Anda di halaman 1dari 47

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkerasan lentur

Perancangan konstruksi perkerasan jalan mutlak diperhitungkan dalam perencanaan

sistem jaringan jalan. Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalan

sangat mempengaruhi keputusan dalam merencanakan sistem jaringan jalan. Hal ini

pula turut mempengaruhi pemilihan jenis konstruksi perkerasan jalan yang akan

digunakan.

Salah satu jenis konstruksi perkerasan jalan adalah konstruksi perkerasan lentur

(flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan

pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban

lalu lintas ke tanah dasar. Berbeda dengan konstruksi perkerasan kaku (rigid

avement) yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Pelat

beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa

lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh plat beton.

2.1.1 Karakteristik perkuatan lentur

Perkerasan lentur memiliki beberapa karateristik sebagai berikut :

a. Memakai bahan pengikat aspal

b. Sifat dari perkerasan ini adalah memikul beban lalu lintas dan menyebarkannya

ke tanah dasar
II-1

http://digilib.mercubuana.ac.id/
c. Pengaruhnya terhadap repitisi beban adalah timbulnya rutting (lendutan pada

jalur roda)

d. Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu jalan bergelombang

(mengikuti tanah dasar)

2.1.2 Keuntungan perkerasan lentur

Keuntungan menggunakan perkerasan lentur antara lain :

a. Dapat digunakan pada daerah dengan perbedaan penurunan (differential

settlement) terbatas

b. Mudah diperbaiki

c. Tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja

d. Memiliki tahanan geser yang baik

e. Warna perkerasan member kesan tidak silau bagi pemakai jalan

f. Dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya pembangunan terbatas

atau kurangnya data untuk perencanaan

2.1.3 Kerugian perkerasan lentur

Kerugian menggunakan perkerasan lentur antara lain :

a. Tebal total struktur perkerasan lebih tebal dibandingkan perkerasan kaku

b. Kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan

c. Tidak baik digunakan jika sering digenangi air

d. Menggunakan agregat lebih banyak


II-2
Struktur perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapis yang mana semakin ke bawah

memiliki daya dukung tanah yang kurang baik.

Gambar 2.1 Komponen struktur perkerasan lentur

Gambar 2.1 menunjukkan lapis perkerasan lentur , yaitu :

a. Lapis permukaan (surface course)

b. Lapis pondasi (base course)

c. Lapis pondasi bwah (subbase course)

d. Lapis tanah dasar (subgrade)

Standar Nasional Indoesia (SNI) yang digunakan sebagai acuan antara lain
: SNI 03-1744-1989 : Metode Pengujian CBR Laboratorium.

SNI 03-2828-1992 : Metode Pengujian Kepadatan Lapangan dengan Alat

Komis Pasir

SNI 03-6412-2000 : Metode Pengujian Kadar Semen pada Campuran

Segar Semen tanah

II-3
SNI 19-6426-2000 : Metoda Pengujian Pengukuran pH Pasta Tanah Semen

untuk Stabilisasi

SNI 13-6427-2000 : Metode Pengujian Uji Basah dan Kering Campuran

Tanah Semen Dipadatkan

SNI 03-6798-2002 : Tata Cara Pembuatan dan Perawatan Benda Uji Kuat

Tekan dan Lentur Tanah Semen di Laboratorium.

SNI 03-6817-2002 : Metode Pengujian Mutu Air untuk Digunakan dalam

Beton SNI 03-6886-2002 : Metode Pengujian Hubungan Kadar Air dan

Kepadatan pada Campuran Tanah Semen

SNI 03-6887-2002 : Metode Pengujian Kuat Tekan Bebas Tanah Semen

SNI 15-2049-2004 : Semen Portland

SNI 1742:2008 : Cara Uji Kepadatan Ringan untuk Tanah

Standard Test Method for Repetitive Static Plate Load (ASTM) yang digunakan

sebagai acuan antara lain :

D1195/1196-09 Tesis of Soils and Flexible Pavement Components, for Use in

Evaluation and Design of Airport and Highway Pavements

ASTM E 2835-11 Standard Test Method for Measuring Deflections using a

Portable Impulse Plate Load Test Device

British Standard :

BS EN 196-1:2005 Methods of testing cement Part 1 : Determination of

Strength
II-4
Lain-Lain :

TP BF-StB B l l . l Technical testing of soil and rock in the road-aptitude

tests for soil stabilization with hydraulic binders

2.1.4 Lapis permukaan

Lapis permukaan merupakan lapis paling atas dari struktur perkerasan jalan, yang

fungsi utamanya sebagai :

a. Lapis penahan beban vertikal dari kendaraan, oleh karena itu lapisan harus

memiliki stabilitas tinggi selama pelayanan.

b. Lapis aus (wearing course) karena menerima gesekan dan getaran roda dari

kendaraan yang mengerem.

c. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atas lapis permukaan tidak

meresap ke lapis di bawahnya yang berakibat rusaknya struktur perkerasan jalan .

d. Lapis yang menyebarkan beban ke lapis pondasi.

Lapis permukaan perkerasan lentur menggunakan bahan pengikat aspal, sehingga

menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan memiliki daya tahan

selama masa pelayanan. Namun demikian, akibat kontak langsung dengan roda

kendaraan, hujan, dingin, dan panas, lapis paling atas cepat menjadi aus dan rusak,

sehingga disebut lapis aus. Lapisan di bawah lapis aus yang menggunakan aspal

sebagai bahan pengikat disebut dengan lapis permukaan antara (binder course),

berfungsi memikul beban lalu lintas dan mendistribusikannya ke lapis pondasi.

Dengan demikian lapis permukaan dapat dibedakan menjadi :


II-5
a. Lapis aus (wearing course), merupakan lapis permukaan yang kontak dengan roda

kendaraan dan perubahan cuaca

b. Lapis permukaan antar (binder course), merupakan lapis permukaan yang terletak

di bawah lapis aus dan diatas lapis pondasi

2.1.5 Lapis pondasi (base course)

Lapis perkerasan yang terletak di atara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan

dinamakan lapis pondasi (base course). Jika tidak digunakan lapis pondasi bawah,

maka lapis pondasi diletakkan langsung di atas permukaan tanah dasar.

Lapis pondasi berfungsi sebagai :

a. Bagian struktur perkerasan yang menahan gaya vertikal dari beban kendaraan

dan disebarkan ke lapis dibawahnya

b. Lapis peresap untuk lapis pondasi bawah

c. Bantalan atau perletakkan lapis permukaan

Gambar 2.2 Distribusi beban roda pada struktur perkerasan


II-6
Material yang sering digunakan untuk lapis pondasi adalah material yang cukup kuat

dan awet sesuai syarat teknik dalama spesifikasi pekerjaan. Lapis pondasi dapat

dipilih lapis berbutir tanpa pengikat atau lapis aspal sebagai pengikat.

2.1.6 Lapis pondasi bawah (subbase course)

Lapis perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi dan tanah dasar dinamakan

lapis pondasi bawah (subbase).

Lapis pondasi bawah berfungsi sebagai :

a. Bagian dari struktur perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban

kendaraan ke lapis tanah dasar. Lapis ini harus cukup stabil dan mempunyai CBR

sama atau lebih besar dari 20%, serta Indeks Plastis sama atau lebih kecil dari

10%.

b. Efisiensi penggunaan material yang relative murah, agar lapis diatasnya dapat

dikurangi tebalnnya.

c. Lapis peresap, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi

d. Lapis pertama, agar pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan lancer sehubungan

dengan kondisi lapangan yang memaksa harus menutup tanah dasar dari pengaruh

cuaca, atau lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda alat berat

e. Lapis filter untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke

lapisan pondasi. Untuk itu lapis pondasi bawah haruslah memenuhi syarat :

II-7
(2.1)

Dengan :

D15 = diameter butir pada persen lolos 15%

D85 = diameter butir pada persen lolos 85%

Jenis lapis pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia adalah lapis pondasi

agregat kelas C dengan gradasi pada table 2.1 dan ketentuan sifat campuran seperti

pada table 2.2. Lapis pondasi agregat kelas C ini dapat pula digunakan sebagai lapis

pondasi tanpa penutup aspal.

Tabel 2.1 Gradasi lapis pondasi agregat

II-8
Tabel 2.2 Ketentuan sifat lapis pondasi agregat kelas C

2.1.7 Agregat

Agregat adalah material granural, misalnya pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak

tungku besi, yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat untuk

membentuk suatu semen hidraulik atau adukan.

Agregat diperoleh dari sumber daya alam yang telah mengalami pengecilan ukuran

secara alamiah melalui proses pelapukan dan abrasi yang berlangsung lama, atau

agregat dapat juga diperoleh dengan memecah batuan induk yang lebih besar.

Agregat dibedakan menjadi 2 jenis sesuai dengan ukuran butiran yaitu sebagai

berikut :

a. Agregat kasar

Agregat berupa kerikil sebagai hasil disintegrasi alami dari batu-batuan atau

berupa batu pecah yang diperoleh dari pemecahan batu, dan mempunyai ukuran

butir antara 5-40 mm. Besar butir maksimum yang diizinkan tergantung pada

maksud pemakaian. Agregat kasar adalah salah satu material yang digunakan

untuk pembuatan lapis pondasi pada struktur perkerasan jalan.


II-9
Agregat kasar terdiri dari agregat kelas A dan agreagt kelas B. Kelas ini

menunjukan kualitas serta besar butiran dari agregat tersebut juga kelas agregat

menentukan pemakaian material ini pada lapis perkerasan jalan

Tabel 2.3 Tabel jenis agregat dan lapisannya

onstruksi agregat pada lapis pondasi atas tidak boleh memiliki kerusakan yang bisa membuat agregat tidak bisa menahan ke
uk ketebalan minimum agregat kelas A yang digunakan untuk

lapis pondasi tidak boleh kurang dari 1 cm. Ukuran butiran yang lolos saringan untuk

tipe kelas agregat dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini :

II-10
Tabel 2.4 Tabel presentasi agregat lolos saringan

2.1.8 Semen

Sejarah semen sama tuanya dengan sejarah konstruksi bangunan. Beberapa jenis

semen telah digunakan oleh bangsa Mesir maupun Romawi pada bangunan-bangunan

kuno mereka. Semen yang digunakan diperoleh dengan cara membakar batu kapur.

Semen modern mulai diteliti pada tahun 1756 oleh John Smeaton yaitu dengan

mencampur batu kapur dengan lempung dan membakarnya sehingga menimbulkan

sifat-sifat hidraulik pada semen. Semen jenis ini mulai diproduksi pada tahun 1800

dan selanjutnya menjadi cikal bakal semen portland. Semen portland sendiri telah

dipatenkan oleh Joseph Aspdin pada 21 Oktober 1824. Pada awalnya semen portland

II-11
hanya digunakan untuk pembuatan mortar dan selanjutnya dikembangan ke

pembuatan beton.

Sehubungan dengan semangkin berkembangnya penggunaan semen untuk pembuatan

beton, maka dibuatlah spesifikasi standar tentang semen. Negara Jerman telah

membuat spesifikasi standar semen sejak tahun 1877, Inggris dengan British

Standarnya sejak tahun 1904 dan Amerika serikat dengan ASTM sejak tahun 1904.

Pada awalnya penelitian tentang semen masih jarang dilakukan, namun sejak tahun

1921 di Inggris telah dibentuk suatu pusat penelitian semen yang 18 terprogram.

Beberapa ahli teknologi semen seperti Vicat, Le Chatelier, dan Michaelis merupakan

pionir dalam mengukur sifat-sifat semen. Perkiraan penggunaan semen perkapita

pada tahun 1984 di beberapa negara antara lain :

 Amerika Serikat 325 kg

 Inggris 244 kg

 Italy 678 kg

 Arab Saudi, Qatar, UEA 2000 kg

 Sedangkan Indonesia pada tahun 1998 memproduksi semen sekitar 28 juta ton

a. Definisi Semen

Semen adalah suatu jenis bahan yang memiliki sifat adhesive dan kohesif yang

memungkinkan melekatnya fragmen-fagmen mineral lain menjadi suatu massa

yang padat. Pengertian ini dapat diterapkan untuk banyak jenis bahan semen

II-12
yang biasa digunakan untuk konstruksi beton untuk bangunan. Secara kimia

semen dicampur dengan air untuk dapat membentuk massa yang mengeras,

semen semacam ini disebut semen hidrolis. Adapun beberapa jenis semen

sebagai berikut :

1. Oil Well Cement

Oil Well Cement atau semen sumur minyak adalah semen khusus yang

digunakan dalam proses pengeboran minyak bumi atau gas alam, baik di

darat maupun lepas pantai.

2. Mixed and Fly Ash Cement

Mixed and Fly Ash Cement adalah campuran semen abu Pozzolan buatan (fly

ash). Pozzolan buatan (fly ash) merupakan hasil sampingan dari pembakaran

batu bara yang mengandung amorphous silica, alumunium oksida, besi

oksida dan oksida lainnya dalam variasi jumlah. Semen ini digunakan

sebagai campuran untuk membuat beton sehingga menjadi lebih keras.

3. Semen Putih

Semen putih adalah semen yang lebih murni dari semen abu dan digunakan

untuk pekerjaan penyelesaian(finishing), seperti sebagai filler atau pengisi.

Semen jenis ini dibuat dari bahan utama kalsit(calcite) limestone murni.

4. Semen Portland

Semen Portland adalah semen yang diperoleh dengan mencampur bahan-

bahan yang mengandung kapur dan lempung, membakarnya pada temperatur

yang mengakibatkan terbentuknya klinker dan kemudian menghaluskan


II-13
klinker dengan gips sebagai bahan tambahan. Semen Portland banyak

digunakan pada pembangunan fisik.

Perbedaan semen potrland dengan kapur antara lain adalah :

1. Warna kapur pada umunya berwarna putih sedangkang warna semen

Portland adalah abu-abu.

2. Semen Portland jika dicampur dengan air akan memakan waktu 30 menit

untuk proses ikatan dan mencapai kekuatan cukup besar dalam waktu 1-2

hari sedangkan kapur membutuhkan waktu lebih lama untuk waktu

pengikatan maupun pengerasannya.

3. Semen Portland beberapa kali lebih kuat dibandingkan kapur

4. Kapur tidak diperbolehkan kontak langsung dengan besi, besi karena baja

karena besi dapat termakan sedangkan semen Portland melindungi baja

dari pengkaratan

5. Pabrikasi Semen Portland

Material yang mengandung kapur (misalnya batu kapur), silika dan alumina

(misalnya lempung) dihaluskan sampai menjadi bubuk kemudian dicampur

dalam proporsi tertentu, dibakar pada temperatur ± 1400 ºC sehingga menjadi

klinker, didinginkan dan dihaluskan serta gips ditambahkan sebesar ± 4 %

berat.

Pembuatan semen terdiri dari dua proses yaitu proses basah dan proses kering.

Pada awalnya pembuatan semen dilakukan dengan proses basah karena

dianggap lebih akurat dalam proses pencampuran bahan baku. Bahan baku
II-14
dicampur dengan air sebesar 35-50 % dan kemudian dihaluskan. Namun

sekarang hampir seluruhnya pabrik semen telah menggunakan proses kering

karena pelaksanaannya lebih ekonomis.

Tabel 2.5 Komposisi oksida semen portland

Senyawa C3S (trikalsium silikat) dan C2S (dikalsium silikat) merupakan bagian

yang paling dominan dalam memberikan sifat semen, kedua senyawa ini

menempati 70-80 % dari semen. Senyawa C3S berpengaruh besar terhadap

pengerasan semen, terutama sebelum mencapai umur 14 hari. Senyawa C2S

berpengaruh terhadap pengerasan semen setelah umur lebih dari 7 hari dan

memberikan kekuatan akhir. Senyawa C2S juga membuat semen tahan terhadap

serangan kimia, persentase C2S yang lebih tinggi menghasilkan proses

pengerasan yang lambat.

II-15
Senyawa C3A (trikalsium aluminat) berhidrasi secara eksotermik dan sangat

cepat, senyawa C3A menyebabkan panas hidrasi yang tinggi. Semen yang

mengandung senyawa C3A yang lebih banyak akan kurang tahan terhadap

serangan sulfat. Senyawa C4AF (tetrakalsium aluminoferit) kurang begitu besar

pengaruhnya terhadap perilaku semen.

A. Hidrasi Semen

Dengan adanya air, senyawa silikat dan aluminat membentuk produk hidrasi

yang berupa mikrokristal dan kapur mati (padam) yang kemudian membentuk

massa yang kuat dan keras. Kapur mati merupakan bagian yang lemah pada

beton/mortar setelah mengeras 24

oleh sebab itu pada proses pembuatan semen ditambahkan gips sebagai bahan

additive.

Reaksi Hidrasi

Untuk C3S

2 C3S + 6 H C3 S2 H6 + 3 Ca (OH)2

Untuk C2S

2 C2S + 4 H C3 S2 H6 + Ca (OH)2

Untuk C3A

C3A + 6 H C3AH6

H = H2O

II-16
b. Panas Hidrasi

Reaksi senyawa semen dengan air bersifat eksotermik merupakan reaksi yang

terjadi melepaskan sejumlah panas, panas yang dilepaskan ini disebut panas

hidrasi. Panas hidrasi adalah jumlah panas (dalam kalori) yang dikeluarkan per

gram semen yang belum terhidrasi sampai terjadi hidrasi komplit. Dibutuhkan air

sekitar 23 % dari berat semen untuk keperluan reaksi (proses hidrasi) dengan

semen. Untuk semen portland biasa, 25 1/2 dari panas total dikeluarkan antara 1-

3 hari, 3/4 nya dalam 7 hari dan hampir 90 % dalam 6 bulan.

Studi dan pengontrolan pengecoran struktur beton terhadap panas hidrasi sangat

penting karena akan dapat menimbulkan keretakan pada proses pengerasan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bagian dalam beton massa, maka

temperatur puncaknya kira-kira 70 °C. Akibat penurunan suhu yang tidak sama

pada bagian luar dan pada bagian dalam beton, dapat mengakibatkan retak pada

struktur beton. Untuk mencegah agar tidak terjadi retak maka dapat digunakan

tipe semen yang menimbulkan panas hidrasi yang rendah atau digunakan bahan

penambah yang sesuai.

Tabel 2.6 Panas hidrasi senyawa semen

II-17
c. Kekuatan semen

Pengujian kekuatan semen dilakukan dengan menekan benda uji kubus mortar ukuran

sisi 50 mm. Campuran mortar dengan perbandingan berat adalah semen : pasir = 1:

2,75 dengan faktor air semen 0,485. Hasil pengujian ini harus lebih besar atau sama

dengan nilai pada tabel 2.3.

Tabel 2.7 Kuat tekan minimum semen portland

2.1.9 Air

Air merupakan bahan yang penting pada beton yang menyebabkan terjadinya reaksi

kimia dengan semen. Pada dasarnya air yang layak diminum, dapat dipakai untuk

campuran beton. Akan tetapi dalam pelaksanaan banyak air yang tidak layak untuk

diminum memuaskan dipakai untuk campuran beton. Apabila terjadi keraguan akan

II-18
kualitas air untuk campuran beton sebaiknya dilakukan pengujian kualitas air atau

diadakan trial mix untuk campuran dengan menggunakan air tersebut.

Persyaratan air sebagai bahan bangunan untuk campuran beton harus memenuhi

syarat sebagai berikut :

1. Air harus bersih

2. Tidak mengandung lumpur, minyak dan benda-benda merusak lainnya yang dapat

dilihat secara visual.

3. Tidak mengandung benda-benda tersuspensi lebih dari 2 gr/liter

4. Tidak mengandung garam-garam yang dapat larut dan dapat merusak beton (asam-

asam, zat organik dan sebagainya) lebih dari 15 gr/liter. Kandungan khlorida (Cl),

tidak lebih dari 500 p.p.m dan senyawa sulfat tidak lebih dari 1000 p.p.m

5. Bila dibandingkan dengan kuat tekan beton yang memakai air suling, maka

penurunan kekuatan kuat tekan beton yang memakai air yang diperiksa tidak boleh

lebih dari 10 %

6. Air yang mutunya diragukan harus dianalisa secara kimia dan dievaluasi mutunya.

7. Khusus untuk beton prategang, kecuali syarat-syarat tersebut diatas, air tidak boleh

mengandung Chlorida lebih dari 50 p.p.m.

2.1.10 CBR (California Bearing Ratio)

CBR dinyatakan dalam persen, adalah perbandingan antara beban yang dibutuhkan

untuk penetrasi sedalam 0,1 inci atau 0,2 inci antara contoh tanah dengan batu pecah

standar. Nilai CBR adalah nilai empiris dari mutu tanah dasar dibandingkan dengan
II-19
mutu batu pecah standar yang memiliki nilai CBR 100%. Pengujian CBR

laboratorium mengikuti SNI 03-1744 atau AASHTO T193. Alat pengujian terdiri dari

piston dengan luas 3 inchi2 yang digerakkan dengan kecepatan 0,05 inc/menit,

vertikal ke bawah. Proving ring digunakan untuk mengukur beban yang dibutuhkan

pada penetrasi tertentu, sedangkan untuk mengukur beban yang dibutuhkan pada

penetrasi tertentu, sedangkan arloji pengukur untuk mengukur dalamnya penetrasi.

Tabel 2.8 Beban untuk melakukan penetrasi batu pecah standar

Jenis CBR

Berdasarkan kondisi benda uji, CBR dibedakan atas :

1. CBR rencana

CBR rencana disebut juga CBR laboratorium atau design CBR, adalah pengujian

CBR dimana benda uji disiapkan dan diuji mengikuti SNI 03-1744 atau ASSHTO

T 193 di laboratorium. CBR rencana digunakan untuk menyatakan daya dukung

tanah dasar, dimana pada saat perencanaan lokasi tanah dasar belum disiapkan
II-20
sebagai lapis tanah dasar struktur perkerasan. Perencanaan tebal perkerasan jalan

baru pada umunya menggunakan jenis CBR ini sebagai petunjuk daya dukung

tanah dasar. Jenis CBR ini digunakan untuk menentukan daya dukung tanah dasar

pada kondisi tanah dasar akan dipadatkan lagi sebelum struktur perkerasan

dilaksanakan.

2. CBR lapangan

CBR lapangan juga dikenal dengan nama CBR inplace atau field CBR, adalah

pengujian CBR yang dilaksanakan langsung di lapangan, di loksi tanah dasar

rencana. Prosedur pengujian mengikuti SNI 03 -1738 atau ASTM D 4492. CBR

lapangan digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah dasar dimana tanah

dasar direncanakan tidak lagi mengalami proses pemadatan atau peningkatan

daya dukung tanah sebelum lapis pondasi dihampar dan pada saat pengujian tanah

dasar dalam kondisi jenuh. Dengan kata lain perencanaan tebal perkerasan

dilakukan berdasarkan kondisi daya dukung tanah pada saat pengujian CBR

lapangan itu.

Pengujian dilakukan dengan meletakkan piston pada elevasi dimana nilai CBR

hendak diukur, lalu dipenetrasikan dengan menggunakan beban yang dilimpahkan

melalui gandar truk maupun alat lainnya dengan kecepatan 0,05 inci/menit. CBR

ditentukan sebagai hasil perbandingan antara beban yang dibutuhkan untuk

penetrasi 0,1 atau 0,2 inci benda uji dengan beban standar.

II-21
3. CBR lapangan rendaman

CBR rendaman disebut juga undisturbed soaked CBR, adalah pengujian CBR

laboratorium tetapi benda uji diambil dalam keadaan “undisturbed” dari lokasi

tanah dasar dilapangan. CBR lapangan rendaman diperlukan jika dibuthkan nilai

CBR pada kondisi kepadatan dilapangan, tetapi dalam keadaan jenuh air, dan

tanah mengalami pengembangan (swell) yang maksimum, sedangkan pengujian

dilakukan pada saat kondisi tidak jenuh air, sperti pada musim kemarau.

Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan asal tanah untuk benda uji

membuat benda uji dan pengujian CBR antar lain :

1. Jenis lapisan tanah dasar, apakah tanah berbutir halus dengan plastisitas rendah,

tanah berplastisitas tinggi, atau tanah berbutir kasar. Hal ini sangat berkaitan

dengan kemampuan tanah dasar menahan air dan efeknya terhadap

pengembangan.

2 . Elevasi rencana dari lapis tanah dasar, apakah elevasi tanah galian, tanah urug,

atau sesuai dengan muka tanah asli. Benda uji harus disiapkan dari tanah yang

direncanakan sebagai lapis tanah dasar (subgrade).

Nilai CBR Dari Satu Titik Pengamatan

Daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan nilai CBR yang menunjukan daya

dukung tanah sedalam 100 cm. Kadangkala lapis tanah dasar sedalam 100 cm itu

memiliki nilai CBR yang berbeda-beda . Untuk itu perlu ditentukan nilai CBR yang

mewakili satu titik pengamatan dengan menggunakan rumus


II-22
(2.2)

2.1.11 Langkah–langkah perencanaan tebal menggunakan metode Bina Marga

1. Beban lalu lintas

Beban lalu lintas dihitung berdasarkan berat sumbu kendaraan. Jumlah

keseluruhan kendaraan dikelompokkan sebagai data awal beban. Perhitungan tebal

perkerasan dengan menggunakan metode ini dimulai dengan mencatat lalu lintas

harian rata-rata dan rumus-rumus lintas ekivalen sebagai berikut :

a. Angka Ekivalen (E)

Angka Ekivalen (E) dari suatu beban sumbu kendaraan adalah angka yang

menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu

lintasan beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang


II-23
ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar sumbu tunggal sebesar 8,16 ton.

Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan)

ditentukan dengan persamaan.

(2.3)

Dan angka ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu disajikan dalam table

2.9

Tabel 2.9 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan (sumber :SKBI, 1987)

Beban Sumbu Angka Ekivalen

kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda

1000 2205 0.0002 -

2000 4409 0.0036 0.0003

3000 6614 0.0183 0.0016

II-24
4000 8818 0.0057 0.0050

5000 18000 0.1410 0.0121

6000 19841 0.2923 0.0251

7000 22046 0.5415 0.0466

8000 24251 0.9238 0.0794

b. Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Koefisien ini tergantung pada jumlah jalur dan jenis kendaraan yang akan

melewati jalur rencana tersebut. Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu

lintas dari suatu ruas jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika

jalan tidak memiliki tanda batas jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar

perkerasan menurut daftar di bawah ini :

Tabel 2.10 Jumlah jalur berdasarkan lebar perkerasan

(Sumber : SKBI, 1987)

II-25
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang

lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar di bawah ini :

Tabel 2.11 Koefisien Distribusi Kendaraan (C) (Sumber : SKBI, 1987)

*) berat total < 5 ton, misalnya : mobil penumpang, pick up, mobil hantaran

**) berat total ≥ 5 ton, misalnya : bus, truk, traktor, semi trailer, trailer.

c. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)

Lalu lintas harian rata-rata (LHR) adalah jumlah rata-rata lalu lintas

kendaraan bermotor beroda empat atau lebih yang dicatat selama 24 jam

untuk kedua jurusan. LHR ini ditentukan pada awal umur rencana yang

dihitung untuk dua arah pada jalur tanpa median atau masing-masing arah

pada jalan dengan median. LHR pada tahun pertama ditentukan dengan

persamaan sebagai berikut :

II-26
LHR1= LHR x ( 1 + i ) 1 (2.4)

dimana:

LHR = Jumlah lalu lintas harian rata-rata

i = Pertumbuhan lalu lintas (%)

Sedangkan LHR pada akhir rencana ditentukan berdasarkan persamaan

berikut :

LHRUR = LHR1 x (1 + i ) UR

dengan

UR = Umur rencana (tahun)

d. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)

Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-

rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga

terjadi pada awal umur rencana. LEP dihitung dengan rumus

sebagai berikut : (2.5)

dimana :

C = Koefisien Distribusi Kendaraan.

E = Angka ekivalen beban sumbu kendaraan

II-27
e. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

Lintas Ekivalen Akhir (LEA) adalah jumlah ekivalen harian rata-rata dari

sumbu tunggal sebesar 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada

akhir umur rencana. LEA dihitung dengan rumus sebagai berikut :

(2.6)

f. Lintas Ekivalen Tengah (LET)

Lintas Ekivalen Tengah (LET) adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-

rata dari sumbu tunggal sebesar 8,16 ton pada jalur rencana pada

pertengahan umur rencana, LET dihitung dengan rumus sebagai berikut :

(2.7)

g. Lintas Ekivalen Rencana (LER)

Lintas Ekivalen Rencana (LER) adalah suatu besaran yang dipakai dalam

nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan jumlah lintas

ekivalen sumbu tunggal seberat 8.16 ton pada Jalur rencana. LER ini

dihitung dan tergantung pada Faktor Penyesuaian (FP) yang besarnya 1/10

umur rencana, persamaannya sebagai berikut :

LER = LET x FP (2.8)

= LET x UR/10
II-28
2. Menetapkan Indeks Tebal Perkerasan (ITP)

a. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)

Yang dimaksud dengan tanah dasar adalah permukaan tanah semula atau

permukaan galian atau permukaan tanah timbunan, yang dipadatkan dan

merupakan permukaan dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan

lainnya. Dalam menentukan daya dukung tanah dasar, diperlukan data

terhadap nilai CBR dari tanah dasar (%). Kemudian dari nilai CBR yang

didapat dikorelasikan terhadap nilai DDT, dengan menggunakan grafik

korelasi DDT dan CBR. Dalam menentukan harga rata-rata nilai CBR dari

sejumlah harga CBR yang dilaporkan, maka harga CBR rata-rata ditentukan

sebagai berikut:

- Tentukan harga CBR terendah.

- Tentukan berapa banyak harga CBR yang sama dan lebih besar dari masing-

masing nilai CBR.

- Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan presentase

- Nilai CBR rata-rata adalah yang didapat dari angka presentase 90%.

Untuk mendapatkan CBR rata-rata yang tidak terlalu meruglkan, maka

disarankan dalam merencanakan perkerasan suatu ruas jalan, perlu dibuat

segmen-segmen dimana beda atau variasi CBR dari suatu segmen tidak

besar.

Hubungan antara daya dukung tanah dan CBR dinyatakan dalam gambar 2.12

berikut :
II-29
Tabel 2.12 Hubungan antara DDT dengan CBR tanah

(Sumber : SKBI, 1987)

Catatan :

Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar ke sebelah kiri diperoleh nilai DDT

b. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)

Indeks Permukaan ini menyatakan nilai dari kerataan atau kehalusan serta

kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu

lintas yang lewat. Dalam enentukan Indeks Permukaan pada akhir umur

rencana (IPt), perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan

dan jumlah ekivalen rencana (LER).

Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut di

bawah ini :
II-30
IP = 1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat

sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.

IP = 1,5 : adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan

tidak terputus).

IP = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap.

IP = 2,5 : adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan

baik.

Dalam menentukan Indeks Permukaan pada akhir umur rencana, perlu

dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen

rencana. Berikut disajikan Indeks Permukaan pada akhir umur rencana.

Tabel 2.13 Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IP)

LER= Lintas Klasifikasi Jalan

Ekivalen

Rencana*)

0 lokal Kolektor Arteri Tol

< 10 1,0-1,5 1,5 1,5-2,0 -

10 - 100 1,5 1,5-2,0 2,0 -

100- 1000 1,5-2,0 2,0 2,0-2,5 -

>1000 - 2,0-2,5 2,5 2,5

(Sumber : SKBI, 1987)


II-31
Menentukan Tebal Rencana Perkerasan (D)

a. Koefisien kekuatan relatif (a)

Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan kegunaannya sebagai lapis

permukaan, pondasi, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai

Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang

distabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk lapis pondasi bawah)

Cement Treated Base sering juga digunakan sebagai palis pondasi, koefisien

relatif untuk CTB sesuai dengan kuat tekannya adalah sebagai berikut :

(2.9)

– 45 kg/cm2, a2 = 0,20 (2.10)

(2.11)

II-32
Tabel 2.14 Koefisien kekuatan Relatif (a)

(Sumber : SKBI, 1987)

Catatan :

Kuat tekan stabilisasi tanah dengan semen diperiksa pada hari ke 7. kuat tekan

stabilisasi tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke 21.

II-33
b. Batas minimum tebal lapisan perkerasan

Tabel 2.15 Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan (lapis permukaan)

(Sumber : SKBI, 1987)

Tabel 2.16 Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan (lapis pondasi)

(Sumber : SKBI, 1987)

II-34
Lapis Pondasi Bawah Tebal minimal adalah 10cm

*) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah

digunakan material berbutir kasar.

c. Tebal Rencana Perkerasan

Setelah harga-harga ITP, a dan Dmin diketahui, maka tebal lapisan perkerasan

dapat ditentukan dengan persamaan

ITP = a1 D1 + a2 D2 + a3 D3 (2.12)

dimana

D1 = tebal lapis permukaan (cm)

D2 = tebal lapisan pondasi atas (cm)

D3 = tebal lapisan pondasi bawah (cm)

a1 = koefisien kekuatan relatif bahan lapisan permukaan

a2 = koefisien kekuatan relatif bahan pondasi atas

a3 = koefisien kekuatan relatif bahan pondasi bawah

2.2 Difa Soil Stabilizer

Difa adalah bahan aditif yang berfungsi untuk memadatkan (solidifikasi) dan

menstabilkan (stabilizer) tanah secara fisik - kimia. Difa berupa material serbuk halus

terdiri dari komposisi mineral anorganik.

Kelebihan Difa yaitu :


II-35
a. Meningkatkan parameter daya dukung tanah (pengganti LPA dan LPB, sekaligus

stabilisasi tanah dasar badan jalan).

b. Jalan menjadi tidak lembek/becek saat musim hujan dan tidak berdebu di musim

kering.

c. Jalan dapat dilalui pada hari ke 4 (curring time 4 – 14 hari), tergantung tanah dan

cuaca.

d. Sesudah curring time, semakin sering terendam air semakin baik, tanah yang

distabilisasi akan menjadi lebih keras.

e. Meminimalkan settlement karena elastisitas (E) Difa antara E tanah dan E beton.

f. Ramah lingkungan.

g. Memperkecil permeabilitas tanah sehingga dapat digunakan sebagai lapis kedap

air (substitusi geosynthetic dan beton)

Gambar 2.3 Ilustrasi proses pengikatan DIFA


II-36
Dengan penggunaan Difa Soil Stabilizer kita dapat menghemat dari segi ekonomi

dalam beberapa kategori yaitu :

a. Biaya peralatan

b. Pembersihan, drainasi dan biaya pengerukan

c. Biaya staf meliputi pekerja, kontraktor, dan teknisi

d. Earthworks dan biaya transportasi bahan dan bahan baku

2.2.1 Aplikasi Difa bidang transportasi

a. Pembuatan jalan tanah, penganti LPA dan LPB, sebagai bahan konstruksi Lapis

Pondasi Atas (LPA- base course) dan Lapis Pondasi Bawah (LPB – subbase

course) pada konstruksi jalan.

b. Base Course landasan pacu pesawat terbang dan lahan parkir.

c. Base jalan rel kereta.

d. Pembuatan jalan tambang dan perkebunan.

e. Pembuatan Helipad.

f. Pembuatan paving untuk pejalan kaki/ trotoar dan kendaraan bermotor.

2.2.2 Aplikasi Difa bidang geoteknik (pondasi tanah)

a. Menstabilkan areal pondasi tanah yang labil.

b. Untuk menstabilkan tanah di bawah lantai kerja pada pekerjaan struktur

bangunan.

II-37
c. Perbaikan tanah ekspansif dan gambut.

d. Perbaikan tanah dengan metode shallow/deep mixing dengan soil stabilizer.

e. Substitusi metode vertikal drain pada pemampatan tanah.

f. Perkuatan tebing atau lereng untuk mencegah kelongsoran.

g. Dapat dikombinasikan dengan bahan lain seperti limbah abu pembakaran batu

bara dan kapur (lime).

2.2.3 Aplikasi Difa bidang keairan – Hidro

a. Pembentukan inti tubuh bendung (pengganti clay).

b. Bahan pembentuk tanggul.

c. Bahan pelapis saluran (kecepatan kritik 0,35 m/det).

d. Pelapis kedap air pada embung atau situ (k = 10 - 7 cm/det).

e. Perbaikan lapisan dasar sungai, danau dan rawa.

f. Menstabilkan lereng sekaligus menyeimbangkan pertumbuhan tanaman

merambat dan rumput (cover crop).

2.2.4 Aplikasi Difa bidang lingkungan

a. Mencegah polusi partikular/debu dengan memperbaiki lapisan permukaan tanah

yang berdebu.

b. Pembuatan bak penampung air/ reservoir, IPAL.

c. Pembentukan lapisan tanah kedap air pada tempat penampungan sampah.

II-38
d. Pengolahan lumpur hasil pengolahan limbah.

e. Matriks pengikat bahan berbahaya dan beracun (B3).

2.3 Metode pelaksanaan Difa Soil Stabilizer

Untuk metode pelaksanaan Difa Soil Stabilizer ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yaitu :

2.3.1 Pengukuran jalan konstruksi dan desain

Pengukuran lebar jalan dan pematokan dilakukan untuk setiap jarak 5 meter.Patok

yang digunakan adalah patok sementara berupa potongan bambu lebar 3 cm dan

panjang 40 cm, dan ditanam sedalam 10 cm.

2.3.2 Pembentukan badan jalan

Pembentukan badan jalan disesuaikan dengan jalan rencana. Badan jalan yang

terbentuk harus sudah memiliki kemiringan sesuai dengan desain (2 atau 3%). CBR

tanah dasar harus tercapai sesuai desain. Pada jalan konvensional desain menurut

Departemen P minimal 5%. Jika ada bagian tanah dasar yang tidak tercapai nilai CBR

minimal maka harus dilakukan pemadatan untuk mencapai nilai CBR tersebut.

Depertemen Pekerjaan Umum mensyaratkan bahwa nilai Ratio (CBR) pada kondisi

terendam air dari senilai indeks plastisitas tanah harus kurang dari 15 %

Pada jalan dengan konstruksi Difa, nilai CBR tanah dapat diperbaiki dengan

menggunakan Difa pada stabilizer tanah dasar. Sehingga syarat minimal yang

II-39
diberikan dapat dipenuhi atau konstruksi jalan Difa berlaku sekaligus sebagai

subgrade, sub base dan base badan jalan.

2.3.3 Persiapan tanah untuk konstruksi badan jalan Difa

Tanah yang akan digunakan untuk konstruksi jalan Difa diletakan diatas badan jalan

yang sudah disiapkan. Tinggi tanah yang disediakan adalah 30% lebih tinggi

dibandingkan dengan tinggi desain rencana. Tinggi tanah tersebut adalah tinggi

mutlak, dengan kemiringan yang sesuai dengan desain. Tanah yang disebarkan

adalah tanah yang berupa butiran lepas, sehingga tidak perlu dipadatkan terlebih

dahulu. Metode ini jika tanah untuk konstruksi badan jalan diambil dari luar badan

jalan. Jika tanah yang akan digunakan adalah tanah setempat maka, dapat digunakan

dozer atau grader untuk tanah konstruksi badan jalan. Tinggi tanah yang dihaluskan

adalah sesuai dengan tinggi rencana. Sebelum menyiapkan badan jalan, diharuskan

kemiringan dasar jalan terhadap sumbu jalan rencana (umumnya 2%).

Gambar 2.4 Gradasi tanah exsisting

II-40
2.3.4 Penghalusan tanah untuk perbaikan gradasi

Penghalusan tanah dilakukan dengan menggunakan Traktor yang dilengkapi dengan

Rotary Mixer type Rotavator. Traktor yang digunakan minimal memiliki tenaga 90

Hp, dengan Rotavator yang dikhusukan untuk proses stabilisasi tanah. Jumlah

lintasan yang dilakukan tergantung pada kondisi tanah awal yaitu pada besarnya

butiran tanah dan kadar air tanah. Kadar air tanah yang diharapkan pada proses ini

adalah 10% di bawah kadar air optimum. Untuk jenis tanah Sandy-clay dibutuhkan

empat kali lintasan guna menghaluskan butiran tanah dengan diameter terbesar 1 cm.

Kadar air tanah secara visual dapat dilihat pada saat mulai berdebu, kadar air tanah

mencapai 10 – 14%.

Gambar 2.5 Penghalusan tanah atau perbaikan gradasi

2.3.5 Penaburan Semen

Penaburan semen dilakukan dengan meletakan sak semen secara merata. Grid yang

dibuat disesuaikan dengan jumlah yang dibutuhkan. Luas setiap grid menyatakan
II-41
setiap zak semen disebarkan untuk satu satuan luas. Cara perhitungan adalah dengan

membagi jumlah sak semen (PC) yang dibutuhkan dengan luas permukaan (A) jalan

atau = PC/A. Tahap pekerjaan yang dilakukan pada penaburan semen adalah:

a. Semen disusun berdasarkan luas grid yang didapatkan.

b. Semen kemudian dibuka dan bungkus semen dikumpulkan pada satu tempat.

c. Kemudian semen diratakan dengan menggunakan perata kayu. Ukuran perata

kayu adalah selebar 50 cm dan panjang 1,5 m. Perlu diperhatikan perata kayu

menggunakan dimensi yang ergonomis, terutama pada batang perata kayu.

Gambar 2.6 Penaburan semen

2.3 Pembiayaan proyek jalan raya

Menurut buku Referensi untuk Kontraktor Bangunan Gedung dan Sipil proyek

mempunyai arti sekumpulan aktivitas yang saling berhubungan dimana ada titik awal
II-42
dan titik akhir serta hasil tertentu. Atau arti lain berdasar buku ajar Manajemen

Konstruksi Teknik Sipil menyebutkan bahwa proyek adalah suatu rangkaian kegiatan

yang bersifat khusus untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dibatasi oleh waktu

dan sumber daya yang terbatas. Sifat khusus ini memiliki makna bahwa apabila hasil

yang diinginkan telah tercapai maka rangkaian kegiatan juga dihentikan sehingga

dalam jangka pendek kegiatan itu tidak tidak akan dilakukan lagi.

Sebagai contoh pada proyek pembuatan jalan raya, maka proyek ini akan berakhir

dengan tersedianya jalan raya untuk kepentingan lalu lintas yang telah siap

dipergunakan. Bisa dikatakan bahwa setiap proyek memiliki tujuan khusus, dimana

didalamnya memiliki batasan yang mendasar yaitu besar biaya (anggaran) yang

dialokasikan, jadwal dan mutu yang harus dipenuhi. Ketiga batasan ini sering disebut

dengan istilah Triple Constraint dan dapat digambarkan dengan ilustrasi sebagai

berikut :

Gambar 2.7 Triple Constraint

II-43
Dari ilustrasi ini, dapat diambil beberapa hubungan atau keterkaitan antara bagian

yang satu terhadap bagian yang lain, seperti :

a. Anggaran proyek harus disesuaikan dengan biaya yang tidak melebihi anggaran

b. Jadwal proyek harus dikerjakan sesuai dengan kurun waktu dan tanggal akhir

yang telah ditentukan. Bila hasil akhir adalah produk baru, maka penyerahannya

tidak boleh melewati batas waktu yang telah ditentukan.

c. Mutu proyek harus memenuhi spesifikasi dan kriteria yang dipersyaratkan.

2.4.1 Anggaran biaya proyek

Pada pelaksanaan proyek konstruksi, disamping kita mengetahui pihak-pihak yang

berperan dalam pekerjaan konstruksi, diperlukan juga perencanaan Anggaran atau

keuangan. Menurut buku Manajemen Proyek karangan Imam Soeharto, masalah

keuangan ini mencakup biaya dan pendapatan proyek serta penerimaan dan

pengeluaran kas, secara umum biaya proyek dapat dikelompokan menjadi biaya tetap

(modal tetap) dan biaya tidak tetap (modal kerja). Modal tetap merupakan bagian dari

biaya proyek yang digunakan untuk menghasilkan produk yang diinginkan, mulai

dari studi kelayakan sampai konstruksi atau instalasi tersebut berjalan penuh.

Sedangkan modal kerja merupakan biaya yang digunakan untuk menutupi kebutuhan

pada tahab awal operasi. Secara lebih jelas, total biaya yang dikeluarkan pada suatu

proyek dapat dilihat pada bagan dibawah ini :

II-44
Total Biaya Proyek

Modal Tetap Modal Kerja


Modal Tetap Modal Kerja

Biaya Langsung Biaya Tak langsung

Gambar 2.8 Klasifikasi perkiraan biaya Proyek

2.4.2 Proses penyusunan perkiraan biaya dan anggaran

Untuk mempermudah dalam penyusunan Anggaran pada proyek, hendaknya

diperlukan pemahaman akan disiplin ilmu teknik dan engineering bagi tim proyek

yang akan menyusunnya. Adapun sistematika proses penyusunan Anggaran tersebut,

adalah sebagai berikut :

Gambar 2.9 Proses penyusunan perkiraan biaya dan anggaran

II-45
Anggaran menunjukkan perencanaan penggunaan dana untuk melaksanakan

pekerjaan dalam kurun waktu tertentu. Dalam penyelenggaraan proyek, suatu

anggaran yang disusun rapi yaitu anggaran yang dikaitkan dengan rencana jadwal

pelaksanaan pekerjaan, akan merupakan patokan dasar atau pembanding dalam

kegiatan pengendalian. Anggaran dapat menjadi tidak sesuai dengan kenyataan. Bila

perbedaan sudah terlalu besar maka penggunaan anggaran sebagai alat perencanaan

dan pengendalian menjadi tidak ampuh lagi. Oleh karenanya anggaran perlu

disesuaikan, bila hal ini memang diperlukan dari segi pengendalian dan perencanaan.

Jadi penyesuaian disini adalah untuk membuat anggaran tetap terhadap situasi akhir.

Dengan demikian sifat-sifat ketat dan realistik dari suatu anggaran tetap terjaga

2.5 Hipotesa

Perencanaan perkerasan lentur (Flexible Pavement) dengan struktur lapis pondasi

Difa Soil Stabilizer bertujuan untuk meningkatkan kualitas bahan yang tersedia dan

dampaknya terhadap lingkungan, dalam sebuah rancangan perkerasan lentur dan

berusaha menekan Biaya, Mutu dan Waktu (BMW).

II-46
Bab II Tinjauan Pustaka

Asumsi Structural Number (SN)


Umur rencana
Faktor Distribusi arah (DA)
Faktor distribusi lajur (DL)
Repertisi beban lalu lintas Pertumbuhan Lalu lintas (i)
Angka Ekivalen (E)
LHR pada tahun dibuka
ESAL
-Beban & Konfigurasi Sumbu

Tidak
Indeks permukaan(IP) Indeks Permukaan Awal IP0
Indeks Permukaan Akhir IPt

Standar Normal Deviate (ZR) Ya


Reliabilitas( R) Standar Deviation (S0) SN hasi l Tebal perkerasan mminimum Dmin
Perhitungan Nilai SN hitung = D1,D2,D3
SN asum si

CBR Modulus Resilient (MR)

Koefisien drainase (m)

Koefisien kekuatan relatif lapisan (a)

Gambar 2.10 Diagram Alir untuk penetuan tebal perkerasan

II-47

http://digilib.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai