Anda di halaman 1dari 7

Tugas Kelompok

Psikologi Keluarga

KELUARGA BAHAGIA MENURUT BUDAYA BUGIS

Oleh:
Kelompok 1
Stenly Christofher Q11116311
Jane Bandaso’ Q11116312
Dayana Melati Mokoginta Q11116502
Nanda Putri Faturachma Q11116504
Erfiani Wahyuningsih Q11116506

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
Keluarga Bahagia Menurut Budaya Bugis

Keluarga bukan hanya sebagai tempat intimasi secara fisik dan psikologis,
keluarga merupakan pertemuan antara dua budaya yang berbeda dengan segala
macam kompleksitasnya membentuk sebuah sistem sendiri, budaya sendiri serta
aturan sendiri yang diterapkan oleh anggota dalam keluarga yang masing-masing
telah memiliki batasan dan peran pada keanggotaanya dalam keluarga
(Goldenberg & Goldenberg, 2007). Indonesia merupakan suatu negara yang
majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana
penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara ini memiliki beragam
adat budayanya dan hukum adatnya, suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri.
Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah suku Bugis. Suku Bugis menganut
sistem Patrilineal yaitu apabila ayahnya memiliki gelar kerajaan maka gelar
tersebut akan diturunkan kepada anaknya atau dapat dikatakan bahwa hukum adat
yang berlaku adalah mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki. Pada
masyarakat suku Bugis, gelar kerajaan sangat berpengaruh dalam perkawinannya
dan masyarakat suku Bugis sebagian besar menikahkan anaknya dengan anggota
keluarganya sendiri. Kebiasaan perkawinan antar ikatan saudara di suku Bugis
tersebut telah berlaku sejak dulu yaitu akhir abad 19 (Idrus, 2005).

Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku yang masih mempertahankan


budaya dan adat istiadat di Indonesia. Keberagaman suku bangsa di Indonesia
juga berpengaruh terhadap sistem perkawinan dalam masyarakat. Bagi masyarakat
Bugis, perkawinan berarti siala’ saling mengambil satu sama lain. Jadi
perwakinan merupakan ikatan timbal balik. Walaupun mereka berasal dari status
sosial yang berbeda tetapi setelah menjadi suami-istri mereka merupakan “mitra”.
Perkawinan bukan hanya sekedar penyatuan dua mempelai akan tetapi setelah
upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki
hubungan sebelumnya dengan maksud untuk mempereratnya (ma’pasideppe’
mabela’e) (Pelras, 2006).
Pada suku Bugis untuk membina keluarga yang bahagia, dari jaman leluhur
mereka harus melakukan perkawinan sesama saudara untuk mempertahankan
kekuatan sukunya. Selain itu, suku bugis menganggap bahwa dengan menikah
antar sesama sukunya, mereka dapat mempertahankan garis keturunan bugis
mereka, agar komunikasinya lancar menggunakan bahasa daerah bugis, dan untuk
menjaga harta kekayaan atau harta warisan agar tetap jatuh kepada keluarganya
sendiri sehingga dapat menunjang mereka untuk membentuk keluarga yang
bahagia. Selain itu budaya masyarakat suku Bugis lainnya yaitu pasangan yang
hendak menikah tidak boleh berasal dari generasi atau angkatan yang berbeda
melainkan harus berasal dari angkatan atau generasi yang sama (Pelras, 2006).
Perkawinan sesama saudara dapat dikatakan sebagai perjodohan yang
dilakukan oleh kedua pihak keluarga. Perjodohan dalam masyarakat Bugis,
menurut Hamid Abdullah (1985) adalah sistem pernikahan yang bersifat
endogami, yaitu suatu usaha untuk mempertahankan garis keturunan dengan motif
yang berbeda-beda. Ada yang berdasarkan motif darah atau kebangsawanan, motif
kekayaan, dan ada pula motif untuk mempertahankan garis kekerabatan (Said,
2016).
Mattulada (1975) mengatakan, bahwa ada tiga jenis perjodohan ideal
berdasarkan seajing (kerabat), yaitu (Said, 2016):
1. Assialang-marola (perjodohan wajar), yaitu pernikahan antara sepupu
sekali.
2. Assialang memeng (perjodohan yang semestinya), yait pernikahan
antara sepupu dua kali dari kedua belah pihak orang tua.
3. Ripaddeppe mabelae (mendekatkan yang jauh), yaitu pernikahan antara
sepupu tiga kali dari kedua belah pihak orang tua.
Praktik pernikahan antara keluarga dekat itu juga dimaksudkan untuk
mempertahankan status sosial dalam keluarga. Oleh karena itu, di daerah Bugis
konsep keluarga besar (extended family) masih tetap bertahan dan biasanya
pertalian pernikahan terjadi diantara mereka yang masih bersepupu (Said, 2016).
Selain melakukan perkawinan sesama saudara untuk membina keluarga
bahagia, masyarakat suku Bugis juga menganggap bahwa keluarga yang bahagia
adalah keluarga yang memiliki ketahanan keluarga yang baik. Adapun ketahanan
keluarga yang dimaksud adalah adanya jiwa altruism antara anggota keluarga
yaitu berusaha melakukan sesuatu untuk anggota keluarga yang lain, melakukan
dan melangkah bersama, pemeliharaan hubungan keluarga, menciptakan atmosfir
positif, melindungi martabat bersama dan merayakan kehidupan bersama. Budaya
masyarakat suku Bugis untuk menjaga ketahanan keluarga tersebut yaitu budaya
siri’, pammali, dan sipakatau (Idrus, 2005).
Pada penelitiannya (Sharyn Graham, 2001) mendefinisikan siri’ sebagai
suatu konsep dalam masyarakat bugis yang telah menjadi falsafah hidup dan terus
diturunkan antar generasi atau dengan kata lain siri’ diartikan sebagai perasaan
malu, rasa segan, harga diri, dan kehormatan. Siri’ merupakan suatu simbol harga
diri atau marwah yang harus dipertahankan dan dijaga seumur hidup oleh
masyarakat Bugis. Pada keluarga suku Bugis maksud dari budaya siri’ yang perlu
diterapkan dalam keluarga yaitu sebagai marwah atau nama baik keluarga yang
harus dijaga dan dipelihara oleh setiap anggota keluarga, jika hal tersebut tidak
ditegakkan maka akan menimbulkan rasa malu serta rasa bersalah yang mendalam
bagi seluruh anggota keluarga.
Masyarakat suku Bugis masih menjunjung tinggi adat istiadat yang disebut
dengan siri’ yang menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat Bugis
seperti martabat, reputasi dan kehormatan. Hal tersebut merupakan salah satu hal
yang mendasari terbentuknya keluarga bahagia pada masyarakat suku Bugis.
Siri` adalah salah satu budaya masyarakat Bugis yang dijunjung tinggi dan
terpelihara sejak lama. Berbagai pihak mengartikan konsep ini sebagai harga diri,
kehormatan, martabat, etos dan malu. Dalam khasanah kesusastraan Bugis dikenal
ungkapan-ungkapan yang mengisyaratkan adanya pandangan tersebut yang
mendorong masyarakat untuk bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Mereka harus menjaga, mempertahankan dalam menegakkan siri` (Idrus, 2005).
Budaya siri’ ditegakkan hampir pada segala aspek kehidupan masyarakat
Bugis, termasuk dalam keluarga. Harga diri atau martabat suatu keluarga tercemar
akibat hubungan seks yang menyimpang dari aturan siri` merupakan daya
pendorong untuk mengusir siapa saja yang dianggap telah menyimpang atau
merendahkan martabat mereka. Pada kerabat wanita, yaitu ayah, kakak, adik,
paman, sepupu, dan para kerabat lainnya berusaha mencari dan menghukum pria
yang telah menodai kerabat wanita mereka (Idrus, 2005).
Adapun beberapa nilai-nilai siri’ yang ditekankan di suku Bugis mencakup
(Marzuki, 1995):

1. Sipakatau, saling menghargai dan menghormati sesama manusia. 


2. Pesse, bermakna kesetiakawanan terhadap manusia.  
3. Parakai sirimu, perasaan tanggung jawab dan pengendalian diri.
4. Cappa lila, keterampilan berkomunikasi dan berdialog dengan penuh
keterbukaan dan tutur kata yang santun.

5. Rupannamitaue dek naullei ripinra atau hanya wajah manusia yang tidak


bisa diubah. Petuah ini bermakna percaya diri dan sikap optimisme
terhadap peluang terjadinya perubahan pada diri manusia ke arah yang
lebih baik.

6. Sipatuo sipatokkong dan sipamali siparappe (saling mengembangkan dan


saling menghidupkan) yang berimplikasi kepada saling membantu dan
memahami orang lain.

7. Pajjama (usaha dan kerja keras) mengandung makna kemandirian, sikap


optomis dan dinamis menghadapi masa depan disertai ketekunan dan kerja
keras.

8. Getteng (ketegasan prinsip) mengandung makna kepercayaan diri,


keberanian menanggung resiko, dan adanya kesesuaian antara perkataan
dan perbuatan.
Nilai-nilai ini yang akan menghantarkan keluarga dalam bertindak dan
berperilaku. Adapun nilai-nilai ini sangat dijunjung tinggi, sehingga keluarga akan
menurunkan nilai-nilai ini pula ke anak dan cucunya.
Selain itu, budaya Bugis untuk menciptakan keluarga yang berketahanan
yaitu dengan pendekatan budaya lokal. Diantaranya Pamali yang diperkenalkan
sebagai instrumen pendidikan dalam keluarga suku Bugis dan konsep Sipakatau’
yang merupakan gambaran tentang pelayanan lansia dalam keluarga pada Etnis
Bugis (Afiatin dkk, 2018).

Pada etnis suku Bugis, sebagaimana yang dituliskan dalam naskah I La Galigo
ada beberapa nilai budaya yang menjadi nilai dasar dalam kehidupan termasuk
dalam keluarga yaitu dalam pandangan masyarakat suku Bugis terdapat 5 ciri
penting yang menjadi syarat untuk menjadi orangtua yang ideal dalam sebuah
keluarga yang bahagia yaitu (Maria dkk, 2014):

1. To warani yang bermakna bahwa orangtua harus berani dalam membela


keluarga.
2. To macca, yang bermakan bahwa orangta harus cerdas karena akan
mendidik anak-anaknya.
3. To sugi, yang bermakna orangtua harus kaya agar dapa menghidupi
keluarganya.
4. To panrita’, yang bermakna bahwa orang tua harus bijaksana dalam
membimbing keluarganya.
5. Taro ada taro gau’, yang bermakna bahwa orangtua harus jujur dan
konsisten karena merupakan contoh teladan bagi keluarganya.

Keluarga dalam budaya Bugis sangat menghormati orang yang memiliki


kedudukan terpandang, hal ini memicu masyarakat Bugis akan mengupayakan
anak dan cucu mereka memiliki kedudukan yang terpandang (contoh: memiliki
pendidikan tinggi). Ajaran agama juga merupakan salah satu referensi masyarakat
Bugis dalam bertingkah laku dan juga berkeluarga. Hal ini dapat dilihat dari
ungkapan-ungkapan yang ada di masyarakat Bugis, sebagai berikut (Marzuki,
1995)
1. Masiri`ka mewaki situdangeng nasaba angka onrotta, artinya: segan aku
duduk bersama tuan, karena tuan mempunyai kedudukan terpandang.
2. De`ga mumasiri ri Nabitta, na de`muturu siwi pangajaranna, artinya:
Tidakkah engkau takut kepada Nabi kita, sehingga engkau tidak mematuhi
ajarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid. (1985). Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press

Afiatin, dkk. (2018). Psikologi Perkawinan dan Kelarga: Penguatan Keluarga di


Era Digital Berbasis Kearfian Lokal. Yogyakarta: PT. Kansius.

GoldenBerg, I & Goldenberg H. (2007). Family Therapy: An overview, Belmont,


CA: Brooks/Cole.

Idrus, N. I (2005). Siri’, Gener, and Sexuality Among the Bugis in South Sulawesi.
Antroplogi Indonesia. 29 (1).

Maria E, dkk. (2014). Orang Tua Ideal Masa Kini: Studi Keharmonisan Orang
Tua-Anak pada Empat Etnik di Makassar). XV

Marzuki, M. Laica. (1995). Siri': Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-


Makassar. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

Pelras, Christian. (2006). Manusia Bugis. Bogor: Grafika Mardi Yuana.

Said, M. (2016). Jati Diri Manusia Bugis. Jakarta: Pro de leader.

Anda mungkin juga menyukai