Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH OBAT INFLAMASI

PATOFISIOLOGI DAN MEKANISME KERJA OBAT RHEUMATOID ARTHRITIS


DAN OSTEOARTHRITIS

Disusun oleh:

Catur Putri M 1806136025


Ghina Sylvarizky 1806136095
Khairunnisa Salsabila Lutfi 1806136113
Luthfiah Septiana 1806136126
Maghfirah Syafitri Tiham 1806136132
Melda Nesta Febrina 1806136145
Nabila Meuthia A 1806136196
Tasya Wijayanti 1806136290
Trixie Putri Padita 1806136302

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Obat Inflamasi di
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen kami, Bapak Dr. Anton Bahtiar S.Si,,
M.Si., yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Obat Inflamasi. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada orang tua kami yang telah memberikan dukungan berupa
moral dan materi sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada tim penulis yang telah membantu penyelesaian makalah
ini.

Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, tim
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Semoga, makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Depok, 23 Maret 2020

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN ............................................................Error! Bookmark not defined.1
1.1 Latar Belakang .....................................................................Error! Bookmark not defined.
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................Error! Bookmark not defined.1
1.3 Tujuan.................................................................................................................................... 1
BAB II ISI ....................................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis ............................................................. 3
2.2 Faktor Resiko ........................................................................................................................ 5
2.3 Patogenesis ............................................................................................................................ 8
2.4 Gejala dan Manifestasi Klinis ............................................................................................. 13
2.5 Terapi Farmakologis ........................................................................................................... 15
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 45
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................... 45
3.2 Saran .................................................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 46

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orang dengan usia lanjut sering kali mengalami masalah persendian. Salah satu
penyakit yang biasanya timbul pada usia 65 tahun ke atas yaitu osteoarthritis. Osteoarthritis
merupakan penyakit degenerasi sendi yang bermanifestasi pada perubaha n struktural
persendian seperti perombakan tulang rawan, pembentukan osteofit, dan kehilangan tulang
rawan.(Driban et al., 2020) Gejala osteoarthritis umumnya meliputi nyeri persendian,
pembengkakan, kekakuan, dan mengunci. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab
kecacatan yang paling umum di dunia. Studi kasus di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
10% pria dan 13% wanita berusia 60 tahun keatas didiagnosis menderita osteoarthritis
lutut.(Zhang et al., 2016) Tingkat kejadian meningkat seiring dengan bertambahnya usia
sampai mencapai puncak pada sekitar usia 70 tahun.(Driban et al., 2020)
Osteoarthritis dapat disebabkan oleh beberapa faktor resiko seperti obesitas dan
kelebihan berat badan, komorbiditas, faktor pekerjaan, aktivitas fisik, faktor biomekanik, dan
paparan makanan.(Georgiev & Angelov, 2019) Akan tetapi, penuaan merupakan salah satu
faktor risiko paling menonjol terjadinya osteoarthritis(OA), terutama pada bagian tangan,
pinggul, tulang belakang, dan lutut.(Greene & Loeser, 2015) Studi menunjukkan,
pertambahan usia akan menyebabkan peningkatan C-reactive protein (CRP), Interleukin (IL)-
6, dan Tumor Necrosis Factor-a (TNF-a), yang mana telah ditafsirkan sebagai bukti sumber
lokal mediator inflamasi yang meningkat seiring bertambahnya usia. Peningkatan kadar CRP
sejalan dengan peningkatan nyeri lutut dan berkorelasi dengan tingginya tingkat reseptor larut
untuk TNF-a yang berdampak pada penurunan kemampuan fisik pada orang lanjut usia
dengan OA lutut.(Greene & Loeser, 2015)
Dewasa ini banyak sekali rumor yang tidak benar mengenai penyakit sendi yang biasa
kita sebut sebagai penyakit rematik, seperti penyebab dari penyakit ini meliputi mandi
malam, kangkung, ataupun asam urat. Rematik atau Rheumatoid arthritis (RA) faktanya
merupakan penyakit kronis yang kompleks. Penyakit ini memiliki karakteristik gangguan
inflamasi sistemik dan gangguan autoimun dengan sistem imunitas bawaan dan adaptif yang
sedang diubah (Boissier et al., 2019). Gejala utama yang dirasakan adalah rasa sakit yang
biasanya lebih buruk saat istirahat atau selama periode tidak aktif, pembengkakan yang
biasanya di sekitar sendi (bukan pembengkakan tulang) memberikan sensasi 'boggy' pada

1
palpasi, dan kekakuan yang biasanya terjadi pada pagi hari dan berlangsung selama lebih
dari satu jam(Maru & Mulla, 2020).
Rheumatoid Arthritis ini pada nyatanya disebabkan oleh beberapa faktor risiko,
termasuk faktor genetik, jenis kelamin, dan lingkungan. Faktor-faktor lingkungan yang
diketahui yaitu merokok, paparan silika, agen yang menyebabkan infeksi, defisiensi vitamin
D, obesitas dan perubahan mikrobiota, meskipun penelitian untuk beberapa faktor ini tidak
terlalu kuat(Smolen et al., 2018)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa perbedaan antara Rheumatoid dan Osteoartritis?

2. Bagaimana etiologi dari Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis?

3. Bagaimana patofisiologi dari Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis?

4. Apa saja faktor resiko dan manifestasi klinik dari Rheumatoid Arthritis dan
Osteoarthritis?

5. Bagaimana mekanisme terapi farmakologi pada Rheumatoid Arthritis dan


Osteoarthritis?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui perbedaan Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis

2. Untuk mengetahui etiologi Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis

3. Untuk mengetahui patofisiologi Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis

4. Untuk mengetahui terapi farmakologis yang digunakan untuk mengatasi


Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis

2
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Rheumatoid Arthritis dan Osteoarthritis

2.1.1 Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun inflamasi sistemik


kronis yang mempengaruhi banyak jaringan, terutama menyerang sendi. Ciri
mendasar rheumatoid arthritis yaitu, adanya proliferasi sinovium, degradasi
tulang rawan, dan erosi tulang. RA memiliki prevalensi sekitar 1%, dimana
penyakit ini memiliki risiko 3-5 kali lebih tinggi terjadi pada wanita daripada
pria. RA dapat mempengaruhi sendi manapun, tetapi biasanya ditemukan pada
sendi kecil seperti metacarpophalangeal, interphalangeal dan
metatarsophalangeal proksimal, serta di pergelangan tangan dan lutut.

https://www.nature.com/articles/nrdp20181

Sistem kekebalan menyerang jaringan sendi, dimana peptida sitrullin yang


merupakan hasil modifikasi efek dari adanya interaksi antara factor genentik
dan factor lingkungan (rokok) yang menyebabkan peradangan pada sinovium,
menyebabkan RA. Citrullinasi, juga disebut sebagai deaminasi, adalah
modifikasi dari rantai samping arginin yang dikatalisis oleh enzim peptidyl
arginine deaminase (PAD). Modifikasi pasca-translasi ini memiliki potensi
untuk mengubah struktur, antigenisitas, dan fungsi protein vimentin, Peradangan
sinovium dikenal sebagai sinovitis. Ini mengarah pada gejala kehangatan,
kemerahan, pembengkakan, dan rasa sakit. Peradangan kronis RA menyebabkan
sinovium yang biasanya tipis menjadi tebal dan sendi menjadi bengkak dan
bengkak. Peradangan sinovium menyerang dan menghancurkan tulang rawan

3
dan tulang dalam sendi, sekitar 1,3 juta orang dewasa menderita RA, dan para
peneliti yang mempelajari rheumatoid arthritis sekarang percaya bahwa itu
mulai merusak tulang selama satu atau dua tahun pertama seseorang menderita
penyakit tersebut. (Pradeepkiran, 2019).

2.1.2 Osteoarthritis

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit degenerasi sendi. Penyakit ini


merupakan bagian dari proses penuaan dan penyebab penting dalam kecacatan
fisik pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Ciri mendasar osteoarthritis
adalah degenerasi kartilago artikular dimana kondrosit merespons terhadap
tekanan biomekanik dan biologis dengan cara yang dapat mengakibatkan
kerusakan matriks. Sendi yang rentan mengalami osteoarthritis merupakan sendi
- sendi besar seperti sendi pada tangan, lutut, pinggul, dan tulang belakang.

https://www.nature.com/articles/boneres201540

Kartilago dalam mempertahankan integritas ekstraselulernya dan


elatisitasnya membutuhkan kondrosit. Kondrosit merupakan komponen
penyusun kartilago. Pembentukan kartilago dimulai dari kondroblas yang
merupakan sel kondrosit yang imatur. Sel ini kemudian berproliferasi dan
memproduksi matriks. Seiring dengan meningkatnya matriks extraselular,
kondroblas terkumpul di dalam lakuna dan menjadi kondrosit. Kondrosit adalah
sel kartilago yang telah matur dan mengisi ruang-ruang kecil (lakuna) dalam
matriks. Kondrosit akan terus membelah dan memproduksi kartilago tambahan

4
(Sloane, 2004). Beberapa makromolekul utama yang terkandung dalam matriks
kartilago antara lain kondrosit, kolagen dan proteoglikan. Kolagen tipe II
berfungsi untuk menahan beban tubuh. Sedangkan proteoglikan berfungsi untuk
mempertahankan elastisitas persendian.

Namun, ketika kartilago artikular mengalami cedera maka kemampuannya


untuk memperbaiki diri sangat terbatas kemampuan menanggung beban badan
dan elastisitas juga berkurang. Hal ini dikarenakan beberapa respons terhadap
penyembuhan cedera pada kartilago tidak dikompensasi dengan proliferasi tipe
kolagen dan proteoglikan yang sesuai dan akan menyebabkan fungsi yang
abnormal. (Steinert et al., 2008). Maka yang terbentuk pada kondrosit yaitu
Kolagen tipe I, dimana Kolagen tipe I tidak dapat berinteraksi dengan
proteoglikan. Disamping itu, IL-1β dan TNF menurunkan regulasi komponen
utama matrik ekstraseluler (ECM) dengan menghambat aktivitas anabolik dari
kondrosit. IL-1β dan TNF menstimulasi kondrosit untuk melepaskan beberapa
enzim proteolitik, di antaranya adalah Matriks Metaloproteinase (MMPs),
seperti MMP-1 (interstitial collagenase), MMP-3 (stromelysin 1) dan MMP-13
(collagenase 3). Ketiga protease ini merupakan pengatur utama kerusakan
tulang rawan. Kerusakan tersebut dpt menyebabkan penurunan proteoglikan dan
memicu pembentukkan kolagen tipe I. Apabila situasi ini terus berlanjut maka
menyebabkan kondrosit akan mengalami apoptosis atau kematian sel.
Kematian sel tersebut akan membentuk joint mice yang akan menyebabkan
monosit berdiapedesis dari pembuluh darah yang terletak pada membran
sinovial menuju ke cairan sinovial. Joint mice ini akan menjadi signal untuk
terjadinya proses inflamasi.
2.2 Faktor Resiko

2.2.1 Rheumatoid Arthritis

Resiko terkena penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) dapat meningkat dengan


adanya beberapa faktor, yaitu :

● Jenis kelamin

Wanita memiliki resiko RA 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal
ini disebabkan ketika menopause jumlah estrogen dalam tubuh wanita menurun.

5
Estrogen merupakan pelindung sendi yang bersifat antiinflamasi. Apabila jumlahnya
menuru,dapat terjadi inflamasi kronis yang akan meningkatkan resiko RA

● Genetik

Diperkirakan 50% risiko pengembangan RA terkait dengan faktor genetik.


Kerentanan terhadap rheumatoid arthritis terkait dengan lokus HLA-DRB1.Lokus
HLA-DRB 1 adalah gen yang menginstruksikan pembentukan protein pada system
imun dan merepresentasikan antigen kepada sel T. Selain itu berhubungan juga
dengan gen PTPN22 yang mengkode tirosin fosfatase untuk menghambat aktivasi sel
T (Kumar et al., 2015).

● Faktor lingkungan

Faktor lingkungan seperti merokok dapat meningkatkan resiko RA. Pada


setidaknya 70% darah mengandung antibodi anti-CCP, yang dapat diproduksi selama
peradangan. Tindakan seperti merokok dapat menyebabkan citrullinasi beberapa
protein dan menciptakan epitope baru yang memicu reaksi autoimun. (Kumar et al.,
2015).

● Obesitas

Obesitas adalah salah satu kondisi yang dapat memicu peradangan sistemik, yang
disebabkan oleh akumulasi sel-sel adiposa (lemak) dan hiperproduksi protein
inflamasi yang dikenal sebagai sitokin. Semakin banyak sel adiposa dalam tubuh,
semakin tinggi konsentrasi sitokin tertentu. Selain itu, peningkatan berat badan
menambah stres pada persendian yang terkena, terutama lutut, pinggul, dan kaki,
yang mengakibatkan hilangnya mobilitas dan rasa sakit yang lebih besar.

2.2.2 Osteoarthritis

Osteoarthritis berdasarkan faktor resiko dapat dibedakan menjadi dua yaitu,


osteoarthritis primer dan osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer biasanya
disebabkan oleh umur dan menyerang beberapa sendi, seperti tangan, lutut, pinggul,
dan tulang belakang. Sedangkan, osteoarthritis sekunder dapat menyerang anak
muda biasanya disebabkan oleh kondisi predisposisi, seperti trauma, kelainan
perkembangan, dan obesitas.

6
● Umur
OA tidak bersifat langsung akibat terjadinya penuaan sendi, tetapi penuaan
dapat mempengaruhi kemampuan tulang rawan artikular. Matriks tulang
rawan yang mengalami penuaan, rentan terhadap akumulasi(AGEs). AGEs
merupakan hasil endogen interaksi nonenzimatik glukosaprotein (dibentuk
dengan mengurai gula seperti glukosa, fruktosa atau ribosa, bereaksi dengan
lisin atau residu arginin dalam proses glikasi non-enzimatik). Pembentukan
AGE dalam kolagen dapat menyebabkan, pembentukan cross-link kolagen
yang berlebihan, yang kemudian akan mempengaruhi sifat biomekanik tulang
rawan. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kekakuan sehingga
membuat tulang rawan lebih rapuh dan kerentanan kegagalan jaringan
(Loeser, 2009).
Selain mengubah sifat biomekanik tulang rawan, peningkatan kadar AGE
dalam tulang rawan juga dapat mempengaruhi fungsi kondrosit. Dimana
AGEs dapat interaksi langsung dengan reseptor sel seperti RAGE (the
Receptor for Advanced Glycation). RAGE diekspresikan oleh kondrosit dan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Adanya RAGE ini akan
mengaktivasi peningkatan produksi MMPs (Matriks Metaloproteinase) seperti
MMP-1 (interstitial collagenase), MMP-3 (stromelysin 1) dan MMP-13
(collagenase 3) yang mana akan meningkatkan degenerasi kondrosit (Loeser,
2009).
● Obesitas

Obesitas dapat meningkatkan tekanan mekanis pada persendian yang menahan


beban. Selain efek mekanisnya, obesitas dapat menjadi faktor risiko
peradangan untuk osteoartritis. Obesitas dikaitkan dengan peningkatan kadar
(baik sistemik dan intra-artikular) dari adipokin (sitokin yang berasal dari
jaringan adiposa), yang dapat meningkatkan peradangan kronis, tingkat rendah
pada sendi (de Boer TN et al., 2012).

● Genetik

Gen kerentanan osteoartritis (misalnya, ADAM12, CLIP, COL11A2, IL10,


MMP3) ditemukan memiliki metilasi diferensial. Hipometilasi FURIN, yang
mengkode proprotein convertase, memproses beberapa molekul ADAMTS

7
yang terlibat dalam degradasi kolagen osteoartritik. Metilasi diferensial di
antara gen kerentanan osteoarthritis telah diusulkan sebagai metode alternatif
untuk gangguan aktivitas gen normal (Jeffries et al.,2014).

● Jenis kelamin

Wanita memiliki resiko OA 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria.
Hal ini disebabkan ketika menopause jumlah estrogen dalam tubuh wanita
menurun. Estrogen merupakan pelindung sendi yang bersifat antiinflamasi.
Apabila jumlahnya menurun, dapat terjadi inflamasi kronis yang akan
meningkatkan resiko OA.

● Trauma

Trauma atau operasi (termasuk perbaikan bedah cedera traumatis) yang


melibatkan tulang rawan artikular, ligamen, atau menisci dapat menyebabkan
biomekanik abnormal pada sendi dan mempercepat osteoartritis. Pada individu
yang mengalami cedera sendi yang signifikan, risiko osteoartritis pasca-
trauma berkisar dari sekitar 20% hingga lebih dari 50% (Anderson et al.,
2011).

2.3 Patogenesis

2.3.1 Patogenesis Rheumatoid Arthtritis

8
Rheumatoid arthritis disebabkan oleh faktor genetik dan juga faktor
lingkungan. Faktor Genetik melingkupi Susceptibility Genes, dan modifikasi
epigen. Faktor genetik ini merupakan faktor yang paling besar dalam resiko
terjadinya rheumatoid arthritis, yaitu 60% dari resiko keseluruhan. Faktor
lingkungan melingkupi asap rokok, mikrobiotik, jenis kelamin, pola makan,
dan faktor etnik.

Pada faktor lingkungan asap rokok, nikotin dapat memasuki aliran


darah melalui penghalang kompartemen-endotel alveoli, dan kemudian dapat
mencapai berbagai bagian tubuh, termasuk jaringan limfoid, di mana mungkin
memiliki efek imunomodulator sistemik dan dapat bertindak melalui reseptor
nikotinik dari sistem saraf autologous. Karena imunosupresi yang ditimbulkan
oleh asap, infeksi meningkat tidak hanya di saluran pernapasan tetapi di
daerah lain dari tubuh. Superantigen bakteri tertentu (Streptococcus,
Staphylococcus) dan virus (Epstein-Barr virus (EBV)) memlintasi proses
antigen-presenting cells melalui pengikatan langsung ke reseptor sel T
molekul MHC II di luar rantai variabel spesifik antigen konvensional, yang
memulai aktivasi sel T secara masif (hingga 20% dari total). Selain itu,
mereka dapat memanfaatkan tidak hanya jalur reseptor sel T tetapi juga jalur
lain. Sebuah repertoar sel T yang luas dapat diaktifkan karena superantigen,
dan juga sel-sel yang reaktif terhadap protein citrullinated atau PADs
autodeiminasi di saluran pernapasan. Sejalan dengan pengetahuan ini, bakteri
dan virus tertentu telah dicurigai dalam patogenesis RA, salah satunya adalah
EBV. Peran EBV dalam patogenesis RA didukung oleh beberapa data lain,
seperti EBNA-1 dapat menjalani citrullination, dan virus dapat menginduksi
pembentukan antibodi terhadap protein citrullinated.

9
Faktor genetik melingkupi Human Leukocyte Agen yaitu HLA-DR1
dan HLA-DR4 yang merupakan gen yang rentan. Faktor lingkungan seperti
asap rokok dapat bertindak pada sel-sel di situs mukosa dan memicu
terjadinya modifikasi dari asam amino arginin yang bersifat positif menjadi
asam amino sitrulin yang bersifat netral tetapi polar melalui proses
Citrullination yang dikatalisis oleh enzim peptidyl-arginine deiminase (PAD)
pada berbagai antigen, yaitu antibodi IgG dan protein lain, seperti kolagen tipe
II, vimentin, fibrinogen, - enolase. HLA-DR1 dan HLA-DR4 sebagai gen
yang rentan mengenali antigen tidak dapat mengenali antigen yang sudah
termodifikasi sehingga antigen-antigen tersebut difagosit oleh Antigen-
Presenting Cells (APCs) yang lalu dibawa ke lymph nodes untuk
mengaktivasi CD4 T Helper Cells. Terdapat dua jenis T Helper Cells yang
berperan dalam proses ini, yaitu TH17 dan TH1. T Helper Cells menstimulasi
sel B untuk proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma
akan memproduksi autoantibodi spesifik yaitu Rheumatoid Factor (RF) yang

10
merupakan antibodi IgM yang menargetkan domain Fc dari antibodi IgG dan
Anti-Citrullinated Protein Antibodies (ACPAs) yang menargetkan protein
yang tersitrulinasi. Antibodi ang sudah berikatan dengan target akan
membentuk kompleks imun (tipe III HSN) yang menumpuk dalam cairan
sinovial. Lalu akibatnya, sistem komplemen yang terdiri atas 9 protein kecil
(C1, C4, C2, C3, C5b, C6, C7,C8 dan C9) akan teraktivasi dan bekerja dalam
kaskade enzimatik untuk mendorong terjadinya inflamasi pada persendian.
Inflamasi kronis yang terjadi akan menyebabkan angiogenesis atau
pembentukan pembuluh darah baru di sekitar persendian dan
lymphangiogenesis atau pemebntukan lymph nodes baru di sekitar persendian.
Kedua hal tersebut akan menyebabkan lebih banyak sel inflamasi yang datang.

T Helper Cells juga mensekresi sitokin inflamasi seperti Interferon-


dan Interleukin-17 yang merekrut sel inflamasi lainnya seperti makrofag ke
persendian. Makrofag akan mensekresi sitokin, berupa Tumor Necrosis Factor
(TNF- , Interleukin-1, dan Interleukin-6. Sitokin-sitokin ini akan
menstimulasi sel sinovial fibroblast untuk proliferasi yang mengakibatkan
terbentuknya pannus, yaitu membran sinovial yang tebal dan mengalami
pembengkakan dengan granulasi atau jaringan parut.

Selain untuk berproliferasi, sel sinovial juga memiliki peran untuk


mensekresi Matrix Metalloproteinase (MMP). MMP yang berperan dalam RA
ini adalah MMP-1 (collagenases-1), MMP-3 (stromelysin-1), MMP-8
(collagenases-2), MMP-10 (stromelysin-2), MMP-12 (metalloelastase), dan
MMP-13 (collagenase-3). Dimana MMP tipe collagenase yang mendegradasi
kolagen pengantar, tipe stromelysin yang mendegradasi matriks protein non-
kolagen, dan metalloelastase yang berperan dalam invasi makrofag. Secara
singkat, sel sinovial mengakibatkan kerusakan melalui MMPs terutama MMP-
1 dan MMP-3 dengan memediasi degradasi kartilago atau dengan mendorong
aktivasi kondrosit dan katabolisme jaringan melalui pelepasan sitokin bersama
dengan makrofag (Firestein & McInnes, 2017). Sel sinovial dan makrofag
mengaktifkan kondrosit untuk mensekresi MMPs dan A Disintegrin and
Metalloproteinase with Thrombospondin motifs (ADAMTS). Dimana
ADAMTS yang berperan dalam rheumatoid arthritis ini adalah ADAMTS-4
dan ADAMTS-5.

11
TNF- dan IL-1 mengaktifkan protein pada permukaan T cells yaitu
Receptor Activator of Nuclear Factor-koppaB Ligand (RANKL). Lalu RANKL
akan memperkenankan T cells untuk berikatan dengan Receptor Activator of
Nuclear Factor-koppaB (RANK) yang merupakan protein pada permukaan
osteoklast. Setelah berikatan RANK akan berkembang menjadi osteoklast
dewasa untuk memulai erosi tulang.

2.3.2 Patogenesis Osteoarthritis

Setelah sel kondrosit gagal menjaga keseimbangan elastisitas dengan


memproduksi proteoglycan dan kolagen tipe II, maka kondrosit akan
mengalami apoptosis atau kematian sel. Kematian sel tersebut akan
membentuk joint mice yang akan menyebabkan monosit berdiapedesis dari
pembuluh darah yang terletak pada membran sinovial menuju ke cairan
sinovial. Kemudian monosit berubah menjadi makrofag dan makrofag tersebut
akan menghasilkan beberapa sitokin. Dalam proses inflamasi osteoarthritis,
terdapat 3 sitokin utama yang dihasilkan oleh makrofag, yaitu IL-6, TNF, dan
IL-1β. Ketiga sitokin tersebut merangsang terbentuknya beberapa enzim
protease yang dapat mendestruksi kartilago. Secara spesifik, IL-6 akan
meregulasi MMP-1 dan MMP-13 serta mereduksi produksi kolagen tipe II.

12
TNF akan menekan pembentukan proteoglikan dan kolagen tipe II, meregulasi
MMP-1, MMP-3, dan MMP-13, dan ADAMTS-4 . Sementara itu, IL-1β akan
menekan pembentukan proteoglycan dan kolagen tipe II, meregulasi MMP-1,
MMP-3, dan MMP-13, dan ADAMTS-5.

Sitokin tersebut turut berperan dalam menstimulasi produksi osteoblast


yang menyebabkan pengerasan tulang pada bagian dekat tulang rawan atau
subchondral sclerosis. Selain produksi osteoblast, akan terjadi pembentukan
osteoclast yang akan menyebabkan penghancuran tulang sehingga tulang akan
terisi oleh cairan sinovial. kejadian tersebut dinamakan subchondral cyst.

2.4 Gejala dan Manifestasi Klinis

2.4.1 Gejala dan Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid Arthritis biasanya bermanifestasi sebagai radang sendi simetris,


yang terutama mempengaruhi sendi kecil pada tangan dan kaki, pergelangan kaki,
lutut, pergelangan tangan, siku, dan bahu. Gejala dari Rheumatoid Arthritis pertama

13
kali muncul secara tersembunyi, dengan nyeri yang biasanya lebih buruk saat
istirahat atau selama periode tidak aktif, pembengkakan yang biasanya di sekitar
sendi (bukan pembengkakan tulang), memberikan sensasi 'berawa' pada palpasi dan
kekakuan sendi yang terjadi terutama pada pagi hari dan berlangsung lebih dari 1
jam. Seiring perkembangan penyakit, persendian menjadi membesar, gerakan
terbatas, dan seiring waktu ankylosis lengkap akan muncul. Ankylosis merupakan
gangguan pada sendi dimana sendi menjadi kaku atau bahkan tulang-tulang saling
melekat satu sama lain.

Manifestasi klinis dari rheumatoid arthritis ini dapat terjadi diluar persendian
atau tulang rawan artikular yang disebut manifestasi ekstra-artikular. Hal ini
disebabkan oleh sitokin inflamasi yang tidak menetap pada daerah persendian,
tetapi keluar melalui pembuluh darah dan sampai pada beberapa organ sehingga
menimbulkan manifestasi ekstra-artikular. Manifestasi ekstra-artikular rheumatoid
arthritis dapat berupa kulit, pembuluh darah, neurologis, hematologis, paru, jantung,
ginjal, gastrointestinal atau okular.

2.4.2 Gejala dan Manifestasi Klinis Osteoarthritis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gresham (1975), penderita


osteoarthritis akan mengalami crepitus (bunyi pada sendi), nyeri, kaku di pagi hari,

14
dan mengalami keterbatasan dalam gerakan. Sedangkan menurut Kumar (2013),
osteoarthritis yang terjadi pada tulang belakang akan menyebabkan kejang otot, atrofi
otot, dan defisit neurologis. Perbedaan manifestasi klinis yang akan terjadi pada
penderita osteoarthritis dan rheumatoid arthritis adalah kaku di pagi hari yang dialami
penderita osteoarthritis akan berlangsung selama kurang dari satu jam, sementara
pasien rheumatoid akan mengalami nyeri lebih lama dari satu jam. Selain itu, nyeri
pada penderita rheumatoid akan disertai dengan pembekakkan, namun tidak disertai
dengan crepitus.

2.5 Terapi Farmakologis

2.5.1 Treatment Rheumatoid Arthritis

2.5.1.1 Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs (DMARD)

Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs adalah kategori obat yang


kerap digunakan untuk mengobati kondisi autoimun seperti
contohnya Rheumatoid Arthritis. Obat golongan DMARDs ini
memiliki potensi dalam mengurangi kerusakan sendi dan
mempertahankan integritas dan fungsi sendi dan pada akhirnya dapat
meningkatkan produktivitas dari penderita Rheumatoid Arthritis.
DMARDs memiliki sifat slow acting untuk itu obat golongan ini baru
saja akan memberi efek saat setelah 1-6 bulan pengobatan kecuali
pada agen biologik yang akan memberi efek lebih cepat. Obat
golongan DMARDs ini dapat diberikan sebagai monoterapi atau
dikombinasikan dengan obat DMARDs lainnya. Pada kali ini akan
dibahas obat metotreksat, hydrosiklorokuin dan klorokuin,
leflunomide dan azatioprin.

2.6.1.1.1 Non-Biological Agents

a. Metotreksat

Metotreksat merupakan obat lini pertama yang


digunakan pada penderita Rheumatoid arthritis.

Struktur Kimia

15
metotreksat memiliki rumus molekul C20H22N8O5

Farmakokinetika

Obat ini sekitar 70% diserap setelah pemberian oral.


Waktu paruh metotreksat dalam serum biasanya 6 - 9
jam namun dapat juga memanjang hingga 24 jam pada
sebagian orang. Konsentrasi metotreksat dapat
meningkat dengan adanya hidrosiklorokuin. Obat ini
terutama diekskresikan dalam urin tetapi hingga 30%
mungkin diekskresikan di empedu.

Indikasi

Obat ini telah digunakan pada psoriasis, artritis


psoriasis, polimiositis, dermatomiositis dll

Kontraindikasi

Memberi kontraindikasi pada pasien hamil

Efek samping

Efek samping yang dirasakan setelah mengonsumsi obat


ini adalah Permasalahan pada gastrointestinal seperti
mual, Leukopenia, Anemia, Stomatitis, dan Ulkus
mukosa

Mekanisme Aksi

Methotrexate (MTX) sangat efektif menghambat 5-


aminoimidazole-carboxamide-ribonucleotide-
transformylase (AICAR), sehingga mengurangi
chemotaxis polymorphonuclear . Mekanisme aksi yang
mungkin, meskipun kecil kemungkinannya, adalah
melalui penghambatan dihidrofolat reduktase (DHFR).

16
Melalui metabolit 7-OH-nya, penghambatan DHFR
dapat menyebabkan kurangnya nukleotida purin,
sehingga mengganggu pembentukan DNA, RNA, dan
protein lainnya. MTX dan 7-OH-MTX-poliglutamat
terakumulasi dalam sel, menghasilkan penghambatan
fungsi sel-T dan makrofag. Bersama dengan efek
antiinflamasi lainnya, seperti normalisasi level IL-2
(melalui efek pada sintesis poliamina), penurunan
sekresi IL1 dan pengurangan produksi IgM-RF,
mekanisme ini menjadikan MTX senyawa antiinflamasi
yang efektif di tingkat makrofag, sel T, dan granulosit.

b. Hydrosiklorokuin dan Klorokuin

Struktur Kimia

Hidroksikolorokuin dan klorokuin ini mengandung


gugus inti yang sama yakni 4-aminoquinoline.

Farmakokinetika

Obat ini setelah diberikan secara oral akan diabsorpsi


pada pencernaan bagian atas. Untuk hidroksiklorokuin
yang akan dimetabolisme di hati adalah desetilklorokuin
dan desetilhidroksiklorokuin sementara untuk klorokuin
yang akan dimetabolisme di hati hanya
desetilklorokuin. Untuk hidroksiklorokuin, klirens di
hari nya hanya 21% sementara untuk klorokuin
klirensnya mencapai 51%. Volume distribusi
hidrosiklorokuin dalam darah adalah 47,2571 Liter
sementara pada plasma 5,5 Liter, sementara volume

17
distribusi klorokuin pada darah adalah 65 Liter dan pada
plasma 15 Liter.

Indikasi

Obat ini juga digunakan untuk mengobati nyeri sendi


pada lupus eritematosus sistemik, serositis, dan lain-
lain.

Kontraindikasi

memberi kontraindikasi pada Pasien dengan makulopati


dan pasien dengan hipersensitivitas terhadap senyawa 4-
aminoquinoline

Efek samping

Efek samping yang mungkin saja dirasakan setelah


mengonsumsi obat ini adalah Retinopathy , Dispepsia,
Mual, Muntah, dan Nyeri perut

Mekanisme Aksi

Mekanisme ini diawali dengan hydroxychloroquine


(HCQ) masuk dan terakumulasi dalam lisosom
kemudian hidroksiklorokuin akan menghambat
degradasi kargo (yang meliputi protein dan organel).
Penghambatan aktivitas lisosom dapat mencegah
presentasi autoantigen MHC kelas II (MHC kelas II ini
buat menyajikan antigen yang diproses untuk limfosit T
CD4+). Mekanisme lainnya adalah diawali dengan
HCQ terakumulasi dalam endosome dan akan berikatan
dengan alur kecil DNA untai ganda. Obat ini
menghambat Toll-Like receptor (TLR) dengan

18
mengubah pH endosome atau mencegah TLR 7 atau
TLR 9 dari mengikat ligan mereka (masing-masing
RNA dan DNA). HCQ juga dapat menghambat sensor
asam nukleat siklik GMP-AMP (cGAMP) sintase
(cGAS) dengan mengganggu pengikatan cGAS dengan
DNA sitosolik dengan mencegah persinyalan TLR dan
pensinyalan cGAS stimulator gen interferon (STING),
HCQ dapat mengurangi produksi sitokin proinflamasi
termasuk IL 1.

c. Leflunomide

Leflunomide merupakan inhibitor sintesis pirimidin


selektif yang metabolit aktifnya A77 1726 menghambat
aktivasi sel T dan menekan sitokin preinflamasi sel T
dan aktivasi monosit.

Struktur Kimia

memiliki rumus molekul C12H9F3N2O2.

Farmakokinetika

Leflunomide dapat diserap secara sempurna dan


memiliki waktu paruh plasma 19 hari, pada metabolit
aktifnya yaitu A77-1726 diperkirakan memiliki waktu
paruh yang serupa.

Indikasi

Penggunaan terapi kombinasi dengan metotreksat dapat


menghasilkan respon ACR 20 yang lebih tinggi
dibanding hanya menggunakan metotreksat

Kontraindikasi

19
Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi
hati, pasien yang hamil dan menyusui, pasien dengan
gangguan ginjal berat, dll

Efek samping

Efek samping dari obat ini adalah Diare, Peningkatan


tekanan darah, dan Liver toxicity

Mekanisme Aksi

Leflunomide, obat baru untuk pengobatan RA, bekerja


melalui metabolitnya, A77-1726. A77-1726
menghambat dihydroorotate dehydrogenase (DHODH),
yang mengarah pada penurunan tingkat rUMP, dan
aktivasi p53. P53 adalah molekul "sensor" dan
pencegah, ketika diaktifkan, perkembangan melalui
siklus sel, sehingga sel-sel terstimulasi terhenti dalam
fase G1. Selain itu, A77-1726 meningkatkan
kemampuan mRNA reseptor IL-10, menurunkan
konsentrasi reseptor IL-8 tipe A, dan memblokir faktor
nekrosis tumor (TNF) -tergantung pada faktor nuklir-
aktivasi kappa B.

d. Azatioprin

Struktur Kimia

Azatioprin memiliki rumus molekul C9H7N7O2S.

Farmakokinetika

Metabolisme azatioprin pada manusia ini bersifat


bimodus yaitu orang yang cepat memetabolasi akan

20
membersihkan obat empat kali lebih cepat dari yang
lambat.

Indikasi

Penggunaan azatioprin dapat untuk penyakit lain seperti


artritis psoriasis, artritis reaktif, polimiositis, dan
penyakit behcet

Kontraindikasi

Kontraindikasi pada pasien hamil, pasien RA yang


sebelumnya ditangani dengan alkylating agents.

Efek samping

Efek samping yang mungkin dirasakan setelah


mengonsumsi obat ini adalah Risiko limfoma, Supresi
sumsum tulang, dan Gangguan saluran cerna

Mekanisme Aksi

Azathioprine dimetabolisme menjadi 6-


mercaptopurine (6-MP) kemudian dikonversi oleh
Hypoxanthine guanine phosporibosyl transferase
(HGPRT) menjadi 6-thioguanine nucleotides (6-
TGNs).Peranutamadari6-TGNs adalah sitotoksik
ketikabergabungdenganDNA dan RNA. 2 enzim yang
berkompetisi dengan HGPRT untuk mereduksi
konsentrasi 6-TGNs adalah Xanthine Oxidase yang
dapat menghasilkan thiouric acid. Enzim kedua yaitu
Thiopurine methyltransferase (TPMT) yang
mengubah 6-MP menjadi 6-metil mercaptopurine.

2.6.1.1.2 Biological Agents

Biologis ′ atau ′ pengubah respons biologis ′ adalah agen terapi


yang berpotensi menghambat perilaku sitokin, aktivasi seluler, dan
transkripsi gen inflamasi dengan berbagai cara. Ini termasuk antibodi
monoklonal, reseptor sitokin terlarut, dan antagonis alami (Shanahan
et al., 2003).

21
Obat-Obatan yang memberikan respon untuk AR tetapi belum
beredar di Indonesia, seperti CTLA-4 Ig (abatasept), anti-TNF α
(adalimubab, certolizumab) anti IL-1 (anakinra), dan tofacitinib
(Indonesia,2014).

a. OBAT PENGHAMBAT TNF-α

Sitokin berperan penting dalam respons imun dan


artritis rematoid. Meskipun terdapat beragam sitokin yang
diekspresikan di sendi pasien artritis rematoid.. TNF-α
memengaruhi fungsi sel melalui pengaktifan reseptor TNF
spesifik yang terikat ke membran (TNFR1, TNFR2 )
(Katzung,2012).

Anti TNF-α bekerja dengan mengikat soluble dan


transmembrane TNF-α, mencegah TNF-α berikatan dengan
kedua reseptornya (TNFR1,TNFR2), mencegah pesinyalan
yang dimediasi TNF-α, menginduksi mekanisme yang
dimediasi oleh TNF transmembran- seperti apoptosis, reverse
signaling (menghasilkan penekanan sitotikn), dan antibodi serta
cell-dependent cytotoxicity (Moss, 2008).

22
Telah disetujui lima DMARD biologik yang
mengintervensi TNF-α untuk mengobati artritis rematoid dan
penyakit rematik lainnya (Katzung,2012).

1) Adalimumab

Adalimumab adalah antibodi monoklonal IgG 1 anti-


TNF yang sepenuhnya berasal dari manusia. Senyawa
ini berikatan dengan TNF- α larut dan mencegah
interaksinya dengan reseptor p55 dan p75 di permukaan
sel. Hal ini menyebabkan tertekannya fungsi makrofag
dan sel T (Katzung,2012).

Farmakokinetika. Adalimumab diberikan secara


subkutis dan memiliki waktu-paruh. 10-20 hari.
Klirensnya berkurang lebih dari 40% jika terdapat
metotreksat, dan pembentukan antibodi monoklonal
manusia berkurang jika metotreksat diberikan pada
waktu yang sama. Dosis lazim untuk artritis rematoid
adalah 40 mg dua minggu sekali; respons mungkin
meningkat jika obat diberikan setiap minggu. Pada
psoriasis, 80 mg diberikan pada minggu 0,40 mg pada
minggu 1, lalu 40 mg setiap dua minggu
(Katzung,2012).

Indikasi. Senyawa ini telah disetujui untuk artritis


rematoid, ankylosing spondylitis, artritis psoriasis,
artritis idiopatik juvenilis, psoriasis tipe plak, dan
penyakit Crohn (Katzung,2012).

Efek Samping. Seperti obat penghambat TNF-α


lainnya, risiko infeksi bakteri dan infeksi dependen
makrofag (termasuk tuber-kulosis dan infeksi

oportunistik lain) meningkat meskipun tetap rendah.


Pasien perlu menjalani pemeriksaan penyaring untuk
tuberkulosis laten atau aktif sebelum diberi adalimumab
atau obat penghambat TNF-α lainnya (Katzung,2012).

23
2) Sertolizumab

Sertolizumab adalah fragmen Fab antibodi rekombinan


yang dikonjugasikan ke polietilen glikol (PEG) dengan
spesifisitas terhadap TNF-α manusia. Sertolizumab
menetralkan TNF-α yang larut dan yang terikat ke
membran melaluimekan ismedependen-dosis. Selain itu,
sertolizumab tidak mengandung regio Fc yang terdapat
pada antibodi lengkap, serta tidak memfiksasi
komplemen atau menyebabkan sitotoksisitas yang
diperantarai sel dan dependen-antibodi in vitro.

Farmakokinetika. Sertolizumab diberikan secara


subkutis dan memiliki waktu-paruh 14 hari. Klirens
berkurang jika berat badan bertambah. Metotreksat tidak
mengubah farmakokinetika obat ini. Namun, metotreksat
menurunkan kemunculan antibodi anti-sertolizumab.
Dosis lazim untuk artritis rematoid adalah 400 mg pada
awalnya dan pada minggu 2 dan 4, diikuti oleh 200 mg
setiap dua minggu.

Indikasi. Sertolizumab diindikasikan untuk mengobati


orang dewasa dengan artritis rematoid aktif sedang
sampai berat. Obat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi atau dalam kombinasi dengan DMARD non-
biologik.

Efek Samping. Konsisten dengan penghambat TNF-α


lainnya, risiko infeksi serius, termasuk tuberkulosis,
jamur, dan patogen oportunistik lainnya, meningkat dan
pasien perlu dipantau secara ketat. Sebelum terapi
dimulai, perlu dilakukan pemeriksaan untuk tuberkulosis
laten(Katzung,2012).

3) Etanercept

Etanersep adalah suatu protein fusi rekombinan yang


terdiri dari dua gugus reseptor p75 TNF larut yang

24
terkait ke bagian Fc IgG1 manusia ; obat ini mengikat
molekul TNF-α dan juga menghambat limfotoksin-α.

Farmakokinetika. Etanersep diberikan secara subkutis


dengan dosis 25 mg dua kali seminggu atau 50 mg setiap
minggu. Pada psoriasis, 50 mg diberikan dua kali
seminggu selama 12 minggu, lalu diikuti 50 mg setiap
minggu. Obat ini diserap secara perlahan, dengan
konsentrasi puncak 72 jam setelah pemberian. Etanersep
memiliki waktu-paruh eliminasi serum rerata selama 4,5
hari. Lima puluh miligram yang diberikan seminggu
sekali menghasilkan luas di bawah kurva dan
konsentrasi minimal seperti pemberian 25 mg dua kali
seminggu.

Indikasi. Obat ini dapat digunakan sebagai monoterapi,


meskipun lebih dari 70% pasien yang sedang mendapat
etanersep juga menggunakan metotreksat. Etanersep
menurunkan angka pembentukan erosi baru relatif
terhadap metotreksat saja. Obat ini juga sedang
digunakan pada sindrom rematik lainnya seperti
skleroderma, granulomatosis Wegener, arteritis sel
raksasa, dan sarkoidosis.

Efek Samping. Insidens infeksi bakteri sedikit


meningkat, khususnya infeksi jaringan lunak dan artritis
septik. Pengaktifan tuber-kulosis laten lebih rendah pada
pemberian etanersep dibandingkan dengan obat
penghambat TNF lainnya(Katzung,2012).

4) Golimumab

Golimumab adalah antibodi monoklonal manusia


dengan afinitas tinggi untuk TNF-α, baik yang larut
maupun yang terikat ke membran. Golimumab secara
efektif menetralkan efek peradangan yang ditimbulkan

25
oleh TNF-α yang ditemukan pada penyakit seperti
artritis rematoid.

Farmakokinetika. Golimumab diberikan secara


subkutis dan memiliki waktu-paruh sekitar 14 hari.
Pemberian bersamaan dengan metotreksat meningkatkan
kadar serum golimumab dan menurunkan antibodi
antigolimumab. Dosis anjuran adalah 50 mg setiap 4
minggu.

Indikasi. Golimumab, yang diberikan bersama dengan


metotreksat, diindikasikan untuk mengobati artritis
rematoid sedang sampai berat pada pasien dewasa. Obat
ini juga diindikasikan untuk mengobati artritis psoriasis
dan ankylosing spondylitis.

Efek Samping. Penghambat TNF-α, termasuk


golimumab, meningkatkan risiko infeksi serius,
termasuk tuberkulosis, jamur, dan infeksi oportunistik
lainnya. Sebelum pengobatan dimulai, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mendeteksi tuberkulosis laten.
Seperti obat penghambat TNF- α lainnya, terdapat
potensi keterkaitan dengan limfoma; belum pernah
dilaporkan keterkaitan dengan tumor solid lain (kecuali

mungkin kanker kulit non-melanoma)(Katzung,2012).

5) Infliksimab

Infliksimab adalah suatu antibodi monoklonal IgG1


campuran (25% mencit, 75% manusia) yang mengikat
kuat TNF-α larut dan mungkin yang terikat ke membran.
Mekanisme kerjanya mungkin sama seperti adalimumab.

Farmakokinetika. Infliksimab diberikan secara infos


intravena dengan "induksi" pada minggu 0, 2, dan 6
serta pemeliharaan setiap 8 minggu sesudahnya. Dosis
adalah 3-10 mg/kg, meskipun dosis lazim adalah 3-5
mg/ kg setiap 8 minggu. Terdapat hubungan antara

26
konsentrasi serum dan efek, walaupun klirens masing-
masing pasien sangat bervariasi.

Indikasi. Infliksimab telah disetujui untuk digunakan


pada artritis rematoid, ankylosing spondylitis , artritis
psoariasis, dan penyakit Crohn . Obat ini juga digunakan
pada penyakit lain, termasuk psoriasis, kolitis ulseratif,
artritis kronik juvenilis, granulomatosis Wegener,
arteritis sel raksasa, dan sarkoidosis

Efek Samping. Seperti obat penghambat TNF-α


lainnya, infliksimab dilaporkan berkaitan dengan
peningkatan insidens infeksi bakteri, termasuk infeksi
saluran napas atas. Sebagai suatu inhibitor makrofag
yang poten, infliksimab dapat mengaktifkan tuberkulosis
laten, dan pasien perlu menjalani pemeriksaan penyaring
untuk tuberkulosis aktif atau laten sebelum memulai
pengobatan. Infeksi lain pernah dilaporkan meskipun
jarang. Tidak terdapat bukti peningkatan insidens
keganasan solid dan belum jelas apakah insidens
limfoma meningkat pada pemberian infliksimab. Karena
pernah dilaporkan sindrom-sindrom demielinasi yang
jarang, pasien dengan sklerosis multipel atau
neurouveitis seyogianya tidak diberi
infliksimab(Katzung,2012).

b. RITUXIMAB

27
Rituksimab adalah suatu antibodi monoklonal kimerik
yang membidik limfosit B CD20. Deplesi ini berlangsung
melalui sitotoksisitas yang diperantarai sel dan dependen
komplemen serta stimulasi apoptosis sel. Deplesi limfosit B
mengurangi peradangan dengan menurunkan penyajian antigen
ke limfosit T dan menghambat sekresi berbagaisitokin
proinflamasi. Rituksimab cepat mengurangi limfosit B perifer,
meskipun deplesi ini tidak berkorelasi dengan efikasi atau
toksisitas(Katzung,2012).

28
Rituksimab diberikan sebagai dua infus intravena 1000
mg, yang dipisahkan oleh waktu 2 minggu. Obat ini dapat
diulang setiap 6-9 bulan, sesuai kebutuhan. Pemberian ulang
tetap efektif. Praterapi dengan glukokortikoid intravena yang
diberikan 30 menit sebelum infus (biasanya metilprednisolon
100 mg) mengurangi insidens dan keparahan reaksi
infus(Katzung,2012).

Rituksimab diindikasikan untuk mengobati artritis


rematoid aktif yang sedang sampai parah dalam kombinasi
dengan metotreksat pada pasien yang kurang berespons
terhadap satu atau lebih antagonis TNF-α(Katzung,2012).

Sekitar 30% pasien mengalami ruam pada 1000 mg


pertama pengobatan; insidens ini berkurang menjadi sekitar
10% pada infos kedua dan termasuk berkurang pada setiap kali
pemberian berikutnya. Ruam biasanya tidak mengharuskan

29
penghentian terapi, tetapi tentu saja reaksi urtikaria atau
anafilaksis menghentikan pengobatan selanjutnya.
Imunoglobulin (terntama IgG dan IgM) mungkin berkurang
dengan pengulangan terapi dan dapat terjadi infeksi meskipun
infeksi ini tampaknya tidak berkaitan langsung dengan
penurunan imunoglobulin(Katzung,2012).

c. ABATACEPT

Abatasep adalah suatu protein fusi rekombinan yang


terdiri dari ranah ekstrasel cytotoxic T-lymphocyte-associated
antigen 4 (CTLA-4) yang disatukan dengan ranah engsel, CH2,
dan CH3 IgG1 manusia Abatasep disetujui untuk pasien dengan
artritis reumatoid dan artritis idiopatik juvenilis. Pasien jangan
diberi obat anti-TNF lain atau anakinra sewaktu ia mendapat
abatasep(Katzung,2012). Seperti obat monoklonal anti-TNF
lainnya, pasien perlu menjalani pemeriksaan penyaring dan
diterapi untuk infeksi tuberkulosis laten sebelum diberi
abatasep.

30
Obat ini lebih mengikat CDS0/86 daripada CD28).
Protein fusi ini menghambat pengaktifan sel T dengan
mengikat CD80 atau CD86 sehingga CD28 di sel T tidak dapat
mengikat dan merangsang sel T dan menyebabkan pengeluaran
sitokin(Katzung,2012).

d. TOCILIZUMAB

Tosilizumab, suatu biologic humanized antibody baru mengikat


reseptor IL-6, baik yang larut maupun yang terikat ke
membran, serta menghambat sinyal yang diperantarai melalui
reseptor ini. IL-6 adalah suatu sitokin proinflamasi yang
dihasilkan oleh beragam jenis sel, termasuk sel T, sel B,
monosit, fibroblas, serta sel sinovium dan endotel. IL-6
berperan dalam berbagai proses fisiologik seperti pengaktifan
sel T, pembentukan protein fase akut di hati, dan stimulasi
proses peradangan yang terlibat dalam penyakit seperti artritis
rematoid (Katzung,2012).

31
Farmakokinetika. Waktu-paruh tosilizumab bergantung pada
dosis, sekitar 11 hari untuk dosis 4 mg/kg dan 13 hari untuk 8
mg/kg. IL-6 dapat menekan beberapa isoenzim CYP450;
karena itu, inhibisi IL-6 dapat memulihkan aktivitas CYP450
ke tingkat yang lebih tinggi. Hal ini mungkin relevan secara
klinis untuk obat-obat yang merupakan substrat CYP450 dan
memiliki jendela terapeutik yang sempit (mis. siklosporin dan
warfarin), serta mungkin diperlukan penyeasuaian dosis obat-
obat ini. Tosilizumab dapat digunakan dalam kombinasi dengan
DMARD non-biologik atau sebagai monoterapi. Dosis awal
yang dianjurkan adalah 4 mg/kg intravena setiap 4 minggu
diikuti oleh peningkatan hingga 8 mg/kg, bergantung pada
respons klinis. Selain itu, berdasarkan perubahan laboratorium
tertentu, peningkatan enzimhati, neutropenia, dan
trombositopenia, dianjurkan modifikasi dosis.

Indikasi. Tosilizumab diindikasikan untuk pasien


dewasa dengan artritis rematoid aktif sedang sampai berat yang
responsnya kurang memadai terhadap satu atau lebih antagonis
TNF.

Efek Samping. Infeksi serius, termasuk tuberkulosis,


infeksi jamur, virus, dan infeksi oportunistik lain, pernah

32
terjadi. Pemeriksaan penyaring untuk tuberkulosis perlu
dilakukan sebelum tosilizumab dimulai. Reaksi samping
tersering adalah infeksi saluran napas atas, nyeri kepala,
hipertensi, dan peningkatan enzim hati(Katzung,2012).

2.6.1.2 NSAID
NSAID merupakan golongan obat yang memiliki efek
analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi
(menghilangkan radang). Pada pengobatan rheumatoid arthritis,
NSAID digunakan untuk mengurangi inflamasi yang ditimbulkan dan
sebagai analgesik bagi rheumatoid arthritis.
● Mekanisme dari NSAID :
Inflamasi terjadi karena adanya mediator-mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh suatu sel, contohnya prostaglandin.
Prostaglandin adalah mediator peradangan dan nyeri tetapi juga
menjaga fungsi tubuh seperti perlindungan dari asam lambung,
pemeliharaan aliran darah ginjal, dan berkontribusi terhadap
fungsi vaskular. Apabila terdapat bengkak maka disebabkan
oleh luka sehingga terjadinya nyeri. Luka tersebut akan
menembus membran sel sehingga enzim phospolipase yang
akan mengubah phospolipid yang ada pada membran sel
menjadi asam arakidonat. Asam arakidonat inilah yang
merupakan asal mula munculnya prostaglandin. Caranya
disintesis oleh enzim COX, ketika asam arakidonat bertemu
dengan enzim COX maka akan diubah menjadi
A. Prostaglandin
B. Thromboxane
C. Prostacyclin
NSAID ini kerjanya menghambat enzim COX, apabila
dihambat maka asam arakidonat tidak bisa menjadi
prostaglandin sehingga tidak terjadi inflamasi. Namun, pada
NSAID terdapat COX 1, dan COX 2.

33
COX 1 berfungsi menghasilkan prostaglandin, walaupun tidak
ada luka tetap menghasilkan prostaglandin, karena tubuh
membutuhkan adanya prostaglandin.
COX 2 berfungsi Selektif untuk menginflamasi dikarenakan
adanya luka. Jadi asam arakidonat bertemu COX 2 maka akan
menghasilkan mediator inflamasi yang khusus untuk bengkak,
dan lain-lain.
Pada COX 1 mempunyai fungsi pada organ-organ tertentu :
A. Pembuluh darah
Untuk vasodilatasi, memperlebar aliran
pembuluh darah dan menyebabkan pasokan darah
menuju suatu organ lancar karena pembuluh darahnya
lebih lebar. Oleh karena itu, mengapa pada saat bengkak
inflamasi berwarna merah karena pembuluh darahnya
vasodilatasi, sehingga semakin banyak aliran darah
yang mengalir di organ tersebut. Itulah mengapa sering
dikompres dengan air dingin dengan tujuannya
membuat pembuluh darahnya vasokonstriksi, tidak
bengkak.
B. Platelet
Anti agregasi. Jadi biar darahnya
plateletplatinnya tidak saling berkumpul.
C. Bronkus
Brokodilatasi. Memperlebar jalan bronkus atau
jalan udara.
D. Lambung
Melapisi dinding lambung, agar lambung tidak
tergerus dengan adanya produksi asam lambung.
Sehingga lambung dapat terlindungi.
E. Ginjal
Filtrasi dan laju aliran darah. Sehingga ginjal
tetap dapat pasokan aliran darah sesuai kebutuhannya.

34
NSAID tidak bekerja spesifik. Ketika meminum
NSAID maka akan menghambat COX 1 dan COX 2. Apabila
COX dihambat maka semua prostaglandin tidak ada, efek
baiknya nyeri menjadi berkurang. Prostaglandin dari COX 1
jadi dihambat menyebabkan vasokontriksi ketika di daerah
yang bengkak. Masalahnya vasokontriksi bisa terjadi pada
ginjal padahal tadi fungsi memfiltrasi. Apabila dihambat maka
pasokan aliran darah yang masuk pada ginjal maka akan lebih
sedikit (efek samping, apabila ini dikonsumsi dalam jangka
waktu yang lama). Apabila dihambat pada bronkus maka akan
terjadi bronkokonstriksi, maka pasien asma biasanya tidak
diberi NSAID. Kemudian di lambung, apabila dihambat maka
tidak ada yang melindungi lambungnya. Sehingga apabila ada
pasien yang mempunyai riwayat maag, ketika meminum
golongan obat NSAID terasa perih. Cara mengatasinya itu
diminum sesudah makan, agar ada yang melapisinya.
● Golongan Obat yang biasa digunakan dalam pengobatan
rheumatoid arthritis adalah golongan diklofenak. diklofenak.
Adapun efek samping yang ditimbulkan adalah:
❖ Gangguan gastrointestinal, akibat inhibisi COX-1 yang
menghasilkan prostaglandin (berperan dalam ekskresi
mukosa lambung). Adapun pencegahan adalah dengan
menggunakan obat golongan Proton Pump Inhibitor
(PPI) (seperti omeprazole, pentoprazole).
❖ Meningkatkan risiko penyakit jantung
❖ Gagal ginjal, akibat inhibisi COX-1 yang menghasilkan
prostaglandin yang berperan dalam regulasi ginjal

2.6.1.3 Glukokortikoid

35
Glukokortikoid merupakan obat yang memiliki efek
antiinflamasi dan imunosupresan yang kuat. Glukokortikoid telah
digunakan untuk pengobatan rheumatoid arthritis sejak tahun 1949.
Obat ini secara luas digunakan untuk mengobati berbagai penyakit dan
kondisi radang, termasuk gangguan autoimun, penyakit alergi, dan
asma, dan untuk mencegah penolakan organ saat transplantasi.

Glukokortikoid merupakan hormon steroid yang berikatan


dengan reseptor glukokortikoid di sitosol. Kompleks yang baru
terbentuk ini kemudian masuk ke dalam inti sel dan berikatan dengan
elemen respons glukokortikoid di wilayah promotor gen spesifik,
menyebabkan peningkatan ekspresi gen target atau mencegah ekspresi
gen target. Cara kerja glukokortikoid adalah menghambat apoptosis
dan demarginasi neutrofil; mereka menghambat fosfolipase A2, yang
mengurangi pembentukan turunan asam arakidonat; mereka
menghambat NF-Kappa B dan faktor-faktor transkripsi inflamasi
lainnya dan mempromosikan gen anti-inflamasi seperti interleukin-10.
Efek yang dihasilkan oleh obat glukokortikoid antara lainnya adalah:
1. Penghambatan transkripsi gen yang mengkode sitokin IL-1, IL-2,
IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-7, IL-8, dan TNF-�
2. Perbanyakan sel B yang berkurang dan penurunan sintesis antibodi
3. Pengurangan produksi IL-2, sehingga mengurangi proliferasi sel T
4. Mengurangi ukuran dan kandungan limfoid dari limfa
5. Modifikasi fungsi dari subset sel T tertentu
6. Meningkatkan sintesis lipocortin-1, yang menghambat produksi
prostaglandin dan leukotrien
7. Penurunan jumlah sel T, eosinofil, dan sel mast di lamina propria
saluran udara
8. Menghambat kemotaksis monosit dan neutrofil
9. Perubahan distribusi leukosit sehingga menyebabkan terjadinya
limfopenia dan neutrofilia

36
Mekanisme aksi dari glukokortikoid dimulai saat obat
glukokortikoid melalui membran sel dan masuk ke dalam sitoplasma.
Pada sitoplasma, terdapat komponen - komponen glucocorticoid
receptor (GR) yang bebas. GR yang bebas ini tidak dapat mengubah /
mempengaruhi transkripsi dari gen. GR yang belum berikatan dengan
obat glukokortikoid memiliki dua protein penstabil yang terikat dengan
dirinya, yaitu heat shock protein 90 (Hsp90) dan immunophilin. Hsp90
merupakan protein yang dihasilkan karena adanya heat shock response
karena sel tubuh mengalami gangguan.
Setelah berikatan dengan glukokortikoid, akan terjadi
penukaran protein penstabil pada GR, yaitu immunophilin yang
digantikan dengan Hsp52. Kompleks substrat-reseptor ini kemudian
berikatan dengan protein transporter (dynein motor transport protein)
yang akan membawa kompleks tersebut menuju ke dalam inti sel /
nukleus. Kemudian, kompleks tersebut akan berikatan dengan
glucocorticoid response element (GRE) dan mengalami dimerisasi.
Kompleks yang sudah berikatan dengan GRE akan menyebabkan
perubahan transkripsi gen, yaitu menekan atau menstimulasi
prosesnya, sehingga dapat melakukan perubahan sintesis mRNA yang
akan mempengaruhi perubahan sintesis protein.
Kerja glukokortikoid pada sel adalah menghambat
teraktivasinya faktor NF-Kappa B yang dapat menginduksi ekspresi

37
dari sitokin inflamasi. Pengaruh lainnya adalah meningkatkan ekspresi
Annexin A1 (Lipocortin-1) yang akan menghambat enzim fosfolipase
A2 (PLA2) dan enzim COX-2. Penghambatan enzim PLA2 akan
mengurangi produksi asam arakidonat yang dapat diubah menjadi
prostaglandin dan leukotrien (agen inflamasi) oleh enzim COX-2.
a. Prednisone
Mekanisme Kerja
Mengaktivasi reseptor glukokortikoid yang mengubah transkripsi
gen. Inert secara biologis dan diubah menjadi prednisolone di hati.
Struktur Kimia

Prednisone memiliki rumus molekul C21H26O5


Farmakokinetik
Durasi aktivitasnya lebih lama dari waktu paruh farmakokinetik
obat yang berpengaruh pada transkripsi gen. Waktu paruh
prednisone adalah 2 - 3 jam. Secara oral, Tmax dari prednisone
adalah 2 jam, sedangkan untuk formulasi delayed-release memiliki
Tmax 6 - 6,5 jam. Dosis 5 mg prednisone memiliki AUC
572mL/min/1,73m2, dosis 20 mg memiliki AUC
1034mL/min/1,73m2, dan dosis 50 mg memiliki AUC
2271mL/min/1,73m2. Volume distribusi dari prednisone untuk
dosis 0,15mg/kg adalah 29,3 L dan untuk dosis 0,30mg/kg adalah
44,2 L. Prednisone diekskresikan secara utama melalui urin
menjadi konjugat sulfat dan glukuronida.
Indikasi
Prednison diindikasikan sebagai obat antiinflamasi atau
imunosupresan untuk alergi, gangguan dermatologis,

38
gastrointestinal, hematologi, ophthalmologis, sistem saraf, ginjal,
pernapasan, reumatologis, infeksi, endokrin, atau kondisi
neoplastik serta pencegahan penolakan organ saat transplantasi.
Efek Samping
Efek samping dari prednisone yang umum adalah: kegelisahan,
insomnia, kenaikan berat badan, gangguan pencernaan, terlalu
banyak berkeringat.
Kontraindikasi
- Pasien dengan hipersensitivitas pada obat
- Pasien dengan infeksi fungal sistemik
- Pasien yang akan melakukan vaksinasi / baru saja melakukan
vaksinasi
- Pasien yang sedang hamil / menyusui atau ingin hamil
Dosis
5 - 60 mg/hari. Biasanya diberikan dosis kecil 5 - 10 mg/hari dan
dikonsumsi 1 kali sehari atau 2 kali sehari. Prednisone dikonsumsi
saat pagi hari / beraktivitas.
Interaksi Obat
- Warfarin
- Fluconazole
- Cyclosporine
- Dexamethasone

2.6.2 Treatment Osteoarthritis

2.6.2.1 Glukosamin

Sinoviosit dan chondrosit memproduksi asam hialuronat dan beberapa


enzim degradative dan mediator inflamasi seperti IL-1 (inteleukin-1), MMPs
(matrix metalloproteins), PGE2 (prostaglandin E2), ROS (reactive oxygen
species) yang , dan ADAMTPS-4 DAN ADAMTPS-5 (aggrecenases) befungsi
untuk menghancurkan aggrecan di cairan synovial. Hal ini akan
menghancurkan komponen ECM (extracellular matrix). Didalam kondrosit,
jika IL-1 mengikat dengan reseptornya yaitu IL-1R akan memproduksi
transkripsi faktor berupa NFkB (nuclear factor kappa B) dan AP-1 (activator

39
protein-1). Jika transkripsi faktor tersebut mengikat binding sites-nya yang
akan menghasilkan gen-gen untuk meningkatkan transkripsi, gen tersebut ialah
gen MMPs, iNOS (inducible NOS), dan COX-2. Fungsi glukosami akan
mengurangi produksi dan aktivitas NFkB dan mengurangin transkripsi dari
mediator inflamasi lainnya.

2.6.2.2 Antisitokin

Gambar struktur kimia Anakinra.

Golongan obat antisitokin salah satunya adalah inhibitor


interleukin-1 (IL-1) yang mengurangi aksi sitokin inflamasi IL-1. Ada
dua mekanisme umum inhibitor IL-1 yakni anakinra dengan mengikat
ke IL-1RI dengan afinitas yang sama seperti IL-1 tetapi mencegah
pengikatan IL 1RAcP sehingga mencegah terjadinya transduksi sinyal.
Kemudian, rilonacept dan canakinumab yang berikatan dengan IL1α,

40
IL1β dan IL-1Ra dengan afinitas yang lebih rendah, sehingga
mencegah L1 berikatan dengan IL-1RI dan mencegah terjadinya
transduksi sinyal. IL-1 inhibitor juga termasuk golongan obat
antirematik pemodifikasi penyakit biologis (bDMARDs). Indikasi dari
inhibitor IL-1 adalah membantu memperlambat kerusakan sendi dan
mengurangi nyeri sendi.

Gambar mekanisme kerja inhibitor IL-1.

Dosis pemberian IL-1 inhibitor anakinra bagi orang dewasa


adalah 100 mg disuntikkan 1 kali sehari. Dosis tidak boleh ditingkatkan
dari yang seharusnya tanpa pemberitahuan dokter karena dosis yang
lebih tinggi tidak berarti dapat memberikan respon yang lebih cepat
atau lebih baik. Anakinra dapat berinteraksi dengan 448 jenis obat,
diantaranya yakni Biaxin, Carvedilol, dan Cymbalta. Kemudian,
penggunaan anakinra dapat menyebabkan infeksi serius. Hentikan
pengobatan dan segera hubungi dokter jika mengalami tanda-tanda
infeksi seperti:
● demam, berkeringat,menggigil,
● sesak napas,
● batuk, radang tenggorokan,
● luka pada mulut atau tenggorokan,

41
● gejala flu, dan
● penurunan berat badan.

2.6.2.3 Injeksi Intraartikular

2.6.2.3.1 Asam Hialuronat

Gambar struktur kimia Asam Hialuronat.

Asam Hialuronat adalah glukosa-minoglikannon-sulfat yang


terdiri dari asam D-glukuronat berulang dan unit N-asetilglukosamin.
Intra articular hyaluronic acid adalah metode injeksi
viscosupplementation untuk meningkatkan konsentrasi dari asam
hialuronat di lutut penderita osteoarthritis. Asam Hialuronat dapat
ditemukan secara alami di dalam tubuh, dengan konsentrasi tertinggi
asam hialuronat berada di dalam matriks ekstraseluler jaringan ikat
lunak. Pada sendi penderita osteoartritis, cairan sinovial mengandung
konsentrasi asam hialuronat yang jauh lebih rendah daripada pada
cairan sinovial sendi yang sehat, sehingga terapi injeksi asam
hialuronat dimaksudkan untuk mengembalikan sifat viskoelastik sendi
lutut.
Mekanisme asam hialuronat adalah dengan berikatan dengan
reseptor spesifik yang diekspresikan dalam banyak sel seperti CD44,
ICAM-1, dan RHAMM. Ikatan dengan reseptor-reseptor ini berguna
untuk merangsang aktivitas fungsional sel seperti migrasi sel dan
proliferasi. Asam hialuronat juga dapat mengembalikan efek
lubricating dan shock-absorbing pada cairan sinovial. Selain itu, asam
hialuronat memiliki efek memodifikasi penyakit, seperti pengurangan
peradangan sinovial, dan perlindungan terhadap erosi tulang rawan.
Kemudian, asam hialuronat juga memiliki aktivitas analgesik langsung
dan tidak langsung dalam sendi. Pengaruh tidak langsung melalui sifat
anti-inflamasi dan efek langsung adalah dengan penghambatan
langsung dari nosiseptor dan sintesis menurun dari bradikinin dan
substansi P.

42
Dosis pemberian injeksi intraartikular asam hialuronat adalah
single injection tiap 3-5 minggu. Seri penginjeksian diulangi kembali
jika terdapat kemajuan. Sementara, efek samping dari injeksi
intraartikular asam hialuronat dapat terjadi pada tingkat sekitar 1% per
injeksi, antara lain:
● Reaksi lokal seperti kehangatan/warmth, pembengkakan, dan
nyeri yang dapat berlangsung 1-2 hari.
● Peradangan granulomatosa timbul dalam waktu 48 jam setelah
injeksi dengan Hyalan-GF. Efek samping ini biasanya telah
terbukti sembuh dalam 1-2 minggu.

2.6.2.3.2 Kortikosteroid

Gambar struktur kimia Kortikosteroid.

Kortikosteroid adalah kelas hormon steroid yang diproduksi di


korteks adrenal vertebrata. Dua kelas utama kortikosteroid adalah
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Kortikosteroid pada osteoartritis
memberikan efek anti-inflammatory dan immunosuppressive.
Kortikosteroid yang umum digunakan dalam pengobatan osteoartritis
adalah Triamcinolone Acetonide dengan cara injeksi artikular. Indikasi
dari kortikosteroid adalah untuk meredakan peradangan atau inflamasi,
serta menekan kerja sistem kekebalan tubuh yang berlebihan.
Mekanisme kerja kortikosteroid adalah dengan menghambat
presentasi antigen, produksi sitokin, dan proliferasi limfosit. Aksi
kortikosteroid bekerja langsung pada reseptor inti steroid.
Kortikosteroid mengurangi permeabilitas vaskular dan menghambat
akumulasi dari sel inflamasi, fagositosis, produksi neutrophil

43
superoxide, metalloprotease dan metalloprotease activator, dan
mencegah sintesis serta sekresi dari beberapa mediator inflamasi
seperti prostaglandin dan leukotrien.
Dosis pemberian Triamcinolone Acetonide untuk orang dewasa
ialah 2,5-5 mg dengan dosis maksimal 20-80 mg. Obat ini dapat
meningkatkan risiko perdarahan pada sistem pencernaan jika
dikombinasikan dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Selanjutnya,
dapat meningkatkan risiko hiperkalemia jika dikombinasikan dengan
amphotericin B, agonis beta misalnya salbutamol, penghambat beta
misalnya bisoprolol, dan teofilin. Triamcinolone Acetonide juga dapat
menurunkan efektivitas obat antidiabetes dalam menurunkan gula
darah. Sementara, efek samping dari Triamcinolone Acetonide
diantaranya yakni:
● Sakit kepala,
● gelisah,
● pandangan kabur,
● pusing,
● jantung berdebar, dan
● napas pendek.

44
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun inflamasi kronis sistemik yang
menyerang sendi dan mempengaruhi banyak jaringan. RA dapat disebabkan karena faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang terlibat meliputi MHC class II antigen
(HLA-DR1) dan (HLA-DR4) serta alen non-MHC, sedangkan faktor lingkungan yang dapat
terlibat salah satunya adalah merokok. Sitokin utama yang menjadi kunci terjadinya inflamasi
pada rheumatoid arthritis adalah IL-1, IL-6, IL-17, dan TNF α. Terjadinya RA dapat ditandai
dengan munculnya beberapa gejala seperti nyeri sendi, pembengkakan atau kaku, kehilangan
nafsu makan, dan demam ringan. Timbulnya RA dapat menyebabkan terjadinya kondisi lain
seperti hyperplasia, peningkatan vaskularisasi dan aktivitas osteoklas di tulang. Penanganan
rheumatoid arthritis dapat dilakukan melalui terapi secara farmakologi maupun non-
farmakologi. Terapi secara farmakologi dapat menggunakan obat-obatan seperti DMARD,
NSAID, methotrexate, dan leflunomide, sedangkan terapi secara non farmakologi dapat
dilakukan melalui olahraga.
Osteoarthritis ditandai dengan penurunan progresif dan hilangnya tulang rawan
articular yang mengakibatkan pembentukan osteofit, nyeri, keterbatasan gerak, deformitas,
dan kecacatan progresif. Munculnya OA pada manusia dapat ditandai dengan timbulnya rasa
nyeri pada persendian, krepitasi, lemah otot, dan depresi. Seperti hal nya rheumatoid
arthritis, osteoarthritis juga dapat ditangani melalui terapi secara farmakologis dan
nonfarmakologis. Terapi secara farmakologi dapat menggunakan golongan obat analgesic,
glucosamine, chondroitin sulfate, dan intra articular injection, sedangkan terapi secara non
farmakologi dapat dilakukan melalui terapi fisik dan prosedur bedah.

3.2 Saran
Sebaiknya kajian literatur dilakukan lebih mendalam dengan sumber-sumber yang
valid agar tidak terjadi kesalahan dalam penyampaian informasi. Keterkaitan antar materi
juga harus diperhatikan agar dapat lebih mudah untuk dipahami. Untuk dapat memahami
materi lebih dalam lagi mengenai keterkaitan antar sub bab nya sehingga menjadi suatu
rangkaian yang utuh, penulis harus mencari sumber-sumber terpercaya lainnya agar lebih
mudah untuk dipahami. Selain itu, makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk referensi
pelajaran kedepannya.

45
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. (2013). Robbins Basic Pathology. Ed 9.
Philadelphia: Elsevier Saunders.

Actor, J. K. (2012). Adaptive Immune Response and Hypersensitivity. In Elsevier’s Integrated


Review Immunology and Microbiology (pp. 53–59). Elsevier.
https://doi.org/10.1016/b978-0-323-07447-6.00007-7

Anderson DD, Chubinskaya S, Guilak F, Martin JA, Oegema TR, Olson SA, et al. Post-
traumatic osteoarthritis: improved understanding and opportunities for early
intervention. J Orthop Res. 2011 Jun. 29 (6):802-9. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/330487-overview#a5

Baka, Z., Buzás, E., & Nagy, G. (2009). Rheumatoid arthritis and smoking: putting the pieces
together. In Arthritis research & therapy (Vol. 11, Issue 4, p. 238). BioMed Central.
https://doi.org/10.1186/ar2751

Bottegoni, C., Dei Giudici, L., Salvemini, S., Chiurazzi, E., Bencivenga, R., & Gigante, A.
(2016). Homologous platelet-rich plasma for the treatment of knee osteoarthritis in
selected elderly patients: an open-label, uncontrolled, pilot study. Therapeutic
Advances in Musculoskeletal Disease, 8(2), 35–41.
https://doi.org/10.1177/1759720X16631188

BPOM RI. (2018). Cek BPOM. Triamcinolone.

Burrage, P. S., Mix, K. S., & Brinckerhoff, C. E. (2006). Matrix metalloproteinases: Role in
arthritis. In Frontiers in Bioscience (Vol. 11, Issues 1 P.447-888, pp. 529–543). Front
Biosci. https://doi.org/10.2741/1817

De Boer TN, van Spil WE, Huisman AM, Polak AA, Bijlsma JW, Lafeber FP, et al. Serum
adipokines in osteoarthritis; comparison with controls and relationship with local
parameters of synovial inflammation and cartilage damage. Osteoarthritis Cartilage.
2012 Aug. 20(8):846-53. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/330487-overview#a5

46
Doan, T., Melvold, R., Viselli, S., and Waltenbaugh, C. (2013). Lippincott's Illustrated
Reviews: Immunology Second Edition. 2nd ed. USA: Wolters Kluwer

Driban, J. B., Harkey, M. S., Liu, S.-H., Salzler, M., & McAlindon, T. E. (2020).
Osteoarthritis and Aging: Young Adults with Osteoarthritis. Current Epidemiology
Reports, 9–15. https://doi.org/10.1007/s40471-020-00224-7

DrugBank. (2020). Prednisone. Diakses dari https://www.drugbank.ca/drugs/DB00635

Field, T. (2016). Knee osteoarthritis pain in the elderly can be reduced by massage therapy,
yoga and tai chi: A review. Complementary Therapies in Clinical Practice, 22, 87–92.
https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2016.01.001

Firestein, G. S., & McInnes, I. B. (2017). Immunopathogenesis of Rheumatoid Arthritis. In


Immunity (Vol. 46, Issue 2, pp. 183–196). Cell Press.
https://doi.org/10.1016/j.immuni.2017.02.006

Gresham, G. E. (1975). Osteoarthritis in Knees of Aged Persons. JAMA, 233(2), 168.


doi:10.1001/jama.1975.03260020054027

Gulati, M., Farah, Z., & Mouyis, M. (2018). Clinical features of rheumatoid arthritis. In
Medicine (United Kingdom) (Vol. 46, Issue 4, pp. 211–215). Elsevier Ltd.
https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2018.01.008

Guo, Q., Wang, Y., Xu, D., Nossent, J., Pavlos, N. J., & Xu, J. (2018). Rheumatoid arthritis:
Pathological mechanisms and modern pharmacologic therapies. In Bone Research
(Vol. 6, Issue 1, pp. 1–14). Sichuan University. https://doi.org/10.1038/s41413-018-
0016-9

Itoh, Y. (2017). Metalloproteinases in Rheumatoid Arthritis: Potential Therapeutic Targets to


Improve Current Therapies. In Progress in Molecular Biology and Translational
Science (Vol. 148, pp. 327–338). Elsevier B.V.
https://doi.org/10.1016/bs.pmbts.2017.03.002

Jeffries MA, Donica M, Baker LW, Stevenson ME, Annan AC, Humphrey MB. Genome-
wide DNA methylation study identifies significant epigenomic changes in

47
osteoarthritic cartilage. Arthritis Rheumatol. 2014 Oct. 66(10):2804-15. DIakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/330487-overview#a5

Kapoor, M. et al. (20120). Role of Proinflammatory Cytokines in the Pathophysiology of


Osteoarthritis. Macmillan Publishers Limited.: United States.

Kim, Ju-ryong, et al. (2018). Therapeutics in Osteoarthritis Based on an Understanding of Its


Molecular Pathogenesis. International Journals of Molecular Sciences: South Korea.

Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2015). Robbins and Cotran pathologic basic of
disease (Ninth Edition). Philadelphia: Elsevier Saunders.

Loeser, R. F. (2009). Aging and osteoarthritis: the role of chondrocyte senescence and aging
changes in the cartilage matrix. Osteoarthritis and Cartilage, 17(8), 971–979.
doi:10.1016/j.joca.2009.03.002

McInnes, I. B., & Schett, G. (2007). Cytokines in the pathogenesis of rheumatoid arthritis. In
Nature Reviews Immunology (Vol. 7, Issue 6, pp. 429–442). Nature Publishing
Group. https://doi.org/10.1038/nri2094

McInnes, I. B., & Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. New England
Journal of Medicine, 365(23), 2205–2219. doi:10.1056/nejmra1004965

Medscape. (2018). Triamcinolone Acetonide Injectable Suspension (Rx).

MIMS Indonesia. (2018). Triamcinolone.

Mohammed, F. F. (2003). Metalloproteinases, inflammation, and rheumatoid arthritis.


Annals of the Rheumatic Diseases, 62(90002), 43ii – 47.
https://doi.org/10.1136/ard.62.suppl_2.ii43

Moss, M.L.(2008). Nat Clin Pract Rheumatol.300–9.

Murphy, G., & Lee, M. H. (2005). What are the roles of metalloproteinases in cartilage and
bone damage? Annals of the Rheumatic Diseases, 64(SUPPL. 4), iv44–iv47.
https://doi.org/10.1136/ard.2005.042465

Neal, M. J. (2012). Medical Pharmacology at a Glance (7th ed). London : Wiley-Blackwell.

48
Pradeepkiran, J. A. (2019). Insights of Rheumatoid Arthritis and Risk Factors and
Associations. Journal of Translational Autoimmunity, 100012.
doi:10.1016/j.jtauto.2019.100012

Shanahan JC, Moreland LW, Carter RH. Upcoming biologic agents for the treatment

of rheumatic diseases.(2003) Curr Opin Rheumatol;15:226-36.

Smolen, J. S., Aletaha, D., & McInnes, I. B. (2016). Rheumatoid arthritis. In The Lancet (Vol.
388, Issue 10055, pp. 2023–2038). Lancet Publishing Group.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)30173-8

Smolen, J. S., Aletaha, D., Barton, A., Burmester, G. R., Emery, P., Firestein, G. S.,
Kavanaugh, A., McInnes, I. B., Solomon, D. H., Strand, V., & Yamamoto, K. (2018).
Rheumatoid arthritis. Nature Reviews Disease Primers, 4(1), 1–23.
https://doi.org/10.1038/nrdp.2018.1

Tseng, C. C., Chen, Y. J., Chang, W. A., Tsai, W. C., Ou, T. T., Wu, C. C., Sung, W. Y., Yen, J.
H., & Kuo, P. L. (2020). Dual role of chondrocytes in rheumatoid arthritis: The
chicken and the egg. In International Journal of Molecular Sciences (Vol. 21, Issue 3,
p. 1071). MDPI AG. https://doi.org/10.3390/ijms21031071

Tulane University. (2017). Glucocorticoid Pharmacology. Diakses dari


http://tmedweb.tulane.edu/pharmwiki/doku.php/glucocorticoid_pharmacology

Whalen, K. (2015). Lippincott Illustrated Reviews Pharmacology (6th Ed). Philadelphia, PA :


Wolters Kluwe.

Yulia, ulviani. 2017. EVALUASI TERAPI OAINS DAN DMARD PADA PASIEN
RHEUMATOID ARTHRITIS DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUP DR. SOERADJI
TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2015 – 2016. Diakses pada tanggal 21 maret 2020
dari http://eprints.ums.ac.id/54564/11/NASKAH%20PUBLIKASI-67.pdf

49

Anda mungkin juga menyukai