Anda di halaman 1dari 2

Rezeki Titipan

14/September/2021

Pagi itu seperti biasa, tak ada yang istimewa. Masak, mencuci, berusaha join meeting zoom
yang terus gagak karena jaringan yang tidak selalu bertanda emergency. Seorang pelanggan
warung dating berbelanja.
“Sam, pesanan seperti biasa, ya. Terigu 3 kg, minyak goreng 3 kg, beserta teman-temannya,”
Ken mengambil pelastik berisikan soda kue dan berlalu.
“Siap, aman!”
Aku mengingat-ingat pesanananya, ternyata tepung di warung habis. Bagiku dia pelanggan
VVIP, harus menyediakan apapun itu. Jangan sampai pelanggan lari ke warung lain, fikirku.
Aku mondar-mandir mencari kunci motor, dapur-ruang tamu-kamar, tak kutemukan.
Ternyata memang kunci motor tidak ada. Kakak tertuaku, Aiya menitipkan motornya malam
itu di rumah temannya karena pulang kerja terlalu larut. Aiya pulang diantar mobil teman.
“Ngapain, lah, motor dititipkan segala. Aku mau belanja jadi gak bisa.” Ku rapikan dan ku
hitung uang di dompet.
“Mau naik becak, ongkosnya udah berapa. Belanjanya aja hanya tiga ratus ribu, untungnya
hanya tiga puluh ribu, ongkos sudah dua puluh ribu, ya capek aja dong, gak dapat untung!”
Aku terus mengomel sambal mencatat barang yang kurang di warung. Alasan Aiya tak dapat
ku terima.
Aku berusaha mencari motor pinjaman. Kalua minam motor, hanya isi bensin sepuluh ribu,
masih dapat margin itu, fikirku. Hitung-hitungan pedagang memang ngeri, gak mau rugi,
maunya untung besar. Ku usahakan mencari pinjaman ke saudara terdekat, nihil, kunci motor
tak jua ku genggam. Aku semakin kalang kabut, ku pandangi jam dinding sudah pukul 11.15
WIB.
“Aduh, bentar lagi, bibi Ken dating ini ngambil pesanan,” batinku.
“Yaudah naik becak aja. Mau gimana lagi.” Aku berbicara sendiri dan mengitung Kembali
uang belanjaan. Dengan uang belanja yang hanya tiga ratus ribu, itu akan sangat tidak efisien
jika naik becak. Ku tambahi uang belanja lima ratus ribu lagi-yang kuambil dari uang yang
dititipkan nenek padauk-sebagai tambahan uang belanja. Toh, nanti bisa diganti lagi, diambil
dari uang warung, fikirku.
“Pak, ke pasar, ya.” Aku menyibakkan rok sedikit dan langsung naik ke Becak yang berada
pada urutan paling depan. Becak itu dikemudikan oleh orang tua dengan kepala penuh uban.
Keriput di tangannya menandakan bahwa ia mungkin sudah berumur 60 tahun. Ku pandangi
becak dibelakangnya sebanyak 6 becak lagi, menunggu antrian.
“Mana motor yang biasa kamu pakai belanja?” Seorang Bapak paruh baya menatapku.
“Ah, ia nih, Pak. Di tinggal Kakak di kantor,”
“Oooh, berbagi, dong, ini kamu namanya. Gak apa-apa sesekali berbagi rezeki.” Ia
membetulkan topi di kepalanya, dan tersenyum pada kami.
Aku membalas senyumnya. Sepanjang jalan ku tafsrikan panjang lebar perkataanya. Memang
benar, kesulitan ku saat ini sebenarnya adalah rezeki untuk orang lain. Kesusahan yang
kuhadapi, ternyata jalan rezeki untuk orang lan. Pada untung yang kuperoleh berjualan,
ternyata sebagiannya adalah hak rezeki orang lain. Terkadang kita hanya memikirkan diri
sendiri. Hanya memikirkan kenikmatan kita sendiri. Terlalu pelit pada orang lain. Toh, dalam
rezeki kita, Allah menitipkan rezeki orang lain. Allah mendatangkan rezeki pada Pak tua
melalui kesulitan yang ku hadapi. Lantas, kita hanya mengkaji diri sendiri, mengugat
mengapa harus seribet itu. Ternyata ada makna dibalik itu.
Dibalik ketiadaan motor kita, ada tukang becak yang membawa uang untuk keluarganya.
Dibalik kempesnya ban motor atau sepeda, ada tempel ban yang peroleh uang.
Dibalik lelahnya kita berjalan dipanas terik, ada penjual es/jus yang bergembira.
Dibalik kaki yang keseleo dan tidak bisa berjalan, ada buruh cuci yang mendapat pekerjaan.
Dibalik sakit atau demamnya kita, ada tukang pijat, bidan, dan apotik yang dapat berkah.
Dibalik bersesak-sesaknya kita dalam angkot yang kepenuhan, ada supir yang membawa
pendapatan lebih untuk keluarga.
Dibalik seringnya revisi skripsi, karyawan di percetakan dapat makan dalam sehari.
Dibalik kuliah/sekolah daring, ada waktu lebih banyak dengan orang tua.

Anda mungkin juga menyukai