Anda di halaman 1dari 9

Tokoh

Burhanuddin Muhammad Diah


BM Diah adalah seorang jurnalis yang sangat peduli kepada bangsanya. Dia
berperan besar dalam mendokumentasikan detik-detik perkembangan situasi
menjelang Proklamasi 1945. Sebagai jurnalis, dia kemudian terlibat dalam
penyebaran berita kemerdekaan tersebut ke pelosok Indonesia.

Fakta Singkat:
Nama Lengkap:
Burhanudin Muhammad Diah

Lahir :
Kutaraja,(sekarang Banda Aceh), 7 April 1917

Almamater:
Ksaatrian Institut, Midelbare Journalisten School di Bandung

Jabatan:
Menteri Penerangan 1966–1968
Sebagai seorang jurnalis di masa penjajahan Belanda dan Jepang, BM Diah adalah
seorang notulen yang handal. Dia mampu merekam semangat para pemuda
melepaskan diri dari kolonialisme sekaligus terlibat dalam perjuangan tersebut.

Kedewasaan dan pengalaman menjadikannya dihormati di kalangan pemuda hingga


dipercaya menjadi ketua Gerakan Angkatan Baru Indonesia. Dia juga dianggap sebagai
sosok yang menghubungkan angkatan muda, yaitu Sukarni dan kawan-kawan, dengan
angkatan tua, Soekarno dan Hatta.

Sejak remaja, Bur begitu nama panggilan masa kecilnya, sudah tertarik dalam bidang
tulis menulis dengan membuat majalah sekolah. Bakatnya kemudian berkembang
dengan menjadi wartawan di berbagai media hingga akhirnya membuat harian sendiri
yang diberi nama Merdeka. Kemudian bersama istrinya Herawati Diah, membuat koran
berbahasa Inggris yakni Indonesia Observer. Dia juga terlibat dalam kepengurusan
Persatuan Wartawan Indonesia dan Dewan Pers selama beberapa periode.

Selain dunia jurnalistik, ia juga pernah menduduki sejumlah jabatan di birokrasi, mulai
dari duta besar di beberapa negara, hingga Menteri Penerangan. Dunia usaha pun dia
geluti di usia tuanya dengan mendirikan Hotel Hyatt Aryaduta dan Hotel Prapatan di
Jakarta.

Putra Aceh
Burhanuddin Muhammad Diah atau lebih dikenal BM Diah lahir di Banda Aceh pada 17
April 1917. Ayahnya bernama Muhammad Diah dan ibunya bernama Siti Saidah. Satu
minggu setelah kelahirannya, sang ayah meninggal sehingga ibunya yang sebelumnya
merupakan ibu rumah tangga harus bekerja sebagai pedagang perhiasan untuk
menghidupi delapan orang anaknya.

Ibunya meninggal saat Burhanudin berusia delapan tahun, kemudian dia diasuh oleh
kakak-kakaknya. Anak bungsu dari delapan bersaudara ini awalnya berada di bawah
asuhan kakak laki-lakinya yang bernama Awaludin, kemudian berpindah pada kakak
perempuan Siti Hafsyah. Kondisi tersebut membuatnya terbiasa dengan pekerjaan,
mengambil air, mencuci pakaian kotor keponakan, dan bersepeda ke pasar untuk
membeli sarapan.

Burhanuddin memulai pendidikan di sekolah dasar HIS Kutaraja (kini disebut Banda
Aceh) tahun 1929. Di sekolah dasar tersebut, dia mulai mendengar kisah-kisah heroik
melawan penjajahan Belanda. Seperti dikisahkah Herawati Diah dalam Catatan BM
Diah, ketika kelas 5 SD, usia 11 tahun, BM Diah menangis mendengar kisah gurunya
tentang Pangeran Diponegoro yang dibohongi oleh pemerintah Belanda.

Setelah lulus dari HIS, ia disarankan kakaknya untuk melanjutkan ke MULO di Kutaraja,
tetapi dia menolak karena tidak mau bersekolah di lembaga milik Belanda. Akhirnya, dia
memutuskan berangkat ke Medan dan bersekolah di Taman Siswa (setingkat SMP). Di
kota tersebut jiwa nasionalismenya makin kuat karena bergabung dengan pemuda
aktivis.

Setelah itu, dia melanjutkan studi formal di Middelbare Journalisten School di Kesatrian
Instituut Bandung yang dikelola Douwes Dekker yang kelak berganti nama menjadi
Setiabudi.

Diah sadar dia tidak punya kemampuan untuk membiayai sekolahnya maka dia hendak
mengundurkan diri. Namun, Douwes Dekker memberinya pekerjaan sebagai sekretaris
di sekretariat sekolah dagang agar dia mampu membiayai sekolahnya. Dia pun
menyelesaikan pendidikan jurnalistiknya pada tahun 1937.

Karier
Setelah menyelesaikan studi jurnalistik di Bandung, BM Diah kembali ke Medan dan
bekerja di harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di harian tersebut, hanya sekitar 1,5
tahun, kemudian kembali ke Jakarta dan bekerja pada harian Melayu-
Cina Sinpo sebagai penulis lepas selama beberapa bulan.

Pada saat Jepang menduduki Indonesia, BM Diah menjadi redaktur pelaksana dan
wakil pemimpin redaksi surat kabar Asia Raya. Posisinya sebagai jurnalis, membuat
BM Diah banyak mengetahui informasi, baik di dalam maupun luar negeri.

Surat kabar Asia Raya ditutup ketika Jepang kalah perang dari pasukan sekutu tahun
1945. Setelah Jepang menyerah, pada September 1945, BM Diah bersama rekan-
rekannya kemudian merebut dan mengambil alih percetakan milik Jepang yang
bernama Djawa Shimbun. BM Diah berinisiatif untuk membuat koran Indonesia yang
bernama ‘Merdeka’ pada Oktober 1945. BM Diah mengambil peran sebagai pemimpin
redaksi.

Bersama istrinya, Herawati Diah, ia juga mendirikan koran berbahasa


Inggris, Indonesian Observer tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, BM Diah diberi kepercayaan sebagai Duta Besar RI untuk
Chekoslovakia dan Hungaria pada tahun 1959. Kemudian tahun 1962 menjadi Dubes di
Inggris selama kurang lebih dua tahun. Setelah itu, dia ditugaskan menjadi Dubes di
Thailand selama dua tahun.

Setelah kembali ke Indonesia, BM Diah ditunjuk menjadi Menteri Penerangan pada


Kabinet Ampera 1966–1968. Saat menjadi menteri, BM Diah menerapkan kebijakan
penerangan yang harus diberikan kepada rakyat adalah penerangan mengenai cita-
cita, perjuangan dan kemenangan revolusi. Jabatan menteri diembannya hingga tahun
1968.
Setelah bebas dari jabatan menteri, BM Diah melanjutkan aktivitasnya sebagai jurnalis.
Tahun 1970, BM Diah menjadi ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang
diakui Pemerintah, sementara PWI hasil kongres di Palembang memilih Rosihan Anwar
sebagai ketuanya.

Setelah kedua PWI tersebut rujuk, ia terpilih menjadi Dewan Pembina PWI Pusat
selama dua periode (1973–1983). Kemudian, ia menjadi Ketua Harian Dewan Pers
(1981) dan Penasihat PWI Pusat (1983–1988).

Sebagai seorang wartawan, yang paling berkesan bagi Diah adalah berhasil
mewawancarai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, di
Rusia tahun 1987. Saat wawancara itu usia BM Diah persis 70 tahun.

BM Diah meninggal dunia pada Senin dini hari tanggal 10 Juni 1996 di Jakarta. Ia
meninggal pada usia 79 tahun akibat stroke dan penyakit ginjal yang telah lama
dideritanya. Jenazahnya dikebumikan di TMP Kalibata dengan upacara militer dan
Menteri Penerangan Harmoko bertindak sebagai inspektur upacara.

Penghargaan
Berkat perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, BM Diah dianugerahi tanda jasa dan
penghargaan Bintang Mahaputra kelas III (Bintang Utama) dari Presiden Soeharto (21
Mei 1973). BM Diah juga mendapat Piagam Penghargaan dan Medali Perjuangan
Angkatan 45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45 (17 Agustus 1995)

Naskah asli Proklamasi


BM Diah sering berdiskusi dengan Chairul Saleh dan Sukarni terkait gagasan
kemerdekaan. Diah memiliki prinsip tidak mau bergabung dalam kelompok atau
gerakan bentukan Jepang. Berkat profesinya sebagai jurnalis, ia paham betul kondisi
masyarakat yang memberikan beras dan berbagai kebutuhan hidup pada pihak Jepang
dengan alasan untuk mendukung kemerdekaan. Padahal faktanya, masyarakat di desa-
desa harus memakai karung goni dan makan gaplek.

Dalam pengantar Catatan BM Diah, Sudiro yang ikut terlibat gerakan praproklamasi


berkisah, BM Diah memiliki pesona bagi aktivis kaum muda. Mudah saja bagi BM Diah
membawa kelompok muda menjadi radikal, tapi hal itu tidak dilakukan. Justru BM Diah
mengajak pemuda untuk berinisiatif memikirkan gagasan Indonesia merdeka.

Untuk mewujudkan gagasan itu, BM Diah bersama kaum muda melakukan pertemuan
rahasia pada Mei 1945. Kelompok muda yang hadir antara lain Chaerul Saleh, Sukarni,
Wikana, Harsono, Cokroaminoto, dan Syarif Thayeb. Mereka berdiskusi serius hingga
larut malam, membentuk Gerakan ‘Poetra’ yaitu sebuah kesadaran untuk menapai cita-
cita pemuda. Gerakan itu  murni inisiatif para pemuda dan tanpa sepengetahuan pihak
Jepang
Selanjutnya di bulan Mei, di bawah pimpinan BM Diah, sejumlah pemuda Indonesia
berkumpul di gedung surat kabar Asia Raya demi menentukan sikap pemuda. Hanya
saja dalam pertemuan tersebut, para pemuda belum membawa mandat resmi dari
kelompok masing-masing.

Pada bulan berikutnya, tepatnya pada 3 Juni 1945, diadakan kembali pertemuan resmi
di Gedung Jawa Hokokau dengan surat resmi dari kelompok yang mengutus mereka.

Dalam pertemuan ini, para pemuda menetapkan bagian mereka dalam revolusi
bersejarah untuk melepaskan diri dari penjajahan di saat imperialisme menghadapi
kehancuran. Pertemuan ini juga untuk mengkristalkan pemikiran para pemuda yang
bukan “bikinan Jepang”.

Para pemuda menyatukan prinsip, bahwa mereka tidak hanya sebagai pekerja kasar
saja tetapi juga turut duduk dalam pimpinan dan ikut bertanggung jawab dalam sebuah
keputusan. Para pemuda juga menghendaki kekuasaan politik agar dapat
melaksanakan cita-cita kemerdekaan. Kemudian, terbentuklah Gerakan Angkatan Baru
Indonesia yang bertugas merencanakan Anggaran Dasar dan Pedoman Kerja. Gerakan
itu juga menyusun rencana perjuangan pemuda dengan membuat musyawarah besar.

Pada tanggal 8 juni 1945, BM Diah bersama perwakilan Gerakan Angkatan Baru
Indonesia menemui Soekarno di Gedung Hookookai di depan Lapangan Banteng. Di
satu sisi, Bung Karno tetap berpesan untuk tetap memperhitungkan kekuatan lawan
yaitu Jepang. Di sisi lain, kaum muda menghendaki gerakan yang lebih dinamis

Pada 15 Juni 1945, keluar putusan yang menetapkan BM Diah sebagai Ketua Gerakan
Angkatan Baru Indonesia dengan anggota Sukarni, Sudiro (bekas Indonesia Muda dan
tokoh Partindo), Syarif Thayeb, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Chaerul Saleh)
Gultom, Supeno (Baperpi), dan Asmara Hadi.

Aktivitas kaum muda itu dinilai Jepang membahayakan. Pada 7 Agustus, BM Diah pun
ditangkap dan ditahan di Jakarta setelah seluruh rumahnya digeledah. Tak hanya itu,
keesokan harinya tentara Jepang datang lagi dan menggeledah rumah itu kembali.

Tanggal 15 Agustus 1945, BM Diah dibebaskan dari tahanan atas permintaan dan
jaminan dari keluarga besar istrinya. Setelah menemui keluarganya, ia bergegas
mencari Sukarni di rumahnya tapi tidak bertemu dengannya. Kabarnya Sukarni
bersembunyi dari tentara Jepang. Kemudian Diah mengunjungi Asrama Menteng 31,
markas tempat para pemuda, namun ia juga tidak menemukan rekan-rekannya di
Angkatan Baru Indonesia. Selama BM Diah ditahan, ternyata banyak rekan-rekannya
yang juga ditahan atau bersembunyi dari kejaran polisi Jepang.

Selagi sibuk mencari teman-temannya yang bersembunyi menghindari polisi Jepang,


BM Diah justru bertemu Nishijima seorang pegawai swasta yang kemudian
menceritakan tentang bom di Hiroshima dan Nagasaki. Saat itu Diah mengkhawatirkan
nasib Indonesia jika Sekutu masuk Indonesia.

Diah kemudian melanjutkan berjalan kaki dari Kebon Sirih ke rumah Soebardjo di Cikini.
Dia bertemu dengan Soebardjo, Iwa Kusumasumantri dan Gatot Tanumiharja dan
Husin. Belakangan baru dia tahu bahwa Husin adalah Tan Malaka.

Tanggal 15 Agustus 1945 malam, Diah bertemu dengan Sukarni dan Chairul Saleh di
rumah Soebardjo. Mereka bersama-sama menuju kediaman Soekarno di Pegangsaan
Timur untuk berdiskusi dengan Soekarno danHatta serta pemimpin lainnya.

Dalam pertemuan yang juga dihadiri kelompok muda itu, Wikana yang tampil mewakili
kelompok muda mengatakan, “Bung, kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk
meminta Bung Karno supaya menentukan sikap sekarang, Bung  tahu Jepang sudah
kalah dan sudah meminta damai”. Wikana juga menjelaskan bahwa rakyat, petani, dan
buruh sudah siap dan menunggu perintah untuk melakukan revolusi.

Meski demikian, baik Soekarno maupun Hatta menolak jalan revolusi karena khawatir
rakyat jadi korban. Bahkan, ketika Wikana memuncak emosinya dan berkata bahwa
bisa saja pemuda akan membinasakan siapa saja yang menghalangi, Soekarno tetap
tidak mau menyatakan kemerdekaan. Desakan kaum muda tak membuahkan hasil dan
akhirnya malam itu para pemuda termasuk Diah kembali ke rumah masing masing
dengan kecewa.

Keesokan harinya tanggal 16 Agustus 1945, BM Diah mendapat kabar bahwa


Soekarno dan Hatta telah dibawa ke Rengasdengklok, tetapi Subardjo meminta agar
malam harinya mereka dibawa kembali ke Jakarta.

Pada 16 Agustus malam, Sukarno-Hatta tiba di Jakarta dan mengadakan pertemuan


dengan tokoh-tokoh PPKI untuk menyusun rumusan naskah proklamasi di rumah
Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Meiji Dori (kini Jalan Imam Bonjol No 1 Jakarta
Pusat). BM Diah menjadi saksi proses perumusan naskah tersebut hingga dini hari dan
kemudian mengabarkan peristiwa itu.

Naskah proklamasi itu awalnya ditulis pada selembar kertas berwarna putih yang ditulis
tangan oleh Soekarno pada dini hari, Jumat 17 Agustus 1945. Naskah proklamasi
tulisan tangan Soekarno sempat dibuang ke keranjang sampah karena dianggap tidak
diperlukan lagi setelah diketik dengan mesin ketik oleh Sayoeti Melik.

Naluri wartawan BM Diah pun muncul. Ia langsung mengambil kembali naskah tulisan
tangan tersebut dan menyimpannya. Naskah asli tulisan tangan Bung Karno menjadi
dokumen pribadi setelah rapat perumusan naskah proklamasi itu berakhir. Ia segera
saja menuju kantor stasiun radio untuk menyiarkan kabar berita tersebut.
Di belakang teks tersebut diberi catatan tulisan tangan BM Diah, “Berita istimewa,
berita istimewa. Pada hari ini, tanggal 17 bulan 8, 1945 di Djakarta telah dioemoemkan
proklamasi kemerdekaan Indonesia jang boenjinya: Proklamasi, Kami bangsa
Indonesia dengan ini menjatakan, kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai
pemindahan kekoeasaan dllnja, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam
tempoh jang sesingkat-singkatnya. Djakarta, 17-8-1945″.

Kemudian BM Diah diperintah oleh Hatta untuk mencetak teks proklamasi itu di
percetakan Siliwangi. Sebelumnya, teks proklamasi itu sudah diedarkan termasuk
disampaikan kepada kantor berita Antara dan Radio untuk diberitakan (Kompas,
20/5/1992).

Saat menjadi Menteri Penerangan, pada Agustus 1967, dia mengakui bahwa naskah
asli Proklamasi berupa tulisan tangan dan penuh coret-coretan itu disimpan olehnya
sendiri. Naskah proklamasi yang dibacakan pada upacara kenegaraan di Istana Negara
adalah salinan dari naskah asli yang disimpannya itu (Kompas, 19/8/1967).

BM Diah kemudian menyerahkan naskah proklamasi yang ditulis tangan dengan pensil
oleh Bung Karno kepada Presiden Soeharto pada Mei 1992.  Ketika menerima naskah
itu, Presiden Soeharto mengatakan naskah teks Proklamasi yang ditulis tangan itu
adalah dokumen penting yang merupakan bagian dari sejarah perjuangan Bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Kepala Negara menginstruksikan agar dokumen tersebut
disimpan dan dipelihara di Arsip Nasional.

Naskah proklamasi asli yang ditulis tangan Soekarno itu hingga kini disimpan di
Gedung Arsip Nasional di Jalan Ampera Raya, Cilandak, Jakarta.
Biodata
Nama

Burhanudin Muhammad Diah

Lahir

Kutaraja (Banda Aceh), 7 April 1917

Pendidikan
 HIS Kutaraja
 Taman Siswa Medan
 Ksaatrian Institut, Midelbare Journalisten School di Bandung

Karier
 Wartawan Harian Sinar Deli
 Jurnalis di harian Asia Raya,
 Penyiar Radio Hosokyoku
 Duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Muangthai
 Duta Besar Indonesia untuk Her Majesty’s Government
 Duta Besar untuk Singapura
 Menteri Penerangan

Kiprah Organisasi
 Ketua Indonesia Muda cabang Medan
 Persatuan Murid Taman Siswa, Medan
 Persatuan Wartawan Indonesia
 Pengurus Harian PHRI
Penghargaan
Penghargaan Bintang Mahaputra kelas III (Bintang Utama) (21 Mei 1973),

Piagam penghargaan Medali Perjuangan Angkatan 45 dari Dewan Harian Nasional


Angkatan 45 (17 Agustus 1995)

Keluarga
Istri

Herawati Diah

Anak

 Adyaniwati Tribuana Said


 Aditya Teja Nurman
 Nurdianiwati W Rohde

Anda mungkin juga menyukai