Mata Kuliah:
“Materi Pembelajaran Fiqh SMA/MA”
Nama:
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ........................................................................................ 19
B. Saran .................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam adalah salah satu bagian penting dari hukum positif di
Indonesia, disamping juga menjadi salah satu komponen dari hukum positif
itu sendiri. Salah satu komponen hukum yang menjadi bagian dari hukum
Islam adalah hukum kewarisan. Warisan adalah merupakan sebab pokok
dalam memiliki harta, masalah waris merupakan perkara perdata yang
mempunyai kompleksitas permasalahan dalam masyarakat. Hal itu
dikarenakan menyangkut hukum personal dan berkaitan dengan harta benda
seseorang.
Hukum kewarisan pada dasarnya Islam secara keseluruhan. Hukum
kewarisan merupakan terjemahan dari fiqh mawaris yang berarti peralihan
harta dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Pembagian itu lazim disebut dengan faraidh artinya bagian tertentu yang
dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya 1.
Proses pemindahan harta terlaksana apabila terpenuhi unsur- unsurnya.
Adapun unsur-unsurnya adalah : adanya pewaris, harta warisan dan ahli
waris.
Pewaris yaitu seseorang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarga yang masih
hidup.2 Sedangkan harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Ahli
waris adalah orang yang berhak atas harta yang ditinggalkan oleh pewaris .3
1
Beni Ahmad Saebeni, Fiqh Mawaris, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), cet. ke-1, h.13
2
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2004), cet. ke-1, h.204
3
Ibid
1
hubungan perkawinan .4
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya?
2. Siapakah Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
3. Apakah Pengertian Wasiat?
4. Bagaimana Batasan Wasiat?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apakah Pengertian Waris dan Dasar Hukumnya
2. Untuk Mengetahui Siapakah Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
3. Untuk Mengetahui Apakah Pengertian Wasiat
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Batasan Wasiat
4
Hajar M, Hukum Kewarisan Islam (Fiqih Mawaris), (Pekanbaru: al Alaf Riau, 2008), cet.
ke-1, hlm. 17
5
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011,
hlm. 154.
2
BAB II
PEMBAHASAN
6
Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari‟atil Islamiyah „ala Dhauil Kitab Was-
Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2007),Cet. Ke-10, hal. 33
7
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 13
3
ilmu yang berdiri sendiri dan menamakannya ilmu fiqih mawaris dalam istilah
lain dinamakan juga ilmu faraidh.
Para ulama ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu
faraidh atau fiqih mawaris. Walaupun definisi-definisinya secara redaksi
berbeda, namun mempunyai pengertian yang sama: Hasby Ash-Shiddieqy
mendefinisikan sebagai berikut:
Artinya: “Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan waris dan
siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli
waris, dan cara pembagiannya”.
Jadi, faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli
waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara‟. Ini sebagaimana
definisi ilmu faraidh yang dita‟rifkan oleh faradhiyun:8
8
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Op. cit., hal. 14
9
Muhammad Asy-Syarbini, Mughil Mukhtaj, (Kairo: Musthafa Al—Babil-Halabi, Juz III,
1958), hal. 3
10
Amin Husein Nasutin, Hukum Kewarisan (Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid
dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2012), hal. 50
4
peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara
penyelesaian pembagian harta peninggalan itu.
Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang kuat, yaitu ayat-
ayat al-Qur‟an, juga didasarkan kepada sunah Rasullah SAW. yaitu sebagai
berikut surat an-Nisa: 7 yang berbunyi:
َ ُيب ِم َّما تَ َركَ الْ َو ِ َال ِان َو ْ َاْل ْق َرب
ون ِم َّما قَ َّل ِمنْ ُه َ ُيب ِم َّما تَ َركَ الْ َو ِ َال ِان َو ْ َاْل ْق َرب
ٌ ون َولِ ِلن َسا ِء ن َِص ٌ لِ ِلر َجالِ ن َِص
َأ ْو َك ُ َُث ۚ ن َِصي ًبا َم ْف ُروضً ا
1. bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.
Dalam kitab Fath al-Bari, Ahmad ibnu Ali ibn Hajr al-„Asyqalani
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan انفرائضdisini adalah
bagianbagiam waris yangtelah ditentukan al-Qur‟an yakni 1/2, 1/4, 1/8,
2/3, 1/3, dan 1/6. Sedangkan yang dimaksud dengan تاهههاadalah orang-
orang yang berhak menerima waris sebagaimana yang telah dinash oleh
al-Qur‟an.12
11
Al-Hafizh Zaki Al-Din „Abd Al-„Azhim Al-Mundziri, Op.cit
12
Ahmad ibn Ali bin Hajr, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz 12), hal. 10
5
B. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.35 Dengan demikian, yang dimaksud ahli waris adalah mereka
yang jelas-jelas mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia,
tidak halangan untuk mewarisi (tidak ada mawani‟ al-irts).13
Secara umum hukum Islam membagi ahli waris menjadi dua macam,
yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya
timbul karena adanya hubungan darah.
2. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena
sebab tertentu, yaitu: - Perkawinan yang sah (al-musaharah) -
Memerdekakan hamba sahaya (al-wala‟) atau karena perjanjian tolong
menolong.
13
Ahmad Rofiq, Op.cit., hal. 303
6
2. Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang
dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan,
jika yang menghalanginya tidak ada.
Jika para ahli waris perempuan dan laki-laki semua masih hidup
jumlahnya ada 25 orang. Sepuluh ahli waris perempuan dan lima belas
ahli waris laki-laki.
14
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1998), hal. 49-50
15
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal.
16
Amir Syarifuddin, Op.cit., hal. 222
17
Ibid.
7
Apabila seluruh ahli waris yang berjumlah 25 orang (laki-laki dan
perempuan) semua ada, maka hanya 5 orang saja yang berhak mendapat
bagian, mereka yaitu: Suami atau Istri,Anak laki-laki ,Anak
perempuan,Ayah dan,Ibu
18
Ahmad Rofiq, Op.cit., hal. 54
8
4. Ahli Waris Ashab al-Furudh dan Hak-haknya
Pada penjelasan dibawah ini tidak dipisahkan lagi antara ahli waris
nasabiyah dan sababiyah. Pertimbangannya mereka sama-sama
sebagai ashab al-furudh. Pada umumnya ahli waris ashab al-furudh
adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki yang menerima
bagian tertentu adalah bapak, atau kakek, dan suami. Selain itu,
menerima bagian sisa („ashabah). Adapun hak-hak yang diterima ahli
waris ashab al-furudh adalah : 42
a. Anak perempuan, berhak menerima bagian:
1. 1/2 jika sendirian tidak bersama anak laki-laki,
2. 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki
9
d. Ayah berhak menerima bagian:
• 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki 1/6 + sisa, jika
bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.
Jika ayah bersama ibu:
1) Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua
orang atau lebih.
2) 1/3 untuk ibu, ayah menerima sisanya, jika tidak ada anak,
cucu atau saudara dua orang lebih.
3) Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk
suami atau isteri.
10
h. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima
bagian:
1. 2/3 seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
2. 2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki seayah.
3. 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung
seorang,sebagai pelengkap 2/3.
11
kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu‟tiqah (perempuan
yang memerdekakan sahaya), yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu kali-laki dari garis laki-laki
3) Ayah
4) Kakek (dari garis bapak)
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung
12) Anak laki-laki paman seayah
13) Mu‟tiq dan atau Mu‟tiqah (anak laki atau perempuan
memerdekakan hamba sahaya)
12
c. Ashabah ma‟al-Ghair, ialah ahli waris yang menrima
bagianashabah karena bersama ahli waris lain bukan penerima
bagian ashabah. Apabila ahli waris tidak ada, maka ia menerima
bagian tertentu.Ashabah ma‟ al-Ghair ini diterima ahli waris:
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena
bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau
bersama dengan cucu perempuan garis laki-laki (seorang
atau lebih).
2) Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama
dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
Misalnya seorang meninggal, ahli warisnya terdiri dari
seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-
laki, dan dua orang saudara perempuan seayah.
C. Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa artinya menyambungkan, berasal dari
kata washasy syai-a bikadzaa, artinya “ dia menyambungkan’’. Dikatakan
demikian karena seorang yang berwasiat berarti menyambungkan kebaikan
dunianya dengan kebaikan akhirat. Wasiat adalah pesan tentang suatu
kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meningga dunia. 19
19
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 343
13
dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan
lain diluar harta peninggalan.20
20
Moh Muhibbin dan Abdul Wahis, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hlm. 145
21
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 145
14
Wasiat sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka
atas kehendak sendiri.Tidak sah wasiat yang dilakukan anak kecil, orang
gila dan budak, sekalipun statusnya makatab tanpa seizing dari tuannya
dan tidak sah pula bila dilakukan oleh orang yang di paksa. Dalam
masalah wasiat ini orang yang sdang mabuk disamakan kedudukannya
dengan orang mukallaf ( yakni sah wasiatnya ).
Jika wasiat dilakukan untuk ahli waris dan melebihi sepertiga harta
waris, pelaksanannya harus mendapat persetujjuan dari ahli waris lainnya.
Artinya, wasiat tersebut dapat digugurkan jika ahli waris yang lain tidak
menyetujuinya. Jika wasiat menyangkut harta yang jumlahnya melebihi
sepertiga, karena ahli waris tidak menyetujuinya maka wasiat yang
dilaksanakan cukup yang sepertiganya saja. Jika yang menyetujui wasiat
lebih dari sepertiga itu hanya salah seorang dari ahli waris, wasiat
dihukumo sah untuk jumlah kelebihan yang sesuai dengan bagiannya.Jika
seorang ahli waris yang mempunyai hak tasharruf mutlak menyetujui
wasiat lebih dari spertiga, persetujuannya itu merupakan izin untuk
melaksanakan wasiat lebih dari sepertiga.
22
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 345-346
15
Mazhab empat sepakat tentang pelarangan wasiat wasiat untuk ahli
waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.
Mazhab imamiyahmengatakan , “wasiat boleh diberikan untuk ahli waris
maupun bukan ahli waris, dan tidak bergantung pada persetujuan para ahli
waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan’’.
D. Batasan Wasiat
Wasiat harta tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang
dimiliki.Mewasiatkan harta melebihi sepertiganya hukumnya makruh.Bahkan
hukumnya haram jika wasiat yang lebih dari sepertiga tu dimaksudkan untuk
menghalangi bagian ahli warisnya.23
Para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak
boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3 hartanya. Hal itu sesuai dengan Hadits
Rasulullah saw, yang artinya :
Bahwa suatu ketika Rasulullah saw dating mengunjungi saya (sa’ad bin
Abi Waqas) pada tahun haji wada’. Kemudian saya bertanya kepada
Rasulullah saw; wahai Rasulullah! Sakitku telah demikian parah, sebagaimana
engkau lihat, sedang saya ini orang yang berada, tetapi tidak ada yang dapat
mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan. Bolehkah aku bersedekah
(berwasiat) dengan dua pertiga hartaku (untuk beramal) ?maka berkatalah
23
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 345
16
Rasulullah saw. Kepadaku : “jangan’’ kemudian Rasulullah berkata pula,
“sepertiga” dan sepertiga itu banyak dean besar. Sesungguhnya apabila
engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih
baik daripada meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang
meminta-minta kepada orang banyak.(HR.Bukhari dan Muslim)24
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala
terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit
ataupun sehat.Adapun jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut
kesepakatan seluruh mazhab, dibutuhkan izin dari para ahli waris.Jika semua
mengizinkan, wasiat itu berlaku.Akan tetapi jika mereka menolak, wasiat itu
batal. Jika sebagian dari mereka mengizinkan, sedang sebagian lainnya tidak,
kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mnegizinkan, dan izin
dari seorang ahli waris baru berlaku jika ia berakal sehat, baligh dan rasyid.
Mazhab imamiyah mengatakan bahwa jika para ahli waris telah memberi
izin, mereka tidak berhak menarik kembali izin mereka, baik izin itu diberikan
saat pemberi wasiat masih hidup atau sesudah meninggal.
24
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 147-148
17
kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak waris mereka, dan mereka
tidak boleh menolak.
25
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 363-366
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang
yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris
disebut juga dengan fara‟idh artinya bagian tertentu yang dibagi menurut
agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran untuk
memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini bermafaat dan menambah
referensi pengetahuan kita. Terimakasih.
19
DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Setia, Bandung, 2009.
20