1. Fransiska Wulandari
2. Ellita Tyas Antoni Da
3. Gusmala Surya Ningsih
KELAS A.1-3
MUARA BUNGO
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat-Nya makalah yang berjudul ”Gangguan Komunikasi dan
Gangguan Pendengaran” dengan lancar dan dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini, untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi. Dalam penulisan makalah ini, penulis
banyak mendapat bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Wiwin Narti, M.Psi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
masukan dan bimbingan dalam penulisan makalah ini dari awal hingga
akhir.
2. Semua pihak yang belum tersebut namanya yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini.
Sudah tentu dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, maka
saran dan kritik yang konstruktif akan penulis terima dengan tangan terbuka.
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Definisi Gangguan Komunikasi dan Gangguan Pendengaran... 3
B. Karakteristik Gangguan Komunikasi dan Gangguan
Pendengaran...............................................................................
C. Faktor Penyebab dan Pencegahan Gangguan Komunikasi
dan Gangguan Pendengaran.......................................................
D. Asesmen Pendekatan Gangguan Komunikasi dan
Gangguan Pendengaran Dalam Pembelajaran...........................
BAB III PENUTUP ............................................................................................
A. Kesimpulan .....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu proses timbal balik yang terjadi
antara pengirim dan penerima pesan. Proses komunikasi terdiri dari orang
yang mengirim pesan, isi pesan, serta orang yang menerima pesan. Antara
si pengirim pesan maupun si penerima pesan saling mempengaruhi. Orang
yang menerima pesan akan menjawab atau memberi reaksi terhadap
pengiriman pesan, sehingga terjadi interaksi antara pengirim pesan dan
penerima pesan.
Gangguan komunikasi meliputi berbagai lingkup masalah, yaitu
gangguan bicara, bahasa, dan mendengar. Gangguan bahasa dan bicara
melingkupi gangguan artikulasi, gangguan mengeluarkan suara, afasia
(kesulitan menggunakan kata-kata, biasanya karena ada memar atau luka
di otak) dan keterlambatan di dalam berbicara atau berbahasa. Masing-
masing gangguan ini mempengaruhi fungsi akademik, atau pekerjaan, atau
kemampuan untuk berkomunikasi secara sosial. Penanganan pada
gangguan komunikasi umumnya dilakukan melalui terapi bicara dan
konseling psikologis untuk kecemasan sosial dan masalah-masalah
emosional lainnya. Keterlambatan bicara dan bahasa tergantung dari
beberapa penyebab termasuk di dalamnya adalah faktor lingkungan atau
gangguan pendengaran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi gangguan komunikasi dan gangguan pendengaran?
2. Bagaimana karakteristik gangguan komunikasi dan gangguan
pendengaran?
3. Apa faktor penyebab dan pencegahan gangguan komunikasi dan
gangguan pendengaran?
4. Bagaiamana asesmen pendekatan gangguan komunikasi dan gangguan
pendengaran dalam pembelajaran?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami definisi gangguan komunikasi dan gangguan
pendengaran.
2. Untuk mengetahui karakteristik gangguan komunikasi dan gangguan
pendengaran.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab dan pencegahan gangguan
komunikasi dan gangguan pendengaran.
4. Untuk mengetahui asesmen pendekatan gangguan komunikasi dan
gangguan pendengaran dalam pembelajaran.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2. Definisi gangguan pendengaran
Seseorang dengan gangguan pendengaran dapat juga disebut
dengan tunarungu. Kondisi ketika seorang individu tidak dapat
mendengar disebut ketunarunguan atau tunarungu. Seorang penderita
gangguan pendengaran akan tampak dalam wicara atau bunyi bunyian
lain, baik dalam derajat frekuensi maupun kuantitas. Orang yang tuli (a
deaf person) adalah seseorang yang memiliki ketidakmampuan dalam
mendengar sesuatu. Keadaan tersebut menyebabkan seseorang yang tuli
mengalami hambatan dalam memproses komunikasi dan informasi
bahasa melalui pendengarannya, baik menggunakan alat bantu dengar
maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Orang
yang biasanya menggunakan alat bantu dengar disebut dengan orang
yang kurang dengar atau a hard of hearing person. ketika seseorang
yang kurang dengar menggunakan hearing aid, orang tersebut masih
dapat mendengar pembicaraan yang berlangsung. tiga istilah gangguan
pendengaran sesuai dengan kemampuan seseorang memanfaatkan sisa
pendengarannya. Tiga istilah tersebut adalah sebagai berikut.
a. Klasifikasi yang pertama adalah kurang dengar. Dalam hal ini
seseorang masih dapat memanfaatkan kemampuan mendengar yang
tersisa sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan bicara
dan memperhatikan komunikasi dengan orang lain.
b. Klasifikasi kedua adalah tuli atau deaf. Seseorang dikatakan tuli
ketika pendengaran mereka sudah tidak dapat digunakan sebagai
sarana utama dalam mengembangkan kemampuan berbicara, tetapi
masih dapat digunakan sebagai suplemen dalam penglihatan dan
perabaan.
c. Klasifikasi terakhir adalah tuli total (Totally deaf) yaitu keadaan
dimana organ pendengaran seseorang sama sekali tidak bisa
berfungsi sebagaimana mestinya sehingga orang tersebut tidak
4
memiliki kemampuan untuk memperhatikan atau mempersepsi dan
mengembangkan bicara.2
5
sekali. Mereka sering berbicara dengan diri mereka atau benda
yang disukai dengan bahasa mereka sendiri.
h. Menarik diri dari lingkungan yang mereka tinggali, tidak paham
dengan pembicaraan yang didengarnya, kesulitan dalam mengolah
kata-kata.
i. Memiliki gangguan komunikasi non verbal. Tidak pernah
menggunakan gerak tubuh ketika berbicara layaknya orang-orang
normal lain yang secara spontan terlihat ketika mereka berbicara.
j. Pada gangguan lain, gangguan komunikasi biasanya terjadi kepada
orang-orang yang tuna wicara yang memang tidak pernah tahu
atau kesulitan untuk menyebut kata-kata ketika berkomunikasi
karena adanya gangguan saraf yang mengontrol komunikasi verbal
manusia.
Anak BK sebenarnya sangat banyak mengalami gangguan komunikasi
baik dengan skala besar maupun kecil meskipun dengan gangguan
komunikasi tertentu. Misalnya anak retardasi mental, autis, tuna
wicara dan tuna-tuna yang lain. Gangguan komunikasi pada anak
autisma misalnya yang paling banyak disoroti karena mereka sangat
jauh dengan dunia sosialnya, dunia mereka yang kemungkinan besar
membuat mereka hanya merasa nyaman jika berada disana. Dengan
demikian, hampir semua ABK mengalami gangguan komunikasi,
baik itu retardasi mental dan gangguan yang lain.
2. Katakteristik gangguan pendengaran
Karakteristik anak tunarungu dari segi fisik tidak memiliki
karakteristik yang khas, karena secara fisik anak tunarungu tidak
mengalami gangguan yang terlihat. Sebagai dampak
ketunarunguannya, anak tunarungu memiliki karakteristik yang khas
dari segi yang berbeda. karakteristik ketunarunguan dilihat dari segi:
intelegensi, bahasa dan bicara, emosi, dan sosial.
a. Karakteristik dari segi intelegensi
Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu
tinggi, rata-rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu
6
memilik ientelegensi normal dan rata-rata. Prestasi anak tunarungu
seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal karena
dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti
pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak
diverbalkan, anak tunarungu memiliki perkembangan yang sama
cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak tunarungu yang rendah
bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak
tunarungu tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki.
Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah,
namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan
motorik akan berkembang dengan cepat.
b. Karakteristik dari segi bahasa dan bicara
Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara
berbeda dengan anak normal pada umumnya karena kemampuan
tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendengar.
Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, maka anak
tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa
merupakan alat dan sarana utama seseorang dalam berkomunikasi.
Alat komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan berbicara,
sehingga anak tunarungu akan tertinggal dalam tiga aspek penting
ini. Anak tunarungu memerlukan penanganan khusus dan
lingkungan berbahasa intensif yang dapat meningkatkan
kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara anak tunarungu
juga dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh
anak tunarungu. Kemampuan berbicara pada anak tunarungu akan
berkembang dengan sendirinya namun memerlukan upaya terus
menerus serta latihan dan bimbingan secara profesional. Dengan
cara yang demikianpun banyak dari mereka yang belum bisa
berbicara seperti anak normal baik suara, irama dan tekanan suara
terdengar monoton berbeda dengan anak normal.
c. Karakteristik dari segi emosi dan sosial
7
Ketunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan
lingkungan. Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek
negatif seperti: egosentrisme yang melebihi anak normal,
mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas,
ketergantungan terhadap orang lain, perhatian mereka lebih sukar
dialihkan, umumnya memiliki sifat yang polos dan tanpa banyak
masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung.3
C. Faktor Penyebab dan Pencegahan Gangguan Komunikasi dan
Gangguan Pendengaran
1. Faktor Penyebab Gangguan Komunikasi dan Gangguan
Pendengaran
a. Faktor penyebab gangguan komunikasi
Penyebab kelainan komunikasi adalah sangat kompleks.
Meskipun kebanyakan anak-anak dievaluasi dalam konteks sistem
pendidikan mempunyai kelainan komunikasi fungsional, tetapi
pengenalan faktor-faktor penyebab lainnya yang bersifat organic
sangat penting diketahui oleh para guru. Penyebab dapat termasuk
di dalamnya ketidaknormalan sebelum lahir, kecelakaan prenatal,
tumor, dan masalah dengan sistem syaraf atau otot, otak, atau
mekanisme bicara itu sendiri. Pengaruh dari agen yang
mempengaruhi embrio atau janin, termasuk sinar x, virus, obat-
obatan, dan racun lingkungan dapat juga menyebabkan kelainan
yang dibawa sejak lahir. Dalam enam minggu pertama sampai dua
belas minggu kehidupan janin, banyka organ tubuh sedang
dibentuk. Apabila ada ageen yang merusak satu organ, maka dapat
berpengaruh terhadap berbagai sistem perkembangan secara terus
menerus.
Gangguan komunikasi pada anak dapat disebabkan karena
adanya gangguan pada masalah memproduksi kata-kata karena
motoric mulut, gangguan system pernafasan, gangguan
3
SARI, Sarah Novi Lia; MEMY, Yuli D.; GHANIE, Abla. Angka kejadian delayed
speech disertai gangguan pendengaran pada anak yang menjalani pemeriksaan pendengaran di
bagian neurootologi IKTHT-KL RSUP Dr. Moh. Hoesin. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan:
Publikasi Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2015, 2.1, 121-127.
8
pendengaran sehingga tidak dapat mendengar apalgi mengingat
kata-kata dengan jelas, tidak memahami arti kata dan
mengasosiasikan dengan situasi serta keadaan lingkungan yang
tidak mendukung anak untuk termotivasi berbicara atau
mengembangkan kemampuan berbicaranya.
Serta fisiologis gangguan yang akan mengakibatkan tidak
lancarnya komunikasi yaitu:
1) Kondisi organ bicara mengalami kerusakan (bibir, gigi, pita
suara, langit-langit keras atau lunak, rongga mulut, hidung
tenggorokan).
2) Organ pendengaran yang berfungsi sebagai transmisi rangsang
bunyi dari lingkungan dan diteruskan ke otak untuk menerima
pesan tidak berfungsi dengan baik.
3) Persyarafan pusat yang berfungsi untuk mengkoordinir
sensorimotoris dalam berkomunikasi berfungsi untuk
mendasari pikiran dan organ pola tindakan juga tidak berfungsi
dengan baik.
Secara psikologis gangguan yang mengakibatkan tidak
lancarnya komunikasi yaitu:
1) Kecerdasan yang rendah yang mengakibatkan keterlambatan
dalam perkembangan bahasa.
2) Minat yang kurang pada lingkungan yang dilihat dan
didengarnya.
3) Tidak adanya dukungan dari lingkungan, mengakibatkan tidak
adanya stimulus untuk berinteraksi dan mengakibatkan
gangguan dalam berinteraksi dan komunikasi.
4) Masalah emosi anak, seperti anak yang menghadapi perceraian
orang tuanya.
b. Faktor penyebab gangguan pendengaran
Sebagian besar faktor penyebab angguan pendengaran pada
anak usia dini adalah dari faktor genetik (bawaan) dan faktor
nongenetik (didapat). Gangguan pendengar juga dapat timbul sejak
9
lahir (prelingual) atau muncul pada usia di atas tiga tahun
(postlingual) yang akan mempengaruhi kemampuan berbahasa dan
kemampuan komunikasi pada anak. Gangguan pendengaran pada
anak usia dini merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran
yang sering terjadi pada bayi sejak lahir (kongenital), umumnya
tipe sensorineural, bersifat bilateral, sebagian besar derajat berat
dan sangat berat.
Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa gangguan
pendengaran pada bayi yang tuli sejak lahir dikarenakan berapa
faktor risiko yang mungkin menyebabkan gangguan pendengaran
antar lain: bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 1500
gram, bayi yang dilahirkan kurang bulan (bayi prematur), bayi
yang memiliki riwayat perawatan di ruang intensive NICU
(Neonatal Intensive Care Unit), ibu memiliki riwayat infeksi
TORCH (Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus, Herpes) pada
saat hamil (Andayani, 2014), bayi dengan peningkatan kadar
bilirubin darah atau hiperbilirubinemia terdapat kelainan bentuk
telinga dan wajah, memiliki riwayat mendapat pengobatan yang
memiliki efek samping merusak sistem pendengaran (ototoksik),
terdapat anggota keluarga yang mengalami gangguan pendengaran
sejak lahir dan bayi pernah mengalami infeksi pada selaput otak
atau meningitis.4
2. Faktor Pencegahan Gangguan Komunikasi dan Gangguan
Pendengaran
a. Pencegahan Primer
1) Hindari obat-obatan ototoksik
4
JAUHARI, Jauhari. Deteksi Gangguan Pendengaran pada Anak Usia Dini. GENIUS:
Indonesian Journal of Early Childhood Education, 2020, 1.1, 61-71.
10
2) Kenali dan atasi penyakit infeksi, seperti meningitis, parotitis,
campak dan TORCH
3) Lakukan pemeriksaan pada saat kehamilan
b. Pencegahan Sekunder
1) Lakukan skrining pendengaran pada anak
2) Monitor kadar obat ototoksik dalam darah
c. Pencegahan Tersier
1) Dorong klien dengan gangguan pendengaran untuk melakukan
rehabilitasi
2) Ajari penggunaan dan perawatan alat bantu dengar dengan tepat
3) Dorong keluarga untuk terus berkomunikasi dengan klien
11
penyaringan dan diagnosis, evaluasi atas intervensi dan riset terhadap
kegiatan asesmen itu sendiri. Informasi yang dihimpun diharapkan akan
memberikan gambaran jelas mengenai kondisi anak yang mengalami
gangguan komunikasi dan gangguan pendengaran, sehingga selanjutnya
dapat dilakukan suatu tindakan ataupun intervensi secara dini, tepat dan
akurat.5
BAB III
PENUTUP
5
Handoyo, Rendy Roos. Pengembangan Komunikasi Anak Tunanetra Dalam Permainan
Kooperatif Traditional. JPK (Jurnal Pendidikan Khusus), 2016, 12.2, 96-111.
12
A. Kesimpulan
1. Gangguan komunikasi yaitu
DAFTAR PUSTAKA
13
Jauhari, J. (2020). Deteksi Gangguan Pendengaran pada Anak Usia Dini.
GENIUS: Indonesian Journal of Early Childhood Education, 1(1), 61-71.
Sari, S. N. L., Memy, Y. D., & Ghanie, A. (2015). Angka kejadian delayed speech
disertai gangguan pendengaran pada anak yang menjalani pemeriksaan
pendengaran di bagian neurootologi IKTHT-KL RSUP Dr. Moh. Hoesin.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan: Publikasi Ilmiah Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, 2(1), 121-127.
14