Anda di halaman 1dari 9

MATERI PENDKES HIV/AIDS

A. Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
dan biasanya menyerang sel CD4 (Cluster of Differentiation 4) sehingga mengakibatkan
penurunan sistem pertahanan tubuh. Kecepatan produksi HIV berkaitan dengan status
kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut (Bruner & Suddarth, 2002).
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala klinis yang merupakan
hasil akhir dari infeksi HIV dan menandakan infeksi HIV yang sudah berlangsung lama (Price,
2006).
AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired berarti didapat,
bukan keturunan. Immuno terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti
kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala
tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan
tubuh yang dibentuk setelah kita lahir.
AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga
sepuluh tahun atau lebih.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan
cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem
kekebalan tubuh manusia.
Ketika individu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat
dengan mudah masuk ke dalam tubuh. Karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi sangat
lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya. Orang yang baru
terpapar HIV belum tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan
tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh.
Pada tahapan itulah penderita disebut sudah terkena AIDS.

B. Etiologi atau Penyebab


Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, cairan sperma, sekret
vagina, air susu ibu. Setelah memasuki tubuh manusia, maka target utama HIV adalah limfosit
CD 4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan
mengubah informasi genetiknya ke dalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik
dari sel yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid) menjadi DNA
(deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase. DNA pro-virus tersebut
kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk
gen virus. Setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga
ikut diturunkan.

C. Tahapan Perkembangan
1. Fase 1
Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV)
individu sudah terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia
melakukan tes darah. Pada fase ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja
terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).
2. Fase 2
Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah positif HIV
dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja
terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).
3. Fase 3
Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum disebut sebagai gejala AIDS. Gejala-gejala
yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus
menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh-sembuh, nafsu
makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase
ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
4. Fase 4
Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat
berkurang dilihat dari jumlah sel-T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan
infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan
kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi
usus yang menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang
menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala.
WHO menetapkan empat stadium klinis HIV, sebagaimana berikut :
1. Stadium 1 : tanpa gejala.
2. Stadium 2 : penyakit ringan.
3. Stadium 3 : penyakit lanjut.
4. Stadium 4 : penyakit berat.

D. Penularan
1. Media penularan HIV/AIDS
HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari individu yang terinfeksi,
seperti darah, air susu ibu, air mani dan cairan vagina. Individu tidak dapat terinfeksi melalui
kontak sehari-hari biasa seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda
pribadi, makanan atau air.
2. Cara penularan HIV/AIDS
a. Hubungan seksual : hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang telah
terpapar HIV.
b. Transfusi darah : melalui transfusi darah yang tercemar HIV.
c. Penggunaan jarum suntik : penggunaan jarum suntik, tindik, tato, dan pisau cukur yang
dapat menimbulkan luka yang tidak disterilkan secara bersama-sama dipergunakan dan
sebelumnya telah dipakai orang yang terinfeksi HIV. Cara-cara ini dapat menularkan HIV
karena terjadi kontak darah.
d. Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya
1) Antenatal : saat bayi masih berada di dalam rahim, melalui plasenta.
2) Intranatal : saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan vagina.
3) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu ibu. Kenyataannya 25-35%
dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sudah terinfeksi di negara
berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan anak yang tertular HIV tertular dari
ibunya.
3. Perilaku berisiko yang menularkan HIV/AIDS
a. Melakukan seks anal atau vaginal tanpa kondom.
b. Memiliki infeksi menular seksual lainnya seperti sifilis, herpes, klamidia, kencing nanah,
dan vaginosis bakterial.
c. Berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, alat suntik dan peralatan suntik lainnya dan
solusi obat ketika menyuntikkan narkoba.
d. Menerima suntikan yang tidak aman, transfusi darah, transplantasi jaringan, prosedur
medis yang melibatkan pemotongan atau tindakan yang tidak steril.
e. Mengalami luka tusuk jarum yang tidak disengaja, termasuk diantara pekerja kesehatan.
f. Memiliki banyak pasangan seksual atau mempunyai pasangan yang memiliki banyak
pasangan lain.

E. Manifestasi Klinis
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu :
1. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung
antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya.
2. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum.
3. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem imun atau
kekebalan.
4. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa diare
kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang
disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi. Penderita
akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto, 2009).
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi menurut
WHO :
1. Stadium 1 (asimtomatis)
a. Asimtomatis
b. Limfadenopati generalisata
2. Stadium 2 (ringan)
a. Penurunan berat badan < 10%.
b. Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral
rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritik.
c. Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir.
d. Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
3. Stadium 3 (lanjut)
a. Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas.
b. Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan.
c. Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan.
d. Kandidiasis oral persisten.
e. Oral hairy leukoplakia.
f. Tuberculosis paru.
g. Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi tulang/sendi, meningitis,
bakteremia.
h. Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut.
i. Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa sebab jelas,
atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas.
4. Stadium 4 (berat)
a. HIV wasting syndrome
b. Pneumonia akibat pneumocystis carinii
c. Pneumonia bakterial berat rekuren
d. Toksoplasmosis serebral
e. Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
f. Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
g. Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral
h. Leukoensefalopati multifocal progresif
i. Mikosis endemic diseminata
j. Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
k. Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
l. Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren
m. Tuberculosis ekstrapulmonal
n. Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV, kriptokokosis
ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive,
leismaniasis atipik diseminata
o. Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis. (Kapita
Selekta, 2014).

F. Pathway
G. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan replikasi
virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun. Umumnya, jarak
antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi
primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala,
faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan
dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel
limfosit CD 4+ selama bertahun –tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi
imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi
autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014)
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel
T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 –
300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala – gejala
infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).

H. Komplikasi
1. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human
Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus
(HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
b. Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan
elektrolit, meningitis atau ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam,
paralise total/parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
d. Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV.
3. Gastrointertinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma
Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan
dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.
c. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus dan
strongyloides dengan efek sesak nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi
otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis.
6. Sensorik
a. Pandangan : sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
efek nyeri (Susanto & Made Ari, 2013).

I. Pencegahan
1. Secara umum
Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu :
 A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi, terutama
seks pranikah
 B: Be faithful – saling setia
 C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar
 D: Drugs – menolak penggunaan NAPZA
 E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama
2. Untuk pengguna Napza
Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti
menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama
3. Untuk remaja
Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari penggunaan obat-obatan
terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung percampuran
darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang dapat mengarah pada
perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab (Hasdianah & Dewi, 2014).
4. Sunat laki-laki oleh medis secara sukarela
Sunat laki-laki oleh medis, mengurangi risiko infeksi HIV sekitar 60% pada pria
heteroseksual. Sunat laki-laki oleh medis juga dianggap sebagai pendekatan yang baik untuk
menjangkau laki-laki dan remaja laki-laki yang tidak sering mencari layanan perawatan
kesehatan.
5. Penggunaan obat antiretroviral untuk pencegahan
Penelitian menunjukkan bahwa jika orang HIV-positif mematuhi rejimen ARV yang efektif, risiko
penularan virus ke pasangan seksual yang tidak terinfeksi dapat dikurangi sebesar 96%.
Rekomendasi WHO untuk memulai ARV pada semua orang yang hidup dengan HIV akan
berkontribusi secara signifikan untuk mengurangi penularan HIV.
6. Profilaksis pasca pajanan untuk HIV
Profilaksis pasca pajanan adalah penggunaan obat ARV dalam 72 jam setelah terpapar HIV untuk
mencegah infeksi. Profilaksis pasca pajanan mencakup konseling, pertolongan pertama, tes HIV,
dan pemberian obat ARV selama 28 hari dengan perawatan lanjutan. WHO merekomendasikan
penggunaan profilaksis pascapajanan untuk pajanan pekerjaan, non-pekerjaan, dewasa dan
anak-anak.

J. Pengobatan dan Penanganan


1. HIV/AIDS belum dapat disembuhkan
Sampai saat ini belum ada obat-obatan yang dapat menghilangkan HIV dari dalam tubuh
individu. Ada beberapa kasus yang menyatakan bahwa HIV/AIDS dapat disembuhkan. Setelah
diteliti lebih lanjut, pengobatannya tidak dilakukan dengan standar medis, tetapi dengan
pengobatan alternatif atau pengobatan lainnya. Obat-obat yang selama ini digunakan berfungsi
menahan perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh, bukan menghilangkan HIV dari dalam
tubuh. Obat-obatan ARV sudah dipasarkan secara umum, untuk obat generik. Namun tidak
semua orang yang HIV positif sudah membutuhkan obat ARV, ada kriteria khusus. Meskipun
semakin hari makin banyak individu yang dinyatakan positif HIV, namun sampai saat ini belum
ada informasi adanya obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Bahkan sampai sekarang
belum ada perkiraan resmi mengenai kapan obat yang dapat menyembuhkan AIDS atau vaksin
yang dapat mencegah AIDS ditemukan.
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah
antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan
untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang
termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi
oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping
rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu menggunakan
obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll (Hasdianah dkk, 2014).
Namun, untuk melakukan keseimbangan imun. Dapat dilakukan dengan cara :
1. Pemberian Nutrisi
Defisiensi gizi pada pasien positif HIV biasanya dihubungkan dengan adanya
peningkatan kebutuhan karena adanya infeksi penyerta/infeksi oportunistik. Disaat
adanya infeksi penyerta lainnya maka kebutuhan gizi tentunya akan meningkat. Jika
peningkatan kebutuhan gizi tdak di imbangi dengan konsumsi makanan yang di
tambahkan atau gizi yang ditambah maka kekurangan gizi akan terus memburuk,
akhirnya akan menghasilkan sebuah kondisi yang tidak menguntungkan bagi dengan
positif HIV. Yang harus dilakukan adalah mengatasi kekurangan gizi ini : Mengkonsumsi
makanan dengan kepadatan gizi yang lebih tinggi dari makan biasanya.Minuman yang di
konsumsi upayakan adalah mi numan yang berenergi (Desmawati, 2013).
Selain mengkonsumsi jumlah nutrisi yang tinggi, penderita HIV/AIDS juga harus
mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi tambahan.Tujuan nutrisi agar tidak terjadi
defisiensi vitamin dan mineral.
2. Aktivitas dan Olahraga
Olahraga yang dilakukan secara teratur sangat membantu efeknya juga
menyehatkan.Olahraga secara teratur menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan
protein pada system imun.

Anda mungkin juga menyukai