Anda di halaman 1dari 16

UTS

Nama : Rantau Wijaya

NIM : 2010402001

MK : Teori budaya

Didalam buku ini dalam bab pertama , penulis menerangkan dan menjelaskan 5 teori
kedatangan islam , teori pertama asal muasal Islam di Nusantara adalah anak Benua India Teori
ini kebanyakan di pegang oleh Sarjana Belanda.Teori ini di dukung oleh Snouck Hurgronje yang
berhujah bahwa Islam berpijak kokoh di beberapa anak benua India.
Teori kedua dibawa oleh Marrison yang menyebutkan bahwa Islam di Nusantara bukan
dari Gujarat tapi dari penyebar Muslim dari Pantai Coromandel pada akhir abad ke 13. Teori
ketiga menyebutkan bahwa Islam di Nusatara dibawa langsung oleh orang-orang Arab. Teori
keempat menyebutkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar Madzab Syafi’i
yang banyak dianut pula oleh muslim Mesir. Teori kelima yang didasarkan pada sejarah
literature Islam Melayu Indonesia dan sejarah dunia perdagangan Melayu. Teori ini
menyebutkan bahwa kaum sufilah yang melakukan penyiaran Islam di Nusantara. motif
penyebaran Islam berupa faktor ekonomi, dan politik.
Terdapat tiga fase dalam perkembangan hubungan Muslim Nusantara dengan Timur
tengah.
Fase pertama, yaitu sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 hubungan-hubungan yang ada
pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Hubungan ini terutama diparkrasai oleh muslim
Arab dan Persia.
Fase kedua, sampai akhir abad ke-15, hubungan yang dibangun adalah hubungan
keagamaan dan cultural. Hal ini diprakarsai oleh pedagang dan pengembara sufi yang intensif
menyebarkan Islam di Nusantara.
 Fase ketiga, sejak abad ke- 16 sampai paruh ke dua abad ke-17 hubungan yang terjalin
lebih bersifat politik disamping keagamaan.Hubungan di abad ini terjalin dengan Khilafah
Utsmani dan juga penguasa Haramayn.Adapun riwayat yang banyak menyebutkan hubungan
ulama Nusantara dengan Timur Tengah diberikan oleh sumber-sumber Cina dan Arab.
Haramayn adalah sebutan untuk dua kota yaitu Makkah dan Madinah. Haramayn adalah
pusat intelektual muslim dunia. Dimana para ulama, filosof, sufi, penyair, pengusaha, sejarawan
muslim, bertemu untuk saling menukar informasi. Faktor inilah yang menjadikan para penuntut
ilmu berbondong-bondong belajar di Haramayn. Adapun kebangkitan jaringan ulama sendiri
disebabkan oleh beberapa factor penting, tidak hanya keagamaan, tetapi juga ekonomi, social
dan politik.

Karakteristik dasar jaringan ulama dan transmisi keilmuan adalah terbentuknya hubungan
guru-murid secara gradual mengajarkan keilmuannya kepada muridnya. Ini berlaku tidak hanya
dalam wilayah Haramayn saja, tetapi juga setelah dia kembali ke tanah kelahirannya. Hubungan
semacam ini, pada akhirnya membentuk jaringan intelektualisme yang berskala internasional.
Pola penyebaran keilmuan juga dilakukan lewat tarekat dan tasawuf. Seperti tarekat Syattariyah,
Naqsyabandiyah dan lain sebagainya.

Salah satu tanda bangkitnya keilmuan di Haramayn adalah berdirinya Madrasah sebagai
lembaga pendidikan tipikal Muslim. Selain madrasah terdapat ribath dan zawiyyah. Baik
madrasah maupun ribath kebanykan didirikan oleh penguasa non hijazi. Ribath adalah pusat
kaum sufi. Adapun madrasah di Haramayn  memiliki ciri khusus yakni kosmopolitisme. Dimana
madrasah berdiri di isi oleh guru-guru dan murid-murid diluar Hijaz. Adapun pendanaan
madrasah di Haramayn selain wakaf orang-orang kaya juga ditanggung oleh kekhilafahan
utamanya khilafah Ustmani.

Kemajuan dibidang ilmu dan perdagangan di Haramayn terus meningkatkan kuantitas


ulama yang datang ke Haramayn. Demikian pula jumlah jamaah haji juga terus bertambah. Voll
membagi menjadi 3 tipe imigran Asia Selatan yang datang ke Haramayn. Pertama, little
Imigrants. Yaitu orang yang datang dan bermukim di Haramayn dan diam-diam terserap dalam
kehidupan social keagamaan setempat. Tipe kedua, grand immigrants yakni ulama per
excellence. Sebagian dari grand immigrants ini sangat ‘alim dan terkenal di negeri mereka. Tipe
ketiga, ulama dan guru yang mengembara kemudian menetap di Haramayn dalam perjalanan
panjangnya menuntut ilmu.
Jaringan ulama pra abad 17 dibangun dari pusat-pusat pendidikan di sekitar masjid al
Haram.Namun pusat pendidikan terus berkembang ke madrasah-madrasah yang diikuti oleh
ulama dari beberapa wilayah diluar Haramayn.Adapun ulama Haramayn pra abad 17 diantaranya
Al Fazi Ibn Hajar al Asqlani, Ibrahim al Kurani. Sedangkan hubungan ulama-ulama ini memliki
asal usul yang kosmopolitan. Adapun 2 ulama non Hijazi yang berperang penting pada abad 17
adalah Sayyid Shibghat Allah dan al Syinnawi.Adapun yang bertangungjawab atas penyebaran
ajaran Shibgat Allah adalah al Syinnawi dan al Qusyasyi.Kemudian di wilayah Madinah murid al
Qusyasyi yaitu al Kurani.

Adapun ulama yang memiliki peranan penting dalam menghubungkan ulama Mesir
dengan Haramayn adalah Muhammad bin ‘Ala’al Din al Babili. Adapun ulama di wilayah Afrika
Utara adalah Isa al Magribi dan Muhammad bin Sulaiman al Magribi. Ulama-ulama ini adalah
ulama grand immigrant. Adapun ulama asli asal Mekkah yang berperan dalam jaringan ulama
abad 17 diantaranya adalah Taj al Din bin Ahmad.

Hubungan diantara para ulama ini pada umumnya terbentuk dalam kaitan upaya mereka
menuntut ilmu. Koneksi diantara mereka mengambil bentuk hubungan guru dengan murid
(hubungan vertical).Hubungan akademis ini juga mencakup bentuk guru dengan guru, murid
dengan murid yang keduanya disebut hubungan horizontal.Adapun sarana terpentinng yang
membuat hubungan ini makin solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat.

BAB 3
PEMBAHARUAN DALAM JARINGAN ULAMA DAN PENYEBARANNYA KE   
DUNIA ISLAM YANG LEBIH LUAS

Adapun ciri yang paling menonjol dari jaringan ulama adalah bahwa saling pendekatan
antara para ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi mencapai puncaknya. Sikap saling
pendekatan antara syariat dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama ke dalam tarekat
mengakibatkan timbulnya Neosufisme dan jaringan Asia-Afrika abad ke-18.Istlah yang
dimunculkan oleh Fazlur Rahman almarhum. Neosufisme memiliki pusat perhatian untuk
melakukan rekontruksi social moral dari masyarakat muslim.menurut Fazrul Rahman ulama
muslim yang bertanggungjawab dalam membantu merealisasikan kebangkitan neo sufisme
adalah para ahlu hadis. Kebangkitan neo-sufisme tidak pernah lepas dari peranan dari para ahli
tradisi (ahl al-hadits). Para ahl al-hadits telah memiliki pengaruh kuat dalam mengembangkan
dan menanamkan hukum Islam. Neo-sufisme dianggap sebagai sebuah kebangkitan gerakan
ulama. Neo-sufisme ini berbeda dengan tasawuf atau sufi.

Neo-sufisme lebih mengedepankan pada aktifisme para sufi dalam realitas sosial
masyarakat, sementara tasawuf lebih menekankan pada passifisme terhadap realitas sosial,
karena laku utamanya adalah menyepi dan menyendiri demi mencapai puncak ilahiyah, bertemu
dengan Tuhan. Gerakan tasawuf awal lebih menekankan pada individualisme, sementara neo-
sufisme menekankan pada eksistensi masyarakat. Menurut Fazlur Rahman, karakter neo-sufisme
adalah puritan dan aktifisme.
Gerakan neo-sufisme merupakan gerakan kembali pada ortodoksi Islam dengan
menekankan rekonsiliasi antara aspek syari’ah dan tasawuf. Neo-sufisme dianggap sebagai
gerakan yang mampu membentuk karakteristik pemikiran masyarakat muslim di dunia Melayu-
Nusantara. Penyebaran pembaruan Islam lewat neo-sufisme pada akhirnya menghasilkan
intensifikasi Islamisme.

Adapun tokoh neo sufisme diantaranya al Qusyasyi yang mengetengahkan bahwa Nabi
saw adalah seorang sufi yang tidak pernah mengasingkan dirinya dari manusia. Sufi sejati adalah
orang yang dapat bekerjasama dengan muslim lainnya untuk kebaikan masyarakat. Demikan
pula al Kurani menekankan pentingnya syariat tanpa perlu mengesampingkan kecintaannya pada
tasawuf. Sulayman al Maghribi juga mengetengahkan pendapat yanga menentang para sufi yang
mengasingkan diri. Azyumardi Azra juga menuliskan bahwa tidak ada ulama yang mengikuti
gagasan milenarianisme (pembaharuan seribu tahun). Diantara para ulama yang menjawab
permasalahan yang mucul dari Jawa adalah al Kurani, Ibn Ya’qub.

Adapun neo sufisme bila dihubungkan dengan organisasi tarekat maka pada abad ke 17 ciri
dari tarekat ini adalah tarekat diorganisasi secara longgar, tdak ada batasan jelas diantara sekian
banyak tarekat, para syaikh dan murid sufi tidak harus setia pada sati tarekat saja. Al Qusyasyi
memberikan ajaran kepada muridnya apabila ada ajaran tarekat yang keluar dari syariat islam
maka diminta mereka keluar dari tarekat tersebut.

Intensifikasi Islamisme di Melayu-Nusantara dapat dilacak dengan hubungan jaringan


intelektualisme ke Haramayn, Mekkah dan Madinah. Pada abad ke-17, di Mekkah sedang marak
gerakan wahabiyah yang dilancarkan oleh Abd Wahhab. Gerakan wahabiyah menemukan
momentumnya, karena banyak ulama yang terlibat dalam jaringan intelektualisme sedang
menimba pengetahuan ke Madinah dan Mekkah atau melakukan Haji ke Mekkah. Dapat
dikatakan, bahwa gerakan wahabiyah juga terbawa ke Nusantara lewat para ulama yang dalam
jaringan ulama internasional.
Adapun hubungan dan koneks ulama di Asia dan Afrika di abad 18 ulama penting
berikutnya adalah Muhammad Hayyat bin Ibrahim al Sindi al Hanafi. Muhammad Hayyat
memiliki murid yaitu Ibn Abdul Wahhab yang kemudian terkenal dengan gerakan
wahabiyyah. Ibn Wahab mendurong perubahan dengan bandul yang lebih keras dari ulama yang
lainnya. Ulama berpengaruh lainnya dari koneksi India adalah Quthb al Din Ahmad Syah Wali
Allah bin Abdrahim al dihlawi. Syah Wali Allah adalah murid al Kurani, keunggulan dari Syah
Wali Allah salah satunya adalah kegigihannya mempertahankan keunnggulan akal dan
pentingnya ijtihad. Peran Syah Wali Allah dalam jaringan dilanjutkan oleh muridnya yaitu
Murtadho Muhammad. Guru Murtadho ada skitar 300 orang sehingga jaringan makin komplek.
Murtadho memberikan karya monumentalnya berupa kamus bahasa arabnya yna berjilid-jilid.

Adapun koneksi ulama di Cina berdasarkan penelitian Fletcher yang dilanjutkan oleh
Gladney menyebtkan bahwa koneksi-koneksi dengan ulama Cina terpusat pada tarekat-tarekat.
Tarekat Naqsyabandiyah telah ada di Cina sejak abad 15. Adapun koneksi ulama muslim Cina
dengan jaringan ulama bisa di lihat dari karier Ma Mingxin pendiri tarekat Naqsyabandiyah
Jahriyah

Adapun koneksi jaringan ulama di Afrika sebelum abad 18 tidak jelas. Namun Azyumardi
Azra mengambil kesimpulan bahwa ulama besar pertama dari bilad al Sudan –negeri kaum kulit
hitam- adalah Shalih bi Muhammad bin Nuh bin ‘Abdullah bin Umar al Umari yang dikenal
sebagai Shalih al Fullani. Shalih al Fullani belajar di Haramayn dan menjadi grand immigrant, al
Fullani memiliki 24 murid yang termasyur di abd 19.Al Fullani mengikuti kecenderungan religio
intelektual seperti Syah Wali Allah dan Muhammad Hayyat. Selain al Fullani ulama lain dari
bilad al suddan adalah ‘Utsman dan Fadio yang Berjaya di akhir abad 18 di awal abad 19.
‘Utsman murid dari Jibril bin Umar al Sudani (murid dari Murtadha al Zabidi). Tokoh berikutnya
adalah al Tijjani yang mendirikan tarekat Tijaniyyah.Dan di Afrika tarekat ini menjadi tarekat
yang paling aktif.

Adapun kecenderungan ulama di abad 18 ini adalah banyak ulama yang menekankan
rekonsiliasi diantara 4 madzab  fiqih, tetapi mereka meyayangkan sikap fanatisme mazhabi.
Lebih jauh lagi kecenderungan ulama lebih purifikasionis (pemurni ajaran).Sedangkan tarekat
difungsikan untuk rekontruksi kehidupan social moral ummah bukan perubahn sosio religious.

BAB 4
PARA PERINTIS GERAKAN PEMBARUAN ISLAM DI NUSANTARA:
ULAMA MELAYU-INDONESIA DALAM JARINGAN ABAD KE-17

Tiga ulama yang menjadi mata rantai utama dari jaringan ulama di wilayah Melayu –
Indonesia adalah berawal dari al Raniri, al Sinkili berkembang di kesultanan Aceh dan al
Maqassari lahir di Sulawesi yang memulai karirnya di Banten Jawa Barat. Satu persatu peran
pembaharuan dari ketiga ulama tersebut akan dibahas berikut.

a.      Nur al Din al Raniri (w. 1068/1658)

Nuruddin al-Raniry adalah ulama pembaru yang penting dalam sejarah melayu pada abad
ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji al-Hamid al-Aydarusi al_raniry,
dilahirkan di Ranir. Sebelum al Raniri diparuh kedua abad ke 17 ada Hamzah al Fansuri dan
Syams al Din al Sumatrani yang berperan besar dalam membentuk pemikiran dan praktik
keagamaan di Melayu-Indonesia. Diantara kedua ulama tersebut terjalin hubungan guru dan
murid. Mereka dikategorikan memiliki aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan
pendukung terkemuka penafsiran mistiko filosofis wahdat al wujud dari tasawuf. Untuk itulah
mereka oleh sebagian ahli disebut sebagai tokoh mistik “sesat” dan “murtad” yang bertentangan
dengan tokoh sufi ortodhox seperti al Raniri dan Sinkili.

Al Raniri lahir di Ranir Gujarat, tetapi dia dikenal sebagai mujaddid abad 17 di Melayu
Indonesia.Al Raniri mendapat pendidikan awalnya di Ranir kemudian melajutkan ke
Hadhramawt.Guru al Raniri dari India yang terkenal adalah sayyid Umar al Aydarus.Al Aydarus
memiliki peranan penting dalam menyalurkan gagasan keagamaan dari Timur Tengah ke India
dan lebih jauh lagi ke wilayah Melayu-Indonesia.

Kapan al Raniri tuk pertama kalinya mengadakan perjalanan ke Melayu Indonesia tidak
ada informasi. Tahun 1047/1637 al Raniri diangkat sebagai Syaikh al Islam kesultanan Aceh.
Setelah mendapatkan posisi ini al Raniri segera melancarkan pembaharuan di Aceh. Al Raniri
memandang bahwa Islam di wilayah ini telah dikacaukan oleh kesalahpahaman atas doktrin sufi.

Selama 7 tahun di Aceh al Raniri mencurahkan tenaganya sebagai alim, mufti, dan
penulis produktif untuk menentang doktrin wujudiyyah. Bahkan dia mengeluarkan fatwa yang
mengarah pada semacam pemburuan terhadap orang sesat, membunuh orang-orag yang yang
menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktik praktik sesat mereka, dan membakar
hingga jadi abu seluruh buku mereka. Al Raniri juga menghukum mati para pengikut Hamzah al
Fansuei dan Syam al Din

Selama 7 tahun di Aceh ada sekitar 29 karya al Raniri. Adapun karya beliau yang banyak
di telaah adalah al Shirath al Mustaqim.Dalam masalah aqidah al Raniri memegang doktrin al
Asy’ariyyah.Al Raniri di kenal berafiliasi dalam tarekat Rifa’iyyah, Aydarusiyyah dan
Qadariyyah.

Adapun peran al Raniri di dunia Islam Melayu Indonesia diantaranya: pertama, al Ranini
merupakan suaru mata rantai sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah
dengan tradisi di Nusantara. Dia adalah penyebar pembaharua Islam. Kedua: melalui karyanya
yang banyak mengutip dari tokoh-tokoh terkenal telah memperkenalkan para tokoh ahli itu
kepada kaum Muslim Nusantara. Ketiga, al Raniri adalah orang pertama yang menjelaskan
perbedaan antara penafsiran dan pemahaman yang salah maupun benar atas doktrin-doktrin dan
praktik sufi.

Keempat: al Raniri adalah orang pertama yang membuat buku pegangan standar
mengenai kewajiban agama yang mendasar bagi semua orang. Kelima, al Raniri berperan besar
dalam proses Islamisasi muslim Kedah. Keenam, Islamisasi dalam bidang politik.Hal ini
bertepatan dengan posisi beliau sebagai Syaikh al Islam Kesultanan Aceh.

Ketujuh, al Raniri telah menjelaskan dasar pokok-pokok keimanan dan ibadah Islam dan
mengungkapkan kebenaran Islam dalam suatu perspektif perbandingan dengan agama-agama
lain. Buku beliau yang membahas masalah ini adalah Tibyan fi Ma’rifat al Adyan.Kedelapan,
dalam bidang sejarah al Raniri adalah orang pertama yang menyajikan sejarah dalam kontek
universal dan yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan sejarah Melayu.Buku beliau ini
bernama Bustan al Salathin.Kesembilan, al Raniri telah mendorong jauh perkembangan bahasa
Melayu sebagai Lingua Franca di wilayah melayu Indonesia.

b.      ‘Abd al Ra’uf al Sinkili (1024-1105/ 1615-930)

Pembaharuan setelah al Raniri di Nusantara di lanjutkan oleh al Sinkili. Koneksi al


Sinkili dengan ulama Haramayn melebihi al Raniri. Al Sinkili seorang muslim asal Fansur,
Sinkil di wilayah barat laut Aceh. Al Sinkili diperkirakan berangkat dari Aceh ke Arabia tahun
1052/1642. Jumlah guru al Sinkili 19 orang dan 27 ulama lain yang memiliki hubungan kontak
pribadi. Kota-kota tempat al Sinkili menuntut ilmu adalah Dhuha (wilayah teluk Persia), Jeddah,
makkah dan akhrnya madinah. Di Madinah al Sinkili belajar pada al Qusyasyi dan al Kurani.
Kedatangan al Sinkili disambut baik oleh sultanah Aceh waktu itu yaitu Syafiyyat al Din. Al
Sinkili diangkat sebagai mufti yang bertanggungjawab atas urusan agama. Namun al Sinkili
tidak memberikan jawaban yang gamblang mengenai hokum wanita menjadi sultanah.
Adapun pembaharuan yang dilakukan al Sinkili diantaranya: pertama, ulama Melayu
indonesia yang menulis mengenai fiqh muamalat (Mir’at al Thullab, kitab al Fara’id). Kedua,
alim pertama yang bersedia mempersiapkan tafsir lengkap al Qur’an dalam bahasa  Melayu
(Tarjamun al Mustafid), dan karya ini menurut Riddell dan Harun adalah terjemah dari kitab
Tafsir Jallayn karya Jal al Din al Mahlli dan Jalal al Din al Suyuthi. Ketiga, al Sinkili
menorehkan penanya untuk menuliskan karyanya di bidang hadis. Yaitu penafsiran hadist
Arba’in dan yang kedua al Mawa’izh al Badi’ah sebuah koleksi hadis qudsi.

Keempat, al Sinkili tidak hanya menuliskan mengenai ilmu-ilmu zahir untuk kalangan
awam, tetepai juga ilmu-ilmu bathin untuk kalangan elite seperti masalah tasawuf fan kalam.
Dari karya dan ajaran al Sinkili dapat disimpulkan bahwa beliau secara sadar turut menyebarkan
doktrin dan kecenderungan intelektual dan praktis dalam jaringan ulama untuk memperkuat
tradisi Islam di kepaulauan Melayu Indonesia. Cirri dari ajarannya adalah neo sufisme. Karya
menunjukkan bahwa tasawuf harus berjalan sesuai dengan syariat. Adapun pendekatan yang
dipakai al Sinkili dalam pembaharuan bergaya evolusioner bukan radikal.

Adapun jaringan Melayu Indonesia al Sinkili dibangun dari murid-murid al Sinkili di


Nusantara. Adapun tarekat yang paling utama adalah tarekat Syathariyyah –tarekat yang
diperbarui oleh al Qusyasyi dan al Syinnawi. Adapun murid-murid al Sinkili di Sumatera yaitu
Burhan al Din yang dikenal sebgai Tuanku Ulakan ( Minangkabau Sumatera Barat). Tuanku
Ulakan setelah belajar dengan al Sinkili kembali ke daerah Minang dan mendiriakan ribat di
sana.

Murid al Sinkili berikutnya adalah ‘Abd al Muhyi asal Jawa Barat. Peranan penting al
Muhyi salah satunya dalam mengubah kepercayaan masyarakat dari animesmie kepada Islam
dan juga dalam penyebaran tarekat syatariyyah. Adapun murid al Sinkili di semenanjung Melayu
adalah ‘Abd al Malik b ‘Abd Allah. Beliau belajar dengan al Sinkili di Aceh kemudian
melanjutkan ke Haramayn. Beliau seorang penulis syariat dan fiqih dan juga aktif mengajar.

Murid al Sinkili berikutnya adalah Dawud al Jawi al Fanshuri b isma’il b Agha Musthafa
b Agha b ‘Ali Rumi.Dawud al Jawi al Rumi bersama gurunya membangun lembaga pendidikan
Islam tradisional di Aceh.Inilah murid murid al Sinkili yang mnyebar di beberapa wilayah.Beliau
meninggal tahun 1105/1693 dan dimakamkan di kuala, mulut sungai aceh, maka kemudian beiau
dikenal sebagai Syaikh di Kuala.

Ketiga ualama pembaharu diatas adalah para ulama awal Nusantara yang membawa
pembaruan dan mengajarkan syariat Islam di mana saja mereka berada.

c.       Muhammad Yusuf al Maqassari (1037-1111/ 1627-99)


Perjalanan al Maqassari dimulai dari Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Arabia, Sri Langka
dan Afrika Selatan. Al Maqassari lahir dari keluarga muslim. Pendidikan agama di peroleh
Maqassari di Sulawesi dari kalangan sufi. Al Maqassari juga pernah belajar di Cikoang
Kalimantan. Setelah dari tempat ini Maqassari menikah dengan puteri Sultan Gowa. Setelah itu
al Maqassari meninggalakan makasar menuju Arabia tuk belajar pada bulan Rajab1054/
September 1644. Menuju Arabia al Maqassari memanfaatkan rute perdagangan interinsuler.
Sehingga pertama beliau singgah di Banten. Di Bnaten al Maqassari belajar Islam dan juga
membangun jalinan yang kuat dengan orang-orang kerajaan termasuk Putra Mahkota.

Dari Banten al Maqassari melanjutkan ke Aceh. Dan sebelum ke Haramayn al Maqassari


mampir terlebih dahulu ke Yaman. Di Yaman al Maqassari belajar pada guru-guru yang ahli
hadis. Setelah beberapa tahun di Yaman al Maqassari melanjutkan ke Haramayn. Di Haramayn
al Maqassari belajar pada al Kurani, al Qusyasyi, Muhammad al Mazru’ dan beberapa guru
lainnya. Setelah dari Haramayn al Maqassari tidak langsung kembali ke Nusantara tetapi mampir
di Damaskus. Di Damasqus al Maqassari belajar pada Ayyub al Khlawati seorang ulama
terkemuka.

Setelah dari Damasqus al Maqassari melanjutkan ke Istanbul kemudian kembali ke


Melayu Indonesia. Sesampainya di Gowa Sulawesi Selatan al Maqassari menghimbau kepada
penguasa dan bangsawan di Goa untuk menghapuskan semua praktik yang tidak Islami dan
menjalankan hokum Islam. Namun para penguasa Gowa malah mempertahankan status guo.
Kembalinya al Maqassari ke Makasar masih ada perbedaan pendapat. Pendapat lain
menyebutkan bahwa al Maqassari dari Haramayn langsung menuju Banten. Setelah beberapa
bulan di Banten al Maqassari menikahi puteri sultan Ageng Tirtayasa. Kemudian al Maqassari
menjadi dewan penasehat sultan.

Meski al Maqassari bergelut dalam dunia politik tetapi tetp axis menuliskan karya-
karyanya. Ketika terjadi perang antara sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya ‘Abd al Qahhar,
al Maqassari berada di kubu sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan ketika sultan Ageng tertangkap al
Maqassari mengantikan yang memimpin pasukan. Hingga akhirnya al Maqassari tertangkap oleh
Belanda untuk kemudian di asingkan ke Srilangka. Meskipun ada di Srilangka al Maqassari
jaringannya tetap berjalan maka oleh Belanda al Maqassari dipindah ke Afrika Selatan hingga
meninggal disana.

Dari kisah al Maqassari ini dapat disimpulkan bahwa Al Maqassari adalah seorang neo
sufisme. Beliau sufi tapi taat syariat dan tidak mengasingkan diri dari masyarakat. Teologi al
Asy’ariyyah lah yang dipegang oleh al Maqassari. Terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan al
Maqassari membaginya kedalam 4 kelompok. Pertama, orang yang hanya mengucapkan
syahadat tapi tidak benar-benar berimana (munafiq). Kedua, orang yang mengucapakan syahadat
tetapi juga menanamkannya ke dalam jiwa (orang awam).
Ketiga, orang yang benar-benar paham akan implikasi lahir dan batin dari pernyataan
keimanannnya (orang-orang elit). Keempat, orang-orang dari golongan ketiga yang
mengintensifkan syahadah mereka dengan mengamalkan tasawuf (orang terpilih dari golongan
elite). Demikianlah sekelumit tentang al Maqassari. Demikianlah kiprah ketiga ulama –al Raniri,
al Sinkili, dan al Maqassari di abad ke 17.

BAB 5
JARINGAN ULAMA DAN PEMBAHARUAN ISLAM DI WILAYAH
MELAYU INDONESIA PADA ABAD KEDELAPAN BELAS

Azmuardy Azra (penulis) memberikan penjelasan komprehensif  mengenai penyebaran


gagasn-gagasan pembaruan dari pusat-pusat jaringan ulama paling penting , menyimpulkan
bahwa ketiga ulama di abad 17 al Raniri, al Sinkili, dan al Maqassari adalah para ulama
pembaharuan – tajdid-, dimana tema pokok pembaharuan mereka adalah kembali kepada
ortodoksi sunni dengan ciri paling menonjol adalah keselarasan antara syariat dan tasawuf.
Pembaharuan ini sebagai sespon internal terhadap kondisi-kondisi keagamaan yang marajalela
dikalangan kaum muslim sendiri. Tetapi sejak abad ke-18 faktor-faktor luar terutama penetrasi
colonial juga membantu akselerasi gerakan pembaharuan di Nusantara.

Meski ada perbedaan dikalangan para sarjana modern menyangkut definisi dan batasan-
batasan istilah ”reformasi” (ishlah) dan ”pembaruan” (tajdid), jelas bahwa seluruh ulama
melayu-indonesia tidak menyarankan pembaruan doktrinal Islam yang radikal yang dapat
dikategorikan sebagai reformasi. Usaha-usaha itu mereka barangkali lebih patut disebut
pembaruan (tajdid) daripada reformasi.

Pembaruan islam di dimulai di wilayah Melayu-Indonesia  sejak abad ke tujuh belas,


dan bukannya awal abad ke sembilan belas atau awal abad duapuluh, seperti yang diyakini oleh
beberapa sarjana. Hamka dan Federspiel, misalnya, percaya pembaruan Islam dimulai di
Nusantara bersama denga bangkitnya Gerakan Padri di Sumatra barat pada permulaan abad
kesembilan belas.

Gerakan Padri sebenarnya berasal dari jaringan ulama. Kelahiran dan kemunculan
gerakan ini mencerminkan proses yang rumit dari penyebaran gagasan-gagasan pembaharuan,
termasuk ”tarik tambang” antara kekuatan pembaruan dan faktor-faktor lokal seperti adat
istiadat. Gerakan Padri merupakkan cotoh bagus mengenai bagaimana pembaruan yang
dinagkitkan jaringan ulama menemukan manifestasi ekstremnya di Nusantara.

Disini, penulis banyak membahas tentang penyebaran gagasan pembaruan Islam dari
Timur Tengah yang secara khusus dibawa oleh tiga ulama penting di Melayu-Nusantara, yaitu
Al-Palimbani dan ulama Palembang lainnya, Muhammad Arsyad al-Banjari dan Ulama Banjar
Lainnya serta Daud bin Abd Allah dan Ulama Patani lainnya. Ketiga tokoh tersebut juga banyak
dipengaruhi oleh tiga ulama, yaitu al-Sinkili, al-Raniri dan al-Maqassari.

Adapun ulama utama Melayu Indnesia di abad 18 diantaranya adalah:


1.      Al Palimbani dan para ulama Palembang lainnya

            Kenyataannya ada beberapa ulama dari wilayah Palembang yang mencapai kemasyhuran
dalam periode ini merupakan suatu contoh menarik dari hubungan yang terjalin antara kaum
Muslim Timur Tengah dan pertumbuhan pengetahuan Islam di Nusantara. Islam masuk ke
Palembang sekitar abad ke 10. Namun Islam berkembang kuat saat kejatuhan Sriwijaya dan
bangkitnya Kesultanan Palembang pada awal abad ke-17.Adapun ulama yang paling menonjol
adalah ‘Abd al Shamad al Palimbani. Al-Palimbani adalah ulama yang paling menonjol dari
sekian ulama di Palembang. Ayah al Palimbai seorang sayyid dari Yaman dan ibunya orang
Palembang.Pendidikan awal di dapatkan di daerah Kedah dan Patani, dan kemudian al
Palembani oleh Ayahnya dikirim ke Arabia untuk belajar. Peran utama al-Palimbani tidak hanya
berkaitan dengan keterlibatan dalam jaringan ulama di Melayu-Nusantara.

            Azyumardi Azra menyimpulkn bahwa al Palimbani memantapkan kariernya di Haramayn


dan tidak kembali ke Nusantara. Di Haramayn al Palimbani satu komunitas dengan ulama Jawa
lainnya. Sehigga beliau tetap tanggap dengan perkembangan sosio-religius dan politik di
Nusantara.Diantara guru al Palembani yang menjadi tokoh utama jaringan ulama abad 18 adalah
Ibrahim al Ra’is. Guru lainnya adalah Muhammad Murad,Muhammad al Jauwhari dan
Atha’Allah al Azhari. Adapun tarekat al Palimbani adalah tarekat Sammaniyah. Al Palimbani
ulama penting dalam jaringan di abad 18. Karya- karyanya telah menyebar luas dalam
masyarakat, baik Nusantara atau Haramayn Dalam karya-karyanya al Palimbani tidak hanya
mnyebarkan ajaran neosufisme tetapi juga menghimbau kaum muslimin untuk jihad melawan
orang-orang eropa, terutama Belanda, yang secara intens melakukan penundukan entitas-entitas
politik Muslim di Nusantara.

2.      Para ulama al Banjar dari Kalimantan

            Di Kalimantan Selatan, suatu wilayah yang mana perkembngan Islamnya masih belum
bditelaan secara memadai. Seperti tempat-tempat lain di Nusantara, telaah-telaah Islam di
Kalimantan Selatan ini terutama hanya memusatkan perhatian pada masalah-masalah kapan,
bagaiimna , dan dari mana Islam wilayah ini, Tokoh ulama dari Banjar adalah Muhammad
Asryad al Banjari. Ulama penting dalam jaringan sekaligus pendiri pertama lembaga-lembaga
Islam dan memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan. Muhammad
Arsyad belajar bersama al Palimbani. Diantara guru beliau yang terkenal adalah al Sammani, al
Damanhuri, Sulayman al Kurdi. Sehingga al Banjari menjadi ulama yang bertaggungjawab atas
berkembangnya tarekat Samaniyyah di Kalimantan.

            Sekembalinya dari Haramayn, al Banjari mendirikan lembaga pendidikan Islam.,


memperbaharui admisistrasi keadilan di Kesultanan Banjar. Memperkenalkan jabatan mufti yang
bertanggungjawab dalam mengeluarkan fatwa-fatwa atas masalah agama. Ulama lainnya di
Kalimantan yang membawa peranan penting adalah Muhammad Nafis. Lahir dari keluarga
bangsawan yang kemudian belajar di Haramayn.  Diantara gurunya adalah al Sammani,
Muhammad al Jawhari dan beliau merupakan kawan dekat al Palimbani.
           
            Muhammad Nafis terkategori sebagai ulama penganut madzab syafi’i dengan teologi
Asy’aryah. Sekembalinya dari Haramayn Muhammad Nafis konsen pada penyebaran Islam di
pedalaman Kaimantan Selatan.

            Al-Palimbani, al-Banjari dan al-Fatani ternyata juga banyak menyarankan agar


melakukan jihad. Al-Palimbani pernah mengirimkan surat anjuran jihad kepada penguasa Jawa,
al-Banjari menganjurkan jihad di Kalimantan serta al-Fatani menganjurkan masyarakat Patani
untuk jihad melawan penjajah. Di bagian akhir tulisan buku dijelaskan bahwa gerakan Padri
merupakan gerakan yang juga dipengaruhi oleh semangat tasawuf di masyarakat Minangkabau.

3.      Dawud b ‘Abd Allah dan Kebangkitan Ulama Patani

            Ada ulama patani yang menjelang akhir abad kedelapan belas semakin jelas
keduduknnya dalam peta pengetahuan dan keilmuan Islam di Nusantara. Dengan bangkitnhya
para ulama patani, kita akan mengamati bukan hanya perkembangan tradisi pengetahuan Islam
tetapi juga penyebaran gerakan pembaruan diwilayah Melayu-Indonesia. Kaum muslim Patani,
perlu diingat kembal, adalah orang-orang Melayu baik secara etnis maupun budaya. Oleh sebab
itu, setiap pembaruan mengenai sejarah Islam di dunia melayu secara keseluruhan tidak
muingkin tanpa mencakup kaum muslim patani.
  
            Ulama Patani yang terlibat dalam jaringan ulama Nusantara salah satunya adalah Dawud
b ‘Abd Allah bin Idris al Fatani. Al Fatani juga murid lulusan Haramayn. Al Fatani adalah ulama
yang produktif, ada sekitar 57 buku karya beliau yang membahas semua disiplin Islam. Dari
ulama-ulama yang telah disebutkan nampak bahwa jaringan ulama Timur Tengah dan Melayu
Nusantara terus menggapai momentum. Peredaran tulisan mereka medorong meluasnya
pembaharuan Islam di Melayu Nusantara.

            Adapun pengaruh dakwah mereka terhadap perkembangan Islam di Nusantara sangat
besar. Missal tulisan Muhammad Arsyad yang popular menunjukkan bahwa karya-karya yang
menjelaskan ajaran-ajaran hokum Islam benar-benar dibutuhkan kaum Muslim Melayu
Indonesia sebagai petunjuk praktis dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sumbangan besar lebih
lanjut hokum-hukum Islam diberikan oleh Dawud al Fatani di abad ke-18. Dawud al Fatani juga
merupakan ulama teladan dalam usahanya mendamaikan aspek hokum dan aspek mistis Islam.

            Dalam karya Fiqihnya (Furu’ al Masail) al Fatani memperkenalkan metode baru dalam
menjelsakan seluk beluk fiqih dengan cara yang dianggapnya menarik dan mudah difahami
masyarakat Melayu Nusantara. Berikutnya adalah al Palimbani yang yang bertanggungjawab
terhadap penyebaran lebih jauh dari neo sufisme di Nusantara. Al Palimbani adalah ulama yang
menonjol dalam menerjemahkan karya-karya al Ghazali.

            Penyebaran tasawuf al Ghazali tak lepas dari uapaya al Palimbani. Salah satu karya al
Palimbani yang berkaitan tulisan al Ghazali adalah Hidayat al Silikin. Selain mengacu pada al
Ghazali, al Palimbani juga mengacu pada guru sebelumnya yaitu al Sinkili, al Sumatrani dan
lain-lain. Al Palimbani juga mendorong aktivisme dikalangan kaum muslim untuk jihad
melawan Belanda. Al Palimbani mengajarkan bahwa Sufi sejati adalah penganut doktrin
wujudiyyah muwahhid –Keesaan Tuhan yang Mutlak dalam diriNya-.
            Usaha mendamaikan tasawuf al Ghazali yang berorientasi pada syariat dengan tradisi
tasawuf filosofis ibn ‘Arabi juga dilakukan oleh Muhammad Nafis.Muhammad Nafis
menekankan pentingnya kepatuhan kepada syariat baik lahir maupun bathin untuk mencapai
tahap kasyf (intuisi langsung).Sedangan al Fatani juga menganut tasawuf al Ghazali dan Ibn
‘Arabi.Al Fatani juga menganjurkan Jihad melawan colonial Belanda.Adapun ulama yang
memiliki peran penting dalam kebangkitan pembaharuan Muslim Minagkabau adalah Tuanku
Nan Tuo.Beliau mengajarkan supaya masyarakat Minagkabau mendasarkan kehiduapnnya pada
jalan AhluSunnah wal Jamaah.

            Inilah perjalanan perubahan dan perkembangan Islam di melayu Nusantara yang
membawa tradisi besar Islam mencapai supremasi di Nusantara.Pembaharuan Islam di wilayah
Melayu Nusantara pada abad ke-17 tidak sekedar berorientasi pada taswuf tetapi juga berorintasi
pada syariat.Hal ini berbeda dari abad sebelumnya yang cenderung mistiss. Dan ketika banyak
ulama yang belajar di Haramayn maka hamper secara serentak para ulama menyebarkan neo
sufisme di Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai