Anda di halaman 1dari 50

06

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

PENYEDIAAN OBAT,
VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT


KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL /
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN
© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

Pengarah
Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc

Penulis
Syarifah Liza Munira, PhD

Reviewer dan Editor PENYEDIAAN OBAT,


Inti Wikanestri, SKM, MPA
Sidayu Ariteja, SE, MPP
Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc
VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN
Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD
Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.

Foto: UNICEF Indonesia

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

Diterbitkan dan dicetak oleh


Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id

Cetakan pertama: April 2019


ISBN: 978-623-93153-3-7

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT


Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm
dan sebagainya. BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
iv • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • v

Kata Pengantar

Dengan diselenggarakannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), semakin terbuka


peluang pemerintah untuk menjamin ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan (farmalkes)
yang terjangkau, merata dan berkualitas. Dalam rangka mencapai Universal Health Coverage
(UHC) di Indonesia, evaluasi dan upaya untuk mengatasi tantangan dalam proses perencanaan,
penganggaran, pengadaan, distribusi, rantai suplai, manajemen stok, pembagian tugas
antara pemerintah pusat dan daerah, dan penilaian terhadap farmasi dan alat kesehatan pada
Program JKN harus terus diupayakan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Hal-hal penting yang perlu menjadi fokus pemerintah ke depan adalah mengoptimalkan
sistem manajemen rantai suplai farmalkes, menjamin sustainabilitas industri farmasi
di Indonesia yang berdampak pada akses masyarakat terhadap produk farmalkes serta
kemandirian produksi farmalkes. Kajian Sektor Kesehatan di bidang farmasi dan teknologi
kesehatan ini merupakan reviu dan analisis terhadap berbagai peraturan, kebijakan dan
program pemerintah saat ini, serta identifikasi tantangan pembangunan ke depan termasuk
faktor-faktor eksternal, sebagai masukan dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasonal (RPJMN 2020 – 2024).

Kajian ini sangat bermanfaat untuk para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun di
daerah, serta pembaca lain pada umumnya seperti akademisi, mahasiswa, praktisi kesehatan
dan pihak lain terkait, dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan
kesehatan di Indonesia.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko
Deputi Bidang Pembangunan Manusia,
Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
vi • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • vii

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan Daftar Isi

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulisan dan
perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi diberikan kepada Dr. Pungkas Bahjuri Ali sebagai Kata Pengantar iv
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat – Bappenas, lnti Wikanestri, SKM, MPA, Sidayu Ariteja,
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi
SE, MPP, serta tim Direktorat KGM lainnya yang telah memberikan input untuk perbaikan tulisan;
tim penulis dan sekretariat HSR 2018; Yuyun Yuniar, SSi, Apt., MA (Puslitbang Sumber Daya dan Daftar Isi vii
Pelayanan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI), Dra.
Engko Sosialine Magdalene, Apt., M.Biomed (Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan), Daftar Tabel x
Deputi Bidang Monitoring Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi- LKPP, Deputi Bidang
Daftar Gambar xi
Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM, Budiono Santoso,
M.D.,PhD., SpFK, Dra. Sadiah, Apt., M.Kes (Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Daftar Singkatan xiv
Kesehatan), Roy Himawan, S.Si., Apt., MKM. (Kepala Bagian Program dan Informasi, Sekretaris
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan), GP Farmasi, Gakeslab Indonesia, serta para Ringkasan Eksekutif xvi
narasumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
1. Pendahuluan 1

Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) di bawah 2. Analisis Situasi 5
bimbingan Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan
Kebudayaan - Bappenas) dengan arahan teknis dari Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Direktur 2.1. Ketersediaan dan Akses Obat dan Vaksin 6
Kesehatan dan Gizi Masyarakat - Bappenas). Adapun koordinator teknis pelaksanaan HSR 2018
2.1.1. Ketersediaan Obat dan Vaksin 6
adalah Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat,
Bappenas) didukung oleh Prof. dr. Ascobat Gani sebagai team leader HSR 2018. 2.1.2. Akses Masyarakat Terhadap Produk Farmasi dan
Alat Kesehatan (Farmalkes) 10
Kajian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Bappenas ini mendapatkan dukungan dari kementerian/Lembaga terkait, serta dukungan dari 3. Tata Kelola Obat, vaksin Di Era Jaminan Kesehatan Nasional
UNICEF and DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti WHO, ADB, World Bank, (Supply Chain Management) 13
USAID, UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International. Proses edit dan cetak
3.1. Proses Pemilihan dan Seleksi 14
laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia.
3.1.1. Formularium Nasional (Fornas) 14
Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi:
3.1.2. Nomor Izin Edar (NIE) 15
1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia
3.1.3. E-katalog dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) 16
2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security
3.1.4. Perencanaan dan Pembiayaan 17
3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja
3.1.5. Pengadaan 26
4 Pembangunan Gizi di Indonesia
3.1.6. Pemasok 28
5 Sumber Daya Manusia Kesehatan
3.1.7. Distribusi 28
6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan 3.1.8. Penggunaan Pelayanan Kefarmasian 34

7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan 3.1.9. Penghapusan 39

8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN 3.1.10. Monitoring dan Evaluasi 39

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan 3.1.11. Kasus Obat/Vaksin/Alkes/PKRT Palsu 40

10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan


viii • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • ix

3.2. Penggunaan Obat Rasional (POR) & Anti-Microbial Resistance (AMR) 41 5. Isu Strategis 65

3.2.1. Penggunaan Obat Rasional (POR) 41 5.1. Ketersediaan Obat dan Vaksin yang Belum Memadai 66

3.2.2. Anti-Microbial Resistance (AMR) / Resistensi Antimikroba 43 5.2. Permasalahan Terkait Tata Kelola Obat, Vaksin dan Alkes
(Supply Chain Management) 66
3.3. Penilaian Teknologi Kesehatan/Health Technology Assessment (HTA) 45
5.3. Praktik Penggunaan Obat Rasional (POR) yang Masih Kurang &
3.3.1. Sekilas HTA 45 Anti-Microbial Resistance (AMR) yang Semakin Tinggi 66

3.3.2. Struktur dan Tugas Komite PTK 45 5.4. Kurangnya Kapasitas Health Technology Assessment (HTA) 67

3.3.3. Aspek dan Penilaian Teknologi Kesehatan 46 5.5. Minimnya Kapasitas Produksi Bahan Baku 67

3.4. Bahan Baku Obat 47 5.6. Minimnya Kapasitas Produksi Alkes dalam Negeri 67

3.5. Alkes dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) 48 5.7. Kurangnya Daya Saing Industri Obat Tradisional (IOT) 68

3.5.1. Sustainabilitas Industri Farmasi 53 6. Arah Kebijakan, Strategi dan Program 69

3.5.2. Kemandirian dan Produksi 54 6.1. Arah Kebijakan 70

3.5.3. Dukungan Pemerintah Untuk Inovasi 55 6.2. Strategi 70

3.5.4. Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian 55 6.3. Program/Kegiatan 71

3.5.5. Jaminan Produk Halal 55 Referensi 74

3.5.6. Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian 56

3.5.7. Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya


pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan 56

3.6. Industri Obat Tradisional (IOT) 56

3.7. Pemberdayaan Masyarakat 59

3.8. Digitalisasi Farmalkes 59

4. Tantangan 61

4.1. Transisi Demografi dan Epidemiologi Penyakit 62

4.2. Target SDGs dan Universal Health Coverage (UHC) 62

4.3. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah 63

4.4. Masyarakat Ekonomi ASEAN 63

4.5. Letak dan Kondisi Geografis 64

4.6. Desentralisasi 64
x • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • xi

Daftar Tabel Daftar Gambar

Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Gambar 1 Indikator kesehatan Indonesia, 1960-2016 2

Tabel 2 50 item Obat Teratas dalam RKO Tahun 2014-2016 20 Gambar 2 Tata kelola Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3

Tabel 3 Skema Pembiayaan Obat 22 Gambar 3 Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di puskesmas 6

Tabel 4 Anggaran Penyediaan Vaksin Reguler dan Vaksin Lainnya serta Gambar 4 Persentase puskesmas Perawatan dan Non Perawatan menurut
Kebutuhan Logistik Untuk Imunisasi Tahun 2016 25 Ketersediaan Obat dan Vaksin Indikator, Tahun 2015 dan 2016 7

Tabel 5 Obat yang Dilaporkan Stock-out di puskesmas, 2016 27 Gambar 5 Ketersediaan Obat dan Vaksin di puskesmas Tahun 2017 per Provinsi 8

Tabel 6 Obat yang Dilaporkan Stock-out di Rumah Sakit, 2016 27 Gambar 6 Ketersediaan Vaksin dan Alat Kesehatan Pendukung di puskesmas
(Perbandingan data Rifaskes 2011 dan QSDS 2016) 9
Tabel 7 Waktu Tunggu Obat di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota 30
Gambar 7 Pengeluaran Kesehatan di Indonesia berdasarkan Sumber Pendanaan 10
Tabel 8 Pelayanan Farmasi Klinik yang Dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian
di Rumah Sakit, puskesmas dan Apotik 37 Gambar 8 Pengeluaran Kesehatan serta Komponen Pengeluaran Farmasi 11

Gambar 9 Estimasi Pengeluaran Kesehatan di Indonesia Saat Ini dan Masa


Tabel 9 Kecukupan Jumlah Tenaga Kefarmasian di Rumah Sakit, puskesmas dan Apotik 38
Depan, berdasarkan Sumber Pendanaan 11
Tabel 10 10 Besar Produk dengan Permintaan Ekspor Tertinggi Tahun 2015 51
Gambar 10 Nilai Pengobatan Adult Respiratory Infection berdasarkan Pilihan
Tabel 11 10 Besar Produk dengan Permintaan Nilai Impor Tertinggi Tahun 2015 52 Obat Generik dan Paten 12

Tabel 12 Produk Obat Tradisional yang Diproduksi Industri Obat Tradisional Gambar 11 Penyampaian RKO oleh Fasilitas Kesehatan Tahun 2017 dan 2018 17
di Provinsi Jawa Tengah 58
Gambar 12 Tren Harga Beberapa Obat Sebelum dan Sesudah JKN 23

Gambar 13 Anggaran Penyediaan Vaksin Reguler untuk Program Imunisasi 2012-


2016 24

Gambar 14 Pelaksanaan Manajemen Rantai Dingin berdasarkan Jenis Fasilitas


Kesehatan 32

Gambar 15 Pelaksanaan Manajemen Rantai Dingin di Seluruh Fasilitas Kesehatan


berdasarkan Regionalisasi 32

Gambar 16 Kondisi VVM pada Berbagai Tingkat 33

Gambar 17 Acuan Pelayanan Kefarmasian yang Sesuai Standar 34

Gambar 18 Persentase puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian


Sesuai Standar 35

Gambar 19 Capaian Indikator Presentase puskesmas yang Melaksanakan


Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35
xii • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • xiii

Gambar 20 Persentase puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian


Sesuai Standar 36

Gambar 21 Tampilan Aplikasi E-monev Obat 40

Gambar 22 Indikator POR di puskesmas 42

Gambar 23 Persentase puskesmas yang Memenuhi Standar POR 42

Gambar 24 AMR Surveillance 2016, Prevalensi E. coli dan K. pneumonia (ESBL+) 44

Gambar 25 Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT 49

Gambar 26 Kondisi Ekspor-Impor Alkes di Indonesia Tahun 2011-2015 50

Gambar 27 Rencana Aksi Pengembangan Industri Alkes 2016-2035 53

Gambar 28 Indeks Kemudahan Berusaha 55

Gambar 29 Skema Digitalisasi Farmalkes 60

Gambar 30 Sektor Kesehatan dalam SDGs 63


xiv • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • xv

Daftar Singkatan

AB Antibiotik LKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


AMR Anti-Microbial Resistance Monev Monitoring dan Evaluasi
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah NIE Nomor Izin Edar
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara NSAID Non-Steroid Anti-Inflammation Drug
Bareskrim Badan Reserse Kriminal OECD Organization for Economic Co-operation and Development
BBO Bahan Baku Obat OOP Out-of-pocket
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional PADK Pusat Analisis Determinan Kesehatan
BLUD Badan Layanan Umum Daerah PAK Penyalur Alat Kesehatan
BMHP Bahan Medis Habis Pakai PBF Pedagang Besar Farmasi
BMI Business Monitoring International PKRT Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
BPJS Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan POR Penggunaan Obat Rasional
BPOM Badan Pengawasan Obat dan Makanan PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil
BPS Badan Pusat Statistik PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronis
CDOB Cara Distribusi Obat yang Baik PPRA Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
CPBBAOB Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik PRB Program Rujuk Balik
DAK Dana Alokasi Khusus Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
DAU Dana Alokasi Umum QSDS Quantitative Service Delivery Survey
ESBLs Extended-spectrum-beta-lactamases Rifaskes Riset Fasilitas Kesehatan
Ina-CBGs Indonesia Case Based Groups RIPIN Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
Farmalkes Farmasi dan Alat Kesehatan RKO Rencana Kebutuhan Obat
Fornas Formularium Nasional RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
GeMa CerMat Gerakan Masyarakat Cerdas Minum Obat SCM Supply Chain Management
HPS Harga Perkiraan Sendiri SDGs Sustainable Development Goals
HSR Health Sector Review SIRKESNAS Survei Indikator Kesehatan Nasional
HTA Health Technology Assessment SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia SLE Systemic lupus erythematosus
IOT Industri Obat Tradisional SRB Surat Rujuk Balik
JKN Jaminan Kesehatan Nasional STR Surat Tanda Registrasi
KIE Komunikasi Informasi Edukasi TNP2K Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan
KPK Komisi Pemberantasan Korupsi VVM Vaccine Vial Monitor
KPRA Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba WHO World Health Organization
KPTK Komite Penilaian Teknologi Kesehatan
xvi • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • xvii

Ringkasan Eksekutif

Laporan ini merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan Indonesia pada tahun 2018 yang obat dan swamedikasi oleh masyarakat; penggunaaan antibiotik tidak rasional oleh tenaga
mengetengahkan analisis terhadap penyediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di Indonesia. kesehatan dan masyarakat; serta masih kurangnya jumlah dan kompetensi tenaga farmasi,
Analisis ini meliputi kajian mengenai akses dan ketersediaan, tata kelola (pemilihan dan seleksi, khususnya di faskes dasar. Pada tingkat faskes dasar seperti puskesmas, permasalahan POR ini
perencanaan, pembiayaan, pengadaan, pemasok, distribusi, penggunaan, penghapusan dan masih terjadi di keempat indikator POR yaitu persentase antibiotik pada ISPA Non-Pneumonia,
monitoring evaluasi), Penggunaan Obat Rasional (POR), Anti-Microbial Resistance (AMR), persentase antibiotik pada diare non spesifik, persentase injeksi pada mylgia dan rerata item
penilaian teknologi kesehatan/Health Technology Assessment (HTA), Bahan Baku Obat (BBO), obat dalam satu resep. Diperlukan peningkatan kapasitas SDM terkait POR dan penciptaan
alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), Industri Obat Tradisional (IOT), sistem monev yang efektif.
pemberdayaan masyarakat dan digitalisasi farmalkes. Analisis didasarkan pada berbagai laporan
penilaian atau studi/kajian, dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah, tinjauan kebijakan Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menjadi penyebab timbulnya Anti-Microbial
dan peraturan perundang-undangan serta berbagai pedoman dan rencana aksi nasional dan Resistance (AMR). Indikasi tingginya AMR terlihat dari prevalensi E. coli dan K. pneumonia
internasional. mengandung ESBLs yang mencapai 50-82% di beberapa kota di Indonesia. Belum ada jejaring
laboratorium yang dikembangkan untuk penyediaan data nasional terkait dengan AMR,
Berdasarkan target yang ditetapkan dalam RPJMN 2014 – 2019 dalam hal ketersediaan, kapasitas laboratorium terkait pemeriksaan kesehatan hewan maupun manusia juga masih
keterjangkauan (harga), mutu, keamanan dan khasiat dari obat-obatan dan teknologi kesehatan, sangat terbatas. Permasalahan lainnya adalah terbatasnya dukungan dari pemerintah daerah
kondisi penyediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di Indonesia secara umum telah mengalami dalam penganggaran program yang terkait peningkatan POR; kurangnya koordinasi baik di
peningkatan kinerja secara signifikan, namun, masih terdapat kesenjangan yang mencolok tingkat pusat maupun daerah serta dengan unit lainnya yang terkait; terbatasnya sebaran
antardaerah, level pemerintahan maupun fasilitas kesehatan juga jenis farmalkes. Kondisi ini media promosi kepada masyarakat sehingga sasaran masyarakat yang menerima informasi
terlihat pada belum meratanya ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di beberapa daerah, tentang POR masih terbatas; kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis tentang POR kepada
dimana terdapat kelebihan maupun kekosongan di berbagai fasilitas kesehatan. Beberapa obat tenaga kesehatan di puskesmas; serta belum adanya kebijakan khusus dan sanksi yang tegas
pernah ditemukan kosong di antaranya amlodipine, antacid, allopurinol, asam mefenamat dan tentang penggunaan antibiotika yang tidak rasional, termasuk pembelian antibiotika secara
obat-obat psikotropika terutama diazepam. Jenis vaksin/serum yang paling banyak tidak tersedia bebas oleh masyarakat.
adalah Serum Anti Bisa Ular (SABU), Anti Tetanus Serum (ATS), Polio suntik (IPV), vaksin Rabies
serta tetanus toxoid (TT). Upaya untuk menjamin ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan Perkembangan penilaian teknologi kesehatan/Health Technology Assessment (HTA) mulai
di Indonesia yang terjangkau, merata dan berkualitas akan mendukung pencapaian Indonesia terlihat pada lima tahun terakhir, terutama sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan
dalam Sustainable Development Goals (SDGs) terutama target ketiga yaitu menjamin kehidupan RI No.171/Menkes/SK/IV/2014 tentang Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK). Aspek
yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia. Penilaian Teknologi Kesehatan mencakup keamanan, efikasi, efektivitas, aspek ekonomi, aspek
sosial, etika, legal, politis, dan agama, kesetaraan/ekuitas (egalitarian equity), keterjangkauan
Terkait tata kelola obat, vaksin dan alkes, masih ditemukan banyak permasalahan. Penyusunan (affordability), dan Analisis Dampak Anggaran (BIA). Dalam rangka pelaksanaan penilaian
RKO mayoritas hanya berdasarkan metode konsumsi, belum mempertimbangkan metode teknologi kesehatan (PTK) di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah membuat panduan
morbiditas atau epidemiologi penyakit, juga belum mempertimbangkan jenis obat slow moving penilaian teknologi kesehatan yang disusun oleh Komite PTK. Dengan adanya panduan ini
dan fast moving yang seharusnya memiliki rumus yang berbeda untuk perhitungan kebutuhan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penilaian teknologi kesehatan.
obatnya. Selain itu, diperlukan transparansi dalam penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Beberapa studi HTA telah dilaksanakan yang hasilnya telah diserahkan kepada para pembuat
Penentuan perusahaan farmasi sebagai pemenang tender hanya berdasarkan harga penawaran keputusan, terutama terkait dengan JKN. Namun demikian, dirasakan perlunya membuat
terendah. Diharapkan dapat diterapkan pendekatan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA) kelembagaan HTA yang lebih dapat menjamin ketersediaan sumberdaya, termasuk sumber
dalam menentukan pemenang tender tersebut. E-katalog juga belum menayangkan semua daya keuangan dan SDM agar dapat menerapkan HTA secara lebih luas. Beberapa hal yang
obat yang ada di Fornas. Pemesanan obat yang dilakukan oleh faskes sering tidak dipenuhi perlu ditingkatkan terkait HTA yaitu pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM,
oleh perusahaan farmasi walaupun sudah tertulis dalam kontrak, dan tidak ada sanksi terhadap pengembangan regulasi dan peraturan, kerjasama dengan jejaring internasional, pendataan
perusahaan farmasi yang gagal menyediakan obat tersebut. Kemudian, obat yang didistribusikan untuk data klinis dan ekonomi (data registry) dan pengembangan database HTA nasional.
ke faskes, lead time-nya kadang terlalu lama, bahkan ada yang mencapai lebih dari 6 bulan.
Sistem informasi juga belum mendukung, dengan jaringan internet yang sering terputus. Bahan baku obat yang lebih dari 90% adalah produk impor menjadi isu dan permasalahan utama
industri farmasi di Indonesia. Nilai impor bahan baku ini mencapai 25% dari total nilai bisnis
Penggunaan obat rasional di puskesmas baru dilaksanakan di 23,93% kabupaten/kota di farmasi nasional. Negara pengimpor bahan baku obat utama ke Indonesia adalah Tiongkok,
Indonesia. Dari kabupaten/kota yang sudah melaksanakan tersebut, penggunaan obat rasional Indian dan Eropa. Saat ini terdapat 8 industri produsen Bahan Baku Obat (BBO) yang telah
baru mencapai 70%. Beberapa permasalahan terkait POR yaitu belum optimalnya penggunaan tersertifikasi dan 9 industri BBO lainnya yang masih dalam proses pembangunan/sertifikasi.
obat secara rasional di faskes, misalnya adanya polifarmasi, penggunaan antibiotik irrasional, Namun demikian, kapasitas ini masih sangat kurang dari yang dibutuhkan Indonesia.
swamedikasi tidak tepat; gencarnya iklan dan pemasaran obat yang mempengaruhi peresepan
xviii • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Permasalahan utama lain terkait kefarmasian dan alkes adalah 94% dari alkes yang beredar

1.
di Indonesia adalah produk impor, sehingga masih jauh dari terwujudnya kemandirian
alkes dalam negeri. Alkes yang diproduksi di dalam negeri sampai saat ini didominasi oleh
produk-produk dasar dengan teknologi sederhana yang kemudian produk ini yang diekspor.

Pendahuluan
Sementara itu, kondisi impor alkes Indonesia didominasi oleh produk alkes berbasis teknologi
tinggi. Jumlah dan kemampuan laboratorium uji produk alkes dan PKRT yang komprehensif
dan terakreditasi masih terbatas.

Terkait dengan obat tradisional, Indonesia sangat berpeluang mengembangkan industri obat
tradisional karena Indonesia masuk sebagai lima besar mega biodiversity dunia. Tantangan
utama adalah memproduksi obat tradisional yang memenuhi standar internasional terkait
keamanan, mutu dan khasiatnya. Selain itu, produk illegal obat tradisional yang marak
beredar juga menjadi permasalahan tersendiri. Saat ini, separuh dari industri obat tradisional
terkonsentrasi di Provinsi Jawa Tengah. Masih diperlukan peningkatan kapasitas SDM, sarana
prasarana dan infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas produksi herbal yang berorientasi
ekspor hingga tahun 2024.
Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan
Laporan ini selanjutnya merumuskan dua arah kebijakan yang utama yaitu: 1) peningkatan
akses, pemerataan, ketersediaan, distribusi rantai suplai obat, vaksin dan alat kesehatan
serta penggunaannya secara rasional oleh faskes dan konsumen/masyarakat. 2) penguatan
pengendalian obat, obat tradisional, vaksin, alkes dan PKRT pra dan pasca pemasaran untuk K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
memastikan keamanan, efektivitas dan mutu.

Untuk pelaksanaan dua arah kebijakan utama tersebut maka diperlukan beberapa strategi
yaitu sebagai berikut:
1. Penguatan kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur baik di pusat maupun
daerah untuk peningkatan akses, pemerataan dan ketersediaan serta pengendalian
obat-obatan, vaksin, alkes dan PKRT
2. Optimalisasi penggunaan dan proses sistem informasi kesehatan (digitalisasi farmalkes
serta aplikasi e-monev obat) dalam perencanaan, pengadaaan hingga pengendalian
produk farmalkes sehingga memberikan kepastian kebutuhan serta anggaran baik bagi
pemerintah maupun bagi pihak swasta
3. Perbaikan sistem pricing (misalnya penentuan HPS obat) dan penetapan tarif JKN
(kapitasi dan INA CBGs) yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mendukung
sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi sehingga menjamin ketersediaan
produk farmalkes yang terjangkau dan berkualitas bagi masyarakat
4. Penguatan koordinasi antar lembaga pemerintah di tingkat pusat untuk tata kelola obat,
vaksin, alkes dan PKRT (Supply Chain Management) yang lebih baik, terutama koordinasi
peran dan fungsi antara Kementerian Kesehatan, Badan POM dan LKPP
5. Koordinasi informasi, kolaborasi sumberdaya serta kemitraan strategis lainnya antara
ABGCM (akademisi, business/swasta, government /pemerintah, community dan media)
agar dapat mendorong kemandirian produksi farmalkes dalam negeri yang berbasis
riset dan inovasi
6. Penetapan paket insentif untuk membangun dan meningkatkan daya saing industri obat,
obat tradisonal dan alat kesehatan
7. Harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk peningkatan akses, ketersediaan
dan pemerataan obat, vaksin dan alkes serta peningkatan industri obat, obat tradisional
(termasuk bahan baku) dan alkes dalam negeri
2 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 1. Pendahuluan • 3

Upaya pemerintah dalam menyelenggarakan suatu sistem kesehatan nasional telah mencapai Gambar 2. Tata Kelola Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan
banyak kemajuan dalam pencapaian indikator kesehatan serta dengan diimplementasikannya
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 1 Januari 2014. Namun demikian, berbagai tantangan
masih ada seperti dalam hal tingkat kematian ibu, kekurangan gizi serta prevalensi tuberkulosis
(TBC), malaria dan HIV/AIDS, serta akses pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil di
Indonesia.

Gambar 1. Indikator Kesehatan Indonesia, 1960-2016

Sumber: World Bank, 2019

Dalam konteks tersebut, ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan (farmalkes) yang
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018a
terjangkau, merata dan berkualitas menjadi unsur yang penting dalam penyelenggaraan
sistem kesehatan nasional. Proporsi pengeluaran untuk sektor farmasi, baik oleh pemerintah
Tata kelola obat-vaksin (Supply Chain Management/SCM) dimulai dengan pemilihan/seleksi
maupun individu (out-of-pocket) terhadap total pengeluaran kesehatan di Indonesia cukup
obat/vaksin/alkes, yaitu pertama kali diajukan oleh fasilitas kesehatan (faskes) dan organisasi
signifikan yaitu 33.8 persen (data 2010), dan kontribusi pengeluaran farmasi oleh sektor
profesi kepada Dit Yanfar dengan melampirkan bukti ilmiah dan NIE Badan POM. Kemudian
pemerintah adalah 15.2 persen (OECD, 2015). Di negara berpendapatan menengah ke bawah
akan ditelaah oleh Komnas Fornas, jika diiterima maka akan terdaftar di Fornas.
pada umumnya, pengeluaran sektor farmasi berkisar antara 20 – 60 persen dari anggaran
kesehatan, dan 80 - 90 persen dari pengeluaran sektor farmasi tersebut berasal dari out-of-
Siklus selanjutnya adalah perencanaan dan pembiayaan yaitu dengan membuat Rencana
pocket spending, sehingga timbul resiko yang tinggi pada masyarakat untuk pengeluaran
Kebutuhan Obat (RKO) oleh faskes dasar dan faskes rujukan.
kesehatan catastrophic (de Joncheere, 2015).
· Selanjutnya dilakukan pengadaan, yaitu dengan e-purchasing (e-katalog) dan pengadaan
cara lainnya sesuai Perpres Pengadaan B/J Pemerintah.
Dengan diselenggarakannya program JKN, anggota masyarakat yang terdaftar dan melakukan
· Tahapan berikutnya adalah distribusi obat, vaksin dan alkes ke faskes dasar dan faskes
pengobatan pada fasilitas kesehatan dalam sistem dapat meminimalisir pengeluaran out-of-
rujukan. Proses pengadaan dan distribusi ini melibatkan Pedagang Besar Farmasi (PBF)
pocket tersebut terutama untuk sediaan farmasi yang tercantum dalam daftar Formularium
dan Penyalur Alat Kesehatan (PAK).
Nasional (Fornas). Namun, jika pengelolaan untuk seleksi, pengadaan dan manajemen
· Pada tahapan penggunaan, maka harus merupakan penggunaan obat yang rasional
distribusi tidak dapat dilaksanakan dengan efisien maka berbagai masalah dapat timbul pada
(POR), praktik peresepan yang baik, praktik pelayanan kefarmasian yang baik, kepatuhan
pelayanan farmasi di fasilitas kesehatan seperti misalnya kurangnya persediaan obat, vaksin
terhadap formularium nasional.
dan alat kesehatan hingga terjadinya stock-out, substitusi obat dan juga timbulnya pengeluaran
· Selanjutnya dilakukan Monev dalam pelaksanaan tata kelola obat-vaksin dan alkes ini
out-of-pocket (Hidayat et al., 2015). Berikut ini adalah manajemen rantai suplai pada tata kelola
yang kemudian akan merekomendasikan hal-hal yang perlu diperbaiki dalam siklus tata
obat-vaksin dan alkes:
kelola obat ini.
4 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

2.
Saat ini Indonesia telah berada di akhir RPJMN 2015-2019, sehingga perlu segera menyusun
RPJMN 2020-2024 yang merupakan tahap akhir dari RPJPN 2005-2025. Untuk kepentingan
penyusunan RPJMN berikutnya ini, Bappenas melakukan Kajian Analisis Sektor Kesehatan
atau Health Sector Review (HSR) pada tahun 2018, dengan salah satu topik yang dibahas
adalah mengenai persediaan obat, vaksin dan alat kesehatan. Tinjauan sektor farmasi
dan alat kesehatan ini adalah untuk menganalisis pengelolaan oleh pemerintah pusat dan
Analisis situasi
daerah, dalam hal perencanaan, penganggaran, pengadaan, distribusi, manajemen stok, dan
perimbangan kewajiban antara pemerintah pusat dan daerah.

Tujuan dari kajian tentang persediaan obat, vaksin dan alat kesehatan dalam rangka HSR
adalah untuk mengidentifikasi pokok isu dan tantangan bidang penyediaan farmasi dan alat
kesehatan, menganalisa capaian dan usulan rekomendasi dalam bentuk opsi kebijakan dalam
kerangka RPJMN 2020-2024 untuk bidang farmasi dan alat kesehatan. Kajian ini akan menjadi
masukan dalam rangka penyusunan studi latar belakang Renstra K/L bidang Persediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan 2020-2024.

Kerangka acuan untuk kajian tematik 6 tentang persediaan obat, vaksin dan alat kesehatan
Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan
mengacu pada aspek berikut:
1. Ketersediaan dan akses obat dan vaksin
2. Tata Kelola Obat dan Vaksin (Supply Chain Management)
a. Proses pemilihan dan seleksi K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
i. Formularium Nasional
ii. Nomor Izin Edar (NIE)
iii. E-katalog dan HPS
b. Perencanaan dan pembiayaan
i. Rencana Kebutuhan Obat (RKO)
ii. Pembiayaan obat
iii. Pembiayaan vaksin
c. Pengadaan
d. Pemasok
e. Distribusi
i. One gate policy
ii. Lead time
iii. Biaya distribusi
iv. Manajemen kualitas vaksin
f. Penggunaan pelayanan kefarmasian
i. Pelayanan kefarmasian sesuai standar
ii. Pelayanan Program Obat Rujuk Balik (PRB)
g. Penghapusan
h. Monitoring dan evaluasi
3. Penggunaan Obat Rasional (POR) & Anti-Microbial Resistance (AMR)
4. Penilaian Teknologi Kesehatan / Health Technology Assessment (HTA)
5. Bahan baku obat
6. Alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)
7. Industri Obat Tradisional (IOT)
8. Pemberdayaan masyarakat
9. Digitalisasi farmalkes
6 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 2. Analisis Situasi • 7

2.1. Ketersediaan dan Akses Obat dan Vaksin

2.1.1. Ketersediaan Obat dan Vaksin

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk Ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas masih menemui beberapa permasalahan.
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka Berdasarkan Laporan Kinerja DitJen Farmalkes tahun 2016, item obat yang memiliki
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan ketersediaan tertinggi di puskesmas Tahun 2016 adalah Garam Oralit dengan
dan kontrasepsi, untuk manusia (UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). ketersediaan sebesar 95,32% (terdapat di 1.080 puskesmas dari 1.133 puskesmas yang
melapor), sedangkan item obat yang memiliki ketersediaan terendah adalah Diazepam
Secara keseluruhan, kondisi penyediaan obat, vaksin dan alat kesehatan telah mengalami injeksi 5 mg/ml dengan ketersediaan sebesar 53,22% (terdapat di 603 puskesmas dari
peningkatan secara signifikan, dari 75,50% di tahun 2014 menjadi 85,99% di tahun 2017. 1.133 puskesmas yang melapor). Kondisi tersebut berbeda dengan tahun 2015 dimana
Di akhir tahun 2019 diharapkan ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas mencapai item obat yang memiliki ketersediaan tertinggi di puskesmas adalah Parasetamol
90%. 500 mg tablet, sedangkan item obat yang memiliki ketersediaan terendah adalah
Magnesium Sulfat Injeksi 20%.
Gambar 3. Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas

Gambar 4. Persentase Puskesmas Perawatan dan Non Perawatan


Menurut Ketersediaan Obat dan Vaksin Indikator, Tahun 2015 dan 2016

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018a

Hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)


Kemenkes (Yuniar, 2017), ketersediaan obat dan vaksin di tahun 2016 berkisar antara
66,7-86,7% di Dinas kesehatan (Dinkes) provinsi, 77 – 83,9% di dinkes kabupaten/kota,
84,1 – 89,5% di rumah sakit, 83,3 – 96,7% di puskesmas rawat jalan dan 82,9 – 90,6%
di puskesmas rawat inap. Sedangkan tingkat ketersediaan mencapai 13 – 23,6 bulan di
dinkes kabupaten/kota, 3,1 – 13,9 bulan di rumah sakit, 3,6 – 10,8 bulan di puskesmas
rawat jalan, dan 4,6 – 11,4 bulan di puskesmas rawat inap. Rentang waktu yang tinggi dan
beragam di fasilitas kesehatan primer dan sekunder mengindikasikan perlunya perhatian
kepada proses distribusi obat dan vaksin dari gudang farmasi kabupaten/kota ke fasilitas
kesehatan yang dilayaninya. Sedangkan jenis obat yang ditemukan pernah atau masih
kosong antara lain amlodipin, antasid, diazepam, allopurinol dan asam mefenamat.

Permasalahan ketidaktersediaan obat banyak terjadi pada kelompok obat-obat


psikotropika (obat kejiwaan) terutama diazepam. Untuk jenis vaksin/ serum yang paling
banyak tidak tersedia adalah Serum Anti-Bisa Ular (SABU), Anti Tetanus Serum (ATS),
Polio suntik (IPV), vaksin Rabies serta tetanus toxoid (TT). Hal ini mengindikasikan mis- Tahun 2015 Tahun 2016
match yang mungkin terjadi pada sistem perencanaan dan seleksi obat.
8 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 2. Analisis Situasi • 9

Selain itu perbedaan antar daerah juga masih terjadi dimana menurut Laporan Kinerja fasilitas kesehatan Kemenkes tahun 2011 (Kemenkes & World Bank, 2014) yaitu 94-
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan tahun 2017, provinsi dengan 96 persen (World Bank, 2017). Peralatan cold chain berfungsi di lebih dari 90 persen
persentase ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas tertinggi pada tahun 2016 puskesmas, namun alat suntik hanya tersedia di kurang dari 70 persen puskesmas.
adalah Maluku, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Bali, Bangka Belitung, Sumatera Fasilitas kesehatan swasta memiliki tingkat ketersediaan vaksin yang amat timpang
Barat, dan Bengkulu (100%) sedangkan provinsi dengan ketersediaan terendah adalah dibandingkan dengan milik pemerintah, yaitu hanya 44 persen dari fasilitas swasta. Hal
Sumatera Selatan (52,40%). ini mungkin diakibatkan kurangnya permintaan untuk imunisasi di fasilitas tersebut.

Gambar 6. Ketersediaan Vaksin dan Alat Kesehatan Pendukung di Puskesmas


Gambar 5. Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2017 per Provinsi
(Perbandingan data Rifaskes 2011 dan QSDS 2016)

Sumber: World Bank, 2017

Kemudian, terkait dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial maka pada tahun
2017 mencapai 85,99% dan triwulan I di 2018 mencapai 86,63%. Demikian pula dengan
bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri maka sampai triwulan
pertama 2018 baru mencapai 23 buah.

Untuk pengelolaan obat dan vaksin, Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang melakukan
manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar cukup meningkat dari 57,34% di
Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017a tahun 2015 hingga 81,52% pada triwulan pertama 2018. Namun demikian hingga saat ini
baru 25,18% Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang menerapkan aplikasi logistik obat
Berdasarkan Quantitative Service Delivery Survey (QSDS) tahun 2016 oleh Bank Dunia, dan bahan medis habis pakai (BMHP).
ketersediaan vaksin wajib di puskesmas berkisar antara 80-90 persen, seperti untuk
Campak, DPT, Polio dan BCG. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan data survei
10 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 2. Analisis Situasi • 11

2.1.2. Akses Masyarakat Terhadap Produk Farmasi dan Alat Kesehatan (Farmalkes) Gambar 8. Pengeluaran Kesehatan serta Komponen Pengeluaran Farmasi

Masalah ketersediaan produk obat dan vaksin dapat mengakibatkan semakin tingginya
pengeluaran Out-of-Pocket (OOP) untuk produk farmalkes. Data menunjukkan bahwa
pengeluaran OOP masyarakat mencapai setengah dari total pengeluaran kesehatan
di Indonesia sebelum JKN dan kemudian kemudian turun menjadi sekitar 35%,
dimana 20-30% dari total pengeluaran kesehatan dihabiskan untuk produk farmasi.
Studi oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menunjukkan bahwa
estimasi pengeluaran out-of-pocket dapat mencapai 55% pada tahun 2040 (Institute
for Health Metrics and Evaluation, 2018). Studi oleh World Health Organization (2011)
menunjukkan bahwa dampak pilihan obat (generik dan paten) sangat berpengaruh
terhadap biaya pengobatan, dimana biaya pengobatan untuk adult respiratory infection1
dengan obat generik nilainya setara dengan 1 hari bekerja sedangkan dengan obat paten
setara dengan 17 hari bekerja (Gambar 10). Walaupun harga obat generik di Indonesia
dapat ditetapkan rendah oleh pemerintah, namun jika suplai obat tidak tersedia melalui
jalur publik, maka masyarakat akan terdorong kepada pasar swasta dan OOP yang tinggi. Catatan: * Estimasi BMI.

Sumber: Laporan Indonesia Pharmaceuticals and Healthcare Q1 2018, BMI Research (2017)
Gambar 7. Pengeluaran Kesehatan di Indonesia berdasarkan Sumber Pendanaan

Gambar 9. Estimasi Pengeluaran Kesehatan di Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,
berdasarkan Sumber Pendanaan
35.0%

38.1%
41.0%

46.7%
50.9%
54.7%
54.8%

Sumber: PPJK, Kemenkes, 2018

Sumber: Laporan Indonesia Pharmaceuticals and Healthcare Q1 2018, BMI Research (2017)

1 Studi ini menggunakan perbandingan biaya pengobatan dengan jumlah hari bekerja yang dibutuhkan oleh
seorang pegawai negeri berpendapatan terrendah untuk membiayai pengobatan adult respiratory infection
selama 7 hari dengan menggunakan obat Ciprofloxacin dengan dosis 500 mg dua kali sehari.
12 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

3.
Gambar 10. Nilai Pengobatan Adult Respiratory Infection berdasarkan Pilihan Obat
generik dan paten. Nilai pengobatan diekspresikan dalam jumlah hari bekerja seorang Tata Kelola Obat-Vaksin
pegawai negeri berpendapatan terendah

di Era Jaminan
Kesehatan Nasional
(Supply Chain Management)

Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Sumber: World Health Organization, 2011


14 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 15

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menetapkan bahwa pemerintah Tahapan rantai pengadaan obat JKN dimulai dari terbitnya Fornas, kemudian penyusunan
berkewajiban untuk menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan produk Rencana Kebutuhan Obat (RKO), penetapan harga perkiraan sendiri (HPS), dan diikuti
farmalkes bagi masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak tantangan oleh proses lelang dan negosiasi harga dimana pemenang dinotifikasi, dimana kemudian
dalam mengimplementasikan hal tersebut. Faktor kebijakan yang signifikan mengubah informasi produk serta harga ditayangkan dalam e-katalog. Namun, pada praktiknya, jeda
sistem kesehatan di Indonesia adalah implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional waktu antar proses tersebut masih belum optimal. Pertama, durasi waktu untuk penerbitan
pada tahun 2014. Kebijakan ini telah banyak mempengaruhi kebijakan dalam penyediaan dan dan sosialisasi Fornas masih kurang, sehingga RKO yang disampaikan oleh faskes tidak
pelayanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Beberapa kebijakan yang telihat dampaknya dapat disusun dengan acuan Fornas yang relevan/terkini sehingga lebih mengacu kepada
secara signifikan yaitu: Formularium Nasional (Fornas), Rencana Kebutuhan Obat (RKO), anggaran daripada kebutuhan (Yuniar, 2017). Namun demikian, dari tahun 2014 hingga
sistem e-katalog dan e-purchasing serta sistem e-monev dan e-logistik. Terakit tata kelola obat- 2017, persentase kesesuaian obat dengan Fornas di rumah sakit terus meningkat yaitu
vaksin dan alat kesehatan di era JKN ini akan dibahas berdasarkan manajemen rantai suplai berturut-turut 64,92%; 73,84%; 80,28%; dan 83,91% (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).
(Supply Chain Management). Kedua, produsen yang menang tender hanya diberikan waktu singkat yaitu sekitar satu
bulan sebelum harga dan produknya ditayangkan dalam e-katalog walaupun waktu yang
diperlukan untuk menyusun proses produksi adalah minimal 3 bulan (Hendarwan,Yuniar,
3.1. Proses Pemilihan dan Seleksi & Despitasari, 2018). Hal ini berdampak pada ketidaksediaan obat terutama di awal tahun
berjalan (Januari – April). Bagi pelaku industri farmasi, kepastian akan jumlah dan jenis
3.1.1. Formularium Nasional (Fornas) obat yang diproduksi, kepastian hasil produksi obat yang dipesan oleh user, dan kepastian
pembayaran adalah signifikan untuk keberlangsungan usaha industri farmalsi. Selain itu,
Formularium Nasional (Fornas) merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan adanya kepastian demand dari obat yang diperlukan akan mempermudah perencanaan
tersedia di faskes sebagai acuan dalam pelaksanaan JKN. Tujuan utama pengaturan obat produksi oleh industri farmasi serta proses lelang/negosiasi antara pemerintah (LKPP)
dalam Fornas adalah meningkatkan efisiensi pengobatan sehingga tercapai penggunaan dan industri farmasi. Hasil evaluasi implementasi Fornas di 137 rumah sakit di 34 provinsi
obat rasional. Bagi tenaga kesehatan, Fornas bermanfaat sebagai “acuan” bagi penulis menunjukkan proporsi obat Fornas yang belum masuk dalam e-katalog adalah 7,6%, di
resep, mengoptimalkan pelayanan kepada pasien, memudahkan perencanaan dan 2016, menunjukkan masih ada sejumlah obat dengan HPS yang kurang menarik (Tim
penyediaan obat di faskes. Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b).

Banyak obat dengan bukti ilmiah terbatas atau tanpa bukti ilmiah yang valid untuk Khusus untuk alat kesehatan, fungsi Fornas digantikan oleh suatu kompendium alat
indikasi tertentu. Dalam Fornas hanya tercantum obat-obat dengan bukti ilmiah untuk kesehatan yang memuat daftar dan spesifikasi alat kesehatan dan bahan medis habis
indikasi tujuan pengobatan. Pemilihan obat berdasarkan pertimbangan Benefit-Risk pakai terpilih dengan persyaratan standar spesifikasi minimal keamanan, mutu dan
Ratio dan Benefit-Cost Ratio. Untuk obat-obat berbiaya tinggi dilakukan pula pemilihan manfaat untuk digunakan di fasilitas kesehatan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan
berdasarkan pertimbangan Cost-Effectiveness Ratio. Obat yang masuk Fornas juga Nasional (JKN). Kompendium Alat Kesehatan tahun 2014 memuat 83 alkes elektromedik,
harus memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh Badan POM (Safety, Efficacy 85 alkes non elektromedik dan 60 alkes diagnostik in-vitro (Kementerian Kesehatan RI,
dan Quality). 2018b). Namun dikarenakan alkes yang tercantum dalam Kompendium tidak mengacu
pada nama generik/zat aktif sebagaimana pada obat, yang menyebabkan pemilihan alkes
Manajemen logistik farmalkes diawali dengan proses pemilihan dan seleksi obat, vaksin menjadi sulit terutama dengan banyaknya ragam jenis dan merk alkes yang beredar.
dan alat kesehatan yang dilakukan melalui sistem informasi e-katalog dan e-procurement, Pada tahun 2015 sampai 2017 jumlah ijin edar alkes berturut-turut adalah 10.780, 12.811
dimana pembiayaan untuk obat dan vaksin melalui program JKN mengacu pada daftar dan 14.444 buah (Kementerian Kesehatan RI, 2018a).
Formularium Nasional (Fornas) yang meliputi obat esensial (exhaustive list dari Daftar
Obat Esensial Nasional/DOEN2) dan non-esensial sebagai suatu kendali mutu. Namun 3.1.2. Nomor Izin Edar (NIE)
proses tersebut pada pelaksanaannya belum berlangsung secara realistis, dimana
masih terjadi ketidaksesuaian antara Fornas dengan e-katalog (sebagai upaya kendali Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi bagi produk obat, obat tradisional,
biaya). Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam perencanaan kebutuhan obat serta proses kosmetik, suplemen makanan, dan makanan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas
pembayaran klaim. Paparan oleh (Komisi Pemberantasan Korupsi (2016) menunjukkan Obat dan Makanan Republik Indonesia agar produk tersebut secara sah dapat diedarkan
masih terdapat selisih antara obat yang tercantum dalam Fornas dan e-katalog, di wilayah Indonesia. Obat yang memiliki izin edar harus memiliki kriteria tertentu:
walaupun dengan gap yang semakin mengecil yaitu 78% (2014), 84% (2015) dan 91% 1. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui
(2016). Adanya selisih tersebut mengakibatkan adanya obat yang tidak memiliki acuan percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan status
harga BPJS Kesehatan untuk pembayaran klaim (misalnya untuk obat rujuk balik) dan perkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan
serta menimbulkan kesulitan bagi faskes untuk melakukan pengadaan obat karena tidak 2. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara
semua obat yang dibutuhkan tersedia. Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap
semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih

2 DOEN adalah daftar obat yang esensial atau harus dimiliki setiap fasilitas kesehatan, untuk memenuhi standar
pelayanan minimum.
16 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 17

3. Penendaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin Dalam e-purchasing melalui e-katalog, sebuah faskes dapat membuat pemesanan
penggunaan obat secara tepat, rasional dana aman online — dan, pesanan online yang disetujui oleh perusahaan-perusahaan farmasi
4. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat disebut “e-order.” Untuk mewujudkan komitmennya dengan faskes, sebuah perusahaan
5. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan farmasi membuat pengiriman produk-produknya dalam jumlah yang disepakati, pada
kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang tanggal yang disepakati, dengan harga sebagaimana tercantum dalam e-katalog, melalui
telah disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim distributor yang ditunjuknya. Perlu dicatat bahwa, sejak September 2016, faskes swasta
6. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang akan telah mendapatkan akses untuk pengadaan obat melalui e-katalog. Namun demikian,
ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia karena masih ada beberapa pesanan manual [bahkan oleh faskes publik], e-purchasing
atau e-order dipenuhi oleh industri farmasi hanya mencerminkan beberapa pengadaan
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), proses obat JKN.
registrasi obat untuk mendapatkan NIE memakan waktu yang lama yaitu 100-300 hari
kerja atau 5-15 bulan, dengan biaya registrasi obat baru antara US$ 20-300. Selain itu, 3.1.4. Perencanaan dan Pembiayaan
data izin edar (NIE) obat di BPOM tidak update sebagai dasar pengadaan e-katalog obat
oleh LKPP dan Kemenkes. Bahkan, ditemukan adanya 49 sediaan obat di Fornas yang 3.1.4.1. Rencana Kebutuhan Obat (RKO)
tidak terdaftar di BPOM (5% dari total sediaan obat Fornas tahun 2015). Rata-rata tingkat Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dibuat oleh Satker dan faskes untuk menetapkan item/
penyelesaian layanan registrasi obat dalam 3 tahun (2014-2016) masih rendah yaitu 42%, jenis serta jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang dibutuhkan dalam pelayanan
yang disebabkan oleh belum semua registrasi obat dilaksanakan secara online (Komisi kesehatan. Di samping itu, RKO digunakan juga sebagai salah satu pertimbangan dalam
Pemberantasan Korupsi, 2017). proses e-katalog obat.

3.1.3. E-katalog dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Metode perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan dapat dilakukan dengan
dua pendekatan yaitu metode konsumsi dan morbiditas. Dikatakan metode konsumsi
Dikelola oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), e-katalog jika perhitungan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan didasarkan atas analisis
berisi daftar item obat [berasal dari Fornas], harganya, dan perusahaan farmasi yang data konsumsi/pemakaian obat tahun sebelumnya, sedangkan metode morbiditas jika
memenangkan penawaran. Dalam tender nasional terbuka, LKPP menggunakan perhitungan mempertimbangkan pola penyakit dan perkiraan kenaikan kunjungan ke
Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan faskes.
oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai dasar bagi perusahaan farmasi untuk
mengajukan penawaran. Untuk setiap item obat yang dialokasikan untuk provinsi Dari tabel di bawah ini terlihat bahwa jumlah Satker dan faskes yang mengirimkan RKO
tertentu, hanya ada satu pemenang — dan pemenangnya adalah perusahaan farmasi Tahun 2017 dan 2018 meningkat signifikan.
yang melakukan penawaran terendah (harga adalah satu-satunya kriteria untuk menang
tender). RKO dan / atau HPS yang ditetapkan terlalu rendah dapat membuat item obat
tidak menarik bagi perusahaan farmasi untuk mengajukan penawaran atau mengikuti Gambar 11. Penyampaian RKO oleh fasilitas kesehatan tahun 2017 dan 2018
tender, sehingga tidak dapat masuk ke dalam e-katalog.

Di tingkat nasional, RKO untuk setiap provinsi ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
dengan menyusun RKO yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi (PHO)
dan rumah sakit vertikal (RSUP). Berdasarkan RKO, Kementerian Kesehatan juga
menetapkan HPS untuk setiap provinsi sebagai batas harga. Sementara rumah sakit
vertikal menetapkan RKO-nya berdasarkan obat-obatan yang digunakan pada tahun
sebelumnya, PHO menetapkan RKO-nya dengan menyusun RKO yang diajukan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota (DKK) dan rumah sakit umum umum (RSUD) dalam
wilayah administrasi. Di sisi lain, Dinkes Kabupaten/Kota menetapkan RKO-nya dengan
menyusun RKO yang diajukan oleh puskesmas dan klinik di wilayah administratifnya.
Dalam menetapkan HPS, Kementerian Kesehatan mempertimbangkan biaya distribusi
yang bervariasi menurut provinsi. Namun, jika RKO provinsi jauh dari akurat, HPS juga
akan jauh dari harga yang wajar dan masuk akal — terlalu rendah atau terlalu tinggi.
RKO provinsi yang terlalu tinggi akan mengarah ke HPS provinsi yang terlalu rendah
dan, oleh karena itu, tidak menarik bagi perusahaan farmasi. RKO provinsi yang terlalu Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b
rendah dan tidak dikompensasi dengan HPS yang cukup tinggi juga tidak akan menarik
karena opportunity cost-nya cukup tinggi.
18 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 19

Secara umum, dalam tiga tahun pertama implementasi JKN terdapat kesenjangan yang Pada tahun 2016, item obat dengan RKO tertinggi adalah tablet antianemik, yaitu tablet
cukup lebar antara Fornas dan RKO, RKO dan e-katalog, serta RKO dan e-order. Namun, yang mengandung kombinasi Fe (II) sulfat dan asam folat, posisi kedua tertinggi adalah
kesenjangan antara Fornas, RKO, dan e-katalog agak menyempit di tahun ketiga. Pada tablet parasetamol 500mg dan asam mefenamat 500mg di posisi kesembilan. Dua obat
tahun 2014, di antara item obat yang terdaftar di Fornas (923) sekitar 86,7% (800) dan anti-inflamasi non-steroid (NSAID) adalah item obat dengan RKO tertinggi pada tahun
78,4% (724) masing-masing terdaftar di RKO dan e-katalog. Pada 2015, kesenjangannya 2015 (parasetamol 500mg) dan 2014 (asam mefenamat 500mg). Pergeseran peringkat
sedikit melebar — di antara item obat yang terdaftar di Fornas (930) hanya 85,5% (795) kemungkinan karena kenyataan bahwa ketika dua item obat di posisi paling atas di
diajukan dalam RKO dan 74,0% (781) terdaftar di e-katalog. Namun demikian, pada tahun RKO, pesanan online masing-masing oleh faskes sangat rendah — pada 2015, e-order
2016 kesenjangan menyempit di antara item obat yang terdaftar di Fornas (1.018) sebesar pada parasetamol 500mg hanya 44,1% dan, pada 2014, e-order pada asam mefenamat
93,0% (947) ada dalam RKO dan 92,4% (941) tercantum di e-katalog (TNP2K, 2018). (Tabel 500mg hanya 4,5% - dan dengan demikian dalam RKO 2016 kedua obat NSAID tersebut
1). dikurangi jumlahnya.

Namun, pada sisi permintaan, gambaran umumnya tampak berbeda. Pada tahun 2015, Tahun 2016 juga melihat peningkatan progresif pada RKO obat untuk penyakit kronis,
proporsi item obat yang terdaftar di e-katalog (781) yang mendapat e-order (dipesan termasuk HIV/AIDS. Pada tahun 2014 RKO kaptopril 25 mg (116,47 juta tablet) berada di
oleh faskes) mencapai 83,5% (650), jauh lebih tinggi daripada tahun 2014 ketika di antara peringkat ke-19, pada 2015 naik ke posisi 16 (dengan RKO yang juga meningkat menjadi
item obat yang terdaftar di e-katalog (724) hanya 53,6% (388) yang mendapat pesanan. 142,57 juta tablet) dan pada 2016 ke posisi 14 (meskipun dengan RKO lebih rendah
Dengan kata lain, pada 2015 kesenjangan antara e-katalog dan e-order menyempit 97,58 juta tablet). Lebih lanjut, pada tahun 2016 sebuah obat antiretroviral (ARV), yaitu
cukup signifikan karena proporsi nol e-order sangat menurun menjadi 16,5% dari 41,4% kombinasi lamivudine (atau 3TC) dan zidovudine (AZT), masuk menjadi Top 50 item
pada tahun 2014. Namun, pada tahun 2016 kesenjangan melebar kembali — proporsi obat dalam e-katalog, yaitu di posisi ke-39 (dengan RKO 40,53 juta tablet). Perlu dicatat
nol e-order (tidak dipesan sama sekali oleh faskes) meningkat menjadi 31,9% karena di bahwa, sejak implementasi kebijakan obat nasional tentang ARV pada tahun 2004, obat
antara item obat yang terdaftar dalam e-katalog (941) hanya 68,1% (641) yang mendapat lini pertama untuk terapi HIV/AIDS telah disediakan oleh PT Kimia Farma Tbk. sebagai
e-order dari faskes. pemasok tunggal yang ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dampak dari e-order yang lebih tinggi dari RKO terhadap industri farmasi mungkin tidak
Tabel 1. Produk Obat Dalam Fornas dan E-Katalog: 2014 – 2016 seburuk jika e-order lebih rendah dari RKO. Namun, e-order yang berlebihan juga dapat
memberikan alasan bagi industri farmasi untuk tidak memenuhi - setidaknya beberapa
e-orders, sehingga dapat menyebabkan kehabisan obat di fasilitas kesehatan.

Secara teoritis, ada beberapa kemungkinan penyebab “over” e-order atau e-order yang
[jauh] lebih tinggi dari RKO di antaranya:
1. Sejumlah besar fasilitas kesehatan, membuat pesanan online lebih tinggi daripada
RKO masing-masing dan akibatnya, meskipun RKO mereka telah ditetapkan
berdasarkan metode dan data yang valid, e-order mereka masih sangat tinggi.
Penyebab tingginya pesanan online oleh faskes bisa eksternal (seperti adanya
kejadian epidemi luar biasa) atau internal (seperti keinginan untuk menyalurkan
obat JKN ke pasien reguler, non-JKN, atau bahkan ke rumah sakit lain / klinik, dan
memanfaatkan harga obat JKN yang lebih rendah dari harga regular)
2. Sejumlah fasilitas kesehatan yang tidak atau belum menyerahkan RKO, misalnya
Sumber: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b
rumah sakit swasta yang pada tahun 2016 baru saja menandatangani kontrak
dengan BPJS Kesehatan tetapi melakukan e-order dan dipenuhi oleh perusahaan
Studi TNP2K (2018) pada Tabel 2 menganalisis lebih detil pada 50 item obat teratas di
Farmasi/Distributor. Sejak September 2016, rumah sakit swasta telah diberikan akses
RKO. Dalam tiga tahun pertama implementasi JKN, nol e-order (obat yang sama sekali
ke e-katalog oleh LKPP, yang memungkinkan mereka untuk melakukan e-order
tidak di[pesan) terlihat menurun, yaitu dari 12 item obat (24,0%) pada tahun 2014 menjadi
3. Sebagian Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, mendapatkan dana lebih tinggi
3 (6,0%, pada 2015) menjadi 2 (4,0%, pada 2016). Selanjutnya, e-order yang <60% dari
dari yang diharapkan, memungkinkan mereka untuk melakukan e-order untuk
RKO juga menurun, dari 48 item obat (96,0%) pada 2014 menjadi 44 (88,0%, pada 2015)
puskesmas-puskesmas yang lebih tinggi dari RKO atau kebutuhan mereka
menjadi 13 (26,0%, pada 2016). Namun, jumlah item obat dengan proporsi e-order yang
4. RKO yang dikirimkan tidak cukup akurat, setidaknya beberapa item obat yang tidak
terlalu tinggi,> 100% RKO, pada tahun 2016 menunjukkan bahwa mekanisme pembuatan
memiliki data yang reliable saat membuat RKO
RKO masih perlu beberapa perbaikan.
20 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 21

Tabel 2. 50 Item Obat Teratas dalam RKO, Tahun 2014 – 2016

No. Drug item 2014 2015 2016 No. Drug item 2014 2015 2016
Drug item Drug item Drug item Drug item
RKO e-order RKO e-order RKO e-order RKO e-order RKO e-order RKO e-order

1 Asam mefenamat 500 1,249,981,785 4.5 Parasetamol 500 809,708,943 44.1 Besi [II] sulfat + folat 1,379,904,245 1.7 39 Triheksifenidil 2 45,321,326 Tetrasiklin 500 45,817,188 23.3 3TC-AZT 300/150* 40,533,223 119.4
~0
2 Parasetamol 500 763,599,036 25.2 CTM 4 645,129,609 22.6 Parasetamol 500 398,720,840 171.2 40 Na bikarbonat 500 45,092,727 Vitamin C 250 45,578,967 19.3 Isosorbid dinitrat 5 39,624,147 47.6
~0
3 CTM 4 623,495,752 0.2 Amoksisilin 500 620,650,077 25.4 Amoksisilin 500 340,609,581 132.4 41 Na diklofenak 50 43,454,364 Garam Oralit I 45,045,201 56.4 Furosemid 40 38,445,516 67.6
55.3
4 Gliseril guaiakolat 100 548,901,167 ~0 Vitamin B kompleks 432,796,601 32.9 CTM 4 261,434,723 177.5 42 Diazepam 2 43,451,313 Na bikarbonat 500 45,028,838 ~0 Metilprednisolon 4 36,766,352 108.4
4.2
5 Amoksisilin 500 527,318,839 38.6 Deksametason 392,010,034 33.8 Vitamin B kompleks 250,470,811 118.2 43 Garam Oralit I 40,059,019 Diazepam 2 42,440,839 25.2 Ringer laktat infus 35,947,939 80.1
48.6
6 Vitamin B kompleks 439,531,634 27.6 Antasida DOEN I 379,906,695 35.3 Deksametason 218,421,973 126.0 44 Zinc dispersible 20 39,906,647 Hidroklorotiazid 25 41,194,059 13.6 Dietilkarbamazin 100 35,805,698 384.1
74.1
7 Antasida DOEN I 355,621,068 0.2 Vitamin C 50 352,598,146 27.1 Antasida DOEN I 200,714,557 150.1 45 Besi [II] sulfat 200 39,547,785 Domperidon 10 39,676,322 44.9 Asam folat 1 35,410,458 17.1
118.6
8 Deksametason 0,5 342,729,731 20.1 Tiamin 50 318,245,383 1.2 Vitamin C 50 197,108,224 92.6 46 Fenobarbital 30 39,446,504 Omeprasol 20 38,988,063 53.3 Diazepam 2 34,670,189 12.7
~0
9 Kalsium laktat 500 337,260,020 3.7 Asam mefenamat 500 295,654,918 9.5 Asam mefenamat 500 194,836,481 148.1 47 Salbutamol 2 38,899,932 Salbutamol 4 38,498,717 27.7 Risperidon 2 33,150,575 48.0
22.9
10 Besi [II] sulfat + folat 332,550,872 ~0 Piridoksin 10 275,638,482 12.7 Piridoksin 10 165,089,980 96.3 48 Hidroklorotiazid 25 37,384,872 Simvastatin 10 38,394,140 53.9 Domperidon 10 33,130,201 105.9
~0
11 Vitamin C 50 308,976,438 39.7 Tiamin 50 234,792,108 1.6 Ranitidin 150 129,604,516 102.8 49 Parasetamol 100 37,155,421 Griseofulvin 125 38,265,313 26.4 Klorpromazin 100 32,451,230 62.3
0.1
12 Piridoksin 10 246,395,285 ~0 Kalsium laktat 500 231,403,459 34.6 Kalsium laktat 500 128,330,710 114.4 50 Ringer laktat infus 34,341,244 Amlodipin 10 33,574,882 61.8 Hidroklortiazid 25 30,468,932 59.2
26.3
13 Tiamin 50 234,792,108 5.0 Prednison 5 207,815,095 27.1 Prednison 5 109,452,379 45.7

14 Metampiron 500 204,581,436 0.1 Metampiron 500 204,581,436 ~0 Kaptopril 25 97,583,281 37.7

15 Prednison 5 202,219,724 ~0 Besi [II] sulfat + folat 157,336,221 111.0 Retinol 200.000 IU 96,117,458 1.4 Sumber: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b

16 Dekstrometorfan 15 186,429,586 ~0 Kaptopril 25 142,568,345 39.6 Tiamin 50 95,027,469 182.1

17 Sianokobalamin 50 μg 137,815,053 ~0 Dietilkarbamazin 100 138,548,520 13.4 Sianokobalamin 94,823,108 41.2


50 μg 3.1.4.2. Pembiayaan obat
18 Kotrimoksasol DOEN I 124,333,607 0.4 Ranitidin 133,922,047 51.4 91,370,955 103.0
Metformin 500 Dengan adanya desentralisasi, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan mengalami
19 Kaptopril 25 116,468,264 43.6 Kotrimoksasol DOEN I 133,646,717 34.2 84,730,314 105.4
Kotrimoksasol DOEN I pergeseran pengelolaan dana dari pusat ke daerah, dimana sumber pembiayaan
20 Ranitidin 150 104,350,274 50.1 Sianokobalamin 50 μg 118,615,698 33.0 77,642,084 145.3
Ibuprofen 400 kesehatan untuk daerah bisa melalui berbagai sumber, yaitu: pemerintah pusat,
21 Ibuprofen 400 97,556,415 16.7 Ibuprofen 400 103,629,248 53.7 77,451,434 102.5
Siprofloksasin 500 pemerintah daerah, swasta, organisasi masyarakat, serta iuran dari masyarakat sendiri.
22 Amoksisilin 250 91,969,561 14.8 Siprofloksasin 500 101,790,222 1.5 66,494,336 72.4
Triheksifenidil 2 Jika pembiayaan kesehatan di suatu daerah memadai, diharapkan dapat menunjang
23 Siprofloksasin 500 88,633,251 18.9 Kaptopril 12,5 90,230,029 33.1 66,375,233 81.7 terselenggaranya subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.
Kaptopril 12,5
24 Ambroksol 30 80,728,069 0.4 Besi [II] sulfat 300 83,811,338 208.4 59,899,786 ~0
Besi [II] sulfat 300
25 CHKM cairan 80,715,320 ~0 Metformin 500 81,520,567 41.3 59,899,055 93.8 Sumber pembiayaan obat untuk puskesmas antara lain adalah: 1) dana alokasi khusus
Albendazol 400
26 Tiamin 100 79,040,601 14.8 Triheksifenidil 2 75,611,464 ~0 59,639,216 100.0 (DAK) bidang kesehatan (dana dari pusat yang turun ke APBD untuk pembelian obat),
Alopurinol 100
27 Kaptopril 12.5 74,274,254 48.7 Ibuprofen 200 66,938,570 40,5 59,068,276 118.4 2) dana kapitasi yang diterima dari BPJS Kesehatan (maksimal 40% untuk biaya
Amlodipin 5
28 Metformin 500 59,531,274 30.9 Na diklofenak 50 66,357,803 46,1 53,869,006 81.2 operasional, salah satunya untuk belanja kebutuhan obat) dan 3) dana bersumber APBD
Zinc dispersible 20
29 Ibuprofen 200 58,715,014 27.1 Kloramfenikol 250 65,872,195 8.7 53,705,400 120.3 dari kabupaten yang mampu secara fiskal dapat mengalokasikan lebih banyak untuk
Na diklofenak 50
30 Kloramfenikol 250 58,288,240 9.6 Retinol 200.000 IU 65,330,744 92.7 52,976,079 96.4
biaya kesehatan di daerahnya termasuk obat. Sedangkan obat-obatan program vertikal
Ibuprofen 200 oleh Kemenkes (APBN), seperti untukTuberculosis (TB), HIV, malaria, filiariasis, kesehatan
31 Retinol 200.000 IU 55,687,318 35.7 Metronidazol 500 62,478,870 35.7 47,942,020 107.2
Sefadroksil 500 Ibu dan anak, disediakan oleh pemerintah pusat. Sementara untuk faskes dasar swasta,
32 Efedrin 25 54,166,309 ~0 Alopurinol 100 56,405,466 56.0 46,106,215 95.2
Amlodipin 10 sumber pembiayaan obat berasal dari dana kapitasi dan APBN yaitu untuk obat program
33 Tetrasiklin 250 53,824,149 24.0 Tetrasiklin 250 54,893,254 12.9 45,759,538 67.1
Salbutamol 2 melalui Dinas Kesehatan.
34 Alopurinol 100 52,670,910 43.5 Glibenklamid 5 53,166,614 27.1 45,466,045 77.8
Garam Oralit I
35 Sefadroksil 500 50,677,807 25.5 Zinc dispersible 20 51,449,458 62.3 43,803,818 116.9
Simvastatin 10 Sumber pembiayaan obat untuk rumah sakit lebih bersifat mandiri, yaitu sumber utama
36 Metronidazol 500 48,974,046 42.4 Amlodipin 5 50,813,452 66.1 43,619,270 ~0
Glibenklamid 5
pendanaannya berasal dari BPJS Kesehatan melalui sistem Ina-CBGs untuk pelayanan
37 Glibenklamida 5 48,626,213 0.2 Salbutamol 2 48,954,808 51.5 43,432,508 119.8 JKN sedangkan untuk obat program vertikal disediakan dari Kemenkes (APBN). Melalui
Omeprasol 20
38 Piroksikam 10 45,837,515 1.2 Metilprednisolon 4 46,950,403 28.7 42,959,979 0.5 sistem Ina-CBGs, rumah sakit diberikan penggantian biaya pelayanan berdasarkan tarif
Kloramfenikol 250
Ina-CBGs yang ditetapkan untuk jenis diagnostik pelayanan yang dilakukan. Tarif tersebut
meliputi biaya pelayanan kesehatan dan juga biaya obat, dimana alokasi yang dilakukan
oleh rumah sakit kepada vendor tidak diatur oleh BPJS Kesehatan. Namun keleluasaan
ini seringkali menimbulkan risiko mismanagement oleh pihak rumah sakit dimana, jika
22 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 23

penggantian biaya kepada supplier obat ditunda atau tidak direncanakan dengan baik, Selain itu, salah satu faktor penentu pembiayaan obat adalah harga obat. Berdasarkan
dapat berakibat tunggakan yang menumpuk dan menimbulkan risiko finansial baik analisis harga obat sebelum dan sesudah JKN, di tahap awal era JKN pada umumnya
kepada rumah sakit dan penyedia obat tersebut. Dalam hal ini, sistem tersebut berakibat terjadi penurunan harga obat dibandingkan dengan harga DPHO 2013. Namun untuk obat
teralihnya risiko finansial dari BPJS Kesehatan kepada rumah sakit. Selain itu, belum dengan harga yang sudah sangat rendah seperti HCT 25mg pada obat kardiovaskuler,
adanya akses informasi mengenai besaran alokasi biaya obat oleh rumah sakit dari tarif mengalami kenaikan sebesar 300% (Gambar 12).
Ina-CBGs yang diberikan oleh BPJS kepada instansi lain seperti Kemenkes, sehingga
analisa mengenai manajemen pembiayaan tarif Ina-CBGs sulit dilakukan. Tunggakan
pembayaran rumah sakit kepada penyedia obat dikeluhkan oleh asosiasi perusahaan Gambar 12. Tren Harga Beberapa Obat Sebelum dan Sesudah JKN
farmasi kepada pemerintah pada pertengahan 2018 dengan besaran tunggakan yang
disinyalir mencapai sebesar Rp 3,5 triliun (Basith, 2018). Pembayaran klaim rumah sakit
mitra BPJS Kesehatan yang terlambat ini berpotensi mengganggu likuditas keuangan
dan berpengaruh terhadap pembayaran jasa pelayanan, pengadaan obat kepada supplier
(Hendarwan et al., 2018). Padahal, Perpres No.111 Tahun 2013 pasal 38 ayat 2 mengatur
bahwa pembayaran paling lambat dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada faskes dasar
tanggal 15 setiap bulannya dan kepada faskes rujukan 15 hari sejak dokumen klaim
lengkap diterima, jika tidak maka BPJS Kesehatan dapat terkena denda sebesar 1% dari
total klaim untuk setiap bulan keterlambatan pembayaran.

Pembiayaan untuk obat program rujuk balik bersumber dari BPJS Kesehatan berupa
klaim tersendiri dimana harga obat mengacu pada harga e-katalog. Penyakit kronis yang
termasuk dalam program rujuk balik ini adalah diabetes mellitus, hipertensi, jantung,
asma, PPOK, epilepsi, skizofren, stroke dan SLE. Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018a

Secara ringkas, skema pembiayaan obat adalah seperti tabel berikut ini: Untuk semua jenis sumber pembiayaan (obat program, DAK, klaim obat on CBGs/on
top, CBGs), maka total pembiayaan obat di era JKN naik sejak tahun 2014 hingga 2017
yaitu berturut-turut Rp 8,8 triliun, Rp12,5 triliun, Rp15,8 triliun dan Rp 20,2 triliun. Dari
Tabel 3. Skema Pembiayaan Obat analisis harga obat, peningkatan pembiayaan obat ini bukan disebabkan kenaikan harga
obat, melainkan dari peningkatan jumlah penduduk/kepesertaan serta peningkatan
Puskesmas Klinik/Dokter Praktik akses pelayanan kesehatan. Penggunaan obat generik juga relative besar di rumah sakit,
- Obat program (APBN) - Dana Kapitasi berkisar 60% sampai 64%, sehingga cukup mengendalikan biaya obat CBGs (Kementerian
FASKES DASAR - Obat PKD (DAK) - Obat program melalui Dinkes Kesehatan RI, 2018a).
- Biaya Operasional (Kapitasi) (APBN)
- Alat kontrasepsi (BKKBN) - Out-of-pocket
Beberapa tantangan yang timbul di lapangan sehubungan dengan puskesmas,
RS Pemerintah RS Swasta
berkaitan dengan peraturan mengenai penggunaan dana kapitasi serta status BLUD dari
- Pembayaran INA-CBG - Pembayaran INA-CBG
puskesmas. Sebelum diterbitkannya Permenkes No. 21 Tahun 2016 yang mengizinkan
- Pembayaran Non INA-CBG - Pembayaran Non INA-CBG
FASKES RUJUKAN penggunaan dana kapitasi untuk pembelian obat, terdapat dua regulasi yang
- Obat program TB & HIV (APBN) - Out-of-pocket
- Out-of-pocket bertentangan dan menimbulkan kerancuan, yaitu 1) Peraturan Presiden No.32 Tahun
2014 tentang pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi jaminan kesehatan nasional
- Sumber pembiayaan: BPJS pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah; yang kemudian
Kesehatan disusul oleh 2) Peraturan Menteri kesehatan No.19 Tahun 2014 tentang penggunaan dana
- Penyedia: Instalasi Farmasi
OBAT PROGRAM kapitasi jaminan kesehatan nasional untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya
Faskes Rujukan, Farmasi Faskes
RUJUK BALIK operasional pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah. Dari dua
Dasar, Apotek
- Klaim tersendiri & Harga Obat:
peraturan tersebut, puskesmas diberi pilihan oleh Pemda untuk memiliki status Badan
e-katalog Layanan Umum Daerah (BLUD), dimana jika status puskesmas berubah menjadi BLUD,
maka kapitasi akan diturunkan langsung ke puskesmas dan tidak lagi melalui kas daerah
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b dan konsekwensinya adalah puskesmas diberikan kewenangan untuk mengatur dana
kapitasi sesuai dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ini diperuntukan untuk
faskes dasar milik pemerintah (puskesmas) yang belum menerapkan pola pengelolaan
24 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 25

keuangan BLUD. Untuk penganggaran, Kepala puskesmas diminta menyampaikan Alokasi penyediaan vaksin regular menempati posisi terbesar dalam alokasi anggaran
rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN tahun berjalan yang mana mengacu penyediaan obat dan vaksin tahun 2015 dan 2016 yaitu berturut-turut sebesar 35% dan
pada jumlah peserta yang terdaftar di puskesmas dan besaran kapitasi JKN kepada 43% dari total alokasi anggaran penyediaan obat dan vaksin (Ditjen Kefarmasian dan
kepala SKPD dinas kesehatan. Sehingga Peraturan Presiden ini semakin jauh dari upaya Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b).
preventif dan promotif. Dengan memiliki status BLUD, puskesmas dapat menggunakan
dana sesuai dengan kebutuhan dan tidak tergantung dari dinas kesehatan, sehingga Selain vaksin regular, pemerintah juga menyediakan alokasi anggaran untuk vaksin
lebih fleksibel mengelola keuangan dan bisa lebih berkembang. Namun dengan BLUD, lain tertentu serta kebutuhan logistik imunisasi. Anggaran penyediaan vaksin regular
tambahan penghasilan yang selama ini diterima semua staf puskesmas dihapus. dan vaksin lainnya serta kebutuhan logistik untuk imunisasi tahun 2016 adalah sebagai
Selain itu, untuk mengelola dana sendiri dibutuhkan kompetensi yang sesuai, misalnya berikut:
bendahara pemegang keuangan harus mendapatkan pelatihan tertentu yang berkaitan
dengan penggunaan dana.
Tabel 4. Anggaran Penyediaan Vaksin Reguler dan Vaksin lainnya
3.1.4.3. Pembiayaan vaksin serta Kebutuhan Logistik untuk Imunisasi Tahun 2016
Sementara itu, dana pengadaan dan penyediaan vaksin di Indonesia bersumber dari
APBN Pusat yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan RI di bawah Direktorat Jenderal Penyediaan Obat dan Vaksin Pagu Anggaran (Rp)
Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Alokasi anggaran penyediaan vaksin reguler untuk
Vaksin Reguler 808.404.114.134
program imunisasi tahun 2012-2016 adalah sebagai berikut:
Vaksin Gaji dan Umroh 314.000.000.000

Vaksin Influenza 2.973.056.000


Gambar 13. Anggaran Penyediaan Vaksin Reguler untuk Program Imunisasi 2012-2016
Penyediaan Vaksin Yellow Fever 2.133.105.000

900.000.000.000 Penyediaan Obat dan Vaksin Hepatitis 90.000.000.000


800.000.000.000 Penyediaan Auto Disable Syringe (ADS) and Safety Box 188.027.203.178
700.000.000.000
600.000.000.000 Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b
Anggaran (Rp)

500.000.000.000
Alokasi dana untuk perbekalan kesehatan bersumber APBD harus lebih diperhatikan
400.000.000.000
kebutuhannya. Dari keseluruhan perencanaan pengadaan farmasi/obat-obatan, tidak
300.000.000.000 semua dapat terpenuhi dari APBD. Penerapan otonomi daerah pada tahun 2000
200.000.000.000 berdasarkan UU 22/1999, yang diperbaharui dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan
100.000.000.000 Daerah, mengakibatkan beberapa peran pemerintah pusat dialihkan kepada pemerintah
0
daerah sebagai urusan wajib dan tugas pembantuan, salah satunya adalah bidang
2012 2013 2014 2015 2016 pelayanan kesehatan. Hal ini mengakibatkan penyediaan dan atau pengelolaan
Pagu Anggaran (Rp) 565.000.000.0 512.912.590.0 461.571.216.0 511.730.655.0 808.404.114.1
anggaran untuk pengadaan obat esensial yang diperlukan masyarakat di sektor publik
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah yang sebelumnya merupakan tanggung
Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b
jawab pemerintah pusat. Namun pemerintah pusat masih mempunyai kewajiban
untuk penyediaan obat program kesehatan dan persediaan penyangga (bufferstock),
Anggaran penyediaan vaksin tahun 2013 dan 2014 sempat menurun dibandingkan tahun
serta menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat. Pelaksanaan otonomi daerah telah
2012 kemudian meningkat kembali pada tahun 2015 menjadi Rp 511.730.655.000 dan
membawa perubahan mendasar yang perlu dicermati agar ketersediaan obat esensial
Rp 808.404.114.134 pada tahun 2016. Perhitungan anggaran kebutuhan vaksin meningkat
bagi masyarakat tetap terjamin untuk daerah-daerah terpencil, perbatasan, kepulauan
karena peningkatan perencanaan secara umum di dinas kesehatan kabupaten dan provinsi.
dan daerah rawan bencana, perlu dikembangkan sistem pengelolaan obat secara khusus
Perencanaan vaksin di dinas kesehatan kabupaten dihitung dengan menggunakan dasar
berdasarkan SK Menkes no.189/Menkes/SK/III/2006 (Kementerian Kesehatan RI, 2006).
estimasi untuk kebutuhan tahunan. Estimasi ini juga memperhitungkan stok cadangan,
misalnya di dinas kesehatan kabupaten untuk stok dua bulan dan juga memperhitungkan
kebutuhan vaksin untuk rumah sakit.
26 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 27

3.1.5. Pengadaan Tabel 5. Obat yang Dilaporkan Stock-out di Puskesmas, 2016

Penggunaan e-katalog untuk pengadaan obat JKN diatur oleh Peraturan Presiden
No. Item Obat Sediaan Tahun
(Perpres) No.4 / 2015 tentang Perubahan Keempat dari Perpres No.54 / 2010 tentang
1 Antibacterial DOEN Combination 5g Salep 2016
Pengadaan Barang / Layanan dan Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 167/2014.
2 Antifungi DOEN Combination 30g Salep 2016
Pengadaan menggunakan sistem e-katalog dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan
3 Aqua destilata 1.000 mL Cairan 2016
dan pemerataan obat yang aman, berkhasiat, berkualitas di fasilitas kesehatan secara 4 Phenylbutazone 200mg Tablet 2015 hingga 2016
transparan, efektif, efisien, dan akuntabel. Sementara itu, proses persiapan e-katalog 5 Glucose 5% Infus steril Tidak dipesan
didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.523 / 2015 yang telah 6 Supra Livron Tablet salut gula 2016
ditingkatkan dengan Kepmenkes No.137 / 2016 tentang Formularium Nasional (Fornas) 7 Iron [II] sulfate 300mg Tablet 2016
dan terakhir dengan Kepmenkes No HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang Formularium 8 Thiamphenicol 500mg Kapsul 2016
Nasional. 9 Phenobarbital 30mg Tablet 2016
10 Folic acid 0.4mg; 1mg; 5 mg Tablet -
11 Trihexylphenidyl HCl 2mg Tablet 2016
Penggunaan Fornas yang memprioritaskan obat generik (OGB) sebagai referensi untuk
resep dalam sistem JKN adalah bagian penting dari strategi dalam pengendalian biaya
Sumber: (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b)
perawatan kesehatan. Pembatasan jenis dan jumlah obat yang diganti menggunakan
formularium, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai penelitian oleh WHO dan HAI Global,
cukup efektif untuk mengendalikan pengeluaran obat dan penggunaan obat yang tidak Kejadian stock-out juga dialami beberapa rumah sakit di tahun 2016, terutama di wilayah
hemat biaya (Faden, Vialle-Valentin, Ross-Degnan, & Wagner, 2011). Obat-obatan yang Indonesia bagian timur, seperti Papua. Hal ini menunjukkan faktor geografis wilayah
tercantum dalam formularium, termasuk Fornas, diperbarui secara berkala. Dikarenakan juga berpengaruh terhadap kejadian stock-out. Wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi
harus digunakan oleh faskes, semua item obat yang terdaftar di Fornas semuanya harus Tenggara, diketahui hanya memiliki jumlah kabupaten/kota yang sedikit yang jarak satu
ada di e-katalog. Faktanya, di tahun 2016, hanya 74,9% dari obat-obatan yang terdaftar sama lainnya berjauhan, serta dengan populasi yang kecil, yang menyebabkan faskes
di Fornas dimasukkan dalam e-katalog, antara lain, ada item obat yang izin edarnya hanya akan memesan obat dalam volume sedikit. Selain itu sarana transportasi juga
telah kadaluwarsa. Penyebab umum lainnya untuk item obat tidak dapat membuatnya kurang mendukung yang menyebabkan biaya distribusi obat juga tinggi.
menjadi e-katalog adalah HPS yang terlalu rendah bagi perusahaan farmasi mana pun
untuk mengajukan penawaran.
Tabel 6. Obat yang Dilaporkan Stock-out di Rumah Sakit, 2016
Obat-obatan non-e-katalog harus dibeli dengan pembelian reguler, dan biasanya dengan
harga lebih mahal. Di antara obat-obatan non-e-katalog adalah piracetam dan beberapa No. Item Obat Jawa Barat Sumbar Kalsel Sultra Papua Barat
nootropic lainnya sering diresepkan oleh ahli saraf tetapi tidak terdaftar dalam Fornas 1 Furisemide √ √ √
dan tidak ada bukti ilmiah yang cukup untuk khasiat mereka. Untuk obat-obatan e-katalog 2 Cextriaxon √ √ √
yang pesanannya tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan farmasi yang menang tender 3 Phenobarbital √ √
atau distributornya, pengadaan juga harus dilakukan dengan pembelian reguler, dengan 4 Trihexylphenidyl √ √

harga yang lebih mahal. Harus dicatat bahwa klaim obat yang tidak ada dalam e-katalog 5 Oxitocin √
6 Tramadol √
tidak dapat diterima oleh BPJS Kesehatan, dan bahkan jika item obat tersedia di pasar
7 Carbamazepine √
dengan harga reguler, fasilitas kesehatan tidak akan mendapatkan penggantian. √
8 Phenytoin

9 Cefotaxim √
HPS yang terlalu rendah [sehingga perusahaan farmasi tidak mengikuti tender] atau, 10 Ringer lactate √
sebaliknya, terlalu tinggi [sehingga membuat faskes harus membayar harga lebih tinggi], 11 Antalgin √
adalah masalah yang belum diselesaikan dalam sistem pengadaan obat JKN. HPS dari 12 Amoxicillin √
item obat antara lain ditentukan oleh RKO-nya, di samping harga item obat di tahun 13 Clindamycin √
sebelumnya dan informasi harga yang relevan lainnya. 14 Mefenamic acid √
15 Acetosal √
16 Bicarbonate / activated
Tercatat beberapa obat yang stock-out di tahun 2016 atau sebelumnya yang sebagian charcoal

besar bukan karena manajemen persediaan yang buruk di puskesmas, tetapi kurangnya
pasokan obat di Dinas Kesehatan karena industri farmasi tidak dapat memenuhi e-order.
Sumber: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b
Beberapa item obat yang mengalami stock-out disajikan pada tabel di bawah ini.
28 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 29

3.1.6. Pemasok Penelitian oleh Yuniar (2017) menunjukkan bahwa sebagian besar dinkes provinsi
mengirimkan vaksin ke dinkes kabupaten/kota tetapi dari kabupaten/kota ke puskesmas
Walaupun pemerintah berupaya untuk menyediakan produk farmasi yang terjangkau hampir semuanya diambil langsung oleh petugas puskesmas. Sistem distribusi obat
melalui sistem e-katalog, namun penelitian oleh Hendarwan et al. (2018) menunjukkan dari dinkes kabupaten/kota ke puskesmas bervariasi antara dinkes mengirimkan ke
bahwa beberapa RSUD masih mengalami kekosongan obat dan lead time yang terlalu puskemas, atau puskemas mengambil serta ada yang kombinasi antara keduanya.
panjang. LKPP sebagai lembaga yang berwenang dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah dapat memberlakukan sanksi terhadap penyedia obat yang wanprestasi Permasalahan lain terkait one gate policy ini adalah adanya obat yang dijual jauh lebih
sebagaimana diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa mahal dibandingkan harga referensi Internasionalnya, misalnya obat Antiretroviral
Pemerintah, namun jika pemenang dari proses tender adalah single-winner dengan harga (ARV) jenis kombinasi Tenofovir, Lamivudin dan Efavirenz (TLE), yang dijual di Indonesia
yang diprioritaskan rendah, maka akan timbul disinsentif bagi LKPP untuk menerapkan oleh Kimia Farma ke Pemerintah seharga Rp 404.350, sedangkan di pasar Internasional
sanksi tersebut. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya tingkat kepatuhan penyedia obat di level harganya hanya US$ 8 atau sekitar Rp 112.000. Selisih harga berlipat ini mengakibatkan
provinsi dan kabupaten/kota. berwenang untuk terdapat LKPP belum diberlakukannya pemborosan negara hingga Rp 210 miliar per tahun, yang sebenarnya uang sejumlah
sanksi atas penyedia obat yang wanprestasi oleh LKPP meskipun sanksi telah diatur ini dapat digunakan untuk menambah akses 150.000-200.000 pasien ODHA yang
dalam Perka LKPP. Masalah dalam performa supplier tersebut membuat faskes harus membutuhkan obat TLE tersebut. Obat TLE ini diproduksi oleh perusahaan farmasi India
mencari obat pengganti dengan harga yang setara dengan harga e-katalog, dan ini yang dipasarkan ke Indonesia oleh Kima Farma. PT Kimia Farma ini merupakan satu-
membuat total biaya pengadaan obat yang diperlukan menjadi lebih besar. satunya distributor obat ARV di Indonesia, sejak 2004, hingga masuknya PT Indofarma
Global Medika di pasaran serupa mulai Juli 2018. Diperlukan transparansi dalam hal
Pemerintah juga menetapkan bahwa hanya ada satu pemasok yang dapat menang pengadaan obat melalui one gate policy ini agar tidak terjadi monopoli yang merugikan
tender untuk satu jenis obat dalam e-katalog, untuk setiap provinsi. Namun hal ini negara.
dapat menimbulkan masalah ketika pemenang tender tersebut tidak memenuhi
jumlah kebutuhan obat seperti yang telah disepakati. Hal ini dapat di atasi dengan Terkait pendisribusian obat, Kepala Badan POM mengeluarkan peraturan nomor
memperbolehkan adanya multi-supplier dan multi-year sebagaimana contoh best HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik
practices secara internasional (Hendarwan et al., 2018). Sejak tahun 2018 kategori (CDOB). Berdasarkan studi KPK (2017), belum semua Pedagang Besar Farmasi (PBF)
multiwinner sudah diperluas penerapannya ke jenis obat lainnya, setelah sebelumnya memiliki sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Hanya sekitar 304 PBF yang
hanya untuk obat sitotoksik. Demikian juga dengan penetapan multiyear, per tahun 2018 memiliki sertifikat CDOB dari sekitar 2000 PBF (pusat dan cabang) yang terdaftar atau
kontrak berlaku untuk 2 tahun sehingga RKO juga disusun untuk rencana tahun 2018- hanya 15% saja yang memiliki sertifikat CDOB.
2019.
3.1.7.2. Lead time
3.1.7. Distribusi Periode pengiriman obat secara e-purchasing seringkali lebih lama dari waktu yang
ditetapkan (2 minggu - 90 hari kerja sesuai kontrak) dan bervariasi (Tabel 7), misalnya 1 –
3.1.7.1. One gate policy 8 bulan untuk Jayapura, 6 – 7 bulan di Manado dan Jawa Barat yang bisa sampai dengan
Pemerintah menetapkan suatu kebijakan satu pintu (one gate policy) untuk tahap 1 tahun. Sedangkan untuk vaksin pada umumnya lebih cepat sampai karena sebagian
distribusi serta pengadaaan dan anggaran obat dan vaksin melalui pembentukan unit besar diambil langsung oleh dinkes kabupaten/kota ke provinsi (Yuniar, 2017). Waktu
pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan atau Instalasi Farmasi. Dari 11 provinsi lead time yang panjang tersebut seringkali berakibat obat yang diterima dalam keadaan
yang diteliti dalam studi Badan Litbangkes (Yuniar, 2017) hanya empat provinsi yang cacat, dan sudah dekat waktu kadaluwarsa (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
sudah melaksanakan kebijakan satu pintu, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, NTB dan Kemiskinan (TNP2K), 2018b).
Kalsel, ditambah beberapa kabupaten/kota di Papua dan Maluku Utara. Permasalahan
dalam pelaksanaan one gate policy tersebut antara lain bahwa proses tersebut dapat
memperpanjang proses birokrasi, sehingga berdampak pada tertundanya pelaksanaan
proses pelayanan kesehatan seperti misalnya imunisasi. Kemudian kebijkan tersebut
belum disertai dengan pemenuhan sarana dan prasarana pendukung, gudang farmasi
masih terbatas sehingga beberapa obat-obatan dititipkan pada gudang-gudang
penyedia (proses penyimpanan tidak efektif atau tidak sesuai dengan tata kelola yang
standar). Keterbatasan lainnya dari segi sumber daya manusia (khusus yang menangani
proses pengadaan) di tingkat pusat terbatas sehinga mempengaruhi lambatnya proses
pengadaan berdampak terhadap ketersediaan obat dan vaksin.
30 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 31

Tabel 7. Waktu Tunggu Obat di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota 3.1.7.3. Biaya distribusi
Pada dasarnya biaya distribusi obat dan vaksin sampai dengan puskesmas sudah
Provinsi/
Durasi antara pemesanan sampai obat diterima dialokasikan oleh Kemenkes, kepada dinkes kabupaten/kota, dimana harga yang
Kabupaten/Kota
tertera dalam e-katalog sudah termasuk biaya distribusi sampai dengan kabupaten/
Jawa Barat Bisa sampai 1 tahun kota dan kemudian masing-masing Dinkes kabupaten/kota menerima alokasi dana
Kota Bandung 30-90 hari, ada yang tidak datang dari pemerintah pusat melalui DAK non-fisik untuk melakukan distribusi obat sampai
Kab. Garut 1-2 bulan, atau sampai akhir tahun ke puskesmas. Alokasi biaya distribusi sampai ke puskesmas, walaupun memasukkkan
Kab. Bogor Rata-rata 90 hari kondisi geografis dan frekuensi pengiriman, seringkali tidak mencapai nilai riil di
Jawa Timur 57-218 hari untuk e-purchasing, pembelian langsung 21-30 hari lapangan, terutama untuk daerah yang sulit dan terpencil, ataupun tidak memasukkkan
Kota Surabaya 3-6 bulan untuk e-purchasing, pembelian langsung 1-2 bulan semua komponen misalnya seperti biaya bongkar muat (Yuniar, 2017). Idealnya, dinkes
Kab. Trenggalek Paling lama 4 bulan kabupaten/kota dapat mengatur dana lain yang dimiliki untuk distribusi obat. Dana lain
Kab. Bondowoso 60-90 hari, maksimal 120 hari tersebut bisa berasal dari dana kapitasi maupun dana APBD jika pemerintahan daerah
NTB 2 minggu setempat mempunyai alokasi fiskal yang cukup. Namun pada kenyataannya, sosialisasi
Kota Mataram
1-3 bulan, pada 2016 lebih lama yaitu 6-9 bulan, untuk lelang 90 penggunaan dana kapitasi belum meluas juga adanya juknis mengenai dana DAK non-
hari, pembelian langsung 45 hari
fisik dari pemerintah pusat yang tidak memperolehkan realokasi anggaran yang sudah
Kab. Lombok Timur Tahun 2016 lama, 2017 hanya 1-2 bulan
ditetapkan.
Sumsel Paling cepat 3 bulan
Kota Palembang Sebulan atau lebih, untuk non e-katalog lebih cepat 3.1.7.4. Manajemen kualitas vaksin
Kab. Muratara 90 hari Terkait dengan penyimpanan vaksin, dibutuhkan perhatian khusus karena vaksin
Kab. OKI 3-4 bulan merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan.
Kota Banda Aceh Bisa sampai setahun Pada umumnya vaksin disimpan pada suhu 2 – 8° C dan tidak membeku. Sejumlah
Kota Sabang 2-6 bulan, bahkan lebih vaksin (DPT, Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif dalam keadaan beku. Vaksin
Kab. Aceh Singkil 2 minggu- 2bulan bahkan lebih yang disimpan atau diangkut secara tidak benar juga akan kehilangan potensinya, untuk
Sulut 30-180 hari kerja itu perlu disertakan brosur/informasi produknya. Berdasarkan Permenkes No. 12 Tahun
Kota Manado 6-7 bulan 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi, sarana penyimpanan vaksin di setiap tingkat
Kab. Bolaang Mong 5 bulan administrasi akan berbeda. Di tingkat pusat, sarana penyimpan vaksin adalah kamar
Kab. Kep Talaud 2-3 bulan sampai tidak datang, untuk lelang 10 hari-1 bulan dingin/cold room. Ruangan ini seluruh dindingnya diisolasi untuk menghindarkan panas
Sulsel 5 bulan masuk ke dalam ruangan. Ada 2 kamar dingin yaitu dengan suhu 2oC sampai dengan
Kota Makassar 3 bulan 8oC dan suhu -20oC sampai dengan -25oC. Sarana ini dilengkapi dengan generator
Kab. Jeneponto 3-6 bulan, pembelian langsung sekitar 3 bulan cadangan untuk menjaga apabila aliran listrik mati. Di tingkat provinsi: Coldroom, freeze
Kab. Selayar 1-8 bulan room, Vaccine Refrigerator dan freezer. Di tingkat Kabupaten/kota: Coldroom, Vaccine
Kalsel 1 bulan Refrigerator dan freezer sedangkan di puskesmas cukup Vaccine Refrigerator.
Kota Banjarmasin ½ bulan sampai tidak datang, rata-rata 3 bulan, untuk lelang 2 bulan
Kab. Hulu Sungai Utara 6 bulan
Berdasarkan aspek SDM, sistem prosedur, peralatan rantai dingin dan pengiriman,
lokasi penyimpanan kulkas/refrigerator dan pencatatan suhu di lapangan, ditemukan
Kab. Tanah Bumbu 60-90 hari kerja
oleh studi (Yuniar, 2017) dapat disimpulkan bahwa masalah utama rantai dingin lebih
Kota Palangkaraya 3-4 bulan, rata-rata 1 bulan
pada aspek persyaratan dan ketersediaan peralatan rantai dingin dan pengiriman serta
Kab. Gunung Mas 1-5 bulan
pencatatan suhu. Salah satu permasalahan pada peralatan adalah tidak adanya catatan
Kab. Seruyan Sekitar 4 bulan, untuk pembelian langsung kurang dari 3 bulan
kalibrasi alat dan pada pencatatan suhu sering tidak ditandatangani atau tidak direviu.
Maluku Utara Untuk pembelian langsung hanya 2-3 minggu
Untuk pengelolaan rantai dingin di puskesmas umumnya lebih baik daripada rumah
Kota Ternate 90 hari
sakit dan klinik terutama dari jenis alat yang digunakan untuk penyimpanan dan tidak
Kota Tidore 3 bulan
adanya dokumen sistem dan prosedur standar yang dijadikan acuan. Pengelolaan rantai
Kab. Morotai 4-5 bulan
dingin di daerah barat Indonesia juga umumnya lebih baik dibandingkan di daerah timur
Kota Jayapura 1-8 bulan
(Yuniar, 2017).
Kab. Mimika 1-8 bulan, rata-rata 3 bulan
Kab. Merauke 1 bulan paling cepat, paling lama sampai Desember

Sumber: (Yuniar, 2017)


32 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 33

Gambar 14. Pelaksanaan Manajemen Rantai Dingin Berdasarkan Jenis Faskes fasilitas kesehatan swasta. Ketersediaan vaksin juga masih belum efektif dan efisien
sesuai ketentuan. Hal ini terbukti dari masih adanya fasilitas yang memiliki vaksin dalam
jumlah yang berlebih (Susyanty, Sasanti, Syaripuddin, & Yuniar, 2014).

Jumlah petugas pengelola vaksin masih kurang, beberapa dinas kesehatan kabupaten/
kota hanya memiliki satu pengelola Program Imunisasi yang merangkap sebagai
pengelola vaksin, begitu juga dengan beberapa puskesmas yang hanya memiliki satu
pengelola program imunisasi yang merangkap pengelola vaksin dan juru imunisasi.
Sementara dalam pedoman penyelenggaraan imunisasi dibutuhkan minimal dua
tenaga pelaksana. Pengetahuan pengelola vaksin di puskesmas masih kurang, terutama
dalam hal pengenalan vaksin dan pengenalan rantai vaksin. Pengelola vaksin di Dinkes
Provinsi sudah mendapatkan pelatihan, namun pengelola vaksin Dinkes Kabupaten/
Kota dan puskesmas belum semua mendapat pelatihan. Pengetahuan pengelola vaksin
di puskesmas masih kurang, terutama dalam hal pengenalan vaksin dan pengenalan
Coldchain (Yadav, Tata, & Babaley, 2011).

Pada umumnya pengelolaan rantai dingin vaksin di tingkat provinsi sudah lebih baik
dibandingkan tingkat kab/kota dan puskesmas. Hal ini terlihat dari hasil kualitas vaksin
Sumber: Yuniar, 2017 yang ditunjukkan oleh VVM, yaitu dari provinsi ke kabupaten/kota terlihat penurunan
VVM dari persentase VVM A menurun ke VVM B dan VVM C. Penurunan kondisi VVM
terutama terjadi pada vaksin polio oral yang memang sensitif panas. Hasil uji potensi
Gambar 15. Pelaksanaan Manajemen Rantai Dingin di Seluruh Faskes vaksin pentabio dan polio oral menunjukkan bahwa potensi vaksin pertusis dan polio
Berdasarkan Regionalisasi masih memenuhi syarat di semua lokasi sampel penelitian baik di fasilitas pemerintah
(dinkes, rumah sakit dan puskesmas) maupun fasilitas swasta (rumah sakit swasta dan
klinik), dengan catatan sampel yang diambil memiliki kondisi VVM A atau B. Dengan
demikian dapat disimpulkan dari hasil uji potensi tersebut bahwa meskipun ada
perbedaan pengelolaan rantai dingin namun secara umum tidak mempengaruhi potensi
vaksin, kualitas vaksin secara biologis masih terjamin (Yuniar, 2017).

Gambar 16. Kondisi VVM pada Berbagai Tingkat

Sumber: Yuniar, 2017

Tiga dari enam Dinkes Kab/Kota dan 8 dari 18 puskesmas yang di observasi tidak memiliki
freeze tag. Sepuluh dari delapan belas puskesmas tidak memiliki genset, padahal empat
puskesmas di antaranya tidak memiliki pasokan listrik 24 jam dari PLN. Distribusi vaksin
juga masih bermasalah, hal ini terlihat dari persediaan yang tidak merata dalam satu
provinsi (Susyanty, Supardi, Herman, & Lestary, 2014). Penelitian mengenai vaksin tahun
2012 menunjukkan bahwa pengelolaan vaksin di institusi pemerintah masih mengalami
Sumber: Yuniar, 2017
beberapa kendala dalam penanganan rantai dingin dan masalah ini lebih terlihat di
34 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 35

3.1.8. Penggunaan Pelayanan Kefarmasian Gambar 18. Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian
sesuai standar (2017 Data Triwulan II)
3.1.8.1. Pelayanan kefarmasian sesuai standar
Pelayanan kefarmasian dilakukan pada unit pelayanan kefarmasian di berbagai fasilitas
kesehatan seperti pada instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, dan apotek. Pelayanan
kefarmasian meliputi dua kegiatan yaitu yang bersifat manajerial berupa pengelolaan
sediaan farmasi dan kegiatan pelayanan farmasi klinik yang berhubungan dengan
masyarakat. Kedua kegiatan ini perlu didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan
peralatan yang memadai dalam rangka mencapai tujuan terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping obat. Hingga 2018 triwulan pertama, puskesmas yang
melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar baru mencapai 50%, dan pelayanan
kefarmasian di rumah sakit yang sesuai standar juga baru 57,63%.

Gambar 17. Acuan pelayanan kefarmasian yang sesuai standar


Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b

Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa pencapaian pelayanan kefarmasian belum
merata antar provinsi (Gambar 19). Dari data 34 provinsi, 52,9% masih di bawah rerata
nasional untuk tahun 2015 (capaian 40%) dan pada tahun 2016, 47,1% yang masih berada
di bawah rerata nasional (capaian 45,4%).

Gambar 19. Capaian Indikator Persentase Puskesmas yang melaksanakan Pelayanan


Kefarmasian sesuai standar, 2015 – 2016

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b

Laporan dari Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan tahun 2017
menunjukkan bahwa persentase rumah sakit yang melaksanakan pelayanan kefarmasian
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016
sesuai standar mencapai 56,80% (target 55%), namun target 50% pada tingkat puskesmas
belum tercapai karena baru mencapai 45,74%.
36 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 37

Beberapa permasalahan di lapangan yang disampaikan dalam laporan tersebut, antara Kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat
lain adalah: 1) pengelola obat di puskesmas bukan apoteker atau tenaga teknis kefarmasian inap dibutuhkan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien, sedangkan di rawat jalan dibutuhkan
(TTK); 2) pembinaan dari Kemenkes mengenai standar pelayanan kefarmasian di rasio 1 apoteker untuk 50 pasien. Hasil perhitungan penelitian menunjukkan bahwa
puskesmas belum merata; 3) walaupun tenaga farmasi di puskesmas sudah melakukan standar jumlah tenaga kefarmasian yang dibutuhkan dalam pelayanan RS, puskesmas,
pelayanan kefarmasian, namun pencatatan masih belum rutin dilakukan. dan apotik masih belum terpenuhi pada ketiga fasilitas kesehatan tersebut terutama di
puskesmas dimana kurang dari 17% puskesmas yang diteliti memenuhi standar jumlah
Selain itu hasil dari Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) tahun 2016 ketenagaan kefarmasian.
untuk indikator pelayanan kefarmasian sesuai standar di puskesmas dengan definisi
operasional pelayanan informasi obat, konseling, gabungan keduanya atau salah satunya
menunjukkan bahwa persentase puskesmas yang melaksanakan masih rendah. Tabel 8. Pelayanan Farmasi Klinik yang Dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian
di Rumah Sakit, Puskesmas dan Apotik

Gambar 20. Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian Dilakukan oleh tenaga kefarmasian
sesuai standar PELAYANAN FARMASI KLINIK
% RS % Apotik % Puskesmas

1 Pengkajian dan pelayanan Resep 95.3 76.2 42.4

2 Rekonsiliasi Obat 60.5

3 Pelayanan Informasi Obat (PIO) 88.4 95.2 40.9

4 Konseling 74.4 85.7 30.3

5 Visite 60.5

6 Pemantauan Terapi Obat (PTO) 37.2 47.6 12.1

7 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) 44.2 13.6

8 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) 44.2 19.7

9 Dispensing sediaan steril 25.6

10 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah 4.7

11 Home care 47.6

Catatan: Baseline 2014 = 30%. Target capaian 2015 = 40%. Sirkesnas 2016 = 19.8% (PIO & 12 Swamedikasi 90.5
Konseling); 46.1% (PIO atau Konseling)
13 Pencatatan Patient Medical Record 52.4

Sumber: Sirkesnas 2016 Sumber: Yuniar, 2017

Hasil penelitian Badan Litbangkes (Yuniar, 2017) menunjukkan variasi yang besar dalam Praktik farmasi klinik dan keselamatan pasien masih sangat terbatas karena alasan
implementasi standar pelayanan kefarmasian; dimana pelayanan farmasi klinik di RS sumber daya manusia dan dokumentasi yang belum memadai, dimana informasi obat
berkisar 4,7 – 95,3% dan yang kurang terutama dalam hal pemantauan kadar obat dalam dan konseling terkadang dilakukan tanpa fasilitas yang cukup juga apoteker terlibat
darah; di puskesmas berkisar 4,5 – 42,4% dan yang kurang terutama dalam hal PTO serta dalam berbagai tim di rumah sakit seperti penanggulangan infeksi nosokomial serta
di apotik berkisar 47,6 – 95,2% dan yang kurang dalam hal PTO dan homecare. Analisis komite farmasi dan terapi (Yuniar, 2017).
hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan hanya 35,8% puskesmas melakukan pemberian
informasi obat yang terdokumentasi dan 30,3% puskesmas melakukan konseling. Permasalahan yang terjadi dalam penempatan apoteker di puskesmas antara lain:
1) Dinkes kabupaten/kota mengetahui persyaratan adanya apoteker di puskesmas,
Standar jumlah tenaga kefarmasian yang dibutuhkan dalam pelayanan RS, puskesmas namun dalam perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, tenaga apoteker masih belum
dan apotik mengindikasikan masih kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di ketiga diprioritaskan; 2) pengusulan kebutuhan tenaga kesehatan oleh Dinkes kabupaten/kota
fasilitas kesehatan tersebut. belum didasarkan atas perhitungan beban kerja sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangan; 3) Jumlah belanja pegawai dalam DAU sudah cukup besar, sehingga
38 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 39

formasi yang disetujui oleh BKN terbatas, dengan formasi yang terbatas, penempatan farmasi yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanan Obat
tenaga kesehatan tidak berdasarkan kompetensinya; dan 4) kurangnya pelatihan akibat PRB. Jika peserta masih memiliki obat PRB, maka peserta tersebut tidak boleh dirujuk
keterbatasan anggaran. ke faskes rujukan, kecuali terdapat keadaan emergency atau kegawatdaruratan yang
menyebabkan pasien harus konsultasi ke faskes rujukan (BPJS Kesehatan, 2014).
Hasil survei Rifaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 17,5% puskesmas di
Indonesia yang memiliki apoteker sedangkan 32,2% puskesmas tidak memiliki tenaga 3.1.9. Penghapusan
kefarmasian sama sekali. Variasi ketersediaan tenaga kefarmasian antar puskesmas
terjadi pada lokasi puskesmas, jenis puskesmas, keterpencilan wilayah dan status Penghapusan adalah rangkaian kegiatan pemusnahan sediaan farmasi dalam rangka
kepegawaian tenaga kefarmasian. pembebasan barang milik/kekayaan negara dari tanggung jawab berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Tujuan penghapusan sediaan farmasi adalah 1) bentuk
pertanggungjawaban petugas terhadap sediaan farmasi/obat-obatan yang dikelolanya,
Tabel 9. Kecukupan Jumlah Tenaga Kefarmasian di Rumah Sakit, Puskesmas dan Apotik yang sudah ditetapkan untuk dihapuskan/dimusnahkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, 2) menghidarkan pembiayaan (biaya penyimpanan, pemeliharaan, penjagaan
RUMAH SAKIT APOTIK Puskesmas dan lain-lain) atau barang yang sudah tidak layak untuk dipelihara, 3) menjaga keselamatan
KRITERIA
(n = 43) (n = 21) (n = 66) dan terhindar dari pengotoran lingkungan (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Jumlah apoteker 383 39 35
Pada siklus manajemen logistik obat, penghapusan dilakukan jika terdapat obat
Jumlah tenaga teknis kefarmasian 881 91 95 rusak ataupun kadaluwarsa. Terjadinya obat rusak dan kadaluwarsa mencerminkan
Jumlah total tenaga kefarmasian 1264 130 130 kurang baiknya pengelolaan obat. Nilai obat rusak dan kadaluwarsa yang ada di Unit
Pengelola Obat Publik baik di Kabupaten maupun puskesmas dicantumkan dalam
% Faskes dengan tenaga kefarmasian
69.8% 66.7% 16.7% Laporan Persediaan Barang sebagai bahan penyusunan Laporan Keuangan Daerah.
cukup
Nilai persediaan obat rusak dan kadaluwarsa di dalam pelaporan menggunakan nilai
Sumber: Yuniar, 2017 perolehan terakhir sehingga dengan harga obat yang terus naik setiap tahunnya, nilai
obat rusak dan kadaluwarsa menjadi lebih tinggi dari nilai perolehannya (Widiasih,
Zahrulfa, Rustamaji, & Suryawati, 2018).

3.1.8.2. Pelayanan obat Program Rujuk Balik (PRB)


3.1.10. Monitoring dan Evaluasi
Program rujuk balik merupakan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita
penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan
Pemerintah telah mengeluarkan Permenkes Nomor 33 Tahun 2017 tentang Monitoring
keperawatan jangka panjang yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama
dan Evaluasi Terhadap Perencanaan, Pengadaan Berdasarkan Katalog Elektronik dan
atas rekomendasi/rujukan dari dokter spesialis/sub-spesialis yang merawat. Fasilitas
Pemakaian Obat. E-monev ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan monitoring
kesehatan rujukan tingkat lanjutan memberikan surat rujuk balik (SRB) kepada peserta
dan evaluasi secara efektif dan efisien terhadap kegiatan perencanaan obat, pengadaan
guna meneruskan pemeriksaan dan pengobatan hingga kondisi terkontrol dan stabil.
obat berdasarkan katalog elektronik dan pemakaian obat yang dilaksanakan oleh
Jenis penyakit yang termasuk Program Rujuk Balik adalah diabetes mellitus, hipertensi,
institusi pemerintah dan swasta. E-monev ini juga dilakukan terhadap pengadaan obat
jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), epilepsi, schizophrenia, stroke
berdasarkan katalog elektronik yang dilaksanakan secara manual. Pelaksanaannya
dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
adalah secara daring melalui aplikasi pada alamat situs web www.monevkatalogobat.
kemkes.go.id.
Pada awal pelaksanaan JKN, pemberian obat bagi penderita penyakit kronis dibatasi
untuk 3 – 7 hari dan harus diambil di rumah sakit melalui mekanisme rujukan dari fasilitas
Bagi faskes pemerintah dan swasta (Dinas Kesehatan, faskes dasar, faskes rujukan,
kesehatan primer. Hal ini mengakibatkan pasien harus bolak balik mengantri dan seringkali
apotek PRB) maka diminta untuk mengisi beberapa data dalam aplikasi e-monev yaitu
tidak tuntas menghabiskan obat. Saat ini obat PRB dapat diberikan untuk kebutuhan
data perencanaan obat, realisasi penerimaan, realisasi pembayaran dan pemakaian
maksimal 30 hari setiap kali peresepan dan harus sesuai dengan Daftar Obat Formularium
obat. Untuk industri farmasi dan PBF/distributor diminta untuk meng-input data realisasi
Nasional untuk Program Rujuk Balik serta ketentuan lain yang berlaku. Perubahan/
pendistribusian obat. Namun demikian, belum ada studi yang mengevaluasi pelaksanaan
penggantian obat program rujuk balik hanya dapat dilakukan oleh Dokter Spesialis/sub
e-monev yang sudah masuk tahun kedua pelaksanaannya.
spesialis yang memeriksa di faskes rujukan. Dokter di faskes dasar melanjutkan resep
yang ditulis oleh Dokter Spesialis/sub-spesialis dan tidak berhak mengubah resep obat
PRB. Dalam kondisi tertentu Dokter di Faskes dasar dapat melakukan penyesuaian dosis
obat sesuai dengan batas kewenangannya. Obat PRB dapat diperoleh di Apotek/depo
40 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 41

Gambar 21. Tampilan Aplikasi E-Monev Obat Setahun sebelumnya yaitu tahun 2015 dalam Operasi Pangea, ditemukan berbagai
contact lens palsu. Kegiatan Operasi PANGEA VII dilaksanakan bersama anggota
Satgas Penegakan Hukum Pemberanatasan Obat, Makanan dan Alat Kesehatan illegal.
Tim Operasi Pangea (INCB, Badan POM dan POLRI) kemudian melakukan investigasi
terhadap peredaran produk tanpa izin edar di dunia maya (daring), maka pada tanggal
10 Juni 2015 sesuai surat tugas Direktur Bina Prodis Alkes ditemukan berbagai merek
produk soft lens yang tidak memiliki Nomor Izin Edar, di antaranya Luxe, Eyecome, V1
Expose, V1 Amore yang kesemuanya dengan berbagai jenis warna. Sejumlah 303 box
besar produk soft lens illegal ini kemudian disita dan disegel oleh Tim (Kementerian
Kesehatan RI, 2018b).

Dalam bidang kesehatan kemudian dibentuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang
mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tidak pidana dalam lingkup undang-
undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. PPNS ini dalam melaksanakan
peran dan tugasnya mengacu pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, khususnya pasal 189 dan pasal-pasal yang berkaitan dengan ketentuan
pidana yaitu pasal 190-201, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Bekerjasama dengan Bareskrim, telah dilaksanakan Dilat PPNS dengan
pola 400 JP (jam pelajaran) selama 60 hari. Sejumlah 27 orang di tahun 2016 dan 26
Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b orang di tahun 2017 menjadi peserta Diklat PPNS (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).

Dalam proses tata kelola obat di era JKN ini, terdapat 3 instansi pusat yang memegang
peranan penting yaitu Kemenkes, Badan POM dan LKPP. Namun koordinasi antar 3 3.2. Penggunaan Obat Rasional (Por) & Anti-Microbial Resistance (Amr)
lembaga ini masih belum optimal. Hingga saat ini, belum ada SOP bersama yang
mengatur secara jelas jadwal dan mekanisme penyampaian RKO serta pengadaan 3.2.1. Penggunaan Obat Rasional (POR)
e-katalog obat yang dapat mengakibatkan keterlambatan dan kegagalan dalam proses
lelang; terdapat ketidaksinkronan data yang dimiliki LKPP dan Kemenkes terkait e-katalog; Menurut WHO (2015b), penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat
terdapat permasalahan terkait perizinan (NIE) dan pengawasan obat di Badan POM yang tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan, untuk
yang berdampak pada proses pengadaan e-katalog obat, misalnya masih terdapat obat jangka waktu yang cukup dan pada biaya yang terjangkau untuknya (individu) dan
yang tayang dalam e-katalog yang ternyata tidak memiliki NIE (Ariati, 2017). Beberapa komunitas/masyarakat. Prinsip penggunaan obat rasional (POR) adalah berbasis bukti
permasalahan ini menunjukkan perlunya penguatan koordinasi antar 3 lembaga utama ilmiah terkini (evidence based medicine/EBM), tepat manfaat (high benefit-risk ratio) dan
yang berperan dalam tata kelola obat JKN. tepat biaya (high benefit-cost ratio) (Ditjen Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI & Ditjen
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017).
3.1.11. Kasus Obat/Vaksin/Alkes/PKRT Palsu
Penggunaan obat secara tidak rasional menjadi masalah utama di seluruh dunia. WHO
Pada tahun 2016 ditemukan adanya vaksin palsu. Hasil pengujian Badan POM memperkirakan bahwa lebih dari setengah obat-obatan diresepkan, diberikan atau
menunjukkan bahwa 25 sampel palsu, yang terdiri atas 21 vaksin palsu, 2 antisera palsu dijual secara tidak tepat, dan setengah dari pasien gagal untuk mengkonsumsinya
dan 2 tuberculin palsu. Penelusuran lebih lanjut di seluruh Indonesia mendapati bahwa dengan benar. Penggunaan obat-obatan secara berlebihan, kurang dari seharusnya
37 fasilitas kesehatan dari 9 provinsi memperoleh vaksin bukan melalui sumber resmi, atau disalahgunakan mengakibatkan pemborosan sumber daya dan berbahaya bagi
dari 60 sampel vaksin/antisera yang kemudian diuji terdapat 12 sampel vaksin/antisera kesehatan. (Ditjen Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI & Ditjen Kefarmasian dan Alat
palsu terdiri atas 5 vaksin palsu dan 7 antisera palsu. Selanjutnya Kementerian Kesehatan Kesehatan Kemenkes RI, 2017; World Health Organization, 2015b)
(Ditjen Farmalkes) melakukan pembentukan satuan tugas dalam pemberantasan vaksin
palsu bekerjasama dengan Badan POM, Bareskrim dan IDAI untuk penetapan strategi Indikator peresepan merupakan salah satu indikator POR yang ditetapkan WHO. Terdapat
yang efektif. Satgas ini kemudian menetapkan strategi pemberantasan vaksin palsu 4 indikator peresepan pada penggunaan obat rasional di puskesmas yaitu:
yaitu: pembinaan dan penawasan dalam hal pengelolaan obat termasuk pengadaan dari 1. persentase antibiotik pada ISPA non-pneumonia (batas toleransi 20%)
sumber resmi, dan pengendalian limbah vaksin dan wadah bekas vaksin yang sudah 2. persentase antibiotik pada diare non-spesifik (batas toleransi 8%)
digunakan atau yang sudah kedaluwarsa sesuai peraturan yang berlaku; penetapan 3. persentase injeksi pada myalgia (batas toleransi 1%)
regulasi terkait; KIE kepada masyarakat; dan pendataan dalam rangka pemberian ulang 4. rerata item obat per lembar resep (batas toleransi 2,6 item)
vaksin (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).
42 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 43

Hasil SIRKESNAS 2016 memperlihatkan permasalahan penggunaan obat rasional dalam Data Ditjen Farmalkes menunjukkan bahwa penggunaan obat rasional di puskesmas di
hal penggunaan antibiotik. tahun 2015 dan 2016 tidak berbeda jauh yaitu sekitar 70%. Penggunaan obat rasional
di puskesmas ini baru dilaksanakan di 23,93% kabupaten/kota di Indonesia (Ditjen
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2018). Hingga saat ini, belum terdapat
Gambar 22. Indikator POR di Puskesmas pengukuran penggunaan obat rasional di faskes rujukan / rumah sakit.

3.2.2. Anti-Microbial Resistance (AMR) / Resistensi Antimikroba

Resistensi antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek
antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Resistensi berkembang
lebih cepat disebabkan penyalahgunaan atau penggunaan berlebihan dari antimikroba.
Penggunaan antibiotik untuk kesehatan manusia dilaporkan meningkat secara
substansial. Survei di banyak negara menunjukkan bahwa banyak pasien percaya
bahwa antibiotik akan menyembuhkan infeksi virus yang menyebabkan batuk, pilek
dan demam. Antibiotik diperlukan untuk mengobati hewan yang sakit, tapi juga banyak
digunakan pada hewan sehat untuk mencegah penyakit, dan pada banyak negara,
untuk mempercepat pertumbuhan fisik hewan ternak. Agen antimikroba juga biasa
digunakan di lahan pertanian dan peternakan ikan dan hasil laut komersial. Potensi
dampak antimikroba di lingkungan juga menjadi perhatian banyak orang (World Health
Organization, 2015a).

Pengendalian resistensi antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah


dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten. Pemerintah telah membentuk
Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA yaitu
komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016
penggunaan antimikroba secara luas baik di fasyankes maupun di masyarakat (Permenkes
Nomor 8 Tahun 2015) (Kementerian Kesehatan RI, 2015a).

Data terkait AMR di Indonesia berdasarkan beberapa studi yang dilaksanakan oleh
laboratorium atau universitas, karena belum ada jejaring laboratorium di level nasional
Gambar 23. Persentase Puskesmas yang Memenuhi Standar POR
yang dikembangkan untuk penyediaan data nasional. Upaya-upaya awal untuk surveilans
AMR dan penggunaan antibiotik, terutama pada sektor kesehatan hewan belum dilakukan
secara terorganisir. Kurangnya kapasitas laboratorium untuk pemeriksaan kesehatan
hewan dan manusia adalah permasalahan yang harus segera di atasi.

Berdasarkan AMR Surveillance (2017) yang diadakan di beberapa kota di Indonesia, maka
prevalensi Eschericia coli dan Klebsiella pneumoniae yang memproduksi extended-
spectrum beta-lactamases (ESBLs) berkisar antara 50%-82%. ESBLs adalah enzim yang
diproduksi oleh beberapa tipe bakteri, di mana enzim ini dapat menginaktivasi zat aktif
di banyak antibiotik.

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016


44 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 45

Gambar 24. AMR Surveillance 2016, Prevalensi E. coli dan K. pneumonia (ESBL+) 3.3. Penilaian Teknologi Kesehatan/Health Technology Assessment (Hta)

3.3.1. Sekilas HTA

Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) atau Health Technology Assessment (HTA) adalah
suatu analisis yang terstruktur dari teknologi kesehatan, dan hal yang berhubungan
teknologi kesehatan yang digunakan sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan.
Didalamnya termasuk safety, efficacy (benefit), costs dan cost-effectiveness, implikasi
terhadap organisasi, sosial dan isu etika.

HTA dalam JKN merupakan amanat Perpres No.12 Tahun 2013 pasal 43 ayat (1), “Dalam
rangka menjamin kendali mutu dan biaya, Menteri bertanggung jawab untuk Penilaian
Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment), Pertimbangan klinis (clinical
advisory) dan Manfaat Jaminan Kesehatan, Perhitungan standar tarif, Monitoring dan
Sumber: Paraton, 2018 evaluasi penyelenggaraan pelayanan Jaminan Kesehatan”.

Dalam Global Action Plan on Anti-Microbial Resistance (World Health Organization, 2017) Dalam lingkup ASEAN, the Malaysian Health Technology Assessment Section (MaHTAS;
yang diadopsi oleh National Action Plan on Anti-Microbial Resistance in Indonesia 2017- Malaysia) adalah agen atau komite HTA yang pertama kali didirikan di wilayah ASEAN
2019 terdapat lima tujuan strategis: pada tahun 1995, diikuti pendirian Health Intervention and Technology Assessment
· Meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap pengendalian resistensi Program (HITAP; Thailand), dan Center for Drug Evaluation/ Health Technology
antimikroba melalui komunikasi, pendidikan dan pelatihan yang efektif Assessment (CDE/HTA; Chinese Taipei) tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008 didirikan
· Meningkatkan pengetahuan dan data melalui surveilans dan penelitian National Evidence-based Healthcare Collaborating Agency (NECA; the Republic of
· Menurunkan insiden infeksi melalui sanitasi, hygiene dan pencegahan pengendalian Korea) dan China National Health Development Research Center (CNHDRC; China). The
infeksi yang efektif Health Strategy and Policy Institute (HSPI/HSPI-HITA; Vietnam) didirikan tahun 2013
· Mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak pada manusia dan hewan dan Komite Penilaian Teknologi Kesehatan/KPTK (Indonesia) didirikan tahun 2014. Saat
· Membangun investasi penemuan obat, alat diagnostik dan vaksin baru untuk ini tujuh negara ASEAN memiliki setidaknya satu komite/agen HTA termasuk Komite
menurunkan penggunaan antimikroba PTK di Indonesia dan Health Strategy and Policy Institute (HSPI) di Vietnam. Walaupun
demikian, hanya tiga negara yaitu Chinese Taipei, the Republic of Korea, dan Indonesia
Selanjutnya, strategi peningkatan penggunaan obat rasional dalam rangka pengendalian yang menunjuk Badan PTK berdasarkan peraturan perundang-undangan (Sarocha, 2016).
resistensi antimikroba di Indonesia terbagi atas:
· Strategi terkait pengembangan kebijakan/regulasi yaitu dengan pembatasan 3.3.2. Struktur dan Tugas Komite PTK
penyediaan antimikroba (khususnya antibiotika) melalui kebijakan Fornas;
dikembangkannya standar dan pedoman seperti Pedoman Program Pengendalian Komite PTK/HTA di Indonesia dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
Resistensi Antimikroba (PPRA) di RS dan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik; 171/Menkes/SK/IV/2014 tentang Komite Penilaian Teknologi Kesehatan dan diperbaharui
serta regulasi dan kebijakan bidang produksi, distribusi dan penyerahan obat menjadi Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/Menkes/422/2016 tentang Komite
· Strategi edukasi/pembinaan yaitu edukasi dan pemberdayaan masyarakat di Penilaian Teknologi Kesehatan.
antaranya dengan GeMa CerMat, penyebaran informasi melalui berbagai media dan
workshop/seminar Komite PTK terdiri atas pembina, pengarah, ketua, sekretaris, anggota komite, tenaga
· Strategi manajerial, yaitu advokasi dan monitoring evaluasi teknis, dan sekretariat. Anggota Komite PTK terdiri atas akademisi dan profesional
kesehatan. Surat Keputusan diperbaharui setiap tiga tahun.

Komite PTK memiliki tugas sebagai berikut:


a. Mempersiapkan dan mengembangkan kelembagaan Komite PTK
b. Menetapkan pedoman dan standar untuk pelaksanaan Komite PTK yang baik
c. Menyusun rencana kegiatan Komite PTK
d. Menetapkan topik prioritas untuk dilakukan Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK)
berdasarkan review topik yang telah disusun oleh tenaga teknis dan dapat
melibatkan institusi dan ahli terkait untuk memberikan masukan jika diperlukan
46 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 47

e. Membentuk panel ahli untuk melaksanakan Asesmen Teknologi Kesehatan (ATK) tiga Studi Penilaian Teknologi Kesehatan di bawah koordinasi KPTK yaitu: 1) evaluasi
terhadap topik PTK yang telah ditetapkan (sebelum adanya agen PTK yang ekonomi Lapatinib sebagai terapi untuk pasien kanker payudara metastase; 2) evaluasi
melaksanakan ATK). Panel ahli merupakan tim multidisiplin terdiri atas pakar dari ekonomi Trastuzumab sebagai terapi untuk pasien kanker payudara metastase; dan
organisasi profesi, akademisi, dan pakar lain yang relevan melakukan ATK secara 3) evaluasi ekonomi Rituximab sebagai terapi untuk pasien kanker Limphoma Non-
komprehensif Hodgkin (LNH). Masih banyak studi HTA yang perlu dilakukan untuk menganalisis produk
f. Membentuk Panel adhoc untuk memberikan pandangan dan masukan kepada farmalkes yang akan diusulkan ke dalam Fornas maupun untuk produk farmalkes yang
Komite PTK terhadap hasil studi PTK pada saat proses penilaian teknologi kesehatan sudah terdapat dalam daftar Fornas, agar arah kebijakan lima tahun ke depan dapat
(appraisal) ditetapkan berbasis bukti.
g. Melakukan penilaian (appraisal) terhadap hasil ATK berdasarkan efikasi, efektivitas,
keamanan, analisis biaya serta nilai sosial-budaya dan agama (bila diperlukan) dari Berdasarkan penilaian tujuh ahli HTA/PTK dari tujuh negara, ada beberapa milestone
teknologi kesehatan yang dikaji terkait sistem HTA nasional di Indonesia yang sangat perlu ditingkatkan, yaitu HTA
h. Merumuskan hasil akhir dan rekomendasi PTK dalam suatu laporan yang dapat yang belum menjadi bagian dari kurikulum program studi S1 kesehatan, pelaksanaan
diakses oleh semua pemangku kepentingan konferensi HTA nasional, pelatihan-pelatihan terkait HTA, peraturan perundang-
i. Memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan jenis teknologi yang dijamin undangan terkait dengan HTA dan keanggotaan agen HTA domestik dalam jejaring HTA
atau menjadi prioritas dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berdasarkan internasional. Selain itu terdapat beberapa milestone yang sudah sebagian tercapai
ketetapan hasil penilaian (appraisal) terhadap ATK namun masih dapat ditingkatkan yaitu publikasi di jurnal internasional oleh peneliti
j. melakukan diseminasi hasil PTK dan rekomendasi kebijakan yang telah disepakati; Indonesia, pendataan untuk data klinis dan ekonomi (data registry) terkait HTA, dan
k. mengembangkan kerjasama dengan berbagai badan PTK yang telah berkembang database HTA nasional untuk laporan-laporan terkait HTA (Chootipongchaivat, 2016).
di negara-negara lain
l. berkoordinasi dan melaporkan kepada Kementerian Kesehatan setiap hasil
kegiatan/pertemuan yang dihadiri dalam rangka mewakili Komite PTK pada 3.4. Bahan Baku Obat
kegiatan/pertemuan yang diadakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri
Yang dimaksud Bahan Baku Obat (BBO) adalah mencakup bahan aktif dan bahan tambahan.
Teknologi kesehatan yang perlu dinilai oleh Komite PTK adalah setiap teknologi Bahan aktif obat adalah tiap bahan atau campuran bahan yang akan digunakan dalam
kesehatan yang belum dijamin dalam Jaminan Kesehatan atau sudah dijamin dalam pembuatan sediaan farmasi dan apabila digunakan dalam pembuatan obat menjadi zat
Jaminan Kesehatan Nasional tetapi dinilai tidak efektif dalam manfaat maupun biaya. aktif obat tersebut. Ia memiliki khasiat farmakologi atau efek langsung lain dalam diagnosis,
penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit atau untuk mempengaruhi
3.3.3. Aspek dan Penilaian Teknologi Kesehatan struktur dan fungsi tubuh.

Aspek Penilaian Teknologi Kesehatan mencakup keamanan, efikasi, efektivitas, aspek Sedangkan bahan/zat tambahan adalah suatu bahan, bukan berupa zat aktif, yang telah
ekonomi, aspek sosial, etika, legal, politis, dan agama, Kesetaraan/ekuitas (egalitarian dievaluasi dengan benar keamanannya, dan termasuk dalam sistem pengantaran obat (drug
equity), Keterjangkauan (affordability), dan Analisis Dampak Anggaran (Budget delivery system) untuk:
Impact Analysis/BIA). Dalam rangka pelaksanaan penilaian teknologi kesehatan (PTK) · Membantu dalam memroses sistem pengantaran obat selama pembuatan obat tersebut
di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah membuat panduan penilaian teknologi · Melindungi, mendukung atau meningkatkan stabilitas obat, ketersediaan hayati
kesehatan yang disusun oleh Komite PTK. Dengan adanya panduan ini diharapkan dapat (biovailability), atau akseptabilitas pasien
digunakan sebagai acuan dalam melakukan penilaian teknologi kesehatan. · Membantu identifikasi produk
· Meningkatkan atribut lain yang berkaitan dengan keamanan dan efektivitas obat selama
Pada tahun 2017 telah dilaksanakan empat Studi Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) penyimpanan atau penggunaan
oleh Agen dari Universitas dan Tenaga Teknis PTK. Keempat studi tersebut berjudul:
1) Pentingnya review pemanfaatan obat sebagai bagian dari proses klaim dalam JKN: Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
sebuah kasus dari nilotinib untuk pasien Leukemia Granulositik Kronik (LGK); 2) Penilaian Indonesia Nomor 87 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat. Peta
terhadap luaran klinis dan biaya insulin analog dibandingkan dengan insulin human jalan ini bertujuan untuk meningkatkan pengembangan dan produksi bahan baku obat dalam
untuk diabetes tipe 2 : literature review dan survei biaya; 3) Efektivitas klinis dan evaluasi negeri dan mengurangi angka impor, yang dijamin bermutu tinggi. Selain Kemenkes, maka
ekonomi terapi cetuximab untuk pasien kanker kolorektal dengan metastasis (mCRC); pemangku kepentingan lain yang terkait adalah Kementerian Perindustrian, Kementerian
4) Evaluasi ekonomi bevacizumab sebagai terapi tambahan terhadap kemoterapi untuk Perdagangan, Badan POM, Kemenkoekuin, Kemenkokesra, BPPT, LIPI, Universitas dan industri
mCRC di Indonesia. Hasil studi PTK 2017 sudah diadopsi sebagai kebijakan berbasis farmasi.
bukti oleh pemerintah Indonesia. Mulai tahun 2018 hingga saat ini sedang berlangsung
48 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 49

Di Indonesia saat ini telah ada 8 industri produsen BBO yang telah tersertifikasi CPBBAOB mendukung kemandirian alkes dalam negeri sesuai dengan sasaran dalam Rencana Strategis
(Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik). BBO yang diproduksi antara lain: bulk Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. (Kementerian Kesehatan RI, 2015b, 2017c).
vaksin campak, bulk vaksin BCG, bulk toksoid difteri, bulk toksoid tetanus, bulk vaksin polio,
bulk pertussis, bulk antisera; cangkang kapsul gelatin; bulk EPO; omeprazole beku kering; Hingga tahun 2016 terdapat 7 alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri, sedangkan jika
garam farmasi natrium klorida; serbuk steril seperti ampicillin sodium, kloksasilin natrium dilihat dari jenis/variannya, terdapat 17 varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri
hidrat, benzyl penisilin kalium, sulbaktam natrium; dan garam kina dan turunannya. (Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2018).

Sementara itu, terdapat juga 9 industri BBO di Indonesia yang masih dalam proses Pengawasan alat kesehatan dan PKRT juga dilakukan untuk melindungi end user (masyarakat
pembangunan/sertifikasi. BBO yang diproduksi antara lain: parasetamol, acyclovir, glimepiride, dan faskes) agar menggunakan alat kesehatan dan PKRT yang aman, bermutu dan berkhasiat.
fenofibrate atau ciprofloxacine; produk biosimilar (EPO); garam farmasi; attapulgit; cangkang Pengawasan dilakukan baik sebelum alkes beredar maupun sesudah beredar. Pengawasan
kapsul; simvastatin, pantoprazole, clopidogrel, atorvastatin, rasuvastatin, esomeprazole, sebelum edar meliputi standardisasi sarana produksi dan distribusi, sedangkan pengawasan
rabemeprazole, saprogelate; fraksi protein bioaktif, serbuk micronized bahan aktif; salicylamide, sesudah edar mencakup pengawasan sarana produksi dan distribusi (inspeksi rutin dan khusus)
dan guafenesin. dan pengawasan produk alkes dan PKRT (sampling dan pengujian, surveilans, pengawasan
iklan) (Kemenkes, 2018). Pada tahun 2016, terdapat 94,69% produk alkes dan 94,9% produk PKRT
Namun demikian, lebih dari 90% bahan baku obat adalah diimpor, yang nilai impornya di peredaran yang memenuhi syarat. Namun demikian ketika menelaah cara pembuatannya,
mencapai 25% dari total nilai bisnis farmasi nasional. Indonesia saat ini mengimpor bahan hingga triwulan pertama 2018, hanya 58,34% sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang
baku obat terbanyak dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi memenuhi cara pembuatan yang baik. Hasil pengujian terhadap 540 sampel alat kesehatan
negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakni sekitar dan PKRT di 34 Provinsi menunjukkan penilaian pre-market alat kesehatan dan PKRT yang
Rp 6,84 triliun (60%), India di posisi kedua Rp 3,42 triliun (30%), dan Eropa Rp 1,4 triliun (10%) diselesaikan tepat waktu sesuai Good Review Practices adalah 94,57% (Ditjen Farmalkes, 2018).
(Simanjuntak, 2016).

Gambar 25. Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT


3.5. Alkes Dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)

Alat kesehatan (alkes) merupakan salah satu komponen penting dalam sarana pelayanan
kesehatan di samping tenaga kesehatan dan obat. Alkes adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada
manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Termasuk di dalamnya
adalah alkes diagnostik in vitro, yaitu setiap reagen, produk reagen, kalibrator, material kontrol,
kit, instrumen, aparatus, peralatan atau sistem, baik digunakan sendiri atau dikombinasikan
dengan reagen lainnya, produk reagen, kalibrator, material kontrol, kit, instrumen, aparatus,
peralatan atau sistem yang diharapkan oleh pemilik produknya untuk digunakan secara in vitro
untuk pemeriksaan dari setiap spesimen, termasuk darah atau donor jaringan yang berasal dari
tubuh manusia, semata-mata atau pada dasarnya untuk tujuan memberikan informasi dengan
memperhatikan keadaan fisiologis atau patologis atau kelainan bawaan, untuk menentukan
keamanan dan kesesuaian setiap darah atau donor jaringan dengan penerima yang potensial,
atau untuk memantau ukuran terapi dan mewadahi spesimen. Teknologi alkes berkembang
sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi informasi, dari teknologi sederhana
sampai teknologi tinggi, dan digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di rumah
tangga. Alkes juga sangat dibutuhkan dalam upaya mencapai Sustainable Development Goals
(SDGs), di mana peran alkes untuk mendukung pencapaian khususnya tujuan ketiga, yaitu
menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala
usia (Kementerian Kesehatan RI, 2017c, 2017b).

Kebutuhan akan alkes yang semakin meningkat belum diikuti dengan peningkatan industri
alkes dalam negeri. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b
Indonesia (Aspaki), 94% alkes yang beredar adalah produk impor. Hal ini tentunya tidak
50 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 51

Alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri sampai saat ini didominasi oleh produk-produk Berdasarkan data perdagangan luar negeri Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir, produk-
dasar dengan teknologi sederhana, seperti sarung tangan bedah, kasa, peralatan ortopedi dan produk sarung tangan memiliki pertumbuhan rata-rata sebesar 7,6% per tahun, sementara
furniture rumah sakit. Selain perusahaan dalam negeri, dalam beberapa kurun waktu terakhir untuk lensa kontak dan sejenisnya serta disposable sanitary towel memiliki pertumbuhan
perusahaan multinasional telah mendirikan sarana produksi alkes di Indonesia, yang hasil masing-masing 13,2% dan 35,8% per tahun. Sedangkan untuk 20 (dua puluh) jenis produk
produksinya cenderung diekspor karena memanfaatkan biaya produksi yang rendah (Fitriani, alkes dengan permintaan ekspor terbesar tahun 2015, dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:
2018).

Berdasarkan data perdagangan ekspor-impor Indonesia, terlihat bahwa pertumbuhan Tabel 10. Besar Produk dengan Permintaan Ekspor Tertinggi Tahun 2015
permintaan ekspor alkes, maupun permintaan impor cukup tinggi. Tercatat pada tahun 2015
ekspor alkes Indonesia mencapai 676 juta US$ atau setara dengan 9 trilyun rupiah, sementara
Nilai
impor mencapai 1,28 miliar US$ atau setara dengan 17,2 trilyun rupiah. Angka pertumbuhan No. Nama Produk (kode HS) Nilai (US$)
(Milyar rupiah)
ekspor alkes Indonesia tahun 2011-2015 mencapai 11,5% per tahun, sementara rata-rata
pertumbuhan permintaan impor mencapai 20% per tahunnya. Angka tersebut dalam beberapa 1 Gloves, mittens & mitts, for other 247,890,309 3,321.73
tahun ke depan diperkirakan akan terus tumbuh dengan mempertimbangkan pertumbuhan
2 Contact lenses 91,356,637 1,224.18
kepesertaan JKN hingga tahun 2019 (Kementerian Kesehatan RI, 2017b).
3 Oth disposable sanitary towel, tampon 88,897,203 1,191.22

4 Other instruments and appliances 45,524,586 610.03


Gambar 26. Kondisi Ekspor-Impor Alkes di Indonesia Tahun 2011 – 2015
5 Other electro-diagnostic apparatus 40,702,300 545.41

6 Parts & acc incl.pea of head 9027, 21,210,637 284.22

7 Oth furniture designed for medical 17,059,143 228.59

8 Cannulae and the like 16,501,533 221.12

9 Oth parts of footwear of rubber/plastic 12,848,785 172.17

10 Oth appl. which are worn/carried/ implant 11,597,336 155.40

11 Oth instruments & app oth than 9,904,457 132.72

12 Tooth brushes, incl. dental-plate brushes 8,912,079 119.42

13 Ozone therapy, oxygen therapy, aerosol 5,221,300 69.97

14 Disposable syringes, with or without 5,100,340 68.34

15 Chemical contraceptive prep based 3,861,593 51.75

16 Spectacle lenses of glass 3,591,181 48.12

17 Part & accessories, oth water meter 3,138,883 42.06

18 Wadding & similar articles, impregnated/coa 3,080,662 41.28

19 Other elements of glass not 2,912,153 39.02

20 Oth chandeliers & oth elecceiling/wall 2,580,241 34.58


Sumber: BPS, Kemendag, dalam Kementerian Kesehatan RI, 2017b
Sumber: BPS, Kemendag, dalam Kementerian Kesehatan RI, 2017b
52 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 53

Sementara itu, kondisi impor alkes Indonesia didominasi oleh produk alkes berbasis teknologi Pemerintah juga telah menyusun Rencana Aksi Pengembangan Industri Alat Kesehatan 2016-
tinggi. Tercatat pada tahun 2015, impor alkes Indonesia didominasi oleh alat operasional digital 2035. Mulai tahun 2016 hingga 2020, fokus pengembangan lebih ke industri alat kesehatan
dan portable yang mencapai angka 16,5% dari total impor alkes Indonesia. Selengkapnya berteknologi rendah, kemudian meningkat ke teknologi menengah hingga tahun 2024. Baru
untuk daftar 20 jenis produk alkes dengan nilai impor terbesar tahun 2015 dapat dilihat pada pada tahun 2025 hingga 2035 akan dikembangkan industri alat kesehatan berteknologi tinggi
Tabel 11 berikut: (Gambar 27).

Gambar 27. Rencana Aksi Pengembangan Industri Alkes, 2016-2035


Tabel 11. Besar Produk dengan Nilai Impor Tertinggi Tahun 2015

Nilai
No. Nama Produk (kode HS) Nilai (US$)
(Milyar rupiah) High Tech
Medium Tech 2025 - 2035
1 Oth portable digital automatic data 211,657,868 2,836.22 2016 - 2024 Implant Hip & Knee
Low Tech
Drug Eluting Stent Pacemaker
2016 - 2020
2 Other instrument and appliances 91,880,675 1,231.20 Patient Monitor Instrumen Bedah Mata
Implant Kursi Gigi Alat Bantu Dengar Dermafiller
Ortopedi Incubator Bayi CT Scan
3 Other disposable sanitary towel, tampons 88,358,181 1,184.00 IUD
Endoscopy
Bare Metal Disposable Implant Glaucoma
Stent Syringe Slit Lamp Mesin Hemodialisa
4 Electronic instruments and appliances 73,585,832 986.05 Intra Oculer Infusion Set X-Ray
X- Portable Auto Refractometer, dll
Lens Hospital Bed Clinical Chemistry Analyzer
5 Oth diagnostic/lab reagents & prepared 68,091,321 912.42 Fetal Doppler Rapid Test, dll Keratometer, dll

6 Ozone therapy, oxygen therapy, aerosol 47,498,824 636.48 Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b
7 X-ray app for medical, surgical 41,223,260 552.39

8 Ultrasonic scanning apparatus 26,183,033 350.85 3.5.1. Sustainabilitas Industri Farmasi


9 Tooth brushes, incl.dental-plate brushes 22,939,850 301.39
Kebijakan pembiayaan farmalkes dalam sistem JKN yang menitikberatkan pada harga
10 Catheters 22,287,155 298.65
yang rendah dapat mengganggu sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi,
11 Plate, sheet, film, foil&strip of plastic 21,502,183 288.13 sehingga mengurangi ketersediaan suplai dan mutu dari produk farmalkes. Data periodik
12 Other electro-diagnostic apparatus 20,590,298 275.91 e-katalog tahun 2015 – 2018 menunjukkan turunnya pagu harga obat generik yang tersedia.
Walaupun ini dapat mendukung keterjangkauan produk farmalkes, pemerintah harus
13 Oth ophthalmic instruments & app 20,214,111 270.87
mempertimbangkan mekanisme pasar dan biaya produksi, sehingga tidak menimbulkan
14 Furniture designed for medical, surgical 19,858,572 266.10 disinsentif bagi industri farmasi di Indonesia dan mempengaruhi keberlangsungan
suplai farmalkes dalam jangka panjang. 7.6% dari obat Fornas belum masuk ke dalam
15 Intravenous administration set 19,449,754 260.63
e-katalog (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018a) dan
16 Spectro/ spectrophotometer 18,650,975 249.92 mengindikasikan HPS yang kurang menarik bagi produsen. Kemudian, jika dibandingkan
17 Oth chandelier & oth elec ceiling wall 18,427,108 246.92 dengan International Reference Price (IRP), penetapan harga pada e-katalog umumnya
lebih rendah atau sama nilainya, padahal diketahui bahwa kandungan impor bahan
18 Oth parts of footwear of rubber/plastic 17,604,615 235.90
baku obat masih tinggi. Contohnya, paracetamol yang harganya 15% % dari IRP3. Selain
19 Computed tomography apparatus 16,616,229 222.66 itu, penetapan tarif INA-CBGs melalui Permenkes No.59 tahun 2014 yang mengacu
20 Producer gas/water gas generators 15,942,096 213.62
pada kasus diagnosa dimana komponen obat tidak didasarkan pada data harga obat
dan volume penggunaan berpotensi menimbulkan reimbursement kepada supplier
obat yang tidak realistis. Terbukti pada saat ini industri farmasi yang men-suplai sistem
Sumber: BPS, Kemendag, dalam Kementerian Kesehatan RI, 2017b
JKN mengungkapkan terlambatnya pembayaran yang diterima, sehingga mempersulit
produksi selanjutnya serta keberlangsungan produksinya4 (Yuniar, 2017).

3 Data perbandingan antara https://e-katalog.lkpp.go.id/backend/katalog/lihat_produk/68890 dan http://mshprice-


guide.org/en/single-drug-information/?DMFId=592&searchYear=2015. Wawancara dengan ahli farmasi Prof
Budiono Santoso (UGM).
4 http://www.beritasatu.com/nasional/510040-harga-obat-untuk-program-jknkis-diusulkan-naik.html
54 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 55

3.5.2. Kemandirian dan Produksi Gambar 28. Indeks Kemudahan Berusaha

Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi untuk mendorong kemandirian bahan


baku sediaan farmasi seperti PP No. 17 Tahun 1986, PP No. 62 Tahun 1998, Permenkes No.
87 Tahun 2013, Permenkes No. 88 Tahun 2013, Inpres No. 6 Tahun 2016 dan sebagainya.
Upaya ini dirasakan penting terutama karena tingginya ketergantungan industri farmasi
dalam negeri terhadap konten impor, dimana lebih dari 90% dari bahan baku obat di
Indonesia adalah produk impor (Ariati, 2017). Salah satu upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah adalah mengeluarkan industri farmasi dari Daftar Negatif Investasi (DNI) pada
bulan April 20165 dengan tujuan agar investasi asing yang masuk dapat menggerakkan
industri hulu farmasi (Antara, 2016). Dengan meningkatnya jumlah produsen bahan
baku obat di Indonesia diharapkan harga obat yang tinggi dapat ditekan sehingga akses
terhadap obat dapat ditingkatkan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Data dari Ditjen Farmalkes menunjukkan bahwa pasar farmasi nasional tumbuh rata-
rata 11,23% per tahun (CAGR) selama 2010 – 2014, dengan pertumbuhan perusahaan Sumber: World Bank, 2018
domestik (11,30%) yang lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan multinasional
(11,03%). Pertumbuhan pasar farmasi pada tahun 2014 secara absolut turun dari 3.5.3. Dukungan Pemerintah Untuk Inovasi
tahun-tahun sebelumnya, walaupun secara nilai naik sebesar Rp 58 triliun dari tahun
sebelumnya sebesar Rp 55 triliun. Kontribusi Indonesia pada pasar farmasi di ASEAN Linkage antara inovasi (akademis/teknokrat) dengan pemerintah (birokrat) masih
adalah sekitar 27%, dimana 70% dari nilai tersebut didominasi oleh industri nasional. dirasakan lemah. Kemandirian bahan baku farmalkes di Indonesia meningkat, namun
Namun, nilai ekspor industri farmasi Indonesia sekitar Rp 2 trilliun (2013), sedangkan masih rendah dan masih terjadi mismatch antara produksi dan penggunaan Bahan
nilai impor kurang lebih kurang Rp 21 trilliun dan didominasi oleh impor bahan baku Baku Obat (BBO). Data 2016 menunjukkan dari 23 bahan baku sediaan farmasi yang siap
obat (94%). diproduksi, hanya 4 industri yang menggunakan BBO produksi dalam negeri6. Selain itu,
dari target penggunan produk alkes dalam negeri pada tahun 2019 sebesar 18%, saat
Tingginya konten impor pada produksi farmalkes ini menjadikannya rentan terhadap ini baru tercapai 4 - 5%7. Kemudian, untuk produk alkes, produksi dalam negeri masih
fluktuasi nilai tukar rupiah. Sekitar 90% dari bahan baku farmalkes di Indonesia masih terbatas pada alkes golongan teknologi rendah seperti produk syringe. Produk alkes
diimpor. Pemerintah telah mengeluarkan industri bahan baku farmalkes dari Daftar yang berteknologi lebih tinggi seperti USG dan inkubator sudah mulai dikembangkan
Negatif Investasi (DNI), untuk meningkatkan minat investasi perusahaan asing kepada namun masih pada tingkat riset, dan belum di produksi dalam skala besar atau industri.
Indonesia. Data BPS juga menunjukkan masih rendahnya jumlah industri farmasi
dalam negeri yang melakukan investasi R&D (12%, data tahun 2011). Pemerintah telah 3.5.4. Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian
menerbitkan beberapa regulasi seperti Inpres No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan
pengembangan industri farmasi dan Permenkes No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana aksi Dalam pembinaan produksi dan distribusi kefarmasian dilihat jumlah industri yang
pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, namun belum didukung kepastian memanfaatkan bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri yang hingga
berusaha. Indeks cost of doing business di Indonesia masih relatif rendah yaitu 72 (2017). tahun 2016 baru mencapai 4 industri. Selain itu baru 3 industri sediaan farmasi hingga
Walaupun rangking ini sudah meningkat dibandingkan dengan masa sebelumnya, 2018 yang bertransformasi dari industri formulasi menjadi industri berbasis riset. Dari
namun masih di bawah rangking negara tetangga seperti Malaysia (24), Thailand (26) sisi administratif, 91,4% layanan izin industri sediaan farmasi yang diselesaikan tepat
dan Vietnam (68) (World Bank, 2018). waktu di tahun 2018, meningkat dari 85,1% di tahun 2017.

3.5.5. Jaminan Produk Halal

UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sedianya akan diberlakukan pada
tahun 2019, namun banyak tantangan yang dirasakan untuk penerapannya pada industri
obat dan vaksin. Persyaratan sertifikasi halal yang bukan hanya pada produk akhir saja

6 Data capaian tahun 2016 DitJen Farmalkes, Kemenkes RI


5 Sebelumnya, kepemilikan asing pada industri bahan baku obat dibatasi maksimal 85 persen 7 Wawancara dengan ahli farmasi Prof Budiono Santoso (UGM)
56 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 57

tetapi juga pada bahan baku dan prosesnya akan menambah regulasi, biaya dan proses tujuan strategis: 1) membangun dasar pengetahuan dan merumuskan kebijakan nasional; 2)
panjang tersedianya suatu produk obat dan vaksin untuk sampai kepada masyarakat. memperkuat keselamatan, kualitas dan efektivitas melalui regulasi; dan, 3) mempromosikan
jaminan kesehatan nasional dengan mengintegrasikan layanan obat tradisional ke dalam
Selain itu, peluang yang dapat diharapkan oleh industri lokal untuk menambah niche sistem kesehatan nasional.
pada pasar domestik bisa jadi sulit terwujud karena penambahan persyaratan tersebut
akan menimbulkan kendala yang relatif lebih besar dan signifikan terhadap produsen Peluang Indonesia untuk mengembangkan obat tradisional sangat besar, mengingat
yang kecil dan menengah dibandingkan kepada produsen yang besar dan mapan. Indonesia masuk sebagai lima besar mega biodiversity dunia. Di Indonesia Industri Obat
Tradisional (IOT) merupakan salah satu sarana yang berperan penting dalam memproduksi
3.5.6. Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian dan mengembangkan obat tradisional yang aman, bermutu dan berkhasiat. Beberapa IOT di
Indonesia telah memiliki profil berskala internasional.
Dalam pembinaan produksi dan distribusi kefarmasian dilihat jumlah industri yang
memanfaatkan bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri yang hingga Terdapat tiga jenis produk obat tradisional:
tahun 2016 baru mencapai 4 industri. Selain itu baru 3 industri sediaan farmasi hingga • Jamu, yaitu bentuk asli obat herbal tradisional, menggunakan bahan baku herbal,
2018 yang bertransformasi dari industri formulasi menjadi industri berbasis riset. Dari berdasarkan tradisi dan warisan nenek moyang. Jenis obat tradisional ini tidak memerlukan
sisi administratif, 91,4% layanan izin industri sediaan farmasi yang diselesaikan tepat pendaftaran produk. Namun, terdapat kebutuhan yang jelas untuk meningkatkan aspek
waktu di tahun 2018, meningkat dari 85,1% di tahun 2017. kebersihan, keamanan dan kualitas jamu melalui sosialisasi dan edukasi ke publik

3.5.7. Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada Program Kefarmasian • Obat tradisional yang terstandarisasi. Bentuk obat tradisional ini diproduksi melalui proses
dan Alat Kesehatan manufaktur yang membutuhkan GMP. Bentuk obat tradisional ini memerlukan pendaftaran
produk untuk produksi, distribusi dan penjualannya
Dilihat dari sisi manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program
kefarmasian dan alkes, maka di tahun 2016, kepuasan klien terhadap dukungan • Fitofarmaka, yaitu obat tradisional terstandar yang telah digunakan dalam uji pra-klinis dan
manajemen mencapai 87,03%. Selain itu masih di tahun yang sama, 95,95% layanan klinis. Bentuk obat tradisional ini diharapkan dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan
dukungan manajemen telah diselesaikan tepat waktu. formal. Walaupun fitofarmaka ini telah melalui berbagai uji klinis, obat tersebut tidak
otomatis dapat diterima dengan baik oleh praktisi kesehatan modern

3.6. Industri Obat Tradisional (IOT) Sektor industri obat tradisional merupakan salah satu sektor penggerak pembangunan
ekonomi nasional karena mampu memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan daya
Pengobatan tradisional adalah bagian dari pelayanan kesehatan, ditemukan hampir di setiap saing berupa nilai tambah, lapangan kerja dan devisa. Pelaku industri obat tradisional tumbuh
negara di dunia, permintaan untuk layanannya juga semakin meningkat. Obat tradisional, dari 76 industri di tahun 2015 menjadi 98 industri di tahun 2017. Pemerintah saat ini juga
dengan kualitas, keamanan, dan khasiat yang terbukti, berkontribusi pada tujuan memastikan memiliki Gerakan Nasional Bugar dengan Jamu (Bude Jamu) yang sebagai implementasinya
bahwa semua orang memiliki akses ke perawatan. Banyak negara sekarang mengakui adanya telah membina 5.374 pelaku Usaha Jamu Gendong (UJG) dan Usaha Jamu Racikan (UJR) di
kebutuhan untuk mengembangkan pendekatan kohesif dan integratif untuk pelayanan 62 kabupaten dan kota di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2018a). Gerakan Bude Jamu
kesehatan yang memungkinkan pemerintah, praktisi pelayanan kesehatan dan, yang paling ini diharapkan dapat membentuk paradigma obat tradisional sebagai warisan budaya bangsa
penting, mereka yang menggunakan layanan kesehatan, untuk mengakses obat tradisional yang memiliki manfaat promotif dan preventif.
secara aman, hemat biaya dan secara efektif. Strategi global untuk mendorong integrasi
yang tepat, regulasi dan pengawasan terhadap obat tradisional akan bermanfaat bagi negara Di dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035, industri
yang ingin mengembangkan kebijakan proaktif terkait obat tradisional ini (World Health farmasi (termasuk di dalamnya Industri Obat Tradisional) menjadi salah satu industri prioritas
Organization, 2013). yang masuk dalam kelompok Industri Andalan. Pada tahun 2015-2024, Indonesia melalui IOT-
nya diharapkan dapat melakukan peningkatan kapasitas produksi herbal yang berorientasi
WHO Traditional Medicine Strategy 2014-2023 diharapkan membantu para pimpinan fasilitas ekspor (Kementerian Perindustrian RI, 2015).
pelayanan kesehatan memiliki visi luas dalam mengembangkan solusi untuk peningkatan
derajat kesehatan dan otonomi pasien. Strategi ini memiliki dua goal/tujuan utama yaitu: untuk Pertumbuhan ekspor obat tradisional Indonesia selama periode 2012-2016 mengalami kenaikan
mendukung negara-negara memanfaatkan potensi kontribusi obat tradisional untuk kesehatan, dari 8,9 juta US$ di tahun 2012 hingga mencapai 29,8 juta US$ di tahun 2016 (Kementerian
kesejahteraan, dan pelayanan kesehatan berfokus pelanggan, dan untuk mempromosikan Perdagangan RI, 2019).Terbukanya potensi pasar merupakan peluang sekaligus tantangan bagi
penggunaan obat tradisional yang aman dan efektif melalui regulasi terkait produk, praktisi IOT untuk terus berdaya saing memproduksi obat tradisional yang memenuhi persyaratan
dan praktik pengobatan. Tujuan utama ini akan dapat dicapai dengan menerapkan tiga keamanan, mutu dan manfaat, sehingga dapat bersaing di tingkat nasional maupun global.
58 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 59

Terkait dengan produk obat tradisional maka meliputi beberapa jenis produk, yaitu obat 3.7. Pemberdayaan Masyarakat
tradisional yang diproduksi di dalam negeri (TR), obat Tradisional Impor (TI), obat Tradisional
Lisensi (TL), Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka (FF) dengan total 8.772 produk. Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat adalah GeMa CerMat yaitu upaya bersama
Dari jumlah tersebut, 2.960 (33,74%) di antaranya merupakan produk obat tradisional yang melalui mewujudkan kepedulian, kesadaran, pemahaman, dan ketrampilan masyarakat
diproduksi oleh IOT di Indonesia. Dari 2.960 produk tersebut, 1.616 produk (54,59%) merupakan dalam menggunakan obat secara tepat dan benar. Tujuan GeMa CerMat adalah meningkatkan
produk yang dihasilkan oleh IOT di Jawa Tengah (Diniarti & Iljanto, 2017). pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penggunaan obat secara benar;
meningkatkan kemandirian dan perubahan perilaku masyarakat dalam memilih, mendapatkan,
menggunakan, menyimpan dan membuang obat secara benar; dan meningkatkan penggunaan
Tabel 12. Produk Obat Tradisional yang Diproduksi Industri Obat Tradisional obat secara rasional, termasuk penggunaan antibiotik secara bijak. Dalam hal penggunaan
di Provinsi Jawa Tengah antibiotik secara bijak, maka edukasi yang disampaikan adalah 5T yaitu: 1) tidak membeli
antibiotik sendiri (tanpa resep dokter), 2) tidak menggunakan antibiotik untuk selain infeksi
JUMLAH PRODUK TERDAFTAR bakteri, 3) tidak menyimpan antibiotik di rumah, 4) tidak memberi antibiotik sisa kepada orang
NO NAMA INDUSTRI JUMLAH lain, 5) tanyakan pada apoteker informasi obat antibiotik. Sampai dengan Maret 2018, GeMa
TR OHT FF CerMat sudah dilaksanakan di 115 kabupaten/kota di 34 provinsi, dengan jumlah Agent of
1 PT. Njonja Meneer 204   2 206 Change (AoC) 2.892 orang dan mencapai masyarakat 17.774 orang.

PT. Industri Djamu dan Pharmasi Tjap Djago atau


2 153 1   154 Bentuk lain pemberdayaan masyarakat yaitu KIE penggunaan alkes dan PKRT yang baik pada
PT. DJAGO
masyarakat dengan melibatkan kader-kader PKK di kecamatan, kabupaten hingga provinsi.
3 PT. Leo Agung Raya 82     82 Selain itu dilaksanakan juga iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di tempat-tempat
umum seperti stasiun kereta api dan pusat perbelanjaan. Telah dilakukan juga advokasi
PT. Industri Jamu dan Farmasi SIDO MUNCUL,
4 300 1   301 penggunaan alkes dan PKRT yang baik dan benar, yang telah dilakukan di 17 provinsi di
Tbk.
Indonesia dari Sumatera Barat hingga Maluku Utara.
5 PT. Phapros, Tbk. 11 1 2 14

6 PT. Erlimpex 2     2
3.8. Digitalisasi Farmalkes

7 PT. Marguna Tarulata APK Farma 9     9


Upaya reformasi melalui digitalisasi farmalkes juga sedang dilakukan, untuk jaminan akses
sediaan farmasi dan alat kesehatan serta sustainabilitas sistem kefarmasian dan alkes yang
8 PT. Perusahaan Jamu Air Mancur 124 1   125
terintegrasi dalam sistem kesehatan nasional. Beberapa integrasi yang dilakukan adalah:
9 PT. Deltomed Laboratories 118 3   121
a. Integrasi percepatan pelaksanaan berusaha: untuk kemudahan investasi serta mengawal
kepastian hokum dalam pelaksanaan berusaha
10 PT. Industri Jamu Borobudur 452 18   470 b. Integrasi National Inventory control: agar data dan informasi terkait inventori sediaan
farmasi dan alkes dapat diketahui secara realtime, akurat, valid dan representative
11 PT. Graha Farma 5     5 c. Integrasi Pembinaan dan Pengawasan: untuk optimalisasi sistem pembinaan dan
pengawasan antar instansi pusat dan daerah secara realtime
12 PT. Konimex 35     35 d. Integrasi Siswas Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian: untuk optimalisasi sistem
e-farmasi termasuk penyelenggaraan sistem elektronik farmasi, serta pengawasan dan
13 PT. Capung Indah Abadi 44     44 pengendalian e-commerce farmasi sebagai bagian dari strategi pemanfaatan era digital

14 PT. Ifars Pharmaceutical Laboratories 1     1


Keseluruhan integrasi tersebut didukung oleh sistem STR Apoteker online sebagai sistem
informasi profesi Apoteker dalam hal optimalisasi peran professional. Dalam keseluruhan
15 PT. Jamu Indonesia Simona 43     43
integrasi dan implementasi, Apoteker memegang peranan strategis dan tidak tergantikan untuk
menciptakan sustainabilitas dan robustness sistem kefarmasian dan alkes yang terintegrasi
16 PT. Erlangga Edi Laboratories / PT. Erela 4     4
dalam sistem kesehatan nasional. Namun demikian, belum dilakukan evaluasi implementasi
JUMLAH 1.587 25 4 1.616 dari sistem digitalisasi farmalkes ini.

Sumber: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2012


60 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Gambar 29. Skema Digitalisasi Farmalkes

4.
Tantangan

Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b


62 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 4. Tantangan • 63

4.1. Transisi Demografi Dan Epidemiologi Penyakit Gambar 30. Sektor Kesehatan Dalam SDGs

Transisi epidemiologi yang paralel antara transisi demografi dan transisi teknologi, dewasa ini
mengakibatkan perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi ke Penyakit Tidak Menular (PTM). Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi,
Terjadinya transisi epiemiologi ini disebabkan oleh terjadinya perubahan sosial ekonomi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan [8 taget]
gizi masyarakat
lingkungan dan perubahan struktur penduduk seperti kebiasaan merokok, kurang aktifitas fisik,
makanan tinggi lemak dan kalori serta konsumsi alkohol yang diduga berkontribusi menjadi
penyebab dalam penyakit PTM. Hal ini tentunya akan berdampak pada tata kelola obat dan Menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua
alkes terutama dari sisi kebutuhan jenis obat dan alkes yang akan lebih ke penanggulangan orang di segala usia [13 taget]
sistem kesehatan nasional
atau pengobatan penyakit PTM. Obat-obatan untuk penyakit PTM ini sebagian besar adalah
obat berbiaya tinggi. Kebutuhan akan alkes juga lebih kepada alkes dengan teknologi tinggi,
baik untuk alat diagnostik maupun treatment penyakit PTM. Namun di sisi lain, terdapat Menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh wanita dan
ancaman terkait meningkatnya resistensi antimikroba. Makin banyak antimikroba yang tidak perempuan [9 taget]
Akses kespro, kb
efektif lagi terhadap beberapa bakteri, sehingga jumlah kasus Multidrug-Resistant (MDR) dan
Extremely Drug Resistant (XDR) juga semakin tinggi, sementara itu riset dan pengembangan
antimikroba generasi baru juga masih minim. Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan
bagi semua orang [8 taget]
Sanitasi dan air bersih

4.2. Target SDGs dan Universal Health Coverage (UHC) Sumber: Ermalena, 2017

Sustainable Development Goals (SDGs) adalah sebuah kesepakatan pembangunan global


yang disahkan pada tanggal 25 September 2015 di New York dan dihadiri oleh 193 kepala 4.3. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah
negara, termasuk Indonesia. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 sasaran pembangunan yang
diharapkan dapat menjawab ketertinggalan pembangunan negara-negara di seluruh dunia, Jika terjadi pelemahan Rupiah maka akan berdampak signifikan terhadap industri Farmasi di
baik di negara maju dan negara berkembang. Seluruh tujuan SDGs adalah sebuah kesatuan Indonesia mengingat lebih dari 90% bahan baku obat adalah diimpor dari negara lain. Seperti
sistem pembangunan, atau disebut integrasi pembangunan nasional. Sektor kesehatan dalam untuk obat tanpa nama dagang maka kandungan impornya mencapai 70-75% sementara obat
SDGs setidaknya terdapat di 4 Goals, 19 Target dan 31 Indikator. Keempat Goals tersebut dengan nama dagang maka kandungan impornya bisa mencapai 30%. Naiknya biaya impor
adalah Goal 2 – Zero Hunger; Goal 3 – Good Health and well-being; Goal 5 – Gender Equality bahan baku tentunya akan berdampak juga kepada kenaikan harga obat. Perusahaan farmasi
dan Goal 6 – Clean Water & Sanitation. harus mengatur strategi agar beban produksi tidak melonjak, karena opsi untuk menaikkan
harga obat tidak serta merta dapat dilakukan karena harus mempertimbangkan tingkat daya
Di dalam Goal 3 disebutkan salah satunya adalah mencapai Universal Health Coverage, beli masyarakat dan peraturan penetapan harga obat generik dari pemerintah.
termasuk perlindungan risiko keuangan, akses kepada pelayanan kesehatan dasar berkualitas
dan akses kepada obat-obatan dan vaksin dasar yang aman, efektif dan berkualitas bagi semua
orang. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta maka pencapaian UHC adalah 4.4. Masyarakat Ekonomi Asean
sebuah tantangan besar, termasuk di dalamnya yaitu menjamin akses kepada obat-obatan
dan vaksin dasar. Industri Farmasi dalam negeri menghadapi tantangan yang cukup berat untuk dapat bersaing
dengan negara-negara tetangga terutama pada saat pasar bebas ASEAN (MEA) seperti saat ini,
Selain itu, dalam SDGs terdapat juga Goal 9 yaitu Industri, Inovasi dan Infrastruktur yang di apalagi 90 persen lebih bahan baku obat masih tergantung dengan impor. Bahan baku dalam
dalamnya akan mencakup pengembangan industri bahan baku dan alat kesehatan di dalam negeri masih sangat kecil andilnya dalam mendukung industri farmasi nasional. Selain itu,
negeri. Karenanya Indonesia perlu melakukan penelitian independen pada produk biotech and jumlah penduduk Indonesia yang hampir 260 juta jiwa membuat Indonesia menjadi magnet
natural sebagai substitusi bahan baku obat berbasis kekayaan alam yang terintegrasi dari hulu bagi seluruh industri dari seluruh sektor termasuk farmasi untuk menjadikan Indonesia
hingga hilir. Hal ini menjadi salah satu langkah penting dalam pengembangan industri farmasi sebagai target dalam memasarkan produknya.
Indonesia menuju kemandirian produksi obat dan bahan baku obat.
Pada level ASEAN, pasar farmasi Indonesia mencapai 27 persen dari total pasar ASEAN.
Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen didominasi oleh pemain nasional yang menjadikan
Indonesia satu-satunya negara di ASEAN yang didominasi oleh industri lokal. Diproyeksikan
pasar produk farmasi Indonesia sendiri pada tahun 2016 ini sebesar Rp 69,07 triliun yang
diharapkan meningkat menjadi Rp 102,05 triliun pada tahun 2020.
64 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 5. Isu Strategis • 65

4.5. Letak Dan Kondisi Geografis

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah mencapai 13 ribu pulau. Selain itu
Indonesia terletak di area ring of fire yang artinya sangat rawan terjadi bencana. Kondisi ini
5.
Isu strategis
tentunya merupakan tantangan dalam menjamin akses masyarakat terhadap obat, vaksin dan
alat kesehatan, mulai dari perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatannya hingga
distribusinya ke seluruh daerah di Indonesia. Terkait dengan bencana, Menteri Kesehatan
telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 059/MENKES/SK/I/2011 tentang
Pedoman Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Pada Penganggulangan Bencana.
Pedoman ini membahas pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan pada penanggulangan
bencana yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana, saat terjadinya bencana, tanggap
darurat, hingga rehabilitasi.

4.6. Desentralisasi

Risiko kebijakan desentralisasi terletak pada kemungkinan pemerintah daerah tidak akan Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan
memprioritaskan sektor kesehatan. Sejak era otonomi daerah, penyediaan dan atau pengelolaan
anggaran untuk pengadaan obat esensial yang diperlukan masyarakat di sektor publik menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah. Namun pemerintah pusat masih mempunyai kewajiban
untuk penyediaan obat program kesehatan dan buffer stock. Sedangkan jaminan keamanan, K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
khasiat dan mutu obat yang beredar masih tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, pembiayaan obat di sektor publik,
terutama penyediaan obat esensial disediakan oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi
daerah telah membawa perubahan mendasar yang perlu dicermati untuk tetap menjamin
ketersediaan obat esensial bagi masyarakat. Untuk daerah-daerah terpencil, perbatasan,
kepulauan dan daerah rawan, perlu dikembangkan sistem manajemen obat secara khusus
agar akses dan ketersediaan obat terjamin. Kapasitas fiskal tiap daerah tentunya juga
mempengaruhi tersedianya anggaran untuk obat dan pada akhirnya dapat mempengaruhi
akses dan ketersediaan obat di daerah.
66 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 5. Isu Strategis • 67

Beberapa isu strategis berhasil diidentifikasi terkait dengan obat, vaksin, alat kesehatan, laboratorium yang dikembangkan untuk penyediaan data nasional terkait dengan AMR,
HTA serta tata kelola obat di era JKN berdasarkan manajemen rantai suplai (Supply Chain kapasitas laboratorium terkait pemeriksaan kesehatan hewan maupun manusia juga masih
Management). sangat terbatas.

Permasalahan lainnya adalah terbatasnya dukungan dari Pemerintah daerah dalam


5.1. Ketersediaan Obat Dan Vaksin Yang Belum Memadai penganggaran program yang terkait peningkatan POR; kurangnya koordinasi baik di tingkat
pusat maupun daerah serta dengan unit lainnya yang terkait; terbatasnya sebaran media
Ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas secara rata-rata masih di bawah 90%. Selain promosi kepada masyarakat sehingga sasaran masyarakat yang menerima informasi tentang
itu, beberapa obat pernah ditemukan kosong di antaranya amlodipine, antacid, allopurinol, POR masih terbatas; kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis tentang POR kepada tenaga
asam mefenamat dan obat-obat psikotropika terutama diazepam. Jenis vaksin/serum yang kesehatan di puskesmas; serta belum adanya kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang
paling banyak tidak tersedia adalah Serum Anti Bisa Ular (SABU), Anti Tetanus Serum (ATS), penggunaan antibiotika yang tidak rasional, termasuk pembelian antibiotika secara bebas
Polio suntik (IPV), vaksin Rabies serta tetanus toxoid (TT). Selain itu terjadi disparitas dalam oleh masyarakat.
ketersediaan obat dan vaksin antar provinsi di Indonesia, juga disparitas ketersediaan vaksin
antara faskes swasta dibanding faskes pemerintah.
5.4. Kurangnya Kapasitas Health Technology Assessment (HTA)

5.2. Permasalahan Terkait Tata Kelola Obat, Vaksin Dan Alkes (Supply Chain Kelembagaan HTA saat ini berupa Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) dibentuk
Management) dengan Keputusan Menteri Kesehatan, yang pembiayaan kegiatannya dibebankan kepada
Anggaran Belanja Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Dengan tugas KPTK
Tata kelola obat, vaksin dan alkes masih menemui banyak masalah. Penyusunan RKO mayoritas melakukan penilaian teknologi kesehatan yang memerlukan dana dan sumber daya lainnya
hanya berdasarkan metode konsumsi, belum mempertimbangkan metode morbiditas atau yang besar, maka seharusnya dibentuk kelembagaan yang lebih dapat menjamin ketersediaan
epidemiologi penyakit. Selain itu, diperlukan transparansi dalam penentuan HPS. Penentuan sumber daya, termasuk sumber daya keuangan dan SDM. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan
perusahaan farmasi sebagai pemenang tender hanya berdasarkan harga penawaran terendah. terkait HTA yaitu pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM, pengembangan regulasi dan
E-katalog juga belum menayangkan semua obat yang ada di Fornas. Pemesanan obat yang peraturan, kerjasama dengan jejaring internasional, pendataan untuk data klinis dan ekonomi
dilakukan oleh faskes sering tidak dipenuhi oleh perusahaan farmasi dan untuk obat yang (data registry) dan pengembangan database HTA nasional.
didistribusikan ke faskes, lead time-nya kadang terlalu lama, bahkan ada yang mencapai lebih
dari 6 bulan. Sistem informasi juga belum mendukung, dengan jaringan internet yang sering
terputus. Masih ditemukan kurangnya kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur 5.5. Minimnya Kapasitas Produksi Bahan Baku
lainnya baik di Pusat maupun Daerah. Khusus di Pusat, masih terlihat kurangnya koordinasi
antar lembaga yang berperan penting dalam tata kelola ini yaitu antara Kementerian Kesehatan, Lebih dari 90% bahan baku obat adalah diimpor, yang nilai impornya mencapai 25% dari total
BPOM dan LKPP. nilai bisnis farmasi nasional, yang diimpor sebagian besar dari Tiongkok, India dan Eropa.
Saat ini terdapat 8 industri produsen Bahan Baku Obat (BBO) yang telah tersertifikasi dan 9
industri BBO lainnya yang masih dalam proses pembangunan/sertifikasi. Namun demikian,
kapasitas ini masih sangat kurang dari yang dibutuhkan Indonesia.
5.3. Praktik Penggunaan Obat Rasional (Por) Yang Masih Kurang & Anti-
Microbial Resistance (Amr) Yang Semakin Tinggi
5.6. Minimnya Kapasitas Produksi Alkes Dalam Negeri
Penggunaan obat rasional di puskesmas baru dilaksanakan di 23,93% kabupaten/kota di
Indonesia. Dari kabupaten/kota yang sudah melaksanakan pun penggunaan obat rasional baru
Sebanyak 94% dari alkes yang beredar di Indonesia adalah produk impor, sehingga masih
mencapai 70%. Permasalahan POR ini masih terjadi di keempat indikator POR yaitu persentase
jauh dari kemandirian alkes dalam negeri. Alkes yang diproduksi di dalam negeri sampai saat
antibiotik pada ISPA Non Pneumonia, persentase antibiotik pada diare non spesifik, persentase
ini didominasi oleh produk-produk dasar dengan teknologi sederhana yang kemudian produk
injeksi pada mylgia dan rerata item obat dalam satu resep.
ini yang diekspor. Sementara itu, kondisi impor alkes Indonesia didominasi oleh produk alkes
berbasis teknologi tinggi. Jumlah dan kemampuan laboratorium uji produk alkes dan PKRT
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menjadi penyebab timbulnya Anti-Microbial
yang komprehensif dan terakreditasi masih terbatas.
Resistance (AMR). Indikasi tingginya AMR terlihat dari prevalensi E. coli dan K. pneumonia
mengandung ESBLs yang mencapai 50-82% di beberapa kota di Indonesia. Belum ada jejaring
68 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 6. Arah Kebijakan, Strategi dan Program • 69

5.7. Kurangnya Daya Saing Industri Obat Tradisional (IOT)


6.
Arah Kebijakan, Strategi
Indonesia sangat berpeluang mengembangkan industri obat tradisional karena Indonesia
masuk sebagai lima besar mega biodiversity dunia. Tantangan utama adalah memproduksi
obat tradisional yang memenuhi standar internasional terkait keamanan, mutu dan khasiatnya.

dan Program
Selain itu, produk illegal obat tradisional yang marak beredar juga menjadi permasalahan
tersendiri. Saat ini, separuh dari industri obat tradisional terkonsentrasi di Provinsi Jawa
Tengah. Masih diperlukan peningkatan kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur
untuk meningkatkan kapasitas produksi herbal yang berorientasi ekspor hingga tahun 2024.

Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
70 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 6. Arah Kebijakan, Strategi dan Program • 71

6.1. Arah Kebijakan 6.3. Program/Kegiatan

Upaya untuk menjamin ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di Indonesia yang
Dari enam strategi di atas maka disusun usulan program/kegiatan sebagai berikut:
terjangkau, merata dan berkualitas akan mendukung pencapaian Indonesia dalam Sustainable
• Pengeluaran kebijakan dan harmonisasi kebijakan yang dapat menarik industri untuk
Development Goals (SDGs) terutama target ketiga yaitu menjamin kehidupan yang sehat
berinvestasi memproduksi bahan baku, obat, obat tradisional dan alat kesehatan di
dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia, dengan sub-target: 3.8)
dalam negeri
terjaminnya ketersediaan dan akses kepada farmalkes yang aman, bermutu dan berkhasiat,
serta 3.b) dukungan terhadap penelitian dan pengembangan (R&D) untuk obat dan vaksin.
• Pengoptimalan kelompok kerja (Pokja) Academic-Business-Goverment-Community-
Media Colaboration (ABGCM) dalam pengembangan dan produksi bahan baku obat,
Terdapat dua arah kebijakan yang utama yaitu: 1) peningkatan akses, pemerataan, ketersediaan,
obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri. Untuk alat kesehatan mulai berfokus
distribusi rantai suplai obat, vaksin dan alat kesehatan serta penggunannya secara rasional
pada alat kesehatan berteknologi menengah. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui:
oleh faskes dan konsumen/masyarakat. 2) penguatan pengendalian obat, obat tradisional,
o Penegasan jenis-jenis produk yang akan dikembangkan dalam roadmap
vaksin, alkes dan PKRT pra dan pasca pemasaran untuk memastikan keamanan, efektivitas
pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan
dan mutu.
dalam negeri, melalui penunjukkan instansi penanggungjawab dengan tahapan
yang harus dicapai
o Penyusunan suatu strategic plan yang mengidentifikasi kebutuhan dan potensi
6.2. Strategi
bahan baku dalam negeri, dimana kebutuhan didasarkan pada beban penyakit
dan tingkat biaya tertinggi untuk kelompok demografi dan geografis di Indonesia.
Untuk pelaksanaan dua arah kebijakan utama tersebut maka diperlukan beberapa strategi Strategic plan ini kemudian perlu dikoordinasikan secara lintas sektor dengan
yaitu sebagai berikut: kementerian/lembaga terkait riset dan teknologi (misalnya Kemenristek dan LIPI)
1. Penguatan kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur baik di pusat maupun untuk pengembangan produksi di dalam negeri, serta dengan pihak industri
daerah untuk peningkatan akses, pemerataan dan ketersediaan serta pengendalian o Melakukan monitoring dan evaluasi (monev) untuk setiap tahapan pengembangan
obat-obatan, vaksin, alkes dan PKRT dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri
2. Optimalisasi penggunaan dan proses sistem informasi kesehatan (digitalisasi farmalkes o Pengembangan mekanisme pasar push/pull untuk produksi dalam negeri, dimana
serta aplikasi e-monev obat) dalam perencanaan, pengadaaan hingga pengendalian push mechanism memberikan subsidi untuk melakukan riset, sedangkan pull
produk farmalkes sehingga memberikan kepastian kebutuhan serta anggaran baik bagi mechanism memberikan reward terhadap hasil riset yaitu dengan menjamin
pemerintah maupun bagi pihak swasta demand atau pembelian dari hasil riset yang dilakukan
3. Perbaikan sistem pricing (misalnya penentuan HPS obat) dan penetapan tarif JKN
(kapitasi dan INA CBGs) yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mendukung • Perluasan implementasi digitalisasi farmalkes untuk pengendalian pra dan pasca
sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi sehingga menjamin ketersediaan pemasaran untuk menjamin keamanan, efektivitas dan mutu.
produk farmalkes yang terjangkau dan berkualitas bagi masyarakat
4. Penguatan koordinasi antar lembaga pemerintah di tingkat pusat untuk tata kelola • Untuk menjamin ketersediaan obat di sekitar 2.700 puskesmas di DTPK, diperlukan
obat, vaksin, alkes dan PKRT (Supply Chain Management) yang lebih baik, terutama penetapan regulasi seperti fund-channeling (misalnya Dana Desa)
koordinasi peran dan fungsi antara Kementerian Kesehatan, Badan POM dan LKPP
5. Koordinasi informasi, kolaborasi sumberdaya serta kemitraan strategis lainnya antara • Melakukan evaluasi terhadap proses serta jeda waktu antara penyusunan Fornas dan
ABGCM (akademisi, business/swasta, government/pemerintah, community dan media) penayangan e-katalog, dimana Fornas dapat diterbitkan dan sosialisasikan dalam
agar dapat mendorong kemandirian produksi farmalkes dalam negeri yang berbasis waktu yang cukup sehingga dapat menjadi acuan untuk mengendalikan mutu, dan
riset dan inovasi e-katalog dibuat untuk mengendalikan biaya
6. Penetapan paket insentif untuk membangun dan meningkatkan daya saing industri
obat, obat tradisonal dan alat kesehatan • Pengembangan metode penyusunan RKO yang mempertimbangkan metode
7. Harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk peningkatan akses, ketersediaan morbiditas/epidemiologi, serta sesuai dengan kategori obat (misalnya obat slow
dan pemerataan obat, vaksin dan alkes serta peningkatan industri obat, obat tradisional moving dan fast moving punya rumus yang berbeda dalam penghitungan RKO-nya),
(termasuk bahan baku) dan alkes dalam negeri serta sesuai kondisi faskes disertai validasi serta monitoring dan evaluasi realisasi
RKO yang sudah dibuat
72 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • 73

• Membuat regulasi bahwa hanya faskes yang memasukkan RKO-nya saja yang boleh • Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga diharapkan memiliki kebijakan yang
memesan melalui e-katalog memungkinkan puskesmas di wilayahnya untuk mengadakan obat dengan metode
lainnya yang cukup efisien, saat perusahaan farmasi tidak dapat memenuhi pesanan
• Meningkatkan sistem IT, termasuk infrastrukturnya di Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Dinkes Kab/Kota atau puskesmas
Kesehatan Kabupaten, faskes dasar dan faskes rujukan
• Dengan kapasitas KPTK dan agen HTA di bawahnya saat ini yang menghasilkan hanya
• Penyediaan SDM kefarmasian di puskesmas disertai dengan peningkatan 2-4 produk HTA per tahun, maka diperlukan pembentukan kelembagaan HTA yang
kompetensinya misalnya kompetensi pengadaan obat/alkes dan kompetensi terkait dapat lebih menjamin ketersediaan SDM dan sumber daya lainnya untuk
POR dan AMR pengembangan HTA yang lebih luas di Indonesia

• Mendorong puskesmas untuk mendapatkan status BLUD, memungkinkan pengadaan • Peningkatan kapasitas SDM dan pembiayaan serta kemitraan lintas sektor (ABGCM)
obat JKN oleh Dinkes serta menurunkan ketergantungan pada Dana Alokasi Khusus untuk implementasi HTA yang lebih luas dan mendukung pelaksanaan JKN
(DAK) APBD. Semakin rendah ketergantungan pengadaan obat JKN terhadap anggaran
yang disetujui oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, pada gilirannya akan mempersempit • Peningkatan kapasitas laboratorium terakreditasi dan kapasitas SDM untuk pengujian
kesenjangan antara volume obat yang direncanakan untuk dibeli (RKO) dan volume alkes dan PKRT
obat yang dapat dibeli dengan dana yang tersedia (anggaran yang disetujui)
• Penciptaan mekanisme monev untuk POR dan AMR (Anti-Microbial Resistance), baik
• Meningkatkan komunikasi dan kerjasama yang lebih baik antara Kementerian di faskes dasar maupun di faskes rujukan
Kesehatan RI dan LKPP, terutama dalam hal Fornas, penentuan HPS, dan mekanisme
tender dan penentuan pemenang tender LKPP • Peningkatan kesadaran tentang AMR dan promosi perubahan perilaku melalui program
komunikasi publik untuk para praktisi dan konsumen di bidang kesehatan manusia,
• Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang menang tender perlu diberikan waktu minimal kesehatan hewan dan sektor pertanian
3 bulan untuk kepastian produksi (pembelian bahan baku, sertifikasi bahan baku,
produksi, dan distribusi) sampai barang siap di pasar • Pembangunan laboratorium yang memiliki kapasitas pemeriksaan kesehatan hewan
dan manusia yang terstandardisasi, kemudian mengembangkan jejaring laboratorium
• Evaluasi implementasi e-monev, mengingat e-monev sudah dijalankan selama 2 tahun untuk penyediaan data nasional terkait AMR

• Pemberian akses e-purchasing yang lebih luas kepada Faskes swasta • Pembentukan dan pengoperasian sistem peringatan dini nasional terkait AMR

• Penetapan HPS perlu dievaluasi kembali agar lebih realistis dan mengacu kepada • Pelaksanaan surveilans AMR
international reference price dengan mempertimbangkan unsur biaya pajak, distribusi
dan sebagainya • Peningkatan hygiene dan pengendalian infeksi di faskes manusia dan hewan, di sistem
produksi makanan (contoh: mulai dari pemotongan hewan hingga makanan terhidang
• Penentuan pemenang tender LKPP tidak hanya berdasarkan penawaran harga di restoran) dan di komunitas lokal
terendah, tapi berdasarkan multikriteria, termasuk track record yang meyakinkan dari
indutri farmasi. Dapat dilakukan pendekatan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA) • Investasi berkelanjutan dan peningkatan investasi dalam memproduksi obat-obatan
dalam menetapkan pemenang tender baru (termasuk antibiotik baru), alat diagnostik, vaksin, dan lainnya untuk mengatasi
AMR
• Penerapan sistem reward dan punishment oleh Kementerian Kesehatan terhadap
perusahaan farmasi. Selama ini, tidak ada sanksi yang diberikan kepada perusahaan
farmasi yang tidak memenuhi permintaan sesuai yang tertulis di kontrak

• Dinas Kesehatan Provinsi diharapkan mengembangkan kebijakan regional yang


memungkinkan rumah sakit-rumah sakit di wilayahnya untuk mengadakan obat
dengan metode lainnya yang cukup efisien, saat perusahaan farmasi tidak dapat
memenuhi pesanan rumah sakit
74 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • 75

Referensi 14. Faden, L., Vialle-Valentin, C., Ross-Degnan, D., & Wagner, A. (2011). Active pharmaceutical
management strategies of health insurance systems to improve cost-effective use of
1. Antara. (2016). Industri Farmasi Terbuka Penuh untuk Asing Demi Tekan Impor. Diambil 14 medicines in low-and middle-income countries: a systematic review of current evidence.
Februari 2018, dari https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/02/15/o2kqct382- Health policy, 100(2–3), 134–143.
industri-farmasi-terbuka-penuh-untuk-asing-demi-tekan-impor
15. Fitriani, Y. (2018). Analisis Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2017
2. Ariati, N. (2017). Tata Kelola Obat di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ). Dalam Peningkatan Jumlah Industri Dan Kapasitas Produksi Alat Kesehatan Substitusi
Integritas, 3(2), 231–243. Impor (Tesis). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

3. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. (2012). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat 16. Hendarwan, H., Yuniar, Y., & Despitasari, M. (2018). Harapan, Kenyataan dan Solusi JKN:
dan Makanan Republik Indonesia HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan dalam Rangkaian Diskusi Panel Indonesia Health Care Forum. Jakarta: Lembaga Penerbit
Pedoman Cara Pembuatan Obat. BPOM RI. Jakarta, Indonesia: Badan Pengawas Obat dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Makanan Republik Indonesia.
17. Hidayat, B., Mundiharno, Němec, J., Rabovskaja, V., Rozanna, C. S., & Spatz, J. (2015). Out-
4. Basith, A. (2018). Soal tunggakan obat Rp 3,5 triliun, pemerintah review keuangan BPJS of-Pocket Payments in the National Health Insurance of Indonesia: A First Year Review :
Kesehatan. Diambil 6 September 2018, dari https://nasional.kontan.co.id/news/soal- Policy Brief 2. Jakarta. Diambil dari https://health.bmz.de/what_we_do/Universal-Health-
tunggakan-obat-rp-35-triliun-pemerintah-review-keuangan-bpjs-kesehatan Coverage/Indonesia_on_the_way_to_universal_health_coverage/Policy_Brief_GIZ_SPP_
OOP_Spending_in_Indonesian_Health_Insurance.pdf
5. BPJS Kesehatan. (2014). Panduan Praktis Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN. BPJS
Kesehatan. Jakarta: BPJS Kesehatan. 18. Institute for Health Metrics and Evaluation. (2018). Financing Global Health 2017 : Funding
Universal Health Coverage and the Unfinished HIV/AIDS Agenda. University Of Washington.
6. de Joncheere, K. (2015). Access to Essential Medicines and Universal Health Seattle, WA: IHME. https://doi.org/10.1016/0022-2852(61)90347-2
Coverage. In WHO Technical Briefing Seminar, November 23-27, 2015. World Health
Organization. Diambil dari https://pdfs.semanticscholar.org/presentation/28e1/ 19. Kementerian Kesehatan RI. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
a88e192996dac5ec29abbd7628baccb23411.pdf (Kepmenkes RI) Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
7. Departemen Kesehatan RI. (2007). Direktorat Bina Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Obat 20. Kementerian Kesehatan RI. (2015a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Publik Dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. (Permenkes RI) Nomor 8Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
di Rumah Sakit. Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan RI.
8. Diniarti, I., & Iljanto, S. (2017). Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Obat Tradisional
(IOT) Tahun 2017. Jurnal Kebijakan Kesehatan Nasional, 06(04), 184–192. 21. Kementerian Kesehatan RI. (2015b). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
9. Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. (2017a). Laporan Akuntanbilitas
Kinerja 2016 Direktorat Pelayanan Kefarmasian. Jakarta. 22. Kementerian Kesehatan RI. (2016). Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas).
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
10. Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. (2017b). Laporan Kinerja Direktorat
Jenderal Farmalkes 2016. Jakarta. 23. Kementerian Kesehatan RI. (2017a). Analisis Strategis Determinan Kesehatan : Upaya
Mencapai Keseimbangan Harga Dan Pemerataan Distribusi Guna Menjamin Ketersediaan
11. Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. (2018). Data kinerja Ditjen Farmalkes Obat Di Indonesia. Jakarta.
hingga triwulan I - 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
24. Kementerian Kesehatan RI. (2017b). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
12. Ditjen Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI, & Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Permenkes RI) Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Rencana Aksi Pengembangan Farmasi Dan
Kemenkes RI. (2017). Kebijakan Peningkatan Penggunaan Obat Rasional (POR). Jakarta: Alat Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI.
25. Kementerian Kesehatan RI. (2017c). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
13. Ermalena, M. (2017). Indikator Kesehatan SDGs di Indonesia (WHO Sustainable (Permenkes RI) Nomor 62 Tahun 2017 Tentang Izin Edar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan
Development Goals). Disampaikan dalam Diskusi Panel “Pengendalian Tembakau dan Diagnostik In Vitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Kementerian
Tujuan Pembangunan Indonesia” The 4th ICTOH, Balai Kartini, 15 Mei 2017. Jakarta. Kesehatan RI.
76 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan Kajian Sektor Kesehatan • 77

26. Kementerian Kesehatan RI. (2018a). Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2017. 39. Widiasih, E. S., Zahrulfa, A., Rustamaji, & Suryawati, S. (2018). Analisis Dasar Hukum,
(R. Kurniawan, B. Hardhana, & Yudianto, Ed.), Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Kebijakan dan Peraturan Penghapusan Obat Rusak dan Kadaluwarsa di Dinas Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. https://doi.org/10.1037/0022-3514.51.6.1173 Yogyakarta. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 7(01), 34–41.

27. Kementerian Kesehatan RI. (2018b). Mewujudkan Akses dan Kemandirian Farmasi dan Alat 40. World Bank. (2017). Sustainability of Externally-Funded Health Programs in Indonesia:
Kesehatan yang Bermutu 2012 - 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Issues and Priorities. World Bank.

28. Kementerian Perdagangan RI. (2019). Ekspor 10 Komoditi Potensial Tahun 2012-2017. 41. World Bank. (2018). Doing Business 2018 : Reforming to Create Jobs Comparing.
Diambil 29 Januari 2019, dari http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main- Washington DC. Diambil dari http://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/
and-potential-commodities country/i/ireland/IRL.pdf

29. Kementerian Perindustrian RI. (2015). Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 42. World Bank. (2019). Health Nutrition and Population Statistics. Diambil 19 Februari 2019,
2015-2035. Jakarta: Kementerian Perindustrian RI. dari https://datacatalog.worldbank.org/dataset/health-nutrition-and-population-statistics

30. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2016). Kajian Tata Kelola Obat Dalam Sistem 43. World Health Organization. (2011). The World Medicines Situation 2011: Medicines Prices,
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jakarta: Direktorat Libang Kedeputian Bidang Availability and Affordability. Diambil 12 Desember 2018, dari http://www.who.int/
Pencegahan KPK. Diambil dari https://acch.kpk.go.id/id/component/bdthemes_ medicines/areas/policy/ world_medicines_situation/WMS_ch6_wPricing_v6.pdf
shortcodes/?view=download&id=4849acbcba136b3f2ef1c35ee1752c
44. World Health Organization. (2013). WHO Traditional Medicine Strategy: 2014-2023.
31. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2017). Kajian Perizinan dan Pengawasan Obat Jaminan Hongkong: World Health Organization. https://doi.org/10.1111/cdoe.12410
Kesehatan Nasional di BPOM. Jakarta: Direktorat Litbang Kedeputian Bidang Pencegahan.
45. World Health Organization. (2015a). Global Action Plan on Anti-Microbial Resistance.
32. OECD. (2015). “Out-of-pocket medical expenditure”, in Health at a Glance: OECD Indicators. Geneva: World Health Organization. https://doi.org/10.1016/0022-2852(61)90347-2
In Health at a Glance. OECD Publishing: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/health_
glance-2017-26-en 46. World Health Organization. (2015b). Rational use of medicines. Diambil 10 Februari 2019,
dari https://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/
33. Paraton, H. (2018). Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia: Hasil
Capaian dan Target ke Depan. Jakarta: Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba 47. World Health Organization. (2017). National Action Plan on Anti-Microbial Resistance
Kementerian Kesehatan RI. Indonesia 2017-2019. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

34. Simanjuntak, R. (2016). Pengawasan Bahan Baku Obat Untuk Mendukung Kemandirian 48. Yadav, P., Tata, H. L., & Babaley, M. (2011). The world medicines situation 2011. World Health
Bahan Baku Obat. In Seminar Pentahelix Kemandirian Bahan Baku Farmasi serta Launching Organization. Geneva: World Health Organization.
Information and Data Center. Jatinangor: Unpad.
49. Yuniar, Y. (2017). Distribusi, Ketersediaan Serta Pelayanan Obat Dan Vaksin Dalam
35. Susyanty, A. L., Sasanti, R., Syaripuddin, M., & Yuniar, Y. (2014). Sistem Manajemen Dan Menghadapi Jaminan Kesehatan Semesta 2019. Jakarta.
Persediaan Vaksin Di Dua Provinsi Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 42(2), 108–121.

36. Susyanty, A. L., Supardi, S., Herman, M. J., & Lestary, H. (2014). Kondisi Sumber Daya
Tenaga Pengelola Vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/kota
dan puskesmas. Bul Penelit Sist Kesehat, 17(3), 285–296.

37. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2018a). Jaminan


Kesehatan Nasional Temuan Tingkat Nasional. Jakarta.

38. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2018b). Reviews On


Pharmaceutical Policy At Healthcare Facilities Under Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta:
TNP2K.
78 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id

Anda mungkin juga menyukai