Anda di halaman 1dari 24

REFARAT

UVEITIS

Paper ini dibuat sebagai salah satu persyaratan mengikuti Kepaniteraan Klinis
Senior SMF Ilmu Kedokteran Mata di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

PEMBIMBING : dr. Agustina, Sp.M

DISUSUN OLEH :

Roy Abednego Purba (20010014)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU KEDOKTERAN MATA


RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena dengan karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan refarat
dengan judul “Uveitis” dengan tepat waktu. Penulisan refarat ini di kerjakan
untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS) Ilmu
Kesehatan Mata RSUD Deli Serdang, selain itu tulisan ini juga bertujuan agar
pembaca dapat mengetahui dan memahami secara jelas mengenai ulkus kornea.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah


membantu dalam penyelesaian tulisan ini terkhusus nya dr. Agustina, Sp.M yang
telah memberikan bimbingan sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas refarat
ini dengan baik. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini tidak mungkin
dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari
beberapa pihak.

Demikian tugas ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan juga
pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan tulisan ini.

Medan, 30 November 2021

PENULIS
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1
1.2. TUJUAN 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI UVEA 3
2.2. DEFINISI UVEITIS 5
2.3. EPIDEMIOLOGI 6
2.4. ETIOLOGI 6
2.5. KLASIFIKASI 9
2.6. UVEITIS ANTERIOR 10
2.7. UVEITIS INTERMEDIATE 13
2.8. UVEITIS POSTERIOR 14
2.9. PENGOBATAN 15
2.10. KOMPLIKASI 16
2.11. PROGNOSIS 17
BAB III KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Uveitis merupakan proses peradangan uvea, meliputi iris, badan


siliar, dan koroid. Terminologi uvea berasal dari Bahasa Latin “uva” yang
mengandung arti “anggur”, berdasarkan gambaran struktur anatomi,
warna dan geometri iris, badan siliar, dan koroid. Uveitis merupakan
salah satu penyakit mata yang jarang, namun dapat menimbulkan
gangguan berat bahkan kebutaan.
Prevalensi uveitis diperkirakan 5,4 dari 1.000 penduduk di
Amerika Serikat pada tahun 2009-2010;5 10% kebutaan di Amerika
Serikat disebabkan oleh uveitis. Uveitis juga merupakan penyebab
kebutaan keempat paling sering pada populasi usia produktif di negara
berkembang. Etiologi uveitis sangat heterogen, 30-45% merupakan
bagian dari penyakit sistemik (autoimun, infeksi, keganasan), dapat pula
akibat perluasan radang kornea dan sklera, trauma, atau tidak diketahui
(idiopatik).
Secara anatomi, uveitis dapat diklasifikasikan menjadi uveitis
anterior, intermediet, posterior, dan panuveitis. Uveitis anterior
merupakan peradangan bagian depan mata, sehingga sering dikenal
dengan istilah iritis. Uveitis intermediet dikenal sebagai pars planitis atau
cyclitis, merujuk pada peradangan jaringan di daerah tepat di belakang
iris dan lensa mata. Uveitis posterior, juga dikenal sebagai koroiditis,
merujuk pada peradangan koroid yang terletak di bagian belakang uvea.
Uveitis posterior dapat mempengaruhi fungsi fisiologis retina dan saraf
optik, sehingga dapat menyebabkan hilangnya penglihatan permanen.
Uveitis posterior langka tetapi paling sering mengakibatkan kebutaan;
sedangkan uveitis anterior dan intermediet lebih umum dan sering akut.
2

1.2 TUJUAN

Adapun tujuan dari pembuatan refarat ini adalah untuk mengetahui


dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan uveitis dan sebagai salah
satu pemenuhan tugas Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Kedokteran Mata
di Rumah Sakit Umum Deli Serdang.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI UVEA

Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang
terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.

Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar ke depan
(anterior). Iris membagi bilik mata ke dalam 2 bagian, yaitu camera oculi anterior dan
camera oculi posterior. Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut pupil yang
berfungsi untuk mengatur besarnya sinar yang masuk mata. Pada iris terdapat 2 macam
otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu:
1. Musculus dilatator pupil yang melebarkan pupil
2. Musculus sfingter pupil yang mengecilkan pupil
Kedua otot tersebut memelihara ketegangan iris sehingga tetap datar. Dalam
4

keadaan normal, pupil kanan dan kiri kurang lebih sama besarnya, keadaan ini
disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kanan dan kiri tidak sama besar, keadaan ini
disebut anisokoria.

Secara histologis, iris terdiri dari stroma yang jarang dan di antaranya terdapat
lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang disebut kripta. Di
dalam stroma terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan
serat saraf. Di permukaan anterior ditutup oleh endotel kecuali pada kripta. Bagian
posterior iris dilapisi oleh 2 lapisan epitel, yang merupakan lanjutan dari epitel
pigmen retina. Warna dari iris bervariasi, tergantung dari sel-sel pigmen yang
bercabang yang terdapat di dalam stroma.
Perdarahan pada iris diberikan oleh a. siliaris posterior longus, yang membentuk
suatu jaringan pembuluh darah. Di sekeliling pupil, jaringan pembuluh darahnya
disebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Di
antara keduanya terdapat anastomosis yang berupa pembuluh darah berbentuk spiral.
Pembuluh darah baliknya mengikuti arteri dan selanjutnya masuk ke v. vortikosa.
Iris dipersarafi oleh nervus nasoiliar cabang dari saraf kranial III yang bersifat
simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk miosis.

Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari tempat tepi
kornea melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea yang terletak antara
iris dan koroid. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid,
terdiri dari pars plikata (anterior, bergerigi, panjang sekitar 2 mm) dan pars plana
(posterior, tidak bergerigi, panjang sekitar 4 mm).
Pars plikata diliputi 2 lapisan epitel sebagai kelanjutan dari epitel iris. Bagian
yang menonjol disebut prosesus siliaris, berwarna putih karena tidak mengandung
pigmen, sedangkan di lekukannya mengandung epitel dan berwarna hitam. Dari
prosesus siliaris keluar serat-serat zonula Zinnii yang merupakan penggantung lensa
mata. Pars plana terdiri dari satu lapisan tipis jaringan otot dengan pembuluh darah
dan diliputi epitel.
Badan siliar menghasilkan humor akuos. Humor akuos ini sangat menentukan
tekanan bola mata (tekanan intraokular = TIO). Humor akuos mengalir melalui
5

kamera okuli posterior ke kamera okuli anterior melalui pupil, kemudian ke


angulus iridokornealis, kemudian melewati trabekulum meshwork menuju canalis
Schlemm, selanjutnya menuju kanalis kolektor masuk ke dalam vena episklera.
Badan siliar banyak mengandung pembuluh darah, dan pembuluh darah baliknya
mengalirkan darahnya ke v. vortikosa. Badan siliar merupakan daerah terlemah dari
mata. Trauma, peradangan dan neoplasma di daerah ini adalah suatu keadaan yang
gawat.

Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (di
sebelah dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang tepi
depannya berada di cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan vaskular yang terdiri
atas anyaman pembuluh darah, kebanyakan terdiri dari pembuluh darah balik, yang
kemudian bergabung menjadi v. vortikosa, menembus sklera menjadi v. oftalmika
dan langsung masuk ke dalam sinus kavernosus. Pembuluh darah arteri berasal dari
a. siliaris brevis.

Koroid terdiri dari lapisan epitel pigmen, membrana Bruch (lamina vitrea),
koriokapiler, pembuluh darah dan suprakoroid.

2.2 DEFENISI UVEITIS


Uveitis merupakan suatu kondisi yang melibatkan peradangan pada
traktus uvealis (iris, badan siliar, dan koroid) atau struktur yang berdekatan
seperti retina, nervus opticus, vitreous, dan sklera, sehingga dapat
mengancam penglihatan secara signifikan. Pada umumnya, etiologi sulit
ditemukan dan seringkali karena autoimun. Pada keadaan dimana etiologi
diketahui, agen infeksius atau trauma merupakan sebab penting. Diagnosis
diferensial sangat ekstensif dan epidemiologi mengalami perubahan dengan
munculnya macam uveitis yang baru.
6

2.3 EPIDEMIOLOGI

Uveitis biasanya terjadi pada umur 20-50 tahun dan menyumbang 10-20% kasus
kebutaan. Uveitis umumnya terjadi di negara berkembang daripada di negara-negara
maju, hal ini terjadi karena sebagian besar prevalensi yang lebih besar dari infeksi
yang dapat mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan TBC (Eva, Whitcher,
2007).

Sebagian besar pasien uveitis menunjukkan variasi dalam hal prevalensi relatif
berbagai bentuk uveitis. Uveitis anterior sebanyak 28-66 % kasus, uveitis
intermediate 5-15 %, uveitis posterior 19-51 %, dan panuveitis 7-18 %. (Yanoff,
2009).

2.4. ETIOLOGI

Uveitis dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes
simpleks, sindrom Behcet, sindrom Posner Schlosman, pasca operasi, adenovirus,
parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis rheumathoid dan lain-lain (Ilyas S,
2007). Uveitis trauma sering terjadi pada cedera yang disengaja atau operasi pada
jaringan uveal. Mekanisme yang berbeda yang dapat menghasilkan uveitis trauma
berikut meliputi (Khurana, 2007) :
a. Efek mekanis langsung pada trauma.
b. Efek iritasi dari produk darah setelah perdarahan intraokular
c. Invasi mikroba
d. Efek kimia benda asing intraokular
e. Oftalmia simpatis pada mata lainnya.
7

Penyebab Uveitis anterior (Eva , Whitcher, 2007)


8

Penyebab Uveitis posterior (Eva , Whitcher, 2007)


9

2.5.KLASIFIKASI
Klasifikasi dan standardisasi uveitis penting untuk meningkatkan presisi
dan perbandingan riset klinis dari pusat-pusat berbeda dan membantu
perkembangan pembentukan gambaran sepenuhnya penyakit tersebut serta
responnya terhadap terapi. Klasifikasi uveitis yang paling banyak digunakan
adalah oleh International Uveitis Study Group (IUSG) yang berdasarkan
lokasi anatomis inflamasi

Secara anatomis berdasarkan letak inflamasi primer Penyakit

Anterior Camera oculi anterior Iritis, iridocyclitis, dan


anterior cyclitis

Intermediate Vitreous Pars planitis, posterior


cyclitis, dan hyalitis

Posterior Retina atau koroid Fokal, multifokal atau


choroiditis difus,
chorioretinitis, retinitis,
dan neuroretinitis

Panuveitis Camera oculi anterior,


vitreous, retina atau koroid

Secara klinis
Infeksius Bacterial, viral, fungal, parasitic, lain-lain
Non-infeksius Hubungan sistemik yang diketahui
Hubungan sistemik yang tidak diketahui
Masquerade Neoplastic & non-neoplastik

Berdasarkan waktu, akut disebut berlangsung < 6 minggu dengan onset cepat dan bersifat
simptomatik serta sembuh sempurna. Residif adalah uveitis yang berlangsung beberapa
kali, diselingi periode sembuh/ inaktif selama ≥ 3 bulan. Uveitis kronis berlangsung > 3
10

bulan dengan onset yang sering kali tidak jelas dan asimptomatik, tidak pernah sembuh
sempurna.
Uveitis anterior terjadi pada mata bagian depan, merupakan bentuk uveitis paling
sering ditemukan, secara predominan pada dewasa usia muda dan menengah.
Kebanyakan kasus mengenai individu yang sehat dan hanya mengenai satu mata saja
namun beberapa kasus dihubungkan dengan rematologi, kulit, gastrointestinal, dan
penyakit infeksi.
Uveitis intermediate seringkali ditemukan pada dewasa muda, dan berhubungan
dengan beberapa penyakit seperti sarcoidosis dan multiple sclerosis.
Uveitis posterior adalah bentuk uveitis yang paling sedikit ditemui. Secara primer terjadi
pada bagian belakang mata, seringkali melibatkan retina dan koroid. Disebut juga
koroiditis atau korioretinitis. Terdapat sebab infeksi maupun non-infeksi yang
menyebabkan uveitis posterior

Pan-uveitis adalah istilah yang digunakan ketika ketiga bagian mayor mata
mengalami inflamasi. Penyakit Behcet’s adalah salah satu bentuk pan-uveitis yang
diketahui dan sangat merusak retina.

Intermediate, posterior, dan pan-uveitis adalah bentuk uveitis yang


paling berat dan seringkali rekuren, serta menyebabkan kebutaan jika tidak
ditangani.

2.6. UVEITIS ANTERIOR

Uveitis anterior, hampir selalu muncul sebagai peradangan gabungan iris dan
ciliary body (iridosiklitis), reaksi dapat lebih jelas pada iris (iritis) atau corpus
cilliar (cyclitis). Secara klinis, dapat dibagi menjadi uveitis anterior akut atau
kronis. Gejala utama dari uveitis anterior akut adalah nyeri, fotofobia, kemerahan,
lakrimasi dan penurunan visus. Uveitis kronis, gejala dapat berupa mata tenang
dengan gejala minimal (Khurana, 2007). Pemeriksaan fisik menunjukkan silia
(circumcorneal) injeksi yang memiliki violaceous hue (Kanski, 2011).
11

13

Ciliary Injection

Miosis terjadi karena sfingter yang spasme dapat mempengaruhi pembentukan


sinekia posterior, kecuali pupil yang farmakologi melebar. Endothelial dusting
menimbulkan penampakan kotor. Keratic Precipitates (KP) biasanya muncul
hanya setelah beberapa hari dan biasanya non- granulomatosa (Kanski, 2011).

Endothelial dusting by cells


Sel aqueous menunjukkan aktivitas
penyakit dan tingkat keparahan penyakit. Grading sel dilakukan dengan sinar
celah 2 mm dan 1 mm lebar dengan intensitas cahaya maksimal dan pembesaran,
ini harus dilakukan sebelum midriasis karena dalam sel mata normal dan
gumpalan pigmen dapat berkembang setelah dilatasi pupil. Sel vitreous anterior
menunjukkan iridocyclitis (Kanski, 2011).
Hypopyon adalah fitur peradangan yang intens di mana sel-sel menetap di bagian
inferior dari anterior chamber (AC) dan membentuk tingkat horizontal (Kanski,
2011).

Hypopion
12

Sinekia Posterior dapat berkembang dengan cepat dan harus dipecah sebelum
menjadi permanen. Tekanan intraokular rendah (TIO) dapat terjadi sebagai akibat
dari penurunan sekresi aqueous oleh epitel silia (Kanski, 2011).

Extensive posterior synechiae


Pemeriksaan fundus biasanya normal, tetapi harus selalu dilakukan untuk
menyingkirkan 'spillover' uveitis anterior terkait dengan fokus posterior, terutama
toksoplasmosis dan nekrosis retina akut (Kanski, 2011). Dengan terapi yang tepat
peradangan cenderung dapat diobati dalam 5-6 minggu dengan prognosis
biasanya sangat baik. Komplikasi dan prognosis visual yang buruk terkait dengan
manajemen tertunda atau tidak memadai (Kanski, 2011).
Uveitis anterior kronis jarang terjadi dibandingkan dengan uveitis anterior akut
dengan peradangan yang menetap, dalam waktu kurang dari 3 bulan, setelah
penghentian pengobatan. Peradangan dapat terjadi granulomatosa atau non
granulomatosa. Uveitis anterior akut umumnya terjadi bilateral, sering berbahaya
dan banyak pasien tidak menunjukkan gejala sampai berkembang dengan
komplikasi seperti katarak atau band keratopati (Kanski, 2011).
Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan mata tenang, namun terkadang mata
dapat merah muda selama periode eksaserbasi. Aqueous inflamasi bervariasi
jumlahnya sesuai dengan aktivitas penyakit tetapi bahkan pasien dengan berbagai
sel mungkin tidak memiliki gejala. Aqueous flare dapat ditandai dari sel-sel di
mata dengan aktivitas yang berkepanjangan dan beratnya dapat bertindak sebagai
indikator aktivitas penyakit (Kanski, 2011). Hal ini disebabkan kebocoran partikel
protein ke dalam aqueous humor dari pembuluh darah yang rusak. Hal ini
ditunjukkan pada pemeriksaan slit lamp oleh sinar titik cahaya melewati miring
terhadap bidang iris. Dalam berkas cahaya, partikel protein sebagai partikel debu
dan ditangguhkan bergerak. Hal ini didasarkan pada ' Brownian movement ' atau '
fenomena Tyndal ' (Khurana, 2007).
13

Aqueous Flare and Cells


Keratic precipitate adalah kelompok deposito seluler pada endotel kornea terdiri
dari sel epiteloid , limfosit dan polimorf (Kanski, 2011).

Keratic precipitate
Durasi yang prolong dan kasus peradangan dapat berlangsung selama berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Remisi dan eksaserbasi inflamasi yang umum
dan sulit untuk menentukan kapan proses alamiah penyakit. Prognosis
dipengaruhi dengan munculnya komplikasi katarak, glaucoma, dan hypotony
(Kanski, 2011).

2.7.UVEITIS INTERMEDIATE

Uveitis intermediate terjadi pada badan ciliary mata, terutama pars plana,
retina perifer, dan vitreous. Penyebabnya tidak diketahui dalam banyak kasus,
meskipun sifilis, tuberkulosis, penyakit Lyme, dan sarkoidosis harus disingkirkan
dengan laboratorium yang sesuai dan pengujian tambahan. Multiple sclerosis juga
harus dipertimbangkan. Uveitis intermediate terlihat terutama di kalangan orang
dewasa muda, mempengaruhi laki-laki dan perempuan sama-sama, dan bilateral
dalam hingga 80 % dari kasus (Eva , Whitcher, 2007).
Keluhan umum termasuk nyeri, floaters dan visus menurun. Fotofobia
minimal atau peradangan eksternal. Biasanya usia 15 sampai 40 tahun dan
bilateral. Sel vitreous, eksudatif putih ora serrata inferior dan pars plana
14

(snowbank), agregat selular floating di vitreous inferior (snowballs). Pasien yang lebih
muda dapat terjadi pendarahan vitreous (Eva , Whitcher, 2007).

2.8.UVEITIS POSTERIOR

Uveitis posterior mengacu pada peradangan pada koroid (choroiditis). Lapisan luar retina
berada berdekatan dengan koroid dan bergantung pada nutrisi dari retina, peradangan
choroidal hampir selalu melibatkan retina, dan lesi yang dihasilkan disebut korioretinitis
(Khurana, 2007). Variasi fokus inflamasi dan adanya vitritis, misalnya pasien dengan lesi
perifer mungkin mengeluh floaters. sedangkan pasien dengan lesi yang melibatkan makula
terutama akan mengeluh gangguan penglihatan sentral (Kanski, 2011).
Penglihatan kabur, floaters, nyeri, kemerahan, dan fotofobia biasanya tidak ditemukan
kecuali peradangan anterior chamber (Elsher, 2008). Berbagai gejala visual yang dialami
oleh pasien choroiditis (Khurana, 2007) :
a. Penglihatan. Hal ini biasanya ringan karena kabut vitreous, tetapi bisa berat pada
choroiditis central.
b. Photopsia. Ini adalah sensasi subjektif dari kilatan cahaya yang dihasilkan akibat iritasi
batang dan kerucut.
c. Black spots floating. Keluhan yang sangat umum, terjadi karena gumpalan eksudatif
dalam vitreous.
d. Metamorphopsia. Pasien melihat gambar terdistorsi dari objek, akibat perubahan
dalam kontur retina yang disebabkan oleh patch dari choroiditis.
e. Micropsia yang dihasilkan akibat pemisahan sel visual adalah keluhan umum.
f. Makropsia yaitu, persepsi objek yang lebih besar dari mereka.
g. Scotoma positif, yaitu, persepsi tempat besar tetap dalam bidang penglihatan. Lesi
segmen posterior mata bisa fokus, multifokal, geografis, atau difus, menyebabkan
kekeruhan dari vitreous. Lesi inflamasi segmen posterior umumnya perlahan, tetapi
beberapa bisa disertai dengan hilangnya penglihatan tiba-tiba (Eva, Whitcher, 2007).

Retinitis
15

Kekeruhan vitreous karena choroiditis di bagian tengah atau posterior, dapat terlihat kasar,
berserabut, rongga snowball (Khurana, 2007). Patch choroiditis dalam tahap aktif tampak
sebagai pale-yellow atau dirty white dengan tepi yang tidak jelas. Hasil ini karena
eksudasi dan infiltrasi seluler dari koroid yang tersembunyi dalam pembuluh darah
choroidal. Lesi biasanya lebih dalam pembuluh retina. Retina terlihat berawan dan edema.
Pada tahap atrofi atau tahap penyembuhan, peradangan aktif mereda, daerah yang terkena
menjadi lebih tajam dibandingkan sisa daerah yang normal, daerah yang terlibat
menunjukkan sclera putih di bawah berpigmen atrofi koroid dan hitam di pinggiran lesi
(Khurana, 2007).

2.9.PENGOBATAN
Terapi utama uveitis adalah pemberian kortikosteroid dan sikloplegik/midriatik agar otot-
otot iris dan badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan,
dan mengurangi kongesti pada tempat peradangan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat
untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah ada.. Selama
pemberian, perlu diperhatikan kemungkinan ada defek epitel dan trauma tembus yang harus
disingkirkan pada riwayat trauma, periksa sensibilitas kornea dan TIO untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi herpes simpleks atau zoster. Terapi topical yang agresif adalah prednisolone
asetat 1% 1-2 tetes tiap ½ jam saat terjaga, biasanya dapat mengontrol inflamasi anterior.
Homatropin 2-5% 2-4 kali/hari membantu mencegah terbentukya sinekia dan meredakan rasa
tidak nyaman akibat spasme siliaris.

Peradangan non-infeksi intermediate, posterior, dan difus berespon baik terhadap penyuntikan
triamcinolone acetonide sub-Tenon 1 ml (40 mg) pada daerah superotemporal. Selain itu,
triamcinolone acetonide intraocular 0.1 ml (4 mg) atau prednisone oral 0.5-1.5 mg/kg/hari juga
efektif.

Corticosteroid-sparing agent seperti methotrexate, azathioprine, mycophenolate mofetil,


siklosporin, tacrolimus, siklofosfamid, atau klorambusil sering diperlukan pada peradangan non-
infeksi bentuk berat atau kronis terutama jika ditemukan keterlibatan sistemik.

Adapun terapi non-medikamentosa juga dapat dilakukan seperti:

• Penggunaan kacamata hitam: mengurangi fotofobia, terutama akibat pemberian


midriatikum.

• Kompres hangat: mengurangi rasa nyeri & meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi
sel-sel radang dapat lebih cepat.
16

2.10 KOMPLIKASI
a. Glaukoma
Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga mengakibatkan hambatan
aliran aqueous humor dari bilik posterior ke bilik anterior. Penumpukan cairan ini
bersama-sama dengan sel radang mengakibatkan tertutupnya jalur outflow aquos
humor sehingga terjadi glaukoma. Untuk mencegahnya dapat diberikan midriatik.
b. Katarak
Peradangan di badan siliar dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme lensa dan
berujung pada timbulnya katarak. Selain itu, katarak dapat pula muncul akibat terapi
dengan menggunakan kortikosteroid.
c. Sinekia posterior → perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior akibat
sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas.
d. Sinekia anterior → perlekatan iris dengan endotel kornea akibat sel-sel radang, fibrin,
dan fibroblas.
e. Seklusio pupil → perlekatan seluruh pinggir iris dengan lensa.
f. Oklusio pupil → seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang
g. Endoftalmitis → peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di
dalamnya dengan abses di dalam badan kaca akibat dari peradangan yang meluas.
h. Panoftalmitis → peradangan pada seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul tenon
sehingga bola mata merupakan rongga abses.
i. Retinitis proliferans
Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca mengalami jaringan organisasi
dan tampak sebagai membran yang terdiri dari jaringan ikat dengan neovaskularisasi
yang berasal dari sistem retina.
j. Ablasio retina
17

2.11. PROGNOSIS
Prognosis uveitis tergantung pada banyak hal diantaranya derajat keparahan,
lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum, peradangan yang berat perlu
waktu lebih lama untuk sembuh serta lebih sering menyebabkan kerusakan
intraokular dan kehilangan penglihatan dibandingkan dengan peradangan ringan atau
sedang. Selain itu uveitis anterior cenderung lebih cepat merespon pengobatan
dibandingkan dengan uveitis intermediet, posterior atau difus. Umumnya kasus
uveitis anterior prognosisnya baik bila di diagnosis lebih awal dan diberi pengobatan
yang tepat. Prognosis visual pada iritis kebanyakan pulih dengan baik tanpa adanya
katarak, glaukoma dan uveitis posterior. Keterlibatan retina, koroid atau nervus
optikus cenderung memberi prognosis yang lebih buruk.
Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan dengan uveitis jenis lain
karena dapat menurunkan tajam penglihatan dan menimbulkan kebutaan.1 Risiko
komplikasi seperti glaukoma, katarak, gangguan penglihatan, kebutaan, dan ablasio
retina lebih sering ditemukan pada uveitis posterior
18

BAB III
KESIMPULAN

Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis
yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Penyakit ini dapat disebabkan
oleh faktor eksogen, endogen, infeksi maupun noninfeksi. Tujuan utama dari pengobatan
uveitis adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila
sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan
tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang
tidak diharapkan.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas, G.D, Asbury T, Riordan,P. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Penerbit Widya
Medika. Jakarta: 2000
2. Sitompul R. Diagnosis dan penatalaksanaan uveitis dalam upaya mencegah kebutaan. E-
Jurnal Kedokteran Indonesia. 2016;4(1):60–70.
3. Harman LE, Margo CE, Roetzheim RG. Uveitis: The collaborative diagnostic evaluation. Am
Fam Physician. 2014;90(10):711–6
4. Deschenes J, Murray PI, Rao NA, Nussenblatt RB. International Uveitis Study Group.
International Uveitis Study Group (IUSG): clinical classification of uveitis. Ocul Immunol
Inflamm 2008;16:1-2
5. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology. Edisi 17. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 2010.
6. Kanski, Jack J; Bowling B. 2011. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 7th
edition. UK: Elveiser
7. Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India: New Age International
Limited Publisher.
8. Wijaya, Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang. Universitas Diponegoro.
9. Medscape Reference. Uveitis Classification: Patient Demographics. [Online]. Updated March
26, 2014. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1208936-overview#aw2aab6b4.
Accessed November 27, 2021

Anda mungkin juga menyukai