Anda di halaman 1dari 26

qawMAKALAH HUKUM HUTAN ADAT

DI PROVINSI JAMBI

DOSEN PENGAMPU : HERLINA MANIK, S.H., M.Kn

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3

Muhammad Al Kautsar Praja (B10020253)

Rinsan Deapril Anabella Sinambela (B10020257)

Henny Magdalena (B10020263)

Andre Dwilingga Sandewa (B10020264)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERISTAS JAMBI
2021

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR............................................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang 4

1.2 Rumusan Masalah 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................ 8

BAB III PEMBAHASAN.................................................................................................... 11

3.1 Hutan Adat 11

3.2 Manfaat hukum adat 12

3.3 Kerangka Ideologi Pengelolahan Hukum Adat 13

3.4 Contoh hutan adat yang diberikan pengkuan dan penetapan sebagai 15

hutan adat oleh pemerintah 15

3.5 Konservasi Alam dan Kearifak Lokal Hukum Adat 17

BAB IV PENUTUP.............................................................................................................. 22

4.1 Kesimpulan 22

ii
4.2 Saran 22

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 23

KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Hukum Adat

yang berjudul “Hutan Adat di Provinsi Jambi”. Makalah ini juga dilaksanakan

dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai hal-hal

yang bersangkutan dengan Hutan Adat di Provinsi Jambi, serta diharapkan bisa

memperluas dan memperdalam pengetahuan para pembaca.

Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai

pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini terutama kepada Ibu

Herlina Manik, S.H., M.Kn. sebagai dosen pengampu yang menjadi faktor

pendukung utama kami dalam penyelesaian masakalah ini. Semoga makalah ini

bisa menjadi sarana informasi bersifat informatif yang bermanfaat. Kami

menyadari, makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi

kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 2 November 2021

iii
Penulis

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan

peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

lingkungan hidup. Di dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 41

tahun 19991 Tentang Kehutanan, bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah

Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia,

merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, memberikan manfaat

serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan

dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Hal

ini sejalan dengan pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang

mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan

semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan.

1
Undang undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang kehutanan

5
Eksistensi hutan dapat dilihat dari luas persebarannya, sebagai upaya

pertahanan manfaat dan fungsi hutan. Berdasarkan data BPS2 luas hutan di

Indonesia mencapai 126.094.366,71 hektar. Luasan hutan ini tediri dari hutan

konservasi, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonservasi,

hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Saat ini hutan di Indonesia banyak

mengalami deforestasi. Tercatat pada tahun 2017 (Juli 2016 - Juni 2017)

deforestasi nasional adalah 479 ribu hektar, dengan rincian 308 ribu hektar

adalah kawasan hutan dan selebihnya merupakan Areal Penggunaan Lain

(APL)3

Jambi merupakan salah satu dari 10 provinsi di Indonesia yang menjadi

prioritas bagi penanganan kebakaran hutan dan peralihan fungsi lahan

pertanian. Hal tersebut berhubungan dengan sering terjadinya kebakaran

hutan, penebangan liar dan peralihan fungsi lahan pertanian. Data terbaru luas

kebakaran hutan dan lahan berdasarkan interpretasi citra landsat oleh

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan bahwa

lokasi luasan areal terbakar tahun 2019 di wilayah Provinsi Jambi seluas

39.368 ha (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019). Salah satu

wilayah yang berada di kawasan Provinsi Jambi yang memiliki luasan hutan

yang cukup tinggi adalah Kerinci. Luasan kawasan hutan di Kabupaten

Kerinci pada tahun 2012 meliputi hutan pelestarian alam seluas 191.822 ha,

2
BPS per Februari 2017, https://www.bps.go.id/subject/60/kehutanan.html#subjekViewTab3, Di akses pada
tanggal 19/02/2018.

6
hutan produksi seluas 28.655 ha, hutan adat seluas 1.820,11 ha dan hutan hak

atau milik seluas 5.000 ha (Lestaria et al., 2016).

Hutan adat dalam pengelolaannya telah diatur dalam peraturan Undang-

Undang No. 41 Tahun 1999 tentang hutan adat. Itu artinya pemerintah

mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam mempengaruhi kebijakan

terhadap eksistensi hutan adat. Hutan pada saat sebelum adanya keputusan

Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengertian hutan adat masuk kedalam

hutan negara sehingga masyarakat yang dikenal dengan masyarakat adat tidak

mendapat tempat yang layak secara manusiawi sebagai orang yang

seharusnya dijunjung tinggi oleh undang-undang. Selama ini tata kelola hutan

adat diatur melalui UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang mana

hutan adat masih masuk ke dalam hutan negara, sehingga tata kelola masih

berada sepenuhnya di tangan negara. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi

(MK) nomor 35/20124 , hutan adat yang selama ini berada dalam kawasan

hutan negara telah berganti status dari hutan negara ke hutan hak. Hutan hak

adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Ini

menunjukan masyarakat mempunyai tanggung jawab di wilayah hutan

mereka. Sebelumnya pemerintah seakan membuka jalan bagi kelompok-

kelompok yang berkepentingan terutama dalam mengeksploitasi alam hutan

untuk keuntungan mereka. Dengan adanya status baru ini menandakan bahwa

7
kepemilikan serta eksploitasi hutan adat ada di tangan masyarakat hukum

adat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu hukum adat?

2. Apa saja manfaat hukum adat?

3. Apa saja kerangka Ideologi Pengelolahan Hutan Adat?

4. Apa saja contoh hutan adat yang diberikan pengkuan dan penetapan

sebagai hutan adat oleh pemerintah ?

5. Apa saja konservasi alam dan kearifan lokal hutan adat?

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka atau tela‟ah pustaka ataupun juga bisa disebut landasan

teori merupakan studi pendahuluan (preliminary study) yang bertujuan untuk

mencari data tentang masalah yang di teliti, yang dikaitkan dengan hasil-hasil

penelitian yang telah ada dan atau hasil studi pustaka.Pertama, Penelitian yang

dilakukan oleh Muhammad Reza Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi

Universitas Pendidikan Indonesia yang berjudul Membangun Partisipasi

Masyarakat dalam Melestarikan Hutan. Penelitian ini bertujuan untuk

merngetahui kerjasama dalam melestarikan hutan dan menjaga Kehutanan

Dengan Mempertahankan Nilai-nilai Kearifan Lokal Daerah Setempat Kearifan

lokal (local genius/lokal wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta

dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang

dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan demikian

merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk

bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem

kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang

dianut dalam jangka waktu yang lama. kekayaan budaya indonesia yang beragam,

dan adanya keberagaman multietnis di Indonesia yang membentuk nilai nilai

luhur yang secara turun temurun diberikan kepada generasi penerus yang ada di

9
suatu daerah dan mayoritas masyarakat indonesia yang dijuluki sebagai negara

agraris, ini jugamenjadi penunjang terhadap eksistensi pemeliharaan nilai nilai

yang akan mepertahankan hutan dilihat dari segi ekologis dan estetitikanya

Perpaduan alam dan kebudayaan masyarakat setempat menjadi dasar akan adanya

rasa ingin menjaga agar hutan tetap lestari.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Hefri Oktoyoki Dari Program

Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pasca Sarjana Di Institut Pertanian Bogor

Pada Tahun 2016. Yang berjudul “Pengelolaan Sumber Daya Hutan Di Kerinci

Oleh Lembaga Adat” yang mana dalam penelitian nya bahwa suatu kelembagaan

adat atau yang disebut dengan ninek mamak di kerinci, mereka selaku pemangku

adat atau selaku pemangku adat sangat memiliki pean penting dalam mengelola

sumber daya hutan sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat adat kerici. Salah

satu fungsi pemangku adat yaitu menetapkan norma-norma atau aturan-aturan

adat yang bisa mengikat bagi masyarakat adat di kerinci karena lembaga adat

begitu di taati oleh masyrakat adat kerinci. Bagaimana lembaga adat dapat

memberikan aturan terkait hutan yang boleh di kelola oleh masyarakat atupun

batas-batas hutan yang dilarang. sehingga dengan demikian tidak memberikan

dampak negatif terhadap lingkungan.

Ketiga, penelitian yang dilakuakan oleh Ina Marina Dari Fakultas Ekologi

Manusia IPB 2011. Yang Berjudul Analisa Konflik Sumber Daya Hutan

10
Dikawasan Konservasi Gunung Halimun-Salak Bogor. Adapun penelitian nya

yaitu yang mana konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah yang

mana ketika pihak dari Taman Nasional menganggap bahwa gunung halimun-

salak adalah milik negara karena tidak terbebani hak atas tanah, sedangkaan

masyrakat adat menganggap bahwa gunung halimun adalah milik adat karena

warisan dari leluhur anak cucu mereka.

Dari ketiga tinjauan pustaka tersebut dapat di simpulkan bahwa penelitian

terdahulu dengan penelitian penulis memiliki perbedaan dan kesamaan namun

dalam fokus penelitiannya yaitu sama-sama membahas tentang kehutanan. Dan

adapun perbedaannya yang mana penelitian penulis yaitu adanya hak warga

setempat yang dirampas oleh kelompok eksodus yang ingin menguasai hutan

tersebut. Namun ada sedikit kesamaan dengan penelitian yang ketiga sama-sama

membahas tentang permasalahan atau konflik yang terjadi. Dan dalam

pembahasan penelitian penulis lebih kepada perambahan hutan yang terjadi di

area hutan adat Desa Renah Alai dampaknya bagi kerukunan warga setempat

11
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hutan Adat

Hutan Adat merupakan pengelolaan kawasan hutan yang dilakukan oleh

masyarakat adat, berdasarkan nilai-nilai kearifan adat. Jambi sudah sejak era

1990-an mengakui hak kelola masyarakat dengan skema hutan adat. Meski

waktu itu kewenangan pengelolaan kawasan hutan belum diakui negara. Baru

dengan keluarnya UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mulai muncul

istilah Hutan Adat. Namun hingga saat ini peraturan turunan terkait hutan

adat tidak juga ada, sampai adanya Keputusan MK No.35 Tahun 2012 tentang

Hutan Adat.

Kendati begitu, melihat hubungan erat masyarakat yang sudah sejak lama

hidup berdampingan dengan hutan, makin besarnya tekanan terhadap sumber

daya hutan yang menjadi tempat hidup masyarakat serta konflik antara

masyarakat dan perusahaan. Akhirnya Pemerintah Daerah dalam hal ini

bupati sudah merekognisi hutan adat di sejumlah kabupaten yaitu Kerinci,

Bungo, Merangin dan Sarolangun. Bupati Kerinci merupakan yang pertama

kali memberikan pengakuan terhadap Hutan Adat Temedak Keluru pada

tahun 1994.

12
Masyarakat dalam memanfaatkan hutannya juga dengan kearifan lokal

yang berasaskan lestari dan berkelanjutan, mereka sangat paham akan

manfaat hutan dan juga dampak yang akan timbul dari pengelolaan hutan,

sehingga masyarakat memproteksi hutannya dengan skema Hutan Adat (HA)

masuk dalam skema program Perhutanan Sosial (PS). Hutan adat berada

dalam wilayah masyarakat adat, kelompok masyarakat yang turun temurun

tinggal di wilayah tertentu dengan sistem hidup berdasarkan hukum adat.

Masyarakat adat memiliki ikatan yang kuat dengan lingkungan. Sebab HA

berada dalam wilayah masyarakat adat, Surat Keputusan (SK) HA berupa

pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat terhadap hutan adat. SK

diberikan kepada komunitas adat dengan mengelola HA sebagai fungsi

produksi, lindung, dan konservasi.

Sampai akhir 2019, 82 SK telah ditetapkan. SK paling banyak dimiliki

masyarakat adat di Provinsi Jambi sejumlah 28 SK. Diikuti Kalimantan Barat

10 SK, Banten 6 SK, Sulawesi Selatan 5 SK. Masyarakat adat lainnya yang

memiliki SK HA tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku,

dan Papua.

3.2 Manfaat hukum adat

Dengan adanya kekayaan alam–hutan adat, turut menyumbang bagi

13
kepentingan ekonomi, ilmu pengetahuan, keindahan dan kebersihan udara,

yang tidak hanya menguntungkan masyarakat adat itu sendiri, tetapi juga bagi

masyarakat luas, bahkan masyarakat dunia. Budaya suatu kelompok

masyarakat tertentu, pada dasarnya merupakan suatu kesatuan entitas yang

menyatu dengan alam-hutan dan tanah mereka. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa identitas suatu masyarakat adat dan bangsa sangat

tergantung pada eksisnya hutan dan bangsa sangat tergantung pada eksisnya

hutan dan tanah milik masyarakat.

Salah satu mafaat lain yang lebih luas bagi masyarakat dunia jika

kepastian pengakuan dan jaminan hukum atas hak wilayah adat diberikan

adalah terjaminnya iklim yang ramah bagi dunia, karena hutan masih utuh

sebagai paru-paru dunia, karena hutan memproduksi O2 yang dibutuhkan

oleh manusia dan makhluk hidup lainnya.

3.3 Kerangka Ideologi Pengelolahan Hukum Adat

Istilah “Hutan Adat” yang sudah baku dalam penyebutan untuk kawasan

hutan yang dikelola oleh masyarakat desa3 baik dalam undang-undang

3
Tidak disebut masyarakat adat karena pada faktanya hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal tidak
melingkupi suatu kesatuan komunitas adat. Apa yang disebut hutan adat selama ini sebenarnya hanya
dikelola oleh salah satu unit dari komponen komunitas adat dimaksud yaitu apa yang kita kenal dengan
sebutan masyarakat desa. Masyarakat desa adalah bagian dari kesatuan komunitas adat karena suatu
kesatuan teritorial komunitas adat pada kenyataannya melingkupi beberapa teritorial desa. Misalnya
komunitas adat Pangkalan Jambu meliputi Desa Baru Pangkalan Jambu, Desa Bukit Perentak, Desa Tiga Alur
Pangkalan Jambu, Desa Bunga Tanjung, Desa Nangka (dalam struktur penyelenggaraan adat mereka
dipimpin oleh Datuk Berempat (Datuk Penghulu Mudo, Datuk Penghulu Kayo, Datuk Bendaro Kayo, Datuk
Rajo Bantan) Menti Betigo (Rio Niti berkedudukan di Dusun Baru, Rio Gemalo berkedudukan di Desa Nangko,
Rio Sari berkedudukan di Desa Sungai Jering). Sedangkan Komunitas adat Ulu Tabir Meliputi Desa Ngaol,
Desa Telentam, dan Desa Air Liki (dalam struktur penyelenggaraan adat mereka dipimpin 3 Datuk (Datuk
Paduko Rajo di Ngaol sebagai yang dituakan, Datuk Langkah Besar di Air Liki, Datuk Rajo Gemoyang di
Telentam) dan setiap Datuk memiliki wakil dalam wilayahnya masing-masing.

14
kehutanan maupun dalam penggunaan oleh kalangan pengembang ternyata

memiliki potensi untuk mendorong munculnya masalah ke depan. Dalam

undang-undang kehutanan secara garis besarnya disebutkan bahwa hutan adat

merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh masyarakat adat dengan

berpedoman pada institusi adat. Jika dicermati, dalam pengertian tersebut

terkait di dalamnya masalah akses dalam mengelola, artinya bahwa seluruh

komponen masyarakat memiliki hak dalam mengakses kawasan hutan

dimaksud. Suatu masyarakat adat tidak dipandang dalam pembagian menurut

teritorial desa tetapi kesatuan masyarakat adat dipandang dari teritori

komunitas yang mengakar dari sistem kekerabatan yang dianut. Dengan

demikian suatu kesatuan komunitas4 adat dalam banyak kasus melingkupi

beberapa ruang desa yang sebenarnya menurut sejarah asal-usul merupakan

kesatuan wilayah komunitas adat.

Berangkat dari kerangka realitas yang ada maka istilah untuk menyebut

suatu kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat desa yang lebih tepat

adalah “Hutan Desa” bukan “Hutan Adat” karena kalau digunakan istilah

hutan adat, maka konsekuensinya adalah : (1) Semua komponen dalam

4
Istilah komunitas berbeda dengan istilah masyarakat. Komunitas (community) merupakan suatu kesatuan
hidup setempat yang mengakar dari hubungan kekerabatan yang menempati ruang tertentu, saling
berinteraksi, diikat oleh identitas budaya, dan memiliki struktur sosial yang spesifik. Sehingga suatu
kemunitas biasanya dicirikan oleh tiga karakter (menurut Koentjaraningrat disebut sebagai syarat), yaitu :
pertama, menempati suatu wilayah tertentu di muka bumi ; kedua, perasaan bangga dan cinta kepada
wilayah ; dan ketiga perasaan kesatuan yang mengandung unsur-unsur rasa kepribadian kelompok (ciri-ciri
kebudayaan atau cara hidup). Sedangkan masyarakat merupakan sekumpulan orang (tidak mesti ada ikatan
pertalian darah dan ikatan sejarah asal-usul) yang menempati suatu wilayah tertentu dalam waktu yang
relatif lama, saling berinteraksi, membangun identitas kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

15
komunitas adat merasa mempunyai hak dalam mengakses sumberdaya yang

ada dalam kawasan hutan dimaksud. Menurut temuan di lapangan (YPM,

2003) bahwa hal ini merupakan salah satu penyebab dari tingginya

tekanan/gangguan dari masyarakat desa sekitar terhadap kawasan hutan adat

yang dikelola oleh masyarakat desa bersangkutan, (2) Meskipun ada

pengakuan atau aspek legalitas yang menguatkan kawasan hutan yang

diperuntukkan bagi desa, maka komponen komunitas adat yang menempati

teritori desa lainnya tetap akan memiliki alasan yang kuat untuk mengakses

sumberdaya dalam kawasan dengan mengedepankan bahwa mereka

merupakan bagian dari pengertian komunitas adat. Mereka akan kembali

membuka sejarah bahwa sebenarnya ketika zaman pemerintahan adat

kawasan tersebut juga merupakan bagian dari wilayah mereka yang

memberikan akses terhadap ruang gerak mereka.

3.4 Contoh hutan adat yang diberikan pengkuan dan penetapan sebagai

hutan adat oleh pemerintah

Contoh hutan adat yang diberikan pengakuan dan penetapan sebagai

hutan adat adalah Hutan Adat Rantau. Proses penetapan hutan adat Rantau

Kermas layak disebut sebagai perjuangan lantaran memerlukan proses yang

panjang dan keterlibatan berbagai pihak mulai dari pemerintah, LSM maupun

masyarakat adat untuk mendorong pengakuan hutan adat. Pada 30 Desember

16
2016, pemerintah secara resmi memberikan pengakuan dan penetapan hutan

adat di Istana Negara, dan salah satu hutan adat yang ditetapkan adalah Hutan

Adat Depati Kara Jayo Tuo Desa Rantau Kermas dengan luas 130 Ha. Hutan

adat Rantau Kermas memiliki banyak potensi baik dalam bidang ekowisata,

keanekaragaman hayati, maupun hasil hutan bukan kayu. Keberadaan hutan

adat memiliki berbagai fungsi baik untuk lingkungan maupun untuk

masyarakat adat. Hutan adat yang lekat dengan masyarakat adatnya dalam

prakteknya dikelola berdasarkan aturan adat masyarakat adat itu sendiri.

Aturan-aturan adat berupa kearifan lokal ini merupakan sarana dan pedoman

dalam menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan hutan adat. Bagi

masyarakat adat dengan aturan adat yang masih bertahan dan berjalan dengan

konsisten, pengelolaan hutan adat setelah penetapan hutan adat dilakukan

barangkali sama saja seperti sebelum-sebelumnya. Berpedoman pada aturan

adat guna menjaga kelestarian hutan adat. Patroli hutan adat dilakukan

sebulan sekali secara rutin untuk melindungi hutan dari ancaman dan

gangguan. Patroli dilakukan oleh anggota Kelompok Pengelola Hutan Adat

(KPHA), kemudian hasil patroli akan ditindaklanjuti oleh pemerintah desa

dan lembaga adat secara bersama-sama.

Penetapan dan pengelolaan hutan adat di Desa Rantau Kermas menjadi

inspirasi bagi masyarakat adat lainnya terutama masyarakat adat serampas

17
yang berada di desa lainnya dalam wilayah adat serampas. Pada tahun 2019,

Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo Desa Rantau Kermas memperoleh

penghargaan kalpataru di bidang penyelamat lingkungan. Penghargaan ini

diterima bukan tanpa alasan, mengingat proses yang cukup panjang, mulai

dari pengajuan, kesepakatan, negosiasi politik, pengakuan, hingga penetapan

dan sekarang mulailah terbuka kesadaran masyarakat secara lebih luas. Jika

dulu sebagian masyarakat masih bertanya, bagaimana hutan bisa menjadi

sumber penghidupan, bagaimana hutan bisa menjaga alam yang sebagian

berpendapat bahwa bencana adalah takdir, kini masyarakat mulai merasakan

manfaatnya dan bahkan bangga dengan penghargaan nasional yang telah

diterima.

Pusat Studi Agraria yang sebelumnya pada tahun 2019 juga telah

melakukan penelitian mengenai pemanfaatan lahan dan pemetaan sosial-

ekonomi masyarakat di wilayah adat Serampas, kini secara

berkesinambungan berfungsi sebagai knowledge management system dan

memberikan sosialisasi/penyuluhan mengenai pengelolaan hutan adat di

wilayah adat Serampas kepada masyarakat adat baik dari Desa Rantau

Kermas, maupun desa lainnya yang sedang berjuang mendapatkan pengakuan

hutan adat.

18
3.5 Konservasi Alam dan Kearifak Lokal Hukum Adat

Apabila seluruh ketentuan aturan hukum adat yang mengatur hutan adat

sebelumnya dilanggar maka akan dikenai sanksi adat. Sanksi pelanggaran di

dalam kawasan Hutan Adat Guguk tersebut yaitu siapa yang melakukan

penebangan liar dengan maksud untuk menjual kayu hasil tebangan tersebut

di dalam kawasan hutan adat atau menebang hutan adat untuk membuat humo

atau kebun, menangkap ikan dengan menggunakan racun, tuba, bahan

peledak, kompresor, listrik (menyentrum), pukat harimau (alut) dan

sebagainya dikenakan sanksi menurut hukum adat dengan 1 ekor kerbau,

beras 100 gantang, kelapa 100 buah serta selemak semanisnya, atau denda

Rp. 3.000.000 dan kayu serta alat penebangan disita untuk desa. Sedangkan

sanksi bagi yang mengambil hasil hutan adat tanpa izin dikenai sanksi denda

setinggi-tingginya 1 ekor kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa dan

selemak semanisnya. Adapun yang mengambil buah-buahan dengan

menebang dan merusak pohonnya dikenai sanksi 1 ekor kambing, 20 gantang

beras dan selemak semanisnya5. Apabila ketentuan sanksi tidak dilaksanakan

maka pelaku pelanggaran akan diajukan ke hukum negara oleh Kepala Desa,

BPD dan Lembaga Adat setelah mendapat laporan dan masukan dari

Kelompok Pengelola Hutan Adat. Sanksi adat yang berlaku dan ditetapkan

5
Gary L. Chamberlain, Troubled Waters, Religion, Ethics and The Global Water Crisis (New York: Rowman &
Littlefield Publishers, 2008), 4. 59Abu >Daw>ud,> S u n a n A b i >D a w> u d, 300. 60al-Bukhar>i,> S a} h
i}h> }a l - B u k h a r>i,> 94. al-Qazwayni,> Sunan I b n M aj>a h , 119. 61Analogi perbandingan ini merupakan
bentuk Qiyas dari ayat alQur’an dan hadis tentang pencemaran lingkungan. Haneef, “Principles of
Environmental Law in Islam”, 241-254. 62Piagam Kesepakatan Pemeliharaan dan Pengelolaan Hutan Adat
Desa Guguk.

19
dalam hutan adat Guguk merupakan hukum adat daerah Jambi yang telah

berlaku umum sejak lama dan tidak berubah. Dalam hal ini sanksi adat lebih

kepada materi. Ini disebabkan oleh nilai-nilai yang terkandung dalam adat itu

sendiri yang bersifat damai dan kekeluargaan. Hukum adat tidak

menghendaki terjadinya perpecahan dan dendam, bahkan sebaliknya justru

bertujuan untuk menciptakan perdamaian di antara yang bertikai sehingga

terjalin rasa kekeluargaan dalam penyelesaisan masalah bukan permusuhan

dan saling memaafkan.

Secara umum, berdasarkan pelanggaran dalam setiap permasalahan

sanksi adat daerah Jambi sama, hanya berbeda ico-pakai (pegang-pakai).

Pelanggaran tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu berat, sedang dan ringan.

Pelanggaran berat dikenai sanksi adat berupa 1 ekor kerbau, beras 100

gantang, kelapa 100 buah serta selemak semanisnya. Sedangkan pelanggaran

sedang dihukum 1 ekor kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa dan

selemak semanisnya. Sanksi untuk pelanggaran ringan sama dengan

pelanggaran sedang, hanya tanpa 20 buah kelapa atau seekor ayam.Hukum

adat tertulis yang terdapat dalam Piagam Kesepakatan di atas merupakan

bentuk aturan berupa perbuatan atau larangan yang harus dipatuhi oleh

masyarakat dan memiliki kekuatan hukum yang jelas berupa sanksi bagi yang

melanggar. Apabila sanksi adat tersebut tidak dilaksanakan, maka akan

20
dikucilkan dari pergaulan sosial bahkan dapat diusir dari desa oleh

masyarakat Guguk. Oleh karena itu, hukum adat tertulis hutan adat Guguk

termasuk ke dalam kategori ‘urf ‘amali> (perbuatan). Dalam hal ini sanksi

yang terdapat dalam hukum adat Hutan Adat Guguk telah ada sebelum

datangnya nash. Secara substansi pun tidak bertentangan dengan nash. Secara

umum aturan hukum adat tertulis yang terdapat dalam Piagam Hutan Adat

Guguk merupakan adat yang terbentuk setelah datangnya nash, namun tidak

terjadi pertentangan antara keduanya. Bahkan hutan adat sangat mendukung

dan berdasarkan nilai dan prinsip ajaran Islam mengenai konservasi alam

lingkungan. Oleh karena itu, hutan adat beserta hukum adat yang terdapat di

dalamnya dapat menjadi dalil sumber hukum. Dalam hutan adat, sanksi adat

bagi yang melanggar hukum adat mengenai hutan adat dikenakan sanksi

materi dan sosial. Apabila sanksi materi tidak dibayar, maka akan berlaku

sanksi sosial yaitu dikucilkan dari pergaulan dan diusir dari kampung. Ini

secara substansial sesuai dengan hukuman menurut Islam dan negara yaitu di

t a ’z ir> atau dipenjara. Sedangkan sanksi materi merupakan bentuk

hukuman adat yang telah ada dan berlangsung lama sejak zaman nenek

moyang dahulu. Sanksi materi dalam hukum adat bermakna pemindahan

hukuman dari badan atau tubuh manusia kepada hewan seperti kerbau dan

kambing serta benda seperti beras dan kelapa. Hewan yang dibolehkan

sebagai pengganti pun hanya hewan ternak yang halal dan tidak langka.

21
Begitu pula benda yang digunakan sebagai pembayaran denda sanksi adat

adalah makanan pokok yang halal seperti beras dan kelapa6.

Pada prinsipnya hal ini sesuai dengan semangat kurban dan zakat dalam

Islam. Di samping itu juga berdasarkan pembayaran diyat dari q is a} s>}

dalam hukum Islam. Semangat yang diambil adalah tebusan materi dan

pemaafan atau pengampunan. Nilai-nilai yang terkandung dalam adat itu

sendiri bersifat damai dan kekeluargaan. Hukum adat tidak menghendaki

terjadinya perpecahan dan dendam, bahkan sebaliknya justru bertujuan

mediasi untuk menciptakan perdamaian di antara yang bertikai sehingga

terjalin rasa kekeluargaan dan saling memaafkan dalam penyelesaisan

masalah bukan permusuhan. Hal ini sesuai dengan semangat ajaran Islam

yang lebih mengutamakan maaf, damai, keadilan dan kebaikan daripada

pembalasan dan perpecahan. Terlepas dari semua itu, ancaman hukuman yang

sangat berat terhadap orang yang merusak lingkungan baik menurut agama

maupun negara seharusnya dapat mencegah kerusakan lingkungan yang

terjadi. Namun faktanya tidak demikian. Hukum agama dan negara tersebut

tidak diperhatikan, diabaikan bahkan dilanggar dan tidak ditegakkan. Justru

hukum adat berdasarkan Islam mengenai lingkungan yang terkandung dalam

hutan adat mampu mengatasi kerusakan lingkungan tersebut karena dipegang

6
Al-Baqarah : 109, Al-Nahl : 90, Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan
Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2009), 235. Lembaga Adat Propinsi Jambi, Pokok-Pokok Adat Pucuk Jambi
Sembilan Lurah Jilid II Hukum Adat Jambi (Jambi: tpn. 2003), 5. Wawancara dengan Bapak Musri Nauly, salah
satu ahli pakar hukum adat Jambi, di Jambi pada tanggal 23 Mei 2012.

22
teguh oleh masyarakat7.

7
Wawancara dengan Bapak Muslim, salah satu tokoh agama Desa Guguk di Desa Guguk pada tanggal 5 Mei
2012. Lembaga Adat Propinsi Jambi, Pokok-Pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah Jilid II Hukum Adat
Jambi, 5. Al-Shat>i}bi,> Al - M u w a f>a q at> fi >U s u} l> a l - A h k} a m> (Kairo: Maktabah wa Matba’ah
Muha}mmad ‘Ali >Sabih>, 1970), 297. M. Khalid Masud, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law (Islamabad:
Islamic Research Institute, 1995), 216. al-Shat>i}bi,> Al - M u w a f>a q at> , 284. 69Soekanto, Kedudukan, 72.
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2009)

23
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dalam makalah ini dapat kita menarik kesimpuln bahwa Tingginya

angka kerusakan hutan di Indonesia perlu disikapi dengan melakukan kajian

ulang terhadap pengelolaan hutan dengan mendorong pengelolaan hutan yang

berbasis masyarakat lokal dan mengadopsi praktek-praktek pengelolaan hutan

oleh masyarakat lokal yang dinilai lebih arif dan mendorong kelestarian hutan

dalam arti terpelihara dan termanfaatkan. Dapat juga kita simpulakan manusia

tidak akan bisa hidup jika suatu hutan telah rusak atau tercemar, karena jika

suatu hutan telah rusak dan tercemar maka dapat dipastiakan akan banyak

sekali kerugian yang akan di daptkan karna dari jaman dulu manusia dan

hutan saling membutuhkan satu sama lain.

4.2 Saran

Sebaiknya harus adalah tindakan pemerintah dalam menjaga atau pun

mulai menanggulangi kawasan hutan, serta danya suatu kesadaran masyarakat

terkait kesadaran hutan saat ini. Kenapa harus ada kesadaran akan pentingnya

hutan karena hutan memberikan apa yang dibutuhkan manusia.

24
DAFTAR PUSTAKA

Sardi, I. (2010). Tinjauan Sosiologi Lingkungan dalam Pengelolaan Hutan Adat di

Desa Baru Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin Propinsi Jambi. Jurnal

Ilmiah Sosio-Ekonomika Bisnis, 13(1).

Oktoyoki, H., Suharjito, D., & Saharuddin, S. (2016). PENGELOLAAN

SUMBERDAYA HUTAN DI KERINCI OLEH KELEMBAGAAN ADAT.

RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan

Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan, 3(1), 39-51.

Marina, I., & Dharmawan, A. H. (2011). Analisis konflik sumberdaya hutan di

kawasan konservasi. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 5(1).

Psaipb. (2020). Hutan Adat sebagai Model Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya

Alam di Serampas, Jambi. Diakses tanggal 02 November 2021

http://psa.ipb.ac.id/hutan-adat-sebagai-model-pengelolaan-kolaboratif-

sumberdaya-alam-di-serampas-jambi/

25
Nurhayati, F. (2020). Jambi, Provinsi Pemilik SK Hutan Adat Terbanyak. Diakses

tanggal 02 November 2021

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/12/13/jambi-provinsi-

pemilik-sk-hutan-adat-terbanyak

WARSI.(2020).Hutan Adat. Diakses tanggal 02 November 2021

https://warsi.or.id/id/hutan-adat/

26

Anda mungkin juga menyukai