Anda di halaman 1dari 23

HUKUM MAWARIS/ILMU WARIS DAN WASIAT

Makalah ini disusun untuk memenuhi


tugas kelompok

Mata Kuliah:
“Materi Pembelajaran Fiqh SMA/MA”

Dosen Pengampu : Hj. Siti Zulaikha,M. Ag.

Disusun oleh: kelompok 4


Sem.5/S1 PAI I

Nama:

1. Fitri Nurjanah (1911010324)


2. Riri Fazriatul Aini (1911010417)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTANLAMPUNG
2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha penyayang,segala puji


dan syukur bagi Allah Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan hidayah serta
rezeki yang diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Materi pembelajaran Fiqh SMA/MA yang berjudul “Hukum Mawaris/Ilmu
Waris dan Wasiat”
Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Demikian kata pengantar ini kami buat. Kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah, mohon kritik dan saran untuk perbaikan
dikemudian hari. Dan semoga makalah yang kami buat ini bisa bermanfaat bagi
seluruh pembacanya.
Bekasi,19 september 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2

C. Tujuan ............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya ............................................ 3

B. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya ..................................................... 6

C. Pengertian Wasiat .............................................................................. 13

D. Batasan Wasiat .................................................................................. 16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 19

B. Saran .................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam adalah salah satu bagian penting dari hukum positif di
Indonesia, disamping juga menjadi salah satu komponen dari hukum positif
itu sendiri. Salah satu komponen hukum yang menjadi bagian dari hukum
Islam adalah hukum kewarisan. Warisan adalah merupakan sebab pokok
dalam memiliki harta, masalah waris merupakan perkara perdata yang
mempunyai kompleksitas permasalahan dalam masyarakat. Hal itu
dikarenakan menyangkut hukum personal dan berkaitan dengan harta benda
seseorang.
Hukum kewarisan pada dasarnya Islam secara keseluruhan. Hukum
kewarisan merupakan terjemahan dari fiqh mawaris yang berarti peralihan
harta dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Pembagian itu lazim disebut dengan faraidh artinya bagian tertentu yang
dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya 1.
Proses pemindahan harta terlaksana apabila terpenuhi unsur- unsurnya.
Adapun unsur-unsurnya adalah : adanya pewaris, harta warisan dan ahli
waris.
Pewaris yaitu seseorang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarga yang masih
hidup.2 Sedangkan harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Ahli
waris adalah orang yang berhak atas harta yang ditinggalkan oleh pewaris .3

Hubungan kewarisan antara seseorang dengan orang lain disebabkan


oleh dua faktor, yaitu adanya hubungan darah atau kekerabatan dan adanya

1
Beni Ahmad Saebeni, Fiqh Mawaris, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), cet. ke-1, h.13
2
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2004), cet. ke-1, h.204
3
Ibid

1
hubungan perkawinan .4

Wasiat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lama dikenal


sebelum Islam. Misalnya dalam masyarakat pada masa arab jahiliah, banyak
sekali wasiat yang diberikan kepada orang lain yang tidak mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan orang yang berwasiat, karena pada masa itu
orang yang memberikan sebagian besar harta miliknya memperlambangkan
orang yang sangat kaya raya dan mendapatkan pujian dari semua orang.5

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya?
2. Siapakah Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
3. Apakah Pengertian Wasiat?
4. Bagaimana Batasan Wasiat?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apakah Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya
2. Untuk Mengetahui Siapakah Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
3. Untuk Mengetahui Apakah Pengertian Wasiat
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Batasan Wasiat

4
Hajar M, Hukum Kewarisan Islam (Fiqih Mawaris), (Pekanbaru: al Alaf Riau, 2008), cet.
ke-1, hlm. 17
5
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011,
hlm. 154.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya


Kata mawaris merupakan bentuk jamak dari mirast (irts, wirts, wiratsah
dan turats, yang dimaknai dengan mauruts) merupakan harta pusaka
peninggalan orang yang meninggal yang diwariskan kepada para keluarga
yang menjadi ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta pusaka tersebut
dinamakan muwarits. Sedang yang berhak menerima pusaka disebut warist.

Muhammad Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa mawarits adalah:


“Pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalnya itu berupa harta bergerak dan tidak
bergerak atau hak-hak menurut hukum syara‟.6

Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang


yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris
disebut juga dengan fara‟idh artinya bagian tertentu yang dibagi menurut
agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya. 7

Sedangkan faraidh, merupakan bentuk jamak dari faraidhah. Kata ini


derivative dari fardhu. Fardhu dalam istilah ulama‟ mawaris adalah bagian
tertentu bagi para ahli waris yang telah ditetapkan oleh syara‟ seperti setengah
(nisyfu), seperempat (rubu‟), sepertiga (tsuluts), seperenam dan lain-lain.
Kajian masalah-masalah waris didalam hukum Islam, merupakan salah satu
materi pembahasan ilmu fiqih yang terpenting. Karena itulah para ahli fiqih
telah mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan warisan, dan menulis
karya-karya mengenai masalah-masalah waris ini, dan menjadikannya suatu

6
Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari‟atil Islamiyah „ala Dhauil Kitab Was-
Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2007),Cet. Ke-10, hal. 33
7
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 13

3
ilmu yang berdiri sendiri dan menamakannya ilmu fiqih mawaris dalam istilah
lain dinamakan juga ilmu faraidh.

Para ulama ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu
faraidh atau fiqih mawaris. Walaupun definisi-definisinya secara redaksi
berbeda, namun mempunyai pengertian yang sama: Hasby Ash-Shiddieqy
mendefinisikan sebagai berikut:

Artinya: “Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan waris dan
siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli
waris, dan cara pembagiannya”.

Jadi, faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli
waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara‟. Ini sebagaimana
definisi ilmu faraidh yang dita‟rifkan oleh faradhiyun:8

Artinya: “Ilmu yang berhubungan dengan pembagian harta pusaka, dan


mengetahui tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada
pembagian harta pusaka dan mengetahui tentang bagian-bagian yang wajib
dari harta peninggalan (tirkah) untuk setiap pewaris hak pusaka.” 9

Secara singkat ilmu faraidh dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan


yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.10
Dari definisi-definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid atau fiqh
mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal pemindahan harta peninggalan
dari seseorang yang meningal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai
harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta

8
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Op. cit., hal. 14
9
Muhammad Asy-Syarbini, Mughil Mukhtaj, (Kairo: Musthafa Al—Babil-Halabi, Juz III,
1958), hal. 3
10
Amin Husein Nasutin, Hukum Kewarisan (Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid
dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2012), hal. 50

4
peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara
penyelesaian pembagian harta peninggalan itu.
Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang kuat, yaitu ayat-
ayat al-Qur‟an, juga didasarkan kepada sunah Rasullah SAW. yaitu sebagai
berikut surat an-Nisa: 7 yang berbunyi:
َ ُ‫يب ِم َّما تَ َركَ الْ َو ِ َال ِان َو ْ َاْل ْق َرب‬
‫ون ِم َّما قَ َّل ِمنْ ُه‬ َ ُ‫يب ِم َّما تَ َركَ الْ َو ِ َال ِان َو ْ َاْل ْق َرب‬
ٌ ‫ون َولِ ِلن َسا ِء ن َِص‬ ٌ ‫لِ ِلر َجالِ ن َِص‬
‫َأ ْو َك ُ َُث ۚ ن َِصي ًبا َم ْف ُروضً ا‬
1. bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.

Di dalam al-sunnah dapat dijumpai hadits riwayat Muttafaq 'alaih


atau yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:

Artinya: “Dari Ibnu Abbas berkata: Nabi Saw telah bersabda:


“Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak. Dan
sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya).”
(H.R. Muslim). 11

Dalam kitab Fath al-Bari, Ahmad ibnu Ali ibn Hajr al-„Asyqalani
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‫ انفرائض‬disini adalah
bagianbagiam waris yangtelah ditentukan al-Qur‟an yakni 1/2, 1/4, 1/8,
2/3, 1/3, dan 1/6. Sedangkan yang dimaksud dengan ‫ تاههها‬adalah orang-
orang yang berhak menerima waris sebagaimana yang telah dinash oleh
al-Qur‟an.12

11
Al-Hafizh Zaki Al-Din „Abd Al-„Azhim Al-Mundziri, Op.cit
12
Ahmad ibn Ali bin Hajr, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz 12), hal. 10

5
B. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.35 Dengan demikian, yang dimaksud ahli waris adalah mereka
yang jelas-jelas mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia,
tidak halangan untuk mewarisi (tidak ada mawani‟ al-irts).13
Secara umum hukum Islam membagi ahli waris menjadi dua macam,
yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya
timbul karena adanya hubungan darah.
2. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena
sebab tertentu, yaitu: - Perkawinan yang sah (al-musaharah) -
Memerdekakan hamba sahaya (al-wala‟) atau karena perjanjian tolong
menolong.

Apabila dilihat dari bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan kepada:


1. Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang
telah ditentukan besar kecilnya, seperti 1/2, 1/3, atau 1/6.
2. Ahli waris „ashabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah
harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furu‟.
3. Ahli Waris zawi al-arham yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi
menurut ketentuan Al-Qur'an tidak berhak menerima warisan.

Apabila dilihat dari hubungan kekerabatan (jauh-dekat)nya sehingga


yang dekat lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh dapat
dibedakan.
1. Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi
yang jauh, atau karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi
orang lain.

13
Ahmad Rofiq, Op.cit., hal. 303

6
2. Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang
dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan,
jika yang menghalanginya tidak ada.

Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima


warisan, baik ahli waris nasabiyah atau sababiyah, ada 17 orang, terdiri dari
10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Apabila dirinci seluruhnya ada 25
orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Agar lebih mudah
dipahami, uraian selanjutnya digunakan jumlah ahli waris 25 orang.14
1. Ahli Waris Nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang mendapatkan harta
warisan disebabkan karena nasab atau keturunan. 15

Jika para ahli waris perempuan dan laki-laki semua masih hidup
jumlahnya ada 25 orang. Sepuluh ahli waris perempuan dan lima belas
ahli waris laki-laki.

Jika ahli waris laki-laki semuanya ada, maka urut-urutannya adalah


sebagai berikut: Anak,Cucu,Ayah ,Kakek ,Saudara sekandung,Saudara
seayah, Saudara seibu,Anak saudara laki-laki sekandung,Anak saudara
laki-laki seayah ,Paman kandung,Paman seayah ,Anak paman kandung ,
Anak paman seayah ,Suami, Orang yang memerdekakan dengan hak
Wala‟.16

Sedangkan jika ahli waris perempuan semuanya ada, urutannya adalah


sebagai berikut: Anak ,Cucu ,Ibu, Ibu dari ibu,Ibu dari ayah,Saudara
kandung,Saudara seayah,Saudara seibu,Ibu, Orang yang memerdekakan
dengan hak wala‟. 17

14
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1998), hal. 49-50
15
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal.
16
Amir Syarifuddin, Op.cit., hal. 222
17
Ibid.

7
Apabila seluruh ahli waris yang berjumlah 25 orang (laki-laki dan
perempuan) semua ada, maka hanya 5 orang saja yang berhak mendapat
bagian, mereka yaitu: Suami atau Istri,Anak laki-laki ,Anak
perempuan,Ayah dan,Ibu

2. Ahli Waris Sababiyah


Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang berhubungan
pewarisnya timbul karena sebab-sebab tertentu, yaitu:
a. Sebab perkawinan, yaitu suami atau isteri
b. Sebab memerdekakan hamba sahaya
Sebagai ahli warisan sababiyah, mereka dapat menerima warisan
apabila perkawinan suami-isteri tersebut sah. Begitu juga hubungan
yang timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat
dibuktikan menurut hukum yang berlaku.18

3. Al-Furudh Al-Muqaddarah dan Macam-macamnya


Kata al-furudh adalah bentuk jamak dari kata fardh artinya bagian
(ketentuan). Al-Muqaddarah artinya ditentukan. Jadi al-furudh al
muqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah ditentukan
besar kecilnya di dalam Al-Qur'an. Bagian-bagian itulah yang akan
diterima oleh ahli waris menurut jauh-dekatnya hubungan kekerabatan.
Macam-macam al-furudh al-muqaddarah yang diatur di dalam AlQur'an
ada 6, yaitu:
a. Setengah/separoh (1/2 = al-fisf)
b. Sepertiga (1/3 = al-sulus)
c. Seperempat (1/4 = al-rubu‟)
d. Seperenam (1/6 = al-sudus)
e. Seperdelapan (1/8 = al-sumun)
f. Dua pertiga (2/3 = al-sulusan „alsulusain)

18
Ahmad Rofiq, Op.cit., hal. 54

8
4. Ahli Waris Ashab al-Furudh dan Hak-haknya
Pada penjelasan dibawah ini tidak dipisahkan lagi antara ahli waris
nasabiyah dan sababiyah. Pertimbangannya mereka sama-sama
sebagai ashab al-furudh. Pada umumnya ahli waris ashab al-furudh
adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki yang menerima
bagian tertentu adalah bapak, atau kakek, dan suami. Selain itu,
menerima bagian sisa („ashabah). Adapun hak-hak yang diterima ahli
waris ashab al-furudh adalah : 42
a. Anak perempuan, berhak menerima bagian:
1. 1/2 jika sendirian tidak bersama anak laki-laki,
2. 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki

b. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima:


1. 1/2 jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak
mahjub(terhalang).
2. 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki
dan tidak mahjub.
3. 1/6 sebagai pelengkap 2/3 jika bersama seorang anak
perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika
anak perempuan dua orang atau lebih ia tidak mendapatkan
bagian.

c. Ibu, berhak menerima bagian:


1. 1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far‟u waris) atau saudara
dua orang atau lebih.
2. 1/6 jika ada far‟u waris atau bersama dua orang saudara atau
lebih.
3. 1/3 Sisa, dalam masalah Gharrawain, yaitu apabila ahli waris
terdiri dari: suami/isteri, ibu dan ayah.

9
d. Ayah berhak menerima bagian:
• 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki 1/6 + sisa, jika
bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.
Jika ayah bersama ibu:
1) Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua
orang atau lebih.
2) 1/3 untuk ibu, ayah menerima sisanya, jika tidak ada anak,
cucu atau saudara dua orang lebih.
3) Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk
suami atau isteri.

e. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:


• 1/6 jika seorang 1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari
seorang dan sederajat kedudukannya.

f. Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:


1. 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki 1/6 + sisa,
jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-
laki. 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung
atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.
2. 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah,
jika tidak ada ahli waris lain.

g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak


menerima bagian:
1. 1/2 jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki
sekandung.
2. 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki
sekandung.

10
h. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima
bagian:
1. 2/3 seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
2. 2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki seayah.
3. 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung
seorang,sebagai pelengkap 2/3.

i. Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya


sama. Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima
bagian:
• 1/6 jika seorang diri 1/3 dua orang atau lebih bergabung
menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama
dengan ahli waris sunni dan ibu (musyarakah)

j. Suami, berhak menerima bagian:


1. 1/2 jika tidak mempunyai anak atau cucu.
2. 1/4 jika bersama dengan anak atau cucu.

k. Isteri, berhak menerima bagian:


1. 1/4 jika tidak mempunyai anak atau cucu.
2. 1/8 jika bersama anak atau cucu.

5. Ahli Waris ‘Ashabah dan Macam-macamnya


Ashabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab
al-furudh. Sebagai penerima bagian sisa, ahli waris „ashabah,
terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang
menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali,
karena habis diambil ahli waris ashab al-furudh.
Adapun macam-macam ahli waris „ashabah ada tiga macam, yaitu:
a. Ashabah bin nafsi, yaitu ahli waris yang karena kedudukan
dirinya sendiri berhak menerima bagian „ashabah. Ahli waris

11
kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu‟tiqah (perempuan
yang memerdekakan sahaya), yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu kali-laki dari garis laki-laki
3) Ayah
4) Kakek (dari garis bapak)
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung
12) Anak laki-laki paman seayah
13) Mu‟tiq dan atau Mu‟tiqah (anak laki atau perempuan
memerdekakan hamba sahaya)

b. Ashabah bi al-Ghair, yaitu ahli waris yang menerima sisa karena


bersama-sama dengan ahli waris lain yang menerima bagian sisa.
Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap
menerima bagian tertentu (tidak menerima ‟ashabah). Ahli waris
ashabah bi al-ghair tersebut adalah:
1) Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki.
2) Cucu perempuan garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-
laki garis laki-laki.
3) Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara
laki-laki sekandung.
4) Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-
laki seayah.

12
c. Ashabah ma‟al-Ghair, ialah ahli waris yang menrima
bagianashabah karena bersama ahli waris lain bukan penerima
bagian ashabah. Apabila ahli waris tidak ada, maka ia menerima
bagian tertentu.Ashabah ma‟ al-Ghair ini diterima ahli waris:
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena
bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau
bersama dengan cucu perempuan garis laki-laki (seorang
atau lebih).
2) Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama
dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
Misalnya seorang meninggal, ahli warisnya terdiri dari
seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-
laki, dan dua orang saudara perempuan seayah.

C. Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa artinya menyambungkan, berasal dari
kata washasy syai-a bikadzaa, artinya “ dia menyambungkan’’. Dikatakan
demikian karena seorang yang berwasiat berarti menyambungkan kebaikan
dunianya dengan kebaikan akhirat. Wasiat adalah pesan tentang suatu
kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meningga dunia. 19

Menurut syara’, wasiat adalah mendermakan suatu hak yang


pelaksanaannya dikaitkan sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.
Wasiat adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap harta
miliknya yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya
kematian si pemberi wasiat.

Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang


yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus

19
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 343

13
dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan
lain diluar harta peninggalan.20

Hukum wasiat berdasarkan kesepakatan ( ijma’) adalah sunnat muakkad.


Menurut Zainuddin Abdul Aziz, jika sedekah dilakukan waktu orang yang
bersangkutan dalam keadaan sehat, lalu dia sakit, hal itu jauh lebih
utama..sesudah Allah menerangkan beberapa ketentuan dalam pembagia harta
warisan, diterangkan pula bahwa pembagian harta warisan tersebut hendaklah
dijalankan setelah melaksanakan wasiat.

Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan islam, yakni al-qur’an


surah al-baqarah ayat 180 dan surah Al-Maidah ayat 106.21
Q.S Al-Maidah ayat 106 :
‫َض َأ َحدَ ُ ُُك الْ َم ْو ُت ِح َني الْ َو ِص َّي ِة اثْ َن ِان َذ َوا عَدْ ل ِمنْ ُ ُْك َأ ْو أخ ََر ِان‬ َ َ ‫ََي َأُّيه َا َّ ِاَّل َين أ َمنُوا َشهَا َد ُة بَيْ ِن ُ ُْك ا َذا َح‬
ِ
‫الص ََل ِة فَ ُي ْق ِس َم ِان‬ ِ
‫د‬ ‫ع‬
َّ ْ َ ْ َ ُ ‫ب‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ا‬‫م‬ ُ َ‫وَن‬‫س‬ ‫ب‬
ِ ْ
‫َت‬َ ۚ ِ
‫ت‬ ‫و‬ ‫م‬ْ
َْ َ‫ل‬ ‫ا‬ ُ
‫ة‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ِ
‫ص‬ ‫م‬
ُ ْ
‫ُك‬ُ ‫ت‬
ْ ‫ب‬‫ا‬
َ َ‫ص‬ َ ‫أ‬َ ‫ف‬ ‫ض‬ِ ‫ر‬ َ َ ‫ِم ْن غَ ْ ِْيُ ُْك ا ْن َأن ُ ُْْت‬
ْ ‫َضبْ ُ ُْت ِِف ْ َاْل‬ ِ
‫اَّلل اَّنَّ ا ًذا لَ ِم َن ْاْلثِ ِم َني‬
ِ َّ ‫ِِب َّ َِّلل ا ِن ا ْر تَبْ ُ ُْت ََل ن َ ْش َ َِتي ِب ِه ثَ َمنًا َو لَ ْو ََك َن َذا قُ ْر َ َٰب ۙ َو ََل نَ ْك ُ ُُت َشهَا َد َة‬
ِ ِ ِ
Terjemahnya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat maka hendaklah (wasiat
itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang
yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka
bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu
setelah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah
dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(demi Allah) kami tidak akan
membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan
seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami
menyembunyikan persaksian Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian
tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.”

20
Moh Muhibbin dan Abdul Wahis, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hlm. 145
21
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 145

14
Wasiat sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka
atas kehendak sendiri.Tidak sah wasiat yang dilakukan anak kecil, orang
gila dan budak, sekalipun statusnya makatab tanpa seizing dari tuannya
dan tidak sah pula bila dilakukan oleh orang yang di paksa. Dalam
masalah wasiat ini orang yang sdang mabuk disamakan kedudukannya
dengan orang mukallaf ( yakni sah wasiatnya ).

Wasiat dapat ditujukan kepada siapa saja sesuai denga kehendak


orang yang berwasiat, bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan
pun hukumnya boleh.Hanya jika bayi yang dilahirkan meninggal dunia,
maka wasiatnya tidak dapt dilakukan.

Agar wasiat yang disampaikan oleh pemberi wasiat mudah


diamalkan.Orang yang diberi wasiat harus jelas namanya, ciri-cirinya
bahkan temoat tinggalnya. Karena jika orang yang dimaksudkan tidak
jelas identitasnya, pelaksanaan wasiat akan menemukan kesulitan unutk
melaksanakan wasiat yang bersangkutan. 22

Jika wasiat dilakukan untuk ahli waris dan melebihi sepertiga harta
waris, pelaksanannya harus mendapat persetujjuan dari ahli waris lainnya.
Artinya, wasiat tersebut dapat digugurkan jika ahli waris yang lain tidak
menyetujuinya. Jika wasiat menyangkut harta yang jumlahnya melebihi
sepertiga, karena ahli waris tidak menyetujuinya maka wasiat yang
dilaksanakan cukup yang sepertiganya saja. Jika yang menyetujui wasiat
lebih dari sepertiga itu hanya salah seorang dari ahli waris, wasiat
dihukumo sah untuk jumlah kelebihan yang sesuai dengan bagiannya.Jika
seorang ahli waris yang mempunyai hak tasharruf mutlak menyetujui
wasiat lebih dari spertiga, persetujuannya itu merupakan izin untuk
melaksanakan wasiat lebih dari sepertiga.

22
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 345-346

15
Mazhab empat sepakat tentang pelarangan wasiat wasiat untuk ahli
waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.
Mazhab imamiyahmengatakan , “wasiat boleh diberikan untuk ahli waris
maupun bukan ahli waris, dan tidak bergantung pada persetujuan para ahli
waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan’’.

Para ulama mazhab berselisih pendapat tentang sahnya wasiat


seorang muslim untuk seorang kafir harbi. Maliki, Hanbali dan mayoritas
syafi’I mangatakan bahwa wasiat seperti itu sah (kafir dzimmi adalah
seorang yang membayar jizyah kepada kaum muslimin, sedangkan kafir
harbi’ adalah orang kafir yang harus diperangi).Menurut mazhab
imamiyah, kafir harbi adalah orang kafir yang tidak membayai, meskipun
tidak memerangi kaum muslimin.

D. Batasan Wasiat
Wasiat harta tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang
dimiliki.Mewasiatkan harta melebihi sepertiganya hukumnya makruh.Bahkan
hukumnya haram jika wasiat yang lebih dari sepertiga tu dimaksudkan untuk
menghalangi bagian ahli warisnya.23

Para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak
boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3 hartanya. Hal itu sesuai dengan Hadits
Rasulullah saw, yang artinya :

Bahwa suatu ketika Rasulullah saw dating mengunjungi saya (sa’ad bin
Abi Waqas) pada tahun haji wada’. Kemudian saya bertanya kepada
Rasulullah saw; wahai Rasulullah! Sakitku telah demikian parah, sebagaimana
engkau lihat, sedang saya ini orang yang berada, tetapi tidak ada yang dapat
mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan. Bolehkah aku bersedekah
(berwasiat) dengan dua pertiga hartaku (untuk beramal) ?maka berkatalah

23
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 345

16
Rasulullah saw. Kepadaku : “jangan’’ kemudian Rasulullah berkata pula,
“sepertiga” dan sepertiga itu banyak dean besar. Sesungguhnya apabila
engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih
baik daripada meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang
meminta-minta kepada orang banyak.(HR.Bukhari dan Muslim)24

Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala
terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit
ataupun sehat.Adapun jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut
kesepakatan seluruh mazhab, dibutuhkan izin dari para ahli waris.Jika semua
mengizinkan, wasiat itu berlaku.Akan tetapi jika mereka menolak, wasiat itu
batal. Jika sebagian dari mereka mengizinkan, sedang sebagian lainnya tidak,
kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mnegizinkan, dan izin
dari seorang ahli waris baru berlaku jika ia berakal sehat, baligh dan rasyid.

Mazhab imamiyah mengatakan bahwa jika para ahli waris telah memberi
izin, mereka tidak berhak menarik kembali izin mereka, baik izin itu diberikan
saat pemberi wasiat masih hidup atau sesudah meninggal.

Mazhab hanafi, syafi’I dan hanbali mengatakan bahwa penolakan ataupun


izin hanya berlaku sesudah meninggalnya pemberi wasiat.Jika mereka
memberi izin ketika dia masih hidup, kemudian berbalik pikiran dan menolak
melakukannya setelah pemberi wasiat meninggal, mereka berhak melakukan
itu baik izin itu mereka berikan ketika pemberi wasiat berada dalam keadaan
sehat ataupun ketika sakit.

Mazhab maliki mengatakan bahwa jika mereka mengizin kanketika


pemberi wasiat berada dalam keadaan sakit, mereka boleh menolak
melakukannya. Akan tetapi, jika mereka memberi izin ketika ia sehat,

24
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 147-148

17
kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak waris mereka, dan mereka
tidak boleh menolak.

Mazhab imamiyah, hanafi dan maliki mengatakan bahwa izin yang


diberikan oleh ahli waris bagi kelebihan dari sepertiga harta waris merupakan
persetujuan atas tindakan si pemberi wasiat, bukan sebagai hibah dari ahli
waris kepada sipemberi wasiat. Jadi, ia tidak memerlukan serah terima.
Hukum-hukum hibah tidak berlaku untuk wasiat.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai orang yang mewasiatkan


seluruh hartanya, sedangkan dia tidak mempunyai ahli waris. Imam malik
mengatakan bahwa wasiat hanya boleh maksimal sepertiga hartanya,
sedangkan abu hanifah mengatkan bahwa boleh seluruhnya. Imam syafi’I dan
imam Ahmad mempunyai dua pendapat, sedangkan mazhab imamiyah juga
mempunyai dua pendapat, tetapi yang lebih sahih adalah boleh.25

25
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 363-366

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang
yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris
disebut juga dengan fara‟idh artinya bagian tertentu yang dibagi menurut
agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.

Wasiat adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap


harta miliknya yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah
terjadinya kematian si pemberi wasiat. Pendapat lain mengatakan wasiat
adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat
berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta peninggalan.

Hukum wasiat berdasarkan kesepakatan ( ijma’) adalah sunnat


muakkad. Sementara Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan islam,
yakni al-qur’an surah al-baqarah ayat 180 dan surah Al-Maidah ayat 106.

B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran untuk
memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini bermafaat dan menambah
referensi pengetahuan kita. Terimakasih.

19
DAFTAR PUSTAKA

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Setia, Bandung, 2009.

Hajar. M, 2007 , Hukum Kewarisan Islam, Alaf Riau, Pekanbaru.

Amir Syarifuddin., Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media Group, Jakarta,2004.

Ahmad, Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada,2003

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,


dkk. Cet 1. Jakarta: Gema Insani, 2011

Nasution, Amin Husein, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran


Mujtahid dan Komplikasi Hukum Islam, cet.2, Rajawali pers, Jakarta, 2012,
hlm.50

20

Anda mungkin juga menyukai