Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Tn. B DENGAN BATU STAGHORN

DI RUANG 17 RSUD Dr. SAIFUL

ANWAR MALANG

OLEH :

NING SRI

RAHAYU

201610461011005

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

MALANG 2016
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini dibuat


dalam rangka Praktek Profesi Ners Universitas Muhammadiyah
Malang di ruang 17 RSUD Dr. Saiful Anwar mulai tanggal 26 – 31
Desember 2016.

Malang, Desember 2016

Ning Sri Rahayu

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing


Klinik (RS)

(..........................................)
(..........................................)
LAPORAN PENDAHULUAN

BATU STAGHORN

I. DEFINSI
Batu staghorn adalah batu ginjal yang bercabang yang
menempati lebih dari satu collecting system, yaitu batu pielum
yang berekstensi ke satu atau lebih kaliks. Istilah batu cetak/
staghorn parsial digunakan jika batu menempati sebagian
cabang collecting system, sedangkan istilah batu cetak/staghorn
komplit digunakan batu jika menempati seluruh collecting
system (Wein, et
al, 2007).
Menurut Fabiansyah, et al (2012), batu ginjal terbentuk
pada tubuli ginjal di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan
bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang
mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan
gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu
staghorn atau batu cetak ginjal.
Batu saluran kemih merupakan proses terbentuknya batu
yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat
dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor
lain yang mempengaruhi daya larut substansi (Smeltzer & Bare,
2002). Berdasarkan lokasi, batu saluran kemih dapat dibagi
menjadi batu saluran kemih bagian atas yaitu batu berada dalam
ginjal atau ureter, dan batu saluran kemih bagian bawah yaitu
batu berada dalam kandung kemih dan uretra. Pada umumnya
batu saluran kemih bagian atas ini merupakan batu ginjal
(Bahdarsyam, 2003).
II. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya batu cetak ginjal secara teoritis batu
dapat terjadi atau terbentuk diseluruh saluran kemih terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran
urin (statis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli.
Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretro-pelvis),
divertikel, obstruksi intravesika kronik, seperti hipertrofi prostat
benigna, strikture, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-
keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu
(Wein, et al, 2007). Namun ada beberapa pendapat lain yang
membedakan faktor penyebab terjadinya batu ginjal melalui
beberapa teori:
1) Teori nukleasi
Menurut teori ini, batu saluran kemih berasal dari kristal atau
benda asing yang terdapat dalam supersaturasi urine. Tahap
terjadinya batu adalah berawal dari adanya inti batu
kemudian tumbuh karena dipengaruhi oleh substansi-
subtansi lain yaitu matriks protein, kristal, benda asing dan
partikel lainnya selanjutnya batu tersebut beragregasi.
2) Teori matriks
Menurut teori ini, batu saluran kemih terdiri dari komponen
matriks yang berasal dari protein (albumin, globulin dan
mukoprotein) dengan sedikit hexose dan hexosamine yang
merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal
batu.
3) Teori inhibitor kristal
Menurut teori ini, diduga batu saluran kemih terjadi akibat
tidak ada atau berkurangnya faktor inhibitor (penghambat)
batu seperti magnesium, sitrat, pyrophosfat, asam
glikoprotein. Selain ketiga teori tersebut ada faktor lain yang
mempengaruhinya yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi terjadinya batu ginjal
adalah adanya infeksi, statis urin, periode mobilisasi
(lambatnya drainase renal dan gangguan metabolisme
kalsium), hiperkalsemia dan hiperkalsiuria
(penyebabnya: hiperparatiroid, asidosis
tubulus renal, intake vitamin D yang berlebihan, intake susu
dan alkali yang berlebih, inflamasi usus, penggunaan obat
dalam jangka waktu lama). Faktor eksternal
yang mempengaruhi adalah keadaan sosial ekonomi yang
mayoritas di daerah industri, pola diet, jenis pekerjaan
dengan aktivitas fisik yang minimal, iklim yang cenderung
panas, riwayat keluarga (Tim perawat bedah RSCM, 2008).

III. FAKTOR RESIKO


Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya BSK pada seseorang. Faktor-faktor
tersebut adalah faktor intrinsik, yaitu keadaan yang berasal dari
tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu pengaruh yang
berasal dari lingkungan disekitarnya (Bahdarsyam, 2003).
a. Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam
individu sendiri. Termasuk faktor intrinsik adalah umur,
jenis
kelamin, keturunan, riwayat keluarga.
1) Umur
Umur terbanyak penderita BSK di negara-negara Barat
adalah 20-50 tahun, sedangkan di Indonesia terdapat
pada golongan umur 30-60 tahun. Penyebab pastinya
belum diketahui, kemungkinan disebabkan karena adanya
perbedaan faktor sosial ekonomi, budaya, dan diet.2
Berdasarkan penelitian Latvan, dkk (2005) di RS.Sedney
Australia, proporsi BSK 69% pada kelompok umur 20-49
tahun. Menurut Basuki (2011), penyakit BSK paling sering
didapatkan pada usia 30-50 tahun.3
2) Jenis kelamin
Kejadian BSK berbeda antara laki-laki dan wanita.
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan. Tingginya
kejadian BSK pada laki-laki disebabkan oleh anatomis
saluran kemih pada laki-laki yang lebih panjang
dibandingkan perempuan, secara alamiah didalam air
kemih laki-laki kadar kalsium lebih tinggi dibandingkan
perempuan, dan pada air kemih perempuan kadar
sitrat (inhibitor) lebih tinggi, laki-laki
memiliki hormon testosterone yang dapat meningkatkan
produksi oksalat endogen di hati, serta danya hormon
estrogen pada perempuan yang mampu mencegah
agregasi garam kalsium. 3 Insiden BSK di Australia
pada tahun 2005 pada laki-laki 100-300 per 100.000
populasi
sedangkan pada perempuan 50-100 per 100.000
populasi.7
3) Heriditer/ Keturunan
Faktor keturunan dianggap mempunyai peranan dalam
terjadinya penyakit BSK. Walaupun demikian, bagaimana
peranan faktor keturunan tersebut sampai sekarang
belum diketahui secara jelas. Berdasarkan penelitian
Latvan, dkk (2005) di RS. Sedney Australia berdasarkan
keturunan proporsi BSK pada laki-laki 16,8% dan pada
perempuan 22,7%.7
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari
lingkungan luar individu seperti geografi, iklim, serta gaya
hidup seseorang.
1) Geografi
Prevalensi BSK banyak diderita oleh masyarakat yang
tinggal di daerah pegunungan. Hal tersebut disebabkan
oleh sumber air bersih yang dikonsumsi oleh
masyarakat dimana sumber air bersih tersebut banyak
mengandung mineral seperti phospor, kalsium,
magnesium, dan sebagainya. Letak geografi
menyebabkan perbedaan insiden BSK di suatu tempat
dengan tempat lainnya. Faktor geografi mewakili salah
satu aspek lingkungan dan sosial budaya seperti
kebiasaan makanannya, temperatur, dan kelembaban
udara yang dapat menjadi predoposisi kejadian BSK.
2) Faktor Iklim dan Cuaca
Faktor iklim dan cuaca tidak berpengaruh langsung,
namun kejadiannya banyak ditemukan di daerah yang
bersuhu tinggi. Temperatur yang tinggi akan
meningkatkan jumlah keringat dan meningkatkan
konsentrasi air kemih. Konsentrasi air kemih yang
meningkat dapat menyebabkan pembentukan kristal air
kemih. Pada orang yang mempunyai kadar asam urat
tinggi akan lebih berisiko menderita penyakit BSK.
3) Jumlah air yag diminum
Dua faktor yang berhubungan dengan kejadian BSK
adalah jumlah air yang diminum dan kandungan mineral
yang terdapat dalam air minum tersebut. Bila jumlah air
yang diminum sedikit maka akan meningkatkan
konsentrasi air kemih, sehingga mempermudah
pembentukan BSK
4) Diet/Pola makan
Diperkirakan diet sebagai faktor penyebab terbesar
terjadinya BSK. Misalnya saja diet tinggi purine,
kebutuhan akan protein dalam tubuh normalnya adalah
600 mg/kg BB, dan apabila berlebihan maka akan
meningkatkan risiko terbentuknya BSK. Hal tersebut
diakibatkan, protein yang tinggi terutama protein hewani
dapat menurunkan kadar sitrat air kemih, akibatnya
kadar asam urat dalam darah akan naik, konsumsi
protein hewani yang tinggi juga dapat meningkatkan
kadar kolesterol dan memicu terjadinya hipertensi.
5) Jenis Pekerjaan
Kejadian BSK lebih banyak terjadi pada orang-orang yang
banyak duduk dalam melakukan pekerjaannya.
6) Kebiasaan Menahan Buang Air Kemih
Kebiasaan menahan buang air kemih akan
menimbulakan statis air kemih yang dapat berakibat
timbulnya Infeksi
Saluran Kemih (ISK). ISK yang disebabkan oleh kuman
pemecah urea dapat menyebabkan terbentuknya jenis
batu struvit

IV. MANIFESTASI KLINIS


Tanda dan gejala dari batu cetak ginjal ini tergantung pada
posisi atau letak batu, besarnya batu, dan penyulit yang telah
terjadi ( Tim perawat bedah RSCM, 2008).
a. Nyeri. Rasa nyerinya berbeda beda ditentukan oleh lokasi
batu. Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua macam nyeri
yaitu nyeri kolik dan nonkolik. Nyeri kolik (hilang timbul)
disebabkan oleh stretching sistem collecting atau
peregangan sistem pengumpul dan nyeri nonkolik
disebabkan oleh peregangan kapsul ginjal. Nyeri pada pelvis
renalis akan menyebabkan nyeri berat pada punggung
bagian bawah tepat di iga ke-2. Nyerinya akan menjalar ke
perut bagian bawah. Rasa nyeri itu akan bertambah hebat
apabila batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi.
Pada bagian ureter bagian distal (bawah) akan
menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria atau labia
mayora pada wanita. Apabila batu terdapat dalam bladder,
akan menyebabkan gejala iritasi dan bila bersamaan dengan
infeksi akan menyebabkan hematuria. Jika batu
mengobstruksi bladder neck, maka akan terjadi retensi urin.
b. Kristaluria, urin yang keluar disertai pasir atau batu
c. Infeksi, batu yang terdapat di saluran kemih menjadi tempat
sarangnya kuman yang tidak dapat dijangkau obat-obatan.
d. Demam, hal ini terjadi jika kuman sudah menyebar ke tempat
lain. Tanda demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi,
vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan tanda
terjadinya urosepsis.
e. Adanya massa di daerah punggung akibat adanya hidronefrosis.

V. PATOFISIOLOGI (terlampir)

VI. KOMPLIKASI
Batu staghorn ini dapat memenuhi seleruh pelvis renalis
sehingga dapat menyebabkan obstruksi total pada ginjal. Pada
tahap ini pasien mengalami retensi urin sehingga pada fase
lanjut ini dapat menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika
terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan
menunjukkan gejala-gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi,
dan anemia (Bahdarsyam, 2003).

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis batu saluran kencing dapat ditegakkan dengan cara
pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologis yaitu ( Tim
perawat
bedah RSCM, 2008) :
a. Pemeriksaan fisik
Keluhan lain selain nyeri kolik adalah takikardi, keringatan,
mual dan demam. Pada keadaan akut, paling sering
ditemukan kelembutan pada daerah pinggul (flank
tenderness), hal ini disebabkan akibat obstruksi sementara
yaitu saat batu melewati ureter menuju kandung kemih.
b. Laboratorium
Urinalisis dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi
infeksi yaitu peningkatan jumlah leukosit dalam darah,
hematuria dan bakteriuria, dengan adanya kandungan
nitrat dalam urine. Selain itu, niali pH urie harus diuji krena
batu sistin dan asam urat dapat terbentuk jika nilai pH
kurang dari 6,0, sementara batu fosfat dan struvit lebih
mudah terbentuk
pada pH urine lebih dari 7,2.
c. Sinar X abdomen
Untuk melihat batu di daerah ginjal, ureter dan kandung
krmih. Dimana dapat menunjukkan ukuran, bentuk,posisi
batu dan dapat membedakan klasifikasi batu yaitu dengan
densitas tinggi biasanya menunjukkan jenis kalsium
oksalat dan kalsium fosfat, sedangkan dengan desintas
rendah menunjukkan jenis batu stuvit, sistin dan
campuran. Pemeriksaan ini tiak dapat membedakan batu
di dalam ginjal
maupun batu diluar ginjal.
d. Intavenous Pyelogram (IVP)
Pemeriksaan ini bertujuan meniali anatomi dan fungsi
ginjal. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan sistem
saluran kems akibat adanya penurunan fungsi ginjal,
sebagai
penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.
e. Ultrasonografi (USG)
USG dapat menunjukkan ukuran, bentuk , posisi batu dan
adanya obstruksi. Pemeriksaan dengan ultrasonografi
diperlukan pada wanita hamil dan pasien yag alergi
terhadap kontras radiologi. Keterbatasan pemeriksaan ini
adalah kesulitan untuk menunjukkan batu ureter dan
tidak dapat
membedakan klasifikai batu.
f. Computed Tomographic (CT) scan
Pemidaian CT akan mnghasilkan gambar yang lebih jelas
tentang ukuran dan lokasi batu.
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan dasar penatalaksanaan medis adalah untuk
menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan
nefron, mengendalikan infksi dan mengurangi obstrksi yang
terjadi. Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa,
pengobatan medik selektif dengan pemberian obat-obatan, tanpa
operasi dan pembedahan terbuka ( Tim perawat bedah RSCM,
2008)..
a. Medikamentosa
Terapi medikamnetosa ditujukan untuk batu yang
berukuran lebih kecil yatu dengan diameter < 5 mm,
karena diharapkan batu dapat keluar tanpa intervensi
medis. Dengan cara mempermudah keenceran urine dan
diet makanan tertentu yang dapat mencegah
pembentukan batu atau lebih jauh
meningkatkan ukuran batu yang telah ada. Setiap pasien
harus minum palng sedikit 8 gelas air sehari.
b. Pengobatan medik selektif dengan pemberian obat-obatan
Anlgesia dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan
mengusahakan agar batu dapat keluar sendiri secara
spontan. Opioid seperti injeksi morfin sulfat yaitu petidin
hidroklorida atau oabat antiinflamasi nonsterois seperti
ketorolak dan naproxen dapat diberikan terganung pada
intensitas nyeri. Propantelin dapat digunakan untuk
mengatasi spasme ureter. Pemberian antibiotik apabila
terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu
untuk mencegah infeki sekunder. Setelah batu dikeluarkan
untuk mencegah atau meghamba pembentkan batu
berikutnya.
c. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Merupakan tindakan non invasif dan tanpa pebiusan. Pada
tindakan ini digunakan gelombang kejut eksternal yang
dialirkan melalui tubuh untu memecah batu. Alat ESWL
adalah emecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh
Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu
ginjal, batu ureter proximal, atau menjadi fragmen-fragmen
kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemis.
ESWL dapat mengurangi keharusan melakukan prosedur
invasif dan terbukti dapat menurunkan lama rawat inap di
rumah sakit.
d. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu yang terdiri atas memecah abtu dam
kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat
yang dimasukkan langsung kedalam saluran kemih. Alat
tersebut dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil
pada kulit (perkutan). Beberapa tindakan endourologi
adalah
:
- PNL (Percutaneous Nephro Litholapoxy) adalah usaha
mengeluarkan batu yang berada didalam slauran ginjal
dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem
kalies melalui insisi pada kulit. Batu kemudia
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi
fragmen-fragmen kecil.
- Litotrpsi adalah memecah batu buli-buli atau batu uretra
dengan memeasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke
dalam buli-buli.
- Uretroskopi atau uretro-renoskop adalah dengan
memsaskkan alat uretroskopi pre-uretrum. Dengan
memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam
uretre maupun sistem pelvikalises dapat dipecah
melalui tuntunan uretroskopi ini.
- Ekstra dormia adalah mengeluarkan batu ureter dengan
menjaringnya memalui alat keranjang dormia.
e. Tindakan operasi
Penanganan batu saluran kencing baisanya terlebih dahulu
diusakhakan untuk mengeluarkan batu secara spontan tanpa
pembedahan/operasi. Tindakan bedah dilakukan jika batu
tidak merespon terhadap bentuk penanganan lainnya. Ada
beberapa jenis tindakan pembedahan, anmun dari tindakan
pembedahan tersebut tergantung dari lokasi dimana batu
berada, seperti nefrolitotomi, ureterolitotomi, vesikolitomi
dll.
IX. ASUHAN KEPERAWATAN
1) PENGKAJIAN
a. Aktivitas/istirahat:
Pasien dengan batu ginjal biasanya memiliki gejala
sebagai berikut: riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik
rendah, lebih banyak duduk, riwayat bekerja pada
lingkungan
bersuhu tinggi, keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit
sistemik lainnya (cedera serebrovaskuler, tirah baring lama).
b. Sirkulasi
Pada sistem sirkulasi tandanya yaitu adanya peningkatan
TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal), kulit hangat dan
kemerahan atau pucat.

c. Eliminasi
Gejala yang dirasakan oleh pasien terkait dengan sistem
eliminasi yaitu: riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya,
penurunan volume urine, rasa terbakar, dorongan
berkemih, diare. Sedangkan tandanya yaitu oliguria,
hematuria, piouria, perubahan pola berkemih.
d. Makanan dan cairan:
Pasien dengan batu cetak ginjal biasanya mengalami
gejala seperti mual/muntah, nyeri tekan abdomen, riwayat
diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat, hidrasi
yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup.
Adapun tandanya yaitu distensi abdomen, penurunan/tidak
ada bising usus, muntah.
e. Nyeri dan kenyamanan:
Pasien mengalami gelaja Nyeri hebat pada fase akut (nyeri
kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal
menimbulkan nyeri dangkal konstan). Tanda dari pasien
batu cetak ginjal yaitu perilaku berhati-hati, perilaku
distraksi, nyeri tekan pada area ginjal yang sakit
f. Keamanan:
Gejala yang dialami oleh pasien batu cetak ginjal yaitu
penggunaan alkohol, demam/menggigil.
g. Penyuluhan/pembelajaran:
Pasien dengan batu cetak ginjal memiliki gejala antara lain:
riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal,
hipertensi, gout, ISK kronis, riwayat penyakit usus halus,
bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme,
penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat,
alopurinul, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium
atau
vitamin.
2) DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut b.d agn cedera biologis
b. Gangguan eliminasi urin b.d obstruksi colecting system.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d nutrisi inadekuat.
Nyeri Akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pain Management(1400) :
dengan agen cedera keperawatan selama 1 x 24 jam, nyeri 1. Lakukan pengkajian yang komperhensif pada
biologis . akut teratasi dengan kriteria hasil nyeri, termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
Pain Level (2102) : frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor
pencetus nyeri.
Indikator 1 2 3 4 5 2. Kontrol faktor lingkungan yang dapat
1 Melaporka mempengaruhi
n nyeri X √ respon pasien terhadap ketidaknyamanan, seperti
berkurang
suhu ruangan, pencahayaan dan kegaduhan.
2 Menyataka 3. Ajarkan pasien teknik distrasksi (nonfarmakologi),
n rasa seperti bernapas lambat dan berirama.
nyaman
Analgesik Management :
setelah X √
nyeri 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat
berkurang nyeri sebelum pemberian obat.
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan
Keterangan :
frekuensi.
OUTCOME Saat In iX Target

3. Cek riwayat alergi.
1 Penyimpangan sangat berat
2 Penyimpangan berat 4. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan
3 Penyimpangan sedang beratnya nyeri;
4 Penyimpangan ringan
5 Tidak ada penyimpangan 5. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali.
6. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri
hebat.
7. Evaluasi dan catat efektivitas analgesik dan
efeksamping.

Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan Nutrition Management :


nutrisi : kurang dari keperawatan , ketidakseimbangan 1. Kaji adanya alergi makanan
kebutuhan tubuh. cairan teratasi dengan kriteria hasil : 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
- Nutritional status jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
- Weight : Body Mass :diet tinggi karbohidrat, batasi asupan natrium dan
protein anak.
3. Kolaborasi pemberian cairan IV .
4. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi
Indikator 1 2 3 4 5 serat untuk mencegah konsttipasi
1 Intake nutrisi X √ 5. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
2 Intake 6. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
X √
makanan Nutrition Monitoring:
3 Intake cairan X √ 1. Monitor BB pasien : timbang berat abadan anak
4 Body Mass X setiap hari dan pantau haluran irinnya setiap 4

Indext jam.
2. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang bisa
dilakukan
3. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama
jam makan
4. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
5. Monitor turgor kulit
6. Monitor mual dan muntah
7. Monitor kadar albumin, tptal protein, Hb dan
kadar hematokrit
8. Monitor pertumbuhan dan perkembangan
9. Monitor kalori dan intak nutrisi
10. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oral.
11. Catat jika lidah berwarna magenta.
PATOFISIOLOGI BATU STAGHORN

pH urine
Stasis Inhibitor
Urine kristalisasi

Konsentrasi filtrate
meningkat sehingga
Hiperstatik & spasme terjadi
supersaturasi Efek retensi urin
otot untuk mendorong
↓ ↓
batu
Pembentukan kristal- Refluksi urin

kristal ↓
Mengaktifkan proses
↓ Hidronefrosis
inflamasi (pelepasan
Kristal-krstal saling ↓
mediator oleh mast Hidronefrosis
mengadakan Mendesak lambung
cell : bradikinin, ↓
agregasi & menarik ↓
histamin, & Nefron mengalami
bahan- bahan lain Merangsang saraf
prostaglandin) kerusakan
↓ pusat pencernaan
↓ ↓
Menstimulus Agregasi kristal Eritropoetin menurun Mual &↓muntah
menempel pada >1
nosiceptor oleh collecting sistem ↓
↓ Anemia ↓
serabut C melalui
Batu Staghorn ↓ MK :
aferen
Gangguan suplai O2 ketidakseimbangan

Mekanisme nyeri ↓ ke jaringan nutrisi kurang dari
Obstruksi ↓ kebutuhan tubuh
(transduksi,
transmisi, modulasi sebagian/seluruh Kadar O2 ke paru
dan persepsi) collecting sistem menurun
↓ ↓ ↓
MK : Nyeri akut Terjadi sumbatan Sesak napas
aliran urin ↓
↓ MK : Gangguan pola
Gangguan fungsi napas
tubulus untuk
memekatkan urin

Oliguria /
poliuria

MK : Gangguan
eliminasi urin
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M. (2008). Nursing Interventions Classification Fifth


Edition. United States of America: Mosby Elseveir Brunner and
Suddart. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta:
EGC
Bahdarsyam. (2003). Spektrum bakteriologik pada berbagai jenis batu saluran kemih
bagian atas. Sumatera Utara: Bagian Patologi Klinik, FK USU
Brunner and Suddart. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Fabiansyah, et al. (2013). Presentasi kasus bedah urologi: batu staghorn.
http://www.scribd.com/doc/129532707/Ppt-Batu-Staghorn
Herdman, T. H. ( 2015). Diagnosa Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC
Mooehead, S. (2008). Nursing Outcome Classification Fourth
Edition. United States of America: Mosby Elsevier
Tim perawat bedah RSCM. (2008). Buku pedoman asuhan keperawatan bedah.
Jakarta: RSCM
Wein et al. (2007). Campbell-walsh urology. 9th edition. Philadelphia: Saunders
Elseveir.

Anda mungkin juga menyukai