Anda di halaman 1dari 49

LANDASAN PENDIDIKAN LANJUT

PENDIDIKAN ANAK DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI, TEORI


BELAJAR, DAN TEORI KEPRIBADIAN

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. I Made Ardana, M.Pd

Kelompok 2

1. Fildza Rahmi (2123011001)


2. Ni Luh Putu Sinta Febrianti (2123011005)
3. Komang Hendri Nugraha Putra (2123011011)

PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA


PASCASARJANA
UIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmat-Nya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pendidikan Anak dalam Perspektif Psikologis, Teori Belajar dan Teori
Kepribadian” tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini penulis memperoleh banyak masukan dan


dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. I Made Ardana, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
Landasan Pendidikan Lanjut.
2. Rekan-rekan sejawat di Program Studi S2 Pendidikan Matematika.
3. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah
ini melalui ide-ide dan gagasan-gagasan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan memohon
maaf apabila dalam makalah terdapat hal yang kurang berkenan. Penulis juga
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun
demi perbaikan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, 12 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Pendidikan Anak dalam Perspektif Psikologi......................................3
2.1.1 Pendidikan Fisik – Biologis Anak.....................................................3
2.1.2 Pendidikan Psiko – Edukatif..............................................................3
2.1.3 Pendidikan Ruhaniah – Spiritual Anak..............................................4
2.1.4 Pendidikan Sosio – Kultural Anak.....................................................6
2.2 Teori-Teori Belajar.................................................................................9
2.2.1 Teori Belajar Behaviorisme...............................................................9
2.2.2 Teori Belajar Kognitif......................................................................15
2.2.3 Teori Belajar Humanisme................................................................17
2.2.4 Teori Belajar Konstrutivisme...........................................................19
2.3 Teori Kepribadian.................................................................................22
2.3.1 Pengertian Psikologi Kepribadian....................................................22
2.3.2 Teori dalam Psikologi Kepribadian.................................................23
2.3.2 Teori Kepribadian Manusia Menurut Para Ahli..............................35
BAB III PENUTUP..............................................................................................40
3.1 Kesimpulan..............................................................................................40
3.2 Saran........................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................42

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses tiada henti sejak manusia dilahirkan hingga


akhir hayat. Bahkan banyak pendapat mengatakan bahwa pendidikan sudah
dimulai sejak manusia masih berada dalam kandungan. Proses pendidikan tersebut
harus dialami dan dijalani oleh setiap manusia di setiap waktu. Menurut Undang-
Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1
Pasal 1 (1) pendidikan adalah: “usaha dasar dan terencana untk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.

Bertolak dari undang-undang Negara Republik Indonesia dan betapa


pentingnya makna pendidikan bagi bangsa dan negara, maka pendidikan harus
ditanamkan sejak dini baik disekolah maupun di luar sekolah. Pendidikan anak
perspektif psikologi untuk memahami dan menghadirkan suasana belajar yang
menyenangkan bagi peserta didik, dalam suasana ini anak bisa mendapatkan
nilai-nilai pendidikan dari apa yang ia lewati, dan menjadikan belajar cukup
menyenangkan.

Belajar merupakan suat proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu
untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap
menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu.
Belajar tidak hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang
disampaikan. Namun bagaimana melibatkan individu secara aktif membuat atau
pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang
bermanfaat bagi pribadinya.

Kegiatan pembelajaran harus berlandaskan pada teori-teori dan prinsip


prinsip belajar agar bisa mencapai tujuan dari kegiatan belajar tersebut. Teori

1
belajar menjelaskan bagaimana invididu belajar dengan maksud memperoleh
pengetahuan, keterampilan, pembentukan sikap, nilai dari suatu proses
pembelajaran. Teori-teori belajar dapat digunakan sebagai landasan untuk
menciptakan suatu proses atau kegiatan pembelajaran yang ingin dicapai oleh
seorang guru khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Dalam ilmu psikologi, pembentukan moral pada diri seseorang terjadi pada
masa usia dini rentang 0-8 tahun. Usia ini merupakan awal pertumbuhan dan
perkembangan, pendidikan yang diberikan pada usia ini merupakan masa emas
yang begitu berpengaruh terhadap perkembangan di masa mendatang. Pendidikan
di masa usia dini merupakan fondasi awal pembentukan kepribadian seorang
anak. Bagi seorang guru memiliki kepribadian yang baik juga merupakan hal yang
wajib. Maka sebagai calon pendidik haruslah mengetahui beberapa teori mengenai
kepribadian. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, pada makalah ini akan
dijabarkan lebih lanjut mengenai asumsi-asumsi psikologis dalam pendidikan
yaitu tentang pendidikan anak, teori-teori belajar, dan teori kepribadian.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka dapat


dirumuskan permasalahan:

1.2.1 Bagaimana pendidikan anak dalam perspektif psikologi?


1.2.2 Bagaimana teori-teori belajar dalam pendidikan?
1.2.3 Bagaimana teori kepribadian dalam psikologi pendidikan?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini yaitu:

1.3.1 Mengetahui pendidikan anak dalam perspektif psikologi.


1.3.2 Mengetahui teori-teori belajar dalam pendidikan.
1.3.3 Mengetahui teori kepribadian dalam psikologi pendidikan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Anak dalam Perspektif Psikologi

Dewi M. (2018) menjelaskan bahwa terdapat empat dimensi yang harus


terpenuhi dalam pendidikan anak yaitu dimensi fisik-biologis, dimensi mental
psikis, dimensi spiritual, dan dimensi sosio kultural.

2.1.1 Pendidikan Fisik – Biologis Anak

Kebutuhan jasmaniah merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang


bersifat instinktif dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan.
Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah peserta didik yang perlu mendapat perhatian dari
guru disekolah antara lain: makan, minum, pakaian, oksigen, istirahat, kesehatan
jasmani gerak-gerak jasmani serta terhindar dari berbagai ancaman. Apabila
kebutuhan-kebutuhan jasmani ini tidak terpenuhi, disamping dapat mempengaruhi
pembentukan pribadi dan perkembangan psikososial peserta didik juga akan
sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar disekolah.

Salah satu upaya orang tua atau guru dalam memberikan pemahaman
tentang pendidikan fisik yaitu dengan menanamkan kesadaran kepada peserta
didik untuk mengkonsumsi makanan-makanan yang mengandung gizi dan
vitamin tinggi, memberi kesempatan pada peserta didik untuk beristirahat,
memberikan pendidikan jasmani dan latihan-latihan fisik seperti olahraga dan
menyediakan berbagai sarana dilingkungan baik dirumah maupun sekolah agar
anak dapat bergerak bebas bermain, berolahraga, dan sebagainya (Desmita, 2012).

2.1.2 Pendidikan Psiko – Edukatif

Pengertian bimbingan psiko-edukatif sebagai integral dari pendidikan


adalah upaya menfasilitasi dan memandirikan peserta didik dalam rangka
tercapainya perkembangan yang utuh dan optimal. Adapun tujuan dari pendidikan
psiko-edukatif secara umum adalah untuk membantu peserta didik agar dapat

3
memenuhi tugas perkembangan yang mencakup aspek pribadi, sosial, dan belajar
secara utuh dan optimal. Hal ini sejalan dengan undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang system Pendidikan Nasional “apabila ada masalah yang
membutuhkan layanan kuratif dilakukan rujukan kepada konselor profesional
atau profesi lain.”
Kegiatan bimbingan psiko-edukatif diselenggarakan oleh guru kelas. Dan
layanan ini diselenggarakan didalam kelas dan diluar kelas. Pertama: bimbingan
psiko-edukatif didalam kelas yang di berikan kepada semua peserta didik dalam
bentuk tatap muka dan terintegrasikan dalam pembelajaran. Adapun materinya
meliputi aspek perkembangan pribadi, sosial dan belajar. Kedua: Bimbingan
psiko-edukatif diluar kelas meliputi: a) Bimbingan Individual, b) Bimbingan
Kelompok, c) Bimbingan Lintas Kelas, d) Konsultasi, e) Konferensi Kasus
f) Kunjungan Rumah dan sebagainya.

Tugas Guru dalam bimbingan psiko-edukatif diantaranya adalah


mengarahkan, mengendalikan, mendampingi, memotivasi, menampilkan diri
sebagai model, menghubungkan dan memberikan fasilitas. Dengan adanya
bimbingan psiko-edukatif diatas maka, segala permasalahan yang berkaitan
dengan pertumbuhan dan perkembangan, perbedaan individu dalam aspek
kecerdasan, kepribadian, bakat, minat, kondisi fisik, adat dan budaya akan
mendapatkan solusi terbaik.

2.1.3 Pendidikan Ruhaniah – Spiritual Anak

Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homo divinous


(makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga homo religius artinya
makhluk yang beragama. Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh
ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan
dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan
kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan (Jalaluddin, 1997).

Pendidikan spiritual merupakan dimensi non-material jiwa manusia yang pada


umumnya belum terasah. Itulah sebabnya potens kecerdasan spiritual akan
tampak ke permukaan kepribadian manusia dewasa jika sudah diupayakan dalam
proses pendidikan yang mengarah pada pengasahan, pembiasaan, pengenalan, dan

4
penguatan aktualisasinya dalam memahamkan segala gejala dan fenomena
kehidupan (Khalil, 2000). Untuk itu salah satu upaya yang harus dilakukan orang
tua atau pendidik terhadap pendidikan spiritual anak diantaranya sebagai berikut:

a. Penanaman Jiwa Agama Kepada Anak


Untuk mendapatkan sumber spiritualitas, Zakiyah Daradjat (2010)
mengatakan bahwa “pendidikan agama pada anak itu ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa
kecilnya dulu”.
Mulai usia 3-4 tahun anak-anak sering mengemukakan pertanyaan yang
ada hubunganya dengan agama, apa yang dipercayai anak, tergantung pada
apa yang diajarkan oleh orang tua atau guru kepadanya, karena anak pada usia
3-4 tahun tidak bisa berfikir secara logis, kepercayaan anak bisa bersifat
kontradiksi. Dengan demikian perhatian anak pada usia ini lebih tertuju pada
orang-orang dan pemuka agama dibandingkan isi ajaranya, sehingga
penanaman jiwa agama yang tepat untuk diterapkan pada anak pada usia ini
adalah dengan metode cerita seperti kisah-kisah Nabi dan sejenisnya, karena
itujauh lebih menarik baginya. Untuk itu salah satu upaya orang tua dalam
menanamkan pendidikan agama pada anaknya yaitu dengan melalui
pengalaman dan latihan sejak dini.
b. Melalui Ketauladanan Orang Tua atau Guru
Pengaruh yang kuat dalam pendidikan anak adalah teladan orang tua
karena dapat memberikan gambaran yang jelas untuk ditirukan. Oleh
karena itu, perlu disadari dan diperhatikan agar orang tua dapat memberikan
contoh yang baik dan benar. Zakiyah Dardjat berpendapat bahwa “orang tua
harus memberikan contoh dalam hidupnya (anak), misalnya biasa beribadah
shalat, dan berdoa kepada Tuhan. Disamping mengajak untuk meneladani
sikap tersebut”. Orang tualah cermin bagi anak-anak dan contoh yang paling
dekat untuk di tiru. Untuk itu sebagai orang tua harus memberikan tauladan
yang bersifat positif terhadap anaknya.
Mengajarkan dan melatih kegiatan-kegiatan yang mengandung nilai-nilai
spiritual kepada anak. Misalnya mengajarkan anak membaca Al-Qur’an,
shalat berjamaah, melatih anak untuk berpuasa, mengajarkan anak berbagi

5
terhadap sesama, bahkan memberikan kepercayaan kepada anak untuk
memimpin doa setelah shalat. Melalui keterlibatan anak dalam aktifitas
keagamaan akan membantu anak mengenal diri dan potensinya.

2.1.4 Pendidikan Sosio – Kultural Anak

Hurlock (2000) mengatakan bahwa “perkembangan sosial adalah


perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntunan sosial”.
Penyadaran kepada peserta didik bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk, multikultural, multiteknik multi religi merupakan sebuah keniscayaan
dan sangat essensial dalam pendidikan di tanah air. Hal ini akan memberikan
pengalaman anak tentang bagaimana hidup bersama dengan
orang/individu/kelompok yang berbeda. Ketika anak tidak terbiasa dengan
heterogenitas budaya, ia cenderung tertutup dan lebih suka berinteraksi dengan
sesama kelompoknya saja. Anak-anak ini dalam perkembanganya lebih suka
paradigma eksklusif dan cenderung menolak perbedaan yang ada (Vygotsky,
2007).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan nilai-


nilai sosio-kultural adalah penanaman proses penanaman cara hidup menghormati,
tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup ditengah-tengah
masyarakat plural. Adanya pendidikkan sosio kultural, pendidikan tidak sekedar
merekatkan kembali nilai-nilai persatuan, kesatuan dan berbangsa di era global
seperti saat ini, tetapi juga mencoba untuk mengenalkan anak tentang budaya
yang ada.

Adapun penerapan teori sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada


tiga jenis pendidikan yaitu:

a) Pendidikan Informal (Keluarga)


Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang utama dan pertama bagi
seorang anak. Sebelum ia berkenalan dengan dunia disekitarnya,
seorang anak akan berkenalan terlebih dahulu dengan situasi keluarga.
Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang
sangat besar bagi perkembangan anak untuk masa yang akan datang.

6
Keluarga sebagai pendidikan yang pertama dan utama bagi anak
(Ahmad, 2001). Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga,
dimana anak pertama kali melihat, memahami, mendapatkan
pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarga. Untuk itu sekalipun
orang tua telah memilih sekolah sebagai tempat pendidikan formal yang
terbaik untuk anak-anaknya, tapi pendidikan dikeluarga tetap tidak dapat
ditinggalkan. Karena anak merupakan produk keluarga dan akan membawa
image keluarga, maka pembentukan karakter serta pembinaan moral dan
iman tetap menjadi tanggung jawab orang tua, bukan dialihkan kepada
tanggung jawab sekolah (Suzie, 2012).
b) Pendidikan Non-formal
Pendidikan non formal berbasis budaya banyak bermunculan untuk
memberikan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku pada anak. Hal ini
sejalan dengan teori Vygotsky bahwa “orang dewasa yang sensitive
memperhatikan kesiapan anak untuk tantangan baru, dan mereka menyusun
kegiatan yang tepat untuk membangun anak-anak mengembangkan
keterampilan baru.” Dalam hal ini orang dewasa berperan sebagai
mentor dan guru, mengarahkan anak ke dalam zone of proximal
development orang tua dapat mendorong konsep angka secara sederhana
misalnya dengan menghitung biji-biji kakau dengan anak-anak atau
menakar beras yang hendak dimasak bersama. Saat anak berpartisipasi
pada pengalaman semacam itu sehari-hari dengan orang tua, guru dan
orang lain, mereka secara bertahap belajar praktek, keterampilan dan nilai-
nilai kebudayaan. Pendidikan ini diberikan dengan tujuan untuk membekali
anak hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.
c) Pendidikan Formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari
beberapa segi antara lain:
 Kurikulum
Sebagaimana pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai
Peraturan Menteri Undang-Undang Sisdiknas No. 24 Tahun. 2006
tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, tertera bahwa

7
“Pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan, keterampilan, nilai,
dan sikap kepada anak untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat
Indonesia maupun masyarakat Internasional”. Sejalan dengan
kurikulum diatas maka salah satu upaya pemerintah atau sekolah
menerapkan beberapa mata pelajaran yang telah ditetapan,
diantaranya: Pendidikan kewarganegaraan, Pengetahun Sosial,
Muatan Lokal, Kesenian, Olahraga dan sebagainya.
 Siswa/Peserta Didik
Menurut Havighurst yang dikutip oleh Desmita dalam bukunya
bahwa tugas perkembangan anak pada usia sekolah dasar meliputi:
menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan
aktifitas fisik, belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok, belajar
menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin, belajar
membaca, menulis dan berhitung agar agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat (Desmita, 2012). Juga mencatat bahwa anak-anak yang
popular adalah anak-anak yang dapat menjalin interaksi sosial dengan
mudah, memahami situasi sosial, memiliki keterampilan yang tinggi
dalam hubungan antar pribadi dan cenderung bertindak dengan cara-
cara kooperatif, prososial serta selaras dengan norma-norma
kelompok (Seifert, 1994).
 Guru
Didalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
pasal 10 menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi (Syaiful, 2009). Diantara sekian dari kompetensi
yang harus dicapai guru sebagai pendidik professional adalah
kompetensi sosial, dimana dalam upaya mencapai kompetensi tersebut,
guru dituntut untuk memberikan bantuan berupa mengajarkan
keterampilan fisik, melaksanakan pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaul dan bekerja dengan
teman sebaya, sehingga kepribadian sosialnya berkembang (Desmita,
2012).

8
Kompetensi sosial menurut Slamet PH sebagaimana dikutip oleh Syaiful
Sagala antara lain: Memiliki kemampuan memahami dan
menginternalisasikan perubahan lingkungan yang berpengaruh dengan
tugasnya dan mampu mendudukkan dirinya dalam system nilai yang berlaku
di masyarakat (Syaiful, 2009).

2.2 Teori-Teori Belajar

2.2.1 Teori Belajar Behaviorisme

Teori Behavioristik adalah teori yang mempelajari perilaku manusia.


Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah
laku manusia dan terjadi melalui rangsangan berdasarkan (stimulus) yang
menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) hukum-hukum mekanistik.
Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku
sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa diramalkan, dan bisa ditentukan. Menurut
teori ini, seseorang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah
mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan
tingkah laku tersebut dengan hadiah. Seseorang menghentikan suatu tingkah laku,
mungkin karena tingkah laku tersebut belum diberi hadiah atau telah mendapat
hukuman. Karena semua tingkah laku yang baik bermanfaat ataupun yang
merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari (Istikomah, 2016).

Teori behavioristik memandang, belajar adalah sebagai perubahan tingkah


laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata
lain belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon

Teori behaviorisme menekankan belajar merupakan interaksi antara


stimulus dan respon yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Stimulus
bentuknya bermacam-macam sedangkan respon adalah reaksi objektif dari
individu terhadap situasi sebagai perangsang.

9
Yaumi (2013) mengatakan, belajar menurut kaum behavioris menekankan
pada perubahan perilaku yang dapat diamati dari hasil timbal balik antara guru
sebagai pemberi stimulus dan murid sebagai perespon tindakan stimulus yang
diberikan.

Dalam hal ini konsep behavioristik memandang bahwa perilaku manusia


merupakan hasil belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan
mengkreasikan kondisi belajar Desmita (2012). Behaviorisme menginginkan
psikologi sebagai pengetahuan ilmiah, yang dapat diamati secara obyektif. Data
yang didapat dari observasi diri dan intropeksi diri dianggap tidak obyektif. Jika
ingin menelaah kejiwaan manusia, amatilah perilaku yang muncul, maka akan
memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya.

Tokoh-tokoh yang terkenal dalam teori ini meliputi: E.L.Thorndike,


I.P.Pavlov, B.F.Skinner, dan J.B.Watson :

a. Teori Belajar Thorndike (Conecsionisme)

Thorndike lahir 1874 di Williamsburg, Massachusetts, putra kedua


dari seorang pendeta Methodis. Ia dikenal rajin dalam melakukan riset
terbukti dalam autobioghrafinya dia melaporkan bahwa sampai usia 60
tahun dia menghabiskan 20 jam sehari untuk membaca dan mendalami buku
atau jurnal ilmiah. Namun, teorinya yang paling terkenal adalah
connectionism yaitu asosiasi antara kesan indrawi dan impuls dengan
tindakan sebagai ikatan/kaitan atau koneksi (Hergenhahn, 2010).

Menurut Thorndike, salah seorang pendiri aliran tingkah laku, teori


behavioristik dikaitkan dengan belajar adalah proses interaksi antara
stimulus yang berupa pikiran, perasaan, atau gerakan dan respons. Jelasnya
menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang
konkret dapat diamati atau yang non-konkret tidak bisa diamati. Meskipun
Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai tingkah
laku yang non-konkret pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi
semua penganut aliran tingkah laku, tetapi teori Thorndike telah
memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya.

10
Teori Thorndike disebut sebagai aliran koneksionisme
(connectionism). Prosedur eksperimennya ialah membuat setiap binatang
lepas dari kurungannya sampai ketempat makanan. Dalam hal ini apabila
binatang terkurung maka binatang itu sering melakukan bermacam-macam
kelakuan, seperti menggigit, menggosokkan badannya ke sisi-sisi kotak, dan
cepat atau lambat binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak
terbuka dan binatang itu lepas ke tempat makanan (Budi,2004).

Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus


dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut (Budi,2004):

- Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme


memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah
laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.
- Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah
laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin
kuat.
- Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus dan respon
cenderung diperkuat apabila jika berakibat menyenangkan dan
cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Berdasarkan hal diatas dijelaskan bahwa teori belajar behavioristic ini
khususnya menurut Thordike adalah perubahan tingkah laku melalui
stiumulus dan respon. Artinya, perubahan tingkah laku dibentuk sesuai
dengan keinginan lingkungan karena individu merespon sesuai dengan
stimulus yang diberikan. Selain itu, respon yang diberikan akan baik, jika
seseorang tersebut sudah siap dalam menerima stimulus, sehingga
menimbulkan kepuasan bagi diri individu itu sendiri. Untuk mendapatkan
hasil belajar yang baik berupa perubahan tingkah laku, maka seyogyanya
pemberian stimulus sering dilakukan berulang kali, agar respon yang
diberikan juga semakin baik.
b. Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning)

11
Bagi kalangan akademisi nama paplov sangat terkenal dengan
karyanya tentang pengkondisian klasik (classical conditioning) atau
substitusi stimulus. Menurutnya, tingkah laku merupakan rangkaian reflex
berkondisi, dengan kata lain reflex-repleks terjadi setelah adanya proses
kondisi.

Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik)


ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap hewan anjing, di mana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Dari contoh
tentang percobaan dengan hewan anjing bahwa dengan menerapkan strategi
Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara dengan mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan
respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya (Yudrik, 2013).

Dari eksperimen Pavlov, menurutnya respon dikontrol oleh pihak


luar; pihak inilah yang menentukan kapan dan apa yang akan diberikan
sebagai stimulus, sebagaimana dijelaskan Agus Suryanto tentang teori
Pavlov tersebut, beliau mengatakan semua harus berobjekkan kepada segala
yang tampak oleh indera, dari luar.

Peranan orang yang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan


respon perlu adanya suatu stimulus tertentu. Sedangkan mengenai penguat
menurut Pavlov bahwa stimulus yang tidak terkontrol (unconditioned
stimulus) mempunyai hubungan dengan penguatan. Stimulus itu sendirilah
yang menyebabkan adanya pengulangan tingkah laku dan berfungsi sebagai
penguat. Setelah respon berkondisi tercapai, apakah yang akan terjadi bila
stimulus berkondisi diulang atau diberikan kembali tanpa diikuti oleh
stimulus tidak berkondisi? Dalam hal ini akan terjadi pelenyapan atau
padam. Dengan kata lain pelenyapan adalah tidak terjadinya respon atau
menurunnya kekuatan respon pada saat diberikan kembali stimulus
berkondisi tanpa diikuti stimulus tak berkondisi setelah terjadinya respon.
Sedangkan penyembuhan spontan adalah tindakan atau usaha nyata untuk

12
menghalangi terjadinya pelenyapan. Satu diantaranya ialah melalui
rekondisioning atau mengkondisikan kembali melalui pemberian kedua
stimulus berkondisi secara berpasangan.

Dari peristiwa pengkondisian klasik ini, merupakan dasar bentuk


belajar yang sangat sederhana, sehingga banyak ahli kejiwaan menganggap
Pavlov sebagai titik permulaan tepat untuk penyelidikan belajar. Lalu
peristiwa kondisioning juga banyak terdapat pada diri manusia, misalnya
anda dapat menjadi terkondisi terhadap gambar makanan dalam berbagai
iklan yang menampilkan makanan malam dengan steak yang lezat, dapat
memicu respon air liur meskipun anda mungkin tidak lapar. Berdasarkan
percobaan yang dilakukan oleh Ivan Pavlov maka terlihat bahwa pentingnya
mengkondisi stimulus agar terjadi respon. Dengan demikian pengontrolan
stimulus jauh lebih penting dari pada pengontrolan respon. Konsep ini
megisyaratkan bahwa proses belajar lebih mengutamakan faktor lingkungan
(eksternal) daripada motivasi (internal).

c. Teori Belajar Burrhus Frederic Skinner (Operant Conditioning)

Berdasarkan hasil survey American Psychological Association


(1968) Skinner adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam psikologi
kontemporer yang telah memberikan kontribusi pada metodologi penelitian
psikologi terutama dalam menyempurnakan gagasan Ivan Pavlov.414 Karya
tulisnya yang paling terbaru berjudul About Behaviorism. Tema pokok yang
menghiasi karya-karyanya adalah bahwa penggunaan konsekuensi
menyenangkan maupun tidak menyenangkan untuk mengubah perilaku
yang disebut pengkondisian (operant conditioning) (Muhibbin, 2015).

Teori operant conditioning merupakan teori yang telah mencapai


tahap penyempurnaan dari sekian teori pada rumpun psikologi
Behaviorisme. Teori ini dirintis oleh Skinner hasil penelitiannya terhadap
tikus dan merpati yang ditempatkan dalam sebuah kotak hasil modifikasi
yang disebut kotak Skinner. Hasil eksperimennya membuahkan prinsip
pembelajaran terpenting yaitu perilaku berubah sesuai dengan konsekuensi
langsungnya. Dalam arti konsekuensi menyenangkan bisa memperkuat

13
menambah frekuensi suatu perilaku, sedangkan konsekuensi yang tidak
menyenangkan memperlemah bahkan akan menghilangkan frekuensi suatu
perilaku (Robert, 2011).

Menurut Skinner, dalam pengajaran pertama sekali dilakukan oleh


seorang guru adalah menentukan kerangka utama perilaku yang tepat dan
yang ingin dibentuk, perilaku itu didorong melalui petunjuk yang bersifat
intruksional, lalu perlahan dorongan itu dihilangkan (Margaret, 2011).

Sebagai contoh dalam pembelajaran di kelas, jika seorang guru ingin


mengajarkan hukum dalam ilmu tajwid yang baru, biasanya guru tersebut
memberikan contoh dalam bentuk sederhana, mengucapkan kata lalu siswa
diajak untuk mengulangi katakata itu. Penguatan diberikan pada awal untuk
pelafalan yang sudah mendekati lafal yang tepat. Kemudian penguatan
ditahan sebentar sampai pelafalan menjadi lebih baik sedikit. Guru
melanjutkan mendorong pelafalan kata yang lebih sulit dan memberi
penguatan untuk setiap perbaikan pengucapan. Dorongan itu kemudian
pelan-pelan ditarik. Pelajaran selesai ketika siswa dapat melafalkan kata-
kata tersebut dengan benar

d. Teori Belajar John B. Watson

Jhon B. Watson adalah seorang pendiri aliran psikologi


Behaviorisme. Lahir 09 Januari 1878 di Greenville Amerika Serikat.
bukunya paling berpengaruh adalah Pshychology as the Behaviorist Views it
1913.

Menurut Watson, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (S)


dan respon (R), namun S-R harus berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Tingkah laku adalah tindakan yang
dapat dilihat dan diamati dengan cara yang objektif. Belajar adalah proses
membentuk hubungan S-R, dan kekuatan hubungan S-R tergantung pada
frekuensi ulangan adanya SR. oleh sebab itu, diperlukan latihan (drill)
dalam pembelajaran (Ridwan,2013).

14
Sarbon (stimulus and response bond theoriy) adalah teori yang
memandang bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau
respons- respons bersyarat melalui stimulus. Menurut Watson manusia
dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional seperti
takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku tersebut terbentuk oleh adanya
hubungan antara stimulus dan respons baru melalui conditioning, sehingga
belajar dapat dipandang sebagai cara menanamkan sejumlah ikatan antara
perangsang dan reaksi dalam sistem susunan syaraf.

Teori belajar yang dikembangan Watson adalah Sarbon (stimulus


and response bond theoriy). Teori ini secara umum adalah sama dengan
teori Thorndike yaitu Connectionisme dan teori Pavlov Clasical
Conditioning, hal ini dikarenakan yang menjadi landasan dari teori
behaviorisme Watson adalah teori Thorndike dan Pavlov. Watson
menggunakan teori Clasical Conditioning Pavlov dalam hal interaksi antara
stimulus dan respons yang dilengkapi dengan komponen penguatan
(reinforcement) dari Thorndike (Udin, 2011).

2.2.2 Teori Belajar Kognitif

Teori kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan


hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian
dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut.
Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang
mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan
lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks. Dalam Nurhidayah (2021) dijabarkan beberapa teori belajar kognitif,
diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Teori Belajar Jean Piaget

15
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya
menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul
skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat
bergantung pada tahap sebelumnya. Tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut.

Tabel. Tahap Perkembangan Kognitif Piaget (diadaptasi dari Nurhidayah,

PERIODE
TAHAP CIRI POKOK
UMUR

Ciri pokok perkembangan berdasarkan


Sensori
0 s.d. 2 tahun tindakan, dan dilakukan selangkah demi
motorik
selangkah.

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini


Praoperasiona adalah penggunanaan simbol atau tanda
2 s.d. 7 tahun
l bahasa, dan mulai berkembangnya
konsep-konsep intuitif.

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini


adalah sudah mulai menggunakan
Operasional 7 s.d. 11 aturanaturan
Konkret tahun
yang jelas dan logis, dan ditandai

adanya re-versible dan kekekalan

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini


Operasional
adalah anak sudah mampu berpikir
Formal 11 tahun ke
abstrak dan logis dengan menggunakan
atas
.
pola berpikir kemungkinan

2021:103)

b. Teori Belajar Jerome S. Bruner

Bruner dalam memandang proses belajar, menekankan adanya


pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner dalam
teorinya free discovery learning, menyatakan bahwa proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

16
Model pemahaman dari konsep Bruner (1977) menjelaskan bahwa
pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan
mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda
pula. Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah
banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang
mengembangkan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif
sangat penting untuk mempelajari bidang sains, sebab setiap disiplin
mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami
sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah
memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif dan
akhirnya sampai pada suatu kesimpulan (discovery learning).

c. Teori Belajar Robert M. Gagne

Gagne dan Briggs (1979) menyatakan belajar merupakan kegiatan


yang kompleks. Seseorang dengan belajar akan memperoleh keterampilan,
pengetahuan, sikap, dan nilai. Semua ini merupakan tingkah laku sebagai
hasil belajar yang disebut dengan kapabilitas. Kapabilitas ini timbul
melalui stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang
dilakukan oleh orang yang belajar. Dengan demikian belajar dapat
diartikan sebagai proses kognitif yang mengubah sikap stimulasi
lingkungan melalui pengolahan informasi menjadi kapabilitas baru.

d. Teori Belajar David Ausubel


Belajar menurut Ausubel seharusnya merupakan asimilasi yang
bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan
dihubungkan dengan pengtahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk
strukur kognitif. Teori ini banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi
bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari
struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Hakikat belajar menurut teori
kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan
informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Dengan kata lain,
belajar merupakan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk
tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Dengan asumsi bahwa setiap

17
orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata
dalam bentuk struktur kognitif yang dimilkinya. Proses belajar dapat
berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
2.2.3 Teori Belajar Humanisme

Belajar menurut teori humanistik, menekankan pada isi dan proses yang
berorientasi pada peserta didik sebagai subjek belajar. Teori ini bertujuan
memanusiakan manusia, sehingga ia mampu mengaktualisasikan diri dalam hidup
dan penghidupannya. Dengan sifatnya yang deskriptif, seolah-olah teori ini
memberi arah proses belajar. Dalam Nurhidayah (2021) dijabarkan beberapa teori
belajar humanisme, diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Teori Belajar Benjamin S.Bloom dan Krathwohl

Belajar menurut Bloom dan Krathwohl merupakan proses


perkembangan kemampuan yang mencakup tiga ranah, yakni kognitif,
afektif, dan psikomotor. Selanjutnya Bloom dan Krathwohl menunjukkan
tentang kemampuan-kemampuan dasar dari tiga ranah tersebut yang lebih
dikenal dengan Taksonomi Bloom untuk dikembangkan dalam diri peserta
didik melalui proses pembelajaran

b. Teori Belajar Kolb

Kolb (1984) menyatakan belajar dapat dibagi menjadi empat tahap,


yaitu: (1) pengalaman konkret; (2) pengalaman kreatif dan reflektif; (3)
konseptualisasi; dan (4) eksperimentasi aktif. Tahapan ini terjadi secara
berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran peserta didik.
Berikut ini diuraikan tahapan belajar tersebut.

1)Tahap pengalaman konkret. Pada tahap ini peserta didik hanya sekedar
ikut mengalami suatu peristiwa, belum mengetahui hakikat peristiwa
itu, bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi.

18
2)Tahap pengamatan kreatif dan reflektif. Pada tahap ini peserta didik
lambat laun mampu mengadakan pengamatan secara aktif terhadap
suatu peristiwa dan mulai memikirkan untuk memahaminya.

3)Tahap konseptualisasi. Peserta didik mampu membuat abstraksi dan


generalisasi berdasarkan contoh-contoh peristiwa yang diamati.

4)Tahap eksperimen aktif. Dalam belajar peserta didik mampu


menerapkan suatu aturan umum pada situasi baru.

c. Teori Belajar Abrahan Maslow


Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki kodratnya sendiri
yang hakiki, suatu kerangka struktur psikologis yang dapat dipandang dan
dibicarakan secara analog dengan struktur fisiknya, yakni bahwa ia
memiliki kebutuhan- kebutuhan, kapasitas-kapasitas dan kecenderungan-
kecenderungan yang bersifat genetik, beberapa diantaranya merupakan
sifat-sifat khas dari seluruh spesies manusia, melintas semua batas
kebudayaan, dan beberapa lainnya adalah unik untuk masing-masing
individu. Kebutuhan-kebutuhan ini pada dasarnya baik atau netral dan
bukan jahat.
Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang bebas
dalam menentukan perkembangan dirinya menjadi manusia yang sehat
mental bila ia mendapat kesempatan, sehingga ia dapat berperilaku
optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Manusia dianggap
sebagai makhluk bermartabat dan bertanggung jawab yang memiliki
potensi-potensi yang perlu diusahakan pengaktualisasiannya. Tujuan
akhirnya adalah agar individu dapat mengembangkan kemanusiaannya
secara penuh. (Asrori, 2020:148)
Teori humanistik Abraham Maslow didasarkan pada asumsi bahwa
di dalam diri individu ada dua hal yaitu suatu usaha yang positif untuk
berkembang dan suatu kekuatan untuk menentang perkembangan itu,
sehingga dalam teorinya ia mengatakan bahwa individu berperilaku dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan yang besifat hierarkis yaitu mulai dari
paling dasar (fisiologis) hingga kebutuhan paling tinggi (aktualisasi diri).

19
d. Teori Belajar Carl Rogers

Dalam teori belajar Rogers membagi menjadi dua tipe yaitu


kognitif yang berarti kebermaknaan dan eksperimental yang berarti
pengalaman. Seorang pendidik atau guru memberikan makna kognitif
bahwa tidak membuang sampah sembarangan dapat mencegah terjadinya
banjir. Dalam hal ini, pendidik perlu menghubungkan pengetahuam
akademik ke dalam pengetahuan yang bermakna. Sementara
ekperimental learning mencoba melibatkan peserta didik secara
personal, berinisiatif, termasuk juga penilaiannya terhadap diri sendiri
(self-assessment). Teori belajar humanistik Rogers dalam bukunya
Freedom to Learn yaitu:

1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami, belajar


terjadi apabila materi pembelajaran dirasakan murid relevan dengan
hal-hal tersendiri.

2) Adanya perubahan belajar dalam hal dirinya sendiri yang mengancam


dan ditolak.

3) Belajar dengan penuh maknadiperoleh siswa dengan mengerjakannya.

4) Siswa dilibatkan diproses pembelajaran dan ikut dalam proses belajar


itu.

Menurut Rogers, pengetahuan diri sendiri dibentuk melalui


pengalaman. Rogers meyakini pengetahuan tentang diri sendiri dan
penghargaan terhadap diri sendiri dibentuk melalui berbagai macam
pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya sejak usia
dini.
2.2.4 Teori Belajar Konstrutivisme

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat


generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang

20
bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan
dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Dalam Nurhidayah (2021) dijelaskan beberapa teori belajar kontruktivisme, yaitu
sebagai berikut.

a. Teori Belajar Kontruktivisme Jean Pieget


Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989:
159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses
untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas
lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme
adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari
kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari
teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai
berikut:
1) Skemata. Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi
dengan lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah
memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema
(schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak
senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu
putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan
keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua.
Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak
terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki
dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang
dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses
asimilasi dan akomodasi.
2) Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke
dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi

21
dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang
telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan
perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
3) Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru
seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru
dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa
jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam
keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan
yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu.
4) Keseimbangan. Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak
seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat
membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamnya.
b. Teori Belajar Konstrutivisme Vigotsky

Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky


didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat
dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman
anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat
mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk
membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah,
dengan demikian perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem
komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk
menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.

22
Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama
teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas
berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa
dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan
strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah
pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding).
Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil
tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.

2.3 Teori Kepribadian

2.3.1 Pengertian Psikologi Kepribadian


Kata personality dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Yunani kuno
prosopon atau persona, yang artinya topeng yang biasa dipakai artis dalam
theater. Para artis itu bertingkah laku sesuai dengan ekspresi topeng yang
dipakainya, seolah-olah topeng itu mewakili ciri kepribadian tertentu. Jadi konsep
awal pengertian personality (pada masyarakat awam) adalah tingkah laku yang
ditampakkan ke lingkungan sosial; kesan mengenai diri yang diinginkan agar
dapat ditangkap oleh lingkungan sosial (Alwisol, 2007:08). Ada beberapa kata
atau istilah yang diperlakukan sebagai sinonim kata personality, namun ketika
istilah-istilah itu dipakai dalam teori kepribadian diberi makna berbeda-beda.
Istilah yang berdekatan maknanya antara lain:
a. Personality (kepribadian): penggambaran perilaku secara deskriptif tanpa
memberi nilai (devaluative).
b. Character (karakter): penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan
nilai (benar-salah, baik-buruk), baik secara ekspilit maupun implisit.
c. Disposition (watak): karakter yang telah dimiliki dan sampai sekarang
belum berubah.
d. Temperament (temperamen): kepribadian yang berkaitan erat dengan
determinan biologik atau fisiologik, disposisi hereditas.

23
e. Traits (sifat): respons yang senada (sama) terhadap kelompok stimuli yang
mirip, berlangsung dalam kurun waktu yang (relatif) lama.
f. Type-attribute (ciri): mirip dengan sifat, namun dalam kelompok stimulasi
yang lebih terbatas.
g. Habit (kebiasaan): respons yang sama cenderung berulang untuk stimulus
yang sama pula.
Menurut Alwisol (2007:9) ada lima sifat yang menjadi ciri definisi
kepribadian, yaitu:
a) Kerpribadian bersifat umum. Kepribadian menunjuk kepada sifat umum
seseorang yaitu pikiran, kegiatan, dan perasaan yang berpengaruh terhadap
keseluruhan tingkah lakunya.
b) Kepribadian bersifat khas. Kepribadian dipakai untuk menjelaskan sifat
individu yang membedakan dia dengan orang lain, semacam tanda tangan
atau sidik jari psikologik, bagaimana individu berbeda dengan yang lain.
c) Kepribadian berjangka lama. Kepribadian dipakai untuk menggambarkan
sifat individu yang awet, tidak mudah berubah sepanjang hayat. Kalau
terjadi perubahan biasanya bersifat bertahap atau akibat merespons suatu
kejadian yang luar biasa.
d) Kepribadian bersifat kesatuan. Kepribadian dipakai untuk memandang diri
sebagai unit tunggal, struktur atau organisasi internal hipotetik yang
membentuk suatu kesatuan.
e) Kepribadian bisa berfungsi baik atau buruk. Kepribadian adalah cara
bagaimana orang berada di dunia. Apakah dia tampil dalam tampilan yang
baik, kepribadiannya sehat dan kuat? Atau tampil sebagai burung yang
lumpuh? Yang berarti kepribadiannya menyimpang atau lemah? Ciri
kepribadian sering dipakai untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa
orang senang dan mengapa susah, berhasil atau gagal, berfungsi penuh
atau berfungsi sekedarnya.

2.3.2 Teori dalam Psikologi Kepribadian

2.3.2.1 Psikoanalisis Klasik (Sigmund Freud)


1. Struktur Kepribadian

24
Kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran yaitu: sadar, prasadar, dan
tak sadar. Pada tahun 1923 Freud mengenalkan tiga model structural yang lain
yakni: id, ego dan super-ego. Struktur baru ini tidak mengganti struktur lama
tetapi melengkapi atau menyempurnakan gambaran mental terutama dalam
fungsi dan tujuannya.
a. Sadar (Conscious)
Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang disadari pada saat
tertentu, penginderaan langsung, ingatan, persepsi, pemikiran, dan fantasi,
b. Prasadar (Preconscious)
Prasadar disebut juga ingatan yang sudah tersedia (available
memory), yakni tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan
tak sadar. Prasadar yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat
dipanggil ke alam sadar, kenangan-kenangan yang walaupun tidak anda
ingat waktu berpikir, tapi dapat dengan mudah dipanggil lagi.
c. Taksadar (Unconscious)
Taksadar adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran
dan menurut Freud merupakan bagian terpenting dari jiwa manusia.
Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam
bawah sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang
masuk ke situ karena kita tidak mampu menjangkaunya, seperti kenangan
atau emosi-emosi yang terkait dengan trauma (Alwisol, 2007:19)
Berikut tiga model structural yang lain dalam wilayah pikitan yaitu
sebagai berikut.
a) Id (das es)
Id (is dalam Bahasa Latin atau es dalam Bahasa Jerman) adalah
kepribadian yang dibawa sejak lahir. Dari id ini akan muncul ego dan
super-ego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologis yang
diturunkan, seperti insting, impuls, dan drive. Id berada dan beroperasi
dalam daerah unconscious, mewakili subjektifitas yang tidak pernah
disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk
mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem
dari struktur kepribadian lainnya.

25
Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle),
yaitu: berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit.
Pleasure principle diproses dengan dua cara, yakni tindak refleks (refllex
actions) dan proses primer (primary process).
 Tindak refleks adalah reaksi otomatis yang dibawa sejak lahir, seperti
mengejapkan mata, dipakai untuk menangani kepuasan rangsang
sederhana dan biasanya dapat segera dilakukan.
 Proses primer adalah reaksi membayangkan/mengkhayal sesuatu yang
dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan, dipakai untuk
menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar
membayangkan makanan atau puting ibunya.
Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan
khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan.
Id tidak mampu membedakan yang benar dan yang salah. Jadi harus
dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata, yang
memberikan kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya
masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan
ego.
b) Ego (das ich)
Ego (das ich dalam Bahasa Jerman]), ego berkembang dari id agar
orang mampu menangani realitas, sehingga ego beroperasi mengikuti
prinsip realita (reality principle). Usaha memperoleh kepuasan yang
dituntut id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda
kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata dapat memuaskan
kebutuhan. Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang
memiliki dua tugas utama, yaitu:
1. Memilih stimulasi mana yang hendak direspons dan atau insting
mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan; dan
2. Menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai
dengan tersedianya peluang yang risikonya minimal.

26
Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha
memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan
kebutuhan perkembangan, mencapai kesempurnaan dari super-ego.
c) Superego (das ueber ich)
Superego (das ueber ich dalam Bahasa Jerman) adalah kekuatan
moral dan etika dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip
idealistik (idealistic principle) sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan
prinsip realistik dari ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti ego
dia tidak mempunyai energi sendiri. Akan tetapi, superego berbeda dari
ego dalam satu hal penting yaitu superego tak punya kontak dengan dunia
luar sehingga tuntutan superego akan kesempurnaan pun menjadi tidak
realistic.
Prinsip idealistik mempunyai dua subprinsip, yakni conscience dan
ego-ideal. Freud tidak membedakan prinsip ini secara jelas tetapi secara
umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman mendapatkan
hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari kita tentang hal-
hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari
pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang tepat dan
mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan.
Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan,
menghukum dengan kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun
baru dalam pikiran. Paling tidak ada tiga fungsi dari superego, yaitu:
 Mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan-
tujuan moralistic;
 Memerintah impuls id, terutama impuls seksual dan agresif yang
bertentangan dengan standart nilai masyarakat; dan
 Mengejar kesempurnaan.

2. Perkembangan Kepribadian
Freud adalah teoritis pertama yang memusatkan perhatiannya kepada
kepribadian dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan awal-awal dalam
pembetukan karakter seseorang. Freud yakin dasar kepribadian sudah terbentuk

27
pada usia 5 tahun, dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5 tahun
sebagian besar hanya merupakan elaborasi dari struktur dasar tadi. Teknik
psikoanalisis mengekplorasi jiwa pasien antara lain dengan mengembalikan
mereka ke pengalaman masa kanak-kanak.
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tahapan, yakni
tahap infantile (0 s.d. 5 tahun), tahap laten (5 s.d. 12 tahun), dan tahap genital
(>12 tahun). Tahap infantile yang paling menentukan dalam pembentukan
kepribadian, terbagi dalam tiga fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis.
Perkembangan kepribadian ditentukan terutama oleh perkembangan seks, yang
terkait dengan perkembangan biologis, sehingga tahap ini disebut juga tahap
seksual infantile. Perkembangan insting seks berarti perubahan katektis seks,
dan perkembangan biologis menyiapkan bagian tubuh untuk dipilih menjadi
pusat kepuasan seksual. Tahap perkembangan psikoseksual yaitu sebagai
berikut.

a) Fase Oral (Usia 0 – 1 tahun)

Fase oral adalah fase perkembangan yang berlangsung pada tahun


pertama dari kehidupan individu. Pada fase ini, daerah erogen yang paling
penting dan peka adalah mulut, yakni berkaitan dengan pemuasan
kebutuhan dasar akan makanan atau air. Stimulasi atau perangsangan atas
mulut seperti mengisap, bagi bayi merupakan tingkah laku yang
menimbulkan kesenangan atau kepuasan.

b) Fase Anal (Usia 1 – 3 tahun)

Pada fase ini, fokus dari energi libidal dialihkan dari mulut ke
daerah dubur serta kesenangan atau kepuasan diperoleh dari kaitannya
dengan tindakan mempermainkan atau menahan feses (kotoran) pada fase
ini pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh
orang tuanya melalui toilet training, yakni latihan mengenai bagaimana dan
dimana seharusnya seorang anak membuang kotorannya.

c) Fase Falis (Usia 4 – 5 tahun)

28
Fase falis (phallic) ini berlangsung pada tahun keempat atau kelima,
yakni suatu fase ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur
ke daerah alat kelamin. Pada fase ini anak mulai tertarik kepada alat
kelaminnya sendiri, dan mempermainkannya dengan maksud memperoleh
kepuasan. Pada fase ini masturbasi menimbulkan kenikmatan yang besar.
Pada saat yang sama terjadi peningkatan gairah seksual anak kepada orang
tuanya yang mengawali berbagai pergantian kateksis obyek yang penting.
Perkembangan terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus
complex, yang diikuti fenomena castration anxiety (pada laki-laki) dan
penis envy (pada perempuan). Oedipus complex adalah kateksis obyek
seksual kepada orang tua yang berlawanan jenis serta permusuhan terhadap
orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya (ingin memiliki
perhatian lebih dari ibunya) dan menyingkirkan ayahnya, sebaliknya anak
perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya.

d) Tahap laten berlangsung dari usia 5, 6, atau 7 sampai dengan usia pubertas
(sekitar 12 tahun). Dalam tahap ini, Freud yakin bahwa rangsangan-
rangsangan seksual ditekan sedemikian rupa demi proses belajar.
e) Tahap genital dimulai pada saat usia pubertas.
Tahap ini dimulai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam
diri remaja. Sistem endokrin memproduksi hormon-hormon yang memicu
pertumbuhan tanda-tanda seksual sekunder (suara, rambut, buah dada, dll),
dan pertumbuhan tanda seksual primer. Pada fase ini kateksis genital
mempunyai sifat narkistik: individu mempunyai kepuasan dari
perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri, dan orang lain diingkan
hanya karena memberikan bentuk-bentuk tambahan dari kenikmatan
jasmaniah. Pada fase ini, impuls seks itu mulai disalurkan ke obyek diluar,
seperti: berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, menyiapkan karir, cinta
lain jenis, perkawinan dan keluarga.

2.3.2.2 Psikologi Individual (Alfred Adler)


1. Struktur Kepribadian

29
Manusia adalah mahluk sosial. Bahwa manusia merupakan suatu
keseluruhan yang tidak dapat terbagi-bagi, hal ini merupakan arti pertama dari
ucapan manusia adalah mahluk individual. Mahluk individual berarti mahluk
yang tidak dapat dibagi-bagi (in-dividere). Aristoteles berpendapat bahwa
manusia itu merupakan penjumlahan dari beberapa kemampuan tertentu yang
masing-masing bekerja sendiri, seperti:
a. kemampuan vegetatif, yakni makan, berkembang biak;
b. kemampuan sensitif, yakni bergerak mengamati-amati, bernafsu, dan
berperasaan; dan
c. berkemampuan intelektif, yakni berkemampuan dan berkecerdasan.
Segi utama lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa manusia secara
hakiki merupakan mahluk sosial. Sejak ia dilahirkan, ia membutuhkan
pergaulan dengan orang-orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
biologisnya, yaitu makan dan minuman.

2. Pokok-pokok Teori Adler


Adler memiliki sumbangan pemikiran yang besar yaitu penekanan
derteminan sosial dari tingkah laku, konsep tentang mengkreatifkan diri, dan
penekanan pada ciri khas dari masing-masing kepribadian. Adler
mengembangkan pokok-pokok pikirannya sehingga menjadi ciri khusus dari
pemikiran Adler yaitu:
a. Individualitas sebagai Pokok Bahasan
Adler memberi tekanan kepada pentingnya sifat khas (unik)
kepribadian, yaitu individualitas, kebetulan serta sifat-sifat pribadi
manusia. Adler (1946) menyatakan tiap orang adalah suatu kongfigurasi
motif-motif, sifat-sifat, serta nilai-nilai yang khas; tiap tindak yang
dilakukan oleh seseorang membawakan corak yang khas gaya
kehidupannya yang bersifat individual.
b. Pandangan Teleologis: Finalisme Semu

30
Vaihinger (2013) mengemukakan bahwa setiap manusia hidup dengan
berbagai macam cita-cita atau pikiran yang semata-mata bersifat
semu,yang tidak ada buktinya atau pasangannya yang realitas.
c. Dua Dorongan Pokok

Manusia di dalam dirinya terdapat dua dorongan pokok yang


mendorong serta melatarbelakangi segala tingkah lakunya, yaitu: (1)
dorongan kemasyarakatan yang mendorong manusia bertindak yang
mengabdi kepada masyarakat; dan (2) dorongan kelakuan, yang
mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada diri sendiri.
d. Rasa Rendah Diri dan Kompensasi

Adler (1946) berpendapat rasa rendah diri itu bukanlah suatu pertanda
ketidaknormalan; melainkan justru merupakan pendorong bagi segala
perbaikan dalam kehidupan manusia. Tentu saja dapat juga rasa rendah
diri itu berlebihan sehingga manifestasinya juga tidak normal, misalnya
timbulnya kompleks rendah diri atau kompleks untuk superior. tetapi
dalam keadaan normal rasa rendah diri itu merupakan pendorong ke arah
kemajuan atau kesempurnaan (superior).
e. Dorongan Kemasyarakatan

Dorongan kemasyarakatan itu adalah dasar yang dibawa sejak lahir;


pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial. Namun sebagaimana
kemungkinan bawaan, kemungkinan mengabdi kepada masyarakat itu
tidak nampak secara spontan, melainkan harus dibimbing atau dilatih.
Gambaran tentang manusia sempurna hidup dalam masyarakat sempurna
menggantikan gambaran manusia kuat, agresif, dan menguasai serta
memeras masyarakat. Dorongan untuk berkuasa, memainkan peranan
terpenting dalam perkembangan kepribadian (Adler, 1946).
f. Gaya Hidup

Gaya hidup ini adalah prinsip yang dipakai landasan untuk memahami
tingkah laku seseorang; inilah yang melatarbelakangi sifat khas seseorang.

31
Gaya hidup seseorang itu telah terbentuk antara umur tiga sampai lima
tahun, dan selanjutnya segala pengalaman dihadapi serta diasimilasikan
sesuai dengan gaya hidup yang khas itu.
g. Diri yang Kreatif

Diri yang kreatifitas adalah penggerak utama, pegangan filsafat, sebab


pertama bagi semua tingkah laku. Sukarnya menjelaskan soal ini ialah
karena orang tidak dapat menyaksikan secara langsung akan tetapi hanya
dapat menyaksikan lewat manifestasinya (Suryabrata, 1982:185-191).

3. Mengatasi Inferioritas dan Menjadi Superioritas


a. Dorongan Maju
Bagi Adler kehidupan manusia dimotivasi oleh atau dorongan utama
dorongan untuk mengatasi perasaan inferior dan menjadi superior
(Alwisol, 2007:80-84). Jadi tingkah laku ditentukan utamanya oleh
pandangan mengenai masa depan, tujuan, dan harapan kita. Didorong oleh
perasaan inferior, dan ditarik keinginan menjadi superior, maka orang
mencoba untuk hidup sesempurna mungkin. Inferiortas bagi Adler berarti
perasaan lemah dan tidak terampil dalam menghadapi tugas yang harus
diselesaikan. Bukan rendah diri terhadap orang lain dalam pengertian yang
umum, walakupun ada unsur membandingkan kemampuan khusus diri
dengan kemampuan orang lain yang lebih matang dan berpengalaman.
Superioritas, pengertiannya mirip dengan trandensi sebagai awal
realisasi diri dari Jung, atau aktualisasi dari Horney dan Maslow.
Superioritas bukan lebih baik dibanding orang lain atau mengalahkan
orang lain, tetapi berjuang menuju superioritas berarti terus menerus
berusaha menjadi lebih baik, menjadi semakin dekat dengan tujuan final.
Perasaan inferioritas ada pada semua orang, karena manusia mulai hidup
sebagai mahluk kecil dan lemah. Sepanjang hidup, perasaan iri terus
muncul ketika orang menghadapi tugas baru dan belum dikenal yang harus
diselesaikan. Banyak orang yang berjuang menjadi superioritas dengan
tidak memperhatikan orang lain.

32
Tujuannya bersifat pribadi, dan perjuangannya dimotivasi oleh
perasaan diri inferior yang berlebihan. Pembunuh, pencuri, pemain porno
adalah contoh ekstrim yang berjuang hanya untuk mencapai keuntungan
pribadi. Namun pada umumnya perbuatan atau perjuangan menjadi
superior sukar dibedakan, mana yang motivasinya untuk keuntungan
pribadi dan mana yang motivasinya minat sosial. Orang yang secara
psikologi sehat, mampu meninggalkan perjuangan menguntungkan diri
sendiri menjadi perjuangan yang termotivasi oleh minat sosial, perjuangan
untuk menyukseskan nilai-nilai kemanusiaan. Orang ini membantu orang
lain tanpa mengharap imbalan, melihat orang lain bukan sebagai
saingannya, tetapi sebagai rekan yang siap bekerja sama demi kepentingan
sosial.
b. Kesatuan (Unity) Kepribadian
Adler memilih psikologi individu dengan harapan dapat menekankan
keyakinanya bahwa setiap manusia itu unik dan tidak dapat dipecah-
pecahkan. Pikiran, perasaan, dan kegiatan semuanya diarahkan kesatu
tujuan tunggal dan mengejar satu tujuan.
c. Gaya Hidup
Smuts (2010) menyatakan jika ingin memahami orang lain, maka
harus memahami dia dalam kesatuan yang utuh, bukan dalam bentuk yang
terpisah-pisah, dan yang lebih penting lagi, orang harus memahaminya
sesuai konteks keadaan yang melatari orang tersebut, baik fisik maupun
sosial.
d. Kepentingan Sosial

Adler menganggap kepekaan sosial ini bukan sekedar bawaan sejak


lahir dan bukan pula diperoleh hanya dengan cara dipelajari, melainkan
gabungan keduanya. Kepekaan sosial didasarkan pada sifat-sifat bawaan
dan dikembangkan lebih lanjut agar tetap bertahan. Di lain pihak, bagi
Adler, tidak ada kesadaran sosial adalah sakit jiwa yang sesungguhnya.
Segala bentuk sakit jiwa-neurotik, psikotik, tindak kriminal, narkoba,
kenakalan remaja, bunuh diri, kemiskinan, dan prostitusi, adalah penyakit-
penyakit yang lahir akibat tidak adanya kesadaran sosial. Tujuan orang-

33
orang yang mengidap penyakit ini adalah superioritas personal,
keberhasilan dan kemenangan hanya berarti untuk mereka sendiri.

2.3.2.3 Psikologi Behaviorisme (Burrhus Frederic Skinner)


1. Struktur Kepribadian
Skinner menyatakan penyelidikan mengenai kepribadian hanya sah jika
memenuhi beberapa kriteria ilmiah. Skinner tidak menerima gagasan bahwa
kepribadian (personality) atau diri (self) yang membimbing atau mengarahkan
perilaku. Bagi Skinner, studi mengenai kepribadian ditujukan pada penemuan
pola yang khas dari kaitan antara tingkah organisme dan berbagai konsekuensi
yang diperkuatnya. Skinner menguraikan sejumlah teknik yang digunakan
untuk mengontrol perilaku. Kemudian banyak diantaranya dipelajari oleh
social learning theoritists yang tertarik dalam modeling dan modifikasi
perilaku.
Teknik tersebut adalah: (1) pengekangan fisik (physical restraints); (2)
bantuan fisik (physical aids); (3) mengubah kondisi stimulus (changing the
stimulus conditions); (4) manipulasi kondisi emosional (manipulating
emotional conditions); (5) melakukan respons-respons lain (performing
alternative responses); (6) menguatkan diri secara positif (positive self-
reinforcement); dan (7) menghukum diri sendiri (self-punishment) (Wulansari
dan Sujatno, 1997). Skinner membedakan perilaku terdiri atas: (1) perilaku
alami (innate behavior), atau disebut respondent behavior, yaitu perilaku yang
ditimbulkan oleh stimulus yang jelas; dan (2) perilaku operan (operant
behavior), yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang tidak jelas atau
tidak diketahui, tetapi semata-mata ditimbulkan organisme itu sendiri
(Wulansari dan Sujatno, 1997). Bagi Skinner, faktor motivasional dalam
tingkah laku bukan bagian elemen struktural.

Tingkah laku seseorang dalam situasi yang sama bisa berbeda-beda


kekuatan dan keseringan munculnya. Konsep motivasi yang menjelaskan
variabilitas tingkah laku dalam situasi yang konstan bukan fungsi dari keadaan
energi, tujuan, dan jenis penyebab. Konsep itu secara sederhana dijelaskan

34
melalui hubungan sekelompok respons dengan sekelompok kejadian.
Penjelasan mengenai motivasi ini juga berlaku untuk emosi.

2. Dinamika Kepribadian

a) Kepribadian dan Belajar

Hakikat teori Skinner adalah teori belajar, bagaimana individu menjadi


memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil, menjadi lebih tahu.
Skinner yakin bahwa kepribadian dapat dipahami dengan
mempertimbangkan tingkah laku dalam hubungannya yang terus menerus
dengan lingkungannya. Cara efektif mengubah dan mengontrol tingkah
laku adalah dengan melakukan penguatan (reinforcement), suatu strategi
kegiatan yang membuat tingkah laku tertentu berpeluang untuk terjadi atau
sebaliknya (berpeluang tidak terjadi) pada masa yang akan datang. Konsep
dasarnya yakni semua tingkah laku dapat dikontrol.

b) Tingkah Laku Kontrol Diri

Prinsip dasar pendekatan skinner adalah tingkah laku disebabkan dan


dipengaruhi oleh variabel eksternal. Tidak ada dalam diri manusia, tidak
ada bentuk kegiatan eksternal, yang mempengaruhi tingkah laku.
Pengertian kontrol diri ini bukan mengontrol kekuatan di dalam self, tetapi
bagaimana self mengontrol variabel-variabel luar yang menentukan
tingkah laku.

c) Stimulan Aversif

Stimulasi aversif adalah lawan dari stimulant penguatan, sesuatu yang


tidak menyenangkan atau bahkan menyakitkan. Perilaku yang diikuti oleh
stimulant aversif akan memperkecil kemungkinan diulanginya perilaku
tersebut pada masa-masa selanjutnya. Definisi ini sekaligus
menggambarkan bentuk pengkondisian yang dikenal dengan hukuman.

d) Kondisioning Klasik (Classical Conditioning)

35
Kondisioning klasik, disebut juga kondisioning responden karena
tingkah laku dipelajari dengan memanfaatkan hubungan stimulusrespons
yang bersifat refleks bawaan.
e) Kondisioning Operan (Operant Conditioning)
Reinforser tidak diasosiasikan dengan stimulus yang dikondisikan,
tetapi diasosiasikan dengan respons, karena respons itu sendiri beroperasi
memberi reinforcement. Skinner menyebut respons itu sebagai tingkah
laku operan (operant behavior). Tingkah laku responden adalah tingkah
laku otomatis atau refleks, yang dalam kondisioning klasik respons
diusahakan dapat dimunculkan dalam situasi yang lain dengan situasi
aslinya. Tingkah laku operan mungkin belum pernah dimiliki individu,
tetapi ketika orang melakukannya dia mendapat hadiah. Respons operan
itu mendapat reinforcement, sehingga berpeluang untuk lebih sering
terjadi. Kondisioning operan tidak tergantung pada tingkah laku otomatis
atau refleks, sehingga jauh lebih fleksibel dibanding kondisioning klasik.
Skinner dengan pandangannya yang radikal, banyak salah dimengerti
dan mendapat kritik yang tidak proporsional. Betapapun orang harus
mengakui bahwa teori behaviorisme paling berhasil dalam mendorong
penelitian di bidang psikologi dengan pendekatan teoritik lainnya. Lima
kritik terpenting terhadap Skinner adalah: (1) teori Skinner tidak
menghargai harkat manusia, manusia bukan mesin otomatis yang diatur
lingkungan semata, manusia bukan robot, tetapi organisme yang memiliki
kesadaran untuk bertingkah laku dengan bebas dan spontan; (2) gabungan
pendekatan nomoterik dan idiografik dalam penelitian dan pengembangan
teori banyak menimbulkan masalah metodologis; (3) pendekatan Skinner
dalam terapi tingkah laku secara umum dikritik hanya mengobati symptom
dan mengabaikan penyebab internal mental dan fisiologik; dan (4)
generalisasi dari tingkah laku merpati mematok makanan menjadi tingkah
laku manusia yang sangat kompleks, terlalu luas/jauh.
2.3.2 Teori Kepribadian Manusia Menurut Para Ahli

Kepribadian adalah cara setiap individu tampil dan menampilkan kesan


bagi individu-individu lainnya. Setiap manusia kepribadian yang berbeda

36
tergantung pada sifat-sifat yang dimilikinya. Hal yang perlu diingat bahwa tidak
ada yang namanya kepribadian terbaik dan terburuk. Semuanya memiliki
kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Berikut ini akan diuraikan macam-
macam kepribadian manusia menurut para ahli.

a. Kepribadian Manusia menurut Enneagram


Enneagram adalah salah satu jenis psikotes yang banyak digunakan.
Enneagram dikembangkan oleh Oscar Ichazo dan Claudio Naranjo pada tahun
1950-an. Berikut adalah sembilan kepribadian manusia menurut Enneagram.

1. Reformer (Perfeksionis)

Orang yang berkepribadian reformer memiliki sifat yang sangat rasional


dan sangat idealis. Sangat suka akan keteraturan dan cenderungtaat pada
aturan. Dia memiliki jiwa yang kuat untuk menentukan mana yang benar dan
mana yang salah. Dia sangat ingin merubah dan memperbaiki pola-pola yang
salah dalam orang lain. Terkadang bahkan terlalu kritis dan terlalu
perfeksionis. Biasanya bekerja dalam bidang pendidikan atau pemerintahan.

2. Giver / Helper (Penolong)

Orang yang berkepribadian giver memiliki sifat yang sangat peduli kepada
sesama, berhati lembut, tulus ikhlas, dan empati kepada orang lain. Dia rela
mengorbankan waktu bahkan hartanya untuk membantu orang lain. Biasanya
dia justru malu untuk mengatakan kebutuhannya atau meminta tolong kepada
orang lain meskipun sudah pernah ia tolong. Terkadang bahkan terlalu
sentimentil (membawa perasaan). Biasanya orang yang seperti ini datang dari
golongan mapan atau bahkan relawan.

3. Achiever / Motivator / Performer

Orang yang berkepribadian achiever selalu berorientasi pada prestasi.


Biasanya memiliki sifat energik, bersemangat, percaya diri, punya ambisi
untuk maju, dan memikirkan orang lain yang memikirkannya. Bahkan
terkadang gila kerja dan sangat pantang menyerah. Walaupun gagal, dia

37
mencobanya lagi dan lagi sampai berhasil. Biasanya orang yang
berkepribadian seperti ini cocok menjadi pengusaha atau atlet.

4. Romantic / Artist / Individualist

Orang yang berkepribadian romantic memiliki sifat sensitif, kreatif,


mampu mengekspresikan diri, penyendiri, dan memiliki jiwa seni yang tinggi.
Bahkan terkadang menjadi sangat penyendiri dan tertutup dengan siapapun.
Dia kurang nyaman saatu bertemu dengan orang lain. Orang yang bertipe
seperti ini biasanya cocok menjadi seniman.

5. Observer / Thinker / Investigator

Orang yang berkepribadian observer memiliki sifat sangat penasaran,


mampu berkonsentrasi bahkan dengan hal yang sangat rumit, memiliki cara
pandang yang berbeda, mandiri, inovatif, dan inventif (mampu menciptakan
sesuatu. Secara fisik, ia memiliki otak cerebral yang kuat. Dia bahkan
terkadang terlalu asik dengan konsep dan gagasannya sendiri juga seringkali
suka menyendiri. Orang yang berkepribadian seperti ini cocok menjadi
investigator (detektif) atau penemu.

6. Loyalist / Pessimist

Orang yang berkepribadian loyalist memiliki sifat sangat bertanggung


jawab, pekerja keras, lebih suka cari aman, kurang inovatif, kurang percaya
diri, tidak bisa mengambil keputusan, dan pesimis. Terkadang bahkan terlalu
pesimis dan takut akan perubahan. Orang seperti ini biasanya takut berinovasi
sehingga lebih cocok bekerja di sektor formal atau menjadi asisten.

7. Generalist / Optimist / Adventure

Orang yang berkepribadian generalist memiliki sifat bersemangat,terbuka,


suka kesibukan, berjiwa spontan, selalu optimis, sangat suka hal baru, dan
memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Namun ia terkadang kurang disiplin,
kurang bersabar, dan kurang fokus. Orang yang berkepribadian generalis

38
cocok menjadi petualang, fotografer, atau menjadi pembawa acara
petualangan.

8. Challenger / Leader / Boss / Protector / Intimidator

Orang yang berkrepribadian challenger memiliki sifat suka memimpin,


berani menghadapi tantangan, melindungi pengikutnya, suka memerintah,
bicara langsung ke inti, percaya diri, dan dominan. Terkadang dia bahkan
menjadi terlalu egois, terlalu mendominasi, merasa harus mengendalikan
semuanya, dan temperamen (mudah marah/emosi). Orang yang
berkepribadian challenger cocok menjadi pemimpin, manajer, atau perwira.

9. Peacemaker / Mediator / Accomodator


Orang yang berkepribadian peacemaker memiliki sifat suka melerai, suka
perdamaian, penyabar, menghindari konflik, tidak suka berselisih, bisa
mempercayai orang lain, easygoing, dan toleran. Orangnya juga cukup kreatif
dan optimis. Namun ia juga terkadang keras kepala.

b. Kepribadian Manusia menurut Carl Jung

Carl Jung adalah seorang dokter psikologi dari Swiss. Dia membedakan
kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu introvert, ambivert, dan ekstrovert.
Namun, diantara ketiga kepribadian tersebut, hanya dua yang populer yaitu
introvert dan ekstrovert. Di sini juga tidak ada kepribadian yang terbaik dan
terburuk. Berikut adalah kepribadian manusia menurut Carl Jung.

1. Introvert

Introvert adalah kepribadian yang cenderung berfokus pada dunia di dalam


pikiran manusia. Orang introvert hanya bersenang-senang dengan dunianya
sendiri dan tertutup dengan orang lain. Lebih suka berpikir kritis, namun tidak
pernah menyuarakan pikirannya tersebut. Sifat yang dimiliki kepribadian
introvert adalah penyendiri, pemalu, suka berpikir, lebih suka
bekerja/melakukan sesuatu sendirian, suka berimajinasi, susah bergaul, dan
jarang bercerita. Orang introvert lebih suka berinteraksi hanya dengan satu

39
orang. Ketika ada satu orang lagi datang, dia diam dan mereka berdua tetap
berbicara. Meski begitu, mereka biasanya sangat aktif di internet. Internet
seolah menjadi anugerah bagi introvert. Orang introvert biasanya akan
menjadi entrepreneur yang hebat atau bahkan bisa menjadi inovator.

2. Ambivert

Ambivert adalah kepribadian yang berada di antara introvert dan


ekstrovert. Maksudnya adalah, orang itu bisa menjadi ekstrovert dan bisa juga
berubah menjadi introvert. Sehingga orang tersebut lebih fleksibel dalam
beraktivitas jika kepribadiannya ini bisa ia kelola dengan baik. Dia juga
mampu berkomunikasi baik dengan orang introvert maupun ekstrovert. Ada
juga yang sering mengatakan bahwa orang ambivert adalah orang yang
memiliki kepribadian ganda.

3. Ekstrovert
Ekstrovert adalah kepribadian yang berfokus dengan dunia luar.
Kepribadian ini tentu berlawanan dengan introvert yang cenderung tertutup.
Orang berkepribadian ekstrovert sangat mudah berkomunikasi dengan orang
lain dan mudah pula untuk bergaul. Tindakannya lebih banyak daripada
berpikir. Dia juga lebih suka keramaian ketimbang tempat yang sunyi. Sifat
yang dimiliki antara lain aktif, percaya diri (bahkan berlebihan), suka bekerja
kelompok, supel (gampang bergaul), senang beraktivitas, lebih suka bercerita
daripada diceritakan, dan bertindak dulu baru berpikir.

c. Kepribadian Manusia menurut Hippocrate

Hippocrates adalah seorang filsuf Yunani Kuno. Dia membedakan


kepribadian menjadi empat yaitu sanguin, koleris, melankolis, dan plegmatis.
Pembedaan tersebut didasarkan pemikiran Hippocrates akan unsur. Dia
mengatakan bahwa alam semesta ini terdiri dari empat unsur dasar yaitu tanah,
air, udara, dan api dengan sifat kering, basah, dingin, dan panas. Tidak ada
kepribadian yang terbaik maupun terburuk. Berikut adalah penjelasan kepribadian
manusia menurut Hippocrates.

40
1. Sanguin

Sanguin adalah kepribadian manusia dengan sifat suka bicara, sangat


mudah bergaul, suka mengikuti tren, suka membesar-besarkan suatu hal,
suara/tawa yang kadang berlebihan, mudah mengikuti suatu kelompok, sering
terlambat, pelupa, sedikit kekanak-kanakan, egois, dan susah konsentrasi.
Biasanya orang yang bertipe sanguin akan terlihat mencolok dibandingkan
anggota kelompok yang lain, meskipun ia bukan pemimpin kelompok
tersebut.

2. Koleris

Koleris adalah kepribadian manusia dengan sifat suka memimpin,bisa


membuat keputusan, dinamis, berkemaian keras, keras kepala, tidak sabaran,
mudah emosi, suka pertentangan, bekerja keras, suka kebebasan, sulit
mengalah, suka memerintah, produktif, suka kerja efisien, dan memiliki visi
ke depan yang bagus. Orang yang berkepribadian koleris akan menjadi
pemimpin dalam kelompoknya. Jika misalnya dalam kelompok tersebut sudah
ada pemimpin, maka ia akan berani menentang pemimpin tersebut atau pergi
membuat kelompok baru.

3. Melankolis

Melankolis ialah kepribadian manusia dengan sifat analitis, sensitif,mau


mengorbankan diri, pendendam, selalu melihat masalah dari sisi negatif,
kurang bisa bersosialisasi, tidak suka perhatian, hemat, perfeksionis, artistik,
serius, sangat memperhatikan orang lain, kurang mampu menyatakan
pendapat, dan fokus pada cara dibandingkan tujuan. Internet ialah anugerah
baginya, karena dari sanalah ia bisa mengatakan semua hal secara bebas
(meski kadang kelewatan). Biasanya orang-orang seperti ini akan menjadi
entrepreneur yang hebat.

4. Plegmatis

41
Plegmatis adalah kepribadian manusia dengan sifat mudah
bergaul,penyabar, selalu berusaha mencari jalan pintas, simpatik, sangat suka
keteraturan, memiliki selera humor yang tinggi namun sarkatik (bersifat
mengejek/ menyinggung), kurang antusias pada hal baru, suka menunda, tidak
suka dipaksa, lebih suka menonton daripada ikut terlibat, dan keras kepala.
Orang dengan kepribadian seperti ini seringkali disalahartikan sebagai
psikopat.

42
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konsepsi pendidikan anak dalam perspekstif psikologi memiliki empat


dimensi utama yaitu, fisik, psikis, spiritual, dan sosio-kultural. Ada beberapa teori
belajar yang telah dijabarkan diatas, yaitu teori belajar behavioristik, kognitif,
humanistic, dan kontruktivis. Menurut teori behavioristik, belajar merupakan
proses respons adanya stimulus/rangsangan yang mendorong adanya perubahan
perilaku. Ada beberapa ahli terkenal yang mengemukakan mengenai teori ini
diantaranya Thorndike, Ivan Pavlov, Skinner, dan John B. Watson. Pada teori
belajar kognitif, belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan,
pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar
merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Beberapa ahli yang mengemukakan teori ini adalah Jean Piaget, Bruner, Robert
M. Gagne, dan David Ausubel. Teori selanjutnya yaitu Teori belajar humanisme,
belajar menekankan pada isi dan proses yang berorientasi pada peserta didik
sebagai subjek belajar. Teori ini bertujuan memanusiakan manusia, sehingga ia
mampu mengaktualisasikan diri dalam hidup dan penghidupannya. Asli yang
mengemukakan teori belajar ini diantaranya Benjamin S.Bloom, Kolb, Abraham
Maslow, dan Carl Rogers. Teori belajar yang terakhir yaitu teori belajar
kontruktivisme mengemukakan bahwa kontruktivisme lebih memahami belajar
sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Bebarapa
ahli yang mengemukakan teori ini adalah Jean Piaget dan Vigotsky.

Kepribadian adalah pola khas dari pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang
membedakan orang satu dengan yang lain dan tidak berubah lintas waktu dan
situasi. Teori kepribadian dalam psikologi pendidikan terdiri dari Psikoanalisis
Klasik (Sigmund Freud), Psikologi Individual (Alfred Adler), dan Psikologi
Behaviorisme (Burrhus Frederic Skinner). Terdapat beberapa teori kepribadian
manusia menurut para ahli yaitu menut Enneagram yang terdiri dari perfeksionis,

43
penolong, performer, individualist, investigator, loyalist, adventure, challenger,
dan mediator. Menurut Carl Jung membedakan kepribadian manusia menjadi tiga,
yaitu introvert, ambivert, dan ekstrovert. Selain itu menurut Hippocrate
membedakan kepribadian menjadi empat yaitu sanguin, koleris, melankolis, dan
plegmatis.
3.2 Saran

Penulis tentunya menyadari jika makalah di atas masih terdapat banyak


kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawablan. Oleh karena itu, penulis sangan mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca.

44
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Pesrpektif Islam (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001)

Asrori. 2020. Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner. Banyumas: CV.


Pena Persada

B.R. Hergenhahn, Teori Belajar, ed. Tri Wibowo B.S (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010)

Budi Haryanto, Psikologi Pendidikan Dan Pengenalan Teori-Teori Belajar


(Sidoarjo: Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 2004)

Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Elizabeth Hurlock. 2000. Child Development (Terj. Med Meitasari Tjandrasa).


New York: Mc Graw Hill
Istikomah Eni Fariyatul Fahyuni, Psikologi Belajar & Mengajar (Sidoarjo, 2016)

Jalaludin. 1997. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Khalil A., Khavari. 2000. Spiritual Intelligence: Practical Guide to Personal


Happines. New Liskeard: White Mountain Publications.
L. S. Vygotsky, DevelopmentofChildernandTheProcessofLearning, Cambridge.
MA: Harvard University Press, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

Muhammad Yaumi, Prinsip-Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta (Jakarta: Fajar


Interpratama Mandiri, 2013)

Nurhidayah. 2017. Psikologi Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Seifert K.L. & Hofnungm RJ., Child and Adolescent Development, (Boston:
Houghton Mifflin Company, 1994)

Suralaga, Fadhilah. 2021. Psikologi Pendidikan Implikasi dalam Pembelajaran.


Depok: Rajawali Pres

45
Suzie The Trainer, PAUD (Panduan Praktis Pendidikan Anak Usia Dini), (Jakarta:
PT. Elex Media KomputindoKelompok Gramedia, 2012)

Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan,


(Bandung: Alfabeta, 2009)

Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Kencana Prenamadia Group,


2013)

Zakiyah, Daradjat. 2010. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

46

Anda mungkin juga menyukai