Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

TEKNOLOGI SEDIAAN SETENGAH PADAT DAN CAIR


EMULSIFIKASI

Disusun oleh:
Kelompok 1
Kelas Teknologi Sediaan Setengah Padat dan Cair A (Sabtu, 08.00 - 10.30)

Alfrina Irene 1606924202


Astri Maulinda Sari 1806135981
Basmah Nadia 1806136006
Chinthia Rahadi Putri 1806193943
Fionna Christie E. 1806194385
Haikal Ilmi Akbar 1606836931

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2020
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Emulsifikasi” tepat pada
waktunya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Sediaan Setengah
Padat dan Cair. Dalam makalah ini, penulis membahas teori emulsifikasi, tipe emulsi dan
emulsifier, mekanisme terbentuknya emulsi, faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi
serta contoh sistem emulsi.

Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan Bapak Dr. Raditya Iswandana,
M.Farm., Apt. selaku dosen mata kuliah Teknologi Sediaan Setengah Padat dan Cair yang
telah memberikan bimbingan dan masukan serta menuntun dalam proses pembuatan makalah
ini. Penulis juga berterima kasih atas bantuan semua pihak yang secara langsung maupun
tidak langsung telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata maupun
informasi yang kurang berkenan. Serta penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Depok, 28 September 2020

Penulis
ii
iii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 1
1.3. Tujuan ....................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN .............................................................................. 3
2.1. Teori Emulsifikasi .................................................................... 3
2.2. Jenis Emulsi .............................................................................. 5
2.3. Jenis Emulgator ........................................................................ 6
2.4. Mekanisme emulsifikasi ........................................................... 13
2.5. Hal-hal yang Mempengaruhi Stabilitas Emulsi........................ 17
2.6. Contoh Sistem Emulsi .............................................................. 21
BAB 3 PENUTUP ........................................................................................ 24
3.1. Kesimpulan ............................................................................... 24
3.2. Saran ......................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 25

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Allen, L., Ansel, H. (2015), emulsi merupakan suatu sistem dua fase yaitu
fase terdispersi dan fase pendispersi, dimana fase terdispersinya tersusun atas globul-
globul kecil dari sejumlah cairan yang terdistribusi merata dalam fase pembawa.
Umumnya, untuk mendapatkan sebuah emulsi yang stabil, diperlukan emulsifying agent.
Emulsifying agent bekerja dengan membentuk sebuah lapisan film tipis di sekeliling globul
dari fase terdispersi. Bergantung pada konstituennya, viskositas suatu emulsi dapat
bervariasi dan emulsi dapat dibuat dalam sediaan cair maupun semi-solid. Emulsi semi-
solid biasanya digunakan secara topikal, contohnya lotion, krim, salep, dan lainnya.
Emulsi dapat berbentuk o/w atau w/o, tergantung zat aktif, kemampuannya sebagai
emolien, dan kondisi kulit. Umumnya, zat yang bersifat mengiritasi kulit dapat dibuat
menjadi fase terdispersi agar sifat iritan-nya dapat berkurang. Menurut Maphosa, Yvonne
& Jideani, Victoria. (2018), emulsi selanjutnya dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran
droplets-nya menjadi, emulsi konvensional (d > 200 nm), mikroemulsi (d < 100 nm) dan
nanoemulsi (d < 200 nm).
Menurut Barkat, Ali, et. al. (2011), stabilitas suatu emulsi farmasetika dicirikan dari
tidak terjadinya koalesensi dari fase terdispersi, tidak terjadi creaming dan emulsi tersebut
dapat mempertahankan bau, warna, dan penampilannya. Fenomena ketidakstabilan suatu
emulsi dapat diklasifikasikan menjadi Flocculation, creaming, dan koalesens.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja teori emulsifikasi?
2. Apa saja tipe emulsi dan emulgator?
3. Bagaimana mekanisme emulsifikasi?
4. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas emulsi?
5. Apa saja contoh sistem emulsi?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami teori emulsifikasi
2

2. Mengetahui apa saja tipe emulsi dan emulgator


3. Memahami mekanisme emulsifikasi
4. Mengetahui dan memahami faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas emulsi
5. Mengetahui contoh sistem emulsi
3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori Emusifikasi
Ada berbagai macam teori mengenai emulsifikasi dan secara umum teori emulsifikasi yang
ada menjelaskan bagaimana proses dan mempertahankan kestabilan emulsi. Teori
emulsifikasi sendiri ada tiga (Allen, 2015) , yaitu:
2.1.1 Surface Tension Theory
Di dalam farmasi dikenal dua daya yang mempengaruhi bercampur atau
tidaknya dua atau lebih zat cair, yaitu daya kohesi dan daya adhesi. Daya-daya ini
yang akan mempengaruhi bagaimana suatu emulsi akan stabil atau cairan-cairan
dapat bercampur. Daya kohesi adalah daya tarik menarik antarpartikel yang sejenis,
sedangkan daya adhesi adalah daya tarik menarik antarpartikel yang tidak sejenis.
Hal yang menyebabkan dua atau lebih zat cair yang berbeda tidak dapat bercampur
adalah karena adanya daya kohesi yang besar. Daya kohesi ini juga yang
menyebabkan terbentuknya tegangan permukaan. Semakin besar tegangan
permukaan antara zat-zat cair, maka semakin besar pula kemungkinan zat-zat cair
tersebut tidak dapat bergabung. Oleh karena itu, diperlukan suatu emulgator atau
surfaktan yang berguna untuk mengurangi tegangan permukaan.
Emulgator ini bekerja agar dapat menurunkan tegangan permukaan cairan
sehingga gaya tolak menolak antarcairan juga akan berkurang. Selain itu, emulgator
atau surface active agent ini akan memfasilitasi globul-globul besar menjadi
globul-globul lebih kecil dan menjaga agar tidak kembali menyatu (coalescing).
2.1.2 Oriented-Wedge Theory
Oriented-wedge theory ini merupakan teori yang menjelaskan bagaimana
surfaktan atau emulgator membentuk suatu lapisan monomolekuler yang
melengkung di sekitar droplet. Emulgator bersifat sebagai tali pengikat bagi cairan-
cairan yang berbeda polaritasnya dan emulgator sendiri memiliki dua bagian utama,
yaitu bagian hidrofilik dan lipofilik. Selanjutnya, ketika emulgator ditambahkan ke
dalam cairan yang berbeda polaritasnya, maka bagian yang hidrofilik akan masuk
ke dalam bagian air atau bagian polar, sedangkan bagian yang lipofilik masuk ke
dalam bagian yang kurang polar. Dengan demikian, cairan-cairan tersebut dapat
4

menyatu. Akan tetapi, tiap emulgator memiliki nilai keseimbangan yang berbeda-
beda. Nilai keseimbangan ini dikenal sebagai nilai HLB atau Hydrophylic
Lipophylic Balance. Semakin besar nilai HLB, maka semakin besar juga surfaktan
tersebut bersifat hidrofilik dan begitu juga dengan sebaliknya.

2.1.3 Plastic or Intrafacial Film Theory


Plastic or intrafacial film theory ini merupakan teori yang menjelaskan
bahwa emulsifying agent akan melapisi atau membungkus droplet-droplet dengan
lapisan yang tipis. Lapisan-lapisan ini yang akan mencegah kontak antardroplet
sehingga mencegah terjadinya peristiwa coalescing dari fase terdispersi. Oleh
karena itu, semakin tebal lapisan yang terbentuk dari emulsifying agent, maka akan
meningkatkan kestabilan emulsi. Ada dua jenis lapisan yang terbentuk, yaitu:
2.1.3.1. Lapisan Monomolekuler
Lapisan monomolekuler ini hanya menggunakan emulgator tunggal
dan memiliki lapisan yang tipis sehingga emulsi akan bersifat kurang
stabil.

2.1.3.2. Lapisan Multimolekuler


Lapisan multimolekuler ini memiliki lapisan yang tebal sehingga
emulsi akan bersifat lebih stabil. Biasanya lapisan multimolekuler ini akan
terbentuk apabila menggunakan emulgator ganda, seperti span dan tween.
5

2.2. Jenis Emulsi


2.2.1 Jenis Emulsi Berdasarkan Pembawa
Emulsi sederhana dikelompokkan menjadi emulsi minyak dalam air dan
emulsi air dalam minyak. Emulsi minyak dalam air (O/W) merupakan emulsi yang
memiliki fase terdispersi berupa minyak dan fase pendispersi berupa air, sedangkan
emulsi air dalam minyak (W/O) merupakan emulsi yang memiliki fase terdispersi
berupa air dan fase pendispersi berupa minyak. Emulsi O/W sering digunakan untuk
sediaan oral terutama untuk zat aktif minyak, dimana minyak dapat memberikan
rasa yang tidak nyaman, seperti gatal pada tenggorokan. Oleh karena itu minyak
didispersikan dalam pembawa air agar lebih mudah ditelan. Sedangkan untuk
emulsi W/O sering digunakan untuk sediaan topikal karena pembawa minyak lebih
sulit hilang dibanding air, hal ini dilakukan agar zat aktif yang berbentuk air tidak
mudah terhapus saat penggunaan.
Selain emulsi sederhana, terdapat emulsi ganda yang merupakan sistem
emulsi yang kompleks dan bersifat poly-dispersed karena W/O dan O/W ada secara
bersamaan dalam satu sistem. Emulsi ganda terdiri dari dua jenis emulsi, yaitu oil
in water in oil dan water in oil in water. Emulsi oil in water in oil (O/W/O) memiliki
fase terdispersi minyak dalam air dan fase pendispersi minyak, dibuat dengan
mencampurkan suatu pengemulsi O/W dengan fase minyak ke dalam suatu fase air
untuk membentuk suatu emulsi minyak dalam air, lalu didispersikan kembali dalam
minyak (W/O). Emulsi water in oil in water (W/O/W) memiliki fase terdispersi air
dalam minyak dan fase pendispersi air, dibuat dengan mencampurkan suatu fase air
ke dalam fase minyak menggunakan pengemulsi W/O untuk membentuk suatu
emulsi air dalam minyak. Emulsi W/O tersebut kemudian didispersikan dalam suatu
larutan air dari suatu zat pengemulsi O/W, sehingga membentuk emulsi water in oil
in water.
6

2.2.2 Jenis Emulsi Berdasarkan Ukuran Partikel

Berdasarkan ukuran partikelnya, emulsi terbagi menjadi mikroemulsi,


nanoemulsi, dan makroemulsi. Mikroemulsi merupakan sistem homogen dan
transparan serta stabil secara termodinamik, memiliki ukuran droplet fase
terdispersi 10-100 nm, dan dalam pembuatannya diperlukan senyawa amfifilik
kedua (kosurfaktan) untuk mencapai tegangan antarmuka yang diinginkan.
Nanoemulsi merupakan suatu perkembangan bentuk emulsi dengan ukuran droplet
berdiameter kurang dari 100-400 nm, sedangkan makroemulsi adalah emulsi
dengan ukuran droplet lebih dari 400 nm.

2.3. Jenis Emulgator


Langkah awal dalam persiapan emulsi adalah pemilihan emulgator.
Untuk menjadi berguna dalam sediaan farmasi, emulgator harus kompatibel
dengan bahan lainnya dalam formula dan tidak mengganggu stabilitas atau
manfaat inisiasi agen terapeutik. Emulgator dapat dikelompokan menjadi
surfaktan sintetik dan semi sintetik, material alami dan turunannya, dan partikel
solid (Aulton, 2013).
1. Surfaktan sintetik dan semi sintetik

Surfaktan sintetik dan semi sintetik terbagi menjadi surfaktan anionik,


kationik, non ionik, dan amfoter.
a. Surfakatan anionik

Surfaktan anionik berdisosiasi pada pH tinggi untuk membentuk anion


rantai panjang sebagai emulgatornya. Jenis-jenis surfaktan anionik antara
lain sebagai berikut.
1) Sabun dan senyawa sejenis sabun
Contoh Struktur Kimia

Sabun Alkali Natrium Palmitat


7

Sabun logam Kalsium Palmitat

Sabun amin trietanolamin stearat

2) Senyawa tersulfatasi
Tipe emulsi oil in water.
Contoh:

Sodium lauryl sulfate

2) Senyawa tersulfonasi
Tipe emulsi oil in water.
Contoh:

Natrium dodecyl sulfonate


8

3) Garam dari asam empedu


Tipe emulsi oil in water.
Contoh:

Natrium glikokolat

4) Saponin
Secara farmasetika, tidak terlalu berfungsi sebagai surfaktan. Contohnya
adalah saponin steroid dan saponin triterpen.

b. Surfaktan kationik

Surfaktan anionik berdisosiasi pada pH tinggi untuk membentuk kation


rantai panjang sebagai emulgatornya. Contoh emulgator surfaktan
kationik adalah senyawa-senyawa ammonium kuarterner.

c. Surfaktan non ionik


Sufraktan non ionik dalam medium air tidak membentuk ion namun
bereaksi netral sehingga pemakaiannya secara farmasetika pun
meningkat. Aktivitas surfaktannya relatif tidak tergantung pada suhu.
Berikut merupakan jenis-jenis surfaktan non ionik:
1) Alkohol lemak tinggi dan alkohol sterin

Contoh
9

Stearil alcohol
Alkohol lemak
CH3(CH2)16CH2O
tinggi rantai lurus
H Setil alcohol

CH3(CH2)15OH

2) Ester parsial asam lemak dari alkohol bervalensi banyak


Contoh:

3) Ester parsial asam lemak dari poligliserol

Contoh: Drewpole®

4) Ester parsial asam lemak dari sorbitan

Nama Dagang Identitas Kimia Harga HLB

Span 20 Sorbitan monolaurat 8,6

Span 40 Sorbitan monopalmitat 6,7

Span 60 Sorbitan monostearat 4,7

Span 65 Sorbitat tristearat 2,1

Span 80 Sorbitat monooleat 4,3


10

5) Ester parsial asam lemak dari polioksietilensorbitan

Nama Dagang/Identitas Kimia Harga HLB

16,7
Polioksietilen-(20)- sorbitan monolaurat

Tween 20

Polioksietilen-(4)-sorbitan monolaurat 13,3

Tween 21

Polioksietilen-(20)- sorbitan 15,6

monopalmitate Tween 40

14,9
Polioksietilen-(20)- sorbitan monostearate

Tween 60

9,6
Polioksietilen-(4)- sorbitan monooleat

Tween 61

10,5
Polioksietilen-(20)- sorbitan tristearat

Tween 65

15,0
Polioksietilen-(20)- sorbitan monooleat

Tween 80

10,0
Polioksietilen-(5)- sorbitan monooleat

Tween 81

6) Ester asam lemak dari polioksietilen


11

Nama Dagang/Identitas Kimia Harga HLB

Polioksietilen eter stearat Myrij 45 11,1

Polioksietilen eter stearat Myrij 49 15,0

Polioksietilen eter stearat Myrij 51 16,0

Polioksietilen eter stearat Myrij 52 16,9

Polioksietilen eter stearat Myrij 53 17,9

Polioksietilen eter stearate Myrij 59 18,8

7) Eter sorbitol dari polioksietilen

Nama Dagang/Identitas Kimia Harga HLB

Polioksietilen-sorbitol turunan malam lebah 5


G-1702

Polioksietilen-sorbitol turunan lanolin G-1425 8

Polioksietilen-sorbitol-ester taloleat G-1256 9,7

Polioksietilen-sorbitol heksaoleat G-1096 11,4

Polioksietilen-sorbitol-oleat laurat G-1144 13,2

Polioksietilen-sorbitol turunan lanolin G-1471 16

8) Eter alkohol lemak dari polioksietilen

Nama Dagang/Identitas Kimia Harga HLB

Eter lauril polioksietilen Birj 30 9,7

Eter lauril polioksietilen Birj 35 16,9

Eter setil polioksietilen Birj 52 5,3


12

Eter setil polioksietilen Birj 56 12,9

Eter setil polioksietilen Birj 58 15,7

Eter stearil polioksietilen Birj 72 4,9

Eter stearil polioksietilen Birj 76 12,4

Etil stearil polioksietilen Birj 78 15,3

Eter oleil polioksietilen Birj 92 4,9

Eter oleil polioksietilen Birj 96 12,4

Eter oleil polioksietilen Birj 98 15,3

9) Eter asam lemak dari sukrosa

Nama Dagang/Identitas Kimia Harga HLB

Sukrosa distearat 7

Sukrosa dioleat 7,2

Sukrosa dipalmitat 7,4

Sukrosamonostearat 11,1

Sukrosamonooleat 11,2

Sukrosamonoalmitat 11,7

Sukrosamonomiristat 12,3

Sukrosamonolaurat 13

d. Surfaktan amfoter
Senyawa kimia yang mempunyai gugus kationik dan anionik didalam
molekulnya, akan terionisasi didalam larutan air dan tergantung kondisi
13

mediumnya.

2. Material Alami dan Turunannya

Jenis emulgator dari material alami dan turunannya terbagi menjadi beberapa
golongan, yaitu sebagai berikut.
- Polisakarida

Contoh: Acacia dan tragacanth

- Polisakarida semisintetik

Contoh: Metilselulosa

- Substansi mengandung sterol

Contoh: Beeswax dan wool fat (lanolin)

Emulgator tersebut dikelompokkan juga berdasarkan asalnya, yaitu: turunan


tumbuhan, seperti acacia, tragacanth, dan carrageenan; dan turunan hewan, seperti
gelatin, lanolin, dan kolesterol.

3. Partikel solid

Emulgator partikel solid bersifat ampifil dan dapat dibasahi oleh fase air maupun
minyak. Jika partikel dibasahi oleh fase air akan terbentuk emulsi tipe o/w,
sedangkan jika partikel dibasahi oleh fase minyak akan terbentuk emulsi tipe w/o.

2.4. Mekanisme Emulsifikasi


Proses pembentukan emulsi disebut dengan emulsifikasi. Emulsifikasi merupakan
suatu proses yang dinamis dan tidak spontan, dan membutuhkan energi untuk dapat
menghasilkan droplet/tetesan. Proses emulsifikasi membutuhkan energi mekanik yang
cukup besar untuk mendispersi salah satu cairan berupa tetesan kecil dalam fase kontinu.
Metode emulsifikasi diantaranya; guncangan sederhana, pencampuran dengan sistem
rotor-stator, injeksi cairan melalui membran berpori, atau penghomogen tekanan tinggi dan
14

generator ultrasonik. Bentuk tetesan perlu mengalami deformasi yang terjadi selama
pengadukan emulsi.

Gambar. Deformasi Droplet pada Proses Emulsifikasi


(Akbari, Sweeta dan Abdurahman Hamid, 2018)

Pembentukan emulsi memerlukan tiga kondisi, yaitu ketetapan antara fase emulsi,
pencampuran kontinu/agitasi untuk mendispersikan satu cairan ke cairan lain, dan
keberadaan surfaktan. Karakteristik emulsi dapat berubah dari awal pembentukan hingga
resolusi penuhnya dan bergantung pada beberapa faktor seperti suhu, kecepatan agitasi,
waktu, dan tekanan.
Mekanisme emulsifikasi dapat dijelaskan melalui teori emulsifikasi, yaitu:
a. Teori Tegangan Permukaan
Penggunaan surfaktan sebagai zat pengemulsi (emulgator) dan zat penstabil
menyebabkan penurunan tegangan permukaan antarmuka dari kedua cairan (air dan
minyak) sehingga akan mengurangi gaya tolak menolak antara kedua cairan yang tidak
saling bercampur dan juga berguna untuk mengurangi gaya tarik menarik antar molekul
dari masing-masing cairan.
b. Teori Orientasi Bentuk Baji
Lapisan monomolekuler dari zat pengemulsi (emulgator) melingkari suatu tetesan dari
fase dalam emulsi. Emulsi terbentuk berdasarkan adanya kelarutan selektif dari bagian
molekul emulgator. Zat pengemulsi akan memilih larut dalam salah satu fase dan
terikat kuat serta terbenam dalam fase tersebut dibandingkan dengan pada fase lain
bergantung pada kecenderungan sifat hidrofilik atau hidrofobiknya.
c. Teori Lapisan Antarmuka
Emulgator akan diserap pada batas air dan minyak yang kemudian akan membentuk
lapisan film yang membungkus fase dispersi atau fase interfasial. Terbungkusnya fase
15

tersebut mencegah usaha antar partikel sejenis untuk bergabung sehingga fase
dispersinya akan menjadi stabil.
d. Teori Lapisan Listrik Rangkap
Jika minyak terdispersi dalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan dengan
permukaan minyak akan bermuatan sejenis, lapisan berikutnya bermuatan berlawanan
dengan lapisan di depannya. Tiap partikel minyak dilindungi oleh dua lapisan listrik
yang saling berlawanan. Lapisan akan menolak usaha dari partikel minyak yang akan
menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar. Susunan listrik yang
menyelubungi sesama partikel akan tolak menolak dan stabilitas emulsi akan
bertambah.
Namun, mekanisme emulsifikasi tidak mungkin bisa dijelaskan hanya oleh satu
teori emulsifikasi saja. Lebih dari satu teori terlibat sehingga dapat menjelaskan cara di
mana banyak dan beragam emulgator mempromosikan pembentukan dan stabilitas dalam
sistem emulsi. Misalnya, penurunan tegangan antarmuka penting dalam pembentukan awal
emulsi, tetapi pembentukan baji pelindung molekul atau lapisan pengemulsi penting untuk
stabilitas lanjutan.
Secara umum mekanisme emulsifikasi dilakukan dengan menambahkan emulgator
pada dua tahapan proses, yaitu pada saat proses pembentukan awal emulsi kemudian pada
saat menjaga stabilitas emulsi. Cara kerja emulgator adalah membentuk lapisan film pada
permukaan di antara dua fase cairan. Fase cairan yang dimaksud dapat berupa fase air dan
fase minyak. Hasil film yang dibentuk oleh emulgator dapat terbagi menjadi tiga jenis film
yaitu: Film monomolekular, Film multimolekular, dan Film partikel solid.
a. Film monomolekular
Film ini terbentuk oleh mekanisme kerja emulgator surfaktan yang kemudian dapat
menstabilkan emulsi. Pembentukan lapisan ini dapat terjadi dengan cara adsorpsi dari
molekul dan ion surfaktan di permukaan antara minyak-air. Kehadiran suatu molekul
atau ion yang berlebihan di antarmuka dua fase akan menyebabkan penurunan tegangan
permukaan. Hasilnya adalah emulsi lebih stabil karena penurunan yang proporsional
pada energi bebas permukaan. Hal ini sesuai dengan hukum Gibbs. Walaupun
demikian, penurunan ini mungkin bukan faktor utama yang menstabilkan emulsi.
Tetesan yang mengelilingi lapisan monolayer koheren secara lebih signifikan dapat
16

mencegah koalesens. Adanya muatan kuat dan penolakan satu sama lain pada tetesan
ketika pembentukan lapisan monolayer emulsi diionisasi akan meningkatkan stabilitas
sistem.
b. Film multimolekular
Film ini terbentuk oleh mekanisme kerja emulgator hidrofilik atau polimer. Koloid
hidrofilik mampu membentuk lapisan multimolekular di sekitar tetesan-tetesan minyak
yang terdispersi. Koloid tidak menyebabkan penurunan tegangan permukaan yang
signifikan meskipun ia diabsorpsi di antarmuka dua fase cairan. Namun, emulgator ini
memiliki efisiensi yang tergantung pada kemampuannya untuk membentuk lapisan
multimolekular yang koheren dan kuat. Mekanisme kerjanya adalah sebagai penyalut
di sekitar droplet dan memberikan kemampuan resistansi tinggi terhadap koalesens.
Selain itu, koloid hidrofilik yang lain mampu meningkatkan viskositas dari fase air
sehingga dapat meningkatkan stabilitas emulsi.
c. Film partikel solid
Film ini terbentuk oleh mekanisme kerja emulgator partikel padat. Partikel solid kecil
yang dibasahi dengan derajat tertentu oleh fase cairan aqueous dan non-aqueous
berperan sebagai agen pengemulsi. Jika partikel terlalu hidrofobik maka partikel
tersebut akan didispersikan secara sempurna di fase minyak, sedangkan jika partikel
terlalu hidrofilik maka partikel akan tetap berada di fase aqueous. Syarat kedua adalah
partikel harus sangat kecil dibandingkan dengan tetesan-tetesan pada fase terdispersi.

2.4.1 Penggunaan Surfaktan


Surfaktan memainkan peran utama dalam proses pembentukan awal emulsi
melalui penurunan tegangan antarmuka. Penurunan tegangan antarmuka dari
dua cairan yang tidak bercampur kemudian mengurangi gaya tolak menolak
antara kedua cairan tersebut serta mengurangi gaya tarik-menarik antar
molekul dari masing-masing cairan. Hal ini memfasilitasi pemecahan tetesan
besar menjadi lebih kecil sehingga suatu cairan memiliki kecenderungan lebih
rendah untuk bersatu kembali pada molekulnya sendiri. Pemecahan tetesan
menjadi lebih kecil memerlukan deformasi yang terjadi pada saat proses
pengadukan.
17

Gambar. Pemecahan Tetesan, Adsorpsi Surfaktan, dan Tumbukan Tetesan


(Tadros, Tharwat F, 2013)

Gambar diatas menunjukkan ilustrasi dari berbagai proses yang terjadi selama
emulsifikasi, pemecahan tetesan, adsorpsi surfaktan, dan tumbukan tetesan (yang mungkin
atau mungkin tidak menyebabkan penggabungan). Masing-masing proses di atas terjadi
beberapa kali selama emulsifikasi dan skala waktu setiap proses sangat singkat, biasanya
mikrodetik. Hal ini menunjukkan bahwa proses emulsifikasi adalah proses dinamis dan
peristiwa yang terjadi dalam kisaran mikrodetik bisa jadi sangat penting.

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Emulsi


Stabilitas emulsi didefinisikan sebagai kemampuan suatu emulsi untuk
mempertahankan agar tiap fase tetap tercampur dan pada dasarnya emulsi merupakan
sistem yang tidak stabil dan cenderung saling terpisah menjadi fase air dan fase minyaknya
(Allen, L., Ansel, H., 2015). Secara fisik, emulsi tidak stabil jika: fase internal (fase
terdispersi) cenderung membentuk agregat atau globul; globul besar atau kumpulan globul
naik keatas atau jatuh ke dasar emulsi untuk membentuk lapisan konsentrat; dan jika
seluruh bagian cairan dari fase internal terpisah dan membentuk lapisan jelas pada bagian
atas atau bagian dasar emulsi membentuk koalesens (Allen, L., Ansel, H., 2015).
Berdasarkan Hukum Stokes, laju pemisahan fase terdispersi bergantung pada
(Allen, L., Ansel, H., 2015):
18

a. Ukuran partikel fase terdispersi. Semakin besar ukuran partikel fase terdispersi
maka semakin cepat laju pemisahannya. Maka, globul atau ukuran partikel perlu
diperkecil sekecil yang masih mungkin dibuat.
b. Perbedaan densitas antara kedua fase. Semakin besar perbedaan densitas antara
kedua fase maka semakin cepat laju pemisahannya. Maka, perbedaan densitas
antara fase internal dan eksternal juga perlu diperkecil
c. Viskositas fase pendispersi. Semakin kecil viskositas fase pendispersi maka
semakin cepat laju pemisahannya. Maka, viskositas fase eksternal perlu
ditingkatkan. Biasanya, untuk meningkatkan viskositas fase eksternal dapat
ditambahkan pengental seperti tragakan dan mikrokristalin selulosa.

Selain itu faktor lain seperti konsentrasi emulsifier atau stabilizer, pH sistem,
kekuatan ionik, parameter homogenisasi juga mempengaruhi stabilitas emulsi.
Sehingga, penambahan emulsifier, stabilizer, texture modifier (pengental dan gelling
agent) digunakan untuk meningkatkan stabilitas kinetika dari emulsi untuk waktu yang
lebih lama (Maphosa, Yvonne & Jideani, Victoria., 2018). Umumnya, emulsi juga perlu
dilindungi dari suhu dingin dan panas. Jika emulsi dibekukan biasanya dapat
membentuk emulsi yang kasar dan kemudian pecah. Panas yang berlebihan juga
memberikan efek yang sama. Kondisi lingkungan lainnya, seperti terkena paparan
cahaya, udara, dan kontaminasi mikroorganisme dapat merusak stabilitas emulsi,
sehingga perlu pengemasan yang sesuai. Misalnya, emulsi yang sensitif cahaya
ditempatkan dalam kontainer yang tahan cahaya. Untuk emulsi yang dapat teroksidasi
dapat ditambahkan antioksidan saat formulasinya.

Ketidakstabilan suatu emulsi dapat menghasilkan beberapa fenomena seperti


flokulasi, creaming, sedimentasi, koalesens.
a. Flokulasi
Proses flokulasi merupakan proses dimana droplets dalam sebuah emulsi
“attracted” atau tertarik satu sama lain dan membentuk “flocs” tanpa merusak atau
memecah lapisan penstabil permukaan. Flokulasi droplet ini bisa terjadi karena
adanya gaya gravitasi, sentrifugasi, gaya brown, atau ketika gaya repulsive lebih
rendah daripada gaya van der Waals. Fenomena ini tidak diinginkan untuk terjadi,
19

karena dapat memicu terbentuknya creaming seiring makin besarnya ukuran


partikel dan semakin dekatnya jarak antar droplets.

Gambar. Perbedaan Emulsi Normal dengan Emulsi yang mengalami Flokulasi


(Maphosa, Yvonne & Jideani, Victoria., 2018)

b. Creaming dan sedimentasi


Globul-globul fase internal pada dasarnya cenderung membentuk agregat
dan naik ke bagian atas atau jatuh ke bagian dasar emulsi daripada sebagai partikel
individual. Jika naik ke atas, maka disebut creaming, jika jatuh kebawah maka
disebut sedimentasi. Penggunaan kata “creaming” ini digunakan awalnya dari
industri susu yang menyebut proses creaming untuk proses naiknya cream dari
susu dan membentuk lapisan terpisah (Allen, L., Ansel, H., 2015). Kejadian ini
merupakan proses yang reversibel, yaitu bagian yang mengalami creaming dapat
didistribusikan kembali dengan pengocokan.
Creaming dan sedimentasi dapat terjadi ketika droplets berkumpul
menjadi satu membentuk droplets yang lebih besar, atau ketika droplets naik ke
permukaan emulsi karena memiliki daya apung (Maphosa, Yvonne & Jideani,
Victoria., 2018). Hal ini biasanya terjadi karena adanya gaya gravitasi, yaitu ketika
densitas fase terdispersinya lebih kecil daripada fase pendispersi. Fenomena ini
menghasilkan lapisan yang lebih konsentrat. Creaming biasanya merupakan
20

prekursor koalesens dan diikuti dengan saling terpisahnya kedua fase. Namun,
emulsi yang mengalami creaming dianggap tidak estetik dan tidak menarik bagi
konsumen. Lebih daripada itu, jika creaming dibiarkan selanjutnya dapat
meningkat menjadi koalesens (Allen, L., Ansel, H., 2015.

Gambar. Fenomena Creaming dan Sedimentasi (Maphosa, Yvonne & Jideani,


Victoria., 2018)

c. Koalesens
Koalesens merupakan proses dimana droplets saling bergabung dan
membentuk droplets yang lebih besar, dan seiring berjalannya waktu, membentuk
sebuah lapisan yang terpisah dari fase pendispersi (Maphosa, Yvonne & Jideani,
Victoria., 2018). Kejadian ini reversibel, karena lapisan pelindung globul sudah
hilang. Percobaan untuk memperbaiki emulsi biasanya tidak berhasil.
Penambahan emulsifying agent dan pemrosesan ulang menggunakan mesin
biasanya dapat dilakukan (Maphosa, Yvonne & Jideani, Victoria., 2018).

Gambar. Fenomena Koalesensi (Maphosa, Yvonne & Jideani, Victoria., 2018).


21

2.6. Contoh Sistem Emulsi

2.6.1 Sistem Emulsi Oral


Berikut merupakan contoh-contoh sistem emulsi untuk pemakaian oral,
1. Emulsi Minyak Mineral
Minyak mineral adalah produk sampingan cair dari penyulingan minyak
bumi. Jenis minyak mineral ini adalah minyak transparan dan tidak berwarna,
memiliki kandungan hidrokarbon seperti alkana dan sikloalkana. Emulsi minyak
mineral berbasis minyak dalam air (o/w). Berikut merupakan contoh formulasi
emulsi minyak mineral dalam USP, (2011):

Sediaan emulsi minyak mineral tidak dicerna di saluran lambung-usus,


digunakan untuk mengobati sembelit dan dikenal sebagai pencahar pelumas. Cara
kerjanya yaitu sebagai pelicin bagi isi usus dan tinja dan membantu melunakkan
tinja dan juga mempermudah tinja melewati usus. Dalam sejumlah sediaan terjual
di pasaran, emulsi minyak mineral ditambahkan agen katartik lainnya seperti
fenolftalein, susu magnesia, agar, dan lain-lain. Pemakaian emulsi minyak mineral
secara oral dapat menyebabkan efek samping seperti iritasi sekitar dubur,
mengurangi penyerapan tubuh terhadap zat-zat gizi seperti vitamin larut lemak dan
bila terinhalasi (tersedak) dapat menyebabkan pneumonia lipoid. Penggunaan
sediaan juga tidak dianjurkan untuk ibu hamil. Oleh karena ini, sediaan emulsi
minyak mineral praktis tidak digunakan kembali.

2. Emulsi Minyak Biji Jarak


Sediaan emulsi minyak biji jarak (castor oil) termasuk dalam jenis emulsi
minyak dalam air (o/w) dengan penggunaan fase minyaknya yaitu Oleum Ricini
dari tumbuhan Ricinus communis L. Minyak biji jarak memiliki kandungan utama
22

asam risinoleat dan bermanfaat sebagai pencahar. Dalam emulsi minyak biji jarak,
kandungan minyak biji jarak dalam komersial yaitu bervariasi dari sekitar 35%
hingga 67% (Allen,L., Ansel, H., 2015).

3. Emulsi Minyak Ikan


Emulsi minyak ikan termasuk dalam jenis emulsi minyak dalam air (o/w)
dengan kandungan minyak hati ikan sekitar 30-40%. Minyak hati ikan diperoleh
dari spesies Gadus morhua (ikan kod) yang kaya akan kandungan asam lemak
rantai 18 omega 3, DHA, AA, Vitamin A dan D, dan asam arakidonat yang
bermanfaat dalam pembentukan sel saraf otak untuk janin dan anak-anak. Oleh
karena itu, sediaan minyak ikan banyak dipasarkan sebagai suplemen. Contohnya
sediaannya yaitu Curcuma plus grow emulsion, Blackmores.

4. Emulsi Simotikon
Emulsi simetikon adalah bentuk simetikon yang terdispersi dalam air (o/w).
Simetikon memiliki fungsi sebagai defoaming agent yang dapat meredakan nyeri
akibat gas berlebihan di saluran pencernaan. Kandungan simetikon dalam sediaan
emulsi komersial yaitu 40mg per 0.6mL (Allen,L., Ansel, H., 2015). Contohnya
yaitu obat maag mylanta.

2.6.2 Sistem Emulsi Topikal


Sistem emulsi untuk pemakaian topikal biasanya ditemui sebagai produk
perawatan tubuh untuk melembabkan dan melindungi kulit dari pengaruh
lingkungan. Emulsi topikal dapat dijumpai dengan basis W/O maupun O/W yang
mudah diserap. Emulsi topikal yang lebih disukai adalah yang berbasis O/W
(minyak dalam air) karena selain mudah diserap kulit setelah digosokkan, tidak
lengket di kulit, dan mudah dialirkan dari kemasan (Paramitha, D., Suaniti, N.,
2017).
Contoh sediaan emulsi dengan pemakaian topikal yaitu Estrasorb.
Estrasorb lotion merupakan emulsi minyak dalam air (o/w) topikal dengan
kandungan estradiol untuk mengatasi hot flashes dan gejala berkeringat di malam
23

hari pada pasien menopause yang bekerja dengan menggantikan fungsi hormon
yang hilang selama menopause berlangsung. (Allen,L., Ansel, H., 2015).
24

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan
yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Emulsi terdiri dari dua jenis yaitu emulsi minyak
dalam air dan emulsi air dalam minyak. Tak hanya emulsi tunggal, terdapat juga sistem
emulsi ganda yaitu sistem O/W/O atau W/O/W, nanoemulsi, dan mikroemulsi. Ketiganya
memiliki prinsip yang sama dengan emulsi tunggal namun memiliki beberapa tujuan,
keuntungan, dan kelemahan masing-masing. Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan
bahan pengemulsi yang mencegah terpisahnya 2 fase tersebut. Jika terjadi ketidakstabilan
emulsi dapat terjadi masalah formulasi antara lain flokulasi, koalesens, creaming, dan
breaking. Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan emulsi dengan cara menempati antar
permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik (film) di
sekeliling partikel yang akan berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi tegangan antar
permukaan antara fase.

3.2. Saran
Pengetahuan mengenai teori emulsifikasi sebaiknya betul – betul dipahami
oleh mahasiswa sarjana Farmasi, karena merupakan mata kuliah serta ilmu yang
spesifik dipelajari oleh civitas farmasi. Hal tersebut dapat sangat membantu kita
sebagai orang farmasi agar dapat lebih baik memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Maka dari itu diperlukan usaha yang lebih pada bagian formulasi –
formulasi sediaan yang dipelajari, agar dapat bermanfaat.
25

DAFTAR PUSTAKA

Akbari, Sweeta dan Abdurahman Hamid Nour. 2018. Emulsion types, stability mechanisms
and rheology: A review. International Journal of Innovative Research and Scientific Studies.
Allen, L., Popovich, N., Ansel, H., & Ansel, H. (2015). Ansel's pharmaceutical dosage
forms and drug delivery systems. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Barkat, Ali & Khan, Barkat & Naveed, Akhtar & Muhammad, Haji & Khan, Haji M. shoaib
& Waseem, Khalid & Mahmood, Tariq & Rasul, Akhtar & Iqbal, M. & Khan, Haroon. (2011).
Basics of pharmaceutical emulsions: A review. African journal of pharmacy and pharmacology.
525. 2715-2725. 10.5897/AJPP11.698.
Gennaro, Alfonso R. 2005. Remington: The Science And Practice of Pharmacy. USA:
Lippincott Williams & Wilkins.
Maphosa, Yvonne & Jideani, Victoria. (2018). Factors Affecting the Stability of Emulsions
Stabilised by Biopolymers. 10.5772/intechopen.75308.
Thadros, Tharwat F. 2013. Emulsion Formation and Stability, First Edition. Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co.
Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Edisi Keenam. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
USP, U. P. (2011). 34, NF 29. In The United States pharmacopeia and the National
formulary. The United States Pharmacopeial Convention, Rockwille, MD (p. 20852).
Paramitha, D. A., Sibarani, J., & Suaniti, N. M. (2017). Sifat fisikokimia hand and body
cream dengan pemanfaatan ekstrak etanol bunga gemitir (Tagetes Erecta L.) dan bunga pacar air
merah (Impatiens Balsamina L.) dari limbah canang. Cakra Kim. Indones. E J. Aplied Chem, 5, 1-
11.
Ansel, H. C., Allen, L. V., & Popovich, N. G. (1999). Pharmaceutical Dosage Forms and
Drug Delivery Systems. Philadelphia, PA: Lippincott-Williams & Wilkins. Aulton, M.E., dan
Taylor K.M.G. (2013). Aulton's Pharmaceutics: The Design and. Manufacture of Medicines,
Fourth Edition. Churcihill Livingstone: Elsevier. Aulton, M. (2013). The Design and Manufacture
of Medicines. Edinburgh: Churchill Livingstone : 70-71
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Departemen
Kesehatan Repbulik Indonesia.
26

Sinko, Patrick J. (2006). Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika, Edisi 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai