Anda di halaman 1dari 14

MENGKAJI TAFSIR AL-TUSTARI DENGAN PENDEKATAN HERMENEUTIK SUFISTIK

Ahta Abdul Mursyid Husni Mubarok


Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi, Cirebon
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab Dakwah
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: ahtaalmursyid@gmail.com

Abstract

One of the scholars who interpreted the verses of the Qur'an was Abu Muhammad Sahl bin
Abdullah At-Tustari (200 H.-283 H.) is a cleric who is competent in the science of riyadah,
and wira`i and interpreters. In addition, experts in several other studies, and the book
Tafsari Al-Tustari is not his own writing but was rewritten by his student named
Muhammad ibn Salim. The writing was taken from the lectures of the teacher and then
recorded as a book of interpretation of Al-Tustari. The work is the first interpretation work
using Sufism or Sufi patterns. Therefore, this research was conducted with the aim to
discuss At-Tustari's thoughts, especially regarding sufistic themes in depth.
The results of the study note that the first interpretation of the book writing techniques there
are eight techniques, namely: (1) the systematic presentation of interpretations, namely the
mushafi (2) the form of the interpretation of ijmali expressed globally (3) the style of the
interpretation of the language is the style of the column (4) the interpretation of writing is
scientific (5) the nature of exegesis, namely non-academic (6) the science of exegete,
namely Sufi (7) the origin of the literature interpretation, namely from the At-Tustari
lectures (8) reference sources, and the second from the hermeneutic aspects of the study
analysis of the study of the book of interpretation there are three aspects, namely: (1) the
method of interpretation, namely the interpretation bil ma'tsur (2) the nuances of sufistic
pattern interpretation (3) the interpretation approach tends to be textual but At-Tustari has
the opinion that interpreting the Koran with the meaning dzohir and inner, had and mathla '.
Third, At-Tustari's interpretation of the Qur'an and Qur'anic verses related to sufistic
themes. 1) The theme of the Qur'an, At-Tustari argues that the Qur'an is a source of
guidance / guidance for humanity, and acts as a mediator between Allah SWT and his
creatures, as well as interpreting the characteristics or functions of the Qur'an. an. 2)
Sufistic themes, namely thaharah, taubat, zuhud, heart, dhikr, rizki, and sincerity, gratitude,
trust, patience.

Keywords: Al-Tustari Interpretation,

PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak
validitas kemukjizatannya. Allah SWT menurunkan kepada Nabi Muhammad Saw, demi membebaskan
manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Rasulullah Saw menyampaikan kepada sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat
memahami tabiat mereka. Jika terhadap sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka
terima, mereka langsung menannyakannya kepada Rasulullah Saw.1
Para mufassir tak akan terlepas dari sumber pengambilan tafsirnya, yang dikelompokkan menjadi dua
bagian, yakni penafsiran bi al-ma’tsur dan penafsiran bi al-ra’yi. Penafsiran bi al-ma’tsur adalah cara
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pada Al-Qur’an itu sendiri, penjelasan dari Nabi Saw, penjelasan
dan perkataan sahabat melalui ijtihadnya, dan perkataan tabi’in. Penafsiran Al-Qur’an telah tumbuh di masa
Nabi Saw sendiri dan beliaulah penafsir pertama (mufassir awwal) bagi Kitab Allah.2 Penafsira bi al-ra’yi
adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu
mengetahui bahasa Arab serta beserta muatannya.3 Rasulullah Saw, setiap menerima ayat Al-Qur’an lansung
menyampaikan kepada para sahabat serta menafsirkan mana yang perlu ditafsirkan.
Dari dua metode itulah kemudian lahir metode-metode lain yang menyebabkan metodologi penafsiran
Al-Qur’an berkembang, Al-Farmawi membagi metode tafsir yang digunakan oleh seorang mufassir dalam

1
Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005). 3
2
Muhammad Hasbi as-Shiddiqiey, Ilmu-Ilmu Al -Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1999). 193
3
Rosihan Anwar, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2008). 220

1
menafsirkan Al-Qur’an menjadi empat macam metode, yaitu metode tahlili (analisis), metode ijmali (global),
metode muqaran (perbandingan), dan metode maudhu’i (tematik).4
Pada masalah corak penafsiran, Muhammad Quraish Shihab menyebutkan bahwa ada enam corak
penafsiran yang dikenal luas dewasa ini, yakni corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran
ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf dan corak sastra budaya kemasyarakatan. 5
Menurut sejarah penafsiran Al-Qura’an, kajian tafsir itu terus berkembang seiringnya perkembangan
zaman, sehingga lahirlah ulama-ulama tafsir, baik dari kalangan sahabat, tabi’in sampai kalangan ulama
kontemporer, kemudian proses menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terus berlanjut hingga saat ini, salah seorang
yang telah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah Imam Al-Tustari, nama lengkapnya adalah Abu
Muhammad Sahl ibn Abdullah ibn Yunus ibn Isa ibn Abdullah ibn Rafi’ Al-Tustari 6. Abu Muhammad Sahl ibn
`Abdullah at-Tustari merupakan salah satu ulama sufi dan ahli mutakallimin (teolog) dalam ilmu riyadah
(melatih jiwa), ikhlas, dan ahli wira`i.7 Dan seorang mufassir yang dilahir di Tustar pada tahun 200 H, ada yang
mengatakan 201 H, dikatakan dalam bahasa Persia menjadi Shushtar, yaitu salah satu daerah di Khuzistan, ia
meninggal di Basrah pada tahun 283 H, ada yang mengatakan 273 H, dan ada yang mengatakan juga tahun 293
H.8
Abu Muhammad Sahl ibn `Abdullah At-Tustari ini dari kecil sudah diajarkan tasawuf oleh pamannya
yaitu Muhammad ibn Sawwar, dengan cara ia melihat pamannya yang melakukan sholat malam setiap harinya
dan sampai diberikan amalan oleh pamannya untuk selalu diamalkan setiap harinya sampai meninggal.
Banyak karya yang ia hasilkan, di antaranya adalah Daqaiq Al-Muhibibn, Mawa`iz Al-`Arifin, Qasas
Al-Anbiya, Haza Fadlan `An Tafsir Al-Masyhur, Kitab Al-Mitsaq, Muwa’idz Al-‘Arifin, Kalam Sahl, Muqalatu
Fi Al-Munhiyat, Manaqib Ahli Al-Haq wa Manaqib Ahlillah ‘Azza wa Jall, Ghayatu Li Ahli An-Nihayah,
Salsabil Sahliyyah, Risalah Fi Al-Huruf, Risalah Fi Al-Hukmi wa At-Tashrif, dan Tafsir Al-Tustari.9
LANDASAN TEORI

A. Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il” artinya menjelaskan, menyingkap, dan
menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan “fa’ala-yaf’ilu-fa’lan.” Dikatakan:
“fasara-yafsiru-fasran,” artinya menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam lisanul ‘arab
dinyatakan kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata “at-tafsir” berarti
menyingkap maksud suatu lafadz yang musykil.10 Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
        

Artinya: “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.”(Al-Furqan:33).

Kedua bentuk kata itu, kata at-tafsir yang paling banyak dipergunakan.
Kata Tafsir, pada mulannya berarti penjelasan, atau penampakan makna, Ahmad Ibnu Faris
(w. 395 H), pakar ilmu bahsa menjelaskan dalam bukunya Al-Maqayis fi Al-Lughah bahwa kata-kata
yang terdiri dari ketiga huruf fa-sin-ra’ mengandung makna keterbukaan dan kejelasan. Dari sini kata
fasara serupa dengan safara. Hanya saja yang pertama mengandung arti menampakkan makna yang
dapat terjangkau oleh akal, sedangkan kata yang kedua, safara, menampakkan hal-hal yang bersifat
material dan indriawi. Jika anda mensifati wanita dengan safirah, maka itu berarti bahwa dia
menampakkan dari bagian tubuhnya apa yang mestinya ditutupi.
Kata Tafsir yang terambil dari kata fasara mengandung makna kesungguhan membuka atau
berulang-ulangan melakukan upaya membuka, sehingga itu berarti kesungguhan dan berulang-

4
Abd Hay Al-Farmawi, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i, cet. II, (Kairo: Al-Hadrah Al-‘Arabuyah,
1977). 23
5
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994). 72-73
6
Umar Abudin, Ta’wil Terhadap Ayat Al-Qur’an Menurut, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan
Hadis,Al-Tustari (Wonosobo: Pascasarjana UNSIQ Wonosobo, 2014), Vol. 15, No. 2. 220
7
Sahl At-Tustari, Tafsir Al-Qur‟an Al-`Azim, tahqiq Taha `Abd Ar-Rauf Sa`d &
Sa`d Hasan Muhammad `Ali, (Kairo: Dar Al-Haram Lit-Turas, 2004). 67
8
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007). 3-4
9
Ibid. 9-11
10
Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
408

2
ulanganya upaya untuk membuka apa yang tertutup/menjelaskan apa yang musykil/sulit dari makna
sesuatu, antara lain kosakata.11
Sedangkan tafsir menurut istilah Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-
hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-
maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinnya.
Dari pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah ilmu yang
menjelaskan atau memahami Kalamullah yang masih musykil atau sulit dan global.
B. Kajian Kitab Tafsir
a. Metode Tafsir
Kata metode berasal dari Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa
Inggris “method”, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan
dalam bahasa indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berfikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam kaitan ini studi Al-
Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.12
Metode tafsir yang dimaksud adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam
proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting.
Pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam
teks yang merepresentasikan ruang-ruang sosial budaya yang beragam di mana teks itu muncul.
Selain dua aspek ini, seperti yang terjadi dalam hermeneutik Al-Qur’an tradisional, riwayah juga
merupakan satu variabel yang digunakan untuk menjelaskan makna teks.
Ada dua arah penting, secara metodologis bisa dipetakan, dalam melihat kerangka
metodologi yang dipakai yaitu: Pertama, metode tafsir riwayat, metode riwayat disini didefinisikan
sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Nabi Muhammad
Saw. Kedua, metode tafsir pemikiran, metode pemikiran di sini adalah aspek teoritis penafsiran,
bahwa memahami Al-Qur’an sejatinya tidak lepas dari kesadaran pengetahuan ilmiah untuk
meletakkannya pada strukturnya sebagai bahasa yang mempunyai struktur historis dengan wacana-
wacana yang dipakai dan budaya masyarakat yang menjadi audiensnya.13
Kemudian ada juga dua istilah yang sering digunakan yaitu: metode tafsir yaitu cara-cara
yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, dan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara
tersebut. Secara garis besar penafsiran Al-Qur’an dilakukan melalui empat metode yaitu: 1)
metode ijmali (global),14 2) metode tahlili (analitis),15 3) metode muqaran (perbandingan), 16 4)
metode mudu’i17 (tematik).18
b. Nuansa Tafsir
Yang dimaksud nuansa tafsir disini adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari
suatu karya tafsir. Misalnya nuansa kebahasaan, sosial-kemasyarakatan, teologi, psikologis, dan
sufistik.19
a. Nuansa Kebahasaan

11
Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang, Lentera Hati, 2015). 9
12
Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassir), (Jakarta, Al-Mawardi,2008). 265
13
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Yogyakarta, LkiS Yogyakarta, 2013) 211-218.
14
Metode tafsir ijmali yaitumenafsirkan Al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian
panjang lebar.
15
Metode tafsir tahlili yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayatayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
16
Metode tafsir muqaran yaitu penafsiran sekelompok ayat AlQur’an yang berbicara dalam suatu
masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadits baik dari segi isi
maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir denganmenonjolkan segi-segi perbedaan
tertentu dari obyek yang dibandingkan.
17
Metode tafsir maudhu’i yaitu metode yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau
judul yang telah ditetapkan.
18
Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassir), (Jakarta, Al-Mawardi,2008). 265-268
19
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Yogyakarta, LkiS Yogyakarta, 2013). 253-273

3
Nuansa ini adalah proses interpretasi dalam karya tafsir yang dominan digunakan adalah
analisa ke bahasaan.
b. Nuansa Sosial-Kemasyarakatan
Nuansa ini adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur’an dari: (1) segi
ketelitian redaksinya, (2) kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu
redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan Al-Qur’an, dan (3) penafsiran ayat
dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
c. Nuansa Teologis
Nuansa ini adalah mengungkap pandangan Al-Qur’an secara konprehensif tentang keyakinan
dan sistem teologi.
d. Nuansa Psikologis
Nuansa ini adalah suatu nuansa tafsir yang analisisnya menekankan pada dimensi psikologi
manusia.
e. Nuansa Sufistik
Nuansa ini adalah suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari
sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluk-nya.
Dalam hal lain juga bisa dinamakan Corak penafsiran dalam hal ini adalah bidang
keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang
keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan
disiplin ilmu yang dikuasainya. Di antaranya sebagai berikut: 1) Tafsir Shufi/Isyari adalah corak
penafsiran ilmu tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir isyari. 2) Tafsir Fiqhi adalah
corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. 3) Tafsir Falsafi adalah
tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat. 4) Tafsir ‘Ilmi adalah tafsir
yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. 5)
Tafsir Al-Adab Al-Ijtima’i adalah tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah
sosial kemasyarakatan.20
c. Pendekatan Tafsir
Pengertian pendekatan tafsir disini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses
tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir
yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan:21
a. Pendekatan Tekstual
Dalam pendekatan tekstual, praktik tafsir lebih berorientasi pada teks dalam dirinya.
Kontekstualitas suatu teks lebih dilihat sebagi posisi suatu wacana dalam konteks
internalnya atau intrateks.
b. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan ini adalah pendekatan yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir)
teks Al-Qur’an. Model pendekatan ini disebut pendekatan kontekstual. Dalam
pendekatan ini, kontekstualitas dalam pendekatan tekstual, yaitu latar belakang sosial
historis dimana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting.
C. Studi Tokoh Tafsir
Studi tokoh tafsir (al-bahts fi al-rijal al-tafsir) sering disebut juga dengan istilah penelitian
tokoh atau penelitian riwayat hidup individu (individual life history). Sebenarnya penelitian tokoh itu
tidak jauh berbeda dengan model penelitian yang lain, seperti penelitian tentang tematik, jika dilihat
dari segi prinsip-prinsip metodologi dan logika risetnya. Di dalamnya pasti ada latar belakang masalah,
mengapa misalnya tokoh dan pemikirannya itu perlu riset, apa problem risetnya, lalu dengan metode
apa dan bagaimana problem riset itu hendak dipecahkan, serta apa kira-kira kontribusinya bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Studi tokoh merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif (qualitative research) yang sering
dilakukan untuk menyelesaikan studi dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi. Hakikat studi tokoh
adalah studi kajian secara mendalam, sistematis, kritis mengenai sejarah tokoh, ide atau gagasan
orisinal, serta konteks sosio-historis yang melingkupi sang tokoh yang dikaji.22

METODE PENELITIAN

20
Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassir), (Jakarta, Al-Mawardi,2008),. 115-116
21
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Yogyakarta, LkiS Yogyakarta, 2013). 274-276
22
Abdul Mustaqim, Model Penelitian Tokoh (Dalam Teori Aplikasi), (Yogyakarta, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2014), vol. 15 No. 2. 263-264.

4
Metodologi penilitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh
data yang diperlukan. Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library research), yakni
penelitian yang mengkaji sesuatu yang menjadi sasarannya adalah kepustakaan atau teknik pengumpulan
data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan dengan masalah
yang dipecahkan.

PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Sahl bin Abdullah Al-Tustari


a. Riwayat Hidup
Sahl ibn `Abdullah At-Tustari dengan nama Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah ibn Yunus ibn
Isa ibn Abdullah ibn Rafi’ Al-Tustari. 23 Ia juga biasa dipanggil dengan nama julukan kunyah Abu
Muhammad atau nama sandarannya (nisbah) At-Tustari. Sahl ibn `Abdullah At-Tustari merupakan salah
satu ulama sufi dan ahli mutakallimin (teolog) dalam ilmu riyadah (melatih jiwa), ikhlas, dan ahli wira`i. 24
Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah ibn Yunus ibn Isa ibn Abdullah ibn Rafi’ Al-Tustari, ia
dilahirkan di kota Tustar pada tahun 200 H/816 M, dan ada juga yang mengatakan 201 H/817 M, 25 dan 203
H/818 M.26 dan meninggal di Basrah pada tahun 282 H./ 896 M. 27 Dan ada yang mengatakan pada tahun
293 H.28
Mengenai tahun kelahiran At-Tustari, masih belum terdapat kepastian, tetapi kebanyakan sumber
berpusat pada tahun antara 200 H/815 M, dan 203 H/ 818 M. Massignon mengatakan tahun 203 H/ 818 M,
Arberry mengatakan tahun 200 H/ 815, M. Ibn Hallikan menyatakan bahwa At-Tustari lahir di Tustar pada
tahun 200 H/ 815, M. sesuai dengan keterangan Ibn Al-Atir, atau pada tahun 201 H/ 816 M. sesuai dengan
penulis biografi yang lain. Penulis lain mengatakan bahwa kelahiran At-Tustari pada tahun 203 H/
818 M, sesuai dengan hitungan mundur dari tahun kematian At-Tustari yang berusia 80 tahun. Begitu pula
terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun meninggalnya, ada yang mengatakan At-Tustari meninggal
pada tahun 293 H. Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah pada tahun 283 H. Ibn Al-`Amad Al-Hanbali
mengatakan bahwa Abu Muhammad Sahl ibn `Abdullah At-Tustari meninggal pada tahun 283 H ketika
berumur 80 tahun.29

b. Guru dan Murid Muhammad Sahl bin Abdullah Al-Tustari


At-Tustari selama perjalanannya untuk mencari sebuah ilmu, ia banyak bertemu dengan
tokoh-tokoh terkenal yang ia temui dan menjadikannya sebagai guru seperti:30

1. Muhammad ibn Sawwar (w. 161 H/778 M). Ia merupakan paman dari At-Tustari, yang pertama kali
mengajarkan ilmu tasawuf kepadanya.
2. Hamzah Al-`Abbadani. Ia adalah orang yang ditanya oleh At-Tustari untuk mencari jawaban dari
pertanyaan yang ia bawa, dan ia menemukan jawaban itu darinya.
3. Muqatil ibn Sulaiman (w. 150 H/ 767 M).
4. Hammad ibn Salamah (w. 167 H/ 784 M).
5. Waki` ibn Al-Gharrah (w. 197 H/ 812 M).
6. Shufis Abu Sulaiman Ad-Darani (w. 215 H/ 830 M)
7. Bisri Al-Hafi (w. 227 H./ 841 M).
8. Sari As-Saqati (w. 251 H./ 865 M).
9. ‘Abd Ar-Rahim Al-Istakhri (w. 300 H./ 912 M).

23
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007). 3
24
Muh. Ainul Fiqih, Makna Ikhlas Dalam Tafsir Al-Tustari Karya Sahl Ibn `Abdullah Al-Tustari,
(Surakarta: IAIN Surakarta, 2017). 31.
25
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari,,, 3.
26
Sahl b. Abd Allah At-Tustari, Tafsir At-Tustari, terj. Annabel Keeler & Ali Keeler, Great
Commentaries on the Holy Qur‟an (Yordania: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2011). XV.
27
Heri MS Faridy dkk (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008). 1072.
28
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari,,, 4
29
Muh. Ainul Fiqih, Makna Ikhlas Dalam Tafsir Al-Tustari Karya Sahl Ibn `Abdullah Al-Tustari,
(Surakarta: IAIN Surakarta, 2017). 32
30
Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam: The Qur‟anic
Hermeneutics of The Sufi Sahl At-Tustari (New York: De Gruyter, 1979). 47

5
Al-Tustari memiliki banyak murid, beberapa di antaranya tetap dengan dia selama bertahun-
tahun, sementara yang lain tinggal hanya dalam waktu singkat. Di antara murid-murid yang tinggal lama,
yang paling penting adalah:31
1. Muhammad ibn Salim dan Ahmad ibn Salim (w. 356 H./ 967 M.) yang keduanya menularkan
keilmuannya dan menguraikan berbagai perkataan dan ajaran At-Tustari.
2. Abu Bakr Muhammad ibn Al-As`at Al-Sijzi yang menerima izin untuk mengajarkan Tafsir At-Tustari
pada tahun 275 H./ 888 M.
3. Abu Al-Hasan Umar ibn Wasil al-`Anbar, yang meriwayatkan anekdot tentang At-Tustari dan
menjelaskan beberapa penafsiran Al-Qur’annya.
Sedangkan murid-murid yang hanya tinggal dalam waktu yang singkat bersama At-Tustari
adalah:32
1. Husain ibn Mansur Al-Hallaj, yang menjadi muridnya pada usia enam belas tahun dan tinggal
bersamanya hanya dua tahun.
2. Hasan ibn Khalaf Al-Barbahari (w. 329 H./ 941 M.). Seorang teolog Hanbali yang terkenal dan ahli
hukum dari Bagdad.
3. Abu Muhammad ibn Husain Al-Jurayri (w. 312 H./ 924 M.), ia juga menjadi salah satu murid utama
Junaid.
4. Abu Al-Hasan ibn Muhammad Al-Muzayyin Al-Tirmidzi (w. 328 H./ 939 M.), yang juga murid
Junayd.
5. Isma`il ibn `Ali Al-Aili yang menjadi murid At-Tustari di Basrah pada tahun 280 H./ 893 M.

c. Karya Muhammad Sahl bin Abdullah Al-Tustari


Setelah mencapai puncak ilmu pengetahuan dan kebersihan jiwa, Sahl ibn `Abdullah At-Tustari
memulai untuk berdakwah mengajak manusia kepada kebenaran dan hidayah Allah SWT. Dakwah yang ia
lakukan tidak hanya sebatas seruan kepada pendidikan, perilaku, ucapan, dan nasihat yang baik saja, akan
tetapi At-Tustari juga mewariskan sejumlah khazanah keilmuan yang berbentuk buku-buku dalam berbagai
macam materi keilmuan. Diantara karya-karya yang ia karang yaitu:33
a. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Tafsir Al-Tustari).
b. Jawabatu Ahlu Al-Yaqin.
c. Daqaiq Al-Muhibbin.
d. Risalah fi Al-Huruf.
e. Risalah fi Al-Hukmi wa Al-Tashawuf.
f. Salsabil Sahliyah.
g. Al-Ghayatu Liahli Al-Nihayah.
h. Lathaif Al-Qashash Fi Qashash Al-Anbiya.
i. Kitab Al-Ma`aridah wa Ar-Radda `Ala Ahli Al-Firqa wa Ahli Ad-Da`awa fi Al-Ahwal.
j. Kitab Al-Mistaq.
k. Kalam Sahl.
l. Maqalah fi Al-Manhiyat.
m. Manaqib Ahlul-Haq wa Manaqib Ahlullah `Azza wa Jalla.
n. Mawa’idz Al-‘Arifin.

d. Komentar Para Ulama Terhadap Abu Muhammad Sahl At-Tustari


Ada beberapa komentar ulama terhadap Abu Muhammad Sahl At-Tustari yaitu:
a. Ibnu Al-Jauzi juga mengkritik Sahl bin Abdullah At-Tustari (w 383 H) ia menuding bahwa pola diet
makanan yang dilakukan At-Tustari untuk menjinakkan nafsunya dan menyantunkannya bertentangan
dengan Syara’. Ia mengatakan: “usaha iblis mengelabui tokoh-tokoh senior sufi mencapai puncaknya
dengan memerintahkan mereka untuk mengonsumsi makanan dalam porsi yang minim dan jenis yang
kasar. Diriwayatkan dari sahl bin abdullah At-Tustari bahwa pada awal lakon sufismenya, ia membeli
satu dirham molasses, dua dirham minyak samin (lemak), dan satu dirham tepung gandum, kemudian
mengolahnya menjadi adonan yang ia buat menjadi 360 bulatan kecil (sekepalan tangan), dan setiap
malam ia berbuka dengan hanya memakan satu kepalan adonan tersebut. Hal ini merupakan tindakan
yang tidak diperbolehkan sebab ia membebani diri di luar batas kemampuannya. 34

Sahl b. Abd Allah At-Tustari, Tafsir At-Tustari, terj. Annabel Keeler & Ali Keeler, Great
31

Commentaries on the Holy Qur’an......... XIX


32
Sahl b. Abd Allah At-Tustari, Tafsir At-Tustari, terj. Annabel Keeler & Ali Keeler, Great
Commentaries on the Holy Qur‟an......... XIX
33
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007). 8-13.

6
b. Imam Al-Qusyairi berkata: Sahl al-Tustari adalah salah seorang imam pada kaumnya yang tidak ada
tandingannya pada masanya dalam hal mu`amalat dan wara`. Ia memiliki banya karamah dan juga
pernah bertemu dengan Dzun Nun Al-Mishri di Mekah ketika menunaikan ibadah haji.35

B. Kitab Tafsir Al-Tustari

a. Mengenal Kitab Tafsir Al-Tustari


Berawal dari latar belakang kehidupan At-Tustari yang dipenuhi dengan pengamalan-
pengamalan sufistik sejak kecil dan melakukan perjalanan beberapa tahun ke berbagai daerah dan kota
dengan menjumpai para tokoh-tokoh sufi untuk memperdalam keilmuan hingga akhirnya melakukan
dakwah untuk mengajarkan keilmuan yang telah diperoleh, yang kemudian dalam pemikirannya yang
dituangkan dalam Al-Qur’an yang dikenal dengan Tafsir Al-Tustari. Dalam tafsir ini ia banyak
menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an terutama pada ayat-ayat yang mutasyabih, kendati tafsirnya masih
dianggap belum memuaskan karena belum lengkap dan penjelasannya tidak mendetail, tetapi ia
termasuk orang yang dianggap pertama kali menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan sufistik,
sehingga wajar jika penafsirannya masih sederhana dan tidak banyak penjelasannya. 36
At-Tustari memberi nama pada karya tafsirnya tersebut dengan sebutan Tafsir Al-Tustari.
Karya ini dicetak dalam satu jilid dan pertama kali yang menyusun naskah tersebut adalah kedua
muridnya yang bernama Abu Bakr Muhammad ibn Al-As`at As-Sijzi dan Abu Al-Hasan `Umar ibn
Wasil Al-`Anbari.37
Mengenai keaslian naskah tersebut, Bowering mengatakan bahwa naskah tafsir itu memang
autentik milik At-Tustari, dan dapat ditelusuri melalui manuskrip-manuskrip dan edisi cetaknya. Ada
enam manuskrip yang memuat naskah tafsir At-Tustari dan dua buah edisi telah cetak. Enam
manuskrip itu adalah: Gotha 529, Fatih 638, Shan`a 62, Fatih 3488/2, Zahiriyyah 515, dan Cairo I, 38.
Adapun edisi cetaknya adalah Cairo 1326/1908 (Na`sani) dan Cairo 1329/1911 (Gamrawi).38
Keenam manuskrip tersebut disimpan di tempat yang berbeda-beda. Ghota 529 disimpan
di perpustakaan penelitian di Ghota, Jerman Utara (DDR). Fatih 638 dan 3488/2 diawetkan di
perpustakaan Masjid Sulaimani di Istanbul. Manuskrip Shan`a 62 disimpan di perpustakaan Al-
Hizanah Al-Mutawakkiliyyah di Masjid Agung Shan`a di Yaman, dan disimpan dalam koleksi
mikrofilm dari Dar al-kutub, Kairo. Zahiriyyah 515 dan Cairo I, 38 disimpan di perpustakaan Dar Al-
Kutub Al-Zahiriyyah di Damaskus.
Tafsir karya At-Tustari ini dicetak untuk pertama kali di Kairo pada 1326 H./ 1908 M. dengan
judul Tafsir Al-Qur'an Al-`Azim dengan jumlah halaman sebanyak 240 halaman, dicetak di
Muhammad Isma`il Press, yang disusun oleh Muhammad Badr Ad-Din Al-Na`sani. Meskipun telah
tercetak pada edisi ini, namun, Al-Na’sani tidak memberikan edisi kritik pada tafsir tersebut. Tiga
tahun kemudian tafsir ini dicetak ulang di Kairo pada 1329 H./ 1911 M. dengan judul Tafsir Al-Qur'an
Al-`Azim dengan jumlah halaman sebanyak 136 halaman, dicetak di Maimaniyah Press yang
diterbitkan oleh Muhammad Az-Zuhri Al-Gamrawi. Pada cetakan ini juga tidak merupakan edisi 79
kritik tafsir At-Tustari, tetapi kemungkinan besar merupakan cetakan ulang pada edisi Na`sani ini. 39
Meskipun naskah paling awal menunjuk pada abad 9 H/ 15 M atau 10 H/ 16 M, akan tetapi
ada pendapat yang mengatakan pada pertengahan abad ke-6 H/ 12 M. dengan asumsi bahwa banyaknya
komentar-komentar dalam kitab Haqa’iq At-Tafsir karya `Abd Ar-Rahman As-Sulami yang merujuk
pada At-Tustari dengan bentuk komentar yang sangat identik dengan Tafsir Al-Tustari. Hal ini

34
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlaq, (Jakarta: Mathba’ah Al-Fajr Al-Jadid, 2013).
158
Baihaki, “Penafsiran Ayat-ayat Nur dalam Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl bin `Abdullah al
35

Tustari” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014). 34.
36
Lenni Lestari, Epistemologi Corak Penafsiran Sufistik, dalam Jurnal Syahadah,
Vol. II, No. 1 (April 2014), hlm. 12, lihat juga Umar Abidin, Ta’wil Terhadap Ayat Al-Qur’an
Menurut At-Tustari, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 2 (Juli
2014), hlm. 253. Dan liat juga Muh. Ainul Fiqih, Makna Ikhlas Dalam Tafsir Al-Tustari Karya Sahl Ibn
`Abdullah Al-Tustari, (Surakarta: IAIN Surakarta, 2017). 45-46
37
Mani` Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Kompreheshif Metode Para Ahli Tafsir, terj.
Faisal Shaleh dan Syahdionar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). 55
38
Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam: The Quranic Hermeneutics
of The Sufi Sahl At-Tustari (New York: De Gruyter, 1979). 100.
39
Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam: The Quranic Hermeneutics
of The Sufi Sahl At-Tustari .... 10-0104

7
mengidentifikasikan bahwa penulisan tersebut ada pada akhir abad 4 H/ 10 M. atau awal abad 5 H/ 11
M.40

b. Teknis Penulisan Kitab Tafsir Al-Tustari


Teknis penulisan kitab tafsir adalah suatu kerangka teknis yang digunakan penulis tafsir dalam
menampilkan sebuah karya tafsir. Teknis Penulisan ini terkait lebih pada penulisan karya tafsir yang
bersifat teknis, bukan pada proses penafsiran yang bersifat metodologis. Mengenai hal tersebut, Islah
Gusmian memberikan uraian secara mendalam mengenai teknis penulisan tafsir yang meliputi delapan
bagian penting, yaitu:41

1. Sistematika Penyajian Tafsir Al-Tustari


Maksudnya adalah rangkaian yang dipakai dalam penyajian tafsir. Sebuah karya tafsir, secara
teknis bisa disajikan dalam sistematika yang beragam. Mengenai hal tersebut, sistematika penyajian ini
terbagi menjadi dua kelompok, yaitu; sistematika penyajian runtut dan sistematika penyajian tematik. 42
Pada bagian ini, kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari,
termasuk dalam kategori sistematika penyajian yang bersifat runtut. At-Tustari mengacu pada urutan
surat yang ada dalam model mushaf Utsmani. Ia menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan urutan surat, yaitu
dimulai dari surat Al-Fatihah hingga surat An-Nas

2. Bentuk Penyajian Tafsir Al-Tustari


Bentuk penyajian tafsir adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh
mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Bentuk ini ada dua bagian, yaitu, bentuk penyajian global dan
bentuk penyajian rinci.43 Dari dua bentuk penyajian tersebut, kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu
Muhammad Sahl bin ‘Abdullah At-Tustari, termasuk dalam bentuk penyajian global. Bentuk ini lebih
menitikberatkan pada inti dan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dikaji. Kitab ini hanya
memberikan penjelasan yang cukup singkat dan sangat sederhana. Kitab Tafsir Al-Tustari ini hanya
menguraikan pokok pikiran penting yang menjadi inti dari ayat-ayat yang dikaji. Sesekali juga
ditampilkan kata-kata kunci yang diiringi dengan pertanyaan. Kemudian ia menjelaskan kata kunci
tersebut secara singkat.

3. Gaya Bahasa Penulisan Tafsir Al-Tustari


Analisis tentang bentuk gaya bahasa penulisan di sini diorientasikan untuk melihat bentuk-
bentuk bahasa yang dipakai dalam karya tafsir. Keragaman model gaya bahasa yang digunakan dalam
penulisan tafsir terbagi menjadi empat, yaitu, gaya bahasa penulisan kolom, gaya bahasa penulisan
reportase, gaya bahasa penulisan ilmiah, dan gaya bahasa penulisan popular. 44 Dari empat gaya
tersebut, jika diaplikasikan untuk menganalisis kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin
‘Abdullah Al-Tustari, maka karya tersebut menggunakan gaya bahasa kolom yakni pemaparan dalam
tafsir tersebut sangat singkat, pendek, lugas, dan tegas. Seperti dalam surat Al-Ikhlas ayat 1,
    

Artinya: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa”

At-Tustari menafsirkan bahwa Allah tidak ada persamaan dan tidak ada keserupaan. 45

4. Bentuk Penulisan Tafsir Al-Tustari


Maksud dari bentuk penulisan tafsir di sini adalah mekanisme penulisan yang menyangkut
aturan teknis dalam penyusunan keredaksian sebuah literatur tafsir. Pada bagian ini terdapat dua hal
pokok yang dianalisis: bentuk penulisan ilmiah dan bentuk penulisan non ilmiah. 46 Pada kitab Tafsir
Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, terlihat dengan jelas bahwa bentuk
penulisan yang digunakan adalah bentuk penulisan ilmiah, karena ditemukannya banyak redaksi yang
menggunakan kaedah penulisan ilmiah, yaitu berupa footnote yang menunjukkan sumber asli yang
40
Sahl b. Abd Allah At-Tustari, Tafsir At-Tustari, terj. Annabel Keeler & Ali Keeler, Great
Commentaries on the Holy Qur‟an ...... XXV
41
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1 (Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2013). 122-123.
42
Ibid. 123.
43
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1 .... 153
44
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1.... 174.
45
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007), hlm. 209.
46
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1..... 182.

8
dirujuk. Bahkan dijelaskan juga nama tokoh yang menjadi rujukan dalam tafsir tersebut, terutama
rujukan terhadap hadis.

5. Sifat Mufasir
Penyusunan sebuah karya tafsir, seseorang bisa melakukannya secara individual dan kolektif.
Pada bagian individual, karya tafsir yang lahir bisa berasal dari tugas akademik maupun non akademik.
Sedangkan kolektif terbagi menjadi dua: kolektif resmi dan kolektif non resmi. 47 Jika diterapkan pada
kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, maka tafsir tersebut
termasuk literatur tafsir individual yang berasal dari karya non akademik. Karena bahan-bahan yang
ada dalam kitab tafsir tersebut pernah diceramahkan. Akan tetapi dalam penyusunannya dibantu oleh
kedua muridnya, yaitu Abu Bakr Muhammad ibn Al-As`at As-Sijzi dan Abu Al-Hasan `Umar ibn
Wasil Al-`Anbari.

6. Keilmuan Mufasir
Maksudnya di sini adalah mengenai asal-usul penulis tafsir. Yakni asal usul mufasir dalam
menggeluti keilmuan yang kemudian mempunyai pengaruh besar dalam penafsiran. 48 Mengenai
keilmuan yang digeluti oleh At-Tustari adalah keilmuan yang berkaitan dengan jiwa. Mulai ia kecil
telah dibimbing dalam dunia tasawuf oleh pamannya sendiri yang bernama Muhammad ibn Sawwar
yang kemudian bertemu dengan Zhun Nun Al-Misri yang berperan penting dalam mengajari hal
tawakal kepada Allah dan belajar adab kepada Hamzah Al-`Abbadani.

7. Asal-usul Literatur Tafsir Al-Tustari


Pada bagian ini terbagi menjadi dua kategori: pertama, ruang akademik dan ruang non
akademik.49 Pada bagian ini dapat terlihat dalam bagian sebelumnya yang mana At-Tustari tidak
memiliki kepentingan akademik untuk mendapatkan gelar apapun. Ia hanya menularkan keilmuan yang
telah didapatkan dari para gurunya kepada masyarakat. Asal usul literatur tafsir dapat diketahui melalui
asal usul keilmuan yang dijalankan oleh At-Tustari, yaitu non formal atau non akademik. Keilmuan
yang ia peroleh berasal dari pembelajarannya kepada para tokoh di gubuk kajiannya.

8. Sumber-Sumber Rujukan Tafsir Al-Tustari


Maksudnya adalah rujukan yang digunakan mufasir dalam proses penulisan karya tafsir. Di
sini akan terlihat kecondongan mufasir dalam karya yang dihasilkan. 50 Rujukan yang digunakan oleh
At-Tustari sangat beragam, seperti kitab-kitab hadis dan yang berkaitan dengan ilmu hadis, kitab-kitab
tafsir dan yang berkaitan ilmu tafsir, kitab-kitab tasawuf, dan kitab-kitab sejarah. Seperti, Abjad
Al-‘Ulum, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Ishabah fi Ma’rifah Al-Shahabah, I’tiqad Ahl Al-Sunnah,
Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Tarikh Al-Adab ‘Arabi, Tarikh Baghdadi, Al-Targhib wa Al-Tarhib, Al-
Tashawuf fi Al-Islam, Tahdzib Al-tahdzib, Tahdzib Al-Kamal, Shahih Bukhri, Shahih Muslim, Sunan
Ibn Majjah, Sunan Abi Daud, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Al-Kubro,
Thabaqat Al-Shufiyyah, Al-Thabaqat Al-Kubro, Fath Al-Bari, Kitab Al-Zuhud, Musnad Ahmad, dan
lain-lain.

c. Aspek Metodologi Penafsiran Kitab Tafsir Al-Tustari


Aspek metodologis penafsiran yang dimaksud adalah konstruksi “dalam” yang berkaitan dengan
prinsip metodologi yang digunakan dalam penafsiran. Dalam aspek metodologis ini, arah kajian tersebut
terbagi menjadi tiga: metode tafsir, nuansa tafsir, dan pendekatan tafsir.

1. Metode Tafsir Al-Tustari


Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja analisis yang digunakan
dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Dalam hal ini, metode penafsiran terbagi menjadi tiga, yaitu: (1)
metode tafsir riwayah, (2) metode tafsir pemikiran, dan (3) metode tafsir interteks. 51 Dari ketiga metode
tersebut, kitab Tafsir Al-Tustari menggunakan dua metode penafsiran riwayat (tafsir bi al-ma’sur) dan
tafsir pemikiran (tafsir bi al-ra’yi). Karena ia menafsirkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadts Nabi,
atau perkataan sahabat seperti, ketika ia menfsirkan surat Al-Baqarah ayat 112,52
      .... 
47
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1.... 187.
48
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1.... 190.
49
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1.... 193.
50
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1.... 198
51
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet.1....hlm. 211.
52
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007) 32.

9
Artinya: “(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan.....”

At-Tustari menafsirkan ayat diatas itu bukan menyerahkan dirinya kepada Allah, akan tetapi
agamanya seperti dalam surat An-Nisa ayat 125,
     ...... 

Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah,...”

At-Tustari menafsirkan bahwa dari seseorang yang mengikhlaskan agamanya secara murni
kepada Allah, yaitu Islam dan syariatnya.

2. Nuansa Tafsir Al-Tustari


Nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir. Model ini
terdiri dari beberapa macam, yaitu nuansa kebahasaan, nuansa sosial kemasyarakatan, nuansa teologis,
nuansa sufistik, dan lain-lain.53 Kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-
Tustari merupakan tafsir yang menggunakan nuansa sufistik, yaitu tafsir yang berusaha menjelaskan
makna ayat-ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik (batin) atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak
oleh seorang sufi dalam suluk-nya. Hal ini bisa dilihat ketika menafsirkan firman Allah Q.S. Ar-Rahman
(55): 19,
   

Artinya: “Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu.”
At-Tustari mengatakan bahwa yang dimaksud dua lautan oleh ayat tersebut adalah lautan hati
yang di dalamnya terdapat bermacammacam mutiara atau permata dan lautan nafsu, yang keduanya saling
bertemu di dalam diri manusia.54

3. Pendekatan Tafsir Al-Tustari


Maksud pendekatan tafsir di sini adalah titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itulah
sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak atau nuansa tafsir yang berbeda.
Di sini ada dua pendekatan: pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. 55 Pada kitab Tafsir Al-Tustari
karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, terlihat jelas bahwa ia tidak menafsirkan Al-Qur’an
karena adanya peristiwa (kontekstualitas) yang melatarbelakangi dalam tafsirnya. Jadi, dalam tafsirnya ia
menggunakan pendekatan tekstual. Ia menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai apa yang ada pada ayat
tersebut melalui suluknya dalam megungkap makna batin ayat. Meskipun ia juga pada kesempatan lain
hanya menafsirkan makna lahirnya ayat saja. Yang di maksud makna lahir adalah membaca Al-Qur’an,
sedangkan makna batin adalah memahami ilmu Al-Qur’an.56

d. Komunitas Interpretasi
Menurut gadamer Komunitas interpretasi ini secara mandiri itu tidak mandiri, bersandar pada
prasangka historis dan selalu berubah dan berkembang. Dan komunitas interpretasi ini telah terbentuk
disekeliling teks dan bahwa komunitas interpretasi ini membentuk metode diskursus yang seragam dalam
proses pembentukan makna. Namun yang penting adalah bahwa komunitas interpretasi tidak hanya
menciptakan makna teks melainkan komunitas interpretasi dan teks saling melakukan negosiasi. 57 Pada
kitab tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, tidak ditulis oleh beliau
sendiri melainkan karya peninggalan-peninggalannya, karya tafsirnya ini merupakan ucapa-ucapan yang
dikumpulkan oleh muridnya yaitu Muhammad ibnu Salim W 297 H/909 M. 58contoh dari konmunitas
interpretasi dari kitab tafsir Al-Tustari yaitu:

53
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet. 1..... 253.
54
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007) 159.
55
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet.
1...... 274-276.
56
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007) 19.
57
Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Alam Semesta, 2004) 168.
58
Michael A. Sells, Sufisme Klasik (Menelusuri Tradisi Teks Sufi), (Bandung: Distributor Buku
Berutu, 2003) 111

10
e. Pendapat Ulama Terhadap Kitab Tafsir Al-Tustari
Ada beberapa pendapat ulama terhadap kitab tafsir Al-Tustari yaitu:
1. Mani’ dalam bukunya mengatakan bahwa At-Tustari dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak taklid (ikut)
kepada orang lain, tetapi mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an secara menyeluruh berdasarkan
kemampuan At-Tustari dalam menafsirkan Al-Qur’an, baik dari segi bahasa, syariat, akhlak, alam, dan
materi-materi lain yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Ia juga menafsirkan ayat sesuai dengan kesan
yang diberikan ayat Al-Qur’an tersebut kepada hatinya atau perasaan jiwa. At-Tustari juga tidak
mengatakan bahwa itulah penafsiran ayat tersebut atau satu-satunya penafsiran dan tidak ada penafsiran
lain yang benar.59

C. PENAFSIRAN ABU MUHAMMAD SAHL AT-TUSTARI TERHADAP AYAT-AYAT AL-


QUR’AN DENGAN METODE SUFISTIK

a. Al-Qur’an

1. Surat Al-Qamar Ayat 17, 32, 40


       

Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah
orang yang mengambil pelajaran?”.

At-Tustari menafsirkan ayat ini bahwa Allah SWT membuat Al-Qur’an itu untuk mudah diingat,
jika tidak demikian, mulut kalian tidak ada yang mampu mengucapkannya. 60

b. Thoharoh

1. Surat Al-Maidah Ayat 6


          
           
              
           
           
  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.”

At-Tustari menafsirkan lafadz  bahwa Allah SWT ingin membersihkan dari
keadaan manusia, budi pekerti manusia, dan perbuatan manusia, supaya kalian kembali kepada Allah
SWT dalam keadaan fakir yaitu tanpa terikat pada sebab, ia membagi Thaharah menjadi tujuh bagian
yaitu, membersihkan ilmu dari kebodohan, membersihkan mengingat dari keluputan, membersihkan
ketaatan dari maksiat, membersihkan keyakinan dari keraguan, membersihkan akal dari kebodohan,
membersihkan prasangka dari fitnah, dan membersihkan iman dari apapun yang asing baginya. Dan

Mani` Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Kompreheshif Metode Para Ahli Tafsir, terj.
59

Faisal Shaleh dan Syahdionar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) 57
60
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007) 158.

11
setiap hukuman merupakan semacam pembersihan, kecuali hukuman dari hati, yang merupakan
kekerasan.61

c. Zuhud

1. Surat At-Taghabun Ayat 15


         

Artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi
Allah-lah pahala yang besar”.
At-Tustari menafsirkan ayat ini bahwa kalaupun Allah memberikan harta kepadamu maka kamu sibuk
untuk menjaganya ketika kamu belum diberi maka kamu sibuk mencarinya, terus kapan waktu kosongmu
buat Allah.62

d. Hati

1. Surat Ar-Rahman Ayat 19


   

Artinya: “Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu.”

Al-Tustari mengatakan bahwa yang dimaksud dua lautan oleh ayat tersebut adalah lautan hati
yang di dalamnya terdapat bermacam-macam mutiara atau permata dan lautan nafsu, yang keduanya
saling bertemu di dalam diri manusia.63

e. Syukur
1. Surat Ibrahim Ayat 7
            

Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
At-Tustari menafsirkan ayat ini bahwa syukur nya ilmu itu dengan amal, sedangkan syukurnya
amal itu adalah menambah ilmu, ia berkata bahwa syukur itu adalah ketika manusia merasakan adanya
peningkatan, jika tidak maka syukur itu salah.64

A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan kajian tafsir Al-Tustari dengan pendekatan hermeneutik sufistik, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Teknis penulisan kitab tafsir adalah suatu kerangka teknis yang digunakan penulis Tafsir dalam
menampilkan sebuah karya tafsir. Ada delapan teknik penulisan kitab tafsir yang meliputi:
1. Sistematika penyajian tafsir
Kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, termasuk dalam
kategori sistematika penyajian yang bersifat runtut.
2. Bentuk Penyajian Tafsir
Kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari adalah termasuk
kitab tafsir yang menguraikan singkat yaitu ijmali
3. Gaya Bahasa Penulisan Tafsir
Kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari ini menggunakan
gaya bahasa kolom.
4. Bentuk Penulisan Tafsir
Kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, bahwa bentuk
penulisan yang digunakan adalah bentuk penulisan ilmiah.
5. Sifat Mufasir

61
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari........ 58.
62
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari........ 169.
63
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari,... 159.
64
Abu Muhammad Sahl, Tafsir Al-Tustari........ 86.

12
Kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, tafsir tersebut
termasuk literatur tafsir individual yang berasal dari karya non akademik.
6. Keilmuan Mufasir
Keilmuan yang digeluti oleh At-Tustari adalah keilmuan yang berkaitan dengan jiwa.
7. Asal-usul Literatur Tafsir
Melihat dari biografi At-Tustari bahwa ia tidak memiliki kepentingan akademik untuk
mendapatkan gelar apapun. Ia hanya menularkan keilmuan yang telah didapatkan dari para gurunya
kepada masyarakat. Asal usul literatur tafsir dapat diketahui melalui asal usul keilmuan yang dijalankan
oleh At-Tustari, yaitu non formal atau non akademik. Keilmuan yang ia peroleh berasal dari
pembelajarannya kepada para tokoh di gubuk kajiannya.
8. Sumber-sumber Rujukan
Rujukan yang digunakan oleh At-Tustari rsangat beragam, seperti kitab-kitab hadis dan yang
berkaitan dengan ilmu hadis, kitab-kitab tafsir dan yang berkaitan ilmu tafsir, kitab-kitab tasawuf, dan
kitab-kitab sejarah. Seperti, Abjad Al-‘Ulum, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Ishabah fi Ma’rifah Al-
Shahabah, I’tiqad Ahl Al-Sunnah, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Tarikh Al-Adab ‘Arabi, Tarikh
Baghdadi, Al-Targhib wa Al-Tarhib, Al-Tashawuf fi Al-Islam, Tahdzib Al-tahdzib, Tahdzib Al-Kamal,
Shahih Bukhri, Shahih Muslim, Sunan Ibn Majjah, Sunan Abi Daud, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro,
Sunan At-Tirmidzi, Sunan Al-Kubro, Thabaqat Al-Shufiyyah, Al-Thabaqat Al-Kubro, Fath Al-Bari,
Kitab Al-Zuhud, Musnad Ahmad, dan lain-lain.
b. Aspek metodologis penafsiran yang dimaksud adalah konstruksi “dalam” yang berkaitan dengan
prinsip metodologi yang digunakan dalam penafsiran. Dalam aspek metodologis ini, arah kajian
tersebut terbagi menjadi tiga: metode tafsir, nuansa tafsir, dan pendekatan tafsir.
a. Metode Tafsir
kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, menggunakan
metode penafsiran riwayat (tafsir bi al-ma’sur) juga tafsir pemikiran.
b. Nuansa tafsir
Kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, merupakan tafsir
yang menggunakan nuansa sufistik.
c. Pendekatan Tafsir
kitab Tafsir Al-Tustari karya Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah Al-Tustari, dalam tafsirnya ia
menggunakan pendekatan tekstual. I
c. At-Tustari menafsirkan Al-Qur’an itu dengan menggunakan makna dzahir dan batin seperti, (1) At-
Tustari menafsirkan thaharah itu bukan hanya wudhu, mandi saja, akan tetapi At-Tustari menafsirkanya
membersihkan diri dari perilaku jelek, akhlak yang jelek, dan perbuatan yang jelek. (2) dalam
menafsirkan taubat At-Tustari menafsirkan secara umum bahwa taubat itu tidak akan mengulangi
perbuatan dosa dan akan menaati perintah Allah. (3) At-Tustari menafsirkan zuhud bahwa dunia ini
semuanya adalah kebodohan kecuali tempatnya ilmu. (4) At-Tustari menafsirkan asap itu
menggambarkan kerasnya hati dan dua lautan itu menggambarkan lautan hati dan nafsu. (5) AtTustari
menafsirkan dzikir bahwa hakikatnya orang yang dzikir itu ia akan selalu sadar bahwa ia selalu
disaksikan oleh Allah, karena selalu mengingat Allah, dan karna itu ia merasa malu. (6) At-Tustari ini
menafsirkan rizki bahwa mencari rizki itu bukan dengan penghasilan melainkan dengan tawakal dan ia
membagi rizki itu menjadi dua yaitu rizki dzikir untuk spiritual, intelek, dan hati. Dan rizki seperti
sesuatu yang dimakan, diminum. (7) At-Tustari menafsirkan ikhlas itu bahwa ketika kita beribadah atau
melakukan perbuaatan apapun itu hanya untuk mencari ridha Allah dan diperuntukan hanya kepada
Allah. (8) At-Tustari menafsirka syukur itu adalah ketika manusia merasakan adanya peningkatan. (9)
At-Tustari menafsirkan tawakal yaitu menyerahkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT dan harus
bergantug kepa-Nya. (10) At-Tustari menafsirkan sabar yaitu sabar meruapakan cara hidup dan
istirahat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qathan. Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
As-Shiddiqiey. Muhammad Hasbi. 1999. Ilmu-Ilmu Al -Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.
Anwar. Rosihan. 2008. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Farmawi. Abd Hay. 1977. Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i, cet. II, (Kairo: Al-Hadrah
Al-‘Arabuyah.
Shihab. Muhammad Quraish. 1994. Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan.
Abudin. Umar. 2014. Ta’wil Terhadap Ayat Al-Qur’an Menurut, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-
Qur’an dan Hadis,Al-Tustari. Vol. 15, No. 2. Wonosobo: Pascasarjana UNSIQ.

13
At-Tustari. Sahl. 2004. Tafsir Al-Qur‟an Al-`Azim, tahqiq Taha `Abd Ar-Rauf Sa`d &
Sa`d Hasan Muhammad `Ali. Kairo: Dar Al-Haram Lit-Turas.
Shihab. Muhammad Quraish. 2015. Kaidah Tafsir. Tanggerang, Lentera Hati.
Gusmian. Islah. 2013. Khazanah Tafsir Indonesia. Yogyakarta, LkiS Yogyakarta.
Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassir), (Jakarta, Al-Mawardi,2008), hlm. 265-268
Sanaky. Hujair A. H. 2008. Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassir). Jakarta, Al-Mawardi.
Mustaqim. Abdul. 2014. Model Penelitian Tokoh (Dalam Teori Aplikasi). vol. 15 No. 2.
Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
At-Tustari. Sahl b. Abd Allah. 2011. Tafsir At-Tustari, terj. Annabel Keeler & Ali Keeler, Great
Commentaries on the Holy Qur‟an. Yordania: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic
Thought.
Heri MS Faridy dkk (ed.). 2008. Ensiklopedi Tasawuf . Bandung: Angkasa.
Hajjaj. Muhammad Fauqi. 2013. Tasawuf Islam & Akhlaq, (Jakarta: Mathba’ah Al-Fajr Al-Jadid.
Baihaki. 2014. “Penafsiran Ayat-ayat Nur dalam Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl bin
`Abdullah al Tustari” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam S1 UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Lestari. Lenni. 2014. Epistemologi Corak Penafsiran Sufistik, dalam Jurnal Syahadah,
Vol. II, No. 1 April 2014.
Abidin. Umar. 2014. Ta’wil Terhadap Ayat Al-Qur’an Menurut At-Tustari, dalam Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 2 Juli 2014.
Fiqih. Muh. Ainul. 2017. Makna Ikhlas Dalam Tafsir Al-Tustari Karya Sahl Ibn `Abdullah Al-
Tustari. Surakarta: IAIN Surakarta.
Mahmud. Mani` Abd Halim. 2006. Metodologi Tafsir: Kajian Kompreheshif Metode Para Ahli
Tafsir. terj. Faisal Shaleh dan Syahdionar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bowering. Gerhard. 1979. The Mystical Vision of Existence in Classical Islam: The Quranic
Hermeneutics of The Sufi Sahl At-Tustari. New York: De Gruyter.
Sahl. Abu Muhammad. 2007. Tafsir Al-Tustari Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
El-Fadl. Khaled M. Abou. 2004. Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Alam Semesta.
A. Sells. Michael. 2003. Sufisme Klasik (Menelusuri Tradisi Teks Sufi). Bandung: Distributor
Buku Berutu.
Mahmud. Mani` Abd Halim. 2006. Metodologi Tafsir: Kajian Kompreheshif Metode Para Ahli
Tafsir. Terj. Faisal Shaleh dan Syahdionar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

14

Anda mungkin juga menyukai