Disusun oleh:
Kelompok 1
Kelas Teknologi Sediaan Setengah Padat dan Cair A (Sabtu, 08.00 - 10.30)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2020
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Emulsifikasi” tepat pada
waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Sediaan Setengah
Padat dan Cair. Dalam makalah ini, penulis membahas teori emulsifikasi, tipe emulsi dan
emulsifier, mekanisme terbentuknya emulsi, faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi
serta contoh sistem emulsi.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan Bapak Dr. Raditya Iswandana,
M.Farm., Apt. selaku dosen mata kuliah Teknologi Sediaan Setengah Padat dan Cair yang
telah memberikan bimbingan dan masukan serta menuntun dalam proses pembuatan makalah
ini. Penulis juga berterima kasih atas bantuan semua pihak yang secara langsung maupun
tidak langsung telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata maupun
informasi yang kurang berkenan. Serta penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 1
1.3. Tujuan ....................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN .............................................................................. 3
2.1. Teori Emulsifikasi .................................................................... 3
2.2. Jenis Emulsi .............................................................................. 5
2.3. Jenis Emulgator ........................................................................ 6
2.4. Mekanisme emulsifikasi ........................................................... 13
2.5. Hal-hal yang Mempengaruhi Stabilitas Emulsi........................ 17
2.6. Contoh Sistem Emulsi .............................................................. 21
BAB 3 PENUTUP ........................................................................................ 24
3.1. Kesimpulan ............................................................................... 24
3.2. Saran ......................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 25
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Allen, L., Ansel, H. (2015), emulsi merupakan suatu sistem dua fase yaitu
fase terdispersi dan fase pendispersi, dimana fase terdispersinya tersusun atas globul-
globul kecil dari sejumlah cairan yang terdistribusi merata dalam fase pembawa.
Umumnya, untuk mendapatkan sebuah emulsi yang stabil, diperlukan emulsifying agent.
Emulsifying agent bekerja dengan membentuk sebuah lapisan film tipis di sekeliling globul
dari fase terdispersi. Bergantung pada konstituennya, viskositas suatu emulsi dapat
bervariasi dan emulsi dapat dibuat dalam sediaan cair maupun semi-solid. Emulsi semi-
solid biasanya digunakan secara topikal, contohnya lotion, krim, salep, dan lainnya.
Emulsi dapat berbentuk o/w atau w/o, tergantung zat aktif, kemampuannya sebagai
emolien, dan kondisi kulit. Umumnya, zat yang bersifat mengiritasi kulit dapat dibuat
menjadi fase terdispersi agar sifat iritan-nya dapat berkurang. Menurut Maphosa, Yvonne
& Jideani, Victoria. (2018), emulsi selanjutnya dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran
droplets-nya menjadi, emulsi konvensional (d > 200 nm), mikroemulsi (d < 100 nm) dan
nanoemulsi (d < 200 nm).
Menurut Barkat, Ali, et. al. (2011), stabilitas suatu emulsi farmasetika dicirikan dari
tidak terjadinya koalesensi dari fase terdispersi, tidak terjadi creaming dan emulsi tersebut
dapat mempertahankan bau, warna, dan penampilannya. Fenomena ketidakstabilan suatu
emulsi dapat diklasifikasikan menjadi Flocculation, creaming, dan koalesens.
1.3. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami teori emulsifikasi
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori Emusifikasi
Ada berbagai macam teori mengenai emulsifikasi dan secara umum teori emulsifikasi yang
ada menjelaskan bagaimana proses dan mempertahankan kestabilan emulsi. Teori
emulsifikasi sendiri ada tiga (Allen, 2015) , yaitu:
2.1.1 Surface Tension Theory
Di dalam farmasi dikenal dua daya yang mempengaruhi bercampur atau
tidaknya dua atau lebih zat cair, yaitu daya kohesi dan daya adhesi. Daya-daya ini
yang akan mempengaruhi bagaimana suatu emulsi akan stabil atau cairan-cairan
dapat bercampur. Daya kohesi adalah daya tarik menarik antarpartikel yang sejenis,
sedangkan daya adhesi adalah daya tarik menarik antarpartikel yang tidak sejenis.
Hal yang menyebabkan dua atau lebih zat cair yang berbeda tidak dapat bercampur
adalah karena adanya daya kohesi yang besar. Daya kohesi ini juga yang
menyebabkan terbentuknya tegangan permukaan. Semakin besar tegangan
permukaan antara zat-zat cair, maka semakin besar pula kemungkinan zat-zat cair
tersebut tidak dapat bergabung. Oleh karena itu, diperlukan suatu emulgator atau
surfaktan yang berguna untuk mengurangi tegangan permukaan.
Emulgator ini bekerja agar dapat menurunkan tegangan permukaan cairan
sehingga gaya tolak menolak antarcairan juga akan berkurang. Selain itu, emulgator
atau surface active agent ini akan memfasilitasi globul-globul besar menjadi
globul-globul lebih kecil dan menjaga agar tidak kembali menyatu (coalescing).
2.1.2 Oriented-Wedge Theory
Oriented-wedge theory ini merupakan teori yang menjelaskan bagaimana
surfaktan atau emulgator membentuk suatu lapisan monomolekuler yang
melengkung di sekitar droplet. Emulgator bersifat sebagai tali pengikat bagi cairan-
cairan yang berbeda polaritasnya dan emulgator sendiri memiliki dua bagian utama,
yaitu bagian hidrofilik dan lipofilik. Selanjutnya, ketika emulgator ditambahkan ke
dalam cairan yang berbeda polaritasnya, maka bagian yang hidrofilik akan masuk
ke dalam bagian air atau bagian polar, sedangkan bagian yang lipofilik masuk ke
dalam bagian yang kurang polar. Dengan demikian, cairan-cairan tersebut dapat
4
menyatu. Akan tetapi, tiap emulgator memiliki nilai keseimbangan yang berbeda-
beda. Nilai keseimbangan ini dikenal sebagai nilai HLB atau Hydrophylic
Lipophylic Balance. Semakin besar nilai HLB, maka semakin besar juga surfaktan
tersebut bersifat hidrofilik dan begitu juga dengan sebaliknya.
2) Senyawa tersulfatasi
Tipe emulsi oil in water.
Contoh:
2) Senyawa tersulfonasi
Tipe emulsi oil in water.
Contoh:
Natrium glikokolat
4) Saponin
Secara farmasetika, tidak terlalu berfungsi sebagai surfaktan. Contohnya
adalah saponin steroid dan saponin triterpen.
b. Surfaktan kationik
Contoh
9
Stearil alcohol
Alkohol lemak
CH3(CH2)16CH2O
tinggi rantai lurus
H Setil alcohol
CH3(CH2)15OH
Contoh: Drewpole®
16,7
Polioksietilen-(20)- sorbitan monolaurat
Tween 20
Tween 21
monopalmitate Tween 40
14,9
Polioksietilen-(20)- sorbitan monostearate
Tween 60
9,6
Polioksietilen-(4)- sorbitan monooleat
Tween 61
10,5
Polioksietilen-(20)- sorbitan tristearat
Tween 65
15,0
Polioksietilen-(20)- sorbitan monooleat
Tween 80
10,0
Polioksietilen-(5)- sorbitan monooleat
Tween 81
Sukrosa distearat 7
Sukrosamonostearat 11,1
Sukrosamonooleat 11,2
Sukrosamonoalmitat 11,7
Sukrosamonomiristat 12,3
Sukrosamonolaurat 13
d. Surfaktan amfoter
Senyawa kimia yang mempunyai gugus kationik dan anionik didalam
molekulnya, akan terionisasi didalam larutan air dan tergantung kondisi
13
mediumnya.
Jenis emulgator dari material alami dan turunannya terbagi menjadi beberapa
golongan, yaitu sebagai berikut.
- Polisakarida
- Polisakarida semisintetik
Contoh: Metilselulosa
3. Partikel solid
Emulgator partikel solid bersifat ampifil dan dapat dibasahi oleh fase air maupun
minyak. Jika partikel dibasahi oleh fase air akan terbentuk emulsi tipe o/w,
sedangkan jika partikel dibasahi oleh fase minyak akan terbentuk emulsi tipe w/o.
generator ultrasonik. Bentuk tetesan perlu mengalami deformasi yang terjadi selama
pengadukan emulsi.
Pembentukan emulsi memerlukan tiga kondisi, yaitu ketetapan antara fase emulsi,
pencampuran kontinu/agitasi untuk mendispersikan satu cairan ke cairan lain, dan
keberadaan surfaktan. Karakteristik emulsi dapat berubah dari awal pembentukan hingga
resolusi penuhnya dan bergantung pada beberapa faktor seperti suhu, kecepatan agitasi,
waktu, dan tekanan.
Mekanisme emulsifikasi dapat dijelaskan melalui teori emulsifikasi, yaitu:
a. Teori Tegangan Permukaan
Penggunaan surfaktan sebagai zat pengemulsi (emulgator) dan zat penstabil
menyebabkan penurunan tegangan permukaan antarmuka dari kedua cairan (air dan
minyak) sehingga akan mengurangi gaya tolak menolak antara kedua cairan yang tidak
saling bercampur dan juga berguna untuk mengurangi gaya tarik menarik antar molekul
dari masing-masing cairan.
b. Teori Orientasi Bentuk Baji
Lapisan monomolekuler dari zat pengemulsi (emulgator) melingkari suatu tetesan dari
fase dalam emulsi. Emulsi terbentuk berdasarkan adanya kelarutan selektif dari bagian
molekul emulgator. Zat pengemulsi akan memilih larut dalam salah satu fase dan
terikat kuat serta terbenam dalam fase tersebut dibandingkan dengan pada fase lain
bergantung pada kecenderungan sifat hidrofilik atau hidrofobiknya.
c. Teori Lapisan Antarmuka
Emulgator akan diserap pada batas air dan minyak yang kemudian akan membentuk
lapisan film yang membungkus fase dispersi atau fase interfasial. Terbungkusnya fase
15
tersebut mencegah usaha antar partikel sejenis untuk bergabung sehingga fase
dispersinya akan menjadi stabil.
d. Teori Lapisan Listrik Rangkap
Jika minyak terdispersi dalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan dengan
permukaan minyak akan bermuatan sejenis, lapisan berikutnya bermuatan berlawanan
dengan lapisan di depannya. Tiap partikel minyak dilindungi oleh dua lapisan listrik
yang saling berlawanan. Lapisan akan menolak usaha dari partikel minyak yang akan
menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar. Susunan listrik yang
menyelubungi sesama partikel akan tolak menolak dan stabilitas emulsi akan
bertambah.
Namun, mekanisme emulsifikasi tidak mungkin bisa dijelaskan hanya oleh satu
teori emulsifikasi saja. Lebih dari satu teori terlibat sehingga dapat menjelaskan cara di
mana banyak dan beragam emulgator mempromosikan pembentukan dan stabilitas dalam
sistem emulsi. Misalnya, penurunan tegangan antarmuka penting dalam pembentukan awal
emulsi, tetapi pembentukan baji pelindung molekul atau lapisan pengemulsi penting untuk
stabilitas lanjutan.
Secara umum mekanisme emulsifikasi dilakukan dengan menambahkan emulgator
pada dua tahapan proses, yaitu pada saat proses pembentukan awal emulsi kemudian pada
saat menjaga stabilitas emulsi. Cara kerja emulgator adalah membentuk lapisan film pada
permukaan di antara dua fase cairan. Fase cairan yang dimaksud dapat berupa fase air dan
fase minyak. Hasil film yang dibentuk oleh emulgator dapat terbagi menjadi tiga jenis film
yaitu: Film monomolekular, Film multimolekular, dan Film partikel solid.
a. Film monomolekular
Film ini terbentuk oleh mekanisme kerja emulgator surfaktan yang kemudian dapat
menstabilkan emulsi. Pembentukan lapisan ini dapat terjadi dengan cara adsorpsi dari
molekul dan ion surfaktan di permukaan antara minyak-air. Kehadiran suatu molekul
atau ion yang berlebihan di antarmuka dua fase akan menyebabkan penurunan tegangan
permukaan. Hasilnya adalah emulsi lebih stabil karena penurunan yang proporsional
pada energi bebas permukaan. Hal ini sesuai dengan hukum Gibbs. Walaupun
demikian, penurunan ini mungkin bukan faktor utama yang menstabilkan emulsi.
Tetesan yang mengelilingi lapisan monolayer koheren secara lebih signifikan dapat
16
mencegah koalesens. Adanya muatan kuat dan penolakan satu sama lain pada tetesan
ketika pembentukan lapisan monolayer emulsi diionisasi akan meningkatkan stabilitas
sistem.
b. Film multimolekular
Film ini terbentuk oleh mekanisme kerja emulgator hidrofilik atau polimer. Koloid
hidrofilik mampu membentuk lapisan multimolekular di sekitar tetesan-tetesan minyak
yang terdispersi. Koloid tidak menyebabkan penurunan tegangan permukaan yang
signifikan meskipun ia diabsorpsi di antarmuka dua fase cairan. Namun, emulgator ini
memiliki efisiensi yang tergantung pada kemampuannya untuk membentuk lapisan
multimolekular yang koheren dan kuat. Mekanisme kerjanya adalah sebagai penyalut
di sekitar droplet dan memberikan kemampuan resistansi tinggi terhadap koalesens.
Selain itu, koloid hidrofilik yang lain mampu meningkatkan viskositas dari fase air
sehingga dapat meningkatkan stabilitas emulsi.
c. Film partikel solid
Film ini terbentuk oleh mekanisme kerja emulgator partikel padat. Partikel solid kecil
yang dibasahi dengan derajat tertentu oleh fase cairan aqueous dan non-aqueous
berperan sebagai agen pengemulsi. Jika partikel terlalu hidrofobik maka partikel
tersebut akan didispersikan secara sempurna di fase minyak, sedangkan jika partikel
terlalu hidrofilik maka partikel akan tetap berada di fase aqueous. Syarat kedua adalah
partikel harus sangat kecil dibandingkan dengan tetesan-tetesan pada fase terdispersi.
Gambar diatas menunjukkan ilustrasi dari berbagai proses yang terjadi selama
emulsifikasi, pemecahan tetesan, adsorpsi surfaktan, dan tumbukan tetesan (yang mungkin
atau mungkin tidak menyebabkan penggabungan). Masing-masing proses di atas terjadi
beberapa kali selama emulsifikasi dan skala waktu setiap proses sangat singkat, biasanya
mikrodetik. Hal ini menunjukkan bahwa proses emulsifikasi adalah proses dinamis dan
peristiwa yang terjadi dalam kisaran mikrodetik bisa jadi sangat penting.
a. Ukuran partikel fase terdispersi. Semakin besar ukuran partikel fase terdispersi
maka semakin cepat laju pemisahannya. Maka, globul atau ukuran partikel perlu
diperkecil sekecil yang masih mungkin dibuat.
b. Perbedaan densitas antara kedua fase. Semakin besar perbedaan densitas antara
kedua fase maka semakin cepat laju pemisahannya. Maka, perbedaan densitas
antara fase internal dan eksternal juga perlu diperkecil
c. Viskositas fase pendispersi. Semakin kecil viskositas fase pendispersi maka
semakin cepat laju pemisahannya. Maka, viskositas fase eksternal perlu
ditingkatkan. Biasanya, untuk meningkatkan viskositas fase eksternal dapat
ditambahkan pengental seperti tragakan dan mikrokristalin selulosa.
Selain itu faktor lain seperti konsentrasi emulsifier atau stabilizer, pH sistem,
kekuatan ionik, parameter homogenisasi juga mempengaruhi stabilitas emulsi.
Sehingga, penambahan emulsifier, stabilizer, texture modifier (pengental dan gelling
agent) digunakan untuk meningkatkan stabilitas kinetika dari emulsi untuk waktu yang
lebih lama (Maphosa, Yvonne & Jideani, Victoria., 2018). Umumnya, emulsi juga perlu
dilindungi dari suhu dingin dan panas. Jika emulsi dibekukan biasanya dapat
membentuk emulsi yang kasar dan kemudian pecah. Panas yang berlebihan juga
memberikan efek yang sama. Kondisi lingkungan lainnya, seperti terkena paparan
cahaya, udara, dan kontaminasi mikroorganisme dapat merusak stabilitas emulsi,
sehingga perlu pengemasan yang sesuai. Misalnya, emulsi yang sensitif cahaya
ditempatkan dalam kontainer yang tahan cahaya. Untuk emulsi yang dapat teroksidasi
dapat ditambahkan antioksidan saat formulasinya.
prekursor koalesens dan diikuti dengan saling terpisahnya kedua fase. Namun,
emulsi yang mengalami creaming dianggap tidak estetik dan tidak menarik bagi
konsumen. Lebih daripada itu, jika creaming dibiarkan selanjutnya dapat
meningkat menjadi koalesens (Allen, L., Ansel, H., 2015.
c. Koalesens
Koalesens merupakan proses dimana droplets saling bergabung dan
membentuk droplets yang lebih besar, dan seiring berjalannya waktu, membentuk
sebuah lapisan yang terpisah dari fase pendispersi (Maphosa, Yvonne & Jideani,
Victoria., 2018). Kejadian ini reversibel, karena lapisan pelindung globul sudah
hilang. Percobaan untuk memperbaiki emulsi biasanya tidak berhasil.
Penambahan emulsifying agent dan pemrosesan ulang menggunakan mesin
biasanya dapat dilakukan (Maphosa, Yvonne & Jideani, Victoria., 2018).
asam risinoleat dan bermanfaat sebagai pencahar. Dalam emulsi minyak biji jarak,
kandungan minyak biji jarak dalam komersial yaitu bervariasi dari sekitar 35%
hingga 67% (Allen,L., Ansel, H., 2015).
4. Emulsi Simotikon
Emulsi simetikon adalah bentuk simetikon yang terdispersi dalam air (o/w).
Simetikon memiliki fungsi sebagai defoaming agent yang dapat meredakan nyeri
akibat gas berlebihan di saluran pencernaan. Kandungan simetikon dalam sediaan
emulsi komersial yaitu 40mg per 0.6mL (Allen,L., Ansel, H., 2015). Contohnya
yaitu obat maag mylanta.
hari pada pasien menopause yang bekerja dengan menggantikan fungsi hormon
yang hilang selama menopause berlangsung. (Allen,L., Ansel, H., 2015).
24
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan
yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Emulsi terdiri dari dua jenis yaitu emulsi minyak
dalam air dan emulsi air dalam minyak. Tak hanya emulsi tunggal, terdapat juga sistem
emulsi ganda yaitu sistem O/W/O atau W/O/W, nanoemulsi, dan mikroemulsi. Ketiganya
memiliki prinsip yang sama dengan emulsi tunggal namun memiliki beberapa tujuan,
keuntungan, dan kelemahan masing-masing. Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan
bahan pengemulsi yang mencegah terpisahnya 2 fase tersebut. Jika terjadi ketidakstabilan
emulsi dapat terjadi masalah formulasi antara lain flokulasi, koalesens, creaming, dan
breaking. Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan emulsi dengan cara menempati antar
permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik (film) di
sekeliling partikel yang akan berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi tegangan antar
permukaan antara fase.
3.2. Saran
Pengetahuan mengenai teori emulsifikasi sebaiknya betul – betul dipahami
oleh mahasiswa sarjana Farmasi, karena merupakan mata kuliah serta ilmu yang
spesifik dipelajari oleh civitas farmasi. Hal tersebut dapat sangat membantu kita
sebagai orang farmasi agar dapat lebih baik memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Maka dari itu diperlukan usaha yang lebih pada bagian formulasi –
formulasi sediaan yang dipelajari, agar dapat bermanfaat.
25
DAFTAR PUSTAKA
Akbari, Sweeta dan Abdurahman Hamid Nour. 2018. Emulsion types, stability mechanisms
and rheology: A review. International Journal of Innovative Research and Scientific Studies.
Allen, L., Popovich, N., Ansel, H., & Ansel, H. (2015). Ansel's pharmaceutical dosage
forms and drug delivery systems. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Barkat, Ali & Khan, Barkat & Naveed, Akhtar & Muhammad, Haji & Khan, Haji M. shoaib
& Waseem, Khalid & Mahmood, Tariq & Rasul, Akhtar & Iqbal, M. & Khan, Haroon. (2011).
Basics of pharmaceutical emulsions: A review. African journal of pharmacy and pharmacology.
525. 2715-2725. 10.5897/AJPP11.698.
Gennaro, Alfonso R. 2005. Remington: The Science And Practice of Pharmacy. USA:
Lippincott Williams & Wilkins.
Maphosa, Yvonne & Jideani, Victoria. (2018). Factors Affecting the Stability of Emulsions
Stabilised by Biopolymers. 10.5772/intechopen.75308.
Thadros, Tharwat F. 2013. Emulsion Formation and Stability, First Edition. Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co.
Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Edisi Keenam. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
USP, U. P. (2011). 34, NF 29. In The United States pharmacopeia and the National
formulary. The United States Pharmacopeial Convention, Rockwille, MD (p. 20852).
Paramitha, D. A., Sibarani, J., & Suaniti, N. M. (2017). Sifat fisikokimia hand and body
cream dengan pemanfaatan ekstrak etanol bunga gemitir (Tagetes Erecta L.) dan bunga pacar air
merah (Impatiens Balsamina L.) dari limbah canang. Cakra Kim. Indones. E J. Aplied Chem, 5, 1-
11.
Ansel, H. C., Allen, L. V., & Popovich, N. G. (1999). Pharmaceutical Dosage Forms and
Drug Delivery Systems. Philadelphia, PA: Lippincott-Williams & Wilkins. Aulton, M.E., dan
Taylor K.M.G. (2013). Aulton's Pharmaceutics: The Design and. Manufacture of Medicines,
Fourth Edition. Churcihill Livingstone: Elsevier. Aulton, M. (2013). The Design and Manufacture
of Medicines. Edinburgh: Churchill Livingstone : 70-71
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Departemen
Kesehatan Repbulik Indonesia.
26
Sinko, Patrick J. (2006). Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika, Edisi 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.