Anda di halaman 1dari 11

Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah Psikologi Keluarga :

1. Umniyah Saleh, S.Psi., M.Psi., Psikolog


2. Dra. Dyah Kusmarini, Psych.
3. Yassir Arafat Usman, S.Psi., M.Psi., Psikolog
4. Rizky Amalia Jamil, S.Psi., M.A.

PAPER KELUARGA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA INDONESIA


MATA KULIAH PSIKOLOGI KELUARGA

Kelompok 6

Wa Ode Zahrah Amalia (Q11116513)


Salsabila Novayanti Arliansyah (C021191021)
Andi Atikah Maulidya (C021191047)

Kelas Psikologi B 2019

Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2021
Keluarga dalam Perspektif Budaya Indonesia

A. Definisi Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari kata kawula dan
warga yang memiliki arti anggota hamba atau warga saya. Warga saya
diartikan sebagai suatu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan
dirinya juga merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan
(Abu & Nur, 2001).
Keluarga dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai sekumpulan
orang yang tinggal dalam satu rumah yang memiliki hubungan darah karena
perkawinan dan kelahiran. Keluarga ini terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anak-anak.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah
sekumpulan orang yang memiliki hubungan darah meliputi Ayah, Ibu, dan
Anak (Alwi, 2013).
Keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari
suatu sistem sosial yang ada di masyarakat. Sebagai satuan terkecil, maka
keluarga menjadi miniatur dan cikal bakal berbagai unsur sistem sosial
manusia. Keluarga adalah bagian masyarakat yang peranannya sangat penting
untuk membentuk kebudayaan yang sehat. Dari keluarga, pendidikan individu
dimulai dan tercipta tatanan masyarakat yang baik, sehingga mampu
membangun suatu kebudayaan (Setiadi, 2008).
Keluarga adalah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam
masyarakat (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016). Keluarga merupakan
suatu lembaga yang paling kecil dalam kelembagaan masyarakat yang mana
memiliki multifungsi, yaitu fungsi sosialisasi dan pendidikan dalam rangka
membentuk karakter masyarakat yang mulia, bermoral, beretika, cerdas,
mandiri, serta sejahtera secara lahiriah dan batiniah. Oleh karenanya, keluarga
merupakan suatu pranata yang penting dalam kehidupan manusia yang

1
selanjutnya akan menentukan jaringan ikatan sosial antar individu-individu
yang berdasar pada afinitas (ketertarikan karena kesamaan kepentingan),
yakni perkawinan dan monsaguinitas (ketertarikan karena hubungan darah
atau genetik Pembangunan daripada keluarga ini diarahkan kepada
terwujudnya kehidupan keluarga sebagai wahana persemian nilai-nilai luhur
budaya bangsa guna meningkatkan kesejahteraan keluarga dan membina
ketahanan keluarga.

B. Ukuran Keluarga di Indonesia


Laksono dan Wulandari (2021) mengemukakan bahwa beberapa suku di
Indonesia memiliki budaya terkait ukuran keluarga, yaitu terbiasa untuk
memiliki anggota keluarga sebanyak lebih dari empat orang. Misalnya, suku
Lani dan suku Aceh yang ingin memiliki anak sebanyak 4-7 orang karena
beranggapan bahwa untuk mempertahankan eksistensi sukunya, mereka
membutuhkan banyak anak. Begitupun dengan suku Jawa yang memiliki
prinsip yang sama, serta memiliki pedoman bahwa semakin banyak anak,
semakin banyak rejeki yang akan diterima oleh keluarga. Selain itu, Laksono
dan Wulandari (2021) mengidentifikasi beberapa faktor yang memengaruhi
ukuran keluarga di Indonesia berdasarkan dua kategori keluarga, yaitu
keluarga yang memiliki kurang atau sama dengan empat anggota keluarga dan
keluarga yang memiliki lebih dari empat anggota keluarga, diantaranya
adalah:
a. Jenis Tempat Tinggal
Berdasarkan jenis tempat tinggal, keluarga yang beranggotakan lebih dari
empat orang lebih banyak di daerah pedesaan dibandingkan di daerah
perkotaan.
b. Status Kekayaan
Berdasarkan status kekayaan, keluarga yang beranggotakan lebih dari
empat orang lebih banyak terdapat pada keluarga dengan status kekayaan

2
lebih rendah dibandingkan dengan keluarga dengan status kekayaan lebih
tinggi.
c. Status Perkawinan
Berdasarkan status perkawinan, keluarga yang beranggotakan kurang dari
atau sama dengan empat orang dan keluarga yang beranggotakan lebih
dari empat orang, sama-sama didominasi oleh pasangan yang telah
menikah dibandingkan dengan pasangan yang tidak menikah dan hanya
tinggal bersama.
d. Durasi Cohabitation
Berdasarkan durasi cohabitation, pasangan dengan anggota keluarga yang
berjumlah lebih dari empat, lebih dominan pada pasangan yang memiliki
durasi cohabitation selama 20-24 tahun, sedangkan pasangan dengan
anggota keluarga yang berjumlah kurang dari atau sama dengan empat,
lebih dominan pada pasangan yang memiliki durasi cohabitation selama
5-9 tahun.
e. Jenis Kelamin Anak Lengkap
Berdasarkan jenis kelamin anak lengkap, keluarga yang beranggotakan
lebih dari empat orang didominasi oleh pasangan yang memiliki anak
dengan jenis kelamin yang lengkap (perempuan dan laki-laki),
dibandingkan dengan pasangan yang memiliki anak dengan jenis kelamin
tidak lengkap.
f. Penggunaan Alat Kontrasepsi
Berdasarkan penggunaan alat kontrasepsi, kedua kategori keluarga
didominasi oleh pasangan yang menggunakan alat kontrasepsi.
g. Usia Suami/Istri
Berdasarkan usia suami dan istri, kategori keluarga yang memiliki kurang
dari atau sama dengan empat anggota, memiliki rata-rata usia lebih muda
dibandingkan dengan kategori keluarga yang memiliki lebih dari empat
anggota.

3
h. Tingkat Pendidikan Suami/Istri
Berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri, kedua kategori keluarga
didominasi oleh suami dan istri yang memiliki pendidikan tingkat
menengah.
i. Status Pekerjaan Suami/Istri
Berdasarkan status pekerjaan suami, keluarga yang beranggotakan lebih
dari empat orang lebih didominasi oleh suami yang bekerja pada bidang
pertanian, sedangkan keluarga yang beranggotakan kurang dari atau sama
dengan empat orang lebih didominasi oleh suami yang bekerja pada
bidang industri. Berdasarkan status pekerjaan istri, kedua kategori
keluarga didominasi oleh istri yang bekerja.

C. Extended Family
Pada budaya Indonesia, penerapan extended family masih berkembang. Hal
ini memungkinkan lansia untuk tinggal bersama keluarga, baik bersama anak,
menantu, cucu atau anggota keluarga lainnya. Dukungan keluarga yang
berupa pemberian bantuan dari anak kepada orang tua masih berperan sangat
besar pada masyarakat Indonesia. Lansia mempunyai kedudukan yang cukup
tinggi sebagai orang tua yang harus dihormati dan dihargai karena dianggap
mempunyai lebih banyak pengalaman sehingga pendapatnya masih
dibutuhkan dalam pengambilan keputusan keluarga (Riasmini, Sahar &
Resnayati, 2013).
Dalam penelitian Riasmini, Sahar & Resnayati (2013) menunjukkan
bahwa sistem nilai budaya Indonesia menjunjung tinggi pengabdian terhadap
orang tua. Alasan keluarga merawat lansia karena tanggung jawab, yaitu tugas
anggota keluarga, balas budi, kepuasan, caregiver utama, kedekatan dan rasa
kasihan. Bentuk tanggung jawab keluarga merawat lansia tergambar melalui
nilai yang masih berlaku dalam masyarakat bahwa anak wajib memberikan
kasih sayang kepada orangtuanya sebagaimana pernah mereka dapatkan

4
sewaktu mereka masih kecil sebagai bentuk balas budi anak kepada orang tua.
Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai loyalitas menyantuni orang
tua mereka yang sudah tidak dapat mengurus dirinya sendiri.

D. Keluarga dalam Budaya Jawa


Pada masyarakat suku Jawa, keluarga merupakan sebuah tempat di
mana terdapat rasa kesediaan spontan untuk saling membantu. Individu dapat
percaya pada sesama, dan tidak pernah akan ditinggalkan begitu saja. Dalam
budaya Jawa, hendaknya setiap anggota keluarga dapat mengembangkan
keutamaan-keutamaan seperti rasa belas kasihan, kebaikan hati, kemurahan
hati, kemampuan ikut merasakan kegelisahan yang lain, rasa tanggung jawab
sosial, keprihatinan terhadap sesama, belajar berkorban demi orang lain dan
menghayati pengorbanan itu sebagai nilai yang tinggi (Rachmatullah, 2011)
Keluarga akan berusaha untuk melindungi setiap anak terhadap
pengalaman-pengalaman negatif. Terutama terhadap anak kecil yang
dianggap belum mampu menerapkan nilai-nilai dan akal budinya (durung
ngerti). Oleh karena itu, tidak perlu keluarga untuk memaksa anak
menunjukkan suatu sikap yang syarat-syaratnya belum ada padanya. Orang
tua pun tak dapat menghukumnya, karena kesalahan-kesalahannya itu masih
berada jauh di luar penalarannya. Dalam keluarga, hubungan antara para
anggotanya diharapkan didasari atas rasa cinta (tresna), dan tresna itu nampak
jika individu tidak merasa isin satu sama lain. Dalam lingkungan masyarakat
luas segalanya ditentukan oleh kedudukan dan pangkat, sedangkan dalam
keluarga, ditentukan oleh suasana keakraban (Rachmatullah, 2011). Konsep
keluarga di Jawa, sama halnya dalam konsep keluarga pada umumnya terdiri
atas unsur ayah, ibu beserta anak-anaknya kadang-kadang bahkan diperluas
dengan pembantunya, maka di dalam keluarga berlakulah berbagai hubungan
yaitu, hubungan antara suami dengan isteri dan sebaliknya, hubungan antara

5
orang tua dengan anak-anaknya, hubungan antara anak dengan anak (Adhitya,
2015).
Setiap keluarga mempunyai cita-cita agar mereka memperoleh
kebahagiaan dalam hidupnya. Agar cita-cita tersebut dapat tercapai di
samping berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan material, ayah dan
ibu selalu mengasuh anak-anaknya agar menjadi manusia yang mempunyai
tabiat baik. Di dalam keluarga seyogianya tercipta suasana yang menunjang
tercapainya tujuan tersebut. Suasana tersebut harus terlihat di dalam seluruh
hubungan antara anggota-anggotanya, semua pihak atau anggota harus
mengetahui bagaimana kedudukan dan fungsi masing-masing. Supaya anak-
anak mereka mempunyai watak sebagaimana yang diinginkan oleh keluarga,
maka sejak kecil mereka harus diberi tahu dan diajar melakukannya dengan
baik (Adhitya, 2015).
Dalam keluarga, dapat jumpai berbagai macam aturan atau ketentuan
yang biasanya tidak tertulis mengenai apa yang seyogianya dilakukan oleh
seluruh anggotanya. Dalam hal ini ada aturan mengenai hubungan antara
suami dan isteri yang sebaik-baiknya karena mereka adalah kepala keluarga
dan wakilnya. Mereka perlu memberikan contoh kepada anak-anaknya.
Demikian pula ada aturan yang wajib dilakukan oleh orang tua terhadap anak-
anaknya, sebaliknya ada aturan yang wajib dilakukan oleh anak-anak terhadap
orang tua mereka (Adhitya, 2015).
Individu yang menganut budaya Jawa memperlakukan orang tua
cukup tinggi. Pada keluarga Jawa, sebagian besar orang tua akan selalu
dhormati dan dihargai. Biasanya mereka akan selalu dibawa di tengah-tengah
keluarga. Namun, sebagian lainnya, orang tua dari keluarga Jawa, memiliki
kehormatan tersendiri apabila mereka dapat menikmati masa tua nya sendiri,
hidup dengan tidak banyak anggota keluarga. Biasanya mereka hidup di
daerah asal kelahiran mereka hingga tutup usia (Adhitya, 2015).

6
E. Keluarga dalam Budaya Papua
Di Papua, hampir 70% penduduknya berdomisili di kampung dan
pedalaman, lalu selebihnya berdomisili di daerah perkotaan. Keluarga di
Papua terdiri dari suami-istri, atau suami, istri, dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya. Komposisi rumah tangga menurut jenis
kelamin kepala rumah tangga dan jumlah anggota rumah tangga berkaitan
dengan aspek kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga yang dikepalai
wanita, biasanya lebih miskin dari rumah tangga yang dikepalai pria. Rumah
tangga yang jumlah anggotanya banyak, umumnya memiliki tingkat
kepadatan yang lebih tinggi yang biasanya berkaitan dengan kondisi
kesehatan yang kurang memadai dan mengalami kesulitan secara ekonomi
(Rahail et. al., 2014).
Papua memiliki lebih dari 220 suku dan sub-suku dengan bahasa dan adat
budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Keluarga dalam suku-suku di
Papua difungsikan untuk membangun tradisi kekerabatan dan kebersamaan.
Hal tersebut dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat yang tinggal secara
bersama dengan rukun dalam satu atap, dalam honai, bewak, dan sebagainya.
Sistem komunal dalam rumah betang ditunjukkan dengan sistem kepemilikan
bersama dalam pengelolaan rumah maupun tanah tempat rumah betang
berdiri. Semua keluarga yang mendiami rumah Betang secara bersama
menguasai pula semua tanah di wilayah rumah Betang. Hak pengelolaan
wilayah rumah Betang merupakan hak sekunder, sedangkan hak primer atau
hak menggunakan rumah juga dipegang setiap keluarga atau kelompok
keluarga kecil yang memiliki ikatan kekerabatan komunalisme tersebut
merupakan bukti adanya egalitarisme yang kokoh dalam keluarga Papua
(Rahail et. al., 2014).

7
Keluarga suku Papua mengenal sistem parental bilateral, yaitu garis
keturunan diambil baik dari pihak Ibu maupun pihak Ayah. Sejak dulu kala,
dalam kehidupan rumah tangga, perempuan Papua lebih banyak mengerjakan
pekerjaan pada ruang domestik, sedangkan laki-laki mendominasi ruang
publik. Misalnya, laki-laki bertanggung jawab pada masalah keamanan dan
keselamatan keluarga, mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, politik, dan
kegiatan sosial kemasyarakatan, sedangkan perempuan lebih banyak terlibat
pada kegiatan ritual keagamaan (Rahail et. al., 2014).
Kehadiran seorang laki-laki memberikan simbol penting dalam keluarga
Papua, baik hadir sebagai menantu atau kelahiran seorang laki-laki anak laki-
laki. Sejak kecil anak laki-laki dan perempuan sudah diajarkan untuk bekerja
dan mengerjakan pekerjaan sesuai jenis kelaminnya dan sesuai ruang
(domestik dan publik) yang dialami oleh Ibu dan Bapak masyarakat. Akan
tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, telah terjadi pergeseran dalam
lingkungan masyarakat Papua. Saat ini, laki-laki dan perempuan Papua
cenderung memiliki peran dan tanggung jawab yang sama (Rahail et. al.,
2014).
Perkawinan dalam masyarakat Papua menempatkan kedua mempelai
dalam ikatan solidaritas yang utuh, kokoh, lestari, produktif, dan subur.
Pemahaman perkawinan orang Papua menciptakan pelestarian keluarga.
Suami dan istri menjalani sebuah kehidupan yang melebihi kontak
perkawinan, yang bukan hanya sebatas pilihan jodoh oleh orang tua dan
penyempurnaan kata percintaan, namun sosialisasi kehidupan antara kedua
gender yang mengaktualisasikan kepribadian untuk bertahan hidup di
lingkungan marginal yang harus dibudayakan menurut standar norma-norma
sosial budaya dan kepribadian dimakan dari generasi ke generasi. Suami istri
pada usia perkawinan banyak menciptakan hubungan adoptif dengan anak-
anak kerabatnya, terutama para anak-anak saudara sekandung. Hubungan
orang tua dengan anak adoptif itu lebih kental daripada hubungan orang tua

8
kandung dengan anak kandung. Hubungan adaptif itu adalah cara suami istri
mengamankan untuk jaminan hidup di usia senja yang tidak produktif dan
pembentukan kemitraan ekonomi yang kuat (Rahail et. al., 2014).

9
DAFTAR PUSTAKA

Abu & Nur. (2001). Psikologi Perkembangan. Rineka Cipta.

Adhtiya, Y. (2015). Keluarga di masyarakat Jawa dalam perspektif cultural studies


(Doctoral dissertation, UIN Walisongo).

Alwi, H. (2013). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Balai Pustaka.

Laksono, A. D., & Wulandari, R. D. (2021). Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Ukuran Keluarga di Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah
Sosial, 12(1), 1-13.

Rachmatullah, A. (2011). Filsafat Hidup Orang Jawa. Siasat Pustaka.

Rahail, J., Sarwandi., Valmiki, R., Maulana, Y. & Organis, A. (2014). Profil
Keluarga Papua Tahun 2014. BKKBN.

Riasmini, N. M., Sahar, J., & Resnayati, Y. (2013). Pengalaman keluarga dalam
penanganan lanjut usia di masyarakat dari aspek budaya indonesia. Journal Ners,
8(1), 98-106.

Setiadi. (2008). Konsep & Proses Keperawatan Keluarga. Graha Ilmu.

10

Anda mungkin juga menyukai