Anda di halaman 1dari 19

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

LAPORAN KASUS
APPENDISITIS AKUT

Oleh:
Andi Suci Indah Lestari
70700119012

Pembimbing:
dr. Irwan Wijaya, Sp.B, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKATUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul:

“APPENDISITIS AKUT”

Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui

Pada September 2021

Oleh:

Pembimbing

dr. Irwan Wijaya, Sp.B, M.Kes

Mengetahui,

ii
Ketua program studi Pendidikan profesi dokter

UIN Alauddin Makassar

dr. Azizah Nurdin, Sp.OG, M.kes


198409052009012012

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iv
BAB I LAPORAN KASUS.................................................................................1
A. Identitas Pasien..........................................................................................1
B. Pemeriksaan...............................................................................................2
C. Diagnosis...................................................................................................4
D. Penatalaksanaan.........................................................................................4
E. Prognosis...................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................7
A. Anatomi.....................................................................................................5
B. Fisiologi ....................................................................................................5
C. Definsi.......................................................................................................6
D. Epidemiologi.............................................................................................7
E. Etiologi......................................................................................................7
F. Patofisiologi...............................................................................................7
G. Manifestasi Klinis .....................................................................................8
H. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................10
I. Penatalaksanaan.........................................................................................10
J. Komplikasi ...............................................................................................11
K. Prognosis...................................................................................................11
BAB III PENUTUP.............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................13

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Appendix...............................................................................5

Gambar 2 Alvarado Score.....................................................................................10

iv
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

1. Nama : Tn. F

2. Umur : 25 tahun

3. Jenis kelamin : Laki-Laki

4. Pekerjaan : Pegawai SPBU

5. Status pernikahan : Belum Menikah

6. Agama : Islam

7. Tanggal MRS : 19 Agustus 2021

8. Tanggal KRS : 22 Agustus 2021

B. Pemeriksaan

1. Anamnesis

(Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2021)

Keluhan Utama: Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang di UGD RS Bayangkara dengan keluhan nyeri pada


perut bagian kanan bawah yang dialami sejak 3 hari yang lalu. Awalnya
pasien merasakan nyeri perut di daerah ulu hati dan nyeri yang dirasakan
berpindah ke perut bagian kanan bawah. Nyeri yang dirasakan terus
menerus dan memberat ketika pasien berjalan dan batuk. Pasien juga
mengaku mengalami penurunan nafsu makan dan mual. Demam tidak
ada, muntah tidak ada, BAB dan BAK kesan normal.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat maag sekitar 6 bulan yang lalu dan mengonsumsi


omeprazole

1
2

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum : Sakit Sedang

b. Kesadaran : Composmentis

c. Tanda Vital

 Suhu : 36,7 C

 Nadi : 80x/menit

 TD : 130/90 mmHg

 Pernapasan : 20x/menit

 SpO2 : 98%

 VAS :6

d. Status Generalis

 Kepala : Normocephali

 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Iklterik (-/-)

 Telinga : dalam batas normal


 Hidung : dalam batas normal

 Mulut : dalam batas normal

 Leher : Jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran

kelenjar getah bening dan tiroid (-), nyeri tekan (-)

 Thorax

Jantung

Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea

midklavikularis sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra


3

Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra

Auskultasi: Bunyi jantung I,II regular, tidak ada suara

tambahan

Paru

Inspeksi : Simetris kiri kanan

Palpasi : vocal fremitus teraba sama di kedua lapang

paru

Perkusi : sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : suara napas vesicular, wheezing -/-, rhonki

-/-

- Abdomen :

o Inspeksi: tampak datar, ikut gerak napas

o Auskultasi: bising usus (+) kesan normal

o Palpasi: hepar dan lien tidak teraba, McBurney sign (+),

Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), psoas sign (+),

obturator sign (+)

o Perkusi: timpani

3. Pemeriksaan Penunjang

 Darah Rutin

DARAH RUTIN HASIL NILAI

WBC 12,7 4.0-10.0

HGB 15.2 12.0-18.0

LMF 0,92 0.80-4.00

PLT 241 150-450

NEU# 11.03 2.00-7.00


4

 Swab PCR (SARS-Cov2) : Negatif

 Foto Thorax : Dalam Batas Normal

C. Diagnosis

Appendisitis Akut

D. Penatalaksanaan Selama Perawatan

 Pra Bedah

 IVFD RL 25 tpm

 Santagesic amp/8 jam/IV

 Anbacim 1 gr/12 jam/IV

 Rencana laparatomi appendictomy (20/08/2021)

 Pasca Bedah

 IVFD RL 25 tpm

 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV

 Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam/IV

 Ranitidin 1 amp/12 jam/IV

 Jam 15.00: Diet air 5-10 sendok/jam

 Jam 21.00: Diet bubur

 Cek tanda-tanda vital

E. Prognosis

1. Quo ad vitam : Bonam

2. Quo ad functionam : Dubia ad Bonam

3. Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam


5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI

Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm; namun,
dapat bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 dan
8 mm, sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm.1

Secara histologis, apendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu lapisan luar


serosa, merupakan ekstensi dari peritoneum; lapisan muskularis, yang tidak well
defined dan bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan submukosa dan
mukosa. Agregrat limfoid terjadi pada lapisan submukosa dan dapat menyebar
hingga muskularis mukosa. Saluran limfatik terlihat jelas pada daerah agregat
limfoid ini. Mukosanya mirip dengan kolon, kecuali densitas dari folikel
limfoidnya. Kriptusnya berukuran dan berbentuk ireguler, kontras dengan kriptus
kolon yang tampak lebih seragam. Kompleks neuroendokrin terbentuk oleh sel
ganglion, sel Schwann, serat neural, dan sel neurosekretorik yang terletak tepat di
bawah kriptus.1

Gambar 1. Appendix
B. FISIOLOGI

Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ


vestigial tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ
imunologik yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin,
6

khususnya imunoglobulin A.2

Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya penyakit
manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi dan
timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi.
namun, asosiasi ini hanya ditemukan pada pasien yang diterapi apendektomi
untuk apendisitis sebelum usia 20. Asosiasi antara Crohn’s disease dan
apendektomi lebih kurang jelas.2

Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa apendektomi


meningkatkan resiko timbulnya Crohn’s disease, penelitian lebih baru dengan
teliti menilai waktu apendektomi berhubungan dengan onset Crohn’s disease
membuktikan tidak adanya hubungan. Sebuah meta-analisis baru menunjukkan
resiko signifikan Crohn’s disease tidak lama setelah apendisitis. Resiko ini
selanjutnya memudar, menunjukkan adanya hubungan diagnostik (salah
mengidentifikasi Crohn’s disease sebagai apendisitis) daripada hubungan
fisiologis antara apendektomi dan Crohn’s disease.2

Apendiks dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi


kolon dengan bakteri sehat. Satu penelitian retrospektif membuktikan bahwa
apendektomi sebelumnya mungkin memiliki hubungan terbalik dengan infeksi
Clostridium difficile berulang. Namun, pada penelitian retrospektif lain,
apendektomi sebelumnya tidak mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile.
Peran apendiks dalam merekolonisasi kolon tetap dicari kejelasannya.2

C. DEFINISI

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendisitis akut menjadi
salah satu pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang
menunjukkan gejala iritasi peritoneal. Apendisitis akut adalah frekuensi terbanyak
penyebab persisten, progressive abdominal pain pada remaja. Belakangan ini
gejalanya kadang-kadang dibingungkan karena akut abdomen dapat menyerang
semua usia. Tidak ada jalan untuk mencegah perkembangan dari apendisitis.
Satu- satunya cara untuk menurunkan morbiditas dan mencegah mortalitas adalah
apendiktomi sebelum perforasi ataupun gangrene.2
7

D. EPIDEMIOLOGI

Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan
6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga.
Jumlah apendektomi untuk apendisitis telah menurun sejak 1950an pada sebagian
besar negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah menjadi 15 per
10.000 penduduk pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi
apendisitis non-perforasi. Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahwa
peningkatan penggunaan pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih
tinggi dari apendisitis ringan yang mungkin tidak terdeteksi.3,4

E. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dimengerti.
Obstruksi lumen karena fecaliths atau hipertrofi dari jaringan limfoid disarankan
sebagai faktor etiologik utama dari apendisitis akut. Frekuensi obstruksi
meningkat seiring dengan keparahan proses imflamatorik. Fecaliths dan calculi
ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut simpel, pada 65% kasus apendisitis
gangrenosa tanpa ruptur dan pada hampir 90% gangrenosa denganruptur.4
Dahulu diyakini bahwa terdapat tahapan kejadian yang dapat diprediksi yang
pada akhirnya berujung ruptur apendiks. Obstruksi proksimal pada lumen
apendiks menyebaban closed-loop obstruction, dan sekresi normal yang terus-
menerus oleh mukosa apendiks menyebabkan distensi. Distensi apendiks
menstimulasi ujung saraf dari visceral afferent stretch fibers, menyebabkan nyeri
tidak jelas, tumpul, menyebar pada regio umbilikus atau bagian bawah
epigastrium. Distensi akan bertambah dengan sekresi mukosa terus-menerus dan
multiplikasi cepat dari bakteri yang tinggal di apendiks. Hal ini menyebabkan
refleks mual dan muntah, dan nyeri viseral bertambah. Seiring dengan
bertambahnya tekanan pada organ, melebihi tekanan vena. Kapiler dan vena
teroklusi tetapi aliran arteri tetap berlanjut, menyebabkan pembengkakan dan
kongesti vaskular. Lalu proses inflamasi mengikutsertakan serosa apendiks,
selanjutnya peritoneum parietalis. Hal ini menggambarkan karakteristik gejala
perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah.4
Mukosa apendiks rentan terhadap gangguan perfusi, sehingga integritasnya
8

terganggu di awal proses, memberi peluang invasi bakteri. Daerah dengan perfusi
yang paling sedikit yang paling terpengaruh: infark elipsoidal berkembang pada
batas antimesenterik. Dengan berkembangnya distensi, invasi bakterial, gangguan
perfusi, dan infarksi, perforasi terjadi, biasanya pada batas antimesenterik tepat
setelah titik obstruksi. Tahapan ini tidak bisa dihindari, namun pada beberapa
episode apendisitis akut dapat sembuh dengan sendirinya.5

F. MANIFESTASI KLINIS

Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus


yang nantinya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah (sensitivitas 81%,
spesifisitas 53%). Walaupun nyeri kuadran kanan bawah adalah salah satu tanda
paling sensitif dari apendisitis, nyeri pada lokasi atipikal atau nyeri minimal
sering menjadi presentasi awal. Variasi lokasi anatomis dari apendiks dapat
berperan dalam membedakan perbedaan presentasi dari fase somatis nyeri.5

Apendisitis juga memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti


mual (sensitivitas 58%, spesifisitas 45%) dan anoreksia (sensitivitas 68%,
spesifisitas 36%). Gejala gastrointestinal yang timbul sebelum timbulnya nyeri
menyarankan etiologi yang berbeda seperti gastroenteritis. Banyak pasien
mengeluhkan sensasi obstipasi sebelum gejala nyeri timbul dan merasa bahwa
defekasi dapat meredakan gejala nyeri abdomen. Diare dapat terjadi berhubungan
dengan perforasi, terutama pada anak-anak.6

Awalnya, tanda vital dapat berubah secara minimal. Suhu tubuh dan
nadi dapatnormal atau sedikit meningkat. Perubahan yang lebih besar
mengindikasikan terjadinya komplikasi atau diagnosa lain perlu dipertimbangkan.
Penemuan fisik ditentukan dari ada tidaknya iritasi peritoneum dan dipengaruhi
oleh ruptur tidaknya organ saat pertama kali diperiksa. Pasien apendisitis
biasanya bergerak perlahan dan lebih memilih berbaring telentang karena iritasi
peritoneum.6

Pada palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal pada atau sekitar
titik McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya resisten muskular
(guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan dengan sisi sinistra.
Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien
merasakan nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound
9

tenderness). Nyeri tekan tidak langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak
langsung (nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi)
adalah bukti kuat terjadinya iritasi peritoneum. Nyeri lepas dirasa sangat tajam
dan tidak nyaman bagi pasien. Sehingga disarankan untuk memulai memeriksa
nyeri lepas tidak langsung dan nyeri ketok langsung terlebih dahulu. Variasi
anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada deviasi penemuan fisik
yang umum.6

Dengan apendiks retrocecal, penemuan pada abdomen bisa menjadi kurang


jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang (flank). Saat apendiks
tergantung di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama sekali tidak
ditemukan, dan diagnosa apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri rektal sisi kanan
dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi nilai diagnostiknya rendah.
Nyeri pada ekstensi dari kaki kanan (psoas sign) mengindikasikan adanya fokus
iritasi pada bagian proksimal dari muskulus psoas (menunjukkan apendiks
retrosekal). Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi internal dari
paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot
(menunjukkan apendiks pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk
disebut Dunphy sign.7

Diagnosis klinis apendisitis akut merupakan estimasi subjektif dari


kemungkian apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual
diskriminator lemah; namun, digunakan secara bersamaan, memiliki nilai prediksi
yang tinggi. Proses ini dapat dibuat menjadi lebih objektif dengan penggunaan
sistem skoring klinis, berdasarkan variabel yang terbukti dapat membedakan dan
diberi bobot yang sesuai. Skor Alvarado merupakan sistem penilaian yang paling
tersebar luas. Khususnya berguna untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis dan
memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.7
10

Gambar 2. Alvarado Score

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Laboraorium7

1. Leukositosis moderat/ sedang (10.000-16.000 sel darah putih) dengan


predominan neutrofil. Jumlah normal sel darah putih tidak dapat
menyingkirkan adanya apendisitis

2. Urinalisis kadang menunjukkan adanya sel darah merah.

- X-Ray7

1. Foto polos abdomen menunjukkan local ileus kuadran kanan bawah atau
fecalith radiopak
2. USG Abdomen
3. Barium enema mungkin dapat membantu pada kasus sulit ketika akurasi
diagnosis tetap sukar untuk ditegakkan. Barium enema akan mengisi defek
pada sekum, hal ini adalah indicator yang sangat bisa dipercaya pada banyak
penelitian apendisitis

H. PENATALAKSANAAN
1. Apendiktomi adalah terapi utama
Apendiktomi dapat dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi.
Bila apendiktomi terbuka, incise McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.7

2. Antibiotic pada apendisitis digunakan sebagai:8


a. Preoperative, antibiotik broad spectrumintravena diindikasikan untuk
mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
b. Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien tanpa
komplikasi apendisitis
1. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus apendisitis
ruptur atau dengan abses.
11

2. Antibiotic diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus apendisitis rupture
dengan peritonitis diffuse.

I. KOMPLIKASI

Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :8


1. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi
appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan
kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun
sampai me nghilang karena ileus paralitik.
2. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi
dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri
abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang
3. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan
oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan
mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses
radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu
masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri.
Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum
telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa
berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal

J. PROGNOSIS
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat
terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30%
kasus apendix perforasi atau apendix gangrene.8
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks. Etiologi
terbanyak disebabkan oleh adanya fekalit. Diagnose ditegakkan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu: Tanda awal
yakni nyeri mulai di epigastrium atau region umbilikalis disertai mual dan
anoreksia.
Nyeri pindah ke kanan bawah menunjukkan tanda rangsangan peritoneum
local dititik McBurney: Nyeri tekan, Nyeri lepas dan Defans muskuler,
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung: Nyeri kanan bawah pada
tekanan kiri (rovsing sign), Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri
dilepaskan (Blumberg sign), Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak,
seperti bernafas dalam, berjalan, batuk, mengedan.

12
DAFTAR PUSTAKA
1. Putz, R & Pabst, R. 2000. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA jilid 2 edisi 21. Jakarta:
EGC
2. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah
Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media
Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
3. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum”,
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
4. Sabiston. Textbook of surgery, the biological basis of modern surgical practice fourteenth
edition. 1991. International edition; W.B. Saunders
5. Lawrence W.Way., editor., Current surgical diagnosis & treatment international edition.
Edition 9. 1990. Lange medical book.
6. Jarrell, B. E and Carabasi R.A., the national medical series for independent study 2 nd
edition Surgery., national medical series., Baltimore, Hong Kong, London, Sydney.
7. Grace P.A & Borley N.R., At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. 2005. Jakarta; Erlangga
Medical Series.
8. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Ed: Ke-6.
Jakarta: EGC.
9. Koesoemawati, H. dkk. Editor. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai