Anda di halaman 1dari 21

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1.Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui kelarutan obat di dalam lambung.
1.2. Tinjauan Pustaka
Tablet adalah sediaan  padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam
bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung,
mengandung satu jenis obatatau lebih dengan atau  tanpa zat tambahan. Zat
tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang,
zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok (FI III,1979).

Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau
tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai
tablet cetak dan tablet kempa. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan
tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat
dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam
lubang cetakan.

Sediaan tablet merupakan sediaan yang paling banyak diproduksi dan juga
banyak mengalami perkembangan dalam formulasinya. Beberapa keuntungan
sediaan tablet adalah sediaan lebih kompak, dosisnya tepat, mudah
pengemasannya dan penggunaannya lebih praktis dibanding sediaan yang lain.
Selain mengandung bahan aktif, tablet biasanya mengandung bahan tambahan
yang mempunyai fungsi tertentu. Bahan tambahan yang umum digunakan adalah
bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pengembang, bahan pelicin atau zat lain
yang cocok. Bahan tambahan yang digunakan pada pembuatan tablet harus inert,
tidak toksik dan mampu melepaskan obat dalam keadaan relatif konstan pada
jangka waktu tertentu.

Untuk mengetahui karakteristik suatu sediaan tablet maka diperlukan


serangkaian evaluasi atau  pengujian terhadap sediaan tersebut.  Karena sebagian

1
besar diantara kita tidak mengetahui karakteristik tablet yang kita gunakan.  Untuk
itu beberapa parameter-parameter uji sediaan tablet perlu untuk diketahui.
Suatu tablet harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a.    Harus mengandung zat aktif dan non aktif yang memenuhi persyaratan.
b.    Harus mengandung zat aktif yang homogen dan stabil.
c.    Keadaan fisik harus cukup kuat terhadap gangguan fisik/mekanik.
d.   Keseragaman bobot dan penampilan harus memenuhi persyaratan.
e.    Waktu hancur dan laju disolusi harus memenuhi persyaratan.
f.     Harus stabil terhadap udara dan suhu lingkungan.
g.    Bebas dari kerusakan fisik.
h.    Stabilitas kimiawi dan fisik cukup lama selama penyimpanan.
i.      Zat aktif harus dapat dilepaskan secara homogen dalam waktu tertentu.
j.      Tablet memenuhi persayaratan Farmakope yang berlaku

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan
obat yang harus  diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti
kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).

Uji disolusi merupakan salah satu uji yang paling utama digunakan dalam
karakterisasi obat dan kontrol kualitas pada beberapa bentuk sediaan. Sejak tahun
1960, telah disetujui bahwa data disolusi ditentukan dengan studi laju saat bentuk
sediaan melepaskan obatnya untuk terlarut. Dalam perspektif kontrol kualitas, uji
disolusi utamanya digunakan untuk mengkonfirmasi kualitas produk dan
konsistensnya dari batch ke batch serta identifikasi formula yang baik. Uji disolusi
digunakan untuk mengkonfirmasi spesifikasi yang diperlukan sebagai syarat
untuk perizinan pemasaran. (Swarbrick, 2007).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara

2
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-
partikel obat larut dalam cairan  pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus.
Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau
medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan
dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
. Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut
dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat
tersebutumumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju
absorpsinya.Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah
atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut
menjadi tidak sempurna.
 Sediaan tablet termasuk dalam persyaratan uji disolusi yaitu untuk
mengetahui seberapa banyak persentase zat aktif dalam obat yang terlarut dan
terabsorbsi ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi. Disolusi
menggambarkan efek obat terhadap tubuh, jika disolusi memenuhi syarat maka
diharapkan obat akan memberikan khasiat pada tubuh. 
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau
tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi
menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan (Martin, 1993).
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul
obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu
lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat.
Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-
molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan
membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus
meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat  yang
dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut
(Martin, 1993).

3
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau
jika obat diberikan  sebagai suatu larutan  dan tetap ada dalam tubuh seperti itu,
laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya
menembus  menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi  untuk suatu
partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk
dosis yang diberikan,proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang
menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak
hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak
seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi
setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal
dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada
kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan
dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur
hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang
ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan
bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet  (Martin, 1993).
Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh
dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-
sifat fisika kimia dan fisiologis dari system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan
dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-
faktor fisika kimia yang harus dipahami untuk mendesain system pemberian
(Martin, 1993).
Obat-obat yang diberikan dalam bentuk larutan biasanya diabsorpsi lebih
cepat dibandingkan pemberian dalam bentuk padat, karena tidak membutuhkan
prose melarut (Ansel, 1989).
Disolusi dari suatu partikel obat dikontrol oleh beberapa sifat fisika-kimia,
termasuk bentuk kimia, kebiasaan kristal, ukuran partikel, kelarutan, luas
permukaan, dan sifat-sifat pembasahan. Bila data kelarutan kesetimbangan

4
dirangkaikan, maka eksperimen disolusi dapat membantu mengidentifikasi daerah
masalah bioavailabilitas potensial (Lachman, 1994).
Obat dapat diubah dalam system saluran cerna menjadi berbagai bentuk
yang menjadikannya kurang atau lebih lambat tersedia untuk diabsorpsi.
Perubahan ini mungkin disebabkan oleh penggabungan atau berikatannya obat-
obat dengan beberapa bahan lain yang mungkin berupa suatu unsure yang normal
dari system saluran cerna atau suatu bahan makanan atau bahan obat lain. (Ansel,
1989)
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat perlu
dilakukan karena kecepatan pelarutan suatu zat aktif dapat dilakukan pada
beberapa tahap pembuatan sediaan obat yaitu : tahap preformulasi, tahap
formulasi, dan tahap produksi (Effendi, 2005).
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi adalah luas
permukaan, bentuk obat kristal dan amorf, bentuk garam, atau faktor lainnya yaitu
keadaan hidrasi dari suatu obat dapat mempengaruhi kelarutan dan pola absorpsi.
Biasanya bentuk anhidrat dari suatu molekul organic lebih mudah larut daripada
anhidratnya (Ansel, 1989).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis
yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi
telah masuk persyaratan wajib USPuntuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak
tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan
disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi,
tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi
berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul
bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-
granul telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya
ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang
berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari
apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel,
1989).

5
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu
zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Persamaan kecepatan
menurut Noyes dan Whitney sebagai berikut (Ansel, 1993):
                       
dM.dt-1                  : Kecepatan disolusi
D                     : Koefisien difusi
Cs                    : Kelarutan zat padat
C                     : Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
h                      : Tebal lapisan difusi

 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):


1.        Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat
endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut
Einstein,koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut (Martin,
1993):
   D         : koefisien difusi
   r           : jari-jari molekul
   k          : konstanta Boltzman
   ή          : viskositas pelarut
   T          : suhu
2.        Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai
dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan
memperbesar kecepatan disolusi.
3.        pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau
basa lemah.
Untuk asam lemah:
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
       Untuk basa lemah.

6
       Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.

4.        Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.

5.        Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar
sehingga kecepatan disolusi meningkat.

6.        Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal
zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal
meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga
kecepatan disolusinya besar.

7.        Sifat Permukaan Zat


Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob.
Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat
dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan
disolusinya bertambah.

 Ada 2 metode penentuan kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):


1.      Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan
terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu
dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.

2.           Metode Permukaan Konstan

7
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga
variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah
menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi.

 Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (Dirjen
POM, 1995) :
1. Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan yang inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan
keranjang yang berbentuk silinder dan dipanaskan  dengan tangas air pada
suhu 370C.

2. Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang
sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikel
wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.

Untuk menghitung sinar spektrum yang dihasilkan pada saat mencari nilai
absorbansi pada uji disolusi adalah menggunakan alat Spektrofotometri.

Spektrofotometri sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari


spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spectrum
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas
cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan
untuk mengukur energy relatif jika energy tersebut ditransmisikan, direfleksikan
atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang.

Kelebihan spektrofotometer dengan fotometer adalah panjang gelombang dari


sinar putih dapat lebih di deteksi dan cara ini diperoleh dengan alat pengurai
seperti prisma, grating atau celah optis. Pada fotometer filter dari berbagai warna
yang mempunyai spesifikasi melewatkan trayek pada panjang gelombang tertentu
(Gandjar,2007)

 Prinsip Kerja Spektrofotometri

8
Spektrum elektromagnetik dibagi dalam beberapa daerah cahaya. Suatu
daerah akan diabsorbsi oleh atom atau molekul dan panjang gelombang cahaya
yang diabsorbsi dapat menunjukan struktur senyawa yang diteliti. Spektrum
elektromagnetik meliputi suatu daerah panjang gelombang yang luas dari sinar
gamma gelombang pendek berenergi tinggi sampai pada panjang gelombang
mikro (Marzuki Asnah 2012)

Spektrum absorbsi dalam daerah-daerah ultra ungu dan sinar tampak


umumnya terdiri dari satu atau beberapa pita absorbsi yang lebar, semua molekul
dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-tampak. Oleh karena itu mereka
mengandung electron, baik yang dipakai bersama atau tidak, yang dapat dieksitasi
ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang pada waktu absorbsi terjadi
tergantung pada bagaimana erat elektron terikat di dalam molekul. Elektron dalam
satu ikatan kovalen tunggal erat ikatannya dan radiasi dengan energy tinggi, atau
panjang gelombang pendek, diperlukan eksitasinya (Wunas,2011).

Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini


memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil.
Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka yang terbaca
langsung dicatat oleh detector dan tercetak dalam bentuk angka digital ataupun
grafik yang sudah diregresikan (Yahya S,2013).

9
BAB II
DATA PREFORMULASI

2.1.Zat Aktif
1. Sifat Kimia
Nama : Paracetamol
Sinonim : Acetaminophene
Rumus Bangun : C8H9NO2
Berat Molekul : 151,163 g/mol
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa pahit
Kelarutan :  Larut dalam 70 bagian air, 7 bagian etanol,
13bagian aseton, 40 bagian gliserol, 9 bagian
propilenglikol, larut dalam larutan alkali
hidroksida
Stabilitas : Terhidrolisis pada pH minimal 5-7, stabil
pada temperatur 45°C (dalam bentuk serbuk),
dapat terdegradasi oleh quinominim dan
terbentuk warnam pink, coklat dan hitam, relatif
stabil terhadap oksidasi, menyerap uap air dalam
jumlah tidak signifikan pada suhu 25°C dan
kelembaban 90%. Tablet yang dibuat granulasi
basah menggunakan pasta gelatin tidak
dipengaruhi oleh kelembaban tinggi
dibandingkan menggunakan povidon.
2.2.Sifat Farmakologi
Indikasi : Meredakan sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot,
menurunkan demam yang menyertai flu dan paska
vaksinasi.
Kontra indikasi : Tidak dapat digunakan pada pasien yang memiliki
hipersensitivitasterhadap paracetamol dan
penyakit hepar aktif derajat berat.

10
Efek samping :   Mual, sakit perut bagian atas, gatal-gatal,
kehilangan nafsu makan, urin berwarna gelap,
feses berwarna pucat, kuning pada kulit dan mata,
reaksi alergi yang dapat menyebabkan ruam dan
bengkak.
Perhatian :  Penggunaan dalam jangka waktu panjang, perlu
diperhatikan pada pasien dengan penyakit hepar
kronisdekompensata, hipovolemia berat, malnutrisi
kronis, defisiensi G6PD, fenilketonuria, dan
konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama.

2.3.Tinjauan Farmakologi
2.3.1.Farmakodinamika
Paracetamol adalah obat analgesik dan antipiretik yang populer dan
digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal dan sakit ringan, serta
demam. Efek analgesik paracetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yandidugajugaberdasarkan  efek 
sentral  seperti  salisilat.  Efek  anti  inflamasin sangat  lemah,oleh karena itu
Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat
lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat
antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol
hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang
menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan
efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat
sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini
menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin,
tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak

11
dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik.
(Aris 2009).

2.3.2.Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di
hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %
dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi
melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi
substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein
hati.(Lusiana Darsono 2002).

12
BAB III
PELAKSANAAN PRATIKUM

3.1.Alat
 Disolution tester
 spektometer

3.2.Bahan
 Paracetamol
 Buffer fosfat

3.3.Perhitungan Bahan
Buffer fosfat ph 5,8
Larutan stok A : 0,2 M larutan monobasis sodium fosfat (NaH2PO4) →
27,8 gram NaH2P04 dilarutkan dalam 1 Liter Aquadest

Larutan stok B : 0,1 N larutan absorbansis sodium fosfat (Na2HPO4) →


53,65 gram Na2HPO4. 7 H2O dilarutkan dalam 1 L Aquadest

PH 5,8 = 92 ml lar A + 8 ml lar B →ad 200 ml


Bf untuk 2000 ml (PH = 5,8)
Lar A + Lar B + Aquadest ad 2000 ml

2000 ml
= 10
200 ml
lar. Stok A = 10 x 92 ml =920 ml
27,8 gram x
=
1000 ml 920
X = 25, 57 ̴ X = 26 gram

larutan b= 10 x 8 ml =80 ml
53,65 gram X
=
1000ml 80 ml
X = 4, 29 ̴ X = 4,3 gram

13
⋋ max = 243 nm
Y = bx + a
Lar. Baku pct = 10 mg dalam 10 ml Bf
10 mg
= =1 mg/ml = 1000 μl/ml =1000 ppm
10 ml

25 ppm → N 1 . V 1=N 2 .V 2
v1 . 1000 ppm = 25 ppm . 20 ml
v1 = 0,5 ml

20 ppm → N 1 . V 1=N 2 .V 2
v1 . 1000 ppm = 20 ppm . 20 ml
v1 = 0,4 ml

15 ppm → N 1 . V 1=N 2 .V 2
v1 . 1000 ppm = 15 ppm . 20 ml
v1 = 0,3 ml

10 ppm → N 1 . V 1=N 2 .V 2
v1 . 1000 ppm = 10 ppm . 15 ml
v1 = 0,15 ml

5 ppm → N 1 . V 1=N 2 .V 2
v1 . 1000 ppm = 5 ppm . 10 ml
v1 = 0,05 ml

3.4 Prosedur Kerja


Uji disolusi in vitro (FI IV)
1. Baca petunjuk penggunaan alat terlebih dahulu untuk menghindari
kesalahan yang dapat berakhibat kerusakan pada alat dan pengukuran

14
2. Dibuat media disolusi sesuai dengan monografi tablet
3. Dimasukkan masing-masing 1 tablet kedalam labu yang berisi media
disolusi sesuai monografi sebanyak 900 ml. Suhu dipertahankan pada 37 ±
0,5 ̊ C. Pengadukan diatur pada kecepatan konstan 50 rpm
4. Diamkan cuplikan dalam interval waktu ke – 0 menit, 5 menit, 10 menit,
15 menit, 30 menit dan 60 menit masing-masing sebanyak 10 ml pada
daerah pertengahan antara permukaan media dan bagian atas
keranjang/dayung dan ± 1 cm dari dinding wadah. Setiap pengambilan
cuplikan diganti dengan media sejumlah volume dan suhu yang sama
5. Dibuat larutan baku perbandingan bahan aktif dan dicari panjang
gelombang maksimum dan persamaan regresi linier untuk tablet analgetik
a. Pembuatan larutan stok 0,1%
 Ditimbang seksama 100 mg baku standar (annnnnntalgin murni)
 Dimasukkan kedalam labu takar 100 ml
 Ditambahkan HCl 0,1 N ad 100 ml, kocok ad larut
b. Penaentuan ⋋ max
 Diambil 200 μl larutan stok 0,1%
 Dimasukkan kedalam labu takar 10 ml
 Ditambahkan HCl 0,1 N ad 10 ml
 Dimasukkan larutan kedalam kuvet
 Diukur absorbansi pada panjang gelombang UV ditentukan
 Ditemukan ⋋ max
c. Penentuan kurva baku
 Dibuat seri volume pengambilan larutan stok 0,1%, yaitu : 75 μl, 125
μl, 175 μl, 225 μl dan 300 μl (hitung konsentrasi)
 Dimasukkan kedalam labu takar 10 ml dan tmbahkan pelarut HCl 0,1
N ad 10 ml
 Masing – masing konsentrasi diukur absorbansinya pada ⋋ max dan
tentukan persamaan regresi linier

15
6. Penentuan kadar sampel (cuplikan) : dimasukka cuplikan kedalam kuvet
dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum dan hitung
kadarnya

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Konsentrasi (x) Absorbansi (y)


25 ppm 0,589
20 ppm 0,6629
15 ppm 0,9406
10 ppm 1,5796
5 ppm 1,6496

Dik : A = 0,17313

B = 0,06

r = 0,95

y = 0, 9029

Ditanya X ?

Jawab : y = bx + a

0, 9029 = 0,06x + 0,17313

0,9029 – 0,17313 = 0,06 x

0,72977 = 0,06 x

X = 12, 1628 ppm

= 0,0121628 mg/mL

Jumlah yang larut dalam 900 mL = konsentrasi x faktor disolusi x 900 Ml

16
= 0,0121628 mg/mL x 50 mL x 900 mL

= 547, 326 mg

547 ,326 mg
% terdisolusi = x 100 %
500 mg

= 109, 4 %

4.2 Diskusi

Pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi pada sediaan tablet
paracetamol. Adapun uji disolusi ini digunakan untuk menentukan kesesuaian
dengan persyaratan disousi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk
sediaan tablet kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.

Prinsip kerja disolusi adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat kedalam media pelarut. Pertama dilakukan adalah membuat
media pelarut, dimana pelarut yang digunakan adalah buffer fosfat yang terdiri
dari larutan stok A dan larutan stok B. Larutan stok A terdiri dari 27,8 gram
monobasis sodium fosfat (NaH2PO4) yang dilarutkan dalam 1 L aquadest.
Sedangkan larutan stok B terdiri dari 5,365 gram dibasis sodium fosfat (Na 2HPO4)
yang dilarutkan dalam 100 mL aquadest.

Kemudian dibuat larutan buffer dapar fosfat pH 5,8 sebanyak 2 L. Untuk


membuat dapar fosfat pH 5,8 ditambahkan larutan A sebanyak 920 ml dan larutan
B sebanyak 80 ml, lalu di ad kan dengan aquadest hingga 2 L. Dibuat larutan
baku parasetamol dengan konsentrasi 1000 ppm. Untuk membuat larutan baku
dengan konsentrasi 1000 ppm ditimbang parasetamol 10 mg lalu di laruutkan
dengan 10 ml larutan buffer.

Kemudian dilakukan uji disolusi dengan menggunakan dissolution tester


dengan cara dimasukkan 900 ml larutan buffer fosfat dalam wadah dan diatur
suhu 37 + 0,50C selama 30 menit lalu dimasukkan tablet paracetamol. Kemudian
tunggu paracetamol homogen dengan larutan buffer . Setelah 30 menit diambil 1
ml larutan paracetamol dimasukkan kedalam labu ukur 50ml, lalu di ad kan
sampai tanda batas dengan menggunakan larutan buffer dan dihomogenkan.

17
Dibuat pengenceran bertingkat dengan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15
ppm, 20 ppm, 25 ppm. Larutan baku dengan konsentrasi 5 ppm dengan
mengambil larutan baku konsentrasi 1000 ppm sebanyak 0,05 ml lalu di ad kan
hingga 10 ml larutan buffer, konsentrasi 10 ppm dengan mengambil larutan baku
konsentrasi 1000 ppm sebanyak 0,15 ml lalu di ad kan hingga 15 ml larutan
buffer, konsentrasi 15 ppm dengan mengambil larutan baku konsentrasi 1000 ppm
sebanyak 0,3 ml lalu di ad kan hingga 20 ml larutan buffer, konsentrasi 20 ppm
dengan mengambil larutan baku konsentrasi 1000 ppm sebanyak 0,4 ml lalu di ad
kan hingga 20 ml larutan buffer, konsentrasi 25 ppm dengan mengambil larutan
baku konsentrasi 1000 ppm sebanyak 0,5 ml lalu di ad kan hingga 20 ml larutan
buffer.Kemudian di uji nilai absorbansi dari larutan baku konsentrasi 1000 dengan
menggunakan spektrofotometer, dimasukkan larutan baku kedalam kuvet lalu
dimasukkan kedalam alat spektrofotometer. Lalu didapatkan nilai absorbansinya.
Lalu dihitung juga nilai absorbansi larutan baku pengenceran bertingkat kemudian
di hitung nilai regresi dari konsentrasi dan nilai absorbansi. Nilai regresi yang
kami peroleh yaitu 0,95. Nilai regresi tidak mencapai 0,99 mungkin disebakan
oleh ketidak telitian pada saat pembuatan larutan baku. Sehingga kurva yang
diperoleh tidak lurus. Dan nilai A yang diperoleh yaitu 0,17313 dan nilai B yang
diperoleh yaitu 0,06. Sehingga diperoleh persamaaan y = 0,06 x + 0,17313.

Cuplikan yang telah di homogenkan dengan larutan buffer ad 50 ml di uji


nilai absorbasinya dengan menggunakan alat spektrofotometer hingga diperoleh
nilai absorbansi (y) 0,9029. Sehingga diperoleh nilai X = 0,0121628 mg/Ml. Dan
diperoleh jumlah yang terdisolusi dalam 900 ml buffer fosfat 5,8 yaitu 547, 326
mg. Sehingga persentase terdisolusi yang diperoleh yaitu 109,4%.Tablet yang
diujimemenuhi syarat karena tidak <80%.

GAMBAR 1. Grafik hasil absorbansi

18
Grafik Absorbansi
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
5 10 15 20 25

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
 Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut.
 Uji disolusi merupakan salah satu uji yang paling utama digunakan dalam
karakterisasi obat dan kontrol kualitas pada beberapa bentuk sediaan.
 Tujuan uji disolusi ialah untuk mengetahui kelarutan obat di dalam
lambung.
 Spektrofotometer digunakan untuk mengukur energy relatif jika energy
tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi
panjang gelombang.
 Tablet yang diujimemenuhi syarat karena tidak <80%.

5.2 Saran
Pada praktikum ini diharapkan mahasiswa dapat melaksanakan tiap-tiap
tahapan uji disolusi secara teliti agar dapat menghasilkan hasil yang baik serta
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

19
LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Ansel,Howard C. 2005.  Pengantar bentuk sediaan farmasi, Edisi IV. Universitas


Indonesia. Jakarta.
Depkes. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Depkes. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Kloe. 2010. Metode granulasi kering. Available online at:
http://duniafarmasi.com/farmasetika/metode-granulasi-kering [diakses 27
April 2013]
Lachman, L., A. L. Herbert, & L. K. Joseph. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Diterjemahkan oleh: Siti Suyatmi. Universitas Indonesis Press.
Jakarta

20
Sulaiman, T. N. S.  2007. Teknologi dan Formulasi Sediaan Tablet. Pustaka
Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta.
Voigt, R. 1984. Buku Ajar Teknologi Farmasi, Edisi V. diterjemahkan oleh
Soewandhi, S. N., Edisi 5. UGM Press. Yogyakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai