Disusun oleh:
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Obat Inflamasi di
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen kami, Bapak Dr. Anton Bahtiar S.Si,,
M.Si., yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Obat Inflamasi. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada orang tua kami yang telah memberikan dukungan berupa
moral dan materi sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada tim penulis yang telah membantu penyelesaian makalah
ini.
Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, tim
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Semoga, makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orang dengan usia lanjut sering kali mengalami masalah persendian. Salah satu
penyakit yang biasanya timbul pada usia 65 tahun ke atas yaitu osteoarthritis. Osteoarthritis
merupakan penyakit degenerasi sendi yang bermanifestasi pada perubaha n struktural
persendian seperti perombakan tulang rawan, pembentukan osteofit, dan kehilangan tulang
rawan.(Driban et al., 2020) Gejala osteoarthritis umumnya meliputi nyeri persendian,
pembengkakan, kekakuan, dan mengunci. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab
kecacatan yang paling umum di dunia. Studi kasus di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
10% pria dan 13% wanita berusia 60 tahun keatas didiagnosis menderita osteoarthritis
lutut.(Zhang et al., 2016) Tingkat kejadian meningkat seiring dengan bertambahnya usia
sampai mencapai puncak pada sekitar usia 70 tahun.(Driban et al., 2020)
Osteoarthritis dapat disebabkan oleh beberapa faktor resiko seperti obesitas dan
kelebihan berat badan, komorbiditas, faktor pekerjaan, aktivitas fisik, faktor biomekanik, dan
paparan makanan.(Georgiev & Angelov, 2019) Akan tetapi, penuaan merupakan salah satu
faktor risiko paling menonjol terjadinya osteoarthritis(OA), terutama pada bagian tangan,
pinggul, tulang belakang, dan lutut.(Greene & Loeser, 2015) Studi menunjukkan,
pertambahan usia akan menyebabkan peningkatan C-reactive protein (CRP), Interleukin (IL)-
6, dan Tumor Necrosis Factor-a (TNF-a), yang mana telah ditafsirkan sebagai bukti sumber
lokal mediator inflamasi yang meningkat seiring bertambahnya usia. Peningkatan kadar CRP
sejalan dengan peningkatan nyeri lutut dan berkorelasi dengan tingginya tingkat reseptor larut
untuk TNF-a yang berdampak pada penurunan kemampuan fisik pada orang lanjut usia
dengan OA lutut.(Greene & Loeser, 2015)
Dewasa ini banyak sekali rumor yang tidak benar mengenai penyakit sendi yang biasa
kita sebut sebagai penyakit rematik, seperti penyebab dari penyakit ini meliputi mandi
malam, kangkung, ataupun asam urat. Rematik atau Rheumatoid arthritis (RA) faktanya
merupakan penyakit kronis yang kompleks. Penyakit ini memiliki karakteristik gangguan
inflamasi sistemik dan gangguan autoimun dengan sistem imunitas bawaan dan adaptif yang
sedang diubah (Boissier et al., 2019). Gejala utama yang dirasakan adalah rasa sakit yang
biasanya lebih buruk saat istirahat atau selama periode tidak aktif, pembengkakan yang
biasanya di sekitar sendi (bukan pembengkakan tulang) memberikan sensasi 'boggy' pada
1
palpasi, dan kekakuan yang biasanya terjadi pada pagi hari dan berlangsung selama lebih
dari satu jam(Maru & Mulla, 2020).
Rheumatoid Arthritis ini pada nyatanya disebabkan oleh beberapa faktor risiko,
termasuk faktor genetik, jenis kelamin, dan lingkungan. Faktor-faktor lingkungan yang
diketahui yaitu merokok, paparan silika, agen yang menyebabkan infeksi, defisiensi vitamin
D, obesitas dan perubahan mikrobiota, meskipun penelitian untuk beberapa faktor ini tidak
terlalu kuat(Smolen et al., 2018)
4. Apa saja faktor resiko dan manifestasi klinik dari Rheumatoid Arthritis dan
Osteoarthritis?
1.3 Tujuan
2
BAB II
ISI
https://www.nature.com/articles/nrdp20181
3
dan tulang dalam sendi, sekitar 1,3 juta orang dewasa menderita RA, dan para
peneliti yang mempelajari rheumatoid arthritis sekarang percaya bahwa itu
mulai merusak tulang selama satu atau dua tahun pertama seseorang menderita
penyakit tersebut. (Pradeepkiran, 2019).
2.1.2 Osteoarthritis
https://www.nature.com/articles/boneres201540
4
(Sloane, 2004). Beberapa makromolekul utama yang terkandung dalam matriks
kartilago antara lain kondrosit, kolagen dan proteoglikan. Kolagen tipe II
berfungsi untuk menahan beban tubuh. Sedangkan proteoglikan berfungsi untuk
mempertahankan elastisitas persendian.
● Jenis kelamin
Wanita memiliki resiko RA 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal
ini disebabkan ketika menopause jumlah estrogen dalam tubuh wanita menurun.
5
Estrogen merupakan pelindung sendi yang bersifat antiinflamasi. Apabila jumlahnya
menuru,dapat terjadi inflamasi kronis yang akan meningkatkan resiko RA
● Genetik
● Faktor lingkungan
● Obesitas
Obesitas adalah salah satu kondisi yang dapat memicu peradangan sistemik, yang
disebabkan oleh akumulasi sel-sel adiposa (lemak) dan hiperproduksi protein
inflamasi yang dikenal sebagai sitokin. Semakin banyak sel adiposa dalam tubuh,
semakin tinggi konsentrasi sitokin tertentu. Selain itu, peningkatan berat badan
menambah stres pada persendian yang terkena, terutama lutut, pinggul, dan kaki,
yang mengakibatkan hilangnya mobilitas dan rasa sakit yang lebih besar.
2.2.2 Osteoarthritis
6
● Umur
OA tidak bersifat langsung akibat terjadinya penuaan sendi, tetapi penuaan
dapat mempengaruhi kemampuan tulang rawan artikular. Matriks tulang
rawan yang mengalami penuaan, rentan terhadap akumulasi(AGEs). AGEs
merupakan hasil endogen interaksi nonenzimatik glukosaprotein (dibentuk
dengan mengurai gula seperti glukosa, fruktosa atau ribosa, bereaksi dengan
lisin atau residu arginin dalam proses glikasi non-enzimatik). Pembentukan
AGE dalam kolagen dapat menyebabkan, pembentukan cross-link kolagen
yang berlebihan, yang kemudian akan mempengaruhi sifat biomekanik tulang
rawan. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kekakuan sehingga
membuat tulang rawan lebih rapuh dan kerentanan kegagalan jaringan
(Loeser, 2009).
Selain mengubah sifat biomekanik tulang rawan, peningkatan kadar AGE
dalam tulang rawan juga dapat mempengaruhi fungsi kondrosit. Dimana
AGEs dapat interaksi langsung dengan reseptor sel seperti RAGE (the
Receptor for Advanced Glycation). RAGE diekspresikan oleh kondrosit dan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Adanya RAGE ini akan
mengaktivasi peningkatan produksi MMPs (Matriks Metaloproteinase) seperti
MMP-1 (interstitial collagenase), MMP-3 (stromelysin 1) dan MMP-13
(collagenase 3) yang mana akan meningkatkan degenerasi kondrosit (Loeser,
2009).
● Obesitas
● Genetik
7
yang terlibat dalam degradasi kolagen osteoartritik. Metilasi diferensial di
antara gen kerentanan osteoarthritis telah diusulkan sebagai metode alternatif
untuk gangguan aktivitas gen normal (Jeffries et al.,2014).
● Jenis kelamin
Wanita memiliki resiko OA 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria.
Hal ini disebabkan ketika menopause jumlah estrogen dalam tubuh wanita
menurun. Estrogen merupakan pelindung sendi yang bersifat antiinflamasi.
Apabila jumlahnya menurun, dapat terjadi inflamasi kronis yang akan
meningkatkan resiko OA.
● Trauma
2.3 Patogenesis
8
Rheumatoid arthritis disebabkan oleh faktor genetik dan juga faktor
lingkungan. Faktor Genetik melingkupi Susceptibility Genes, dan modifikasi
epigen. Faktor genetik ini merupakan faktor yang paling besar dalam resiko
terjadinya rheumatoid arthritis, yaitu 60% dari resiko keseluruhan. Faktor
lingkungan melingkupi asap rokok, mikrobiotik, jenis kelamin, pola makan,
dan faktor etnik.
9
Faktor genetik melingkupi Human Leukocyte Agen yaitu HLA-DR1
dan HLA-DR4 yang merupakan gen yang rentan. Faktor lingkungan seperti
asap rokok dapat bertindak pada sel-sel di situs mukosa dan memicu
terjadinya modifikasi dari asam amino arginin yang bersifat positif menjadi
asam amino sitrulin yang bersifat netral tetapi polar melalui proses
Citrullination yang dikatalisis oleh enzim peptidyl-arginine deiminase (PAD)
pada berbagai antigen, yaitu antibodi IgG dan protein lain, seperti kolagen tipe
II, vimentin, fibrinogen, - enolase. HLA-DR1 dan HLA-DR4 sebagai gen
yang rentan mengenali antigen tidak dapat mengenali antigen yang sudah
termodifikasi sehingga antigen-antigen tersebut difagosit oleh Antigen-
Presenting Cells (APCs) yang lalu dibawa ke lymph nodes untuk
mengaktivasi CD4 T Helper Cells. Terdapat dua jenis T Helper Cells yang
berperan dalam proses ini, yaitu TH17 dan TH1. T Helper Cells menstimulasi
sel B untuk proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma
akan memproduksi autoantibodi spesifik yaitu Rheumatoid Factor (RF) yang
10
merupakan antibodi IgM yang menargetkan domain Fc dari antibodi IgG dan
Anti-Citrullinated Protein Antibodies (ACPAs) yang menargetkan protein
yang tersitrulinasi. Antibodi ang sudah berikatan dengan target akan
membentuk kompleks imun (tipe III HSN) yang menumpuk dalam cairan
sinovial. Lalu akibatnya, sistem komplemen yang terdiri atas 9 protein kecil
(C1, C4, C2, C3, C5b, C6, C7,C8 dan C9) akan teraktivasi dan bekerja dalam
kaskade enzimatik untuk mendorong terjadinya inflamasi pada persendian.
Inflamasi kronis yang terjadi akan menyebabkan angiogenesis atau
pembentukan pembuluh darah baru di sekitar persendian dan
lymphangiogenesis atau pemebntukan lymph nodes baru di sekitar persendian.
Kedua hal tersebut akan menyebabkan lebih banyak sel inflamasi yang datang.
11
TNF- dan IL-1 mengaktifkan protein pada permukaan T cells yaitu
Receptor Activator of Nuclear Factor-koppaB Ligand (RANKL). Lalu RANKL
akan memperkenankan T cells untuk berikatan dengan Receptor Activator of
Nuclear Factor-koppaB (RANK) yang merupakan protein pada permukaan
osteoklast. Setelah berikatan RANK akan berkembang menjadi osteoklast
dewasa untuk memulai erosi tulang.
12
TNF akan menekan pembentukan proteoglikan dan kolagen tipe II, meregulasi
MMP-1, MMP-3, dan MMP-13, dan ADAMTS-4 . Sementara itu, IL-1β akan
menekan pembentukan proteoglycan dan kolagen tipe II, meregulasi MMP-1,
MMP-3, dan MMP-13, dan ADAMTS-5.
13
kali muncul secara tersembunyi, dengan nyeri yang biasanya lebih buruk saat
istirahat atau selama periode tidak aktif, pembengkakan yang biasanya di sekitar
sendi (bukan pembengkakan tulang), memberikan sensasi 'berawa' pada palpasi dan
kekakuan sendi yang terjadi terutama pada pagi hari dan berlangsung lebih dari 1
jam. Seiring perkembangan penyakit, persendian menjadi membesar, gerakan
terbatas, dan seiring waktu ankylosis lengkap akan muncul. Ankylosis merupakan
gangguan pada sendi dimana sendi menjadi kaku atau bahkan tulang-tulang saling
melekat satu sama lain.
Manifestasi klinis dari rheumatoid arthritis ini dapat terjadi diluar persendian
atau tulang rawan artikular yang disebut manifestasi ekstra-artikular. Hal ini
disebabkan oleh sitokin inflamasi yang tidak menetap pada daerah persendian,
tetapi keluar melalui pembuluh darah dan sampai pada beberapa organ sehingga
menimbulkan manifestasi ekstra-artikular. Manifestasi ekstra-artikular rheumatoid
arthritis dapat berupa kulit, pembuluh darah, neurologis, hematologis, paru, jantung,
ginjal, gastrointestinal atau okular.
14
dan mengalami keterbatasan dalam gerakan. Sedangkan menurut Kumar (2013),
osteoarthritis yang terjadi pada tulang belakang akan menyebabkan kejang otot, atrofi
otot, dan defisit neurologis. Perbedaan manifestasi klinis yang akan terjadi pada
penderita osteoarthritis dan rheumatoid arthritis adalah kaku di pagi hari yang dialami
penderita osteoarthritis akan berlangsung selama kurang dari satu jam, sementara
pasien rheumatoid akan mengalami nyeri lebih lama dari satu jam. Selain itu, nyeri
pada penderita rheumatoid akan disertai dengan pembekakkan, namun tidak disertai
dengan crepitus.
a. Metotreksat
Struktur Kimia
15
metotreksat memiliki rumus molekul C20H22N8O5
Farmakokinetika
Indikasi
Kontraindikasi
Efek samping
Mekanisme Aksi
16
Melalui metabolit 7-OH-nya, penghambatan DHFR
dapat menyebabkan kurangnya nukleotida purin,
sehingga mengganggu pembentukan DNA, RNA, dan
protein lainnya. MTX dan 7-OH-MTX-poliglutamat
terakumulasi dalam sel, menghasilkan penghambatan
fungsi sel-T dan makrofag. Bersama dengan efek
antiinflamasi lainnya, seperti normalisasi level IL-2
(melalui efek pada sintesis poliamina), penurunan
sekresi IL1 dan pengurangan produksi IgM-RF,
mekanisme ini menjadikan MTX senyawa antiinflamasi
yang efektif di tingkat makrofag, sel T, dan granulosit.
Struktur Kimia
Farmakokinetika
17
distribusi klorokuin pada darah adalah 65 Liter dan pada
plasma 15 Liter.
Indikasi
Kontraindikasi
Efek samping
Mekanisme Aksi
18
mengubah pH endosome atau mencegah TLR 7 atau
TLR 9 dari mengikat ligan mereka (masing-masing
RNA dan DNA). HCQ juga dapat menghambat sensor
asam nukleat siklik GMP-AMP (cGAMP) sintase
(cGAS) dengan mengganggu pengikatan cGAS dengan
DNA sitosolik dengan mencegah persinyalan TLR dan
pensinyalan cGAS stimulator gen interferon (STING),
HCQ dapat mengurangi produksi sitokin proinflamasi
termasuk IL 1.
c. Leflunomide
Struktur Kimia
Farmakokinetika
Indikasi
Kontraindikasi
19
Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi
hati, pasien yang hamil dan menyusui, pasien dengan
gangguan ginjal berat, dll
Efek samping
Mekanisme Aksi
d. Azatioprin
Struktur Kimia
Farmakokinetika
20
membersihkan obat empat kali lebih cepat dari yang
lambat.
Indikasi
Kontraindikasi
Efek samping
Mekanisme Aksi
21
Obat-Obatan yang memberikan respon untuk AR tetapi belum
beredar di Indonesia, seperti CTLA-4 Ig (abatasept), anti-TNF α
(adalimubab, certolizumab) anti IL-1 (anakinra), dan tofacitinib
(Indonesia,2014).
22
Telah disetujui lima DMARD biologik yang
mengintervensi TNF-α untuk mengobati artritis rematoid dan
penyakit rematik lainnya (Katzung,2012).
1) Adalimumab
23
2) Sertolizumab
3) Etanercept
24
terkait ke bagian Fc IgG1 manusia ; obat ini mengikat
molekul TNF-α dan juga menghambat limfotoksin-α.
4) Golimumab
25
oleh TNF-α yang ditemukan pada penyakit seperti
artritis rematoid.
5) Infliksimab
26
konsentrasi serum dan efek, walaupun klirens masing-
masing pasien sangat bervariasi.
b. RITUXIMAB
27
Rituksimab adalah suatu antibodi monoklonal kimerik
yang membidik limfosit B CD20. Deplesi ini berlangsung
melalui sitotoksisitas yang diperantarai sel dan dependen
komplemen serta stimulasi apoptosis sel. Deplesi limfosit B
mengurangi peradangan dengan menurunkan penyajian antigen
ke limfosit T dan menghambat sekresi berbagaisitokin
proinflamasi. Rituksimab cepat mengurangi limfosit B perifer,
meskipun deplesi ini tidak berkorelasi dengan efikasi atau
toksisitas(Katzung,2012).
28
Rituksimab diberikan sebagai dua infus intravena 1000
mg, yang dipisahkan oleh waktu 2 minggu. Obat ini dapat
diulang setiap 6-9 bulan, sesuai kebutuhan. Pemberian ulang
tetap efektif. Praterapi dengan glukokortikoid intravena yang
diberikan 30 menit sebelum infus (biasanya metilprednisolon
100 mg) mengurangi insidens dan keparahan reaksi
infus(Katzung,2012).
29
penghentian terapi, tetapi tentu saja reaksi urtikaria atau
anafilaksis menghentikan pengobatan selanjutnya.
Imunoglobulin (terntama IgG dan IgM) mungkin berkurang
dengan pengulangan terapi dan dapat terjadi infeksi meskipun
infeksi ini tampaknya tidak berkaitan langsung dengan
penurunan imunoglobulin(Katzung,2012).
c. ABATACEPT
30
Obat ini lebih mengikat CDS0/86 daripada CD28).
Protein fusi ini menghambat pengaktifan sel T dengan
mengikat CD80 atau CD86 sehingga CD28 di sel T tidak dapat
mengikat dan merangsang sel T dan menyebabkan pengeluaran
sitokin(Katzung,2012).
d. TOCILIZUMAB
31
Farmakokinetika. Waktu-paruh tosilizumab bergantung pada
dosis, sekitar 11 hari untuk dosis 4 mg/kg dan 13 hari untuk 8
mg/kg. IL-6 dapat menekan beberapa isoenzim CYP450;
karena itu, inhibisi IL-6 dapat memulihkan aktivitas CYP450
ke tingkat yang lebih tinggi. Hal ini mungkin relevan secara
klinis untuk obat-obat yang merupakan substrat CYP450 dan
memiliki jendela terapeutik yang sempit (mis. siklosporin dan
warfarin), serta mungkin diperlukan penyeasuaian dosis obat-
obat ini. Tosilizumab dapat digunakan dalam kombinasi dengan
DMARD non-biologik atau sebagai monoterapi. Dosis awal
yang dianjurkan adalah 4 mg/kg intravena setiap 4 minggu
diikuti oleh peningkatan hingga 8 mg/kg, bergantung pada
respons klinis. Selain itu, berdasarkan perubahan laboratorium
tertentu, peningkatan enzimhati, neutropenia, dan
trombositopenia, dianjurkan modifikasi dosis.
32
terjadi. Pemeriksaan penyaring untuk tuberkulosis perlu
dilakukan sebelum tosilizumab dimulai. Reaksi samping
tersering adalah infeksi saluran napas atas, nyeri kepala,
hipertensi, dan peningkatan enzim hati(Katzung,2012).
2.6.1.2 NSAID
NSAID merupakan golongan obat yang memiliki efek
analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi
(menghilangkan radang). Pada pengobatan rheumatoid arthritis,
NSAID digunakan untuk mengurangi inflamasi yang ditimbulkan dan
sebagai analgesik bagi rheumatoid arthritis.
● Mekanisme dari NSAID :
Inflamasi terjadi karena adanya mediator-mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh suatu sel, contohnya prostaglandin.
Prostaglandin adalah mediator peradangan dan nyeri tetapi juga
menjaga fungsi tubuh seperti perlindungan dari asam lambung,
pemeliharaan aliran darah ginjal, dan berkontribusi terhadap
fungsi vaskular. Apabila terdapat bengkak maka disebabkan
oleh luka sehingga terjadinya nyeri. Luka tersebut akan
menembus membran sel sehingga enzim phospolipase yang
akan mengubah phospolipid yang ada pada membran sel
menjadi asam arakidonat. Asam arakidonat inilah yang
merupakan asal mula munculnya prostaglandin. Caranya
disintesis oleh enzim COX, ketika asam arakidonat bertemu
dengan enzim COX maka akan diubah menjadi
A. Prostaglandin
B. Thromboxane
C. Prostacyclin
NSAID ini kerjanya menghambat enzim COX, apabila
dihambat maka asam arakidonat tidak bisa menjadi
prostaglandin sehingga tidak terjadi inflamasi. Namun, pada
NSAID terdapat COX 1, dan COX 2.
33
COX 1 berfungsi menghasilkan prostaglandin, walaupun tidak
ada luka tetap menghasilkan prostaglandin, karena tubuh
membutuhkan adanya prostaglandin.
COX 2 berfungsi Selektif untuk menginflamasi dikarenakan
adanya luka. Jadi asam arakidonat bertemu COX 2 maka akan
menghasilkan mediator inflamasi yang khusus untuk bengkak,
dan lain-lain.
Pada COX 1 mempunyai fungsi pada organ-organ tertentu :
A. Pembuluh darah
Untuk vasodilatasi, memperlebar aliran
pembuluh darah dan menyebabkan pasokan darah
menuju suatu organ lancar karena pembuluh darahnya
lebih lebar. Oleh karena itu, mengapa pada saat bengkak
inflamasi berwarna merah karena pembuluh darahnya
vasodilatasi, sehingga semakin banyak aliran darah
yang mengalir di organ tersebut. Itulah mengapa sering
dikompres dengan air dingin dengan tujuannya
membuat pembuluh darahnya vasokonstriksi, tidak
bengkak.
B. Platelet
Anti agregasi. Jadi biar darahnya
plateletplatinnya tidak saling berkumpul.
C. Bronkus
Brokodilatasi. Memperlebar jalan bronkus atau
jalan udara.
D. Lambung
Melapisi dinding lambung, agar lambung tidak
tergerus dengan adanya produksi asam lambung.
Sehingga lambung dapat terlindungi.
E. Ginjal
Filtrasi dan laju aliran darah. Sehingga ginjal
tetap dapat pasokan aliran darah sesuai kebutuhannya.
34
NSAID tidak bekerja spesifik. Ketika meminum
NSAID maka akan menghambat COX 1 dan COX 2. Apabila
COX dihambat maka semua prostaglandin tidak ada, efek
baiknya nyeri menjadi berkurang. Prostaglandin dari COX 1
jadi dihambat menyebabkan vasokontriksi ketika di daerah
yang bengkak. Masalahnya vasokontriksi bisa terjadi pada
ginjal padahal tadi fungsi memfiltrasi. Apabila dihambat maka
pasokan aliran darah yang masuk pada ginjal maka akan lebih
sedikit (efek samping, apabila ini dikonsumsi dalam jangka
waktu yang lama). Apabila dihambat pada bronkus maka akan
terjadi bronkokonstriksi, maka pasien asma biasanya tidak
diberi NSAID. Kemudian di lambung, apabila dihambat maka
tidak ada yang melindungi lambungnya. Sehingga apabila ada
pasien yang mempunyai riwayat maag, ketika meminum
golongan obat NSAID terasa perih. Cara mengatasinya itu
diminum sesudah makan, agar ada yang melapisinya.
● Golongan Obat yang biasa digunakan dalam pengobatan
rheumatoid arthritis adalah golongan diklofenak. diklofenak.
Adapun efek samping yang ditimbulkan adalah:
❖ Gangguan gastrointestinal, akibat inhibisi COX-1 yang
menghasilkan prostaglandin (berperan dalam ekskresi
mukosa lambung). Adapun pencegahan adalah dengan
menggunakan obat golongan Proton Pump Inhibitor
(PPI) (seperti omeprazole, pentoprazole).
❖ Meningkatkan risiko penyakit jantung
❖ Gagal ginjal, akibat inhibisi COX-1 yang menghasilkan
prostaglandin yang berperan dalam regulasi ginjal
2.6.1.3 Glukokortikoid
35
Glukokortikoid merupakan obat yang memiliki efek
antiinflamasi dan imunosupresan yang kuat. Glukokortikoid telah
digunakan untuk pengobatan rheumatoid arthritis sejak tahun 1949.
Obat ini secara luas digunakan untuk mengobati berbagai penyakit dan
kondisi radang, termasuk gangguan autoimun, penyakit alergi, dan
asma, dan untuk mencegah penolakan organ saat transplantasi.
36
Mekanisme aksi dari glukokortikoid dimulai saat obat
glukokortikoid melalui membran sel dan masuk ke dalam sitoplasma.
Pada sitoplasma, terdapat komponen - komponen glucocorticoid
receptor (GR) yang bebas. GR yang bebas ini tidak dapat mengubah /
mempengaruhi transkripsi dari gen. GR yang belum berikatan dengan
obat glukokortikoid memiliki dua protein penstabil yang terikat dengan
dirinya, yaitu heat shock protein 90 (Hsp90) dan immunophilin. Hsp90
merupakan protein yang dihasilkan karena adanya heat shock response
karena sel tubuh mengalami gangguan.
Setelah berikatan dengan glukokortikoid, akan terjadi
penukaran protein penstabil pada GR, yaitu immunophilin yang
digantikan dengan Hsp52. Kompleks substrat-reseptor ini kemudian
berikatan dengan protein transporter (dynein motor transport protein)
yang akan membawa kompleks tersebut menuju ke dalam inti sel /
nukleus. Kemudian, kompleks tersebut akan berikatan dengan
glucocorticoid response element (GRE) dan mengalami dimerisasi.
Kompleks yang sudah berikatan dengan GRE akan menyebabkan
perubahan transkripsi gen, yaitu menekan atau menstimulasi
prosesnya, sehingga dapat melakukan perubahan sintesis mRNA yang
akan mempengaruhi perubahan sintesis protein.
Kerja glukokortikoid pada sel adalah menghambat
teraktivasinya faktor NF-Kappa B yang dapat menginduksi ekspresi
37
dari sitokin inflamasi. Pengaruh lainnya adalah meningkatkan ekspresi
Annexin A1 (Lipocortin-1) yang akan menghambat enzim fosfolipase
A2 (PLA2) dan enzim COX-2. Penghambatan enzim PLA2 akan
mengurangi produksi asam arakidonat yang dapat diubah menjadi
prostaglandin dan leukotrien (agen inflamasi) oleh enzim COX-2.
a. Prednisone
Mekanisme Kerja
Mengaktivasi reseptor glukokortikoid yang mengubah transkripsi
gen. Inert secara biologis dan diubah menjadi prednisolone di hati.
Struktur Kimia
38
gastrointestinal, hematologi, ophthalmologis, sistem saraf, ginjal,
pernapasan, reumatologis, infeksi, endokrin, atau kondisi
neoplastik serta pencegahan penolakan organ saat transplantasi.
Efek Samping
Efek samping dari prednisone yang umum adalah: kegelisahan,
insomnia, kenaikan berat badan, gangguan pencernaan, terlalu
banyak berkeringat.
Kontraindikasi
- Pasien dengan hipersensitivitas pada obat
- Pasien dengan infeksi fungal sistemik
- Pasien yang akan melakukan vaksinasi / baru saja melakukan
vaksinasi
- Pasien yang sedang hamil / menyusui atau ingin hamil
Dosis
5 - 60 mg/hari. Biasanya diberikan dosis kecil 5 - 10 mg/hari dan
dikonsumsi 1 kali sehari atau 2 kali sehari. Prednisone dikonsumsi
saat pagi hari / beraktivitas.
Interaksi Obat
- Warfarin
- Fluconazole
- Cyclosporine
- Dexamethasone
2.6.2.1 Glukosamin
39
protein-1). Jika transkripsi faktor tersebut mengikat binding sites-nya yang
akan menghasilkan gen-gen untuk meningkatkan transkripsi, gen tersebut ialah
gen MMPs, iNOS (inducible NOS), dan COX-2. Fungsi glukosami akan
mengurangi produksi dan aktivitas NFkB dan mengurangin transkripsi dari
mediator inflamasi lainnya.
2.6.2.2 Antisitokin
40
IL1β dan IL-1Ra dengan afinitas yang lebih rendah, sehingga
mencegah L1 berikatan dengan IL-1RI dan mencegah terjadinya
transduksi sinyal. IL-1 inhibitor juga termasuk golongan obat
antirematik pemodifikasi penyakit biologis (bDMARDs). Indikasi dari
inhibitor IL-1 adalah membantu memperlambat kerusakan sendi dan
mengurangi nyeri sendi.
41
● gejala flu, dan
● penurunan berat badan.
42
Dosis pemberian injeksi intraartikular asam hialuronat adalah
single injection tiap 3-5 minggu. Seri penginjeksian diulangi kembali
jika terdapat kemajuan. Sementara, efek samping dari injeksi
intraartikular asam hialuronat dapat terjadi pada tingkat sekitar 1% per
injeksi, antara lain:
● Reaksi lokal seperti kehangatan/warmth, pembengkakan, dan
nyeri yang dapat berlangsung 1-2 hari.
● Peradangan granulomatosa timbul dalam waktu 48 jam setelah
injeksi dengan Hyalan-GF. Efek samping ini biasanya telah
terbukti sembuh dalam 1-2 minggu.
2.6.2.3.2 Kortikosteroid
43
superoxide, metalloprotease dan metalloprotease activator, dan
mencegah sintesis serta sekresi dari beberapa mediator inflamasi
seperti prostaglandin dan leukotrien.
Dosis pemberian Triamcinolone Acetonide untuk orang dewasa
ialah 2,5-5 mg dengan dosis maksimal 20-80 mg. Obat ini dapat
meningkatkan risiko perdarahan pada sistem pencernaan jika
dikombinasikan dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Selanjutnya,
dapat meningkatkan risiko hiperkalemia jika dikombinasikan dengan
amphotericin B, agonis beta misalnya salbutamol, penghambat beta
misalnya bisoprolol, dan teofilin. Triamcinolone Acetonide juga dapat
menurunkan efektivitas obat antidiabetes dalam menurunkan gula
darah. Sementara, efek samping dari Triamcinolone Acetonide
diantaranya yakni:
● Sakit kepala,
● gelisah,
● pandangan kabur,
● pusing,
● jantung berdebar, dan
● napas pendek.
44
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun inflamasi kronis sistemik yang
menyerang sendi dan mempengaruhi banyak jaringan. RA dapat disebabkan karena faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang terlibat meliputi MHC class II antigen
(HLA-DR1) dan (HLA-DR4) serta alen non-MHC, sedangkan faktor lingkungan yang dapat
terlibat salah satunya adalah merokok. Sitokin utama yang menjadi kunci terjadinya inflamasi
pada rheumatoid arthritis adalah IL-1, IL-6, IL-17, dan TNF α. Terjadinya RA dapat ditandai
dengan munculnya beberapa gejala seperti nyeri sendi, pembengkakan atau kaku, kehilangan
nafsu makan, dan demam ringan. Timbulnya RA dapat menyebabkan terjadinya kondisi lain
seperti hyperplasia, peningkatan vaskularisasi dan aktivitas osteoklas di tulang. Penanganan
rheumatoid arthritis dapat dilakukan melalui terapi secara farmakologi maupun non-
farmakologi. Terapi secara farmakologi dapat menggunakan obat-obatan seperti DMARD,
NSAID, methotrexate, dan leflunomide, sedangkan terapi secara non farmakologi dapat
dilakukan melalui olahraga.
Osteoarthritis ditandai dengan penurunan progresif dan hilangnya tulang rawan
articular yang mengakibatkan pembentukan osteofit, nyeri, keterbatasan gerak, deformitas,
dan kecacatan progresif. Munculnya OA pada manusia dapat ditandai dengan timbulnya rasa
nyeri pada persendian, krepitasi, lemah otot, dan depresi. Seperti hal nya rheumatoid
arthritis, osteoarthritis juga dapat ditangani melalui terapi secara farmakologis dan
nonfarmakologis. Terapi secara farmakologi dapat menggunakan golongan obat analgesic,
glucosamine, chondroitin sulfate, dan intra articular injection, sedangkan terapi secara non
farmakologi dapat dilakukan melalui terapi fisik dan prosedur bedah.
3.2 Saran
Sebaiknya kajian literatur dilakukan lebih mendalam dengan sumber-sumber yang
valid agar tidak terjadi kesalahan dalam penyampaian informasi. Keterkaitan antar materi
juga harus diperhatikan agar dapat lebih mudah untuk dipahami. Untuk dapat memahami
materi lebih dalam lagi mengenai keterkaitan antar sub bab nya sehingga menjadi suatu
rangkaian yang utuh, penulis harus mencari sumber-sumber terpercaya lainnya agar lebih
mudah untuk dipahami. Selain itu, makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk referensi
pelajaran kedepannya.
45
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. (2013). Robbins Basic Pathology. Ed 9.
Philadelphia: Elsevier Saunders.
Anderson DD, Chubinskaya S, Guilak F, Martin JA, Oegema TR, Olson SA, et al. Post-
traumatic osteoarthritis: improved understanding and opportunities for early
intervention. J Orthop Res. 2011 Jun. 29 (6):802-9. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/330487-overview#a5
Baka, Z., Buzás, E., & Nagy, G. (2009). Rheumatoid arthritis and smoking: putting the pieces
together. In Arthritis research & therapy (Vol. 11, Issue 4, p. 238). BioMed Central.
https://doi.org/10.1186/ar2751
Bottegoni, C., Dei Giudici, L., Salvemini, S., Chiurazzi, E., Bencivenga, R., & Gigante, A.
(2016). Homologous platelet-rich plasma for the treatment of knee osteoarthritis in
selected elderly patients: an open-label, uncontrolled, pilot study. Therapeutic
Advances in Musculoskeletal Disease, 8(2), 35–41.
https://doi.org/10.1177/1759720X16631188
Burrage, P. S., Mix, K. S., & Brinckerhoff, C. E. (2006). Matrix metalloproteinases: Role in
arthritis. In Frontiers in Bioscience (Vol. 11, Issues 1 P.447-888, pp. 529–543). Front
Biosci. https://doi.org/10.2741/1817
De Boer TN, van Spil WE, Huisman AM, Polak AA, Bijlsma JW, Lafeber FP, et al. Serum
adipokines in osteoarthritis; comparison with controls and relationship with local
parameters of synovial inflammation and cartilage damage. Osteoarthritis Cartilage.
2012 Aug. 20(8):846-53. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/330487-overview#a5
46
Doan, T., Melvold, R., Viselli, S., and Waltenbaugh, C. (2013). Lippincott's Illustrated
Reviews: Immunology Second Edition. 2nd ed. USA: Wolters Kluwer
Driban, J. B., Harkey, M. S., Liu, S.-H., Salzler, M., & McAlindon, T. E. (2020).
Osteoarthritis and Aging: Young Adults with Osteoarthritis. Current Epidemiology
Reports, 9–15. https://doi.org/10.1007/s40471-020-00224-7
Field, T. (2016). Knee osteoarthritis pain in the elderly can be reduced by massage therapy,
yoga and tai chi: A review. Complementary Therapies in Clinical Practice, 22, 87–92.
https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2016.01.001
Gulati, M., Farah, Z., & Mouyis, M. (2018). Clinical features of rheumatoid arthritis. In
Medicine (United Kingdom) (Vol. 46, Issue 4, pp. 211–215). Elsevier Ltd.
https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2018.01.008
Guo, Q., Wang, Y., Xu, D., Nossent, J., Pavlos, N. J., & Xu, J. (2018). Rheumatoid arthritis:
Pathological mechanisms and modern pharmacologic therapies. In Bone Research
(Vol. 6, Issue 1, pp. 1–14). Sichuan University. https://doi.org/10.1038/s41413-018-
0016-9
Jeffries MA, Donica M, Baker LW, Stevenson ME, Annan AC, Humphrey MB. Genome-
wide DNA methylation study identifies significant epigenomic changes in
47
osteoarthritic cartilage. Arthritis Rheumatol. 2014 Oct. 66(10):2804-15. DIakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/330487-overview#a5
Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2015). Robbins and Cotran pathologic basic of
disease (Ninth Edition). Philadelphia: Elsevier Saunders.
Loeser, R. F. (2009). Aging and osteoarthritis: the role of chondrocyte senescence and aging
changes in the cartilage matrix. Osteoarthritis and Cartilage, 17(8), 971–979.
doi:10.1016/j.joca.2009.03.002
McInnes, I. B., & Schett, G. (2007). Cytokines in the pathogenesis of rheumatoid arthritis. In
Nature Reviews Immunology (Vol. 7, Issue 6, pp. 429–442). Nature Publishing
Group. https://doi.org/10.1038/nri2094
McInnes, I. B., & Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. New England
Journal of Medicine, 365(23), 2205–2219. doi:10.1056/nejmra1004965
Murphy, G., & Lee, M. H. (2005). What are the roles of metalloproteinases in cartilage and
bone damage? Annals of the Rheumatic Diseases, 64(SUPPL. 4), iv44–iv47.
https://doi.org/10.1136/ard.2005.042465
48
Pradeepkiran, J. A. (2019). Insights of Rheumatoid Arthritis and Risk Factors and
Associations. Journal of Translational Autoimmunity, 100012.
doi:10.1016/j.jtauto.2019.100012
Shanahan JC, Moreland LW, Carter RH. Upcoming biologic agents for the treatment
Smolen, J. S., Aletaha, D., & McInnes, I. B. (2016). Rheumatoid arthritis. In The Lancet (Vol.
388, Issue 10055, pp. 2023–2038). Lancet Publishing Group.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)30173-8
Smolen, J. S., Aletaha, D., Barton, A., Burmester, G. R., Emery, P., Firestein, G. S.,
Kavanaugh, A., McInnes, I. B., Solomon, D. H., Strand, V., & Yamamoto, K. (2018).
Rheumatoid arthritis. Nature Reviews Disease Primers, 4(1), 1–23.
https://doi.org/10.1038/nrdp.2018.1
Tseng, C. C., Chen, Y. J., Chang, W. A., Tsai, W. C., Ou, T. T., Wu, C. C., Sung, W. Y., Yen, J.
H., & Kuo, P. L. (2020). Dual role of chondrocytes in rheumatoid arthritis: The
chicken and the egg. In International Journal of Molecular Sciences (Vol. 21, Issue 3,
p. 1071). MDPI AG. https://doi.org/10.3390/ijms21031071
Yulia, ulviani. 2017. EVALUASI TERAPI OAINS DAN DMARD PADA PASIEN
RHEUMATOID ARTHRITIS DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUP DR. SOERADJI
TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2015 – 2016. Diakses pada tanggal 21 maret 2020
dari http://eprints.ums.ac.id/54564/11/NASKAH%20PUBLIKASI-67.pdf
49