Anda di halaman 1dari 35

PENGALAMAN KOMUNIKASI PENGHUNI HUNTARA PETOBO

PASCA BENCANA DI TENGAH PANDEMI COVID-19

PROPOSAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh


Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada Jurusan Sosiologi
Program Studi Ilmu Komunikasi
Konsentrasi Public Relations

ADIL MUSLIM
B 501 17 055

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu musibah terbesar yang pernah terjadi di

kehidupan manusia. Virus dengan nama Corona Virus Desease atau yang sering disebut dengan

Covid-19 merupakan virus yang pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China, sejak Desember

2019. Hampir seluruh negara yang ada di dunia ini mengalami kesulitan dalam menghadapi Covid-

19. Karena penyebarannya yang begitu cepat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan

Virus Corona sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Beberapa informasi kesehatan telah

dilontarkan oleh WHO untuk kesehatan masyarakat dunia, dari mencuci tangah dengan sabun

sesering mungkin, memakai masker ketika beraktifitas d luar rumah, sampai untuk selalu menjaga

jarak.

Negara Indonesia tak luput dari paparan Covid-19 dan menjadi negara dengan akumulasi

paparan Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara, yaitu mencapai 113.134 sampai dengan bulan

Agustus 2020. Untuk menindak lanjuti arahan dari WHO, pada tanggal 31 Maret 2020, presiden

Jokowi mengadakan konferensi pers dengan tujuan mengumumkan kepada publik akan kebijakan

yang dipilihnya dan mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang

diberlakukan dibeberapa kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bali, dan Makassar.

Kebijakan tersebut tertuang dalam PP nomor 21 tahun 2020 yang di dalamnya berisi aturan-aturan

guna menekan penyebaran Covid-19.

Dalam konferensi pers tersebut, presiden Jokowi menegaskan kepada seluruh pemerintah

daerah agar tidak menerapkan kebijkan-kebijakan tersendiri di wilayahnya yang tidak sesuai

1
dengan protokol pemerintah pusat. Untuk kebijakan PSBB yang berlaku di wilayah-wilayah

tertentu, pemerintah daerah dan pihak swasta harus tunduk, apabila tidak mematuhi atau

menghalang-halangi penyelenggaraan PSBB maka akan dijerat dengan saanksi pidana. Kebijakan

PSBB dinilai lebih tepat dibandingkan harus melakukan lockdown seperti negara dengan angka

penyebaran dan terkonfirmasi Covid yang cukup tinggi, hal ini dinilai menurut presiden Jokowi

karena setiap negara memiliki kebijakan, karakter, dan kondisi yang berbeda.

Seperti kota Palu, Sulawesi Tengah, yang menjadi salah satu kota terbanyak yang

mengalami penambahan kasus Covid-19 di Indonesia pada Juni 2020. Sebanayak 20 orang

dinyatakan positif berasal dari kota Palu dan 4 lainnya berasal dari kabupaten di Sulawesi Tengah,

seperti 2 orang warga Morowali, 1 orang warga Parigi, dan 1 orang warga Donggala. Hal itu tidak

luput dari himbauan dan kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah kota Palu, dari pemberlakuan

social distancing, patroli masker, pemenuhan akan protokol kesehatan di tempat-tempat umum,

dan pemberlakuan jam malam untuk pembatasan keramaian.

Masih banyak kebijakan lain yang diberlakukan oleh pemerintah kota Palu guna menekan

angka penyebaran Covid-19. Kebijakan-kebijakan lainnya dilaksanakan secara ketat dan masif,

sehingga kota Palu tidak perlu memberlakukan PSBB. PSBB untuk kota Palu dinilai butuh banyak

persiapan dan berbagai kajian di lapangan. Bencana yang pernah terjadi di kota Palu pada tahun

2018 membuat faktor ekonomi yang menjadi fokus utama dalam persoalan ini. Perekonomian kota

Palu pasca bencana masih dalam proses pemulihan, pemberlakukan PSBB dalam kurung waktu

pemulihan perekonomian di kota Palu dapat memperburuk dan menyulitkan masyarakat.

Seperti yang dijelaskan oleh Abarquez dan Mushed (2004), Sholuf (2007), dimana bencana

disebutkan sebagai sebuah gangguan serius terhadap berfungsinya sebuah komunitas atau

2
masyarakat yang mengakibatkan kerugian dan dampak yang meluas terhadap manusia, materi,

ekonomi dan lingkungan, yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena

dampak tersebut untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri. Gempa

bumi, tsunami, dan likuifaksi tahun 2018 serta Covid-19 di awal tahun 2020 memberikan dampak

yang begitu besar baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.

Banyaknya penyintas bencana alam kota Palu yang tinggal di hunian sementara (huntara)

karena kehilangan tempat tinggal, menjadi fokus utama akan langkah-langkah pencegahan

penyebaran Covid-19 yang merupakan wilayah dengan risiko tinggi. Dalam konteks masyarakat

kota Palu, mereka yang tinggal di huntara bisa disebut sebagai trapped populations yang

merupakan kondisi kelompok masyarakat yang tidak bisa berpindah dikarenakan berbagai faktor

misalnya hambatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya (Black & Collyer, 2014; Humble, 2014;

Nawrotzki & DeWaard, 2017). Area huntara tersebut tersebar di beberapa kelurahan seperti

Tondo, Pantoloan, Duyu, Petobo, Pengawu, Balaroan, dan Tawaeli.

Hadirnya Covid-19 disituasi seperti ini semakin memperparah kerentanan masyarakat di

huntara, apalagi melihat fasilitas untuk menunjang protokol kesehatan yang belum terlengkapi dari

air bersih, sanitasi, dan kebersihan (WASH). Anjuran yang di keluarkan WHO menjadi tidak

relevan bagi penyintas bencana di kota Palu, yang mana kampanye akan #StayAtHome atau

#DiRumahAja menjadi tidak bisa diimplementasikan. Faktor utamanya adalah desakan ekonomi,

dimana masyarakat huntara yang banyak berkerja sebagai buruh kasar, dituntut untuk keluar

rumah. Ini menunjukan bahwa anjuran yang dicanangkan oleh WHO hanya bisa di

implementasikan oleh mereka yang memiliki privilese, bukan bagi mereka yang memiliki

kebutuhan khusus di kota Palu.

3
Permasalahan sanitasi dan kesehatan menjadi yang paling sering dijumpai pada huntara

kota Palu. Salah satu inisiatif masyarakat dalam penyediaan fasilitas kesehatan di wilayah huntara

misalnya yang dilakukan oleh mahasiswa dan mahasiswi Universitas Tadulako yang menjalani

kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang turut memberikan sumbangsi bagi masyarakat huntara,

seperti membagikan hand sanitizer, masker dan membuat tempat cuci tangan. Namun diluar dari

pemenuhan kebutuhan untuk menunjang kesehatan dan keselamatan masyarakat huntara, tekanan

secara psikologis pastinya menjadi masalah baru.

Sebuah survey menunjukan bahwa setelah terjadinya sebuah peristiwa bencana, sebagian

besar korbannya memiliki psikologis yang normal, akan tetapi 15-20% akan mengalami gangguan

mental ringan atau sedang yang merujuk pada kondisi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD),

sementara 3-4% akan mengalami gangguan berat seperti psikosis, depresi dan kecemasan yang

tinggi. Distress yang berkaitan dengan persitiwa bencana alam dan Covid-19 akan sanagat

mengganggu dan berlangsung lama setelah insiden. Kondisi tersebut akan semakin memburuk bila

tidak dideteksi sejak dini dan ditangai dengan baik, sehingga membutuhkan pelayanan kesehatan

mental (mental healing), baik untuk menanggulangi stres, cemas, dan depresi.

Mengkaji keberadaan ruang terhadapat interaksi yang terjadi, bisa dilihat dari keberadaan

ruang baru bagi masyarakat kelurahan Petobo akibat bencana alam yang mereka alami. Ruang

sebagai tempat tinggal mereka di huntara rata-rata berukuran 4x5 meter, dihuni 2 sampai 7 anggota

keluarga yang saling terhubung dan berdekatan. Kondisi huntara petobo yang saling terhubung,

keberadaan yang berdekatan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, serta jarak antara

keluarga inti dalam sebuah ruang yang tidak tercipta karena terbatasnya ruang, menyebabkan jarak

fisik antara anggota keluarga didalamnya sangat sempit, hanya terbatas pada jarak intim dan jarak

personal.

4
Keberadaan ruang dalam sebuah tempat tinggal mempunyai makna tersendiri bagi

penguninya. Ruang menjadi sebuah pesan nonverbal yang berkontribusi dalam proses interaksi

dan komunikasi yang tercipta di lingkungannya. Banyak atau tidaknya jumlah anggota keluarga

yang tinggal dalam sebuah rumah akan mempengaruhi pada jarak atau ruang yang terbentuk antara

anggota keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang tinggal bersama maka semakin terbatas

ruang antara para penghuninya. Sebaliknya jika semakin sedikit anggota keluarga yang tinggal

bersama maka ruang yang tersedia akan semakin luas.

Ruang yang terbentuk secara fisik disebut ruang fisik (Suptandar, 1999: 93). Ruang fisik

inilah yang menjadi jarak fisik ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Ruang fisik

berkontribusi dalam proses penyampaian pesan komunikasi. Selain jarak fisik, keberadaan ruang

dari sebuah objek serta rancangan interior berkontribusi secara tidak langsung dalam proses

komunikasi yang terjadi. Penggunaan jarak dalam penyampaian pesan disebut dengan istilah

proksemik (Rakhmat, 2003: 83). Proksemik membahas bagaimana ruang mempengaruhi

komunikasi dan presepsi seseorang, dimana ruang menjadi pesan nonverbal proksemik, yang

menjadi bentuk komunikasi lain di luar kata-kata verbal.

Keadaan huntara Petobo membuat zona-zona yang menjadi batasan dalam proksemik yang

terbagi dari jarak intim (0 - 46cm), jarak personal (46cm - 1,2m), jarak sosial (1,2 - 3,6m), jarak

public (3,7m atau lebih) menjadi terganggu. Zona-zona proksemik ini menjadi kerangka yang

penting dalam menginterpretasikan perilaku seseorang. Setiap zona tersebut mempenyai

kepentingannya masing-masing, pelanggaran terhadap zona tersebut dapat mengakibatkan

interpretasi negatif. Sangat penting untuk mengetahui dan menjaga batasan zona intim, personal,

sosial, dan publik, karena invansi terhadapat zona terutama intim dan personal bisa dianggap

sebagai pelecehan seksual, tanpa mengetahui tujuan sebenarnya.

5
Ketika zona proksemik dilanggar maka tidak lepas dengan pelanggaran harapan. Hal ini

akan menggambarkan bahwa seseorang memiliki harapan terhadap jarak perilaku orang lain yang

dapat memberikan respon positif atau negatif tergantung pada rasa suka atau harapan antara orang

yang berinteraksi. Pelanggaran harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan kepada

orang lain dan jenis perilaku yang ditampilkan oleh seseorang yang terlibat dalam sebuah

percakapan. Pelanggaran harapan bertolak pada keyakinan bahwa kita memiliki harapan-harapan

tertentu tentang bagaiman seharusnya orang lain berperilaku atau bertindak ketika berinteraksi.

Dalam konteks proksemik ada yang namanya konsep privasi. Konsep privasi menjadi salah

salah yang perlu diperhatikan dalam mengenal jarak dengan orang lain, hal ini dikarenakan setiap

individu punya ruangnya untuk sendiri yang menjadi keinginan dan kecenderungan dalam diri

seseorang untuk tidak diganggu. Privasi merupakan hal terpenting bagi manusia, namun untuk

mendapatkan atau menjaga privasi tersebut setiap individu perlu belajar akan mengatur

keseimbangan antra keinginanya dengan keinginan orang lain dan lingkungan fisik disekitarnya.

kontrol selektif menjadi pondasi utama bagi individu dalam mempertahankan hak privasi dan

ruang privasinya.

Jika dilihat dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wahyu Utamidewi, Deddy

Mulyana, dan Edwin Rizal dari sebuah jurnal Universitas Padjajaran tentang Pengalaman

Komunikasi Keluarga Pada mantan Buruh Migran Perempuan, dengan pendekatan yang dilakukan

oleh penelitian ini adalah kualitatif dengan studi fenomenologi. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengalaman komunikasi keluarga buruh migram perempuan dalam mengelola

komunikasi dalam rangka mempertahankan keutuhan rumah tangga, dengan menggunakan teori

interaksi simbolik untuk menganalisis bagaimana interaksi para mantan buruh migran perempuan

6
dalam pengalaman komunikasi keluarga yang berlangsung antara dirinya dengan suami dan anak

dalam rangka mempertahankan keharmonisan hidup berkeluarga.

Penelitian terdahulu berikutnya oleh Sarah Nurtyasrini dan Hanny Hafiar dari sebuah jurnal

Universitas Padjadjaran tentang Pengalam Komunikasi Pemulung Tentang Pemeliharaan

Kesehatan Diri dan Lingkungan di TPA BANTAR GEBANG. Memepunya metode yang sama

yaitu kualitatif dengan tradisi fenomenologi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui

pengalaman komunikasi pemulung dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan di TPA Bantar

Gebang, namun dalam penelitian ini tidak menggunakan teori sebagai salah satu landasan

penelitiannya. Penelitian ini megandalkan metode fenomenologi yang dikemukakan oleh Schutz

(Mulyana, 2006: 62) dimana tindakan manusi adalah bagian dari posisinya dalam masyarakat,

sehingga tindakan seseorang itu bisa jadi hanya merupakan kamuflase atau peniruan dari tindakan

orang lain yang ada disekelilingnya. Metode ini digunakan untuk mendekati dunia kognitif objek

penelitian.

Dari kedua penelitian diatas, penelitian oleh Wahyu Utamidewi, Deddy Mulyana, dan

Edwin Rizal berfokus pada bagaimana pengalaman kmunikasi yang terjalin didalam ruang lingkup

keluarga seorang mantan buruh migran perempuan dapat mempertahankan keharmonisan

keluarga, sedangkan penelitian Sarah Nurtyasrini dan Hanny Hafiar berfokus pada pengalaman

komunikasi pemulung untuk menjaga kesehatan diri dan lingkungannya. Walaupun kedua

penelitian diatas menggunakan metode dan tradisi yang sama, tetapi tidak menjadikan kedua

penelitian diatas sama. Dua contoh penelitian terdahulu yang peneliti tuliskan mempunyai

fokusnya sendiri untuk menemukan fakta dengan menggunakan metode ilmiah berdasarkan

aturan-aturan yang berlaku.

7
Dari uraian di atas yang menjelaskan perbandingan penelitian ini dengan penelitian

terdahulu dan bagaimana masyarakat kelurahan Petobo yang kini tinggal di huntara yang terdiri

dari 2.922 kepala keluarga (KK) dengan total 10.1167 jiwa (data 24/6/2019), setelah apa yang

mereka telah lewati dan hadapai saat ini membawakan mereka pada masalah yang lebih kompleks.

Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam bagaimana pengalaman komunikasi

terbentuk dilingkungan masyarakat huntara Petobo yang merupakan korban bencana alam berupa

likuifaksi dan sekarang dihadapkan dengan pandemi covid-19. Tentunya akan ada kebiasaan baru

yang tercipta, sehingga peneliti tertarik untuk mengangkat judul “Pengalaman Komunikasi

Penghuni Huntara Petobo Pasca Bencana di Tengah Pandemi Covid-19”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka, rumusan masalah pada penelitian ini yaitu

bagaimana pengalaman komunikasi penghuni huntara Petobo pasca bencana di tengah pandemi

Covid-19 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengalaman komunikasi huntara Petobo pasca

bencana di tengah pandemi Covid-19.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Aspek Akademis

Diharapkan dari hasil penelitian ini akan menjadi bahan informasi sekaligus referensi

yang pastinya bermanfaat bagi perkembangan ilmu komunikasi yang mencakup dalam

kajian ilmu komunikasi, khususnya pada pengalaman komunikasi yang termasuk dalam

komunikasi interpersonal, komunikasi keluarga, dan komunikasi proksemik.

8
b. Aspek Praktis

Diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi pemerintah kota Palu dalam

menyikapi kondisi dimana wabah Covid-19 ini masih menjadi ancaman bagi masyarakat

terutama mereka yang tinggal di huntara Petobo dan diharapkan juga bisa bermanfaat

sebagai referensi tambahan bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian pada kajian

yang sama.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi

2.1.1 Definisi Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata latin

communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya

adalah kesamaan makna. Ketika dua orang terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi akan

terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai suatu hal atau apa yang

dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang digunakan bukan berarti menimbulkan kesamaan makna.

Mengerti bahasa atau menggunakan bahasa yang sama belum tentu mengerti makna yang terdapat

didalam bahasa pada sebuah proses komunikasi. Jelas bahwa sebuah percakapan dikatakan

komunikatif apabila orang yang terlibat dalam komunikasi mengerti bahasa, juga makna dari

bahan percakapan (Effendy, 2009).

Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, pendidikan, politik, dan budaya sudah

disadari oleh para cendekiawan sejak Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebeleum Masehi. Studi

Aristoteles yang pada awalnya hanya berkisar pada retorika dalam lingkungan kecil kemudian

disadari oleh para cendekiawan lainnya setelah adanya revolusi industri dan revolusi teknologi,

seperti pesawat terbang, listrik, telepon, fil, radio, tv, dan sebagainya yang kemudian komunikasi

lebih ditingkatkan dari pengetahuan menjadi ilmu.

Diantara banyaknya para ahli dari berbagi bidang seperti sosiologi, politik, bahkan

psikologi, yang menaruh minat pada perkembangan komunikasi yaitu Carl I. Hovland.

Menurutnya komunika adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas

10
penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi ini menunjukan bahwa

yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga

pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dimana

dalam kehidupan memainkan peran yang sangat penting. Hovland juga mengatakan bahwa

komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify

the behavior of other individuals).

Untuk memahami mengenai apa itu komunikasi sehingga dapat dilakukan dengan efektif,

para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigm yang dikemukakan oleh Harold Lasswell

yang dalam karyanya The Structure and Function of Communication in Society. Laswell

mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah dapat menjawab

pertanyaan: Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect?. Paradigma ini

menunjukan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang

diajukan, yakni:

a) Komunikator (communicator, source, sender)

b) Pesan (message)

c) Media (Channel, media)

d) Efek (effect, impact, influence)

Berdasarkan paradigm Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan

oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Laswell

mengehndaki agar komunikasi dapat dijadikan sebuah objek studi ilmiah, bahkan setiap unsur

yang diteliti dilakukan secara khusus. Seperti keilmuan lainnya, ilmu komunikasi juga menyelidiki

gejala komunikasi. Tidak hanya dengan pendekatan secara ontologis (apa itu komunikasi), tetapi

11
juga secara aksiologis (bagaimana berlangsunya komunikasi yang efektif) dan secara

epistemologis (untuk apa komunikasi itu dilaksanakan).

2.1.2 Proses Komunikasi

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh

seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan

informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Proses komunikasi terbagi menjadi

dua, yaitu secara primer dan secara sekunder:

a) Proses komunikasi secara primer

Pada proses ini penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan

menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam

proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang

secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator ke

komunikan.

Bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi karena bahasalah yang

mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain dengan lebih tepat. Dengan

bahasa juga peristiwa-persitiwa yang pernah terjadi di masa sebelumnya bisa diketahui

hingga saat ini berkat kemampuan bahasa.

Kial (gesture) memang dapat menerjemahkan pikiran seseorang sehingga

terkespresikan secara fisik. Namun penggunakan kial sebagai lambang komunikasi juga

terbatas, penggunaan tangan, memainkan jari-jemari, mengedipkan mata, atau

menggerakan anggota tubuh lainnya hanya dapat mengkomunikasikan hal-hal teretntu saja.

Demikian juga isyarat yang menggunakan alat sebagi bentuk komunikasinya, berupa

tongtong, bedug, sirene, dan lain-lain serta warna yang mempunyai makna tertentu yang

12
biasanya digunakan untuk mengungkapkan ekspresi atau emosional. Kedua lambang

tersebut amat terbatas kemampuannya dalam mentramnsmisikan pikiran seseorang kepada

orang lain.

Gambar sebagai lambing yang banyak dipergunakan dalam komunikasi pada dasarnya

melebihi kial, isyarat, dan warna dalam kemampuan menerjemahkan pikiran seseorang.

Namun jika dibandingkan dengan bahasa belum melebihi bahasa yang kemampuannya

dapat menjelaskan perihal dari masa ke masa dan lebih diterima secara umum. Buku-buku

yang ditulis dengan bahasa sebagai lambing untuk menerjemahkan pemikiran tidak

mungkin diganti oleh gambar, apalagi oleh lambing-lambang lainnya.

Akan tetapi dalam menunjang efektifitas komunikasi lambang-lambang tersebut sering

dipadukan penggunaannya, karena tidak semua orang pandai mencari kata-kata yang tepat

untuk mencerminkan pikiran dan perasaanya, juga dengan perbaduan berbagai lambang

dapat menyampaikan pikiran dan perasaan dengan lebih jelas bahkan mendalam.

b) Proses komunikasi secara sekunder

Proses komunikasi yang satu ini dalam proses penyampaian pesan kepada seseorang

menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah menggunakan lambing sebagai

media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan

komunikasinya dikarenakan komunikan sasarannya berada di tempat yang relative jauh

atau jumlahnya banyak. Media kedua yang dimaksud seperti surat, telepon, surat kabar,

majalah, radio, televise, film, dan banayk lainnya.

Pada umumnya ketika kita berbicara di ruang lingkup masyarakat yang lebih luas, yang

dinamakan media komunikasi adalah media kedua sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Pada umumnya memang bahasa yang paling banyak digunakan dalam komunikasi karena

13
bahasa sebagai lambing yang mampu mentransmisikan pikiran, ide, pendapat, dan

sebagainya, baik mengenai hal yang abstrak maupun yang kongret, tidak hanya persitiwa

yang terjadi saat ini, tetapi juga pada masa mendatang.

Pada akhirnya sejalan dengan berkembangnya masyarakat beserta peradaban dan

kebudayaan, media komunikasi akan mengalami kemajuan seperti apa yang sedang kita

lihat dan gunakan saat ini. Pentingnya dilakukan terus menerus penelitian untuk kemajuan

media komunikasi juga untuk menunjang kemudahan dan efisiensi dalam mencapai

komunikan.

Para ahli komunikasi juga menyatakan bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi

bermedia hanya dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif. Menurut

mereka efektif dan efisien dalam menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap

muka karena kerangka acuan (frame of reference) komunikan dapat diketahui oleh

komunikator, sedangkan dalam proses komunikasinya umpan balik berlangsung seketika

dalam artian komunikator mengatahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu juga.

Umpan balik dalam komunikasi bermedia terutama media massa, biasanya dinamakan

umpan balik tertunda (delayed feedback), karena sampainya tanggapan atau reaksi kepada

komunikator memerlukan tenggang waktu. Bagaimanapun dalam proses komunikasi

bermedia misalnya surat, poster, spanduk, radio, televisi, atau film, umpan balik tentunya

akan terjadi, namun komunikator mengatahui tanggapan komunikan jika komunikasi

tersebut sudah tuntas. Lain halnya dengan bermedia telepon yang mana umpan balik dapat

berlangsung seketika, namun ekspresi wajah komunikan tidak terlihat ini membuat

komunikator tidak dapat memastikan dengan benar reaksi sebenrnya komunikan seperti

halnya berkomunikasi tatap muka.

14
Komunikasi sekunder menggunakan media surat, poster, atau papan pengumuman

akan berbeda komunikannya dengan surat kabar, radio, televisi, atau film. Setiap media

memiliki ciri atau sifat tertentu yang hanya efektif dan efesien untuk dipergunakan bagi

penyampaian suatu pesan tertentu. Dengan demikian, proses komunikasi secara sekunder

diklasifikasikan menjadi dua, yakni sebagai media massa (mass media) dan media nirmasa

atau media nonmassa (non-mass media). Seperti yang dijelaskan diatas misalnya surat

kabar, radio siaran, televisi, dan film yang diputar di gedung bioskop memiliki ciri tertentu,

yaitu massif (massive) atau massal (massaal), yang mana tertuju kepada sejumlah orang

yang relative amat banyak. Sedangkan media nirmassa atau media nonmassa, umpamanya

surat, telepon, telegram, poster, spanduk, papan pengumuman, buletin, folder, majalah

organisasi, film documenter, tertuju kepada suatu orang atau sejumlah orang yang relatif

sedikit.

2.2 Komunikasi Keluarga

Komunikasi keluarga memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi dan sekaligus

sangat kompleks (Ruben:2006). Keluarga termasuk dalam kelompok primer sehingga dalam

komunikasi kelompok menurut Charles Horton Cooley dan Rohim (2009) komunikasi pada

kelompok primer memiliki karakteristik sebagai berikut :

a) Kulaitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas, dimana dapat

menembus kepribadian kita yang paling dalam dan tersembunyi, menyingkap unsur-

unsur backstage. Pada kelompok primer kita mengungkapkan hal-hal yang bersifat

pribadi dengan menggunakan berbagai lambing verbal maupun nom-verbal.

b) Kelompok primer bersifat personal, dimana komunikasi ini sangat penting dalam

memandang dengan siapa kita berbicara. Dalam artian adalah siapa dia, bukan apakah

15
dia. Dalam kelompok ini punya keunikan dalam segi hubungannya dan tidak dapat

tergantikan, mislanya hubungan antara ibu dan anak.

c) Pada kelompok ini lebih menekankan pada aspek hubungan, dibandingkan aspek

isinya. Pemeliharan hubungan lebih penting dan diutamakan, berbeda dengan

kelompok sekunder yang lebih dipentingkan adalah aspek isinya bukan pada

hubungannya.

d) Pesan pada kelompok primer disampaikan cenderung lebih bersifat ekspresif, dan

berlangsung secara informal. Dalam penyampaian pesan pada kelompok primer banyak

menggunakan perasaan karena sadar memiliki hubungan atau kedekatan.

Galvin dan Brommel (1986) menggunakan kerangka berikut untuk membahas tentang

komunikasi keluarga: We view the family as a system in which communication regulates cohesion

and adaptability by a flow of message pattern through a defined network of evolving

interdependent relationships. Dari definisi tersebut menyimpulkan bahwa keluarga adalah sebuah

sistem yang didalamnya terdapat individu-individu yang saling berhubungan, mempengaruhi dan

dipengaruhi, serta membawa perubahan pada sistem keluarga itu sendiri. Komunikasi yang terjalin

didalamnya sebagai wadah untuk penyaluran emosi anggotanya. Karena pola interaksinya

dilakukan secara berulang-ulang, terakadang komunikasi yang dilakukan cenderung dapat

diprediksi satu sama lain, sehingga ini membuat komunikasi bisa terjalin tanpa banyak berbicara.

Adapun konsep lain yang dikemukakan oleh peneliti Olson, Sorenkle, dan Russel dalam

Galvin and Brommel (1986) yang memfokuskan pada penyatuan beberapa konsep yang berkaitan

dengan perkawinan dan interaksi dalam sistem keluarga. Kelompok peneliti tersebut

mengembangkan circumplex model dari perkawinan yang kemudian berkembang menjadi tiga

dimensi, yaitu:

16
a) Cohesion (penyatuan)

b) Adaptability (penyesuaian)

c) Communication (komunikasi)

Ketiga dimensi tersebut merupakan unsur yang menjadi syarat terwujudkan akan sebuah

penyatuan dan penyesuaian dalam sebuah keluarga.

Keberhasilan sebuah keluarga dalam penyesuaian diri dengan anggota lainnya sangat

bergantung pada bagaimana mereka saling berkomunikasi. Peran komunikasi dilingkungan

keluarga, agar satu sama lain dapat mengetahui juga mengukur seberapa jauh kemampuan untuk

saling berbagi pemahaman melalui pesan-pesan yang disampaikan. Olson dan lainnya juga

menguraikan dalam meciptakan hubungan dari gaya komunikasi yang cenderung bersifat

assertive, adanya negosiasi, saling berbagi peran, menjadikan adanya keterbukaan dalam membuat

aturan di lingkungan keluarga.

Anne Fitzpatrick yang merupakan ahli lainnya mengembangkan serangkaian riset dan teori

mengenai hubungan keluarga yang memberikan penjelasan tentang berbagai tipe keluarga serta

pengaruh tipe keluarga dalam cara mereka berkomunikasi, yaitu: (Morisan dan Wardhani: 2009)

a) Konsensual

Anggota keluarga sangat sering melakukan percakapan, namun juga memiliki

kepatuhan yang tinggi. Tipe ini adalah tipe keluarga yang sering melakukan komunikasi

atau lebih cenderung suka ngobrol bersama dan sangat menghargai komunikasi secara

terbuka. Otoritas tertinggi tetap dipegang oleh orang tua dan keputusan tidak selalu sejalan

dengan keinginan anak-anaknya, akan tetapi keluarga tipe ini selalu berupaya untuk bisa

mengkomunikasikan akan keputusan tersebut agar tidak adanya kesalahpahaman dan

mengerti akan alasan suatu keputusan.

17
b) Pluralistis

Keluarga yang ini juga sangta sering melakukan percakapan, namuan memiliki

kepatuhan yang rendah. Walaupun aktif dalam melakukan komunikasi secara terbuka satu

sama lain, namun seringkali juga individu dalam keluarga membuat keputusannya masing-

masing. Orang tua juga tidak merasa perlu mngontrol anak-anaknya karena setiap pendapat

dinilai berdasarkan pada nilai kebaikannya, dimana pendapat terbaik menjadi acuan.

c) Protektif

Tipe ini merupakan keluarga yang jarang melakukan percakapan namun memiliki

kepatuhan yang tinggi dan terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga. Orang tua

dikeluarga ini melihat alasan penting mengapa mereka harus berbicara atau ngobrol dan

tidak melihan alasan emngapa mereka harus menjelaskan akan keputusan yang mereka

buat. Alasan ini yang membuat orang tua atau suami istri di keluarga ini dikategorikan

sebagai terpisah (separate) dalam hal orientasi perkawinannya.

d) Laissez Faire

Dalam keluarga dengan tipe Lissez Faire percakapan dan kepatuhan dinilai sangat

rendah. Anggota keluarga pada tipe ini tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakan

anggota keluarga lainnya dan tentu saja mereka tidak ingin membuang waktu untuk hal

yang tidak sangatlah penting antar satau sama lainnya. Suami istri di tipe keluarga ini

cenderung memiliki orientasi perkawinan campuran (mixed), yang artinya memiliki skema

yang berbeda sehingga tidak ada dasar mereka untuk berinteraksi.

2.3 Pengalaman Komunikasi

Pengalaman dapat diartikan sebagai memori episodik, yaitu memori yang meneriman dan

menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang

18
berfungsi sebagai referensi otobiografi (Bapistaetal, dalam Saparwati, 2012). Pengalaman

merupakan suatu jalan yang pernah dilalui atau ditempuh yang menjadikan setiap individu

mendapatkan sebuah pengetahuan. Pengalaman di masa lalu dan di masa sekarang akan sangat

mempengaruhi pola pikir seseorang di masa yang akan datang. Pengalaman yang dialami oleh

seseorang mempunyai nilai atau maknanya sendiri, bahkan pengalaman yang sama belum tentu

mempunyai arti yang sama bagi orang yang mengalaminya.

Sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa all objects of knowledge must

conform to experience (Moustahas, 1994: 44). Dengan artian, pengetahuan akan melandasi

kesadaran yang kemudian membentuk pemaknaan. Kesadaran dan pemaknaan akan mendorong

individu untuk melakukan tindakan atau perilaku tertentu, dengan merujuk pada behavior is an

experience of consciousness that bestows meaning through spontaneous activity (Schutz, dalam

Wild, dkk., 1967: 56). Dengan demikian, dapat dikatakan pengalaman menjadi pondasi bagi

individu dalam melakukan suatu tindakan.

Setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda walaupun melihat obyek yang sama,

hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan dan pendidikan yang berbeda juga pelaku atau faktor pada

pihak mempunyai pengalamannya masing-masing, faktor obyek atau target yang dipresepsikan

dan faktor situasi dimana pengalaman itu dilakukan. Umur, tinglat pendidikan, latar belakang

sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian, dan pengalaman hidup setiap

individu juga ikut menentukan pengalaman. (Notoatmojo dalam Saparwati, 2012). Pengalaman

setiap orang terhadap suatu obyek dapat berbeda-beda karena pengalaman mempunyai sifat

subyektif, yang dipengaruhi oleh isi memorinya.

Pengalaman komunikasi merupakan sebuah proses yang kontinuitas dimana pengalaman

ini tidak hanya merupakan hasil dari belajar formal tetapi juga sebagai sebuah rangkaian persitiwa

19
komunikasi yang pernah dialami. Sehingga pengalaman komunikasi yang pernah terjalin diwaktu

sebelumnya akan mempengaruhi cara berkomunikasi di masa sekarag atau masa yang akan datang.

Itulah yang menyebabkan proses komunikasi selalu berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang-

orang yang berinteraksi (Turner, 2009: 7).

2.4 Kerangka Berpikir

Dengan kondisi ruang dan terbatasnya jarak masyarakat huntara pentobo tentunya

menimbulkan ketidaknyamanan dalam beraktivitas bagi setiap individu dilokasi huntara. Apalagi

saat ini dihadapi dengan pademi Covid-19 yang mengharuskan menjaga jarak antara satu sama

lain namun dengan kondisi yang tidak mendukung untuk menerapkan protokol tersebut sesuai

dengan anjuran pemerintah. Hal ini menunjang terjadinya sebuah pelanggaran harapan yang

diakibatkan setiap individu pastinya memerlukan ruang untuk memenuhi privasinya. Keinginan

akan privasi bukan semata karena ingin menyendiri untuk menjauhi lingkungan sosial ataupun

orang-orang terdekat., tetapi pada dasarnya setiap individu perlu ruang privasi untuk beristirahat

dan memikirkan atau mencari ide-ide.

Apalagi ditengah pandemi Covid-19 seperti yang terjadi saat ini, keinginan setiap individu

untuk terhindar dari paparan Covid-19 dengan cara menjaga jarak dengan individu lainnya menjadi

sulit akibat kondisi huntara Petobo yang saling terhubung dan berdekatan. Kondisi seperti ini

menyatakan selain jarak secara proksemik yang mengatur pola berkomunikasi dan kedekatan

dalam berkomunikasi, jarak megenai masalah kesehatan menjadi perhatian khusus bagi

masyarakat huntara Peotobo. Kehidupan pasca bencana dimana sikap saling berbaur dan berbagi

karena tinggal dalam lingkungan yang sama, menjadi berubah ketika dihadapkan dengan masalah

Covid-19. Ini mengakibatkan intensitas akan pelanggaran harapan menjadi lebih tinggi dan

20
pelanggarannyapun akan semakin sering terjadi, akibat tekanan yang dialami. Untuk memperjelas

konsep penelitian yang dimaksud, dapat dilihat pada kerangka berpikir berikut ini:

Pengalaman komunikasi

penghuni huntara Petobo

Teori Pelanggaran Harapan

Teori Proksemik

Kondisi pasca bencana dan

Pandemik Covid-19

Bagan kerangka pikir diatas merupakan gambaran mengenai alur penelitian yang akan

diterapkan dalam penelitian ini. Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa yang menjadi objek

penelitian adalah bagaimana pengalaman komunikasi penghuni huntara petobo setelah melewati

bencana alam dan harus tinggal disebuah huntara yang telah disediakan oleh pemerintah, lalu saat

ini dihadapi lagi pandemi Covid-19. Dalam penelitian ini teori proksemik dan teori pelanggaran

harapan menjadi landasan untuk memandang realitas obyek dilpanagan. Kedua teori ini digunakan

karena pada dasarnya teori Proksemik merupakan akar dari perumusan asumsi-asumsi dalam teori

21
pelanggaran harapan, dimana ketika bertolak dari konsep penggunaa ruang dan jarak menandakan

adanya pelanggaran harapan dibalik kasus tersebut.

22
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian dan Dasar Penelitian

3.1.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif, dimana dalam pendekatannya

menggunakan analisis data dan kesimpulan data sampai dengan penulisannya mempergunakan

aspek-aspek kecenderungan, non perhitungan numerik, serta interview yang mendalam. Penelitian

kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris, seperti studi kasus,

pengalaman pribadi, intropeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah,

interaksional, dan visual yang menggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya

dalam kehidupan individual dan kolektif (Denzin dan Lincoln, 1994: 2).

3.1.2 Dasar Penelitian

Dasar peneletian ini menggunakan tradisi fenomenologi yang berfokus pada pengalaman

hidup manusia. Penggunaan studi ini bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek

mengenai pengalaman beserta maknanya (Pujileksono, 2016). Dalam hal ini penulis ini

memberikan gambaran akan pengalaman komunikasi dalam bentuk uraian berdasarkan fenomena

yang terjadi di lingkungan masyarakat huntara Petobo di tengan pandemi Covid-19.

3.2 Definisi Operasional Konsep

Penggunaan definisi konsep penelitian menjadi sebuah acuan atau tolak ukur dalam

penelitian dilapangan disusun menyangkut konsepsi tahap-tahap penelitian secara teoritis guna

guna memudahkan penulis. Teori itu sendiri merupakan konseptualisasi atau penjelasan logis dan

empiris tentang suatu fenomena. Fenomena yang dimaksud yaitu peristiwa yang terjadi dalam

kehidupan manusia dan berhubungan dengan komunikasi sesuai dengan judul penelitian, dimana

23
mencakup produksi, proses, dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang yang terjadi

dalam kehidupan manusia. Penjelasan dalam teori tidak hanya menyangkut nama dan

pendefinisian variable-variabel, tetapi juga mengidentifikasikan keberaturan hubungan di antara

variable. Menurut Littlejohn (1987, 1989, 2002), penjelasan dalam teori berdasarkan pada prinsip

keperluan (the principle of necessity), yakni suatu penjelasan untuk menghasilkan sesuatu.

Contohnya seperti ketika untuk menghasilkan X, diperlukan adanya Ydan Z.

Sifat dan tujuan teori menurut Abraham Kaplan (1964), menjelaskan bahwa teori tidak

hanya untuk menemukan fakta semata, tetapi juga menjadi cara untuk melihat fakta,

mengorganisasikan, serta merepresentasikan fakta tersebut. sebuah teori harus sesuai dengan

realitas kehidupan, sesuai dengan dunia ciptaan tuhan. Dengan demikian teori yang baik adalah

teori yang konseptualisasi dalam kehidupan nyata. Apabila konsep dan penjelasan teori tidak

sesuai dengan realitas maka keberlakuannya diragukan dan teori demikian tergolong teori semu.

Adapun teori yang digunakan peneliti adalah teori Pelanggaran Harapan dan teori Proksemik.

3.2.1 Teori Proksemik

Seorang Antropolog Amerikan Edward T. Hall mendefinisikan proksemik yang

merupakan studi tentantang sistematika keterlibatan seseorang dalam strtuktur ruang, atau jarak

antara manusai dalam pergaulan sehari-hari (rakhmat, 2003: 291). Proksemik menjadi cara

bagaimana orang-orang yang terlibat dalam suatu tindakan komunikasi berusaha untuk merasakan

dan menggunakan ruang (space). Hall juga mendefinisikan empat jarak yang kita gunakan dalam

kehidupan sehari-hari, yang mana setiap kehadiran individu disuatu tempat dan bersama dengan

orang lain akan memilih satu jarak khusus bergantung pada suatu situasi teretntu, konteks

percakapan, dan tujuan-tujuan pribadi kita (Daryanto & Rahardjo, 2016).

24
a) Jarak Intim (Intimate Distance)

Pada penggunaan jarak ini antara 0 sampai 46 cm, biasanya berlangsung dengan bisikan

atau suara yang pelan. Perilaku dalam jarak ini juga bervariasi mulai dari bersentuhan

hingga mengamati bentuk wajah seseorang. Ketika seseorang berkomunikasi dengan jarak

ini, interaksi yang terjalin didalamnya terbilang akrab dan menandakan bahwa diantara

individu yang berinteraksi tumbuh rasa saling percaya.

b) Jarak Personal (Personal Distance)

Zona yang mencakup perilaku pada area ini berkisar antara 46 cm sampai 1,2 meter.

Perilaku dalam jarak personal termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan

sejauh panjang lengan. Kontak komunikasi yang berlangsung masih terbilang tertutup,

namun percakapan-percakapannya tidak lagi bersifat pribadi. Titik terdekatnya biasanya

digunakan untuk keluarga dan teman-teman dekat, sedangkan titik terjauh dari zona ini

biasanya digunakan seperti hubungan yang kurang personal, seperti karyawan penjualan.

c) Jarak Sosial (Sosial Distance)

Jarak sosial berkisar antara 1,2 meter sampai 3,6 meter. Dalam kategori ini, tekstur

rambut dan kulit pada fase dekat masih dapat terlihat jelas. Untuk fase yang jauh, biasanya

orang harus berbicara lebih keras. Pada fase jauh dapat dianggap sebagai sebagai fase yang

lebih formal dari fase dekat. Pada fase dekat contohnya seperti percakapan antara rekan

kerja dimana terdapat banyak percakapan didalamnya, sedangkan fase jauh sangat

mungkin untuk memerhatikan orang lain sembari menyelesaikan suatu pekerjaan. Contoh

lainnya adalah karyawan bank yang bekerja sebagai teller sambal menghitung uang yang

disetorkan nasabah, mereke masih bisa menjawab pertanyaan nasabah.

25
d) Jarak Publik

Jarak yang melampaui 3,7 meter dan selebihnya dianggap jarak publik. Titik terdekat

dari jarak public biasanya digunakan untuk diskusi formal, seperti diskusi di dalam kelas

antara guru dan murid. Figure public biasanya berada pada fase jauh sekitar 7,7 meter atau

lebih, dimana sangat sulit untuk membaca ekspresi wajah dalam jarak ini. Contohnya yang

biasa terjadi ketika dosen mengajar dalam ruangan berkapasitas besar atau auditorium.

Dalam jarak public ini, komunikasi yang bersifat dua arah (twoway traffic) sulit untuk

dilaksanakan, sebab ada jarak yang cukup jauh antara pembicara dengan para

pendengarnya.

3.2.2 Teori Pelanggaran Harapan

Judge Burgoon dan Steven Jones (Burgoon & Jones, 1976) pertamakali merancang teori

pelanggaran harapan untuk menjelaskan konsekuensi dari perubahan jarak dan ruang pribadi.

Teori ini menjadi salah satu teori pertama tentang komunikasi nonverbal yang dikembangkan oleh

sarjana komunikasi. Kemudian teori ini ditinjau embali terus-menerus dan diperluas, hingga

cakupan teori ini dihubungkan dengan perilaku komunikasi secara nonverbal. Richard West dan

Lynn H. Turner (2009: 153-164) juga menyatakan bahwa orang memiliki harapan mengenai

perilaku nonverbal orang lain. Burgoon beragumen bahwa perubahan tak terduga yang terjadi

dalam jarak perbincangan antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan tidak

nyaman atau bahkan rasa marah dan kadang ambigu.

Teori pelanggaran harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan pada orang

lain dan jenis-jenis perilaku yang dipilih orang lain dalam sebuah percakapan. Teori ini bertolak

dari keyakinan bahwa setiap individu memiliki harapan-harapan tertentu tentang bagaimana orang

lain sepatutnya berperilaku, bertindak ketika berinteraksi, mengenal jarak dalam berinteraksi, dan

26
mengenali peran diri sendiri dalam konteks lingkungan tertentu. Tolak ukur akan kepatuhan

tindakan, pada prinsipnya berdasarkan norma-norma sosial yang berlaku atau berdasarkan

kerangka pengalaman setiap individu sebelumnya. Terpenuhi atau tidaknya sebuah ekspektasi

akan mempengaruhi interaksi dan penilaian setiap individu, hingga pada tingkat kelanjutan

hubungan antar individu tersebut.

Burgoon menyatakan beberapa faktor saling berhubungan untuk mempengaruhi

bagaimana setiap individu bereaksi terhadap pelanggaran dan jenis perilaku nonverbal yang

sebenarnya diharapkan untuk menghadapi situasi tertentu. Ada tiga konstruk pokok dari teori ini,

yaitu :

a) Harapan (Expectancies)

Faktor yang pertama mengenai bagaimana cara kita untuk mempertimbangkan harapan

yang kita miliki. Melalui norma-norma sosial kita membentuk harapan tentang bagaimana

seharusnya orang lain bertindak ketika terjalinnya sebuah interaksi antar satu sama lain.

Harapan merujuk pada pola-pola komunikasi yang diantisipasi oleh individu-individu atau

pijakan kelompok. Jika perilaku orang lain telah menyimpang secara khas, maka sebuah

pelanggaran harapan telah terjadi. Apapun yang di luar kebiasaan dapat menyebabkan

seseorang untuk mengambil reaksi khusus menyangkut perilaku yang diterima.

Secara sederhana setiap individu memiliki harapan terhadap tingkah laku orang lain

yang pantas dilakukan kepada dirinya. Jika apa yang diharapkan sesuai dengan apa yang

terjadi ketika proses interaksi terjalin, maka perasaan nyaman baik secara fisik maupun

psikologis akan dirasakan yang membuat proses komunikasi dapat berjalan lancer dan

efektif. Akan tetpai tidak semua apa yang diharapkan akan menjadi sebuah realitas, ketika

hal yang tidak diinginkan terjadi atau pelanggaran harapan tersebut terjadi maka

27
gangguang psikologis maupun kognitif akan terjadi di dalam diri. Hal tersebut akan

berujung pada gangguan emosional (Infante, 2003: 177).

b) Valensi Pelanggaran (Violation Valence)

Ketika harapan nonverbal telah dilanggar oleh orang lain, maka kemudian penafsiran

sekaligus menilai apakah pelanggaran tersebut positif atau negatif. Penafsiran dan evaluasi

tentang perilaku pelanggaran harapan nonverbal biasa disebut violation valence atau

valensi planggaran. Teori ini diasumsikan sebagai pondasi tolak ukur akan perilaku

nonverbal yang penuh arti dan bagaimana individu memiliki sikap tentang perilaku

nonverbal yang diharapkan. Valensi merupakan istilah untuk menguraikan evaluasi tentang

perilaku, yang kemudian divalensi secara positif maupun divalensi secara positif.

Perilaku yang divalensi secara positif misalnya ketika seseorang sedang duduk sendiri

disebuah pusat perbelanjaan kemudian ada seseorang yang asing tersenyum sambil melihat

kearah orang duduk tersebut. karena baru saja berjumpa dengan orang itu, perilaku tersebut

mungkin bisa mengacaukan sikap atau membuatmu berpikir. Perilaku tersebut bisa berarti

keramahan atau undangan untuk menjadi teman. Kemudian perilaku yang divalensi negatif

seperti perilaku tidak sopan atau isyarat yang menghina, misalnya ketika ada seseorang

yang memelototkan mata kearah orang lain atau ketika dua orang berpapasan disebuah

jalan kemudian beberapa detik kemudian salah satu orang diantara keduanya tertawa. Hal

tersebut memiliki nilai abiguitas yang mana satu sikap memiliki banyak arti.

c) Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence)

Valensi ganjaran komunikator adalah unsur ketiga, yang mempengaruhi reaksi ketika

berinteraksi. Jika seseorang menyukai sumber pelanggaran harapan atau terpaksa

menyukai seperi misalnya orang yang melanggar mempunyai status yang lebih tinggi,

28
kresibilitas yang tinggi, atau secara fisik menarik, yang membuat orang memaklumi

perilaku nonverbal yang tidak menepati norma-norma sosial. Dengan kata lain jika

seseorang menyukai orang yang melanggar tersebut, orang itu tidak berfokus pada

pelanggaran yag dibuatnya.

Valensi ganjaran komunikator adalah keseluruhan sifat-sifat positif maupun negative

yang dimiliki oleh komunikator termasuk kemampuan komunikator dalam memberikan

keuntungan atau kerugian di masa yang akan datang. Stsatus soial, jabatan, keahlian

tertentu sampai penampilan fisik yang menarik dari komunkator merupakan sebuah

ganjaran yang potensial dengan istilah High-Rewrad Person. Semntara kebodohan atau

kejelekan rupa, dinilai sebagai sumber yang tidak potensial dalam memberikan ganjaran

berkomunikasi dengan istilah Low-Reward Person.

3.3 Lokasi Penelitian

Nasution (2003: 43) mengatakan bahwa lokasi penelitian menunjuk pada pengertian lokasi

sosial ayng dicirikan oleh adanya tiga unsur, yaitu pelaku, tempat, dan kegiatan yang diobservasi.

Lokasi penelitian menjadi tempat dimana peneliti memperoleh informasi mengenai hal yang

diperlukan. Dalam pemilihan lokasi penelitian, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

kemenarikan, keunikan, dan kesesuaian dengan topik yang telah ditentukan untuk diteliti. Adapun

lokasi penelitian ini adalah Huntara Banua Petobo, Jl. Kebun Sari, Kec. Palu Selatan, Kota Palu,

Provinsi Sulawesi Tengah.

3.4 Subjek dan Objek Penelitian

3.4.1 Subjek Penelitian

Adapun subjek penelitian ini adalah masyarakat huntara Petobo yang berlokasi di Subjek

penelitian ini dipilih secara purposive karena Huntara Banua Petobo menjadi salah satu huntara

29
yang sampai saat ini masih banyak duhuni oleh masyarakatnya dan sesuai judul yang diangkat

oleh peneliti karena melihat fenomena di lapangan. Pengumpulan data yang dilakukan seperti yang

telah dijelaskan di atas menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu observasi, wawancara mendalam

(indepth interview), dam studi pustaka.

3.4.2 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah konsep atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian

(Arikunto, 2010: 15). Objek yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengalaman

komunikasi penghuni huntara Petobo pasca bencana di tengah pandemic Covid-19.

3.5 Sumber Data dan Jenis Data

3.5.1 Sumber Data

Arikunto (2006: 224) menyatakan bahwa sumber data adalah subjek dari mana data dapat

diperoleh dan untuk memudahkan peneliti dalam mengidentifikasi sumber data, peneliti telah

menggunakan rumus 3P, yaitu:

a) Person (orang), merupakan tempat dimana peneliti bertanya mengenai objek yang akan

diteliti.

b) Paper (kertas), tempat peneliti membaca dan mempelajari segala sesuatu yang

berhubungan dengan peneliti, seperti arsip, angka, gambar, dokumen-dokumen,

simbol-simbol, dan lain sebagainya.

c) Place (tempat), berlangsungnya kegiatan yang berhubungan dengan penelitian.

Menurut Lofland dalam Moleong (2007: 165), sumber data utama dalam penelitian

kualitatif adalah kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara,

selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

30
3.5.2 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berasa dari dua sumber, yaitu:

a) Data primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan baik melalui

observasi maupun melalui wawancara dengan pihak informan. Metode pengambilan

data primer dilakukan dengan wawancara langsung terhadap masyarakat yang tinggal

di huntara Petobo.

b) Data sekunder, merupakan data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung

melalui media perantara atau dihasilkan pihak lain (Ruslan, 2003: 138), seperti

informasi teoritis melalui perpustakaan, dengan sumber-sumber dari buku, website, dan

juga bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena

tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Menurut Sugiyono (2016: 209) bila dilihat

dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan

dengan observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi. Namun dalam penelitian ini teknik

pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan melalui tiga metode, yaitu:

a) Observasi, bertujuan untuk mengamati subjek dan objek penelitian, sehingga peneliti

dapat memahami kondisi yang sebenarnya. Pengamatan bersifat nonpartisipatif, yaitu

peneliti berada diluar system yang diamati.

b) Wawancara, (esterberg dalam Sugiyono, 2016:211), mendefinisikan wawancara

sebagai pertemuan dua orang atau lebih untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tersebut. Dengan

wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang

31
informan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini

tidak bisa ditemukan melalui observasi. Dalam kegiatan wawancara, peneliti

menyiapkan instrument penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk

diajukan dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan, oleh karena itu jenis

wawancara yang digunakan oleh peneliti termasuk kedalam jenis wawancara

terstruktur.

c) Dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data primer, yang diperoleh dengan

cara pengumpulan data maupun dokumen mengenai pengalaman komunikasi penghuni

huntara Petobo pasca benca di tengah pandemic Covid-19.

3.7 Teknik Analisis Data

Berdasarkan judul yang diangkat oleh peneliti, teknis analisis data dalam penelitian ini

adalah analisi data kualitatif. Dalam penelitian komunikasi kualitatif, analisi data dapat dilakukan

saat pengumpulan data atau setelah proses pengumpulan data berakhir. Analisis data kualitatif

adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengprganisasikan data, memilah-

milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting dana pa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan

kepada orang lain (Bogdan dan Biklen, 1892 seperti yang dikutip Moleong, 2008: 248).

Analisis data model Miles dan Huberman dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

a) Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data berarti merangkum, memilah hal pokok, memfokuskan pada hal yang

penting, dicari pola dan temanya. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan

data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Tahapan-tahapan

32
reduksi data meliputi: (1) membuat ringkasan, (2) mengkode, (3) menelusur tema. (4)

membuat gugus-gugus. (5) membuat partisi, (6) menulis memo.

b) Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data berarti mendisplay atau menyajikan data dalam bentuk uraian singkat,

bagan, hubungan antar kategori, dan sebagainya. Penyajian data yang paling sering

digunakan dalam penelitian kualitatif adalah bersifat naratif. Ini dimaksudkan untuk

memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang

dipahami.

c) Penarikan Kesimpulan dan Verivikasi (Conclusing Drawing and Verivication)

Kesimpulan dalam penelitian mungkin dapat menjawab rumusan masalah, karena

rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan berkembang

setelah peneliti berada di lapangan. Kesimpulan penelitian kualitatif adalah merupakan

temuan baru yang disajikan berupa deskripsi atau gambaran yang awalnya belum jelas

menjadi jelas dan dapat berupa hubungan kausal atau interaktif dan hipotesis atau teori.

33
DAFTAR PUSTKA

A. BUKU TEKS

Daryanto & Rahardjo, M. (2016). TEORI KOMUNIKASI (Cetakan ke). Penerbit Gava

Media.

Effendy, O. U. (2009). Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. In Komunikasi dalam

sebuah organisasi.

B. BUKU TEKS METODOLOGI

Pujileksono, S. (2016). METODE PENELITIAN KOMUNIKASI KUALITATIF (Cetakan

ke). Kelompok Intrans Publishing.

C. SUMBER LAIN

34

Anda mungkin juga menyukai