NIM : 2010402001
MK : Teori budaya
Didalam buku ini dalam bab pertama , penulis menerangkan dan menjelaskan 5 teori
kedatangan islam , teori pertama asal muasal Islam di Nusantara adalah anak Benua India Teori
ini kebanyakan di pegang oleh Sarjana Belanda.Teori ini di dukung oleh Snouck Hurgronje yang
berhujah bahwa Islam berpijak kokoh di beberapa anak benua India.
Teori kedua dibawa oleh Marrison yang menyebutkan bahwa Islam di Nusantara bukan
dari Gujarat tapi dari penyebar Muslim dari Pantai Coromandel pada akhir abad ke 13. Teori
ketiga menyebutkan bahwa Islam di Nusatara dibawa langsung oleh orang-orang Arab. Teori
keempat menyebutkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar Madzab Syafi’i
yang banyak dianut pula oleh muslim Mesir. Teori kelima yang didasarkan pada sejarah
literature Islam Melayu Indonesia dan sejarah dunia perdagangan Melayu. Teori ini
menyebutkan bahwa kaum sufilah yang melakukan penyiaran Islam di Nusantara. motif
penyebaran Islam berupa faktor ekonomi, dan politik.
Terdapat tiga fase dalam perkembangan hubungan Muslim Nusantara dengan Timur
tengah.
Fase pertama, yaitu sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 hubungan-hubungan yang ada
pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Hubungan ini terutama diparkrasai oleh muslim
Arab dan Persia.
Fase kedua, sampai akhir abad ke-15, hubungan yang dibangun adalah hubungan
keagamaan dan cultural. Hal ini diprakarsai oleh pedagang dan pengembara sufi yang intensif
menyebarkan Islam di Nusantara.
Fase ketiga, sejak abad ke- 16 sampai paruh ke dua abad ke-17 hubungan yang terjalin
lebih bersifat politik disamping keagamaan.Hubungan di abad ini terjalin dengan Khilafah
Utsmani dan juga penguasa Haramayn.Adapun riwayat yang banyak menyebutkan hubungan
ulama Nusantara dengan Timur Tengah diberikan oleh sumber-sumber Cina dan Arab.
Haramayn adalah sebutan untuk dua kota yaitu Makkah dan Madinah. Haramayn adalah
pusat intelektual muslim dunia. Dimana para ulama, filosof, sufi, penyair, pengusaha, sejarawan
muslim, bertemu untuk saling menukar informasi. Faktor inilah yang menjadikan para penuntut
ilmu berbondong-bondong belajar di Haramayn. Adapun kebangkitan jaringan ulama sendiri
disebabkan oleh beberapa factor penting, tidak hanya keagamaan, tetapi juga ekonomi, social
dan politik.
Karakteristik dasar jaringan ulama dan transmisi keilmuan adalah terbentuknya hubungan
guru-murid secara gradual mengajarkan keilmuannya kepada muridnya. Ini berlaku tidak hanya
dalam wilayah Haramayn saja, tetapi juga setelah dia kembali ke tanah kelahirannya. Hubungan
semacam ini, pada akhirnya membentuk jaringan intelektualisme yang berskala internasional.
Pola penyebaran keilmuan juga dilakukan lewat tarekat dan tasawuf. Seperti tarekat Syattariyah,
Naqsyabandiyah dan lain sebagainya.
Salah satu tanda bangkitnya keilmuan di Haramayn adalah berdirinya Madrasah sebagai
lembaga pendidikan tipikal Muslim. Selain madrasah terdapat ribath dan zawiyyah. Baik
madrasah maupun ribath kebanykan didirikan oleh penguasa non hijazi. Ribath adalah pusat
kaum sufi. Adapun madrasah di Haramayn memiliki ciri khusus yakni kosmopolitisme. Dimana
madrasah berdiri di isi oleh guru-guru dan murid-murid diluar Hijaz. Adapun pendanaan
madrasah di Haramayn selain wakaf orang-orang kaya juga ditanggung oleh kekhilafahan
utamanya khilafah Ustmani.
Adapun ulama yang memiliki peranan penting dalam menghubungkan ulama Mesir
dengan Haramayn adalah Muhammad bin ‘Ala’al Din al Babili. Adapun ulama di wilayah Afrika
Utara adalah Isa al Magribi dan Muhammad bin Sulaiman al Magribi. Ulama-ulama ini adalah
ulama grand immigrant. Adapun ulama asli asal Mekkah yang berperan dalam jaringan ulama
abad 17 diantaranya adalah Taj al Din bin Ahmad.
Hubungan diantara para ulama ini pada umumnya terbentuk dalam kaitan upaya mereka
menuntut ilmu. Koneksi diantara mereka mengambil bentuk hubungan guru dengan murid
(hubungan vertical).Hubungan akademis ini juga mencakup bentuk guru dengan guru, murid
dengan murid yang keduanya disebut hubungan horizontal.Adapun sarana terpentinng yang
membuat hubungan ini makin solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat.
BAB 3
PEMBAHARUAN DALAM JARINGAN ULAMA DAN PENYEBARANNYA KE
DUNIA ISLAM YANG LEBIH LUAS
Adapun ciri yang paling menonjol dari jaringan ulama adalah bahwa saling pendekatan
antara para ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi mencapai puncaknya. Sikap saling
pendekatan antara syariat dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama ke dalam tarekat
mengakibatkan timbulnya Neosufisme dan jaringan Asia-Afrika abad ke-18.Istlah yang
dimunculkan oleh Fazlur Rahman almarhum. Neosufisme memiliki pusat perhatian untuk
melakukan rekontruksi social moral dari masyarakat muslim.menurut Fazrul Rahman ulama
muslim yang bertanggungjawab dalam membantu merealisasikan kebangkitan neo sufisme
adalah para ahlu hadis. Kebangkitan neo-sufisme tidak pernah lepas dari peranan dari para ahli
tradisi (ahl al-hadits). Para ahl al-hadits telah memiliki pengaruh kuat dalam mengembangkan
dan menanamkan hukum Islam. Neo-sufisme dianggap sebagai sebuah kebangkitan gerakan
ulama. Neo-sufisme ini berbeda dengan tasawuf atau sufi.
Neo-sufisme lebih mengedepankan pada aktifisme para sufi dalam realitas sosial
masyarakat, sementara tasawuf lebih menekankan pada passifisme terhadap realitas sosial,
karena laku utamanya adalah menyepi dan menyendiri demi mencapai puncak ilahiyah, bertemu
dengan Tuhan. Gerakan tasawuf awal lebih menekankan pada individualisme, sementara neo-
sufisme menekankan pada eksistensi masyarakat. Menurut Fazlur Rahman, karakter neo-sufisme
adalah puritan dan aktifisme.
Gerakan neo-sufisme merupakan gerakan kembali pada ortodoksi Islam dengan
menekankan rekonsiliasi antara aspek syari’ah dan tasawuf. Neo-sufisme dianggap sebagai
gerakan yang mampu membentuk karakteristik pemikiran masyarakat muslim di dunia Melayu-
Nusantara. Penyebaran pembaruan Islam lewat neo-sufisme pada akhirnya menghasilkan
intensifikasi Islamisme.
Adapun tokoh neo sufisme diantaranya al Qusyasyi yang mengetengahkan bahwa Nabi
saw adalah seorang sufi yang tidak pernah mengasingkan dirinya dari manusia. Sufi sejati adalah
orang yang dapat bekerjasama dengan muslim lainnya untuk kebaikan masyarakat. Demikan
pula al Kurani menekankan pentingnya syariat tanpa perlu mengesampingkan kecintaannya pada
tasawuf. Sulayman al Maghribi juga mengetengahkan pendapat yanga menentang para sufi yang
mengasingkan diri. Azyumardi Azra juga menuliskan bahwa tidak ada ulama yang mengikuti
gagasan milenarianisme (pembaharuan seribu tahun). Diantara para ulama yang menjawab
permasalahan yang mucul dari Jawa adalah al Kurani, Ibn Ya’qub.
Adapun neo sufisme bila dihubungkan dengan organisasi tarekat maka pada abad ke 17 ciri
dari tarekat ini adalah tarekat diorganisasi secara longgar, tdak ada batasan jelas diantara sekian
banyak tarekat, para syaikh dan murid sufi tidak harus setia pada sati tarekat saja. Al Qusyasyi
memberikan ajaran kepada muridnya apabila ada ajaran tarekat yang keluar dari syariat islam
maka diminta mereka keluar dari tarekat tersebut.
Adapun koneksi ulama di Cina berdasarkan penelitian Fletcher yang dilanjutkan oleh
Gladney menyebtkan bahwa koneksi-koneksi dengan ulama Cina terpusat pada tarekat-tarekat.
Tarekat Naqsyabandiyah telah ada di Cina sejak abad 15. Adapun koneksi ulama muslim Cina
dengan jaringan ulama bisa di lihat dari karier Ma Mingxin pendiri tarekat Naqsyabandiyah
Jahriyah
Adapun koneksi jaringan ulama di Afrika sebelum abad 18 tidak jelas. Namun Azyumardi
Azra mengambil kesimpulan bahwa ulama besar pertama dari bilad al Sudan –negeri kaum kulit
hitam- adalah Shalih bi Muhammad bin Nuh bin ‘Abdullah bin Umar al Umari yang dikenal
sebagai Shalih al Fullani. Shalih al Fullani belajar di Haramayn dan menjadi grand immigrant, al
Fullani memiliki 24 murid yang termasyur di abd 19.Al Fullani mengikuti kecenderungan religio
intelektual seperti Syah Wali Allah dan Muhammad Hayyat. Selain al Fullani ulama lain dari
bilad al suddan adalah ‘Utsman dan Fadio yang Berjaya di akhir abad 18 di awal abad 19.
‘Utsman murid dari Jibril bin Umar al Sudani (murid dari Murtadha al Zabidi). Tokoh berikutnya
adalah al Tijjani yang mendirikan tarekat Tijaniyyah.Dan di Afrika tarekat ini menjadi tarekat
yang paling aktif.
Adapun kecenderungan ulama di abad 18 ini adalah banyak ulama yang menekankan
rekonsiliasi diantara 4 madzab fiqih, tetapi mereka meyayangkan sikap fanatisme mazhabi.
Lebih jauh lagi kecenderungan ulama lebih purifikasionis (pemurni ajaran).Sedangkan tarekat
difungsikan untuk rekontruksi kehidupan social moral ummah bukan perubahn sosio religious.
BAB 4
PARA PERINTIS GERAKAN PEMBARUAN ISLAM DI NUSANTARA:
ULAMA MELAYU-INDONESIA DALAM JARINGAN ABAD KE-17
Tiga ulama yang menjadi mata rantai utama dari jaringan ulama di wilayah Melayu –
Indonesia adalah berawal dari al Raniri, al Sinkili berkembang di kesultanan Aceh dan al
Maqassari lahir di Sulawesi yang memulai karirnya di Banten Jawa Barat. Satu persatu peran
pembaharuan dari ketiga ulama tersebut akan dibahas berikut.
Nuruddin al-Raniry adalah ulama pembaru yang penting dalam sejarah melayu pada abad
ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji al-Hamid al-Aydarusi al_raniry,
dilahirkan di Ranir. Sebelum al Raniri diparuh kedua abad ke 17 ada Hamzah al Fansuri dan
Syams al Din al Sumatrani yang berperan besar dalam membentuk pemikiran dan praktik
keagamaan di Melayu-Indonesia. Diantara kedua ulama tersebut terjalin hubungan guru dan
murid. Mereka dikategorikan memiliki aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan
pendukung terkemuka penafsiran mistiko filosofis wahdat al wujud dari tasawuf. Untuk itulah
mereka oleh sebagian ahli disebut sebagai tokoh mistik “sesat” dan “murtad” yang bertentangan
dengan tokoh sufi ortodhox seperti al Raniri dan Sinkili.
Al Raniri lahir di Ranir Gujarat, tetapi dia dikenal sebagai mujaddid abad 17 di Melayu
Indonesia.Al Raniri mendapat pendidikan awalnya di Ranir kemudian melajutkan ke
Hadhramawt.Guru al Raniri dari India yang terkenal adalah sayyid Umar al Aydarus.Al Aydarus
memiliki peranan penting dalam menyalurkan gagasan keagamaan dari Timur Tengah ke India
dan lebih jauh lagi ke wilayah Melayu-Indonesia.
Kapan al Raniri tuk pertama kalinya mengadakan perjalanan ke Melayu Indonesia tidak
ada informasi. Tahun 1047/1637 al Raniri diangkat sebagai Syaikh al Islam kesultanan Aceh.
Setelah mendapatkan posisi ini al Raniri segera melancarkan pembaharuan di Aceh. Al Raniri
memandang bahwa Islam di wilayah ini telah dikacaukan oleh kesalahpahaman atas doktrin sufi.
Selama 7 tahun di Aceh al Raniri mencurahkan tenaganya sebagai alim, mufti, dan
penulis produktif untuk menentang doktrin wujudiyyah. Bahkan dia mengeluarkan fatwa yang
mengarah pada semacam pemburuan terhadap orang sesat, membunuh orang-orag yang yang
menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktik praktik sesat mereka, dan membakar
hingga jadi abu seluruh buku mereka. Al Raniri juga menghukum mati para pengikut Hamzah al
Fansuei dan Syam al Din
Selama 7 tahun di Aceh ada sekitar 29 karya al Raniri. Adapun karya beliau yang banyak
di telaah adalah al Shirath al Mustaqim.Dalam masalah aqidah al Raniri memegang doktrin al
Asy’ariyyah.Al Raniri di kenal berafiliasi dalam tarekat Rifa’iyyah, Aydarusiyyah dan
Qadariyyah.
Adapun peran al Raniri di dunia Islam Melayu Indonesia diantaranya: pertama, al Ranini
merupakan suaru mata rantai sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah
dengan tradisi di Nusantara. Dia adalah penyebar pembaharua Islam. Kedua: melalui karyanya
yang banyak mengutip dari tokoh-tokoh terkenal telah memperkenalkan para tokoh ahli itu
kepada kaum Muslim Nusantara. Ketiga, al Raniri adalah orang pertama yang menjelaskan
perbedaan antara penafsiran dan pemahaman yang salah maupun benar atas doktrin-doktrin dan
praktik sufi.
Keempat: al Raniri adalah orang pertama yang membuat buku pegangan standar
mengenai kewajiban agama yang mendasar bagi semua orang. Kelima, al Raniri berperan besar
dalam proses Islamisasi muslim Kedah. Keenam, Islamisasi dalam bidang politik.Hal ini
bertepatan dengan posisi beliau sebagai Syaikh al Islam Kesultanan Aceh.
Ketujuh, al Raniri telah menjelaskan dasar pokok-pokok keimanan dan ibadah Islam dan
mengungkapkan kebenaran Islam dalam suatu perspektif perbandingan dengan agama-agama
lain. Buku beliau yang membahas masalah ini adalah Tibyan fi Ma’rifat al Adyan.Kedelapan,
dalam bidang sejarah al Raniri adalah orang pertama yang menyajikan sejarah dalam kontek
universal dan yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan sejarah Melayu.Buku beliau ini
bernama Bustan al Salathin.Kesembilan, al Raniri telah mendorong jauh perkembangan bahasa
Melayu sebagai Lingua Franca di wilayah melayu Indonesia.
Keempat, al Sinkili tidak hanya menuliskan mengenai ilmu-ilmu zahir untuk kalangan
awam, tetepai juga ilmu-ilmu bathin untuk kalangan elite seperti masalah tasawuf fan kalam.
Dari karya dan ajaran al Sinkili dapat disimpulkan bahwa beliau secara sadar turut menyebarkan
doktrin dan kecenderungan intelektual dan praktis dalam jaringan ulama untuk memperkuat
tradisi Islam di kepaulauan Melayu Indonesia. Cirri dari ajarannya adalah neo sufisme. Karya
menunjukkan bahwa tasawuf harus berjalan sesuai dengan syariat. Adapun pendekatan yang
dipakai al Sinkili dalam pembaharuan bergaya evolusioner bukan radikal.
Murid al Sinkili berikutnya adalah ‘Abd al Muhyi asal Jawa Barat. Peranan penting al
Muhyi salah satunya dalam mengubah kepercayaan masyarakat dari animesmie kepada Islam
dan juga dalam penyebaran tarekat syatariyyah. Adapun murid al Sinkili di semenanjung Melayu
adalah ‘Abd al Malik b ‘Abd Allah. Beliau belajar dengan al Sinkili di Aceh kemudian
melanjutkan ke Haramayn. Beliau seorang penulis syariat dan fiqih dan juga aktif mengajar.
Murid al Sinkili berikutnya adalah Dawud al Jawi al Fanshuri b isma’il b Agha Musthafa
b Agha b ‘Ali Rumi.Dawud al Jawi al Rumi bersama gurunya membangun lembaga pendidikan
Islam tradisional di Aceh.Inilah murid murid al Sinkili yang mnyebar di beberapa wilayah.Beliau
meninggal tahun 1105/1693 dan dimakamkan di kuala, mulut sungai aceh, maka kemudian beiau
dikenal sebagai Syaikh di Kuala.
Ketiga ualama pembaharu diatas adalah para ulama awal Nusantara yang membawa
pembaruan dan mengajarkan syariat Islam di mana saja mereka berada.
Meski al Maqassari bergelut dalam dunia politik tetapi tetp axis menuliskan karya-
karyanya. Ketika terjadi perang antara sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya ‘Abd al Qahhar,
al Maqassari berada di kubu sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan ketika sultan Ageng tertangkap al
Maqassari mengantikan yang memimpin pasukan. Hingga akhirnya al Maqassari tertangkap oleh
Belanda untuk kemudian di asingkan ke Srilangka. Meskipun ada di Srilangka al Maqassari
jaringannya tetap berjalan maka oleh Belanda al Maqassari dipindah ke Afrika Selatan hingga
meninggal disana.
Dari kisah al Maqassari ini dapat disimpulkan bahwa Al Maqassari adalah seorang neo
sufisme. Beliau sufi tapi taat syariat dan tidak mengasingkan diri dari masyarakat. Teologi al
Asy’ariyyah lah yang dipegang oleh al Maqassari. Terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan al
Maqassari membaginya kedalam 4 kelompok. Pertama, orang yang hanya mengucapkan
syahadat tapi tidak benar-benar berimana (munafiq). Kedua, orang yang mengucapakan syahadat
tetapi juga menanamkannya ke dalam jiwa (orang awam).
Ketiga, orang yang benar-benar paham akan implikasi lahir dan batin dari pernyataan
keimanannnya (orang-orang elit). Keempat, orang-orang dari golongan ketiga yang
mengintensifkan syahadah mereka dengan mengamalkan tasawuf (orang terpilih dari golongan
elite). Demikianlah sekelumit tentang al Maqassari. Demikianlah kiprah ketiga ulama –al Raniri,
al Sinkili, dan al Maqassari di abad ke 17.
BAB 5
JARINGAN ULAMA DAN PEMBAHARUAN ISLAM DI WILAYAH
MELAYU INDONESIA PADA ABAD KEDELAPAN BELAS
Meski ada perbedaan dikalangan para sarjana modern menyangkut definisi dan batasan-
batasan istilah ”reformasi” (ishlah) dan ”pembaruan” (tajdid), jelas bahwa seluruh ulama
melayu-indonesia tidak menyarankan pembaruan doktrinal Islam yang radikal yang dapat
dikategorikan sebagai reformasi. Usaha-usaha itu mereka barangkali lebih patut disebut
pembaruan (tajdid) daripada reformasi.
Gerakan Padri sebenarnya berasal dari jaringan ulama. Kelahiran dan kemunculan
gerakan ini mencerminkan proses yang rumit dari penyebaran gagasan-gagasan pembaharuan,
termasuk ”tarik tambang” antara kekuatan pembaruan dan faktor-faktor lokal seperti adat
istiadat. Gerakan Padri merupakkan cotoh bagus mengenai bagaimana pembaruan yang
dinagkitkan jaringan ulama menemukan manifestasi ekstremnya di Nusantara.
Disini, penulis banyak membahas tentang penyebaran gagasan pembaruan Islam dari
Timur Tengah yang secara khusus dibawa oleh tiga ulama penting di Melayu-Nusantara, yaitu
Al-Palimbani dan ulama Palembang lainnya, Muhammad Arsyad al-Banjari dan Ulama Banjar
Lainnya serta Daud bin Abd Allah dan Ulama Patani lainnya. Ketiga tokoh tersebut juga banyak
dipengaruhi oleh tiga ulama, yaitu al-Sinkili, al-Raniri dan al-Maqassari.
Kenyataannya ada beberapa ulama dari wilayah Palembang yang mencapai kemasyhuran
dalam periode ini merupakan suatu contoh menarik dari hubungan yang terjalin antara kaum
Muslim Timur Tengah dan pertumbuhan pengetahuan Islam di Nusantara. Islam masuk ke
Palembang sekitar abad ke 10. Namun Islam berkembang kuat saat kejatuhan Sriwijaya dan
bangkitnya Kesultanan Palembang pada awal abad ke-17.Adapun ulama yang paling menonjol
adalah ‘Abd al Shamad al Palimbani. Al-Palimbani adalah ulama yang paling menonjol dari
sekian ulama di Palembang. Ayah al Palimbai seorang sayyid dari Yaman dan ibunya orang
Palembang.Pendidikan awal di dapatkan di daerah Kedah dan Patani, dan kemudian al
Palembani oleh Ayahnya dikirim ke Arabia untuk belajar. Peran utama al-Palimbani tidak hanya
berkaitan dengan keterlibatan dalam jaringan ulama di Melayu-Nusantara.
Di Kalimantan Selatan, suatu wilayah yang mana perkembngan Islamnya masih belum
bditelaan secara memadai. Seperti tempat-tempat lain di Nusantara, telaah-telaah Islam di
Kalimantan Selatan ini terutama hanya memusatkan perhatian pada masalah-masalah kapan,
bagaiimna , dan dari mana Islam wilayah ini, Tokoh ulama dari Banjar adalah Muhammad
Asryad al Banjari. Ulama penting dalam jaringan sekaligus pendiri pertama lembaga-lembaga
Islam dan memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan. Muhammad
Arsyad belajar bersama al Palimbani. Diantara guru beliau yang terkenal adalah al Sammani, al
Damanhuri, Sulayman al Kurdi. Sehingga al Banjari menjadi ulama yang bertaggungjawab atas
berkembangnya tarekat Samaniyyah di Kalimantan.
Ada ulama patani yang menjelang akhir abad kedelapan belas semakin jelas
keduduknnya dalam peta pengetahuan dan keilmuan Islam di Nusantara. Dengan bangkitnhya
para ulama patani, kita akan mengamati bukan hanya perkembangan tradisi pengetahuan Islam
tetapi juga penyebaran gerakan pembaruan diwilayah Melayu-Indonesia. Kaum muslim Patani,
perlu diingat kembal, adalah orang-orang Melayu baik secara etnis maupun budaya. Oleh sebab
itu, setiap pembaruan mengenai sejarah Islam di dunia melayu secara keseluruhan tidak
muingkin tanpa mencakup kaum muslim patani.
Ulama Patani yang terlibat dalam jaringan ulama Nusantara salah satunya adalah Dawud
b ‘Abd Allah bin Idris al Fatani. Al Fatani juga murid lulusan Haramayn. Al Fatani adalah ulama
yang produktif, ada sekitar 57 buku karya beliau yang membahas semua disiplin Islam. Dari
ulama-ulama yang telah disebutkan nampak bahwa jaringan ulama Timur Tengah dan Melayu
Nusantara terus menggapai momentum. Peredaran tulisan mereka medorong meluasnya
pembaharuan Islam di Melayu Nusantara.
Adapun pengaruh dakwah mereka terhadap perkembangan Islam di Nusantara sangat
besar. Missal tulisan Muhammad Arsyad yang popular menunjukkan bahwa karya-karya yang
menjelaskan ajaran-ajaran hokum Islam benar-benar dibutuhkan kaum Muslim Melayu
Indonesia sebagai petunjuk praktis dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sumbangan besar lebih
lanjut hokum-hukum Islam diberikan oleh Dawud al Fatani di abad ke-18. Dawud al Fatani juga
merupakan ulama teladan dalam usahanya mendamaikan aspek hokum dan aspek mistis Islam.
Dalam karya Fiqihnya (Furu’ al Masail) al Fatani memperkenalkan metode baru dalam
menjelsakan seluk beluk fiqih dengan cara yang dianggapnya menarik dan mudah difahami
masyarakat Melayu Nusantara. Berikutnya adalah al Palimbani yang yang bertanggungjawab
terhadap penyebaran lebih jauh dari neo sufisme di Nusantara. Al Palimbani adalah ulama yang
menonjol dalam menerjemahkan karya-karya al Ghazali.
Penyebaran tasawuf al Ghazali tak lepas dari uapaya al Palimbani. Salah satu karya al
Palimbani yang berkaitan tulisan al Ghazali adalah Hidayat al Silikin. Selain mengacu pada al
Ghazali, al Palimbani juga mengacu pada guru sebelumnya yaitu al Sinkili, al Sumatrani dan
lain-lain. Al Palimbani juga mendorong aktivisme dikalangan kaum muslim untuk jihad
melawan Belanda. Al Palimbani mengajarkan bahwa Sufi sejati adalah penganut doktrin
wujudiyyah muwahhid –Keesaan Tuhan yang Mutlak dalam diriNya-.
Usaha mendamaikan tasawuf al Ghazali yang berorientasi pada syariat dengan tradisi
tasawuf filosofis ibn ‘Arabi juga dilakukan oleh Muhammad Nafis.Muhammad Nafis
menekankan pentingnya kepatuhan kepada syariat baik lahir maupun bathin untuk mencapai
tahap kasyf (intuisi langsung).Sedangan al Fatani juga menganut tasawuf al Ghazali dan Ibn
‘Arabi.Al Fatani juga menganjurkan Jihad melawan colonial Belanda.Adapun ulama yang
memiliki peran penting dalam kebangkitan pembaharuan Muslim Minagkabau adalah Tuanku
Nan Tuo.Beliau mengajarkan supaya masyarakat Minagkabau mendasarkan kehiduapnnya pada
jalan AhluSunnah wal Jamaah.
Inilah perjalanan perubahan dan perkembangan Islam di melayu Nusantara yang
membawa tradisi besar Islam mencapai supremasi di Nusantara.Pembaharuan Islam di wilayah
Melayu Nusantara pada abad ke-17 tidak sekedar berorientasi pada taswuf tetapi juga berorintasi
pada syariat.Hal ini berbeda dari abad sebelumnya yang cenderung mistiss. Dan ketika banyak
ulama yang belajar di Haramayn maka hamper secara serentak para ulama menyebarkan neo
sufisme di Nusantara.