Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM

SISTEM PRODUKSI BERSIH

ACARA 3. KOMPOSTER

Kelompok 6 :

Herni Kusumawati 191710301005


Wahyuni Lisi S. 191710301013
Ravi Ainul Yaqin 191710301029
Muhammad Adam Syah 191710301031
Faireza Mawaddah 191710301033

Asisten Praktikum :

1. Ucik Nurul Hidayah


2. Fitrih IshabillaParameswari
3. Dewi Ayu Savitri
4. Shanya Widyan Firdaus

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sampah merupakan salah satu permasalahan yang serius di berbagai kota besar
di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia berbanding lurus dengan
sampah yang dihasilkan tiap harinya. Sampah adalah bahan yang tidak berguna, tidak
digunakan atau bahan yang terbuang sebagai sisa dari suatu proses. Sampah biasanya
berupa padatan atau setengah padatan yang dikenal dengan istilah sampah basah atau
sampah kering. Sampah berdasarkan kandungan zat kimia dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik pada
umumnya mengalami pembusukan, seperti daun, sisa makanan. Sedangkan sampah
anorganik pada umumnya tidak mengalami pembusukan, seperti plastik, logam
(Moerdjoko, 2002).
Kompos adalah pupuk alami (organik) yang terbuat dari bahan–bahan hijauan
dan bahan organik lain yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat proses
pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, bisa ditambahkan
pupuk pabrik, seperti urea. Sampah kota bisa juga digunakan sebagai kompos dengan
catatan bahwa sebelum diproses menjadi kompos sampah kota harus terlebih dahulu
dipilah-pilah, kompos yang rubbish harus dipisahkan terlebih dahulu. Secara alami
bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba
maupun biota tanah lainnya (Alex, 2012).
Salah satu teknologi tinggi yang digunakan dalam pembuatan komposter adalah
dengan penambahan larutan EM4 sehingga dapat mempercepat proses pengomposan.
Larutan EM4 merupakan bakteri fermentasi bahan organik tanah menyuburkan
tanaman dan menyehatkan tanah. Terbuat dari hasil seleksi alami mikroorganisme
fermentasi dan sintetik di dalam tanah yang dikemas dalam medium cair. EM4 dalam
kemasan berada dalam kondisi istirahat (dorman). EM4 akan aktif dan memfermentasi
bahan organik (sisa-sisa tanaman, pupuk hijau, pupuk kandang, dll), sewaktu
diinokulasikan dengan cara menyemprotkannya ke dalam bahan organik dan tanah atau
pada batang tanaman yang terdapat dalam tanah. Hasil fermentasi bahan organik
tersebut adalah berupa senyawa organik yang mudah diserap langsung oleh perakaran
tanaman misalnya gula, alkohol, asam amino, protein, karbohidrat, vitamin dan
senyawa organik lainnya. Dengan demikian maka perlu dilakukan suatu kegiatan
penanggulangan sebagai upaya pengurangan sampah dengan membuat pupuk kompos
menggunakan EM4 sebagai bahan pembantu untuk mempercepat proses pengomposan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakannya praktikum ini, antara lain:
1. Mengetahui cara pembuatan komposter dari sampah organik menggunakan EM4.
2. Mengetahui perubahan sampah organik menjadi komposter.
3. Mengetahui perbandingan berbagai jenis komposter dari sampah organik.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposter
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-
bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam
mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik.
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara
biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai
sumber energi. kompos dikatakan sudah matang apabila bahan berwarna coklat
kehitam-hitaman dan tidak berbau busuk, berstruktur remah dan gembur (bahan
menjadi rapuh dan lapuk, menyusut dan tidak menggumpal), mempunyai kandungan
C/N rasio rendah dibawah 20, tidak berbau (kalau berbau, baunya seperti tanah), suhu
ruangan kurang lebih 30ºC, kelembapan dibawah 40 % (Jusoh, 2013).
Pengomposan atau pembuatan pupuk organik merupakan suatu metode untuk
mengkonversikan bahan-bahan organik menjadi bahan yang lebih sederhana dengan
menggunakan aktivitas mikroba. Proses pembuatannya dapat dilakukan pada kondisi
aerob dan anaerob. Pengomposan aerob adalah dekomposisi bahan organik dengan
kehadiran oksigen (udara), produk utama dari metabolis biologi aerob adalah
karbodioksida, air dan panas. Pengomposan anaerob adalah dekomposisi bahan
organik tanpa menggunakan oksigen bebas; produk akhir metabolis anaerob adalah
metana, karbon dioksida dan senyawa tertentu seperti asam organik. Pada dasarnya
pembuatan pupuk organik padat maupun cair adalah dekomposisi dengan
memanfaatkan aktivitas mikroba, oleh karena itu kecepatan dekomposisi dan kualitas
kompos tergantung pada keadaan dan jenis mikroba yang aktif selama proses
pengomposan. Kondisi optimum bagi aktivitas mikroba perlu diperhatikan selama
proses pengomposan, misalnya aerasi, media tumbuh dan sumber makanan bagi
mikroba (Yuwono, 2006).
Metode komposter dengan penambahan bakteri (aktivator) Sampah merupakan
material sisa yang tidak diinginkan. 60%-70% sampah yang dihasilkan adalah sampah
organik/sampah basah (sampah rumah tangga, sampah dapur, sampah kebun, sampah
restoran/sisa makanan, sampah pasar dll). Salah satu solusi yang cukup tepat untuk
menangani masalah sampah organik adalah dengan menjadikannya kompos melalui
suatu alat yang disebut komposter. Pengomposan dengan teknologi komposter adalah
proses penguraian sampah organik secara aerob dengan menggunakan Sy-Dec mikroba
pengurai dan Organik Agent (bahan mineral organik). Metode pembuatan kompos
dengan Reaktor Kompos (Komposter) sederhana Sebenarnya reaktor ini bisa dibuat
dari apa saja. Salah satu contohnya adalah terbuat dari drum PVC. Hal yang paling
penting untuk diperhatikan adalah, reaktor ini harus memiliki sistem ventilasi yang
bagus. Reaksi pengomposan adalah memang jenis reaksi yang memerlukan udara. Jika
reaktor ini tidak memiliki sistem ventilasi yang baik, proses pembusukan yang terjadi
juga akan menghasilkan bau busuk akibat dari pembentukan amoniak dan H2S
(Yuwono, 2006).
Ukuran komposter dapat disesuaikan dengan skala limbah. Untuk skala limbah
keluarga kecil dapat menggunakan komposter berukuran 20-60 liter. Sementara itu,
untuk skala besar seperti limbah rumah makan bisa menggunakan komposter yang
berukuran 60 liter lebih. Komposter berfungsi dalam mengalirkan udara (aerasi),
memelihara kelembaban, serta temperature, sehingga bakteri dan jasad renik dapat
mengurai bahan organik secara optimal. Di samping itu, komposter memungkinkan
aliran lindi terpisah dari material padat dan membentuknya menjadi pupuk cair
(Hadisuwito, 2007).
2.2 Bahan yang Digunakan
2.2.1 Buah
Buah adalah bagian dari tanaman yang strukturnya mengelilingi biji dimana
struktur tersebut berasal dari indung telur atau sebagai fundamen (bagian) dari bunga
10 itu sendiri. Buah-buahan merupakan sumber vitamin (terutama vitamin C dan
Karotin atau provitamin A) dan mineral seperti zat kalsium, zat pospor dan lainnya
dalam jumlah kecil. Serat banyak terdapat pada buah-buahan di bagian kulitnya. Jadi,
bila buah yang dapat dimakan dengan kulitnya dianjurkan tidak perlu dikupas, hanya
dicuci sampai bersih.Setiap buah mempunyai kandungan vitamin dan mineral yang
berbeda. Minyalnya belimbing, durian, jambu, jeruk, mangga, melon, papaya,
rambutan, sawo, dan sirsak merupakan kebanyakan buah yang mengandung vitamin C
relatif tinggi dibandingkan buah lainnya. Sedangkan jambu biji, mangga matang,
pisang raja, dan nangka merupakan sumber provitamin A yang sangat tinggi (Astawan,
2008).
2.2.2 Sayur
Sayur-sayuran didefinisikan sebagai bagian dari tanaman yang umum dimakan
untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Tanaman sayuran adalah tanaman
budidaya yang terdiri dari tanaman sayuran buah, tanaman sayuran daun dan tanaman
sayuran umbi. Sayur-sayuran dapat dibedakan atas: daun (kangkung, katuk, sawi,
bayam, selada air, dll), bunga (kembang turi, brokoli, kembang kol, dll), buah (terong,
cabe, paprika, labu, ketimun, tomat, dll), biji muda (kapri muda, jagung muda, kacang
panjang, buncis, semi/baby corn, dll), batang muda (asparagus, rebung, jamur, dll),
akar (bit, lobak, wortel, rhadis, dll), serta sayuran umbi (kentang, bawang bombay,
bawang merah, dll) (Dirjen Hortikultura 2006).
Berdasarkan warnanya, sayur-sayuran dapat dibedakan atas: hijau tua (bayam,
kangkung, katuk, kelor, daun singkong, daun pepaya, dll), hijau muda (selada, seledri,
lettuce, dll), dan yang hampir tidak berwarna (kol, sawi putih, dll). Warna hijau
tersebut disebabkan oleh pigmen hijau yang disebut klorofil. Klorofil, yang terdiri
dari klorofil a dan klorofil b ini, tersimpan di dalam kloroplas. Sayur-sayuran daun
yang berwarna hijau tua, lebih banyak mengandung klorofil a, sebaliknya yang
berwarna hijau muda lebih banyak mengandung klorofil b. Di dalam kloroplas juga
terdapat pigmen lain, yaitu karoten. Semakin hijau warna daun, maka kandungan
karotennya akan semakin tinggi (Astawan, 2008).
Karoten dan vitamin C yang terdapat dalam sayur berperan penting sebagai
antioksidan untuk mengatasi serangan radikal bebas yang dapat menyebabkan
terjadinya kanker. Sayur juga mengandung serat pangan yang tinggi untuk mencegah
sembelit, diabetes mellitus, kanker kolon, tekanan darah tinggi, dan lain-lain Sayuran
mempunyai kadar air, vitamin, mineral dan serat yang tinggi, tetapi rendah dalam hal
energi, lemak, dan karbohidrat. Komposisi gizi tersebut menyebabkan sayur sangat
baik digunakan sebagai makanan penurun berat badan (Astawan, 2008).
2.2.3 EM4
Larutan effective microorganisms 4 yang disingkat EM4 ditemukan pertama
kali oleh Prof Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang. Larutan EM4 ini berisi
mikroorganisme fermentasi. Jumlah mikroorganisme fermentasi dalam EM4 sangat
banyak sekitar 80 genus. Mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara
efektif dalam memfermentasikan bahan organik. Dari sekian banyak mikroorganisme
ada lima golongan pokok yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomyces sp,
ragi (yeast), dan Actinomycetes (AgroMedia, 2007).
Effective Microorganism4 (EM4) dapat ditambahkan dalam pengomposan
sampah organik karena ia dapat mempercepat proses pengomposan. Effective
Microorganism4 (EM4) diaplikasikan sebagai inokulan untuk meningkatkan
keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman. Selain itu,
Effective Microorganism4 (EM4) dapat digunakan untuk mempercepat dekomposisi
sampah organik juga dapat meningkatkan pertumbuhan serta dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi tanaman (Indriani, 2007).
Dalam proses fermentasi bahan organik mikroorganisme akan bekerja dengan
baik bila kondisinya sesuai. Proses fermentasi akan berlangsung dalam kondisi
anaerob, pH rendah (3-4), kadar garam dan kadar gula tinggi, kandungan air sedang
30-40%, kandungan antioksidan dari tanaman rempah dan obat adanya
mikroorganisme fermentasi dan suhu sekitar 40-500C, selain berfungsi dalam proses
fermentasi dan dekomposisi bahan organik, EM4 juga mempunyai manfaat yang lain,
seperti :
1. Memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
2. Menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.
3. Menyehatkan tanaman, meningkatkan produksi tanaman dan menjaga kestabilan
produksi.
Selain mempercepat pengomposan EM4 dapat diberikan secara langsung untuk
menambah unsur hara tanah dengan cara disiramkan ke tanah, tanaman atau
disemprotkan ke daun tanaman. Kompos yang dihasilkan melalui fermentasi dengan
pemberian EM4 dinamakan “bokashi”, kata bokashi berasal dari Bahasa jepang yang
berarti bahan organik yang terfermentasi. Dibawah ini merupakan tabel komposisi dari
EM4.
Tabel 2.1 Komposisi EM4

No Jenis Mikroba dan Unsur Hara Nilai

1. Lactobacillus 8,7 x 105

2. Bakteri pelarut fosfat 7,5 x 106

3. Ragi/yeast 8,5 x 106

4. Actinomycetes +

5. Bakteri fotosintetik +

6. Ca (ppm) 1,675

7. Mg (ppm) 597

8. Fe (ppm) 5,54

9. Al (ppm) 0,1

10. Zn (ppm) 1,90

11. Cu (ppm) 0,01

12. Mn (ppm) 3,29

13. Na (ppm) 363

Sumber: Yuwono, 2006


2.2.4 Gula
Gula atau sukrosa adalah senyawa organik terutama golongan karbohidrat. Sukrosa
juga termasuk disakarida yang di dalamnya terdiri dari komponen-komponen D-
glukosa dan D-fruktosa. Rumus molekul sukrosa adalah C22H22O11 Gula dengan
berat molekul 342 g/mol dapat berupa kristal-kristal bebas air dengan berat jenis I,6
g/ml dan titik leleh 160°C. Sukrosa ini kristalnya berbentuk prisma monoklin dan
berwarna putih jernih. Wama tersebut sangat tergantung pada kemurniannya. Bentuk
kristal mumi dapat tahan lama bila disimpan dalam gudang yang baik.
Gula dalam bentuk larutan yang baik ketika masih berada dalam batang tebu
maupun ketika masih berada dalam larutan. Bentuk gula selama proses dalam pabrik
tak tahan lama dan akan cepat rusak karena terjadi hidrolisis/inversi/penguraian.
Inversi adalah peristiwa pecahnya sukrosa menjadi gula-gula reduksi (glukosa,
fruktosa,dan sebagainya) (Darwin, 2013). Adapun dibawah ini merupakan tabel
komposisi kimia pada gula pasir per 100 gram.
Tabel 2.2a komposisi gula per 100 gram

Komponen Komposisi

Vitamin A (SI) -

Vitamin B1 (mg) -

Vitamin C (mg) -

Karbohidrat (g) 94

Lemak (g) 0

Protein (g) 0

Air (%) 5,4

Kalori (Kal) 364

Besi (mg) 0,1

Klasium (mg) 5

Fosfor (mg) 1

Sumber: Darwin, 2013


2.2.5 Fermentasi Aerob dan Anaerob
Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat
organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin,
2010). Proses fermentasi dibutuhkan starter sebagai mikroba yang akan ditumbuhkan
dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi
fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi (Suprihatin, 2010).
Berdasarkan penggunaan oksigen, fermentasi dibagi menjadi dua jenis yaitu
(Suprihatin, 2010) :
1. Fermentasi anerob merupakan proses fermentasi yang apabila terdapat
oksigen bebas dalam reactor dapat menyebabkan proses fermentasi tidak
berjalan, oksigen yang dibutuhkan didapat dari persenyawaan. Pada
fermebtasi ini bakteri yang digunakan adalah bakteri Saccharomyces
cereviciae yang dapat hidup dengan atau tanpa oksigen
2. Fermentasi aerob merupakan fermentasi yang membutuhkan ketersediaan
oksigen bebas dalam reactor agar proses fermentasi berjalan dengan
optimal. Pada fermentasi ini jamur yang digunakan adalah jamur
Aspergillus Niger.
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Adapun alat yang dibutuhkan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Kaleng cat/ ember
2. Pipa paralon
3. Kain/ kasa
4. Seng
5. Kran
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang dibutuhkan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Sampah dapur
2. Sampah buah-buahan (dari los buah-buahan)
3. Sampah sayuran (dari los sayuran)
4. Em4
5. Air
6. Gula
3.2 Prosedur Kerja

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum komposter adalah


sebagai berikut :
a. Pembuatan Wadah Dekomposter
1. Menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan
2. Melubangi pipa paralon secukupnya (pipa paralon dibentuk T)
3. Melubangi seng secukupnya
4. Melubangi 7 cm dari bawah kaleng cat/ ember untuk memasang kran
5. Merakit wadah dekomposter sesuai dengan gambar
Gambar 3.1 Wadah Dekomposter
3.2.1 Diagram Alir

Bahan

Membuat Wadah Komposter

Mencacah Bahan

Meletakkan Bahan Sesuai Letak

Menyemprot Dengan Em4

Menutup Wadah Dan Pengamatan 7 Hari

3.2.2 Fungsi Perlakuan


Pada praktikum komposter perlu dipersiapkan alat dan bahan yang
diperlukan. Adapun alat-alat tersebut meliputi kaleng cat/ ember, pipa paralon,
kain/ kasa, seng, kran. Sedangkan bahan yang diperlukan adalah sampah dapur,
sampah buah-buahan (dari los buah-buahan), sampah sayuran (dari los sayuran),
Setiap alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini memiliki karakteristik dan
fungsinya masing-masing. Kaleng cat/ ember digunakan sebagai wadah
komposter, pipa paralon digunakan sebagai pembantu proses fermentasi semi
aerob, kain/ kasa digunakan sebagai penutup wadah komposter, seng digunakan
sebagai alas saringan air hasil komposter, kran digunakan sebagai alat untuk
mengeluarkan cairan hasil komposter. Sama seperti alat-alat praktikum ini, setiap
bahan yang digunakan memiliki karakteristik dan fungsinya masing-masing.
Sampah dapur, sampah buah-buahan (dari los buah-buahan) dan sampah sayuran
(dari los sayuran) digunakan sebagai bahan kompos, cairan EM4 dan gula sendiri
digunakan sebagai starter dalam penguraian kompos. Sebelum dilakukan
praktikum terlebih dahulu menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
Setelah menyiapkan alat dan bahan, pertama yang harus dilakukan adalah
pembuatan wadah dekomposter, dalam pembuatan wadah dekomposter harus
membuat bagian-bagian untuk merakit dekomposter tersebut, yang harus kita
lakukan/siapkan adalah pelubangan pipa paralon secukupnya (pipa paralon
dibentuk T), pelubangan seng secukupnya, ketinggian seng 7 cm dari permukaan
bawah wadah cat/ ember untuk memasang kran, setelah semua sudah siap
selanjutnya dilakukan perakitan wadah dekomposter. Pada wadah dekomposter
yang telah dibentuk, maka dilakukan pembuatan komposter. Pertama, dilakukan
pemilihan bahan untuk dijadikan komposter. Disini memilih los sayur sebagai
bahan kompos nantinya. Kemudian dilakukan pencacahan atau pengecilan ukuran
bahan agar mempermudah untuk meratakan pada tempat (atas seng) tersebut. Lalu
dilakukan pemasukan bahan kedalam wadah komposter dan bahan tersebut di
semprot menggunakan cairan EM4 yang telah ditambahkan gula dan air
(perbandingan 2 : 2 : 100). Langkah terakhir yaitu penutupan wadah menggunakan
kain juga penutupan pipa yang dipinggir menggunakan kain kasa untuk mencegah
benda lain masih didalamnya. Metode yang digunakan pada praktikum kali ini
juga menggunakan semi-fermentasi. Setelah tertutup, selanjutnya dilakukan
pendiaman selama 7 hari dan diamati setiap 24 jam pada perubahannya.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposter Buah
Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan
bantuan mikroorganisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob
(dengan udara) maupun anaerob/tanpa. Salah satu indikasinya terlihat dari kematangan
kompos yang meliputi karakteristik fisik (bau, warna, dan tekstur yang menyerupai
tanah, penyusutan berat mencapai 60%, pH netral, suhu stabil), perubahan kandungan
hara, dan tingkat fitotoksitas rendah udara (Eipstein, 1997 dalam Adi Budi Yulianto,
dkk., 2009).
Tabel 4.1. Hasil pengamatan komposter buah
Parameter Komposter Buah
Pengamatan
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7
Warna
++ + + ++ +++ ++++ ++++

Bau
+ ++ ++ +++ ++++ ++++ ++++

Tekstur
+++ +++ +++ ++++ ++++ ++++ ++++
Susut Bobot 2,7 cm 1,5 1 cm 0,8 cm 0,6 cm 0,5 cm 0,5 cm
cm
Keterangan
Warna Bau
+ : Cerah + : Tidak Strengh
++ : Sedikit Gelap ++ : Sedikit Strengh
+++ : Gelap +++ : Strengh
++++ : Sangat Gelap ++++ : Sangat Strengh
Tekstur
+ : Keras
++ : Sedikit Lembek
+++ : Lembek
++++ : Sangat Lembek

Menurut hasil pengamatan yang telah dilakukan dari praktek pembuatan kompos
didapatkan karakteristik fisik kompos yang terdiri dari :
a. Warna
Berdasarkan praktikum pembuatan komposter yang telah dilakukan selama
tujuh hari, dimana bahan yang digunakan yaitu berupa sampah buah yang diambil dari
sisa-sisa pembuangan penjual di pasar. Dan didapati hasil bahwa pada hari pertama,
kondisi warna yang dialami buah tersebut yaitu kuning pucat. Kemudian pada hari
kedua, kondisi warna pada buah yaitu putih. Setelah itu pada hari ketiga, kondisi warna
yang dialami kompos buah tersebut yaitu sama dengan hari yang kedua. Untuk hari ke
empat, kondisi warna pada kompos buah mengalami perubahan yaitu warnanya
menjadi pink pucat. Kemudian pada hari ke lima, kondisi kompos buah mengalami
perubahan lagi dibandingkan dengan hari keempat dimana warnanya menjadi ping
keunguan. Pada hari ke enam kondisi warnanya mengalami perubahan menjadi ungu.
Kemudian pada hari terakhir, kondisi warna yang dialami kompos buah yaitu
seluruhnya sudah ungu pekat.
Menurut Isroi (2008) menyatakan bahwa warna merupakan salah satu
parameter yang mudah untuk digunakan. Parameter ini digunakan untuk mengetahui
kualitas kompos yang dihasilkan karena hanya dengan melakukan pengamatan saja.
Menurut Riyo (2006), kompos yang telah matang akan berwarna kehitam-hitaman.
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa kompos dengan penambahan
Effetive Microorganism 4 (EM4) dan molase menghasilkan kompos yang berwarna
hitam. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Endah Sulistyawati, dkk
pada tahun 2008 di kota Bandung. Hasil pengukuran terhadap 4 sampel diperoleh hasil
bahwa kompos dengan penambahan EM4 berwarna hitam.
b. Bau
Berdasarkan praktikum pembuatan komposter yang telah dilakukan selama
tujuh hari, dimana bahan yang digunakan yaitu berupa sampah buah yang diambil dari
sisa-sisa pembuangan penjual di pasar. Dan didapati hasil bahwa pada hari pertama,
kondisi bau/aroma yang dihasilkan adalah beraoroma seperti bau fermentasi.
Kemudian untuk hari kedua, didapati hasil bau/aroma pada kompos buah yaitu masih
seperti hari pertama. Dan pada hari ketiga didapati hasil bahwa aroma/bau pada
kompos buah tersebut masih sama seperti hari pertama dan kedua. Kemudian pada hari
ke empat, dimana kondisi aroma/bau yang didapat yaitu sudah mulai berubah dan
beraroma kecut. Dan pada hari lima didapati hasil bahwa aroma/bau kompos buah
sudah busuk. Kemudian pada hari keenam dan ketujuh, didapati hasil bahwa aroma/bau
pada kompos sudah sepenuhnya busuk dan memiliki bau seperti buah busuk.
Menurut Isroi (2008), Kompos memiliki bau seperti tanah, karena materi yang
dikandungnya sudah memiliki unsur hara tanah dan warna kehitaman yang terbentuk
akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil. Sementara, tekstur kompos yang
halus terjadi akibat penguraian mikroorganisme yang hidup dalam proses
pengomposan. Kualitas fisik kompos yang dihasilkan memberikan gambaran
kemampuan masing-masing agen dekomposer dalam mendekomposisi materi organik
pada sampah.
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen.
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadinya peningkatan suhu yang akan
menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas, ukuran partikel bahan dan
kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka dapat terjadi
proses anaerob yang akan menghasilkan amonia yang berbau menyengat (Jeris and
Regan, 1993 dalam Adi Budi Yulianto, dkk., 2009:8-9).
Berdasarkan hasil pengamatan bau menunjukkan bahwa kompos dengan
penambahan Effetive Microorganism 4 (EM4) dan molase menghasilkan bau seperti
daun lapuk. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aminah Asngad dan
Suparti pada tahun 2005 di TPA Mojosongo Surakarta bahwa pupuk organik yang
dihasilkan menunjukkan berbau seperti daun lapuk. Hal ini terjadi karena terjadi proses
perombakan senyawa organik oleh dekomposer (EM4).
c. Tekstur
Berdasarkan praktikum pembuatan komposter yang telah dilakukan selama
tujuh hari, dimana bahan yang digunakan yaitu berupa sampah buah yang diambil dari
sisa-sisa pembuangan penjual di pasar. Dan didapati hasil bahwa pada hari pertama,
kondisi tekstur kompos buah yang dihasilkan yaitu sedikit lembek. Kemudian pada hari
kedua, kondisi tekstur kompos buah mengalami perubahan yaitu semakin lembek
dibandingkan dengan hari pertama. Pada hari ketiga, didapati hasil bahwa kondisi
tekstur kompos buahnya lembek. Pada hari keempat, didapati hasil bahwa kondisi
tekstur kompos buah yang dihasilkan juga sama yaitu lembek. Setelah itu, pada
pengamatan hari kelima, didapati hasil bahwa kondisi tekstur kompos buah yaitu
lembek. Kemudian pada hari keenam dan ketujuh didapati bahwa kondisi tekstur
kompos buah sangat lembek.
Tekstur merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai kualitas
kompos yang mudah untuk diamati. Menurut Riyo, (2006:35), kompos yang telah
matang teksturnya akan menyerupai tanah. Berdasarkan pengamatan yang telah
dilakukan diperoleh hasil bahwa kompos dengan penggunaan Effective Microorganism
4 (EM4) dan molase berwarna hitam, bertekstur halus dan barbau daun lapuk.
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa kompos dengan penambahan
Effetive Microorganism 4 (EM4) dan molase menghasilkan kompos yang bertekstur
halus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aminah Asngad dan
Suparti pada tahun 2005 di TPA Mojosongo Surakarta bahwa pupuk organik yang
dihasilkan menunjukkan bertekstur halus. Hal ini terjadi karena pada proses
dekomposisi sampah rumahtangga oleh EM4 yang sempurna.
d. Susut Bobot
Parameter terakhir yang diamati adalah susut bobot. Susut bobot yang
dihasilkan dari pengamatan komposter selama 7 hari. Pada hasil pengamatan didapati
hasil bahwa selama proses pengamatan komposter buang mengalami penyusutan. Hal
ini ditandai dengan adanya penurunan tinggi buah pada komposter. Mulanya tinggi
buah komposter 2,7 cm di hari pertama pada hari kedua menjadi 1,5 cm , hari ketiga
menjadi 1 cm, hari keempat menjadi 0,8 cm, hari kelima menjadi 0,6 cm, hari keenam
menjadi 0,5 cm dan hari ketujuh menjadi 0,5 cm.
Susut Bobot merupakan proses penurunan berat buah akibat proses respirasi,
transpirasi dan aktivitas bakteri. Respirasi yang terjadi pada komposter buah
merupakan proses biologis dimana oksigen diserap untuk membakar bahan-bahan
organik dalam buah untuk menghasilkan energi yang diikuti oleh pengeluaran sisa
pembakaran berupa gas karbondioksida dan air. Air dan gas yang dihasilkan, serta
energi berupa panas akan mengalami penguapan sehingga buah tersebut akan
menyusut beratnya (Yongki, 2014).
Dalam proses pengomposan, sampah organik secara alami akan mengalami
pembusukan atau penguraian oleh mikroba atau jasad renik seperti bakteri, jamur dan
sebagainya. Salah satu yang mempengaruhi penurunan susut bobot ini dengan adanya
penambahan bioaktivator EM4. Selain itu, Ukuran partikel sangat menentukan
besarnya ruang antar bahan (porositas). Pori yang cukup akan memungkinkan udara
dan air tersebar lebih merata dalam tumpukan. Semakin meningkatnya kontak antara
mikroba dengan bahan maka proses penguraian juga akan semakin cepat sehingga
susut bobt yang didapatkan semakin besar (Jeris and Regan, 1993 dalam Adi Budi
Yulianto, dkk., 2009:8).
Pengomposan sampah organik dapat terjadi secara alami akan tetapi waktu
yang diperlukan untuk menguraikan sampah tersebut cukup lama sehingga salah satu
cara untuk mempercepat waktu pengomposan dapat digunakan bioaktivator.
Bioaktivator yang digunakan adalah EM4.
Menurut Zulkarnain (2010), selama pematangan buah akan menjadi lunak dan
kadar bahan-bahan pektin meningkat. Hal ini dikarenakan pelarutan pektin
mempengaruhi sifat-sifat fisik dinding sel yang berdampak pada integrasi struktural
buah. Kondisi pelunakan ini juga terjadi karena adanya perombakan protopektin yang
tidak larut menjadi pektin yang larut. Jumlah zat-zat pektat selama pematangan buah
akan meningkat, kandungan pektat dan pektinat yang larut akan meningkat sehingga
ketegaran buah akan berkurang (Matto et al., 1989).
Penggunaan Effective Microorganism 4 (EM 4) dan molase ditujukan agar
dapat mempercepat pengomposan sampah tersebut karena pengomposan yang terjadi
secara alamiah tanpa penambahan mikroorganisme akan berlangsung lebih lama jika
dibandingkan dengan pengomposan dengan penambahan mikroorganisme. Menurut
Maman Suparman (1994) Effective Microorganism4 (EM 4) merupakan
mikroorganisme pengurai atau bakteri pengurai yang dapat menghilangkan bau,
meningkatkan kandungan mikroba dalam tanah, memperbaiki kualitas tanah, serta
dapat mempercepat pengomposan (pembusukan). Sedangkan molase itu sendiri adalah
sejenis sirup yang merupakan sisa dari proses pengkristalan gula pasir. Effective
Microorganism 4 (EM 4) digunakan sebagai inokulan sedangakan molase digunakan
sebagai bahan makanan tambahan bagi mikroorganisme.

4.2 Komposter Sayur


Parameter Komposter Sayuran
Pengamatan
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7

Warna
++ ++ +++ +++ ++++ ++++ ++++

Bau
++ +++ +++ ++++ ++++ ++++ ++++

Tekstur
++ ++ +++ ++++ ++++ ++++ ++++

Susut
Bobot 1,5 cm 0,5 cm 0,8 0,4 0,3 0,2 0,3

Keterangan
*Warna *Bau
+ : Cerah + : Tidak Strengh
++ : Sedikit Gelap ++ : Sedikit Strengh
+++ : Gelap +++ : Strengh
++++ : Sangat Gelap ++++ : Sangat Strengh
*Tekstur
+ : Keras
++ : Sedikit Lembek
+++ : Lembek
++++ : Sangat Lembek
Pada praktikum komposter sayur di dapatkan hasil dari pengapatan selama 7
hari berturut-tut dengan pengamatan warna. Warna pada proses pengomposan dari
sampah sayuran dengan penambahan EM4 sudah sesuai dengan standar yang sudah
ditetapkan yaitu SNI 19-7030-2004 yaitu kehitaman. Keadaan Hari pertama dan kedua
di dapatkan (++) warna yang sedikit cerah, di hari ke tiga dan ke empat di dapatkan
(+++) warna yang gelap selanjutnya di hari ke lima, ke enam dank e tujuhh didapatkan
(++++) warna yang sangat gelap. Hal tersebut sejalan dengan penelitian (Zuhrufah et.
al, 2015), didapatkan bahwa pembuatan pupuk organik dengan metode takakura
menggunakan penambahan bioaktivator EM4 didapatkan hasil pupuk berwarna sangat
hitam menyerupai tanah, berbau tanah dan memiliki tekstur remah serta halus.
Sedangkan pupuk organik tanpa penambahan bioaktivator EM4 didapatkan hasil
berwarna lebih coklat, berbau seperti tanah dan memiliki tekstur remah namun lebih
kasar. Kemudian pengamatan bau kompos dengan perlakuan awal pembuatan kompos
berbau sampah sayuran dan semakin lama akan berbau tanah. Keadaan hari pertama di
dapatkan (++) bau yang sedikit strength, di hari ke dua dan ke tiga di dapatkan (+++)
bau yang strength selanjutnya di hari ke empat sampai ke tujuh di dapatkan (++++) bau
yang sangat strength. Hal ini Bau pada proses pengomposan sudah sesuai dengan
standar yang sudah ditetapkan yaitu SNI 19-7030-2004.
Selanjutnya pengamatan pada tekstur kompos sampah sayuran tanpa atau
dengan penambahan EM4 pada awal pembuatan kompos memiliki tekstur sayuran dan
semakin lama akan memiliki seperti terkstur kasar dan menyerupai tanah. Keadaan hari
petama dan ke dua di dapatkan (++) tekstur yang sedikit lembek, di hari ke tiga di
dapatkan (+++) tekstur yang lembek dan di hari ke empat sampai di hari ke tujuh di
dapatkan (++++) tekstur yang sangat lembek. Tekstur pada proses pengomposan dari
sampah sayuran dengan penambahan EM4 sudah sesuai dengan standar yang sudah
ditetapkan yaitu SNI 19-7030-2004. Dan yang terakhir pengamatan pada susut bobot
diperoleh dengan mengurangkan bobot bahan kompos awal dengan bobot bahan
kompos akhir. Keadaan hari pertama di dapatkan susut bobot 1,5 cm , hari kedua di
dapatkan susut bobot 0,5, di hari ke tiga didapatakan susut bobot 0,8 , di hari ke empat
di dapatkan susut bobot 0,4, di hari ke lima dank e tuju di dapatkan susut bobot yang
sma yakni 0,3 dan yang terakhir susut bobot yang sangat redah di dapatkan pada
pengamatan hari ke enam. Hal ini disebabkan komposisi bahan sayur sangat
mempengaruhi proses pendegradasian bahan.
Perbedaan lama waktu pengomposan sampah sayuran tanpa atau dengan
penambahan EM4 yang terjadi disebabkan kandungan mikroorganisme yang terdapat
pada masing-masing komposter berbeda-beda. Mikroorganisme yang terdapat
didalamnya akan secara bertahap untuk mulai tumbuh dan beradaptasi secara alami
sehingga memerlukan waktu pengomposan yang cukup lama. Berbagai bahan organik
yang terdapat pada sayur proses pengomposan berlangsung lama. Semakin banyak
bahan organik yang akan diuraikan oleh mikroba maka aktivitas mikroba semakin
meningkat sehingga menimbulkan panas yang berlebihan, panas tersebut akan berubah
menjadi uap air. Uap air yang terbentuk tidak dapat terbebas ke udara karena komposter
dalam keadaan tertutup. Hal ini menyebabkan uap air yang terbentuk kembali lagi ke
tumpukan kompos, sehingga kompos menjadi basah dan kompos semakin lembab,
semakin tinggi kelembaban maka suplay oksigen akan berkurang sehingga
menurunkan aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan baku kompos,
sehingga proses pengomposan semakin lama. Kelembaban yang tinggi dapat diatasi
dengan pengadukan tapi ampas tahu memiliki sifat mudah dibasahi dan mudah
menyerap air sehingga air tetap terperangkap didalam komposter. Kelembaban menjadi
salah satu faktor penting pada proses pengomposan yang berperan dalam proses
metabolisme mikroorganisme dan secara tidak langsung terhadap suplai oksigen
dengan kadar optimal adalah 40% - 50%. Apabila kadar air melebihi 60% maka volume
udara berkurang, sehingga menimbulkan kondisi anaerob dan berpotensi menghasilkan
bau tidak sedap.
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Metode pembuatan kompos dengan Reaktor Kompos (Komposter) sederhana
Sebenarnya reaktor ini bisa dibuat dari apa saja. Salah satunya yaitu bisa terbuat
dari sampah yang disemprot dengan EM4 dapat digunakan untuk mempercepat
dekomposisi sampah organik juga dapat meningkatkan pertumbuhan serta
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi tanaman Selain itu EM 4
dapat ditambahkan dalam pengomposan sampah organik karena ia dapat
mempercepat proses pengomposan.
2. Perubahan sampah organik menjadi komposter ini dapat dilakukan karena
adanya proses fermentasi. Dalam proses fermentasi bahan organik
mikroorganisme akan bekerja dengan baik bila kondisinya sesuai. Proses
fermentasi akan berlangsung dalam kondisi anaerob, pH rendah (3-4), kadar
garam dan kadar gula tinggi, kandungan air sedang 30-40%, kandungan
antioksidan dari tanaman rempah dan obat adanya mikroorganisme fermentasi.
3. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian
secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan
organik sebagai sumber energi. kompos dikatakan sudah matang apabila bahan
berwarna coklat kehitam-hitaman dan tidak berbau busuk, berstruktur remah
dan gembur (bahan menjadi rapuh dan lapuk, menyusut dan tidak
menggumpal), mempunyai kandungan C/N rasio rendah dibawah 20, tidak
berbau (kalau berbau, baunya seperti tanah), suhu ruangan kurang lebih 30ºC,
kelembapan dibawah 40 %.
5.2 Saran
Adapun saran dari dilakukannya praktikum ini adalah diharapkan bagi
praktikan untuk lebih berhati hati dalam penggunaan alat yang digunakan agar tidak
terjadi hal hal yang diinginkan, lalu diharapkan praktikuk lebih teliti dan cermat dalam
melakukan pengamatan agar hasil yang didapatkan bisa maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Budi Yulianto, dkk., 2009, Buku Pedoman Pengolahan Sampah Terpadu:
Konversi Sampah Pasar Menjadi Kompos Berkualitas Tinggi, Jakarta: YDP.
Alex, S. (2012). Sukses dalam Mengolah Sampah Organik Menjadi kompos.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Astawan, Made. 2008. Sehat dengan hidangan hewani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Badan Standardisasi Nasional. (2004) Standar Nasional Indonesia 19-7030-2004
Spesifikasi Limbah Domestik.
Darwin, P. 2013. Menikmati Gula Tanpa Rasa Takut. Yogyakarta: Sinar Ilmu.
Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) Statistik Hortikultura Tahun 2005 (Angka
Tetap), Departemen Pertanian. Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi.
Surabaya: UNESA Pres
Hadisuwito, S., 2007, Membuat Pupuk Kompos Cair, PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
AgroMedia, Redaksi. 2007. Kunci Sukses Memperbanyak Tanaman. Jakarta
Selatan : Agromedia Pustaka.
Indriani. (2007). Pengertian dan pemanfaatan Effective Microorganisme (EM4).
Teknologi Fermentasi.
Jurnal Inovasi Pertanian 4, 116-123.
Jusoh, M. L., Manaf, L. A. & Latiff, P. A. (2013). Composting of rice straw with
Effective microorganism (EM) and it influence on compost quality. Iranian
Journal of Environmental Health Science & Engineering, 10-17.
Maman Suparman, 1994, EM4 Mikroorganisma Yang Efektif, Sukabumi: KTNA.
Matto, A. K., T. Murata, Er. B. Pantastico, K. Chachin, K. Ogata dan C. T Phan. 1989.
Perubahan-perubahan kimiawi selama pematangan dan penuaan, p. 160-197.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Moerdjoko S, Widyatmoko, 2002, Menghindari, mengolah dan menyingkirkan
sampah, Cet.1, PT. Dinastindo Adiperkasa Internasional, Jakarta.
Riyo Samekto, 2006, Pupuk Kompos, Yogyakarta: PT. Citra Aji Parama.
Yongki, A., Nurlina. 2014. Aplikasi Edible Coating Dari Pektinjeruk Songhi Pontianak
(Citrus Nobilis Var Microcarpa) Pada Penyimpanan Buah Tomat. JKK.
Volume 3(4). Halaman 11-20.
Yuwono, T. (2006). Kecepatan komposisi dan kualitas kompos sampah organik.
Zuhrufah, Izzati, M., & Haryanti, S. (2015) Pengaruh Pemupukan Organik Takakura
Dengan Penambahan EM4 Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Kacang Hijau (Phaeseolus radiatus L.). Jurnal Biologi, 4.
Zulkarnain, H. 2010. Dasar-dasar Hortikultura. Bumi Aksara. Jakarta. 336 hal.
Lampiran Gambar
Alat dan Bahan

Proses Pembuatan
Dokumentasi Pengamatan
Komposter Sayur

Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3

Hari ke 4 Hari ke 5 Hari ke 6

Hari ke 7
Komposter Buah

Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4


Hari ke 5 Hari ke 6 Hari ke 7

Anda mungkin juga menyukai