Anda di halaman 1dari 6

1.

Perbedaan antara uu 5 tahun 1986, uu 51 tahun 2009, dan uu 30 tahun 2014

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986

Secara umum bentuk peradilan dan proses beracara di Peradilan TUN mirip dengan di
AROB. Perbedaannya adalah jika dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara upaya keberatan tidaklah wajib sedangkan di Belanda wajib.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 kasasi diajukan ke Mahkamah Agung, sedangkan
di Belanda kasasi atas sengketa administrasi diajukan kepada Raad van State (Dewan
Pertimbangan Agung) bukan Hogeraad (Mahkamah Agung – kecuali untuk pajak)

Dahulu batasan Kompetensi Absolut Peradilan TUN di Indonesia berdasarkan Pasal 1 angka
9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 hanya dapat mengadili Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersifat konkret, individual, final, dan menimbulkan akibat hukum bagi orang atau
badan hukum perdata. Akan tetapi sejak satu dekade terakhir yakni sejak diundangkannya
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik terutama sejak
diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
membuat kompetensi absolut bagi Peradilan TUN meluas.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi


Pemerintahan, kompetensi Peradilan TUN telah mengalami perluasan pada beberapa undang-
undang berikut:

 -  Pasal 47 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi


Publik menyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili sengketa
Informasi publik jika Tergugatnya merupakan Badan Publik Negara, meskipun objek
sengketanya ternyata tidak memenuhi kriteria Keputusan TUN berdasarkan Pasal 1
angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (Keputusan bersifat konkret-individual-
final); dan
 -  Pasal 23 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara
berwenang mengadili sengketa pengadaan tanah meskipun objek sengketanya ternyata
bersifat plan (rencana) yang mengikat umum, dan bukan Keputusan TUN berdasarkan
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 yakni Keputusan bersifat
konkret- individual.
 -  Pasal 51 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik mengatur
sengketa TUN di bidang Pelayanan Publik oleh PTUN bahkan oleh pihak swasta
sekali pun.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi


Pemerintahan, kompetensi absolut Peradilan TUN pun mengalami perluasan pada
beberapa ketentuan berikut

Ketentuan Pasal 21 dengan kewenangan Permohonan Pengujian Unsur Penyalahgunaan


Wewenang (tidak berupa gugatan dan tidak ada Pihak Termohon)

Ketentuan Pasal 53 dengan kewenangan Permohonan Keputusan Fiktif Positif (berbeda


dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 yang mengatur gugatan Keputusan Fiktif
Negatif)

Ketentuan Pasal 1 angka 7 Jo. Pasal 87 dengan kewenangan Memperluas definisi


Keputusan TUN dari semula Keputusan Konkret, Individual, Final, Menimbulkan Akibat
hukum, menjadi cukup dengan unsur dalam Pasal 1 angka 7 yang berimplikasi semua
Keputusan yang bersifat Umum-Abstrak, Umum-Konkret, Individual-Abstrak, dan
Individual-Konkret menjadi Kewenangan Peradilan TUN sepanjang bukan Peraturan
Perundang-Undangan

Ketentuan Pasal 1 angka 8 Jo. Pasal 85 dengan kewenangan Gugatan atas Tindakan
Faktual (sehingga Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah / OOD yang semula
kewenangan Peradilan Umum dialihkan ke Peradilan TUN)
2. Jelaskan pemaknaan terkait ayat, angka dan huruf dalam undang – undang

 Pemaknaan ayat
1.    Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus
ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal,
ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.

2.    Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk Bab,
Bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan
lain-lainnya.

 
Pendapat Maria Farida mengenai ketentuan teknik penyusunan perubahan suatu peraturan
perundang-undangan tersebut juga sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Lampiran
II Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (“UU 12/2011”) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-
undang ini (Pasal 64 ayat [2] UU 12/2011)

 
Pada angka 234 Lampiran II UU 12/2011 disebutkan bahwa:

 
“Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab,
bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal
baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang
bersangkutan.”
 
Contoh teknik penyusunan perubahan peraturan perundang-undangan dalam hal
penyisipan Pasal yang terdapat dalam Lampiran II UU 12/2011:

 
Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
 
Pasal 128A
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan
hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk
dimusnahkan.
 
 
Contoh  Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:

 
“Pasal 6A
 
(1)  Subsidi energi ditetapkan sebesar Rp225.353.245.300.000,00 (dua ratus
dua puluh lima triliun tiga ratus lima puluh tiga miliar dua ratus empat
puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah).

(2)  Subsidi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a.    subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan


bakar gas cair (liquefied petroleum gas (LPG)) tabung 3 (tiga)
kilogram;

b.    subsidi listrik; dan

c.    cadangan risiko energi.”

  
 

3. Apa yang dimaksud dengan mandat, delegasi dan atribusi

Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang


kepada organ pemerintahan.
Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya.

Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangan dijalannya oleh


organ lain atas namanya.

secara atribusi bersifat asli berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain,
organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu
dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada.

Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari
pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada
pemberi delegasi, tetapi beralih pada penerima delegasi. 

Sementara pada mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi
mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil penerima mandat tetap berada pada
pemberi mandat.
 

Perbedaaan mandat dan delegasi

Bila mandat Prosedur Pelimpahan Dalam hubungan rutin atasan-bawahan: hal biasa kecuali
dilarang secara tegas lalu terkait  Tanggung jawab dan tanggung gugat Tetap pada pemberi
mandat kemudian Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi yaitu Setiap
saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.

Delegasi secara  Prosedur Pelimpahan Dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain:
dengan peraturan perundang-undangan.kemudian secara Tanggung jawab dan tanggung
gugat beralih kepada delegataris. Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi
Tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan
berpegang pada asas “contrarius actus”.
 

Anda mungkin juga menyukai