ‘Andaman Sea Crisis’.35
Sebagai respon darurat, Pemerintah Thailand, Malaysia, dan Indonesia menggelar
pertemuan tingkat tinggi di Putrajaya, Malaysia pada 20 Mei 2015. Pertemuan ini
membahas solusi dari gelombang masuknya pengungsi dan masalah keamanan
nasional dari ketiga negara.
Etnis Rohingya di bawah perlindungan UNHCR dapat dibagi menjadi
pengungsi yang tinggal di dalam community housing, rumah detensi imigrasi dan
interception site, selain itu juga ada kategori pengungsi mandiri, yang
mengupayakan tempat tinggalnya sendiri. Di Makassar dan Medan, para pengungsi
ditempatkan di dalam community house yang dikoordinasikan oleh IOM dan
Kantor Imigrasi, dan di fasilitas-fasilitas rumah detensi imigrasi. Sementara di
wilayah Jabodetabek, banyak pengungsi yang menjadi pengungsi mandiri.
Indonesia sebenarnya bukan menjadi tujuan awal dari pelarian. Berhubung sikap
keras yang ditunjukkan pemerintah Malaysia dan Thailand terhadap para pendatang
ilegal ini, menjadikan Indonesia sebagai harapan terakhir bagi pengungsi
Rohingya.

2.3 Kasus Minoritas Muslim Patani

A. Perjalanan Konflik Muslim Patani


Semua gerakan dan pemberontakan yang terjadi di Thailand bermula dari
sebuah daerah yang kini dikenal dengan nama Pattani. Adanya keinginan Raja
Chulalongkorn untuk mengintegrasikan Melayu Patani ke dalam sistem administratif
penjajah Thai, memutuskan bahwa suatu pemerintahan tidak langsung tidak praktis
lagi untuk dijalankan. Birokrasi pusat ternyata harus lebih diperluas di mana tingkat
kekuasaan harus dialihkan ke tangan para pejabat yang diangkat oleh Bangkok. Tahun

35
UN News Centre. (2016, Februari 23). Bay of Bengal'three times more deadly' than Mediterranean for migrants
and refugees-UN

20
1906, selang empat tahun setelah pencopotan raja-raja Melayu dari kekuasaan atas
kerajaan Melayu Patani melakukan penggabungan tanah Melayu Patani itu dalam
suatu Monthon (satuan administratif daerah) baru dengan nama Monthon Pattani.
Upaya mempersatukan kerajaan terus dilakukan meski telah terjadi peralihan
kekuasaan dari Raja Chulalongkorn kepada anaknya, Raja Wachiravut atau Rama VI
melalui nasionalisme satu bangsa, yaitu bangsa Thai. Doktrin nasionalisme Raja
Wachiravut ditujukan untuk golongan-golongan minority yang berada dalam
kekuasaan kerajaan Thai. Implementasi dari doktrin nasionalisme itu dilakukan
melalui program wajib mengikuti pendidikan Thai yang telah dimulai di masa
pemerintahan ayahnya dan mulai memperlihatkan hasil pengaruhnya terhadap
masyarakat berbangsa Melayu. Madrasah-madrasah yang diselenggarakan di masjid-
masjid didorong untuk mengubah kurikulumnya sehingga mencakup pelajaran bahasa
dan indoktrinasi kewargaan Thai yang telah dirancang oleh Bangkok. Namun,
persoalan paling meresahkan masyarakat adalah semakin besarnya pengawasan Thai
atas segala dimensi kehidupan sehari-hari.36
Muslim Thailand merasa dianiaya dan di bawah tekanan pembaharuan oleh
mayoritas (misalnya, mereka dipaksa mengambil nama-nama Thai). Sangat tidak
menyenangkan di selatan dengan tidak adanya perhatian pemerintah terhadap
perasaan kebangsaan (Melayu) dan keagamaan penduduk. Pemerintah mencoba
menghancurkan sekolah-sekolah Muslim dan menggantinya dengan sekolah Thai.
Pemerintah juga mencoba menghancurkan sekolah-sekolah Muslim, tidak peduli
terhadap perayaanperayaan Islam, menganiaya, menahan dan kadang-kadang malah
membunuh para pemimpin agama dan politik Muslim (antara 1973 dan 1975), sekitar
lima ratus Muslim dibunuh oleh pemerintah di selatan, dan terakhir tetapi tidak sepele,
pemerintah memerintah Muslim untuk mengambil nama Thai yang non Muslim: demi
menipisnya identitas Islam mereka.37

36
Dr. Abdul Matin Bin Salman, Lc. M.Ag. PEMIKIRAN DAN MODEL GERAKAN ISLAM MINORITAS THAILAND. 2015.
Tersedia pada situs: http://eprints.iain-surakarta.ac.id/1727/1/Penelitian%202015.pdf. Diakses pada 17 April 2020.
37
M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 2003.

21
B. Situasi Umat Islam
Jatuhnya rezim militer pada tahun 1973, dan ditegakkannya demokrasi, yang
berlangsung hingga 1976 saat Jenderal Kriangsak Chomanan mengambil alih
pemerintahan sipil merupakan era baru dalam dunia politik Thai. Setiap lapisan
masyarakat didorong untuk berpartisipasi dalam urusan negara semua keburukan
sosial, politik dan ekonomi yang telah ditutupi di bawah rezim diktatur diangkat
kepermukaan. Demikian pula halnya dengan unek-unek yang selama ini terdapat di
kalangan Melayu-Muslim. Berbagai kelompok bermunculan, sebagai tanggapan atas
suasana yang demokratis itu dan berusaha untuk mengordinasikan urusan komunitas
mereka. Dalam periode tiga tahun itulah (1973-1976) tersingkap fakta-fakta tentang
segala penganiayaan, ketidakadilan dan korupsi resmi yang pada umumnya telah
dilakukan terhadap kaum Muslim. Seperti di kemukakan oleh seorang ahli mengenai
situasi itu, Arong Suthasat: “ Akar konflik yang terjadi di empat provinsi (Melayu) itu
adalah perbedaan kebudayaan dan rasa benci antara yang memerintah dan yang di
perintah”.38 Semakin hebat konflik antara pemerintah dan kaum Muslim, semakin
mendesak kebutuhan yang disarakan komunitas atas pimpinan yang lebih baik dan
lebih efektif. Seperti halnya dengan semua sektor lainnya dalam kehidupan
kenegararaan Thai, kaum muda dan terpelajar mengibarkan panji pembaruhan politik.
Salah satu perubahan paling penting yang telah terjadi pada golongan
Melayu-Muslim di Thailand Selatan adalah terbentuknya berbagai kelompok militan
yang secara terang-terangan yang bertujuan “membebaskan” daerah Melayu dari
kekuasaan Thai. Sementara kelompok-kelompok itu beroperasi sendiri-sendiri di
bawah pimpinan masing-masing, dalm pertengahan 1970-an ada upaya untuk
mengordinasikan seluruh kegiatan mereka di bawah satu organisasi induk: Organisasi
Kesatuan Pembebasan Pattani (Pattani United Libertion Organization - PULO).
Sementara masih sulit untuk memperkirakan besarnya dukungan pada organisasi ini,
ia telah mendapat banyak sekali publikasi dan kredibilitas melalui kegiatan-kegiatan
kekerasan dan propaganda yang terus –menerus dilancarkannya di dalam dan di luar
daerah Melayu di Thai Selatan. Melalui organisasi inilah, bantuan dari luar negeri

38
Pitsuan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Pattani, 167.

22
disalurkan kepada berbagai kelompok yang menyatakan sedang memperjuangkan hak
menentukan nasib sendiri sekarang.
Dengan demikian, di antara orang Melayu di Thai Selatan ada yang
mendapatkan sekutu-sekutu yang bersimpati dengan Partai Komunis Thai dan Partai
Komunis Malaya. Sudah jelas bahwa konflik-konflik ideologis pasti akan terjadi
kelak; tetapi untuk sementara waktu, tujuan bersama: “pembebasan nasional”
merupakan sumber inspirasi yang cukup ampuh untuk mempersatukan ketiga kawan
seperjaungan yang sebetulnya saling bertentangan itu; seperti yang pernah terjadi
sebelumnya, ketika orang-orang Kurdi di Iran berjuang berdampingan dengan
pasukan-pasukan pendukung Khomeini sebelum jatuhnya rezim Shah; begitu musuh
bersama dapat disingkirkan, orang Kurdi memerangi bekas sekutunya.39

C. Aksi Kekerasan 2004


Pada hari Rabu (28 April 2004) beberapa kelompok orang muda melancarkan
serangan- yang tampaknya terkoordinasi, terhadap pos-pos keamanan di Provinsi
Yala, Pattani, dan Songkhla. Kelompok-kelompok tersebut kemudian terlibat dalam
bentrokan dengan pasukan keamanan. Pasukan keamanan menewaskan 108 orang dari
kelompok separatis, sementara pada pasukan keamanan, lima orang tewas, yakni tiga
personel polisi dan dua serdadu militer. Menyimak berita kekerasan yang terjadi di
Patani bila dimaknai merupakan salah satu bentuk identitas sosial masyarakat Patani
yang direpresentasikan melalui gerakan separatisme bersenjata. Mereka yang ambil
bagian dalam serangan tersebut adalah sekelompok anak muda yang ingin mendirikan
negara Islam mencakup wilayah Provinsi Yala, Pattani, dan Narathiwat. Ide
separatisme ini muncul sebagai sebagai ungkapan ketidakberesan pemerintah
Thailand dalam mengakomodasi persoalan-persoalan yang muncul di wilayah
provinsi selatan yang sebagian besar adalah Melayu Muslim. Kenyataan ini
menunjukan bahwa perlawanan yang masih berlangsung hingga sekarang dan belum
menunjukan kapan akan terjadi perdamaian pihak yang bertikai. Apabila menyimak
permasalahan yang terjadi di Patani, persoalan di bagian provinsi paling selatan
Thailand tersebut memang sangatlah kompleks. Satu hal yang menjadi pemicu

39
Pitsuawan, Islam di Muangthai : Nasionalisme Melayu Masyarakat Pattani, 173.

23
keresahan masyarakat adalah rasa ketidakadilan yang memisahkan kelompok
minoritas Melayu Muslim dari kelompok mayoritas dominan Thai. Hal ini merupakan
sebuah hasil warisan sejarah hasil penaklukan (conquest) yang dilakukan oleh
kerajaan Siam terhadap kerajaan Patani, pembangunan negara bangsa (state building)
Thailand, migrasi penduduk utara ke selatan dan ketidakmerataan pembangunan
ekonomi (economic development). Konflik yang terjadi antar etnik mayoritas
Thailand dan minoritas Patani dimulai dengan kebijakan politik integrasi dari negara
yang dipusatkan pada integrasi administrasi politik, integrasi kebudayaan, dan
integrasi kegiatan perekonomian. Ditambah lagi dengan kekacauan sosial yang terjadi
di daerah perbatasan Thailand dan Malaysia seperti gangster, politisi busuk, pasukan
keamanan yang korup, tidak adanya hukum, menjadi hal-hal yang memperumit
persoalan di Patani.40
Tindakan sekelompok anak muda yang oleh pihak keamanan dipercaya
sebagai anggota gerakan separatis Barisan Revolusi Nasional adalah contoh akumulasi
dari segala kekecewaan atas persoalan yang terjadi. Merujuk pada konsep identitas
yang diungkapkan oleh Fisher (2001)41 yang mengasumsikan bahwa kemunculan
konflik disebabkan oleh karena adanya identitas yang terancam, berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak dapat diselesaikan.
Kenyataan yang terjadi pada gerakan separatisme Muslim Patani adalah wujud sikap
diskriminatif negara terhadap masyarakat Melayu yang cukup merugikan kepentingan
warga Patani. “kita” dan “bukan kita” seperti yang dituliskan Edward Bruner semakin
memperkokoh identitas bahwa penduduk Patani berbeda dengan bangsa Thai
sepenuhnya. Disini masyarakat Patani berusaha menjaga identitas aslinya karena
adanya agama dan mekanisme internal kelompok yaitu adanya perasaan bersama atas
nenek moyang yang keturunan bangsa Melayu. Karena merasa menjadi bagian dari
bangsa Melayu kemudian mereka menolak ide pembauran politik dan akulturasi
budaya orang-orang Thai. Orang Thailand Islam yang berbahasa Melayu
mengidentikkan dirinya dengan orang Islam Malaysia. Mereka terkonsentrasi di suatu
daerah dan menjaga jarak sosial serta mengisolasikan diri dari pemeluk Budha bahkan

40
Interview: Perrayot Rahimullah (Universitas Songkhla), 2004
41
Fisher dkk, Mengelola Konflik, British Council, jakarta, 2001 p. 8-9

24
dengan pemeluk Islam yang berbahasa Thai di Bangkok. Pola isolasi diri ini lantas
menjadikan mereka kelompok yang diluar sistem dan menganggap wilayahnya telah
diperintah oleh orang asing. Disisi lain klaim kedekatan antara Patani dengan bangsa
Melayu dianggap sebagaian besar masyarakat Thai sebagai ketidaksetiaan kelompok
Muslim Thailand selatan terhadap negara sehingga berakibat pada perilaku
diskriminatif terhadap kelompok minoritas Islam ini. Pola integrasi kebudayaan yang
diterapkan pemerintah kerajaan Siam dalam proses penanganan konflik di Patani lebih
banyak menggunakan pendekatan dominasi etnik mayoritas, akulturasi, dan
‘multikulturalisme semu’.
Dominasi etnik mayoritas (etnis Thai) diterjemahkan oleh pemerintah daerah
dengan memaksakan kebijakan asmilasi kebudayaan terhadap etnik minoritas.
Contohnya etnik minoritas diwajibkan menggunakan bahasa, adat-istiadat, dan aturan-
aturan yang digunakan oleh etnik mayoritas. Dalam hal akulturasi kebudayaan dimana
dapat terjadi apabila antara etnik-etnik yang berbaur tidak ada yang menjadi mayoritas
serta neraca pertukaran politik antar etnis tergantung dari sejauhmana daya tawar yang
dimilikinya, itu semua tidak dapat diwujudkan di Patani. Sementara ide
multikulturalisme gagal pula diterapkan. Sebabnya faktor etnik dan agama sudah tidak
menjadi pertimbangan dalam hubungan antara kelompokkelompok masyarakat.
Tampaknya pemerintah Thailand masih menggunakan pola penyelesain masalah
integrasi melalui 3 pendekatan tersebut dalam upaya membangun kesatuan nasional.
Penerapan azas multikulturalisme yang berusaha menerima segala perbedaan belum
terlaksana karena kenyataan di lapangan pihak aparat masih terlihat senang
menembaki kaum pemberontak dari pada melakukan upaya perundingan damai untuk
mendapatkan kesepakatan bersama. Situasi ini dapat dilihat dari masih
berlangsungnya tindak kekerasan di Thailand selatan hingga sekarang.
Kelompok minoritas dengan identitas budaya yang berbeda seperti halnya
Melayu-Muslims Thailand, dihadapkan pada kenyataan bahwa diperlukan suatu
strategi ulang mengenai ‘identitas baru’ yang dapat dikedepankan dalam kehidupan
masyarakat bernegara.42 Gerakan pemberontakan dengan kekuatan senjata sangat

42
Nur A Fadhil Lubis. 2002. From Armed Rebellion to Cultural Resistance. A study of The Changing Identities of
Malay-Muslims in Southern Thailand. Institute of Islamic Studies North Sumatra.

25
kecil akan sulit diterima dalam rekosiliasi negara. Gerakan budaya maupun politik
bisa jadi mampu memberikan kekuatan baru dan semacam wadah yang dapat
memposisikan ulang keberadaan Muslim Patani. Terutama bagi generasi muda Patani
karena secara kultural mereka memiliki nilai-nilai budaya berbeda, sistem
kepercayaan, gaya komunikasi dan norma-norma hubungan hubungan antar pribadi
dengan bangsa Thai yang memiliki kultur dominan. Kultur yang dominan mengacu
pada siapa yang yang terbesar dalam jumlah, kuat dalam sisi ekonomi maupun politis.
Tampaknya ketika demokratisasi monarki mulai tumbuh dan berkembang di
negara Thailand, diharapkan akan mendorong peran serta masyarakat Patani dalam
pembangunan. Sebab kenyataan demokrasi dan globalisasi secara langsung dapat
membantu Muslim Thailand tidak hanya peluang untuk partisipasi politik lebih besar
tetapi juga peran yang sesuai dengan mereka di dalam pemerintah dan masyarakat.
Mekanisme demokrasi ini dapat dilakukan melalui fasilitasi lokakarya dan dialog
antara pihak-pihak yang mengalami konflik dimana mereka diharapkan dapat
mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang dirasakan masing-masing.
Selain itu juga membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka serta memiliki
sasaran meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua
pihak.

26
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Muslim Moro Filipina Selatan telah berkembang Islam sejak tahun 1380 M dan sejak
abad ke 15 M berdiri kekuasaan Sultan Sulu dan Mindanao. Namun tahun 1521 M
Kolonial Spanyol menjajah Filipina baik di Utara dan Selatan hingga tahun 1898.
karena ada persaingan antar koloni maka perebutan kekuasaan antara Spanyal dan
Amerika tak terhindarkan, dan Amerika menang ditandai dengan dibuatnya Traktat
Paris. Pada masa jajahan Amerika umat Islam mengalami nasib yang amat
memprihatinkan karena sejak itu jatuh lah kesultanan Sulu tepatnya 1936 M. Dua
kebijakan yang amat berat itu antara lain masalah poltitik agraria (pertnahan) dan
pembentukan Moro Land. Sejak Filipina merdeka tahun 1946, nasib muslum Moro di
Selatan Filipina belum juga berubah, karena kuatnya tekanan pemerintah Filipina
terhadap minoritas Muslim dengan tetap melanjutkan kebijakan yang dibuat
pemerintah kolonial Amerika. Maka tahun 1968 muncul pergerakan muslim yang
terorganisir Muslim Independent Movement (MIM); lalu muncul pula Moro Libration
Front (MLF) tahun 1971; pergerakan MLF berganti nama Moro national Libration
Front (MNLF) pimpinan DR. Nur Misuari ; dri MNLF sebagian memisahkan diri
membentuk Moro Islamic Libration Front (MILF) dipimpin oleh Hasyim Selamat.
Umat Islam Filipina mempunyai satu tujuan bersama, yakni “pemberdayaan
(enpowering)” umat Islam dan institusi Islam, namun mereka berbeda dalam stategi
pencapaiannya. Kelompok garis keras melakukan dua strategi: 1). Menarik perhatian
internasional, khususnya negara-negara Islam, tentang nasib mereka yang malang,
ditindas oleh penguasa Filipina yang tirani, 2). Menjalankan perang gerilya untuk
melemahkan pemerintah Filipina.
2. Perlakuan diskriminasi dari pemerintah Myanmar sendiri yang menjadi faktor utama
terjadi konflik Rohingya. Tidak memiliki rasa kemanusiaan dan lebih mengutamakan
kekerasan yang menjadikan masyarakat Rohingya sebagai korban kekejaman.
Sehubungan dengan faktor-faktor penyebab konflik di Provinsi Rakhine yang

27
melibatkan etnis Rakhine dan Rohingya lebih banyak disebabkan oleh tindakan
diskriminatif terhadap warga Rohingya etnis Bengali yang dilakukan oleh junta militer
dengan para biksu Rakhine dibantu penduduk yang berasal dari etnis Rakhine. Kasus
Rohingya menjadi pusat perhatian dunia karena mirisnya kejadian yang terjadi. Rumah
dibakar, kewarganegaraan tidak diakui, pembunuhan massal, sampai kasus
pemerkosaan secara brutal yang dilakukan kepada masyarakat Rohingya. UNHCR
mengkategorikan Rohingya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Negara-
negara ASEAN yang menjadi destinasi pengungsi Rohingya harus meningkatkan
fasilitas yang diberikan kepada pengungsi Rohingya mengingat mereka sangat
membutuhkan bantuan dari negara-negara tetangganya akibat berbagai kekerasan dan
penindasan di negara tempat mereka tinggal. Hal ini demi mewujudkan terciptanya
keamanan global melalui tercapainyakeamanan manusia yang merupakan hak setiap
individu. Semua negara ASEAN harus terlibat aktif dalam penyelesaian krisis
kemanusiaan Rohingya mengingat Rohingya merupakan salah satu dari komunitas
masyarakat yang ada di ASEAN yang mana sedang mengalami penindasan dan
kekerasan di negara tempat tinggal mereka sendiri. Walaupun pada dasarnya ASEAN
menganut prinsip non-interference, akan tetapi masalah kemanusiaan sebagai masalah
global harus mencapai titik penyelesaiannya.
3. Sejak pemerintah kerajaan Thai memasukan daerah Patani Raya ke dalam negara pada
tahun 1902, kejadian protes dan pemberontakan telah berulang-ulang terjadi.
Kecenderungan separatisme mereka disebabkan faktor etnisitas dan solidaritas
keagamaan. Kedua faktor tersebut juga membedakan rakyat Patani dari bagian utama
penduduk Thai. Dukungan kondisi sosial politik menjadikan Islam dan etnisitas
Melayu terkadang digunakan untuk memobilisasi rakyat menentang campur tangan
pemerintah dalam urusan mereka. Dinamisme simbolisasi Islam dan identitas Melayu
tergambar dalam periode sejarah politik negeri Patani. Perubahan struktur sosial
ekonomi telah memaksa orang-orang Melayu Muslim untuk menyesuaikan taktik dan
orientasinya dalam perjuangan mencapai otonomi namun ciri sentralnya masih tetap
dikaitkan dengan Islam dan etnisitas Melayu. Melihat insiden sepanjang tahun 2004
sampai pertengahan 2005, terlihat sasaran serangan pada umumnya berisiko rendah
seperti telefon umum, rumah pribadi, night club dan sekolah dengan menggunakan

28
taktik low-intensity seperti membakar, memancung serta menggunakan homemade-
bombs yang melibatkan kumpulan kecil dan perorangan. Semua aspek ini
menunjukkan serangan di wilayah Selatan itu sesuatu yang bersifat “localised”
dibandingkan dengan pola serangan gerakan militan global seperti Jemaah Islamiah
(JI) atau al-Qaeda yang menjadikan lokasi umum dan tempat rekreasi para turis
mancanegara seperti hotel, kawasan peranginan dan sistem pengangkutan umum
seperti rangkaian kereta api bawah tanah, pesawat terbang dan lain sebagainya. Insiden
dan krisis politik di selatan Thailand ketika ini hanya pada tahap lokal. Kebijakan-
kebijakan kerajaan yang efektif serta kerjasama di antara kerajaan dan pihak-pihak
yang terlibat konflik untuk mencari jalan penyelesaian secara ikhlas pastinya dapat
membantu krisis ini ditangani sebelum ia berkembang menjadi lebih besar dan bersifat
global. Sampai hari ini konflik masih tetap berlanjut di wilayah Selatan Thai
(Naratiwat, Yala, Pattani dan Songkhla), meskipun pemerintahan Thaksin Sinawatra
telah digulingkan oleh tentara pimpinan Jenderal Sonthi, yang beragama Islam dan
mendapat restu Raja Thai. Pengakuan Bangkok terhadap sejarah masyarakat Pattani
sebagai satu kesinambungan dari sejarah bekas Kesultanan Pattani (abad ke-14 hingga
19) dan desakannya untuk mengintegrasikan Pattani dengan sejarah negara bangsa
Thailand yang kontemporer (abad ke 20 hingga 21) mungkin merupakan langkah
paling berkesan dalam menangani masalah di selatan Thailand.

3.2 Saran
Saran yang ingin kami sampaikan kepada pembaca adalah, menjadi sebuah minoritas
bukan berarti kita lemah dan menjadi mayoritas juga bukan berarti kita dapat menghakimi
yang lemah. Dari pembahasan materi diatas dapat terlihat jelas perlakuan yang tidak bisa
dibenarkan terjadi begitu saja karena sifat egoisme manusia. Manusia di muka bumi
membutuhkan satu sama lain karena manusia adalah makhluk sosial. Dari mempelajari
materi di atas, seharusnya kita dapat mengambil hikmah yaitu tidak membeda-bedakan
manusia baik dari segi agama, ras, suku, dll. Karena Tuhan menciptakan manusia untuk
saling berdampingan dan bukan saling mengalahkan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur. “Dinamika Muslim Moro Di Filipina Selatan Dan Gerakan Sparatis Abu Sayyaf”.
Jurnal Sosial Budaya 13, no. 1 (2016)

Abdullah, Taufik (Editor). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid 5, Asia Tenggara. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002

Adib Majul, Cesar, 1984, Muslim in The Philipines, Quezon City : UP Press

Alfi Revolusi et al., Faktor-Faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine dan Rohingya di Myanmar
Tahun 2012. Diakses pada 17 April 2020. Tersedia pada situs:
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58723/Alfi%20Revolusi.
pdf?sequence=1

Apipudin. 2008. Islam Asia Tenggara. Jakarta: Akbar Media EkaSarana.

Bahar, A. (2012, July 29). Ancient Kingdom of Arakan: Understanding The Arab- Chandra
Synthesis . Diakses April 17, 2020, dari Kaladan Press:
http://www.kaladanpress.org/index.php/report/rohingya/3772-burmasrohingya-
origin-in-the-ancient-kingdom-of-arakan-understanding-the- arab-chandra-
synthesis.htm

Chan, A. (2005). The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma .
SOAS Bulletin Burma Research, Vol.3, NO.2. SBBR.

Dr. Abdul Matin Bin Salman, Lc. M.Ag. PEMIKIRAN DAN MODEL GERAKAN ISLAM
MINORITAS THAILAND. 2015. Diakses pada 17 April 2020. Tersedia pada situs:
http://eprints.iain-surakarta.ac.id/1727/1/Penelitian%202015.pdf..

Dr. Agus Aris Munandar. 2009,. Kawasan Asia Tenggara Dalam Dinamika Sejarah Kebudayaan.
Departemen Arkeologi FIB UI. http://www.fib.ui.ac.id

Equal Rights Trust . (2014). Equal Only in Name The Human Rights of Stateless Rohingya in
Malaysia . London: Equal Only in Name The Human Rights partnership with The
Institute of Human Rights and Peace Studies, Mahidol University.

30
Firmanzah. Dinamika Gerakan Pembebasan Muslim Moro di Filipina Selatan: Studi Terhadap
Moro National Liberation Front (1971-1996). Jurnal online. Diakses pada 17
April 2020 Tersedia pada situs:
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intelektualita/article/view/1299

Fisher dkk. 2001. Mengelola Konflik. British Council. Jakarta.

Hartati, A. Y. (2013). Konflik Etnis Myanmaar (Studi Eksistensi Rohingya ditengah Tekananan
Pemerintah). Semarang: Universitas Wahid Hasyim.

Hla, M. T. (2009). Rohingya Hoax. New York: Buddhist Rakhaing Cultural Association.

Hilario Molijon Gomez, 1992, The Muslim Filipina Rebelion and Changes to the Mission and
the Ministryof the Cristian Church in Filipines, Mhicican University.

Indah Anggraini S. 2017. IMPLIKASI KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR


TERHADAP NEGARA-NEGARA ASEAN. Jurnal. Diakses pada 17 April 2020.
Tersedia pada situs:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/25716/SKRIPSI%20FI
XXXXX.pdf?sequence=1

K, A. Sukandia. 1999. Politik Kekerasan. Bandung: Mizan

Kallie S, Who Are the Rohingya, dalam


http://asianhistory.about.com/od/Asian_History_Terms_N_Q/g/Who-Are-The-
Rohingya.htm, diakses pada 17 April 2020

Kompas. (2015, Juni 3). Menelisik Akar Pengungsi Rohingya. Diakses 17 April 2020, dari
KOMPAS.COM: http://print.kompas.com/baca/2015/06/03/Menelisik-Akar-
Persoalan- Rohingya

Lingga, Abhound, 1980, The Struggle of the bangsa Moro people for national Librations.
Cotabato City

M. Ali Kettani. 2005. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

31
Manny Maung, Monks Join Hundreds in Myanmar Anti Rohingya Rally, dalam
http://www.aljazeera.com/news/2015/05/myanmar-anti-rohingya-rally-
150527105614300.html, diakses pada 17 April 2020.

Nur A Fadhil Lubis. 2002. From Armed Rebellion to Cultural Resistance. A study of The
Changing Identities of Malay-Muslims in Southern Thailand. Institute of Islamic
Studies North Sumatra

Pitsuwan, Surin. 1989. Islam Di Thailand. LP3S, Jakarta

Saifullah SA. UMAT ISLAM DI FILIPINA SELATAN Sejarah, Perjuangan dan Rekonsiliasi.
Jurnal Online. Diakses pada 17 April 2020. Tersedia pada situs:
http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/download/44/282/

Taufik Abdullah dan Sharon Siddique. 1988. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:
LP3ES.

Teguh Firmansyah, diakses pada 17 April 2020. dalam


http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/10/31/nx2r6e377-
budhis-radikalhentikan-penyebaran-Muslim-di-myanmar
The Recent Situation of Maungdaw and Rathidaung Township. Tersedia pada situs:
http://www.kaladanpress.org/news/151-news- 2012/june 012/3719-the-recent-
situation-of-maungdawandrathidaung-townships. Diakses 17 April 2020

Teeuw, A. dan Wyatt, D.K. 1970. Hikayat Patani. Bibliotheca Indonesia 5. The hague: Martinus
Nijhoff.
Tim Yayasan Geutanyoe. (2016). Hidup Dalam Penantian Setahun Pengungsi Rohingya di Aceh.
Aceh: The Geutanyoe Foundation.

Ucanews, Biksu Garis Keras Muncul Dalam Politik Menjelang Pemilu Myanmar, Diakses pada
17 April 2020. dalam http://indonesia.ucanews.com/2015/06/23/biksu-garis-
keras-muncul-politik-menjelang-pemilihanpanas-myanmar/.
UN News Centre. (2016, Februari 23). Bay of Bengal'three times more deadly' than
Mediterranean for migrants and refugees-UN. Diakses pada 17 April 2020, dari
UN News Centre:
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=53298#.WRnBrNxtHIV
Yesmin, S. (2016). POLICY TOWARDS ROHINGYA REFUGEES: A COMPARATIVE
ANALYSIS OF BANGLADESH, MALAYSIA AND THAILAND. Journal of the
Asiatic Society of Bangladesh (Hum.), Vol. 61(1), 88.

32
Yunanto, Y, et. Al. 2003. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakata :
Frederich Ebert Shiftung.
Zinda Rahma. Bab II SEJARAH ETNIS ROHINGYA DAN SEGREGASI PEMERINTAH
MYANMAR TERHADAP ETNIS ROHINGYA. Diakses pada 17 April 2020.
Tersedia pada situs: http://eprints.umm.ac.id/36158/3/jiptummpp-gdl-
zindarahma-49042-3-bab2.pdf

____. SEJARAH DAN DINAMIKA KONFLIK SUKU MORO DAN PEMERINTAH FILIPINA.
Jurnal Online. Tersedia pada situs:
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/18990/BAB%20III.pdf?
sequence=7&isAllowed=y

33

Anda mungkin juga menyukai