Anda di halaman 1dari 6

UTS

Nama : Rantau Wijaya

NIM : 2010402001

MK : Teori budaya

Diawal buku ini dalam penulis menerangkan dan menjelaskan 5 teori kedatangan islam ,
teori pertama asal muasal Islam di Nusantara adalah anak Benua India Teori ini kebanyakan di
pegang oleh Sarjana Belanda.Teori ini di dukung oleh Snouck Hurgronje yang berhujah bahwa
Islam berpijak kokoh di beberapa anak benua India.
Teori kedua dibawa oleh Marrison yang menyebutkan bahwa Islam di Nusantara bukan
dari Gujarat tapi dari penyebar Muslim dari Pantai Coromandel pada akhir abad ke 13. Teori
ketiga menyebutkan bahwa Islam di Nusatara dibawa langsung oleh orang-orang Arab. Teori
keempat menyebutkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar Madzab Syafi’i
yang banyak dianut pula oleh muslim Mesir. Teori kelima yang didasarkan pada sejarah
literature Islam Melayu Indonesia dan sejarah dunia perdagangan Melayu. Teori ini
menyebutkan bahwa kaum sufilah yang melakukan penyiaran Islam di Nusantara. motif
penyebaran Islam berupa faktor ekonomi, dan politik. Terdapat tiga fase dalam perkembangan
hubungan Muslim Nusantara dengan Timur tengah.
Fase pertama, yaitu sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 hubungan-hubungan yang ada
pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Hubungan ini terutama diparkrasai oleh muslim
Arab dan Persia.
Fase kedua, sampai akhir abad ke-15, hubungan yang dibangun adalah hubungan
keagamaan dan cultural. Hal ini diprakarsai oleh pedagang dan pengembara sufi yang intensif
menyebarkan Islam di Nusantara.
 Fase ketiga, sejak abad ke- 16 sampai paruh ke dua abad ke-17 hubungan yang terjalin
lebih bersifat politik disamping keagamaan.Hubungan di abad ini terjalin dengan Khilafah
Utsmani dan juga penguasa Haramayn.Adapun riwayat yang banyak menyebutkan hubungan
ulama Nusantara dengan Timur Tengah diberikan oleh sumber-sumber Cina dan Arab.
Haramayn adalah sebutan untuk dua kota yaitu Makkah dan Madinah. Haramayn adalah
pusat intelektual muslim dunia. Dimana para ulama, filosof, sufi, penyair, pengusaha, sejarawan
muslim, bertemu untuk saling menukar informasi. Faktor inilah yang menjadikan para penuntut
ilmu berbondong-bondong belajar di Haramayn. Adapun kebangkitan jaringan ulama sendiri
disebabkan oleh beberapa factor penting, tidak hanya keagamaan, tetapi juga ekonomi, social
dan politik.
Karakteristik dasar jaringan ulama dan transmisi keilmuan adalah terbentuknya hubungan
guru-murid secara gradual mengajarkan keilmuannya kepada muridnya. Ini berlaku tidak hanya
dalam wilayah Haramayn saja, tetapi juga setelah dia kembali ke tanah kelahirannya. Hubungan
semacam ini, pada akhirnya membentuk jaringan intelektualisme yang berskala internasional.
Kemajuan dibidang ilmu dan perdagangan di Haramayn terus meningkatkan kuantitas
ulama yang datang ke Haramayn. Demikian pula jumlah jamaah haji juga terus bertambah. Voll
membagi menjadi 3 tipe imigran Asia Selatan yang datang ke Haramayn. Pertama, little
Imigrants. Yaitu orang yang datang dan bermukim di Haramayn dan diam-diam terserap dalam
kehidupan social keagamaan setempat. Tipe kedua, grand immigrants yakni ulama per
excellence. Sebagian dari grand immigrants ini sangat ‘alim dan terkenal di negeri mereka. Tipe
ketiga, ulama dan guru yang mengembara kemudian menetap di Haramayn dalam perjalanan
panjangnya menuntut ilmu.
Hubungan diantara para ulama ini pada umumnya terbentuk dalam kaitan upaya mereka
menuntut ilmu. Koneksi diantara mereka mengambil bentuk hubungan guru dengan murid
(hubungan vertical).Hubungan akademis ini juga mencakup bentuk guru dengan guru, murid
dengan murid yang keduanya disebut hubungan horizontal.Adapun sarana terpentinng yang
membuat hubungan ini makin solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat.
Proses Hubungan Haramyn dan nusantara tentu saja menyebabkan penyebaran kebudayaan
yang faktornya antara lain adanya migrasi manusia. Yang nantinya penyebaran ini
mengakibatkan peleburan. Peleburan tersebut terjadi pada saat suatu kebudayaan beradaptasi
dengan kebudayaan lain sehingga akan mengalami penyebar-luasan atau bahkan memunculkan
suatu kebudayaan baru.
Kegiatan yang terjadi tersebut sangat cocok dengan teori difusi. Teori Difusi kebudayaan terjadi
karena migrasi, berarti bahwa kebudayaan imigran melebur di daerah imigrasi, yang terjadi
dalam beberapa bentuk, seperti :
 adanya individu tertentu yang membawa unsur kebudayaan ke tempat yang jauh.
 disebarkan oleh  individu dalam suatu kelompok dengan pertemuan individu kelompok
lain, mereka saling mempelajari dan memahami kebudayaan mereka masing-masing.
 adanya hubungan perdagangan, di mana pedagang masuk ke dalam suatu wilayah dan
unsur-unsur budaya tersebut masuk dalam kebudayaan penerima tanpa disengaja.
Adapun ciri yang paling menonjol dari jaringan ulama adalah bahwa saling pendekatan
antara para ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi mencapai puncaknya. Sikap saling
pendekatan antara syariat dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama ke dalam tarekat
mengakibatkan timbulnya Neosufisme dan jaringan Asia-Afrika abad ke-18.Istlah yang
dimunculkan oleh Fazlur Rahman almarhum. Neosufisme memiliki pusat perhatian untuk
melakukan rekontruksi social moral dari masyarakat muslim.menurut Fazrul Rahman ulama
muslim yang bertanggungjawab dalam membantu merealisasikan kebangkitan neo sufisme
adalah para ahlu hadis. Kebangkitan neo-sufisme tidak pernah lepas dari peranan dari para ahli
tradisi (ahl al-hadits). Para ahl al-hadits telah memiliki pengaruh kuat dalam mengembangkan
dan menanamkan hukum Islam. Neo-sufisme dianggap sebagai sebuah kebangkitan gerakan
ulama. Neo-sufisme ini berbeda dengan tasawuf atau sufi.
Neo-sufisme lebih mengedepankan pada aktifisme para sufi dalam realitas sosial
masyarakat, sementara tasawuf lebih menekankan pada passifisme terhadap realitas sosial,
karena laku utamanya adalah menyepi dan menyendiri demi mencapai puncak ilahiyah, bertemu
dengan Tuhan. Gerakan tasawuf awal lebih menekankan pada individualisme, sementara neo-
sufisme menekankan pada eksistensi masyarakat. Menurut Fazlur Rahman, karakter neo-sufisme
adalah puritan dan aktifisme.
Gerakan neo-sufisme merupakan gerakan kembali pada ortodoksi Islam dengan
menekankan rekonsiliasi antara aspek syari’ah dan tasawuf. Neo-sufisme dianggap sebagai
gerakan yang mampu membentuk karakteristik pemikiran masyarakat muslim di dunia Melayu-
Nusantara. Penyebaran pembaruan Islam lewat neo-sufisme pada akhirnya menghasilkan
intensifikasi Islamisme.
Tiga ulama yang menjadi mata rantai utama dari jaringan ulama di wilayah Melayu –
Indonesia adalah berawal dari al Raniri, al Sinkili berkembang di kesultanan Aceh dan al
Maqassari lahir di Sulawesi yang memulai karirnya di Banten Jawa Barat

a.      Nur al Din al Raniri (w. 1068/1658)


Nuruddin al-Raniry adalah ulama pembaru yang penting dalam sejarah melayu pada abad
ke-17. Kapan al Raniri tuk pertama kalinya mengadakan perjalanan ke Melayu Indonesia tidak
ada informasi. Tahun 1047/1637 al Raniri diangkat sebagai Syaikh al Islam kesultanan Aceh.
Setelah mendapatkan posisi ini al Raniri segera melancarkan pembaharuan di Aceh. Al Raniri
memandang bahwa Islam di wilayah ini telah dikacaukan oleh kesalahpahaman atas doktrin sufi.
Selama 7 tahun di Aceh al Raniri mencurahkan tenaganya sebagai alim, mufti, dan
penulis produktif untuk menentang doktrin wujudiyyah. Bahkan dia mengeluarkan fatwa yang
mengarah pada semacam pemburuan terhadap orang sesat, membunuh orang-orag yang yang
menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktik praktik sesat mereka, dan membakar
hingga jadi abu seluruh buku mereka. Al Raniri juga menghukum mati para pengikut Hamzah al
Fansuei dan Syam al Din
Adapun peran Al Raniri di dunia Islam Melayu Indonesia diantaranya:, al Ranini
merupakan suaru mata rantai sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah
dengan tradisi di Nusantara. Dia adalah penyebar pembaharua Islam. Al Raniri telah mendorong
jauh perkembangan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca di wilayah melayu Indonesia.

b.      ‘Abd al Ra’uf al Sinkili (1024-1105/ 1615-930)


Pembaharuan setelah al Raniri di Nusantara di lanjutkan oleh al Sinkili. Koneksi al
Sinkili dengan ulama Haramayn melebihi al Raniri. Adapun pembaharuan yang dilakukan al
Sinkili diantaranya: pertama, ulama Melayu indonesia yang menulis mengenai fiqh muamalat
(Mir’at al Thullab, kitab al Fara’id). Kedua, alim pertama yang bersedia mempersiapkan tafsir
lengkap al Qur’an dalam bahasa  Melayu (Tarjamun al Mustafid), dan karya ini menurut Riddell
dan Harun adalah terjemah dari kitab Tafsir Jallayn karya Jal al Din al Mahlli dan Jalal al Din al
Suyuthi. Ketiga, al Sinkili menorehkan penanya untuk menuliskan karyanya di bidang hadis.
Yaitu penafsiran hadist Arba’in dan yang kedua al Mawa’izh al Badi’ah sebuah koleksi hadis
qudsi.
Ciri dari ajarannya adalah neo sufisme. Karya menunjukkan bahwa tasawuf harus berjalan
sesuai dengan syariat. Adapun pendekatan yang dipakai al Sinkili dalam pembaharuan bergaya
evolusioner bukan radikal. Adapun jaringan Melayu Indonesia al Sinkili dibangun dari murid-
murid al Sinkili di Nusantara. Adapun tarekat yang paling utama adalah tarekat Syathariyyah –
tarekat yang diperbarui oleh al Qusyasyi dan al Syinnawi. Adapun murid-murid al Sinkili di
Sumatera yaitu Burhan al Din yang dikenal sebgai Tuanku Ulakan ( Minangkabau Sumatera
Barat). Tuanku Ulakan setelah belajar dengan al Sinkili kembali ke daerah Minang dan
mendiriakan ribat di sana.
Murid al Sinkili berikutnya adalah ‘Abd al Muhyi asal Jawa Barat. Peranan penting al
Muhyi salah satunya dalam mengubah kepercayaan masyarakat dari animisme kepada Islam dan
juga dalam penyebaran tarekat syatariyyah. Adapun murid al Sinkili di semenanjung Melayu
adalah ‘Abd al Malik b ‘Abd Allah. Beliau belajar dengan al Sinkili di Aceh kemudian
melanjutkan ke Haramayn. Beliau seorang penulis syariat dan fiqih dan juga aktif mengajar.
Perjuangan ulama mengubah kepercayaan masyarakat animisme ke islam sangat sesuai
teori E.B taylor yang skema teori nya Jiwa >> Mahluk Halus (Roh) >> Dewa-Dewa ( animism)
>> Satu Tuhan. Yang mana islam merupakan agama yang hanya menyembah satu tuhan. Jadi
bias dikatakan islam yang bersifat monoteisme merupakan evolusi tertinggi dari teori evolusi
religi E.B Taylor

c.       Muhammad Yusuf al Maqassari (1037-1111/ 1627-99)


Al Maqassari adalah seorang neo sufisme. Beliau sufi tapi taat syariat dan tidak
mengasingkan diri dari masyarakat. Teologi al Asy’ariyyah lah yang dipegang oleh al Maqassari.
Terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan al Maqassari membaginya kedalam 4 kelompok.
Pertama, orang yang hanya mengucapkan syahadat tapi tidak benar-benar berimana (munafiq).
Kedua, orang yang mengucapakan syahadat tetapi juga menanamkannya ke dalam jiwa (orang
awam). Ketiga, orang yang benar-benar paham akan implikasi lahir dan batin dari pernyataan
keimanannnya (orang-orang elit). Keempat, orang-orang dari golongan ketiga yang
mengintensifkan syahadah mereka dengan mengamalkan tasawuf (orang terpilih dari golongan
elite).
ketiga ulama di abad 17 al Raniri, al Sinkili, dan al Maqassari adalah para ulama
pembaharuan – tajdid-, dimana tema pokok pembaharuan mereka adalah kembali kepada
ortodoksi sunni dengan ciri paling menonjol adalah keselarasan antara syariat dan tasawuf.
Pembaharuan ini sebagai sespon internal terhadap kondisi-kondisi keagamaan yang marajalela
dikalangan kaum muslim sendiri. Tetapi sejak abad ke-18 faktor-faktor luar terutama penetrasi
colonial juga membantu akselerasi gerakan pembaharuan di Nusantara. Adapun ulama utama
Melayu Indnesia di abad 18 diantaranya adalah.
      Para ulama al Banjar dari Kalimantan
Tokoh ulama dari Banjar adalah Muhammad Asryad al Banjari. Ulama penting dalam
jaringan sekaligus pendiri pertama lembaga-lembaga Islam dan memperkenalkan gagasan-
gagasan keagamaan baru di Kalimantan. Muhammad Arsyad belajar bersama al Palimbani.
Diantara guru beliau yang terkenal adalah al Sammani, al Damanhuri, Sulayman al Kurdi.
Sehingga al Banjari menjadi ulama yang bertaggungjawab atas berkembangnya tarekat
Samaniyyah di Kalimantan.
Sekembalinya dari Haramayn, al Banjari mendirikan lembaga pendidikan Islam.,
memperbaharui admisistrasi keadilan di Kesultanan Banjar. Memperkenalkan jabatan mufti yang
bertanggungjawab dalam mengeluarkan fatwa-fatwa atas masalah agama. Ulama lainnya di
Kalimantan yang membawa peranan penting adalah Muhammad Nafis. Lahir dari keluarga
bangsawan yang kemudian belajar di Haramayn.
Proses yang dilakukan   Al banjari juga merupakan teori difusi yang bercirikan, adanya
individu tertentu yang membawa unsur kebudayaan ke tempat yang jauh. Yang mana beliau
Sekembalinya dari Haramayn Memperkenalkan jabatan mufti yang bertanggungjawab dalam
mengeluarkan fatwa-fatwa atas masalah agama yang merupakan kebudayaan masyarakat
haramayn

Anda mungkin juga menyukai