Anda di halaman 1dari 90

PERBANDINGAN INDEKS KEKUATAN SISA CAMPURAN AC-WC

AKIBAT RENDAMAN AIR LAUT, AIR HUJAN, DAN AIR SUNGAI

TUGAS AKHIR

Ditulis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Sains Terapan

Oleh

RIZKI WULAN MURJAINI

NIM : 1205131039

PROGRAM STUDI TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN


JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI MEDAN
MEDAN
2016
LEMBAR PERSETUJUAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, Dosen Pembimbing Tugas
Akhir menyatakan bahwa laporan Tugas Akhir dari:
Nama Mahasiswa : RIZKI WULAN MURJAINI
NIM : 1205131039
Dengan Judul :PERBANDINGAN INDEKS KEKUATAN SISA
CAMPURAN AC-WC AKIBAT RENDAMAN AIR LAUT, AIR HUJAN,
DAN AIR SUNGAI
Telah selesai diperiksa dan dinyatakan selesai, serta dapat diajukan dalam
sidang pertanggung jawaban laporan Tugas Akhir ini.

Medan, September 2016

Disetujui
oleh:

Dosen Pembimbing Tugas Akhir

Drs.Kusumadi , M.T
NIP. 19601110 198603 1005

 
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, Dosen Pembimbing Tugas Akhir,
Ketua Penguji dan Ketua Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Medan,
menyatakan bahwa Laporan Tugas Akhir dari Mahasiswa:
Nama Mahasiswa : RIZKI WULAN MURJAINI
NIM : 1205131039
Dengan Judul :PERBANDINGAN INDEKS KEKUATAN SISA
CAMPURAN AC-WC AKIBAT RENDAMAN AIR LAUT, AIR HUJAN,
DAN AIR SUNGAI
Telah selesai diperiksa dan dinilai oleh Dosen Pembimbing dan Pembimbing TA.

Medan, September 2016

Dosen Pembimbing, Ketua Penguji,

Drs, Kusumadi, M.T. Delisma Siregar, S.T., M.T


NIP . 19601110 198603 1005 NIP. 19630309 198803 2002

Ketua Jurusan Teknik Sipil,

Ir. Samsudin Silaen, M.T


NIP. 19620204 198903 1002
 

ii 
 
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Akhir dengan baik dan tepat pada waktunya. Tugas Akhir yang berjudul ”
PERBANDINGAN INDEKS KEKUATAN SISA CAMPURAN AC-WC
AKIBAT RENDAMAN AIR LAUT, AIR HUJAN, DAN AIR SUNGAI ” ini
merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan untuk menyelesaikan
Pendidikan Program Studi Teknik Perancangan Jalan dan Jembatan, Jurusan
Teknik Sipil Politeknik Negeri Medan.

Di dalam penyelesaian Tugas Akhir ini ini, penulis menghadapi berbagai


kendala, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka Tugas
Akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. M. Syahruddin S.T., M.T., Direktur Politeknik Negeri Medan.
2. Ir. Samsudin Silaen, M.T., Ketua Jurusan Teknik Sipil Politeknik
Negeri Medan.
3. Drs. Kusumadi., M.T., Dosen Pembimbing Tugas Akhir
4. Amrizal, S.T., M.T., Kepala Program Studi D-IV TPJJ.
5. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan baik secara
moral.maupun materi sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.
6. Laboran Lab.Aspal bapak Erwin Gultom yang telah banyak membantu
selama penelitian ini.
7. Abram Tiohusna yang telah banyak membantu selama proses penelitian
ini.
8. Dini Sekarwani, Amalludin, Yesika Damanik, dan Yusni Arbi yang
telah membantu dalam proses pengerjaan penelitian.
9. Khairina Qisthia, Fitri Ansara, Fitria Salsabila dan Fitria Arfika, sahabat
yang telah memberikan dukungan selama ini.
6. Teman-teman yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan
Tugas Akhir ini

iii
Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun dan
menyelesaikan T u g a s A k h i r ini. Namun, penulis menyadari bahwa laporan ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis menerima dengan terbuka
segala masukan–masukan, kritik, saran, dan pendapat yang bersifat membangun
guna memperbaiki.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian pembaca, dan
penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membaca.

Medan, Agustus 2016

RIZKI WULAN MURJAINI


NIM : 1205131039

iv
ABSTRAK
PERBANDINGAN INDEKS KEKUATAN SISA CAMPURAN AC-WC
AKIBAT RENDAMAN AIR LAUT, AIR HUJAN, DAN AIR SUNGAI
Oleh
RIZKI WULAN MURJAINI
NIM : 1205131039
Beberapa jalan di Indonesia sering terendam oleh air laut, air hujan dan air
sungai, seperti yang kita lihat dalam kehidupan kita. Perkerasan jalan sering
mengalami kerusakan terutama lapisan aus perkerasan jalan (AC-WC) karena
tergenangi oleh air, baik air laut, air hujan maupun air sungai yang meluap.
Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh
rendaman air laut, air hujan dan air sungai terhadap lapisan aspal. Penelitian ini
dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh rendaman air laut, air hujan dan air
sungai terhadap tingkat kekuatan dan keawetan campuran Laston (AC-WC).
Hasil persiapan dan pengujian bahan baik agregat dan aspal serta
penentuan gradasi campuran AC-WC menunjukkan hasil sesuai persyaratan.
Selanjutnya dilakukan pengujian untuk menentukan kadar aspal optimum (KAO)
dengan menggunakan metode Marshall. Selanjutnya pengujian untuk mencari
perbandingan nilai stabilitas dan indeks kekuatan sisa setelah melakukan
perendaman air laut, air hujan dan air sungai.
Pengujian marshall tahap I mendapat hasil kadar aspal optimum (KAO)
sebesar 5,2%, kemudian pembuatan benda uji sebanyak 18 buah sampel dengan
kadar aspal optimum. Masing – masing jenis air mendapat 6 buah sampel
campuran AC-WC bergradasi halus yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok
pertama 3 buah sampel direndam kedalam air laut selama 4 jam pada suhu 25ºC.
Kelompok kedua 3 buah sampel direndam kedalam air laut selama 24 jam pada
suhu 60ºC. Sistem ini dilakukan juga pada kedua jenis air lainnya, yaitu pada air
hujan dan air sungai.
Berdasarkan uji marshall, nilai kekuatan stabilitas dan perhitungan nilai
indeks kekuatan sisa (IKS) campuran laston (AC-WC) untuk rendaman air laut
66,557 % lebih rendah di bandingkan hasil perendaman dua jenis air lainnya yaitu
rendaman air hujan 82,33% dan air sungai 78,52%.
Kata kunci : Indeks Kekuatan Sisa, AC - WC

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................i


LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................iii
ABSTRAK ................................................................................................................v
DAFTAR ISI .............................................................................................................vi
DAFTAR TABEL ...................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG ..................................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH ..............................................................................3
1.3 TUJUAN PENELITIAN ...............................................................................3
1.4 BATASAN MASALAH ...............................................................................3
1.5 METODE PENELITIAN ..............................................................................4
1.6 SISTEMATIKA PENULISAN .....................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7


2.1 SEJARAH PERKERASAN JALAN DI INDONESIA ................................7
2.2 JENIS KONSTRUKSI PERKERASAN.......................................................7
2.3 KRITERIA KONSTRUKSI PERKERASAN LENTUR..............................8
2.4 JENIS DAN FUNGSI LAPISAN PERKERASAN ......................................10
2.5 PENGERTIAN BANJIR...............................................................................13
2.6 Air Laut .........................................................................................................15
2.7 Air Hujan.......................................................................................................16
2.8 Air Sungai .....................................................................................................17
2.9 KERUSAKAN PADA PERKERASAN LENTUR ......................................18
2.9.1 Kerusakan Retak Permukaan ................................................................18
2.9.2 Kerusakan Perubahan Bentuk Permukaan ............................................20
2.9.3 Kerusakan Struktur ................................................................................21
2.10 BAHAN CAMPURAN ASPAL .................................................................21
2.10.1 Agregat ................................................................................................21
2.10.1.1 Sifat Agregat ..................................................................................22

vi
2.10.1.2 Klasifikasi Agregat ........................................................................22
2.10.1.3 Jenis Agregat ..................................................................................23
2.10.1.4 Persyaratan Jenis Agregat ..............................................................23
2.10.1.5 Sifat – sifat fisik agregat dan hubungannya dengan kinerja
campuran........................................................................................25
2.10.2 Aspal....................................................................................................26
2.10.2.1. Jenis Aspal ....................................................................................26
2.10.2.1.1 Aspal Minyak (petroleum aspal) ..............................................26
2.10.2.1.2 Aspal Beton ..............................................................................27
2.10.2.2 Komposisi aspal .............................................................................27
2.10.2.3 Sifat aspal .......................................................................................28
2.10.2.4 Pemeriksaan Aspal .........................................................................29
2.10.2.5 Bahan Pengisi Filler .......................................................................29
2.11 Beton Aspal (AC – WC) .............................................................................31
2.11.1 Aspal Properties ..................................................................................32
2.11.2 Marshall Test .......................................................................................34
2.11.2.1 Pengujian marshall untuk perencanaan campuran .........................35
2.11.2.1.1 Uji berat isi padat......................................................................36
2.11.2.1.2 Pengujian stabilitas dan kelelehan (Flow) ................................36
2.11.2.1.3 Pengujian volumetric ................................................................37
2.11.2.1.4 Prosedur untuk analisa campuran beraspal panas padat ...........40
2.11.3 Evaluasi hasil uji marshall...................................................................45
2.11.3.1 Stabilitas .........................................................................................45
2.11.3.2 Pelelehan ........................................................................................45
2.11.4 Evaluasi nilai volumetric campuran beraspal......................................46
2.11.4.1 Evaluasi VMA ...............................................................................46
2.11.4.2 Pengaruh rongga udara dalam campuran padat (VIM) ..................46
2.11.4.3 Pengaruh rongga udara terisi aspal (VFA).....................................47
2.11.4.4 Pengaruh Pemadatan ......................................................................47
2.12 Pengujian IKS (Indeks Kekuatan Sisa) .......................................................48

vii
BAB III METODOLOGI ........................................................................................49
3.1 Diagram Alir Penelitian ................................................................................49
3.2 Persiapan Alat dan Bahan .............................................................................50
3.2.1 Persiapan Alat .....................................................................................50
3.2.2 Persiapan Bahan ..................................................................................50
3.3 Pengujian Sifat Bahan ...................................................................................50
3.3.1 Sifat Bahan Agregat ............................................................................50
3.3.2 Pengujian Sifat Bahan Aspal ..............................................................51
3.4 Rancangan Campuran dengan Metode Marshall ..........................................53
3.5 Pembuatan Benda Uji Pada Kadar Aspal Optimum .....................................55
3.6 Pengujian Pengaruh Air Terhadap Kuat Tekan Campuran Beraspal yang
Dipadatkan (SNI 03-6753-2002) .................................................................56
3.7 Perhitungan Indeks Kekuatan Sisa................................................................57
3.8 Tahap Analisis dan Pembahasan ...................................................................57

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................58


4.1 Penyajian Data ..............................................................................................58
4.1.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Agregat ...........................................58
4.1.2 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Aspal ..............................................59
4.2 Analisa Rancangan Campuran ......................................................................60
4.2.1 Penentuan Proporsi Agregat ...............................................................60
4.3 Pembuatan Benda Uji Pada Penentuan KAO ...............................................62
4.3.1 Perkiraan Kadar Aspal Optimum Rencana .........................................62
4.3.2 Penentuan Berat Agregat dan Berat Aspal dalam Campuran .............62
4.4 Data Uji Marshall Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO) ......................63
4.5 Analisa Data Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO) ..............................64
4.6 Perendaman Sampel Dalam Air Laut dan Pengujian Marshall.....................67
4.6.1 Data uji volumetric benda uji berkadar aspal optimum ......................67
4.6.2 Marshall test ........................................................................................68
4.6.2.1 Pengaruh perendaman air laut terhadap nilai imdeks stabilitas
sisa ...............................................................................................69
4.6.2.2 Pengaruh perendaman air laut terhadap kelelehan (flow) ...........70

viii
4.6.2.3 Pengaruh perendaman air hujan terhadap nilai indeks stabilitas
sisa ...............................................................................................71
4.6.2.4 Pengaruh perendaman air hujan terhadap kelelehan (Flow) .......72
4.6.2.5 Pengaruh perendaman air sungai terhadap nilai indeks
stabilitas sisa ................................................................................73
4.6.2.6 Pengaruh perendaman air sungai terhadap kelelehan (flow) ......74

BAB V PENUTUP ....................................................................................................75


5.1 Kesimpulan ...................................................................................................75
5.2 Saran..............................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku ..........................8

Tabel 2.2 Nilai indeks pencemaran air sungai Babura ...............................................18

Tabel 2.3 Ketentuan agregat kasar .............................................................................23

Tabel 2.4 Ketentuan pengujian agregat halus ............................................................25

Tabel 2.5 Gradasi bahan pengisi ................................................................................30

Tabel 2.6 Bahan pengisi dan nilai indeks plastis .......................................................30

Tabel 2.7 Gradasi agregat untuk gabungan AC – WC ...............................................32

Tabel 3.1 Ketentuan sifat – sifat campuran................................................................51

Tabel 3.2 Persyaratan aspal keras penetrasi 60/70 .....................................................52

Tabel 3.3 Ketentuan sifat-sifat campuran ..................................................................54

Tabel 3.4 Jumlah benda uji pada kadar aspal optimum .............................................55

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik bahan agregat..........................................58

Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan analisa saringan agregat...............................................59

Tabel 4.3 Pemeriksaan karakteristik aspal minyak penetrasi 60/70 ..........................59

Tabel 4.4 Proporsi campuran AC-WC .......................................................................61

Tabel 4.5 Berat aspal dan agregat pada campuran AC-WC.......................................63

Tabel 4.6 Data hasil pengujian volumetric benda uji.................................................68

Tabel 4.7 Nilai karakteristik Marshall immersion pada kadar aspal optimum ..........69

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Ruas jalan yang terendam banjir ROB ...................................................1

Gambar 1.2 Ruas jalan yang terendam genangan air sungai .....................................2

Gambar 2.1 Grafik tingkat keasaman air hujan di Indonesia .....................................17

Gambar 2.2 Hubungan volume dan rongga density

benda uji campur panas padat .................................................................37

Gambar 2.3 Ilustrasi pengertian VMA .......................................................................39

Gambar 2.4 Iustrasi pengertian tentang VIM.............................................................40

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ...........................................................................49

Gambar 4.1 Spesifikasi AC-WC bergradasi halus .....................................................60

Gambar 4.2 Kurva gradasi hasil analisa saringan agregat .........................................60

Gambar 4.3 Kurva gradasi agregat gabungan

campuran AC-WC bergradasi halus........................................................61

Gambar 4.4 Data hasil pengujian Marshall

untuk penentuan kadar aspal optimum ....................................................63

Gambar 4.5 Penentuan kadar aspal optimum (KAO) AC-WC ..................................64

Gambar 4.6 Grafik hubungan kadar aspal dan stabilitas............................................64

Gambar 4.7 Grafik hubungan kadar aspal dan flow ..................................................65

Gambar 4.8 Grafik hubungan aspal dan VIM ............................................................66

Gambar 4.9 Grafik hubungan aspal dan VFA............................................................66

xi 
 
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak hal yang menyebabkan kerusakan pada konstruksi jalan, antara
lain akibat pengaruh beban lalu lintas kendaraan yang berlebihan, temperature,
air (genangan), dan konstruksi perkerasan yang kurang memenuhi persyaratan
teknis. Salah satu dari struktur perkerasan jalan yang langsung bersentuhan
dengan semua itu adalah AC – WC. Air (genangan) merupakan salah satu
penyebab kerusakan atau mengurangi keawetan bagi konstuksi jalan dengan
perkerasan aspal. Beberapa ruas jalan di Sumatera Utara yang terletak di daerah
yang berhubungan dengan pantai mengalami permasalahan dengan genangan air
laut yang kebanyakan disebabkan oleh cuaca ekstrem sehingga mengakibatkan
terjadinya banjir pasang – surut atau dengan istilah air rob, yaitu naiknya
permukaan air laut yang menggenangi konstruksi jalan dengan perkerasan aspal
Seperti yang terlihat pada Gambar 1.1

Gambar 1.1 Ruas jalan yang terendam banjir ROB

Sumber : Surat Kabar Analisa, Sabtu 7 Mei 2016


Ruas jalan yang terletak di pinggiran sungai juga terkena genangan jika
hujan lebat dan sungai meluap seperti terlihat pada Gambar 1.2.

1
Gambar 1.2 Ruas jalan yang terendam genangan air sungai

Sumber : Surat Kabar Waspada, Rabu 11 Mei 2016

AC – WC merupakan lapisan permukaan yang dalam perencanaanya harus


kedap air. Lapisan ini harus berkondisi kedap air sehingga air hujan yang jatuh
di atasnya tidak meresap ke lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan –
lapisan tersebut. Genangan air dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jalan
dikarenkaan air dapat melonggarkan ikatan antara agregat dengan aspal. Saat
ikatan aspal dan agregat longgar karena air, kendaraan yang lewat akan memberi
beban yang menimbulkan retak atau kerusakan jalan lainnya. Selain itu,
genangan air pada permukaan jalan dalam skala yang tinggi dapat
mengakibatkan air tanah yang terletak di bawah permukaan tanah menjadi jenuh.
Derajat keasaman yang tinggi pada air laut dibanding air hujan, dapat
mempengaruhi ikatan antara aspal dan agregat yang mempercepat terjadinya
oksidasi sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan dini pada lapisan
permukaan jalan. Kondisi ini dapat menjadi parah apabila dalam 24 jam
(standar kekuatan sisa Marshall) jalan tergenangi oleh air ditambah lagi beban
kendaraan yang melebihi batas yang telah ditentukan. Hal ini dapat
mempengaruhi kinerja perkerasan aspal khususnya masalah ketahanan atau
keawetan jalan (durability) sebagai faktor dalam kriteria Marshall.
Untuk mengetahui lebih dalam berapa besar pengaruh atau bagaimana
pengaruh air dalam hal ini air hujan, air laut, air payau, air limbah pabrik, dan air

2
sungai. Berdasarkan penjelasan singkat di atas maka dilakukan penelitian ini
terhadap aspal permukaan AC – WC dengan menggunakan aspal penetrasi
60/70.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang maka diperlukan penelitian dengan uji
laboratorium tentang pengaruh genangan air laut, air hujan, dan air sungai yang
disimulasikan dengan cara merendam benda uji campuran AC- WC dengan
aspal penetrasi 60/70 terhadap nilai stabilitas sisa yang dimiliki benda uji setelah
dilakukan variasi jenis air perendaman .

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Dapat membandingkan nilai indeks kekuatan sisa (IKS) campuran AC
– WC akibat rendaman air laut, air hujan dan air sungai.
2. Dapat menganalisis pengaruh variasi jenis air terhadap kekuatan dan
keawetan campuran AC – WC.

1.4 Batasan Masalah


Di dalam membuat penelitian ini, peneliti harus memberi batasan –
batasan masalah untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, serta
memudahkan dalam penyelesaian masalah sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai,maka batasan masalahnya adalah :

1. Penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium


2. Agregat yang digunakan berasal dari laboratorium teknik sipil
Politeknik Negeri Medan.
3. Penelitian hanya dibatasi pada campuran aspal panas AC – WC
dengan penetrasi 60/70.
4. Pengambilan sampel air laut berlokasi di Kelurahan Belawan I,
kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara
5. Sampel air sungai diambil dari Sungai Sei Babura di Kelurahan
Polonia, Kecamatan Medan Polonia, Sumatera Utara

3
6. Rendaman yang digunakan adalah air laut, air hujan, dan air
sungai.
7. Mengidentifikasi nilai indeks kekuatan sisa setelah dilakukan
perendaman dengan masing – masing jenis air.

1.5 Metode Penelitian


Metode penelitian yang dilakukan adalah melalui penelitian di
laboratorium perkerasan jalan Politeknik Negeri Medan. Studi literature
dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai batasan – batasan fisik
agregat sebagai bahan campuran aspal panas dan karakteristik campuran aspal
panas, diseratai perbedaan kandungan air. Dengan langkah – langkah sebagai
berikut :

1. Pengambilan agregat dari lokasi laboratorium Politeknik Negeri


Medan.
2. Pemeriksaan agregat:
 Pemeriksaan berat jenis
 Penyerapan air
 Analisa saringan
 Keausan agregat
 Indeks kepipihan
3. Pemeriksaan aspal:
 Pemeriksaan penetrasi
 Pemeriksaan kehilangan berat
 Pemeriksaan berat jenis
 Pemeriksaan titik leleh
4. Merencanakan komposisi campuran.
5. Pembuatan benda uji berdasarkan kadar aspal yang telah ditentukan
(5%,5.5%,6%,6.5%,7%).
6. Pengujian Marshall dan penentuan kadar aspal optimum.
7. Pembuatan benda uji berdasarkan kadar aspal optimum.
8. Perendaman benda uji menggunakan 3 jenis air.

4
9. Pengujian Marshall.
10.Analisa perbandingan hasil pengujian Marshall dengan benda uji
yang telah direndam oleh variasi jenis air berbeda sebelum di
lakukan Marshall Test.

1.6 Sistematika Penulisan


Di dalam penulisan Tugas Akhir ini dikelompokkan ke dalam 6 (enam)
bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Merupakan rancangan yang akan dilakukan meliputi latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan masalah, metode penelitian, dan
sistematika penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Merupakan kajian dari berbagai literature hasil studi yang
relevan dengan pembahasan ini. Dalam hal ini diuraikan
hal- hal tentang beberapa teori – teori yang berhubungan
dengan pengaruh lama rendaman aspal campuran AC – WC
terhadap karakteristik Marshall , baik secara langsung
maupun secara umum.

BAB III METODE PENELITIAN


Bab ini berisikan tentang metode yang dipakai dalam
penelitian ini, termasuk pengambilan data, langkah
penelitian, analisa data, pengolahan data, dan bahan uji.

BAB IV ANALISIS DATA


Bab ini menyajikan data- data yang diperoleh dari hasil
penelitian

5
BAB V PEMBAHASAN
Berisikan pembahasan mengenai data-data yang didapat
dari pengujian, kemudian dianalisis, sehingga dapat
diperoleh hasil perhitungan, dan kesimpulan hasil yang
mendasar.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan
yang telah diperoleh dari pembahasan pada bab sebelumnya
dan saran mengenai hasil penelitian yang dapat dijasikan
masukan.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Perkerasan Jalan di Indonesia


Catatan tentang jalan di Indonesia tidak banyak dapat ditemukan.
Pembangunan jalan yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia adalah
pembangunan jalan pos zaman pemerintahan Daendels, yang dibangun dari
Anyer di Banten sampai Banyuwangi di Jawa Timur, membentang sepanjang
pulau Jawa. Pembangunan tersebut dilakukan dengan kerja paksa pada akhir
abad ke 18. Tujuan pembangunan pada saat itu terutama untuk kepentingan
strategi. Dimasa “tanam paksa” untuk memudahkan pengangkutan hasil tanaman,
dibangun juga jalan-jalan yang merupakan cabang dari jalan pos terdahulu.
Awal tahun 1970 Indonesia mulai membangun jalan – jalan dengan
klasifikasi yang lebih baik, hal ini ditandai dengan diresmikannya jalan tol
pertama pada tanggal 9 Maret 1978 sepanjang 53.0 km, yang menghubungkan
kota Jakarta – Bogor – Ciawi dan terkenal dengan nama Jalan Tol Jagorawi
(Silvia Sukirman).

2.2. Jenis Konstruksi Perkerasan


Berdasarkan bahan pengikatnya konstruksi perkerasan jalan dapat
dibedakan atas :
a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang
menggunkan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan – lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke
tanah dasar.
b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (Portland cement) sebagai bahan pengikat. Pelat
beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan
atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul
oleh pelat beton.
c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan
kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa


perkerasan lentur di atas permukaan kaku, atau perkerasan kaku di atas
perkerasan lentur.

Perbedaan utama antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur dapat dilihat
pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku


Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku
Bahan Pengikat Aspal Semen

Repitisi Beban Timbul rutting (lendutan Timbul retak – retak


pada jalur roda) pada permukaan

Penurunan Tanah Dasar Jalan bergelombang Bersifat sebagai balok di


(mengikuti tanah dasar) atas perletakan

Perubahan Temperatur Modulus kekakuan Modulus kekakuan tidak


berubah. Timbul berubah timbul tegangan
tegangan dalam yang dalam yang besar.
kecil

Sumber : Silvia Sukirman

2.3. Kriteria Konstruksi Perkerasan Lentur


Guna dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pemakai jalan,
maka konstruksi perkerasan jalan haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
1. Syarat – syarat berlalu lintas
Kontruksi perkerasan lentur dipandang dari keamanan dan kenyamanan
berlalu lintas harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
a. Permukaan yang rata, tidak bergelombang, tidak melendut,dan tidak
berlubang.
b. Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat
beban yang bekerja di atasnya.
c. Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban
dan permukaan jalan sehingga tak mudah selip.


d. Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika kena sinar matahari.
2. Syarat – syarat kekuatan / structural
Konstruksi perkerasan jalan dipandang dari segi kemampuan memikul dan
menyebarkan beban, harus memenuhi syarat – syarat :
a. Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban/muatan
lalu lintas ke tanah dasar.
b. Kedap terhadap air, sehingga air tidak mudah meresap kelapisan di
bawahnya.
c. Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh di
atasnya dapat cepat dialirkan.
d. Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan
deformasi berarti.
Untuk dapat memenuhi hal – hal tersebut di atas, perencanaan dan
pelaksanaan konstruksi perkerasan lentur jalan harus mencakup :
1. Perencanaan tebal masing – masing lapisan perkerasan.
Dengan memperhatikan daya dukung tanah dasar, beban lalu lintas
yang akan dipikulnya, keadaan lingkungan, jenis lapisan yang dipilih,
dapatlah ditentukan tebal masing – masing lapisan berdasarkan
beberapa metoda yang ada.
2. Analisa campuran bahan
Dengan memperhatikan mutu dan jumlah bahan setempat yang
tersedia,direncanakanlah suatu susunan campuran tertentu sehingga
terpenuhi spesifikasi dari jenis lapisan yang dipilih.
3. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan
Perencanaan tebal perkerasan yang baik, susunan campuran yang
memenuhi syarat, belum dapat menjamin dihasilkannya lapisan
perkerasan yang memenuhi apa yang diinginkan jika tidak dilakukan
pengawasan pelaksanaan yang cermat mulai dari tahap penyiapan
lokasi dan material sampai tahap pencampuran atau penghamparan
dan akhirnya pada tahap pemadataan dan pemeliharaan .


2.4. Jenis dan fungsi lapisan perkerasan
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan – lapisan yang
diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan – lapisan
tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya
ke lapisan di bawahnya.
Adapun susunan lapis konstruksi perkerasan lentur terdiri dari :
a. Lapis permukaan (surface course)
Lapisan permukaan pada umunya dibuat dengan menggunakan
bahan pengikat aspal, sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air
dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama. Lapisan ini
terletak paling atas, yang berfungsi sebagai berikut :
 Menahan beban roda, oleh karena itu lapisan perkerasan ini
harus mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda
selama masa layan.
 Lapisan kedap air, sehingga air hujan tidak meresap ke
lapisan di bawahnya yang akan mengakibatkan kerusakan
pada lapisan tersebut.
 Lapis aus, lapisan yang langsung terkena gesekan akibat rem
kendaraan sehingga mudah menjadi aus.
 Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya,
sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain.
Jenis lapis permukaan yang banyak digunakan di Indonesia adalah
sebagai berikut:
 Burtu (laburan aspal lapis satu), yaitu lapis penutup yang
terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi satu lapis agregat
bergradasi seragam dengan tebal maksimal 2 cm.
 Burda (lapis aspal dua lapis), yaitu lapis penutup yang terdiri
dari lapisan as[al ditaburi agregat dua kali secara berurutan
dengan tebal maksimal 3.5 cm.
 Latasir (lapis tipis aspal pasir), yaitu lapis penutup yang
terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus

10 
dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu
dengan tebal 1 – 2 cm.
 Lataston (lapis tipis aspal beton), yaitu lapis penutup yang
terdiri dari campuran antara agregat bergradasi timpang,
mineral pengisi dan aspal keras dengan perbandingan tertentu
dan tebal antara 2 – 3.5 cm.
Jenis lapisan di atas merupakan jenis lapisan yang bersifat
nonstructural yang berfungsi sebagai lapisan aus dan penggunaan
bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air dan
memberikan bantuan tegangan tarik yang berarti mempertinggi daya
dukung lapisan terhadap beban roda lalu – lintas. Pemilihan bahan
lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur rencana,
serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat yang sebesar –
besarnya dari biaya yang dikeluarkan. Jenis lapisan berikutnya
merupakan jenis lapisan yang bersifat structural yang berfungsi
sebagai lapisan yang menahan dan menyebarkan beban roda, antara
lain :
 Penetrasi macadam (lapen), yaitu lapis perkerasan yang terdiri
dri agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka
dan seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan
di atasnya dan dipadatkan lapis demi lapis. Tebal lapisan
bervariasi antara 4 – 10 cm.
 Lasbutag, yaitu lapisan yang terdiri dari campuran antara
agregat, asbuton dan bahan pelunak yang diaduk, dihampar,
dan dipadatkan secara dingin. Tebal lapisan padat antara 3 – 5
cm.
 Laston (lapisan aspal beton),yaitu lapis perkerasan yang
terdiri dari campuran aspal keras dengan agregat yang
mempunyai gradasi menerus dicampur, dihampar, dan
dipadatkan pada suhu tertentu. Laston terdiri dari 3 macam
campuran,Laston lapis aus (AC – WC), Laston lapis pengikat
(AC – BC) dan Laston lapis pondasi (ACBase).

11 
 Ukuran maksimum agregat masing – masing campuran adalah
19 mm, 25 mm dan 37,5 mm. Jika campuran aspal yang
dihampar lebih dari satu lapis, seluruh campuran aspal tidak
boleh kurang dari toleransi masing – masing campuran dan
tebel nominal rancangan.
b. Lapis Pondasi Atas (base course)
Lapisan pondasi atas terletak tepat di bawah lapisan perkerasan,
maka lapisan ini bertugas menerima beban berat. Oleh arena itu
material yang digunakan harus berkualitas tinggi dan pelaksanaan di
lapangan harus benar.
c. Lapis Pondasi Bawah (subbase course)
Lapis pondasi bawah adalah lapis perkerasan yang terletak
diantara lapis pondasi dari tanah dasar. Jenis pondasi bawah yang
biasa digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut:
 Agregat bergradasi baik, dibedakan atas : Sirtu/pitrun kelas A,
Sirtu/pitrun kelas B, Sirtu/pitrun kelas C.
 Stabilisasi : a). Stabilisasi agregat dengan semen, b).
Stabilisasi agregat dengan kapur, c). Stabilisasi tanah dengan
semen, d). Stabilisasi tanah dengan kapur.
d. Tanah Dasar (subgrade course)
Lapisan paling bawah adalah lapisan tanah dasar yang dapat
berupa permukaan tanah asli, tanah galian atau tanah timbunan yang
menjadi dasar untuk perletakan bagian – bagian perkerasan lainnya.
Perkerasan lain diletakkan di atas tanah dasar, sehingga secara
keseluruhan mutu dan daya tahan seluruh konstruksi perkerasan tidak
lepas dari sifat tanah dasar. Tanah dasar harus dipadatkan hingga
mencapai tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya
dukung yang baik.

12 
2.5 Pengertian Banjir
Banjir merupakan permasalahan umum yang sering terjadi disebagian
wilayah Indonesia. Banjir adalah peristiwa tergenang dan terbenamnya daratan
(yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat. Banjir dapat terjadi
karena peluapan air yang berlebihan disuatu tempat akibat hujan besar, peluapan
air sungai, atau pecahnya bendungan sungai. Banjir menimbulkan kerugian baik
berupa harta benda maupun jiwa manusia. Banjir dapat merusak prasarana
lingkungan hidup manusia misalnya rusaknya jalan yang dapat mengganggu
kelancaran transportasi, rusaknya jaringan irigasi dan tanaman pangan yang
dilanda oleh banjir sehingga menimbulkan kesulitan yang berat pada sector
produksi dan distribusi pangan (IGNATIUS S. PASERENG, 2014).
Banyak faktor yang menjadi penyebab banjir. Namun secara umum
penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu banjir
yang disebabkan oleh sebab – sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh
tindakan manusia.
Yang termasuk sebab – sebab alami diantaranya adalah :
a. Curah hujan
Indonesia mempunyai iklim tropis sehingga sepanjang tahun
mempunyai dua musim yaitu musim hujan, umumnya terjadi antara
bulan Oktober sampai bulan Maret, dan musim kemarau terjadi antara
bulan April sampai bulan September. Pada musim penghujan, curah
hujan yang tinggi akan mengakibatkan banjir di sungai, dan bilamana
melebihi tebing sungai maka akan timbul genangan atau banjir.
b. Pengaruh Fisiografi
Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan
kemiringan daerah pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai,
geometrikhidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman,
potongan memanjang,material dasar sungai), lokasi sungai dan lain-lain,
merupakan hal-hal yangmempengaruhi terjadinya banjir.
c. Kapasitas sungai
Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan
oleh pengendapan berasal dari erosi, DPS, dan erosi tanggul sungai yang

13 
berlebihan dan sedimentasi di sungai itu karena tidak adanya vegetasi
penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat.
d. Kapasitas drainase yang tidak memadai
Hampir semua kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah
genangan yan tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi
langganan banjir di musim hujan.
e. Pengaruh air pasang
Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu
banjir bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan
atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater).
Yang termasuk sebab – sebab banjir karena tindakan manusia
adalah:
1. Perubahan kondisi DPS
Perubahan DPS seperti penggundulan hutan, usaha pertanian
yang kurang tepat, perluasan kota, dan perubahan tata guna lainnya
dapat memperburuk masalah banjir karena meningkatnya aliran
banjir.
2. Kawasan kumuh
Perumahan kumuh yang terdapat di sepanjang sungai, dapat
merupakan penghambat aliran.
3. Sampah
Disiplin masyarakat untuk membuang sampah pada tempat yang
ditentukan tidak baik, umumnya mereka langsung membuang
sampah ke sungai. Di kota-kota besar hal ini sangat mudah di
jumpai. Pembuangan sampah di alur sungai dapat meninggikan
muka air banjir karena menghalangi aliran.
4. Bendung dan bangunan air
Bendung dan bangunan lain seperti pilar jembatan dapat
meningkatkan elevasi muka air banjir karena efek aliran balik
(backwater).

14 
5. Kerusakan bangunan pengendali banjir
Pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali
banjir sehingga menimbulkan kerusakan akhirnya tidak berfungsi
dapat meningkatkan kuantitas banjir.

2.6 Air Laut


Sebagian besar belerang yang terdapat di air laut adalah S (IV) dalam ion
sulfat (SO4-). Dalam kondisi anaerobik ion SO4- dapat direduksi oleh aktivitas
bakteri menjadi H2S, HS-, atau garam sulfit yang tidak larut. Dalam air larut ion
sulfat dapat berasal dari banyak sumber . Oksidasi dari mineral-mineral sulfit
dipengaruhi oleh mikroorganisme, seperti pyrit, FeS2, menghasilkan sulfat. Air
hujan diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia mengandung sejumlah besar
ion sulfat dikenal dengan hujan asam. Hujan asam ini yang akan masuk dalam air
laut sehingga air laut mengandung ion-ion sulfat. Air laut merupakan larutan
kompleks yang mengandung berbagai senyawa atau elemen-elemen kimia baik
inorganik maupun organik. Air laut pada umumnya (salinitas: 35) terdiri dari
kurang lebih 96,5% air dan 3,5% bahan terlarut (garam laut). Akan tetapi pada
suatu perairan laut, sebenarnya air laut tidak hanya mengandung air dan garam
saja tapi memiliki beberapa komponen di dalamnya. Komponen kimia air laut
terdiri dari:
1. Partikel tersuspensi. Komponen ini biasanya diketahui atau diperoleh
dengan cara menyaring air laut dengan filter dengan ukuran (diameter)
porinya 0,45 mikrometer. Partikel-partikel yang tertahan atau yang tidak lolos
dari saringan ini lah yang dimaksudkan dengan partikel yang tersuspensi di
perairan laut. Jadi dapat dikatakan partikel tersebut berukuran lebih besar dari
0,45 mikrometer. Partikel tersuspensi dapat berupa bahan organik contohnya
detritus dan bahan anorganik/inorganik contohnya mineral.
2. Gas. Gas-gas yang terlarut dalam air laut ada 2 golongan yaitu a) gas
konservatif yaitu gas-gas yang keberadaannya tidak terpengarah oleh proses-
proses biologi di perairan seperti N2, Ar, dan Xe, b) gas non konservatif
yaitu gas-gas yang keberadaannya dipengaruhi oleh proses biologi di
perairan, seperti O2 dan CO2.

15 
3. Kolloids. Komponen ini berukuran kurang dari 0,45 mikrometer, jadi lolos
dari saringan dengan ukuran diameter pori 0,45 mikrometer, akan tetapi
komponen ini tidak terlarut. Penjelasan sederhan: Terlarut itu dapat kita
bayangkan seperti kita memasukkan garam dalam air dan diaduk-aduk
sehingga tercampur sempurna dan tidak tampak lagi partikel garam. Kolloids
juga dapat berupa anorganik seperti oxyhidroksida dan organik sperti
organometalik. contoh-contoh dari kolloid tersebut memang kurang familiar
ditelinga, memang perlu penjelasan khusus mengenai kolloid ini karena
memiliki peranan penting di lautan, salah satunya rantai makanan di laut.
4. Bahan terlarut. Bahan terlarut ini sudah pasti akan lolos dari saringan
dengan diameter pori 0,45 mikrometer. Oleh karena itu, apabila menganalisis
kandungan unsur kimia yang terlarut di laboratorium seharusnya air yang
telah disaring yang dianalisis. Bahan terlarut dapat berupa
Anorganik/inorganik dan Organik. Anorganik berdasarkan konsentrasinya
terdiri dari a) unsur utama (0,05-750 mM atau milimol) seprti Na, Cl, Ca, K,
Mg, b) unsur minor (0,05 – 50 mikromol) seperti P dan N, c) unsur trace/trace
elements (0,05 - 50 nanomol) seperti Pb, Hg dan Cd. Sedangkan bahan
terlarut yang berupa Organik contohnya adalah asam humus.

2.7 Air Hujan


Pemantauan tingkat keasaman air hujan (pH) di Indonesia dilakukan di 31
(tigapuluh satu) stasiun. Pengambilan sampel menggunakan metode Wet
Deposition dan Wet & Dry Deposition dengan alat Automatic Rain Water
Sampler (ARWS). Analisis sampel air hujan dilakukan di laboratorium kualitas
udara BMKG dengan menggunakan alat ion chromatograph. Pada bulan Agustus
2010, jumlah sampel air hujan yang diterima di Laboratorium Kualitas Udara
berasal dari 13 (tigabelas) stasiun pengamatan hujan di Indonesia. Hasil analisis
menunjukkan bahwa tingkat keasaman (pH) air hujan di 10 (sepuluh) kota
(Banjarbaru-Banjarmasin, BMKG Jakarta, Branti-Lampung, Cisarua-Bogor,
Darmaga-Bogor, Kayuwatu-Manado, Maros-Makasar, Patimura-Ambon,
Sampali-Medan, dan Samratulangi-manado) berada dibawah Nilai Ambang Batas
(NAB) pH air hujan normal sebesar 5,6. Kondisi ini menunjukkan bahwa hujan

16 
yang turun di 10 (sepuluh) kota tersebut bersifat asam. Tingkat keasaman air
hujan di 3 (tiga) kota lainnya (Angkasa Pura-Jayapura, Pulau Baai-Bengkulu, dan
Temindung) menunjukkan nilai pH air hujan berada diatas Nilai Ambang Batas
(pH = 5,6). Secara lebih rinci, hasil analisis pH air hujan dapat dilihat pada
gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1 Grafik tingkat keasaman air hujan di Indonesia

Sumber : website BMKG

2.8 Air Sungai


Hasil pengukuran dilapangan menunjukkan bahwa pH Sungai Babura
cenderung basa dengan kisaran pH 6,89 sampai dengan 7,29 dengan nilai rata-rata
pada 7,10. Nilai pH yang diperoleh cenderung masih memenuhi baku mutu air
kelas II menurut Peraturan Pemerintah no.82 tahun 2001 yaitu antara 6-9. Suhu di
Sungai Babura berkisar antara 28,5 sampai dengan 31,7 dengan nilai rata-rata
30,5ºC. Nilai DHL di sepanjang aliran Sungai Babura berada dikisaran 215 μs/cm
sampai dengan 343 μs/cm dengan nilai rata-rata 264,20 μs/cm.
Indeks Pencemaran dengan mengacu kepada Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang penentuan indeks pencemaran air, maka
diperoleh hasil bahwa kualitas air Sungai Babura tercemar ringan untuk
17 
peruntukan air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Nilai Indeks pencemaran air sungai Babura
Lokasi Pij Kondisi Lokasi Pij Kondisi
1 2.8245914 Tercemar Ringan 5 3,1280939 Tercemar ringan
2 2,9834884 Tercemar Ringan 6 2,8260417 Tercemar ringan
3 3,1366276 Tercemar Ringan 7 3,0545569 Tercemar ringan
4 2,938254 Tercemar Ringan 8 2,7982584 Tercemar ringan

Nilai indeks pencemaran dari hulu ke hilir pada delapan lokasi sampling
cenderung mengalami fluktuasi. Hal ini berkaitan dengan penggunaan lahan,
aktivitas masyarakat serta jarak pengambilan dari tiap lokasi (Agustiningsih dkk.,
2012).
2.9 Kerusakan Pada Perkerasan Lentur
2.9.1 Kerusakan Retak Permukaan
Retak permukaan perkerasan lentur mempunyai bermacam – macam
bentuk. Pola keretakan pada umumnya adalah sama untuk berbagai penyebab
keretakan dan untuk tingkat kerusakan yang sama. Jenis retak permukaan yang
sering terjadi adalah:
a. Retak Rambut (Hair Crack)
Awal terjadinya kerusakan pada perkerasan lentur adalah terlihat
adanya retak rambut pada permukaan. Hal ini disebabkan oleh :
1. Pelapukan dari lapis perkerasan permukaan yang termakan usia.
2. Lapis perkerasan dan tanah dasar di bawah lapis permukaan
kurang stabil.
3. Lebar retakan ≤ 3 mm.
Kerusakan ini menyebabkan permukaan menjadi tidak kedap dan
untuk memperbaikinya diperlukan pelaburan aspal.
b. Retak Kulit Buaya (Alligator Crack)
Merupakan perkembangan dari retak halus dengan lebar celah >
3mm, keretakan saling berhubungan membentuk kotak – kotak besar dan
kecil yang menyerupai kulit buaya. Hal ini dapat disebabkan oleh:

18 
1. Kondisi lapis pondasi agregat dan lapis pondasi bawah agregat
serta lapisan tanah bawah yang kurang stabil
2. Adanya air tanah yang masuk ke lapis pondasi agregat atau air
permukaan yang masuk lewat celah – celah keretakan.
Kerusakan ini dapat berkembang menjadi lubang karena terjadinya
pelepasan butir, dan dapat ditangani dengan pembongkaran dan
penambalan dengan bahan yang sama.
c. Retak Pinggir (Edge Crack)
Retak yang terjadi pada arah memanjang pada bagian tepi dekat bahu
jalan, bercabang atau tidak bercabang. Retak pinggir disebabkan oleh
dukungan samping dari bahu yang kurang atau material perkerasan di
bawahnya mengalami penurunan, serta dapat diperbaiki dengan pelaburan
aspal dan pasir untuk meratakan serta bahu jalan dipadatkan lagi.
d. Retak Sambungan Perkerasan dan Bahu Jalan
Terjadi pada arah memanjang sambungan antara perkerasan dan bahu
jalan yang diperkeras. Kerusakan ini disebabkan oleh penurunan dari
material di bawah bahu jalan yang diperkerasan karena bahu jalan sering
dilewati. Kerusakan ini dapat diperbaiki dengan pelaburan aspal dan pasir
untuk mengisi retakan, dan bahu jalan dipadatkan kembali.
e. Retak Sambungan Pelebaran
Terjadi pada arah memanjang sambungan antara perkerasan lama
dengan pelebaran (perkerasan baru). Retak ini dapat diperbaiki dengan
pelaburan aspal dan pasir untuk mengisi retakan serta diberi overlay pada
pelebaran untuk mendapatkan ketinggian yang sama.
f. Retak Refleksi
Terjadi pada lapisan ulang dari perkerasan aspal di atas perkerasan
semen/ perkerasan kaku (rigid pavement). Kerusakan ini mengikuti pola
retakan perkerasan semen yang dapat berbentuk retak ke arah
memanjang, diagonal, melintang maupun pola lain. Retak refleksi
disebabakan oleh pergerakan vertical atau horizontal di bawah lapis ulang
karena beban lalu lintas, temperature dan pergerakan tanah berlebihan.

19 
Diperbaiki dengan pelaburan aspal dan pasir untuk mengisi retakan >
3mm.
g. Retak Susut (Shrinkage Crack)
Terjadi karena perubahan volume perkerasan aspal pada campuran
dengan kadar aspal tinggi, retak saling bersambungan membentuk kotak
besar dan bersudut tajam. Kerusakan ini diperbaiki dengan pengisian
aspal emulsi pada keretakan dan pelapisan ulang.
h. Retak Slip
Disebabkan karena gaya horizontal dari kendaraan (gaya rem), tidak
berfungsinya lapis pengikat (take coat) antara lapis permukaan dan lapis
di bawahnya. Diperbaiki dengan membongkar bagian yang lepas dan
mengisi kembali dengan bagian yang sama.

2.9.2 Kerusakan Perubahan Bentuk Permukaan


a) Alur (Channeling)
Mempunyai bentuk seperti alur yang sejajar dengan sumbu jalan,
diakibatkan oleh roda kendaraan dan pemadatan lapisan campuran aspal
yang kurang sempurna sehingga stabilitas rendah dan terjadi deformasi
plastis. Kerusakan ini dapat ditangani denga overlay memakai material
yang sama.
b) Keriting (Corrugation)
Kerusakan keriting dapat terjadi kearah melintang dan memanjang
jalan. Lebih banyak terjadi pada persimpangan jalan akibat adanya
kendaraan yang berhenti di jalan, atau terjadi pada daerah perbukitan
untuk jalan yang menurun akibat gaya rem. Kerusakan ini dapat
diperbaiki dengan dikupas dengan alat cold milling dan dilapisi ulang.
c) Amblas (Depression)
Penurunan setempat dengan atau tanpa disertai retakan, bias
berkembang menjadi lubang karena genangan air. Disebabkan oleh lalu
luntas berat yang melebihi beban rencana dan pelaksanaan yang kurang
baik serta penurunan dasar.

20 
d) Lubang (Pothole)
Disebabkan oleh drainase yang kurang baik serta penanganan yang
terlambat dari retakan. Kerusakan ini dapat diperbaiki dengan patching
untuk memperbaiki.

2.9.3 Kerusakan Struktur


1. Retak – retak, yaitu retak – retak yang mencapai dasar slab.
2. Melengkung (buckling), yaitu terbagi menjadi
a. Jembul (Blow up), yaitu keadaan dimana slab menjadi tertekuk dan
melengkung disebabkan tegangan dari dalam beton.
b. Hancur, yaitu kedaan dimana slab beton mengalami kehancuran
akibat dari tegangan tekan dalam beton. Pada umumnya kehancuran
ini cenderungan terjadi di sekitar sambungan.

2.10 Bahan Campuran Aspal


2.10.1 Agregat
Agregat atau batu, atau glanular adalah material berbutir yang keras dan
kompak. Istilah agregat mencakup anatar lain batu bulat, batu pecah, abu batu
dan pasir. Agregat/ batuan didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi
yang keras dan pejal (solid), (silvia sukirman).
Batuan sebagai suatu bahan yang terdiri dari mineral padat, berupa massa
berukuran besar ataupun berupa fragmen – fragmen (ASTM,1974).
Agregat/batuan merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan jalan yaitu
mengandung 90 – 95 % agregat berdasarkan persentase berat atau 75 – 85 %
agregat berdasarkan persentase volume (silvia sukirman). Dengan demikian daya
dukung, keawetan dan mutu perkerasan jalan di tentukan juga dari sifat agregat
dan hasil campuran agregat dengan material lain (silvia sukirman). Agregat
mempunyai peranan yang sangat penting dalam prasarana transportasi,
khususnya dalam hal ini pada perkerasan jalan. Daya dukung perkerasan jalan
ditentukan sebagai besar oleh karakteristik agregat yang digunakan. Pemilihan
agregat yang tepat dan memenuhi persyaratan akan sangat menentukan dalam
keberhasilan pembangunana atau pemeliharaan jalan. Sifat agregat yang

21 
menentukan kualitasnya sebagai material perkerasan jalan adalah gradasi,
kebersihan, kekerasan dan ketahan agregat, bentuk butir, tekstur permukaan
porositas, kemampuan untuk menyerap air, berat jenis dan daya pelekat dengan
aspal.

2.10.1.1Sifat Agregat
Sifat dan kualitas agregat menentukan kemampuannya dalam memikul
beban lalu – lintas. Sifat agregat yang menentukan kualitasnya sebagai bahan
konstruksi perkerasan jalan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Kekuatan dan keawetan (strength and durability) lapisan perkerasan
dipengaruhi oleh :
a. Gradasi
b. Ukuran maksimum
c. Kadar lempung
d. Kekerasan dan ketahanan
e. Bentuk butir
f. Tekstur permukaan
2. Kemampuan dilapisi aspal dengan baik, dipengaruhi oleh :
a. Porositas
b. Kemungkinan basah
c. Jenis agregat
3. Kemudahan dalam pelaksanaan dan menghasilkan lapisan yang
nyaman dan aman, dipengaruhi oleh :
a. Tahanan geser (skid resistance)
b. Campuran yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan
(bituminous mix workability)

2.10.1.2Klasifikasi agregat
Ditinjau dari asal kejadiannya agregat/batuan dapat dibedakan atas batuan
beku (igneous rock), batuan sedimen dan batuan metamorf (batuan malihan).
Batuan Beku. Batuan yang berasal dari magma yang mendingin dan membeku.
Dibedakan atas batuan beku luar (extrusive igneous rock) dan batuan beku dalam
(intrusive igneous rock).
22 
Batuan Sedimen Sedimen dapat berasal dari campuran partikel mineral, sisa –
sisa hewan dan tanaman. Pada umumnya merupakan lapisan – lapisan pada kulit
bumi, hasil endapan di danau, laut, dan sebagainya.
Batuan metamorf Berasal dari batuan sedimen atau pun betuan beku yang
mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan bentuk akibat
adanya perubahan tekanan dan temperature dari kulit bumi.

2.10.1.3 Jenis Agregat


Batuan atau agregat untuk campuran beraspal umunya diklasifikasikan
berdasarkan sumbernya, seperti contohnya agregat alam, agregat hasil
pemrosesan, agregat buatan atau agregat artifisial.

2.10.1.4 Persyaratan sifat agregat


Secara umum bahan penyusunan brton aspal terdiri dari agregat kasar,
agregat halus, bahan pengisi dan aspal sebagai bahan pengikat. Dimana bahan –
bahan tersebut sebelum digunakan harus diperiksa di laboratorium. Agregat yang
akan dipergunakan sebagai material campuran perkerasan jalan haruslah
memenuhi persyaratan sifat dan gradasi agregat seperti yang ditetapkan di dalam
buku spesifikasi pakerjaan jalan atau ditetapkan badan yang berwenang. Menurut
Rancangan Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan 2010, Divisi 6 untuk
Campuran Beraspal Panas, Dep. PU, Revisi 2 memberikan persyaratan untuk
agregat sebagai berikut :
 Agregat Kasar
 Agregat Halus
 Agregat Pengisi (filler)

Tabel 2.3 Ketentuan Agregat Kasar


Pengujian Standar Nilai

Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan SNI 3407 : 2008 Maks. 12


natrium dan magnesium sulfat %

Abrasi Campuran AC bergradasi SNI 2417 : 2008 Maks. 30

23 
dengan kasar %
mesin Los
Semua jenis campuran aspal
Angeles 1)
bergradasi lainnya

Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 2439 : 2011 Min. 95


%

Angularitas (kedalaman dari permukaan < DoT’s 95/90 2)


10 cm)
Pennsylvania
Angularitas (kedalaman dari permukaan ≥ Test Method, 80/75 2)
10 cm PTM No.621

Partikel pipih dan lonjong ASTM D4791 Maks.10


Perbandingan 1 : %
5

Material lolos ayakan No. 200 SNI 03 – 4142- Maks. 1


1996 %

Sumber : Spesifikasi Umum 2010 (Revisi 2), Divisi 6

Catatan :
1)
Abrasi dengan mesin Los Angeles dengan 100 putaran harus dilakukan
untuk mengetahui keseragaman mutu agregat dan nilai abrasi dengan 100
putaran yang diperoleh tidak boleh melampaui 20% dari nilai abrasi dengan
500 putaran.
2)
95/90 menunjukkan bahwa 95% agregat kasar mempunyai muka bidang
pecah satu atau lebih dan 90% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah
dua atau lebih.
Untuk ketentuan pengujian Agregat halus dapat dilihat pada Tabel 2.4

24 
Tabel 2.4 Ketentuan pengujian agregat halus
Jenis Pemeriksaan Standar Nilai

SNI 03 – 4428 – Min


1997 60%
Nilai setara pasir

Kadar Lempung SNI 3423 : 2008 Maks 1


%

Angularitas (kedalaman dari permukaan Min 45


< 10 cm)
SNI 03 – 6877 -
Angularitas (kedalaman dari permukaan 2002 Min 40
≥ 10 cm)

Sumber : Spesifikasi Umum 2010 (Revisi 2), Divisi 6

2.10.1.5. Sifat – sifat fisik agregat dan hubungannya dengan kinerja


campuran
Pada campuran beraspal, agregat memberikan kontribusi sampai 90-95
% terhadap berat campuran, sehingga sifat-sifat agregat merupakan salah satu
faktor penentu dari kinerja campuran tersebut. Untuk tujuan ini, sifat agregat
yang harus diperiksa antara lain :
a. Ukuran butir
b. Gradasi
c. Kebersihan
d. Kekerasan
e. Bentuk partikel
f. Tekstur permukaan
g. Penyerapan
h. Kelekatan terhadap aspal

25 
2.10.2. Aspal
Aspal atau bitumen merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan
yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila
mendapat cukup pemanasan dan sebaliknya.

2.10.2.1. Jenis aspal


Berdasarkan cara diperoleh aspal dapat dibedakan atas:
1. Aspal alam,
2. Aspal buatan.

2.10.2.1.1. Aspal minyak (petroloeum aspal)


Aspal minyak dengan bahan dasar aspal dapat dibedakan atas:
a. Aspal keras/semen (AC)
Asphalt Concrete(AC) adalah lapisan atas kontruksi jalan yang
terdiri dari campuran aspal dengan agregat yang dihampar dan
dipadatkan pada suhu tertentu (Sukirman s., 177:1999). AC
merupakan jenis lapisan permukaan struktural yang berfungsi
sebagai lapisan aus dan pelindung ko ntruksi di bawahnya, tidak
licin, permukaannya rata, sehingga memberikan kenyamanan
pengguna jalan. Aspal keras/aspal cement adalah aspal yang di
gunakan dalam keadaan cair dan panas.
Aspal ini berbentuk padat pada keadaan penyimpanan
(temperature ruang) (silvia sukirman). Aspal semen pada
temperature ruang (25ºc - 30ºc) berbentuk padat. Aspal semen terdiri
dari beberapa jenis tergantung dari proses pembuatannya dan jenis
minyak bumi asalnya (silia sukirman).
Di indonesia, aspal semen biasanya dibedakan berdasarkan
nilai penetrasinya yaitu:
1. AC pen 40/50, yaitu AC dengan penetrasi antara 40-50
2. AC pen 60/70, yaitu AC dengan penetrasi antara 60-70
3. AC pen 85/100, yaitu AC dengan penetrasi antara 85-100
4. AC pen 120/150, yaitu AC dengan penetrasi antara 120-150

26 
5. AC pen 200/300, yaitu AC dengan penetrasi antara 200-300
b. Aspal dingin/cair.
Aspal cair adalah campuran antara aspal semen dengan bahan
pencair dari hasil penyulingan minyak bumi. Dengan demikian
berbentuk cair dalam temperatur ruang. Berdasarkan bahan
pencairnya dan kemudahan menguap bahan pelarutnya, aspal cair
dapat dibedakan atas:
1. RC (Rapid Curing Cut Back)
2. MC (Medium Curing Cut Back)
3. SC (Slow Curing Cut Back
c. Aspal emulsi.
Aspal emulsi adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan
pengemulsi.

2.10.2.1.2. Aspal beton


Aspal alam yang terdapat di Indonesia dan telah dimanfaatkan
adalah aspal dari pulau buton. Aspal ini merupakan campuran antara bitumen
dengan bahan material lainnya dalam bentuk batuan. Karena aspal buton
merupakan bahan alam maka kadar bitumen yang dikandungnya sangat
bervariasi dari rendah sampai tinggi. Berdasarkan kadar bitumen yang
dikandungnya aspal buton dapat dibedakan atas B10, B13, B20, B25, dan B30.
(aspal buton B10 adalah aspal buton dengan kadar bitumen rata -rata 10%).

2.10.2.2. Komposisi aspal


Aspal merupakan unsur hydrokarbon yang sangat komplek, sangat
sukar untuk memisahkan molekul-molekul yang membentuk aspal tersebut.
Komposisi dari aspal terdiri dari asphaltenes dan maltenes. Asphaltenes
merupakan material berwarna hitam atau cokelat tua yang tidak larut dalam
heptane. Maltenes larut dalam heptane, merupakan cairan kental yang
terdiri dari resins dan oils. Resins adalah cairan berwarna kuning atau cokelat
tua yang memberikan sifat adhesi dari aspal, merupakan bagi an yang mudah
hilang atau berkurang selama masa pelayanan jalan. Sedangkan oil yang

27 
berwarna lebih muda merupakan media dari asphaltenes dan resin. Proporsi
dari asphaltenes, resins, dan oils berbeda-beda tergantung dari banyak
faktor seperti kemungkinan beroksidasi, proses pembuatannya, dan ketebalan
lapisan aspal dalam campuran.

2.10.2.3. Sifat aspal


Aspal yang dipergunakan pada kontruksi perkerasan jalan berfungsi
sebagai:
1. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan
agregat dan antara aspal itu sendiri.
2. Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-
pori yang ada dari agregat itu sendiri.
Berarti aspal haruslah mempunyai daya tahan (tidak cepat rapuh)
terhadap cuaca, mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat
elastis yang baik. Adapun sifat-sifat aspal sebagai berikut:
 Daya tahan (durability)
Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat
asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini
merupakan sifat dari campuran aspal, jadi tergantung dari sifat a gregat,
campuran dengan aspal, faktor pelaksanaan dan lain-lain. Meskipun
demikian sifat ini dapat diperkirakan dari pemeriksaan TFOT.
 Adhesi dan Kohesi
Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga
dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi adalah
kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap di
tempatnya setelah jadi pengikatan.
 Kepekaan terhadap temperature
Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras
atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih
cair jika temperatur bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap
perubahan temperatur. Kepekaan terhadap dari setiap hasil produksi
aspal berbeda -beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut

28 
mempunyai jenis yang sama.
 Kekerasan aspal
Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan
agregat sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan
ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses pelaburan.
Pada waktu pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal
menjadi getas (viskositas bertambah tinggi). Peristiwa perapuhan terus
berlangsung setelah masa pelaksanaan selesai.
Jadi selama masa pelayanan, aspal mengalami oksidasi dan polimerisasi
yang besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal yang menyelimuti
agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang
terjadi.

2.10.2.4. Pemeriksaan aspal


Aspal merupakan hasil produksi dari bahan-bahan alam, sehingga sifat-
sifat aspal harus diperiksa di labotarium dan aspal yang memenuhi syarat yang
telah di tetapkan dapat di pergunakan sebagai bahan pengikat perkerasan
lentur. Pemeriksaan yang di lakukan untuk aspal keras adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan penetrasi
2. Pemeriksaan titik lembek
3. Pemeriksaan titik nyala dan titk bakar dengan cleveland open cup
4. Pemeriksaan penurunan berat aspal (thick film test)
5. Kelarutan aspal dalam karbon tetraklorida
6. Daktalitas
7. Berat jenis aspal
8. Viskositas kinematik

2.10.2.5. Bahan pengisi filler


Menurut SNI 03-6723-2002 yang dimaksud bahan pengisi adalah
bahan yang lolos ukuran saringan no.30 (0,59 mm) dan paling sedikit 65% lolos
saringan no.200 (0.075 mm). Pada waktu digunakan bahan pengisi harus
cukup kering untuk dapat mengalir bebas dan tidak boleh menggumpal. Macam

29 
bahan pengisi yang dapat digunakan ialah: abu batu, kapur padam, portland
cement (PC), debu dolomite, abu terbang, debu tanur tinggi pembuat semen atau
bahan mineral tidak plastis lainnya. Banyaknya bahan pengisi dalam campuran
aspal beton sangat dibatasi. Kebanyakan bahan pengisi, maka campuran akan
sangat kaku dan mudah retak disamping memerlukan aspal yang banyak
untuk memenuhi workability. Sebaliknya kekurangan bahan pengisi campuran
menjadi sangat lentur dan mudah terdeformasi oleh roda kendaraan sehingga
menghasilkan jalan yang bergelombang. Gradasi bahan pengisi dapat dilihat pada
Tabel 2.5
Tabel 2.5 Gradasi Bahan Pengisi.
Ukuran Saringan Persen Lolos

No. 30 (600 mikron) 100

No. 50 (300 mikron) 95 – 100

No. 200 (75 mikron) 70 – 100

Sumber : SNI 03-6723-2002 (spesifikasi bahan pengisi untuk


campuran beraspal
bahan pengisi harus mempunyai nilai indek plastisitas seperti terlihat pada Tabel
2.6
Tabel 2.6 Bahan Pengisi Dan Nilai Indeks Plastisitas.
Jenis Bahan Nilai Indeks Plastisitas (%)

Abu Batu ≤4

Abu Slag ≤4

Kapur (CaCo3) ≤4

Abu Terbang Semen ≤4

Semen Tidak disyaratkan

Kapur Hidrolik {Ca(OH)2} Tidak disyaratkan

Sumber : SNI 03-6723-2002 (spesifikasi bahan pengisi untuk


campuran beraspal)

30 
2.11 Beton Aspal (AC-WC).
Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak di
antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan
pelayanan kepada sarana transportasi yang mana selama pelayanannya
diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti. Daya dukung lapisan perkerasan
ditentukan dari sifat-sifat butir agregat dan gradasi agregatnya.
Salah satu produk campuran aspal yang kini banyak digunakan
oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Prasarana Wilayah adalah AC-WC
(Asphalt Concrete-WearingCourse)/Lapis Aus Aspal Beton. AC-WC adalah
salah satu dari tiga macam campuran lapisan aspal beton yaitu AC-WC, AC-BC
dan AC-Base. Ketiga jenis Laston tersebut merupakan konsep spesifikasi
campuran beraspal yang telah disempurnakan oleh Bina Marga bersama-sama
dengan Pusat Litbang Jalan. Dalam perencanaan spesifikasi baru tersebut
menggunakan pendekatan kepadatan mutlak.
Beton aspal merupakan salah satu jenis dari lapis perkerasan konstruksi
perkerasan lentur. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang
diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan.
Laston sebagai lapisan aus, dikenal dengan nama AC-WC (Asphalt
Concrete – Wearing Course) dengan tebal minimum AC–WC adalah 4 cm.
Lapisan ini adalah lapisan yang berhubungan langsung dengan ban kendaraan
dan dirancang untuk tahan terhadap perubahan cuaca, gaya geser, tekanan roda
ban kendaraan serta memberikan lapis kedap air untuk lapisan dibawahnya.
Aspal didefinisikan sebagai material berwarna hitam atau cokelat tua, pada
temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat (silvia sukirman).
Sebagai salah satu material kontruksi perkerasan lentur, aspal merupakan salah
satu komponen kecil, umumnya hanya 4-10% berdasarkan berat atau 10-15%
berdasarkan volume, tetapi merupakan komponen yang relatif mahal (silvia
sukirman). Aspal yang digunakan sebagai material perkerasan jalan berfungsi
sebagai bahan pengikat dan bahan pengisi. Sebagai bahan pengikat, memberikan
ikatan yang kuat antara aspal dan agregat dan antara sesama aspal. Sebagai bahan
pengisi, mengisi rongga antar butir agregat dan pori-pori yang ada di dalam
butir agregat itu sendiri. Untuk dapat memenuhi fungsi aspal tersebut dengan

31 
baik, maka aspal haruslah memiliki sifat adhesi dan kohesi yang baik, serta pada
saat dilaksanakan mempunyai tingkat kekentalan tertentu. Spesifikasi gradasi
menurut Departemen Pekerjaan Umum Divisi 6 Tahun 2007, seperti terlihat pada
Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Gradasi Agregat Untuk Gabungan AC - WC
Ukuran Ayakan % Berat yang lolos
ASTM (mm) WC
1½” 37.5 -
1” 25 -
¾” 19 100
½” 12.5 90 – 100
3/8” 9.5 Maks. 90
No. 8 2.36 28 – 58
No. 16 1.18 -
No. 30 0.6 -
No. 50 0.3 -
No. 100 0.15 -
No. 200 0.075 4 – 10
No. 4 4.75 -
No. 8 2.36 39.1
No. 16 1.18 25.6 – 31.6
No. 30 0.6 19.1 – 23.1
No. 50 0.3 15.5

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum Divisi 6 Tahun 2007

2.11.1. Aspal Properties


Pemeriksaan sifat (asphalt properties) dari campuran dilakukan
melalui beberapa uji meliputi:
a. Berat jenis.
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan berat jenis apal keras
dengan alat piknometer. Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat

32 
aspal dan berat air suling dengan volume yang sama pada suhu 25 ºc.
Pengujian berat jenis aspal padat ini mengacu pada SNI 06 – 2441-1991.
Berat jenis diperlukan untuk perhitungan analisis campuran:

Berat jenis = … … … … … … … … … … … … … … … … . . 2.1

Dimana :

A = Berat piknometer (gram)


B = Berat piknometer berisi air (gram)
C = berat piknometer berisi aspal (gram)
D = Berat piknometer berisi air dan aspal (gram)
b. Titik lembek.
Pemeriksaan titik lembek aspal dan ter mengacu pada SNI 06 – 2434
– 1991. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan titik lembek
aspal yang berkisar antara 30ºc sampai 200ºc. Temperatur pada saat
dimana aspal mulai menjadi lunak tidaklah sama pada setiap hasil
produksi aspal walaupun mempunyai nilai penetrasi yang sama. Titik
lembek adalah temperatur pada saat bola baja dengan berat tertentu
mendesak turun suatu lapisan aspal yang tertahan dalam cincin berukuran
tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh plat dasar yang terletak di
bawah cincin berukuran tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh plat
dasar yang terletak di bawah cincin pada tinggi tertentu sebagai akibat
kecepatan pemanasan tertentu. Hasil titik lembek digunakan untuk
menentukan temperatur kelelehan dari aspal. Aspal dengan titik
lembek yang tinggi kurang peka terhadap perubahan temperatur tetapi
lebih untuk bahan pengikat perkerasan.
c. Uji penetrasi
Pemeriksaan penetrasi bahan- bahan bitumen mengacu pada modul
penuntun pratikum laboratorium aspal Teknik Sipil Politeknik Negeri
Medan. Percobaan ini bertujuan untuk menentukan apakah aspal keras atau
lembek (solid atau semi solid) dengan memasukkan jarum penetrasi
ukuran tertentu, beban, waktu tertentu kedalam aspal pada suhu tertentu.
Pengujian ini dilakukan dengan membebani permukaan aspal seberat

33 
100 gram pada tumpuan jarum berdiameter 1 mm selama 5 detik pada
temperature 25ºc. besarnya penetrasi diukur dan dinyatakan dalam angka
yang dikalikan dengan 0.1 mm. Semakin tinggi nilai penetrasi
menunjukkan bahwa aspal semakin elastic dam membuat perkerasan jalan
menjadi lebih tahan terhadap kelelahan/fatigue. Hasil pengujian ini
selanjutnya dapat diginakan dalam hal pengendalian mutu aspal untuk
keperluan pembangunan, peningkatan atau pemeliharaan jalan. Pengujian
penetrasi ini sangat dipengaruhi oleh fakor berat beban total, ukuran sudut
dan kehalusan permukaan jarum, temperatur dan waktu.
d. Daktalitas.
Tujuan untuk percobaan ini adalah untuk mengetahui sifat kohesi dari
aspal, dengan mengukur jarak terpanjang yang dapat di tarik antara dua
cetakan yang berisi aspal keras sebelum putus, pada suhu dan kecepatan
tarik tertentu. Kohesi adalah kemampuan partikel aspal untuk melekat
satu sama lain, sifat kohesi sangat penting diketahui dalam pembuatan
campuran beraspal karena sifat ini sangat mempengaruhi kinerja dan
durabilitas campuran. Aspal dengan nilai daktalitas yang rendah adalah
aspal yang mempunyai kohesi yang kurang baik dibandingkan dengan
aspal yang memiliki daktalitas yang tinggi. Daktalitas yang semakin tinggi
menunjukkan aspal tersebut baik dalam mengikat butir-butir agregat
untuk perkerasan jalan.

2.11.2. Marshall Test


Pengujian Marshall adalah suatu metode pengujian untuk mengukur
stabilitas dan kelelehan plastis campuran beraspal dengan menggunakan alat
Marshall. Konsep ini dikembangkan oleh Bruce Marshall, seorang insinyur
bahan aspal bersama dengan The Mississippi State Highway Department.
Kemudian penelitian ini dilanjutkan oleh The U.S. Army Corps O Engineers,
dengan lebih ekstensif dan menambah kelengkapan pada prosedur pengujian
Marshall dan akhirnya mengembangkan kriteria rancangan campuran.
Pemeriksaan Campuran Beraspal dengan Alat Marshall ini mengacu pada
RSNI M-01-2003.. Kinerja campuran aspal beton dapat diperiksa dengan

34 
menggunakan alat pemeriksaan Marshall yang terdiri dari
Volumetric Characteristic dan Marshall Properties. Volumetric Characteristic
akan menghasilkan parameter-parameter: void in meineral agregate (VMA),
void in mix (VIM), void filled with asphalt (VFWA) dan density.
Sedangkan marshall properties menghasilkan stabilitas dan kelelehan (flow)
yang diperoleh dari hasil pengujian dengan alat marshall.
Untuk keperluan pencampuran, agregat dan aspal dipanaskan pada suhu
dengan nilai viskositas aspal 170±20 centistokes (cst) dan dipadatkan pada suhu
dengan nilai viskositas aspal 280±30 cst. Alat yang digunakan untuk proses
pamadatan adalah marshall compaction hammer. Benda uji berbentuk silinder
dengan tinggi 64 mm dan diameter 102 mm ini diuji pada temperature 60ºC ±
1ºC dengan tingkat pembebanan konstan sebesar 51 mm/menit sampai terjadi
keruntuhan. Beban maksimum yang dapat diterima oleh benda uji sebelum
hancur dikenal sebagai stabilitas marshall dan besarnya deformasi yang terjadi
pada benda uji sebelum hancur dan kelelehan (flow) marshall disebut Marshall
Quotient, yang merupakan ukuran ketahanan material terhadap deformasi tetap.

2.11.2.1. Pengujian marshall untuk perencanaan campuran


Untuk keperluan pencampuran, agregat dan aspal dipanaskan pada suhu
dengan nilai viskositas aspal 170±20 centistokes (cst) dan dipadatkan pada suhu
dengan nilai viskositas aspal 280±30 cst. Alat yang digunakan untuk proses
pemadatan adalah marshall compaction hammer. Benda uji berbentuk silinder
dengan tinggi 64 mm dan diameter 102 mm ini diuji pada temperature 60ºc ± 1ºc
dengan tinggkat pembebanan konstan 51 mm/menit sampai terjadi keruntuhan.
Pengujian Marshall untuk perencanaan campuran pada penelitian ini adalah
metode pengujian marshall standart dengan ukuran agregat maksimum 25 mm (1
inchi) dan menggunakan aspal keras. Pengujian marshall di mulai dengan
persiapan benda uji. Untuk keperluan ini perlu di perhatikan hal sebagai berikut :
a. Bahan yang di gunakan masuk dalam spesifikasi yang ada
b. Kombinasi agregat memenuhi gradasi yang disyaratkan
c. Untuk keperluan analisa volumetrik (density-voids), berat jenis bulk dari
semua agregat yang di gunakan pada kombinasi agregat, berat jenis

35 
aspal keras harus dihitung lebih dahulu.
Dua prinsip penting pada pencampuran dengan pengujian marshall adalah
analisa volumetrik dan analisa stabilitas kelelehan (flow) dari benda uji padat.
Stabilitas benda uji adalah kemampuan maksimum benda uji campuran
beraspal dalam menerima beban sampai terjadi kelelehan plastis, yang dinyatakan
dalam satuan beban. Pada penentuan kadar aspal optimum untuk suatu kombinasi
agregat atau gradasi tertentu dalam pengujian marshall, perlu dipersiapkan suatu
seri dari contoh uji dengan interval kadar aspal yang berbeda sehingga di dapatkan
suatu kurva lengkung yang teratur. Pengujian agar direncanakan dengan dasar 1/2
% kenaikan kadar aspal dengan perkiraan minimum 2 kadar aspal di bawah
optimum.

2.11.2.1.1. Uji Berat Isi Benda Padat


Setelah benda uji selesai, kemudian di keluarkan menggunakan
ekstruder dan dinginkan. Berat isi untuk benda uji porus ditentukan dengan
melakukan beberapa kali pertimbangan seperti prosedur (ASTM D 1188). Secara
garis besar adalah sebagai berikut:
a. Timbang benda uji di udara
b. Selimuti benda uji dengan parafin
c. Timbang benda uji berparafin di udara
d. Timbang benda uji berparafin di air
Berat isi untuk benda uji tidak porus atau bergradasi menerus dapat
ditentukan menggunakan benda uji kering permukaan jenuh (SSD) seperti
prosedur ASTM D-2726. Secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Timbang benda uji di udara
b. Timbang benda uji SSD di udara
c. Rendam benda uji di dalam air
d. Timbang benda uji SSD di dalam air

2.11.2.1.2. Pengujian Stabilitas Dan Kelelehan (Flow)


Setelah penentuan berat jenis bulk benda uji dilaksanakan pengujian
stabilitas dan kelelehan dilaksanakan dengan menggunakan alat uji. Prosedur

36 
pengujian bedasarkan SNI 06-2489-1991, secara garis besar adalah sebagai
berikut:
a. Rendam benda uji pada temperature 60ºc (140ºf) selama 30 – 40
menit sebelum pengujian.
b. Keringkan permukaan benda uji dan letakkan pada tempat yang
tersedia pada alat uji, deformasi konstan 51 mm (2 inchi/menit)
sampai terjadi runtuh.

2.11.2.1.3. Pengujian Volumetrik


Tiga sifat dari benda uji campuran aspal panas ditentukan pada analisa
rongga-density, sifat tersebut adalah:
a. Berat isi atau berat jenis benda uji padat
b. Rongga dalam agregat mineral
c. Rongga udara dalam campuran padat
Dari berat contoh dan persentase aspal dan agregat dan berat jenis
masing- masing volume dari material yang bersangkutan dapat ditentukan.
Volume ini dapat diperlihatkan pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Hubungan volume dan rongga – density benda uji


campur panas padat

Keterangan gambar:
Vma = Volume rongga dalam agregat mineral
Vmb = Volume contoh padat
Vmm = Volume tidak ada rongga udara dalam campuran
Va = Volume rongga udara

37 
Vb = Volume aspal
Vba = Volume aspal terabsorbsi agregat
Vbe = Volume aspal effektif
Vsb = Volume agregat (dengan berat jenis curah)
Vse = Volume agregat (denan berat jenis effektif)
Wb = Berat aspal
Ws = Berat agregat
= Berat volume isi air (1.0 gr/cm^3) = (62,4 lbf/ft^3)

Gmb = Berat jenis curah campuran padat

% rongga = 100%

% Vma = 100%


Density =

= Gmb x w

Rongga pada agregat mineral (VMA) dinyatakan sebagai persen dari


total volume rongga dalam benda uji, merupakan volume rongga dalam
campuran yang tidak terisi agregat dan aspal yang terserap agregat. Rongga
dalam campuran, Va atau sering disebut VIM, juga dinyatakan sebagai persen
dari total volume benda uji, merupakan volume pada campuran yang tidak terisi
agregat dalam dan aspal.
Stabilitas adalah kemampuan suatu campuran beraspal untuk menerima
beban sampai terjadi alir (flow) pada suhu tertentu yang dinyatakan dalam
kilogram.Stabilitas merupakan kemampuan perkerasan jalan menerima beban
lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur, dan
bleeding. Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan fungsi jalan, dan beban
lalu lintas yang akan dilayani. Jalan yang melayani volume lalu lintas tinggi dan
dominan terdiri dari kendaraan berat, membutuhkan perkerasan jalan dengan
stabilitas tinggi. Sebaliknya perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk melayani
lalu lintas kendaraan ringan tentu tidak perlu mempunyai stabilitas yang tinggi.
Kelelehan (flow) merupakan keadaan perubahan bentuk suatu

38 
campuran beraspal yang terjadi akibat suatu beban yang diberikan selama
pengujian, dinyatakan dalam mili meter. Ketahanan terhadap kelelehan (flow)
merupakan kemampuan beton aspal menerima lendutan berulang akibat repetisi
beban, tanpa terjadinya kelelahan berupa alur dan retak. Hal ini dapat tercapai
jika mempergunakan kadar aspal yang tinggi.
Durabilitas sifat ini berhubungan dengan ketahanan suatu campuran akibat
pengaruh cuaca,air atau beban lalu lintas. Sifat Durabilitas (keawetan atau daya
tahan) pada lapis permukaan diperlukan untuk dapat menahan keausan yang
terjadi akibat pengaruh cuaca, air dan perubahan suhu ataupun keausan akibat
gesekan roda kendaraan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi menurunnya
sifat durabilitas suatu campuran adalah air. Jika suatu lapisan aspal terendam air,
maka sifat durabilitasnya terus berkurang. Untuk melihat potensi durabilitas
dinyatakan dengan parameter Indeks Kekuatan Sisa, (Sumber : Bina Marga, SNI
M-58-1990).
Marshall quetient adalah rasio antara nilai stabilitas dan kelelehan.
Rongga di antara mineral agregat (VMA) adalah ruang di antara partikel
agregat pada suatu perkerasan beraspal, termasuk rongga udara dan volume
aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat) yang dapat
dilihat pada Gambar 2.3 .VMA dihitung berdasarkan BJ Bulk (Gsb) agregat
dan dinyatakan sebagai persen volume Bulk campuran yang dipadatkan.

Gambar 2.3 .: Ilustrasi pengertian VMA

Rongga udara dalam campuran atau VIM dalam campuran perkerasan beraspal
terdiri atas ruang udara di antara partikel agregat yang terselimuti aspal. VIM
dinyatakan dalam persentase terhadap volume beton aspal padat. Pengertian

39 
tentang VIM dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 : Ilustrasi pengertian tentang VIM.

2.11.2.1.4. Prosedur Untuk Analisa Campuran Beraspal Panas Padat


Prosedur ini berlaku untuk benda uji padat yang dibuat di laboratorium
dan pada contoh tidak terganggu yang diambil dari lapangan. Dengan
menganalisa rongga udara dan rongga pada mineral agregat beberapa
indikasi dari kinerja campuran aspal panas selama masa pelayanan dapat
diperkirakan.
a. Garis besar prosedur.
Tahap analisa campuran aspal panas adalah sebagai berikut:
1. Uji berat jenis curah (bulk spesifik gravity) agregat kasar (SNI
03-1969-1990) dan agregat halus (SNI 03-1970-1990).
2. Uji berat jenis aspal padat (SNI 06-2441-1991) dan bahan
pengisi (SNI 03-6723-2002).
3. Uji berat jenis maksimum campuran beraspal (SNI 03-6893-
2002).
4. Hitung kadar aspal effektif.
7. Hitung penyerapan aspal.
8. Hitung persen rongga diantara mineral agregat (VMA)
pada campuran padat.
9. Hitung persen rongga (VIM) dalam campuran padat.
10.Hitung persen rongga terisi aspal (VFB atau VFA) dalam
campuran padat.

40 
b. Parameter dan formula perhitungan.
Parameter dan formula untuk menganalisa campuran aspal panas
adalah sebagai berikut:
1. Berat jenis curah agregat
Pada total agregat yang terdiri dari beberapa fraksi agregat
kasar, agregat halus dan pengisi yang masing-masing mempunyai
berat jenis curah gabungan agregat dapat ditentukan sebagai
berikut:
⋯…
Gsb = … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.3
⋯…

Dengan pengertian:
Gsb = berat jenis curah total agregat
P1,P2,..Pn = persentase masing – masing fraksi agregat
G1,G2,...Gn = berat jenis masing – masing fraksi agregat
Berat jenis curah bahan pengisi sukar ditentukan secara
akurat, tetapi dengan menggunakan berat jenis semua kesalahan
umumnya kecil dapat diabaikan.

2. Berat jenis effektif agregat.


Jika berdasarkan berat jenis maksimum campuran (Gmm).
Berat jenis effektif agregat dapat ditentukan dengan formula
sebagai berikut:
Gse = … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . 2.4

Dengan pengertian:
Gse = Berat jenis effektif agregat
Pmm = Persen total campuran ( = 100%)
Pb = Kadar aspal berdasarkan berat jenis maksimum campuran
Gmm = berat jenis maksimum campuran (tidak ada rongga
udara)
Gb = berat jenis aspal
41 
Catatan :
Volume aspal yang terserap oleh aspal, agregat umumnya lebih
kecil dari volume air yang terserap. Besarnya berat jenis effektif
agregat harus diantara berat jenis curah dan semua agregat.

3. Berat jenis maksimum dari campuran dengan perbedaan kadar


aspal
Pada perencanaan campuran dengan suatu agregat tertentu
berat jenis maksimum Gmm, untuk kadar yang berbeda
diperlukan untuk menghitung persentase rongga udara masing-
masing kadar aspal.
Berat jenis maksimum dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:

Gmm = … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . 2.6

Dengan pengertian:
Gmm = berat jenis maksimum campuran (tidak ada rongga udara)
Pmm = campuran lepas total, persentase terhadap berat total
campuran 100%
Ps = agregat, persen berat total campuran
Pb = aspal, persen berat total campuran
Gse = berat jenis effektif agregat
Gb = berat jenis aspal

4. Penyerapan aspal.
Penyerapan aspal tidak dinyatakan dalam presentase total
campuran tetapi dinyatakan sebagai persentase berat agregat,
penyerapan aspal dapat dihitung dengan persamaaan sebagai
berikut:

Pba = 100 … … … … … … … … … … … … … … 2.7

42 
Dengan pengertian:
Pba = Penyerapan aspal
Gse = Berat jenis effektif agregat
Gsb = Berat jenis curah agregat
Gb = berat jenis aspal

5. Kadar aspal effektif campuran


Kadar aspal effektif campuran adalah kadar aspal total
dikurangi besarnya jumlah aspal yang meresap kedalam
partikel agregat. Persamaan untuk perhitungan adalah sebagai
berikut:

Pbe = … … … … … … … … … … … … … … … … . 2.8

Dengan pengertian:
Pbe = Kadar aspal effektif ,persen terhadap berat total campuran
Ps = Persen agregat terhadap total campuran
Pb = Kadar aspal total, persen terhadap berat total campuran
Pba = Penyerapan aspal, persen terhadap berat agregat

6. Persen VMA pada campuran aspal panas padat.


Rongga adalah mineral agregat, VMA adalah rongga antar
partikel agregat pada campuran padat termasuk rongga udara dan
kadar aspal effektif, dinyatakan dalam persen volume total. VMA
dihtung berdasarkan berat jenis agregat curah (bulk) dan
dinyatakan dalam persentase dari volume curah campuran padat.
Jika komposisi campuran di tentukan sebagai persen berat
dari campuran total, maka VMA dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:

VMA = 100 … … … … … … … … … … … … … … 2.9

Dengan pengertian:

43 
VMA = rongga dalam agregat mineral (persen volume curah)
Gsb = Berat jenis curah agregat
Pbs = Persen agregat terhadap berat total campuran
Gmb = Berat jenis curah campuran padat
Atau jika komposisi campuran ditentukan sebagai persen
berat agregat maka VMA dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:

VMA = 100 100 … … … … … … … … . . 2.10

Dengan pengertian:
Pb = aspal, persen berat agregat
Gmb = berat jenis curah campuran padat
Gsb = berat jenis curah agregat

7. Perhitungan rongga udara dalam campuran padat.


Rongga udara, Pa dalam campuran padat terdiri atas
ruang-ruang kecil antara partikel agregat terselimuti aspal, rongga
udara dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
VIM/PA = 100 … … … … … … … … … … … … … . 2.11

Dengan pengertian:
VIM = Rongga udara dalam campuran padat, persen dari total
volume
Gmm = Berat jenis maksimum campuran (tidak ada rongga udara)
Gmb = Berat jenis curah campuran padat

8. Persen VFA (sering disebut VFB) dalam campuran padat.


Rongga udara terisi aspal, VFA merupakan persentase rongga
antar agregat partikel (VMA) yang terisi aspal, VFA tidak
termasuk aspal yang terserap agregat, dihitung dengan
persamaan sebagai berikut:

44 
VFA = 100 … … … … … … … … … … … … … … . 2.12

Dengan pengertian:
VFA = Rongga terisi aspal, persen dari VMA
VMA = Rongga dalam agregat mineral (persen volume curah)
Pa/VIM = Rongga udara dalam campuran padat, persen dari total
volume

2.11.3. Evaluasi Hasil Uji Marshall


Untuk mengetahui karakteristik campuran yang direncankan memenuhi
kriteria yang telah di tentukan, maka perlu dilakukan evaluasi hasil pengujian
Marshall, meliputi: nilai stabiltas, pelelehan, dan stabilitas sisa, juga termasuk
evaluasi hasil perhitungan volumetrik.

2.11.3.1. Stabilitas
Pengukuran nilai stabilitas pada uji Marshall yang dilakukan pada
benda uji harus mempunyai tebal standar 2,5 in (63,5), apabila diperoleh tinggi
benda uji tidak standar, maka perlu dilakukan koreksi, yaitu dengan mengalikan
hasil yang diperoleh dari uji stabilitas dengan nilai yang telah ditetapkan.

2.11.3.2. Pelelehan
Nilai pelelehan yang diperoleh dari uji Marshall adalah nilai batas
kekuatan stabilitas dari benda uji yang telah mengalami kehancuran antara
komponen bahan pada benda uji.
Setelah diketahui nilai stabilitas dan pelelehan perlu diketahui
koefisein Marshall yang merupakan hasil bagi keduanya. Pada penggambaran
hubungan stabilitas, pelelehan dan koefisien Marshall dengan kadar aspal akan
mempunyai trend umum:
 Nilai stabilitas sejalan dengan bertambahnya kadar aspal dalam
campuran sampai nilai maksimum saat nilai stabilitas berkurang.
 Nilai pelelehan bertambah sejalan dengan bertambahnya kadar aspal.
 Nilai koefisen Marshall bertambah sejalan dengan bertambahnya kadar
aspal dalam campuran sampai suatu nilai maksimum setelah nilai
45 
koefisien Marshall berkurang.
Apabila hasil penggambaran tidak sesuai trend, maka perlu dilakukan
evaluasi dari hasil pengujian, apakah alat yang digunakan untuk pengujian tidak
standar atau terdapat kekeliruan dalam perhitungan.

2.11.4. Evaluasi Nilai Volumetrik Campuran Beraspal


2.11.4.1. Evaluasi VMA
VMA = 100 1 1 / … … … … … … … … … … … . 2.13
Dari rumus tersebut diatas terlihat bahwa VMA merupakan fungsi dari
Gmb, Gsb, dan Pb atau Pagg. Keslahan perhitungan akan menyebabkan
kesalahan pada penilaian nilai VMA. Sebagai contoh penyimpangan nilai VMA
akibat kesalahan perhitungan yang mana kesalahan ini akan menyebabkan
pergeseran puncak lengkung hiperbola (titik terendah) kurva hubungan antara
VMA dengan kadar aspal. Pergeseran tersebut akan menyebab kesalahan
penentuan kadar aspal dan selanjutnya akan sangat mempengaruhi kinerja
campuran beraspal yang dihasilkan.

2.11.4.2. Pengaruh Rongga Udara dalam Campuan Padat (VIM)


Rongga udara (VIM) setelah selesai dipadatkan dilapangan idealnya
adalah 7%. Rongga udara yang kurang jauh dari 7 % akan rentan terhadap
perlelehan, alur dan deformasi plastis. Sementara VIM setelah selesai
pemadatan yang jauh dari 7% akan rentan terhadap retak dan perlepasan
butir (disintegrasi). Untuk mencapai nilai lapangan tersebut dalam spesifikasi,
nilai VIM rencana dibatasi pada interval 3,5 % sampai 5,5 %. Dengan kepadatan
lapangan dibatasi minimum 98%.
Hasil penelitian dijalan-jalan utama (lalu-lintas berat) di pulau Jawa
menunjukkan perkerasan Laston yang mempunyai nilai VIM lapangan diatas 7
% umumnya sudah menampakkan indikasi awal terjadinya retak.Sementara
perkerasan yang dimulai menampakkan indikasi awal terjadinya deformasi
plastis umumnya sudah mempunyai VIM lapangan di bawah 3 %.Tujuan
perencanaan VIM adalah untuk membatasi penyesuaian kadar aspal rencana pada
kondisi VIM mencapai tengah-tengah rentang spesifikasi, atau dalam hal

46 
khusus agar mendekati batas terendah rentang yang disyaratkan serta
agar campuran mendekati kesesuaian dengan hasil uji di laboratorium.

2.11.4.3. Pengaruh Rongga Udara Terisi Aspal (VFA)


Kriteria VFA bertujuan menjaga keawetan campuran beraspal dengan
memberi batasan yang cukup. Pada gradasi yang sama, semakin tinggi nilai VFA
makin banyak kadar aspal campuran tersebut. Sehingga kriteria VFA dapat
menggantikan kriteria kadar aspal dan tebal lapisan film aspal. VFA, VMA, dan
VIM saling berhubungan karena itu bila dua diantaranya diketahui maka dapat
mengevaluasi yang lainnya. Kriteria VFA membantu perencanaan campuran
dengan memberikan VMA yang dapat diterima atau memenuhi persyaratan.
Kriteria VFA menyediakan tambahan faktor keamanan dalam merencanakan dan
melaksanakan campuran beraspal panas. Karena perubahan dapat terjadi antara
tahap perencanaan dan pelaksanaan, maka kesalahan dapat ditampung
dengan memperlebar rentang yang dapat diterima.

2.11.4.4 Pengaruh Pemadatan


Padar kadar aspal yang sama, maka usaha pemadatan yang lebih
tinggi akan mengakibatkan VIM dan VMA berkurang. Bila kadar aspal
campuran rencana yang dipadatkan sebanyak 2 x 50 tumbukan, diambil sebelah
kiri VMA terendah, tapi lalu-lintas ternyata termasuk kategori lalu-lintas berat
(yang mana harus dipadatkan sebanyak 2 x 75 tumbukan) maka akibat
pemadatan oleh lalu- lintas, keadaan kadar aspal yang sebenarnya akan lebih
tinggi. Sebaliknya bila campuran dirancang untuk 2 x 75 tumbukan tetapi
ternyata lalu-lintas cenderung rendah, maka rongga udara akhir akan lebih tinggi
sehingga air dan udara akan mudah masuk. Akibatnya campuran akan cepat
mengeras, rapuh dan mudah terjadi retak serta adesivitas aspal berkurang yang
dapat menyebabkan pelepasan butir atau pengelupasan. Karena itu maka usaha
pemadatan yang direncanakan di laboratorium harus dipilih yang
menggambarkan keadaan lalu-lintas dilapangan.

47 
2.12 Pengujian IKS (Indeks Kekuatan Sisa)
Pengujian perendaman Marshall bertujuan untuk menentukan
ketahanan/stabilitas dan kelelehan plastis(flow) dari campuran aspal. Durabilitas
diperlukan pada lapisan permukaan perkerasan jalan, sehingga lapisan tersebut
dapat bertahan terhadap pengaruh cuaca, air, perubahan temperature atau keausan
akibat gesekan kendaraan. Durabilitas lapisan dipengaruhi oleh tebalnya film atau
selimut aspal , banyaknya pori dalam campuran, kepadatan dan kedap airnya
campuran. Selimut aspal yang cukup akan membungkus aspal secara baik,
sehingga lapisan akan kedap air serta lebih mampu menahan keausan. Besarnya
pori yang tersisa dalam campuran setelah pemadatan akan mengakibatkan
durabilitas lapisan menurun. Uji Durabilitas campuran ini dilakukan dengan
meninjau besaran nilai stabilitas pada Uji Marshall setelah dilakukan perendaman.
Prosedur pengujian mengikuti rujukan SNI M-58-1990. Untuk mengevaluasi
keawetan campuran dapat diketahuai dengan Indeks Kekuatan Sisa yang
membandingkan stabilitas yang direndam dengan stabilitas standar. Semakin
tinggi nilai IKS menyatakan potensi durabilitas dari campuran tersebut semakin
baik. Pengujian terhadap sifat benda uji (stabilitas dan flow) ini dibagi dalam 2
kelompok yaitu perendaman standar 4 jam dengan suhu 25ºC ± 1ºC (T1) dan
variasi perendaman 24 jam dengan suhu 60ºC ± 1ºC (T2). Semakin tinggi nilai
IKS menyatakan potensi durabilitas dari campuran tersebut semakin baik. Indeks
Kekuatan Sisa sebesar 75% merupakan nilai minimum yang disyaratkan terhadap
kerusakan yang ditimbulkan oleh pengaruh air. Dari nilai stabilitas Marshall yang
diperoleh, dapat ditemukan Indeks Kekuatan Sisa (IKS) Marshall dengan rumus :
2
100 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … 2.14
1

Dimana :
S1 = Rata –rata nilai stabilitas Marshall setelah perendaman selama T1
S2 = Rata – rata nilai stabilitas Marshall setelah perendaman selama T2
IKS = Indeks Kekuatan Sisa
Indeks Kekuatan Sisa (IKS) sebesar 80% merupakan nilai minimum yang
disyaratkan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh pengaruh air (Sumber :
Bina Marga,Spesifikasi Khusus seksi 5.7 Tahun 2009).
48 
BAB III
METODOLOGI

3.1. Diagram Alir Penelitian

Mulai

Studi Pustaka

Persiapan Bahan

Uji Karakteristik Uji Karakteristik Uji Karakteristik Uji Karakteristik


Aspal Agregat Kasar Agregat Halus Abu Batu

Sesuai spesifikasi

Pembuatan benda uji (tahap I)


dengan variasi kadar aspal rencana
(4%,4,5%,5%,5.5%,6%6.5%,7%)

Uji Marshall Test

Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO)

Pembuatan benda uji KAO untuk


perendaman variasi jenis air

Uji Marshall

Perhitungan Indeks Kekuatan Sisa


benda uji yang direndam pada jenis
air yang berbeda

49
Analisa Data

Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.1 Bagan Alir Pengerjaan Penelitian

3.2. Persiapan Alat dan Bahan


3.2.1. Persiapan Alat
Adapun alat – alat yang digunakan dalam penelitian semuanya terdapat
dalam Laboratorium Teknik Sipil Politeknik Negeri Medan.

3.2.2. Persiapan Bahan


Kegiatan pengujian sifat bahan dimaksudkan untuk mengetahui
karakteristik dari setiap bahan uji, apakah bahan tersebut mempunyai
karakterisktik yang memenuhi spesifikasi untuk digunakan. Bahan – bahan yang
akan digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Material agregat kasar, agregat halus dan filler diambil dari Quarry
berlokasi di Kota Binjai, Sumatera Utara.
b. Aspal minyak pen 60/70 diambil dari Laboratorium Teknik Sipil
Politeknik Negeri Medan.

3.3. Pengujian Sifat Bahan


3.3.1. Sifat Bahan Agregat
Bahan yang digunakan berupa agregat kasar, agregat halus, dan filler.
Yang dimaksud agregat kasar adalah bahan agregat yang tertahan di atas
saringan No.4 atau 4.75 mm (menurut SNI 1989) berupa batu pecah atau kerikil
pecah. Sedangkan agregat halus adalah bahan agregat yang lolos saringan No.4
atau 4.75 mm (menurut SNI 1989) berupa pasir dan untuk bahan pengisi (filler)
yang akan diuji untuk bahan campuran beton aspal berupa debu batu yang lolos
saringan No.200 atau 0.075 mm. Jenis dan metode pengujian yang akan

50
dilakukan dari bahan agregat kasar, halus, dan filler dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Jenis dan Metode Pengujian Agregat
No Pengujian Metode Spesifikasi
1.Agregat Kasar
1 Penyerapan air SNI 03-1969-1990 ≤ 3%
2 Berat Jenis Bulk SNI 03-1070-1990 ≥ 2.5 gr/cc
3 Berat Jenis Semu SNI 03-1969-1990 -
4 Berat Jenis Efektif SNI 03-1969-1990 -
5 Keausan/Los Angeles SNI 03-2417-1991 ≤ 40%
Abration Test
6 Kelekatan Agregat SNI 03-2439-1991 ≥ 95%
Terhadap Aspal
7 Partikel Pipih dan ASTM D-4791 Maks 10 %
Lonjong
2.Agregat Halus
1 Penyerapan Air SNI 03-1970-1990 ≤ 3%
2 Berat Jenis Bulk SNI 03-1970-1990 ≥ 2.5 gr/cc
3 Berat Jenis Semu SNI 03-1970-1990 -
4 Berat Jenis Efektif SNI 03-1970-1990 -
5 Sand Equivalen SNI 03-4428-1997 50%
3.Filler
1 Berat Jenis SNI 15-2531-1991 ≥ 1 gr/cc

3.3.2 Pengujian Sifat Bahan Aspal


Di dalam pengujian ini bahan aspal jenis minyak digunakan aspal dengan
penetrasi 60/70, karena aspal dengan penetrasi 60/70 lebih umum digunakan.
Jenis pengujian dapat dilihat pada Tabel 3.2.

51
Tabel 3.2 Persyaratan Aspal Keras Pen. 60/70
Jenis Apal (Sesuai Penetrasi) Metode Pen. 60/70
Penetrasi (25º C, 100 gr, 5 det) SNI 06-2456-1991 60-79
Titik Lembek, ºC SNI 06-2434-1991 48-58

Titik Nyala, ºC SNI 06-2433-1991 Min. 200

Daktalitas (25ºC, 5cm/men, cm) SNI 06-2432-1991 Min. 100

Berat Jenis SNI 06-2441-1991 Min. 1.0

Kelarutan dalam Tricolilor Ethylen SNI 06-2438-1991 Min. 99


% Berat
Penurunan Berat (dengan TFOT) SNI 06-2440-1991 Max. 0.8
%Berat
Penetrasi setelah penurunan berat, % SNI 06-2456-1991 Min. 54
asli
Daktilitas setelah penurunan berat, % SNI 06-2432-1991 Min. 50
asli
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (2007)

Penelitian yang dilakukan melalui beberapa tahap, mulai dari persiapan,


pemeriksaan mutu bahan yang berupa agregat dan aspal, perencanaan campuran
sampai tahap pelaksanaan pengujian dengan Marshall Test dan dengan variasi
jenis air rendaman dengan suhu 60 º.
Lokasi penelitian tugas akhir ini di Laboratorium Teknik Sipil Politeknik
Negeri Medan. Semua pengujian sesuai dengan standart pengujian bahan modul
pratikum jalan raya Departemen Teknik Sipil Politeknik Negeri Medan yang
mengacu pada SNI (Standar Nasional Indonesia), AASTHO (American
Assosiation of State Highway and Transportation Officials) dan ASTM
(American Society For Testing Material).

52
3.4. Rancangan Campuran dengan Metode Marshall
Setelah semua pengujian material pembentuk campuran aspal yaitu aspal
penetrasi 60/70 dan agregat, serta material tersebut memenuhi spesifikasi yang
telah ditentukan, langkah selanjutnya adalah merancang dan membuat
sampel yang akan digunakan untuk penelitian dengan metode marshall.
Pengujian standart terhadap benda uji untuk marshall sesuai dengan
prosedur yang ditentukan dalam SNI 06-2489-1991.
Seperti telah dibahas pada rencana penelitian bahwa jumlah sampel yang
dibutuhkan untuk mencari kadar aspal ideal sebanyak 15 buah dengan variasi
kadar aspal 5%, 5.5%, 6%, 6.5%, dan 7%. Setelah didapat komposisi campuran
aspal, kemudian dibuat sampel benda uji. Setelah diperoleh berat masing-masing
agregat untuk tiap saringan selanjutnya dilakukan proses pencampuran sebagai
berikut :
1) Dilakukan penimbangan agregat sesuai dengan persentase pada target
gradasi yang diinginkan untuk masing-masing fraksi dengan berat
campuran kira-kira 1200 gram, kemudian dilakukan pengeringan
campuran agregat pada suhu (105±5)ºC sekurang – kurangnya 4 jam di
dalam oven.
2) Keluarkan agregat dari oven dan tunggu sampai beratnya tetap.
3) Pisah – pisahkan agregat ke dalam fraksi – fraksi sengan cara penyaringan
dan lakukan penimbangan. Untuk setiap benda uji diperlukan agregat
sebanyak ± 1200 gram.
4) Dilakukan pemanasan aspal untuk pencampuran pada viskositas kinematik
100 ± 10 centistokes. Agar temperatur campuran agregat dan aspal tetap
maka pencampuran dilakukan di atas pemanas dan diaduk hingga rata
5) Setelah temperatur pemadatan tercapai yaitu pada viskositas kinematik
100 ± 10 centistokes, maka campuran tersebut dimasukkan ke dalam
cetakan yang telah dipanasi pada temperatur 100 hingga 170º dan diolesi
vaselin terlebih dahulu, serta bagian bawah cetakan diberi sepotong kertas
filter atau kertas lilin (waxed paper) yang telah dipotong sesuai dengan
diameter cetakan sambil ditusuk-tusuk dengan spatula sebanyak 15 kali di
bagian tepi dan 10 kali di bagian tengah

53
6) Pemadatan standar dilakukan dengan pemadat manual dengan jumlah
tumbukan 75 kali di bagian sisi atas kemudian dibalik dan sisi bagian
bawah juga ditumbuk sebanyak 75 kali.
7) Setelah proses pemadatan selesai benda uji didiamkan agar suhunya turun,
setelah dingin benda uji dikeluarkan dengan extruder dan diberi kode.
8) Benda uji dibersihkan dari kotoran yang menempel dan diukur tinggi
benda uji dengan ketelitian 0,1 mm dan ditimbang beratnya di udara.
9) Benda uji direndam dalam air selama 5 menit supaya jenuh.
10) Setelah jenuh benda uji ditimbang dalam air.
11) Benda uji dikeluarkan dari bak dan dikeringkan dengan kain pada
permukaan agar kondisi kering permukaan jenuh (saturated surface dry,
SSD) kemudian ditimbang.

Setelah itu diuji dengan alat marshall untuk didapatkan data empiris
(stabilitas, kelelehan, dan marshall quetion). Setelah didapatkan data hasil uji
marshall berupa stabilitas, kelelehan, VIM, VMA, dan marshall question seperti
terlihat pada Tabel 3.3. Kemudian dianalisis untuk mendapatkan komposisi
campuran aspal ideal yang akan digunakan sebagai benda uji untuk tahap
selanjutnya yaitu perendaman dalam air laut, air sungai, dan air sungai.
Tabel 3.3 Ketentuan sifat-sifat Campuran

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum 2007

54
3.5. Pembuatan Benda Uji Pada Kadar Aspal Optimum
Jumlah benda uji dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Jumlah Benda Uji pada Kadar Aspal Optimum


KADAR ASPAL OPTIMUM JUMLAH BENDA UJI
AIR LAUT AIR AIR
HUJAN SUNGAI
6 6 6

Setelah didapatkan kadar aspal optimum maka dilakukan pembuatan


benda uji campuran aspal. Untuk benda uji pada kadar aspal optimum di buat
sebanyak 18 buah benda uji. 9 buah benda uji untuk Pengujian Marshall
standart dan 9 buah benda uji dibagi untuk 3 jenis air, jadi masing – masing
jenis air terdapat 3 buah benda uji. Kemudian dilakukan pembuatan benda uji
dengan kadar aspal optimum seperti berikut:
1) Dilakukan penimbangan agregat sesuai dengan persentase pada target
gradasi yang diinginkan untuk masing-masing fraksi dengan berat
campuran kira-kira 1200 gram, kemudian dilakukan pengeringan
campuran agregat pada suhu (105±5)ºC sekurang – kurangnya 4 jam di
dalam oven.
2) Keluarkan agregat dari oven dan tunggu sampai beratnya tetap.
3) Pisah – pisahkan agregat ke dalam fraksi – fraksi sengan cara penyaringan
dan lakukan penimbangan. Untuk setiap benda uji diperlukan agregat
sebanyak ± 1200 gram.
4) Dilakukan pemanasan aspal untuk pencampuran pada viskositas kinematik
100 ± 10 centistokes. Agar temperatur campuran agregat dan aspal tetap
maka pencampuran dilakukan di atas pemanas dan diaduk hingga rata
5) Setelah temperatur pemadatan tercapai yaitu pada viskositas kinematik
100 ± 10 centistokes, maka campuran tersebut dimasukkan ke dalam
cetakan yang telah dipanasi pada temperatur 100 hingga 170º dan diolesi
vaselin terlebih dahulu, serta bagian bawah cetakan diberi sepotong kertas
filter atau kertas lilin (waxed paper) yang telah dipotong sesuai dengan

55
diameter cetakan sambil ditusuk-tusuk dengan spatula sebanyak 15 kali di
bagian tepi dan 10 kali di bagian tengah
6) Pemadatan standar dilakukan dengan pemadat manual dengan jumlah
tumbukan 75 kali di bagian sisi atas kemudian dibalik dan sisi bagian
bawah juga ditumbuk sebanyak 75 kali.
7) Setelah proses pemadatan selesai benda uji didiamkan agar suhunya turun,
setelah dingin benda uji dikeluarkan dengan extruder dan diberi kode.
8) Benda uji dibersihkan dari kotoran yang menempel dan diukur tinggi
benda uji dengan ketelitian 0,1 mm dan ditimbang beratnya di udara.
9) Benda uji direndam dalam air selama 5 menit supaya jenuh.
10) Setelah jenuh benda uji ditimbang dalam air.
11) Benda uji dikeluarkan dari bak dan dikeringkan dengan kain pada
permukaan agar kondisi kering permukaan jenuh (saturated surface dry,
SSD) kemudian ditimbang.

3.6. Pengujian Pengaruh Air Terhadap Kuat Tekan Campuran


Beraspal yang Dipadatkan (SNI 03-6753-2002)
Tahapan pengujian :
1) Bagi 6 benda uji tersebut menjadi 2 kelompok yang masing-masing
terdiri dari 3 benda uji.
2) Kelompok 1.
Letakkan benda uji pada suhu ruang (25 ± 1) ºC sekurang-
kurangnya 4 jam, keluarkan benda uji, kemudian lakukan uji kuat
tekan sesuai dengan AASTHO T 167.
3) Kelompok 2
Rendam benda uji kelompok 2 di dalam bak perendam yang berisi
air selama 24 jam pada suhu (60 ± 1) ºC. Setelah itu, pindahkan
benda uji ke dalam bak perendam ke dua dengan suhu (25 ± 1) ºC
selama 2 jam, lakukan uji kuat tekan sesuai dengan AASTHO T
167.

56
3.7. Perhitungan Indeks Kekuatan Sisa
Indeks Stabilitas Sisa (IKS) masing – masing benda uji yang di rendam
pada air yang berbeda dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

IKS = Indeks Kekuatan Sisa (%)

MSi = Kuat tekan dari benda uji tanpa perendaman (kelompok 1)

MSs = Kuat tekan dari benda uji dengan perendaman (kelompok 2)

3.8 Tahap Analisis dan Pembahasan


Setelah dilakukan serangkaian penelitian dan didapatkan data, maka
tahapan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Menganalisis hasil pemeriksaan material campuran aspal yaitu agregat
dan aspal, apakah sesuai dengan spesifikasi Departemen Pekerjaan
Umum 2010 Revisi 2.
b. Menganalisis pengaruh atau memplot data nilai stabilitas, kelelehan,
marshall quotient, void of mix (VIM), void in mineral aggregate
(VMA) terhadap lamanya waktu perendaman campuran dalam air laut,
air hujan, dan air sungai.
c. Membandingkan data hasil uji marshall untuk sampel yang telah
terendam oleh air laut, air hujan, air payau, air limbah pabrik dan air
sungai. Kemudian dianalisis hubungan antara jenis zat cair yang
berbeda tersebut dengan karakteristik campuran. Sehingga nantinya
akan diketahui bagaimana pengaruh jenis air yang berbeda pada
rendaman terhadap keawetan (durability) dari campuran aspal.
d. Membandingkan nilai stabilitas sisa pada masing – masing benda uji
yang telah direndam pada air laut, air hujan, dan air sungai.

57
BAB IV
ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penyajian Data


4.1.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Agregat
Bahan agregat yang digunakan pada penelitian ini, yang terdiri dari
agregat kasar dan halus yang berasal dari stock pile Laboratorium Teknik Sipil
Politeknik Negeri Medan yang diambil dari Quarry di Kota Binjai Sumatera
Utara. Hasil pemeriksaan karakteristik agregat sesuai dengan metode pengujian
yang dipakai dan spesifikasi yang disyaratkan. Hasil pemeriksaan disajikan dalam
Tabel 4.1 dan hasil pemeriksaan analisa saringan agregat kasar dan agregat halus
terdapat dalam Tabel 4.2.

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Bahan Agregat


Jenis Pengujian Metode Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi

1. Kasar / CA
Berat Jenis Curah SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.62 ≥ 2.5
(Bulk)
Berat Jenis SSD SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.65 ≥ 2.5
Berat Jenis Semu SNI 03-1969-1990 % 2.71 ≥ 2.5
Penyerapan Air SNI 03-1969-1990 % 1.325 ≤ 3.0
Analisa Saringan SNI 03-1968-1990 - Lihat Tabel 4.2
Keausan Agregat SNI 03-2417-1991 % 30.35 ≤ 40
Indeks Kepipihan SNI-M-25-1991-03 % 6.1676 ≤ 25
2. Sedang / MA
Berat Jenis Curah SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.65 ≥ 2.5
(Bulk)
Berat Jenis SSD SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.68 ≥ 2.5
Berat Jenis Semu SNI 03-1969-1990 % 2.74 ≥ 2.5
Penyerapan Air SNI 03-1969-1990 % 1.15 ≤ 3.0
Analisa Saringan SNI 03-1968-1990 - Lihat Tabel 4.2

3. Halus / FA
Berat Jenis Curah SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.5 ≥ 2.5
(Bulk)
Berat Jenis SSD SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.5 ≥ 2.5
Berat Jenis Semu SNI 03-1969-1990 % 2.62 ≥ 2.5
Penyerapan Air SNI 03-1969-1990 % 1.87 ≤ 3.0

58
Analisa Saringan SNI 03-1969-1990 - Lihat Tabel 4.2
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

Untuk hasil pemeriksaan Analisa Saringan Agregat Kasar, Sedang, dan Halus
dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Analisa Saringan Agregat


Ukuran Saringan % Lolos Agregat

Inchi mm Agregat Kasar / Agregat Sedang / Agregat Halus


CA MA / FA
¾” 19.5 100 100 100
½” 12.5 48.909 100 100
3/8 ” 9.5 22.977 94.236 100
4 4.75 13.766 29.822 100
8 2.36 7.325 8.666 50.976
16 1.18 5.245 5.393 21.779
30 0.6 3.99 4.166 12.148
50 0.3 2.533 3.939 7.741
100 0.15 1.478 2.484 5.144
200 0.075 0.128 1.581 2.436
PAN 0 0 0
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

4.1.2. Hasil Pemeriksaan Karakteristik Aspal


Jenis aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal minyak
penetrasi 60/70 yang diperoleh dari Laboratorium Teknik Sipil Polikteknik Negeri
Medan. Hasil pemeriksaan karateristik aspal disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Pemeriksaan Karakteristik Aspal Minyak Pen 60/70


Pemeriksaan Hasil Spesifikasi Satuan
Min Max
Pemeriksaan Penetrasi 65.8 60 79 0.1 mm
Pemeriksaan Kehilangan Berat 0.31 - 0.8 % berat semula
Pemeriksaan Berat Jenis 1.025 1.02 1.04 Gr/cc
Pemeriksaan Titik Leleh 48.5 48 58 ºC
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

59
4.2 Analisa Rancangan Campuran
4.2.1 Penentuan Proporsi Agregat
Dalam penentuan proporsi campuran agregat Laston AC-WC diperoleh
dengan menggunakan metode coba – coba (Trial and Error) dengan prosedur
kerjanya sebagai berikut :
a. Memahami batasan gradasi yang disyaratkan
b. Memasukkan data spesifikasi yang disyaratkan
Gradasi AC-WC yang digunakan adalah bergradasi halus, yang
spesifikasinya dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Spesifikasi AC-WC bergradasi halus.

Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Divisi 6 Tahun 2010,Revisi 2

Seperti pada Gambar 4.2 yang merupakan gambar kurva hasil analisa
saringan agregat dan batasan gradasi AC-WC Halus. (Lampiran B)

Gambar 4.2 Kurva gradasi hasil analisa saringan agregat

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

60
Setelah diperoleh komposisi campuran dengan menggunakan metode
coba-coba (Trial and Error), kemudian diperoleh proporsi campuran AC-WC dan
persentase agregat tertahan pada masing-masing saringan. Seperti terlihat pada
Tabel 4.3. (Lampiran B)

Tabel 4.4 Proporsi Campuran AC-WC

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

Seperti terlihat pada Tabel 4.3 bahwah Proporsi campuran AC-WC


bergradasi Halus adalah:
Agregat Kasar / CA : 12.9 %
Agregat Sedang / MA : 31%
Agregat Halus / FA : 39.3%
Filler : 16.8%
Sedangkan untuk kurva gradasi agregat gabungan untuk campuran AC-
WC bergradasi halus dapat dilihat pada Gambar 4.3. (Lampiran B).
Gambar 4.3 Kurva gradasi agregat gabungan campuran AC-WC bergradasi halus

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

61
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa gradasi gabungan agregat masuk
kedalam spesifikasi batas minimum dan maksimum campuran AC-WC bergradasi
halus. Maka langkah selanjutnya dapat dilakukan persiapan pembuatan benda uji
untuk mengetahui KAO (Kadar Aspal Optimum).

4.3 Pembuatan Benda Uji Pada Penentuan KAO


4.3.1 Perkiraan Kadar Aspal Optimum Rencana
Untuk memperoleh kadar aspal optimum (KAO) campuran lapis aspal
dalam penelitian ini digunakan kadar aspal dari 5% sampai 7% dengan tingkat
kenaikan kadar aspal 0.5%. Kadar aspal optimum (KAO) adalah kadar aspal yang
mengalami overlap dari selang yang memenuhi semua spesifikasi dari parameter-
parameter yang ditentukan dengan menggunakan standar Bina Marga, dimana ada
5 parameter yang harus dipenuhi, yaitu: Density, Stability, Kelelehan (Flow),
Rongga dalam campuran (VIM), dan Rongga terisi aspal (VFA).

4.3.2 Penentuan Berat Agregat dan Berat Aspal dalam Campuran


Setelah mendapatkan presentase masing-masing fraksi agregat dan aspal,
maka ditentukan berat material untuk rancangan campuran dengan kapasitas mold
yang ada.
Contoh untuk campuran AC-WC sebagai berikut:
 Kadar Aspal = 5%
 Kapasitas Mold = 1200 gr
 Berat Aspal = 5% * 1200 gr = 60 gr
 Berat Total Agregat = 1200 gr – ( 1200 gr * 5%) = 1140 gr

Hasil perhitungan dapat lebih jelas dilihat pada Lampiran 1. Selanjutnya


untuk berat aspal dan berat agregat pada masing-masing kadar aspal yang
digunakan dalm percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 4.5 ,

62
Tabel 4.5 Berat Aspal dan Agregat Pada Campuran AC-WC
Kadar Berat Agregat Agregat Agregat Filler Total Total Berat
Aspal Aspal Kasar / Sedang / Halus / Agregat Campuran
Terhadap CA MA FA Gabungan
Campuran (12.9%) (31%) (39.3%) (16.8%)
% (gr) (gr) (gr) (gr) (gr) (gr) (gr)
5 60 147.060 353.40 448.020 191.520 1140 1200
5.5 66 146.286 351.54 445.662 190.514 1134 1200
6 72 145.512 349.68 443.304 189.504 1128 1200
6.5 78 144.738 347.82 440.946 188.496 1122 1200
7 84 143.964 345.96 438.588 187.488 1116 1200
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

4.4 Data Uji Marshall Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO)


Untuk memperoleh kadar aspal optimum (KAO) campuran lapis aspal
dalam penelitian ini digunakan kadar aspal dari 5% sampai 7% dengan tingkat
kenaikan kadar aspal 0.5%. Kadar aspal optimum (KAO) adalah kadar aspal yang
mengalami overlap dari selang yang memenuhi semua spesifikasi dari parameter-
parameter yang ditentukan dengan menggunakan standar Bina Marga, dimana ada
5 parameter yang harus dipenuhi, yaitu: Density, Stability, Kelelehan (Flow),
Rongga dalam campuran (VIM), dan Rongga terisi aspal (VFA). Hasil pengujian
Marshal dapat dilihat pada Gambar 4.4. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada
Lampiran B
Gambar 4.4 Data hasil pengujian Marshall untuk penentuan kadar aspal
optimum

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

63
Dari nilai karakteristik campuran yang dihasilkan pada uji Marshall di
atas, maka dapat ditentukan kadar aspal optimum sebagai berikut pada Gambar
4.5.
Gambar 4.5 Penentuan kadar aspal optimum (KAO) AC-WC

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan


Berdasarkan hasil perhitungan pada Gambar 4.5 didapat kadar aspal optimum
sebesar 5.2%, maka langkah selanjutnya adalah pembuatan benda uji dengan
kadar aspal optimum 5.2% sebanyak 18 buah benda uji. Benda uji tersebut akan
direndam berdasarkan variasi jenis air yang telah ditentukan.

4.5 Analisis data pada penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO)


 Pengaruh kadar aspal terhadap Stabilitas campuran AC-WC

Gambar 4.6 Grafik hubungan kadar aspal dan stabilitas


4000,0
3800,0 3863,0
3600,0 3603,2
Stability (Kg)

3400,0
3200,0
3000,0
2800,0 2887,6
2600,0
2400,0
2495,7
2419,2
2200,0
2000,0
5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
Kadar Aspal (%)

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

64
Dari Gambar 4.6 diatas bahwa nilai stabilitas naik dari kadar aspal
5% sampai 5.5% kemudian stabilitas menurun dengan penambahan kadar
aspal mulai dari 6% sampai 7%. Stabilitas turun karena film aspal terlalu
tebal menyelimuti agregat. Nilai stabilitas di atas memenuhi spesifikasi
yang disyaratkan Bina Marga minimal 800 kg.

 Pengaruh kadar aspal terhadap Flow campuran AC-WC

Gambar 4.7 Grafik hubungan kadar aspal dan flow


6,000
5,500
5,340
5,000 5,050 4,990
Flow (mm)

4,500
4,000
4,165

3,500
3,000 3,150
5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
Kadar Aspal (%)
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

Dari Gambar 4.7 di atas dengan penambahan kadar aspal maka


nilai flow juga naik, hal ini disebabkan dengan bertambahnya kadar aspal,
campuran semakin plastis, sesuai sifat aspal sebagai bahan pengikat
semakin banyak aspal menyelimuti batuan semakin baik ikatan antara
agregat dengan aspal yang menyebabkan nilai flow semakin tinggi.Nilai
Flow memenuhi spesifikasi Bina Marga yaitu 3 mm.

65
 Pengaruh kadar aspal terhadap VIM campuran AC-WC

Gambar 4.8 Grafik hubungan kadar aspal dan VIM


4,300
4,100 4,153
3,900
VIM (%)

3,700
3,500
3,300 3,370 3,303
3,100
2,900 2,928
2,851
2,700
5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
Kadar Aspal (%)
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

Dari Gambar 4.8 di atas nilai VIM semakin kecil dengan


penambahan kadar aspal, dengan bertambahnya kadar aspal, maka jumlah
aspal yang mengisi rongga antar butiran agregat semakin bertambah,
semakin volume rongga dalam campuran menurun. VIM menyatakan
benyaknya persentase rongga udara dalam campuran aspal.

 Pengaruh kadar aspal terhadap VFA campuran AC-WC

Gambar 4.9 Grafik hubungan kadar aspal dan VFA


86,000
84,6483
84,000
83,3803
82,000

80,000 80,4630
VFA (%)

78,8312
78,000

76,000

74,000
73,297
72,000
5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
Kadar Aspal (%)
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

66
Dari Gambar 4.9 di atas nilai VFA menunjukkan persentase
besarnya rongga yang dapat terisi aspal. Dari tabel di atas nilai VFA
meningkat dengan penambahan kadar aspal. Semakin banyak kadar aspal
maka campuran semakin awet dan semakin sedikit kadar aspal maka
agregat yang terselimuti aspal semakin tipis yang menyebabkan
campuran tidak awet. Nilai VFA di atas memenuhi spesifikasi Bina
Marga minimal 70%.

4.6 Perendaman sampel dalam air laut dan pengujian Marshall


Untuk mengetahui pengaruh rendaman air laut terhadap karakteristik
campuran aspal, dilakukan pengujian marshall terhadap campuran aspal yang
telah direndam sesuai dengan SNI 03-6753-2002 tentang metode pengujian
pengaruh air terhadap kuat tekan campuran beraspal yang dipadatkan. Sebelum
sampel direndam dilakukan pengujian volumetric seperti sampel diukur
ketebalannya kemudia dirimbang dalam keadaan kering, kemudian di rendam dan
ditimbang dalam air , setelah itu di keringkan dan ditimbang dalam keadaan
kering permukaan (SSD).
4.6.1 Data uji volumetrik benda uji berkadar aspal optimum
Setelah didapat kadar aspal optimum melalui analisa pengujian Mashall
langkah selanjutnya adalah pembuatan benda uji dengan kadar aspal optimum
5.2% sebanyak 12 buah. Kemudian benda uji di periksa ketebalan dan beratnya.
Berikut data hasil pengujiannya pada Tabel 4.6

67
Tabel 4.6 Data hasil pengujian volumetric benda uji

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

Setelah pengujian volumetric kemudian sampel dibagi menjadi dua


kelompok. Kelompok pertama di rendam selama 4 jam pada suhu 25ºC
dan kelompok kedua di rendam selama 24 jam pada suhu 60ºC.
Pengaturan suhu selama perendaman dibantu oleh alat Thermostat.

4.6.2 Marshall Test


Setelah sampel direndam menurut panduan SNI 03-6753-2002 tentang
metode pengujian pengaruh air terhadap kuat tekan campuran beraspal yang
dipadatkan. Kemudian dilakukan pengujian terhadap sampel. Hasil dari pengujian
dapat dilihat pada Tabel 4.7.

68
Tabel 4.7 Nilai karakteristik Marshall immersion pada kadar aspal optimum

Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Sipil Politeknik Negeri Medan

4.6.2.1 Pengaruh Perendaman Air Laut Terhadap Nilai Indeks Kekuatan


Sisa
Dari tabel 4.7 di atas dapat kita ketahui nilai Indeks Kekuatan Sisa dari
sampel yang telah direndam air laut. Perhitungan nilai Indeks Kekuatan
Sisa sesuai dengan SNI 03-6753-2002 tentang metode pengujian pengaruh
air terhadap kuat tekan campuran beraspal yang dipadatkan yang tertera
pada rumus 2.14.
Indeks Kekuatan Sisa (%) = 100 %

S1 = Kuat tekan dari benda uji dengan perendaman 4 jam (kelompok 1)

S2 = Kuat tekan dari benda uji dengan perendaman 24 jam (kelompok 2)

IKS = 100%
.

= 66.557 % < 80 % (TIDAK MEMENUHI)

69
Nilai tersebut dibawah batas minimum 80%. Penurunan stabilitas atau
kegagalan suatu campuran dapat dikaitkan dengan hilangnya adhesi atau
stripping. Kebanyakan material agregat memiliki daya tarik menarik yang lebih
besar dengan air dari pada dengan aspal. Ketika campuran aspal direndam dalam
air laut air akan berusaha untuk mengisi rongga – rongga dalam campuran dan
berinteraksi dengan material penyusun yaitu agregat dan aspal. Air laut yang
berinteraksi dengan agregat akan terserap ke dalamnya dan menyelimuti
permukaan agregat pada bagian yang tidak terselimuti sempurna oleh aspal.
Akibatnya aspal akan mengalami kesulitan untuk menggantikan air yang telah
membentuk lapisan film di atas permukaan agregat dan juga mendesak aspal
akibat gaya tekan ke segala arah (water pressure), sehingga menyebabkan ikatan
adhesi atntara aspal dan agregat semakin berkurang. Berkurangnya adhesi atau
ikatan antara aspal dan agregat ini dibuktikan dengan nilai rongga campuran
(VIM) yang sebagian besar tidak memenuhi spesifikasi. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa semakin lama campuran tersebut terendam air laut,
maka adhesi campuran akan berkurang dan peluang terjadinya kehilangan
durabilitas atau keawetan campuran juga makin besar.

4.6.2.2 Pengaruh perendaman air laut terhadap kelelehan (Flow)


Seperti pada tabel 4.7 di atas nilai rata-rata flow pada benda uji 24 jam
sebesar 4.10 mm dan nilai rata-rata flow pada benda uji 4 jam sebesar 5.58 mm.
nilai rata-rata kedua kelompok tersebut tidak memenuhi batas spesifikasi 2.0 – 4.0
mm. Hal ini kemungkinan terjadi disebabkan kekurang akuratan dalam
pembacaan dial kelelehan (flow) karena begitu cepatnya putaran jarum pada saat
pengujian dengan alat Marshall. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan
semakin lama kedua campuran aspal tersebut terendam dalam air laut maka nilai
kelelehan cenderung meningkat walaupun peningkatannya tidak terlalu signifikan.
Peningkatan nilai kelelehan ini bukan berarti campuran aspal semakin
lentur dan fleksibel, melainkan terjadi penurunan kinerja campuran aspal tersebut
terhadap kemampuannya dalam menahan beban yang diberikan menurun. Hal ini
disebabkan karena kohesi atau gaya tarik menarik aspal telah menurun akibat
penuaan atau oksidasi yang terjadi ketika apal direndam dalam air laut, sehingga
selain mempengaruhi sifat dasar aspal itu sendiri, juga mempengaruhi

70
karakteristik campuran terutama kelelehan ini. Selain itu juga hal ini terkait
dengan peningkatan nilai VIM atau rongga dalam campuran, dimana rongga
tersebut telah terisi air laut yang dapat melemahkan ikatan antara aspal dan
agregat sehingga mengurangi kemampuan campuran aspal dan menahan beban
atau deformasi yang ditimbulkan ketika diberikan beban lebih besar.

4.6.2.3 Pengaruh Perendaman Air Hujan Terhadap Nilai Indeks Kekuatan


Sisa
Dari tabel 4.7 di atas dapat kita ketahui nilai Indeks Kekuatan Sisa dari
sampel yang telah direndam air hujan. Perhitungan nilai Indeks Kekuatan Sisa
sesuai dengan SNI 03-6753-2002 tentang metode pengujian pengaruh air terhadap
kuat tekan campuran beraspal yang dipadatkan yang tertera pada rumus 2.14.
Indeks Kekuatan Sisa (%) = 100 %

S1 = Kuat tekan dari benda uji dengan perendaman 4 jam (kelompok 1)

S2 = Kuat tekan dari benda uji dengan perendaman 24 jam (kelompok 2)

.
IKS = 100%
.

= 82.33 % > 80 % ( MEMENUHI)

Nilai tersebut memenuhi batas minimum 80% tetapi bukan nilai yang baik
untuk stabilitas sisa. Penurunan stabilitas atau kegagalan suatu campuran dapat
dikaitkan dengan hilangnya adhesi atau stripping. Kebanyakan material agregat
memiliki daya tarik menarik yang lebih besar dengan air dari pada dengan aspal.
Ketika campuran aspal direndam dalam air hujan air akan berusaha untuk mengisi
rongga – rongga dalam campuran dan berinteraksi dengan material penyusun
yaitu agregat dan aspal. Air hujan yang berinteraksi dengan agregat akan terserap
ke dalamnya dan menyelimuti permukaan agregat pada bagian yang tidak
terselimuti sempurna oleh aspal. Akibatnya aspal akan mengalami kesulitan untuk
menggantikan air yang telah membentuk lapisan film di atas permukaan agregat
dan juga mendesak aspal akibat gaya tekan ke segala arah (water pressure),
sehingga menyebabkan ikatan adhesi atntara aspal dan agregat semakin
berkurang. Berkurangnya adhesi atau ikatan antara aspal dan agregat ini

71
dibuktikan dengan nilai rongga campuran (VIM) yang sebagian besar tidak
memenuhi spesifikasi. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin
lama campuran tersebut terendam air hujan, maka adhesi campuran akan
berkurang dan peluang terjadinya kehilangan durabilitas atau keawetan campuran
juga makin besar. Nilai stabilitas sisa dari perendaman air hujan memang lebih
baik dibanding dengan nilai stabilitas sisa perendaman air laut yang dibawah batas
minimum 80 %, hal ini mungkin di akibatkan pengaruh dari kandungan air hujan
yang kadar asamnya tidak setinggi kadar asam air laut, sehingga sampel yang
direndam air hujan tidak terlalu berdampak buruk terhadap karakteristiknya.

4.6.2.4 Pengaruh Perendaman Air Hujan Terhadap Kelelehan (Flow)


Seperti pada tabel 4.7 di atas nilai rata-rata flow pada benda uji 24 jam
sebesar 6.05 mm dan nilai rata-rata flow pada benda uji 4 jam sebesar 5.23 mm.
nilai rata-rata kedua kelompok tersebut tidak memenuhi batas spesifikasi 2.0 – 4.0
mm. Hal ini kemungkinan terjadi disebabkan kekurang akuratan dalam
pembacaan dial kelelehan (flow) karena begitu cepatnya putaran jarum pada saat
pengujian dengan alat Marshall. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan
semakin lama kedua campuran aspal tersebut terendam dalam air hujan maka nilai
kelelehan cenderung meningkat walaupun peningkatannya tidak terlalu signifikan.
Peningkatan nilai kelelehan ini bukan berarti campuran aspal semakin
lentur dan fleksibel, melainkan terjadi penurunan kinerja campuran aspal tersebut
terhadap kemampuannya dalam menahan beban yang diberikan menurun. Hal ini
disebabkan karena kohesi atau gaya tarik menarik aspal telah menurun akibat
penuaan atau oksidasi yang terjadi ketika aspal direndam dalam air hujan,
sehingga selain mempengaruhi sifat dasar aspal itu sendiri, juga mempengaruhi
karakteristik campuran terutama kelelehan ini. Selain itu juga hal ini terkait
dengan peningkatan nilai VIM atau rongga dalam campuran, dimana rongga
tersebut telah terisi air hujan yang dapat melemahkan ikatan antara aspal dan
agregat sehingga mengurangi kemampuan campuran aspal dan menahan beban
atau deformasi yang ditimbulkan ketika diberikan beban lebih besar.

72
4.6.2.5 Pengaruh Perendaman Air Sungai Terhadap Nilai Indeks Kekuatan
Sisa
Dari tabel 4.7 di atas dapat kita ketahui nilai Indeks Kekuatan Sisa dari
sampel yang telah direndam air sungai. Perhitungan nilai Indeks Kekuatan Sisa
sesuai dengan SNI 03-6753-2002 tentang metode pengujian pengaruh air terhadap
kuat tekan campuran beraspal yang dipadatkan yang tertera pada rumus 2.14.

Indeks Kekuatan Sisa (%) = 100 %


S1 = Kuat tekan dari benda uji dengan perendaman 4 jam (kelompok 1)

S2 = Kuat tekan dari benda uji dengan perendaman 24 jam (kelompok 2)

.
IKS = 100%
.

= 78.52 % < 80 % ( TIDAK MEMENUHI)

Nilai tersebut di bawah batas minimum 80%. Penurunan stabilitas atau


kegagalan suatu campuran dapat dikaitkan dengan hilangnya adhesi atau
stripping. Kebanyakan material agregat memiliki daya tarik menarik yang lebih
besar dengan air dari pada dengan aspal. Ketika campuran aspal direndam dalam
air sungai air akan berusaha untuk mengisi rongga – rongga dalam campuran dan
berinteraksi dengan material penyusun yaitu agregat dan aspal. Air sungai yang
berinteraksi dengan agregat akan terserap ke dalamnya dan menyelimuti
permukaan agregat pada bagian yang tidak terselimuti sempurna oleh aspal.
Akibatnya aspal akan mengalami kesulitan untuk menggantikan air yang telah
membentuk lapisan film di atas permukaan agregat dan juga mendesak aspal
akibat gaya tekan ke segala arah (water pressure), sehingga menyebabkan ikatan
adhesi atntara aspal dan agregat semakin berkurang. Berkurangnya adhesi atau
ikatan antara aspal dan agregat ini dibuktikan dengan nilai rongga campuran
(VIM) yang sebagian besar tidak memenuhi spesifikasi. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa semakin lama campuran tersebut terendam air sungai,
maka adhesi campuran akan berkurang dan peluang terjadinya kehilangan
durabilitas atau keawetan campuran juga makin besar. Nilai stabilitas sisa dari

73
perendaman air sungai dibawah batas minimum 80 %, seperti yang kita ketahui
fungsi sungai telah berubah sekarang ini. Sungai dijadikan tempat pembungan
limbah, baik itu limbah rumah tangga maupun limbah pabrik, akibatnya air sungai
tercemar oleh zat-zat asing. Disaat sungai meluap dan menggenangi badan jalan
zat-zat asing tersebut dapat mempengaruhi sifat karakteristik aspal.

4.6.2.6 Pengaruh Perendaman Air Sungai Terhadap Kelelehan (Flow)


Seperti pada tabel 4.7 di atas nilai rata-rata flow pada benda uji 24 jam
sebesar 4.83 mm dan nilai rata-rata flow pada benda uji 4 jam sebesar 4.45 mm.
nilai rata-rata kedua kelompok tersebut tidak memenuhi batas spesifikasi 2.0 – 4.0
mm. Hal ini kemungkinan terjadi disebabkan kekurang akuratan dalam
pembacaan dial kelelehan (flow) karena begitu cepatnya putaran jarum pada saat
pengujian dengan alat Marshall. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan
semakin lama kedua campuran aspal tersebut terendam dalam air sungai maka
nilai kelelehan cenderung meningkat walaupun peningkatannya tidak terlalu
signifikan.
Peningkatan nilai kelelehan ini bukan berarti campuran aspal semakin
lentur dan fleksibel, melainkan terjadi penurunan kinerja campuran aspal tersebut
terhadap kemampuannya dalam menahan beban yang diberikan menurun. Hal ini
disebabkan karena kohesi atau gaya tarik menarik aspal telah menurun akibat
penuaan atau oksidasi yang terjadi ketika aspal direndam dalam air sungai,
sehingga selain mempengaruhi sifat dasar aspal itu sendiri, juga mempengaruhi
karakteristik campuran terutama kelelehan ini. Selain itu juga hal ini terkait
dengan peningkatan nilai VIM atau rongga dalam campuran, dimana rongga
tersebut telah terisi air hujan yang dapat melemahkan ikatan antara aspal dan
agregat sehingga mengurangi kemampuan campuran aspal dan menahan beban
atau deformasi yang ditimbulkan ketika diberikan beban lebih besar.

74
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Material Campuran Aspal
Jenis Pengujian Metode Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi

1. Kasar / CA
Berat Jenis Curah SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.62 ≥ 2.5
(Bulk)
Berat Jenis SSD SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.65 ≥ 2.5
Berat Jenis Semu SNI 03-1969-1990 % 2.71 ≥ 2.5
Penyerapan Air SNI 03-1969-1990 % 1.325 ≤ 3.0
Analisa Saringan SNI 03-1968-1990 - Lihat Tabel 4.2
Keausan Agregat SNI 03-2417-1991 % 30.35 ≤ 40
Indeks Kepipihan SNI-M-25-1991-03 % 6.1676 ≤ 25
2. Sedang / MA
Berat Jenis Curah SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.65 ≥ 2.5
(Bulk)
Berat Jenis SSD SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.68 ≥ 2.5
Berat Jenis Semu SNI 03-1969-1990 % 2.74 ≥ 2.5
Penyerapan Air SNI 03-1969-1990 % 1.15 ≤ 3.0
Analisa Saringan SNI 03-1968-1990 - Lihat Tabel 4.2

3. Halus / FA
Berat Jenis Curah SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.5 ≥ 2.5
(Bulk)
Berat Jenis SSD SNI 03-1969-1990 Gr/cc 2.5 ≥ 2.5
Berat Jenis Semu SNI 03-1969-1990 % 2.62 ≥ 2.5
Penyerapan Air SNI 03-1969-1990 % 1.87 ≤ 3.0
Analisa Saringan SNI 03-1969-1990 - Lihat Tabel 4.2

2. Pemeriksaan Karakteristik Aspal Minyak Pen 60/70


Pemeriksaan Hasil Spesifikasi Satuan
Min Max
Pemeriksaan Penetrasi 65.8 60 79 0.1 mm
Pemeriksaan Kehilangan Berat 0.31 - 0.8 % berat semula
Pemeriksaan Berat Jenis 1.025 1.02 1.04 Gr/cc
Pemeriksaan Titik Leleh 48.5 48 58 ºC

75
3. Penentuan Campuran Aspal Optimum
Kadar aspal optimum sebesar 5.2 %.

4. Perbandingan Indeks Kekuatan Sisa


No Jenis Kadar Nilai Spesifikasi Keterangan
Rendaman Aspal Indeks
Kekuatan
Sisa (IKS)
1 Air Laut Optimum 66.557 % Tidak Memenuhi
2 Air Hujan Optimum 82,33 % 80% Memenuhi
3 Air Sungai Optimum 78,52 % Tidak Memenuhi

Secara keseluruhan baik perendaman air laut , air hujan dan air sungai nilai
indeks stabilitas sisa peling kecil ditunjukkan pada perendaman laut. Hal
ini disebabkan kandungan garam dan asam pada air laut yang tinggi yang
menyebabkan kerusakan campuran aspal.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diusulkan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Durasi pengujian perendaman sebaiknya ditambah untuk melihat lebih
jauh apakah penurunan kekuatan pada siklus-siklus selanjutnya terus
turun atau bervariasi.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang campuran beraspal yang
dapat meminimalisasi penurunan stabilitas akibat rendaman air laut
dengan penambahan anti striffing pada campuran aspal.

76
DAFTAR PUSTAKA

Sukirman, Silvia. 1999. Perkerasan lentur jalan raya. Bandung. Nova

Departemen Pekerjaan Umum, Bina Marga, 2007, Divisi 6 . Perkerasan Beraspal

Departemen Pekerjaan Umum, Bina Marga, 2010, Revisi 2. Divisi 6. Perkerasan


Beraspal.

SNI 06-2441-1991.METODE PENGUJIAN BERAT JENIS ASPAL PADAT.

SNI 03-1969-1990. METODE PENGUJIAN BERAT JENIS DAN PENYERAPAN


AIR AGREGAT KASAR.

SNI 03-1970-1990. METODE PENGUJIAN BERAT JENIS DAN PENYERAPAN


AIR AGREGAT HALUS

SNI 03-6893-2002. METODE PENGUJIAN BERAT JENIS MAKSIMUM


CAMPURAN BERASPAL

SNI 06-2489-1991. SK SNI M-58-1990-03. METODE PENGUJIAN


CAMPURAN ASPAL DENGAN ALAT MARSHALL

SNI 03-6723-2002. SPESIFIKASI BAHAN PENGISI UNTUK CAMPURAN


BERASPAL

RSNI M-01-2003. Metode pengujian campuran beraspal panas dengan alat


marshall

Sultan, Muhammad. 2011. Studi Perbandingan Kekuatan Campuran Laston (AC-


WC) Akibat Rendaman Air Laut dan Air Tawar. Universitas
Hasanuddin.Makassar.
Pasereng, Ignatius. 2014. Studi Pengaruh Genangan Banjir Jalan Terhadap
Kinerja Campuran Perkerasan Beraspal di Kota Makassar. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Anda mungkin juga menyukai