Anda di halaman 1dari 11

HAK-HAK AHLI WARIS TERHADAP HARTA DAN HAK-

HAK ANAK YATIM DAN KERABAT NON AHLI WARIS:


Dalam Surat al-Nisa’ Ayat 7-9

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Tahlili II

Dosen Pengampu :

Fakih Abdul Azis Lc. MA

Oleh :

Ridlo ‘Ainurridlo NIM: 2019.01.01.1471

Akhmad Atho’illah Askandari NIM: 2019.01.01.1495

PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR SEKOLAH TINGGI

AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR

SARANG REMBANG

2020/2021
1. Ayat
‫ب ِّم َّما َت َر َك ال َْوالِ ٰد ِن َوااْل َق َْر ُب ْو َن ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ اَ ْو‬ ِ ِ ‫ص ْيب ِّم َّما َتر َك الْوالِ ٰد ِن وااْل َقْربو ۖنَ ولِلن‬
ِ ِ ‫لرج‬ ِ
ٌ ‫ِّساۤء نَص ْي‬
َ َ ُْ َ َ َ َ ٌ َ‫ال ن‬ َ ِّ ‫ل‬

٧ - ‫ضا‬ ِ َ‫َك ُثر ۗ ن‬


ً ‫ص ْيبًا َّم ْف ُر ْو‬ َ

٨ - ‫ض َر ال ِْق ْس َمةَ اُولُوا الْ ُق ْربٰى َوالْيَت ٰٰمى َوال َْم ٰس ِك ْي ُن فَ ْار ُز ُق ْو ُه ْم ِّم ْنهُ َو ُق ْول ُْوا ل َُه ْم َق ْواًل َّم ْع ُر ْوفًا‬ ِ
َ ‫َوا َذا َح‬

1
٩ - ‫ض ٰع ًفا َخا ُف ْوا َعلَْي ِه ْمۖ َفلْيََّت ُقوا ال ٰلّهَ َولَْي ُق ْول ُْوا َق ْواًل َس ِديْ ًدا‬
ِ ً‫ولْي ْخش الَّ ِذيْن لَو َتر ُكوا ِمن َخل ِْف ِهم ذُ ِّريَّة‬
ْ ْ ْ َ ْ َ َ ََ

2. Sharh Mufradat

ِّ ِ‫ )ل‬bagi para anak dan kerabat laki-laki,( ‫ب‬


ِ ‫لر َج‬
(‫ال‬ ِ
ٌ ‫ )نَص ْي‬bagian,(‫ِّم َّما َت َر َك‬
‫ )ال َْوالِ ٰد ِن َوااْل َق َْر ُب ْو َن‬dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat yang meninggal

dunia,(ُ‫ل ِم ْن ه‬
َّ َ‫ )ِم َّما ق‬baik yang sedikit maupun banyak dari harta,( ‫ض ا‬ ِ َ‫)ن‬
ً ‫ص ْيبًا َّم ْف ُر ْو‬
maksudnya, Allah SWT menjadikannya sebagai bagian yang telah ditetapkan
dan harus diserahkan kepada mereka.
(َ‫س َمة‬ ِ َ ‫ )واِذَا ح‬dan jika hadir pda waktu pembagian harta,( ‫)اُولُوا الْ ُقربٰى‬
ْ ‫ض َر الْق‬ َ َ ْ
para kerabat yang memiliki hak warisan,( ُ‫ار ُز ُق ْو ُه ْم ِّم ْن ه‬
ْ َ‫ )ف‬maka berilah mereka

sesuatu dari harta tersebut sebelum dilakukan pembagian,( ‫َه ْم‬


ُ ‫ ) َو ُق ْولُ ْوا ل‬dan

katakanlah wahai para wali ahli waris yang masih kecil kepada mereka,( ‫َق ْواًل‬

‫ ) َّم ْع ُر ْوفًا‬perkataan yang baik.

(‫ش‬
َ ‫ ) َولْيَ ْخ‬dan hendaklah khawatir terhadap anak-anak yatim, al-Hasyah
adalah peraaan takut yang disertai dengan perasaan seolah-olah sesuatu yang

ditakuti tersebut adalah sesuatu yang besar,(‫ )لَ ْو َت َر ُك ْوا‬seandainya mereka

meninggalkan,( ‫ )ِم ْن َخل ِْف ِه ْم‬dibelakang mereka setelah mereka meninggal dunia,

1
Al-Qur’an, al-Nisa’ [4]: 7-9.

1
ِ ً‫ )ذُ ِّريَّة‬ank-anak yang masih kecil,(‫ ) َخ ا ُفوا َعلَْي ِهم‬yang mereka khawatir
(‫ض ٰع ًفا‬ ْ ْ

anak-anak yang masih kecil tersebut terlantar,( َ‫ ) َفلْيََّت ُق وا ال ٰلّ ه‬maka hendaklah

mereka bertakwa dan takut kepada Allah SWT di dalam perkara anak-anak
yatim yang mereka asuh dan rawat, dan hendaklah mereka bersikap kepada
anak-anak yatim dan memperlakukan mereka seperti halnya mereka ingin
nantinya anak-anak mereka ketika ditinggalkan juga diperlakukan seperti itu,(

‫ُوا‬
ْ ‫ ) َولَْي ُق ْول‬dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar kepada

orang yang meninggal dunia,(‫ ) َق ْواًل َس ِديْ ًدا‬perkataan yang benar, maksudnya

adalah perkataan yang sesuai dengan tuntunan agama.2


3. Al-Tarakib al-Nahwiyyah yang Berpengaruh Terhadap Makna
a. I’rab
(‫ض ا‬ ِ َ‫ )ن‬kedua kata ini dinashabkan oleh fi’il yang dikira-
ً ‫ص ْيبًا َّم ْف ُر ْو‬

kirakan keberadaannya oleh perkataan yang ada, karena ayat ( ‫ب‬ ِ ِ ‫لرج‬ ِ
ٌ ‫ال نَص ْي‬ َ ِّ ‫)ل‬

dan (‫ب‬ ِ ِ ‫ )ولِلن‬maksudnya adalah (‫ )جعل هّللا لهم نصيبا مفروضا‬Allah SWT
ٌ ‫ِّساۤء نَص ْي‬
َ َ
memberi mereka bagian yang telah ditetapkan. Namun juga bisa kedua
kata ini dibaca nashab sebagai haal, dan ini lebih baik dari pada harus
mentaqdirkan fi’il.
(ُ‫ار ُز ُق ْو ُه ْم ِّم ْن ه‬
ْ َ‫ )ف‬dhamir ha pada kata (ُ‫ ) ِّم ْن ه‬kembali kepada kata (

َ‫)ال ِْق ْس َمة‬, meskipun kata al-Qismah adalah bentuk kata muannats. Namun
mengandung arti (‫ )المقسوم‬yang berarti yang dibagi. Oleh karena itu dhamir
yang digunakan adalah dhamir untuk kata mudzakar. Bentuk susunan
seperti ini adalah sesuatu yang lumrah di dalam perkataan orang Arab.3
(‫ش‬
َ ‫ ) َولْيَ ْخ‬kalimat ini huruf alifnya tidak disebutkan untuk (jazmul
amri) menegaskan sebuah perintah, namun sibawaih melarang membuang
huruf lamul amri sebab dianalogikan dengan huruf al jar kecuali dalam
2
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Jakarta : Gema Insani, 2013) II, 600.
3
Ibid., 599.

2
kebutuhan sya’ir.4
b. Balaaghah
1) Terdapat al-Tibaaq antara (‫ل‬
َّ َ‫ )ق‬dengan (‫) َك ُث َر‬.

2) Terdapat al-Itnab di dalam ayat (َ‫ْر ُب ْو ۖن‬ ِ ِ ِ ِ ‫لرج‬ ِ


َ ‫ب ِّم َّما َت َر َك ال َْوال ٰدن َوااْل َق‬
ٌ ‫ال نَص ْي‬ َ ِّ ‫ل‬

‫ب ِّم َّما َت َر َك ال َْوالِ ٰد ِن َوااْل َق َْر ُب ْو َن‬ ِ ِ ‫)ولِلن‬.5


ٌ ‫ِّساۤء نَص ْي‬
َ َ
4. Macam Qira’at
(‫ ِم ْن َخل ِْف ِه ْم‬dan ‫ض ٰع ًفا‬
ِ ) Imam Abu Ja’far membaca ikhfa’ (samar) pada

nun sukun dan tanwin ketika bertemu dengan kha’. Sedangkan imam-imam
yang lainnya membaca idzhar pada nun sukun dan tanwin ketika bertemu
dengan kha’.
(‫ ) َخا ُف ْوا‬Imam Hamzah membacanya dengan imalah. Sedangkan, Imam

yang lain tetap membaca dengan hamzah.


( ‫ضا‬ ِ
ً ‫ض َر – َّم ْف ُر ْو‬
َ ‫ ) َواذَا َح‬Imam Khalaf dari Imam Hamzah membacanya
dengan tanpa mendengung ketika ada nun dan tanwin yang bertemu dengan
wawu atau ya’. Sedangkan Imam yang lain membacanya dengan
mendengung.
(‫ ) َعلَْي ِه ْم‬Imam Hamzah membacanya dengan mengkasrah huruf ha’.

Sedangkan Imam Ya’kub membacanya dengan mendhamah huruf ha’.6


5. Makna Ijmali
Setelah menetapkan hak-hak khusus bagi orang-orang lemah, yakni
anak yatim dan maskawin wanita. Kini ayat ini menjelaskan hak lain yang
harus ditunaikan dan yang dalam kenyataan di masyarakat sering diabaikan,
yaitu hak-hak waris. Dapat juga dikatakan bahwa setelah ayat yang lalu
memerintahkan untuk menyerahkan harta kepada anak-anak yatim, wanita
dan kaum lemah. Maka seakan-akan ada yang bertanya: “Dari manakah

4
Abdullah Muhammad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (Pustaka Azam) II, 127.
5
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Jakarta : Gema Insani, 2013) II, 600.
6
Ahmad Isa al-Ma’sharawi, al-Syamil fi Qira’atin al-Aimmati al-‘Asri al-Kawamili Min Thariqay
al-Syathibiyyah wa al-Durrah (Kairo: Dar al-imam al-Syatibi, 2013), 110.

3
wanita dan anak-anak itu memperoleh harta?” Maka diinformasikan dan
ditekankan disini bahwa bagi laki-laki dewasa atau anak-anak yang ditinggal
mati orang tua dan kerabat, ada hak berupa bagian tertentu yang diatur Allah
setelah turunnya ketentuan umum ini dari harta peninggalan ibu bapak dan
para kerabat. Karena ketika itu mereka tidak member harta peninggalan
kepada wanita dengan alasan mereka tidak ikut berperang, maka secara
khusus dan mandiri ayat ini menekankan bahwa dan bagi wanita,baik dewasa
maupun anak-anak ada juga hak berupa bagian tertentu. Supaya tidak ada
kerancuan menyangkut sumber hak mereka itu, ditekankan bahwa hak itu
sama sumbernya dari perolehan laki-laki, yakni dari harta peninggalan ibu
bapak dan para kerabat, dan agar lebih jelas lagi persamaan hak itu
ditekankan sekali lagi bahwa, baik harta peninggalan itu sedikit atau banyak,
yakni hak itu adalah menurut bagian yang ditetapkan oleh Yang Maha
Agung, Allah SWT.7
6. Sebab turunnya ayat
Diriwayatkan oleh Abu Syaikh dan Ibnu Hibban dalam kitab Al-
faraidh dari jalur Al-kalbi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas berkata,”Bahwa
dahulu orang-orang jahiliyah enggan untuk memberikan anak-anak
perempuan dan juga anak laki-laki mereka yang masih kecil harta warisan
hingga mereka tumbuh besar, maka salah seorang dari kaum anshar
meninggal yaitu Aus bin Tsabit dan ia meninggalkan dua anak wanita dan
satu anak laki-laki yang masih kecil, maka datanglah dua anak pamannya
yaitu Khalid dan Urfahdan mereka berdua adalah keluargannya, dan mereka
berdua mengambil semua peninggalannya. Maka datanglah istrinnya Aus
kepada Rasulullah untuk mengadukan hal tersebut, maka rasulullah
bersabda,”Aku tidak tahu harus berkata apa”, maka turunlah firman
Allah,”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabat-kerabatnnya, dan bagi wanita ada hak bagian.”8
Diriwayat lain di sebutkan bahwa, ayat ini turun berkenaan dengan

7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2005) II, 353.
8
Imam al-Suyuthi, Asbab al-Nuzul (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2015) 128.

4
Aus bin Tsabit Al-anshari tatkala ia wafat dan meninggalkan seorang istri
bernama ummu khujjah yang memiliki tiga orang anak perempuan, kemudian
datanglah kedua ponakannya lalu ia mewasiatkan hartannya kepada mereka
berdua, yaitu suwaid dan afrajah, setelah itu keduannya mengambil seluruh
hartannya dan tidak meninggalkan sedikitpun kepada istri Aus bin Tsabit dan
anak-anaknya, sebab dahulu pada masa jahiliyah wanita dan anak-anak kecil
tidak mendapatkan waris walaupun ia anak laki-laki. Orang-orang jahiliyah
berkata,”Warisan itu tidak di berikan kecuali kepada orang yang bisa
berperang dengan kuda, membawa tombak, membawa pedang, dan yang
memperoleh harta rampasan perang.
Kemudian Ummu Khujjah menceritakan kejadian itu kepada
Rasulullah SAW, lalu beliau memanggil mereka berdua, selanjutnya ia
berkata,”Wahai Rasululah, anak ini tidak dapat menunggang kuda, tidak
membawa senjata ataupun melukai musuh?”, mendengar hal itu beliau
bersabda,”pulanglah sampai aku mendapatkan keputusan allah tentang
masalah mereka”.
Kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai bantahan terhadap
mereka, bahwa perkataan dan cara mereka mengambil harta tersebut didasari
dengan kebodohan, karena anak-anak kecil lebih berhak mendapatkan
warisan dari pada orang-orang dewasa, dan juga karena juga mereka tidak
dapat mencari nafkah dan untuk kemaslahatan masa depan mereka, oleh
karena itu apa yang mereka lakukan bertentangan dengan hokum, menyalahi
hati nurani dan hanya memperturut ambisi nafsu, sehingga mereka keliru
dalam mengambil keputusan dan memperlakukan harta warisan tersebut.9
7. Munasabah ayat
Ayat ini mengandung arti perintah kepada ahli waris, maksudnya,
berikanlah kepada mereka hak mereka, hendaklah para wali dan pengasuh
ahli waris yang masih kecil (anak yatim) mejaga harta anak yatim tersebut
dan hendaklah mereka khawatir terhdap keadaan anak yang mereka asuh
tersebut seperti mereka khawatir terhadap keadan anak-anak mereka sendiri.

9
Abdullah Muhammad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (Pustaka Azam) II, 114-115.

5
Kemudian Allah, menguatkan dan menegaskan kembali bentuk-
bentuk perintah dan larangan di atas serta mengingatkan kepada adzab yang
pedih bagi siapa saja yang memakan harta anak yatim secara dzalim tanpa
hak, yaitu masuk kedalam neraka yang apinya menyala-nyala lagi sangat
panas, bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Semoga Allah melindungi
dan menyelamatkan kita dari adzab tersebut.10
8. Nasikh Mansukh
Ayat ini adalah muhakamah. Ibnu Abbas berkata, "Beberapa ulama
dari kalangan tabi'in berpendapat sama tentang hal ini diantaranya Urwah bin
Az-Zubair, dan lain-lain, dan hal ini juga diperintatrkan oleh Abu Musa al-
Asy'ari, dalam riwayat Ibnu Abbas yang lain disebutkan bahwa dari ayat ini

ْٓ ِ‫ص ْي ُك ُم ال ٰلّ هُ ف‬
mansukh (terhapus) dengan firman Allah SWT, ( ‫ي اَ ْواَل ِد ُك ْم لِل َّذ َك ِر‬ ِ ‫يو‬
ُْ
ِّ ‫“ )ِمثْ ل َح‬Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
‫ظ ااْل ُْن َثَي ْي ِن‬ ُ
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-
laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (Qs.Al-Nisaa' [4]: ll).
Sa'id bin Musayyab berkata "Ayat ini terhapus dengan ayat warisan dan
wasiat." Adapun ulama-ulama yang mengatakan ia telah terhapus hukumnya
adalah Abu Malik, Ikrimah, dan al-Dhahak, namun pendapat pertama yang
paling benar, dimana ayat tersebut menyebutkan hak waris dan bagian-
bagiannya. Juga disunahkan disaat pembagian itu dihadiri oleh orang lain
yang tidak ada hubungan dengan pembagian tersebut.

Dalam riwayat lain ia berkata, "Kebanyakan orang menganggap ayat


ini mansukh, demi Allah ayat ini tidak terhapus hukumnya! akan tetapi
kebanyakan para wali yatim menganggap remeh masalah ini, dan mereka
berdua khususnya adalah wali yang mendapat bagian ala kadarnya karena ia
yang mencari rizki untuk menafkahinya dan yang kedua, wali yang tidak
mendapatkan bagian ala kadarnya dan berkata, "Aku tidak memiliki apa-apa
untuk diberikan kepadamu."

10
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Jakarta : Gema Insani, 2013) II, 607.

6
9. Penafsiran
Anak-anak yatim memiliki hak sama untuk mendapatkan bagian
warisan dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat, tidak ada
perbedaan antara anak yatim laki-laki dan anak yatim perempuan dan tidak
ada perbedaan antara harta yang jumlahnya banyak atau sedikit. Semuanya
sama menurut hokum Allah, meski berapa pun harta yang ada, mereka semua
sama-sama memiliki hak untuk mendapatkannya, meskipun jumlah bagian
yang didapatkan berbeda-beda antara ahli waris satu dengan yang lainnya
sesuai dengan bagian yang telah ditetapkan oleh Allah untuk masing-masing
dari ahli waris sesuai dengan orang yang meninggal dunia. Kemudian Allah

menguatkan hak mereka dengan ayat ( ‫ض ا‬ ِ َ‫ )ن‬yang menjelaskan bahwa


ً ‫ص ْيبًا َّم ْف ُر ْو‬
hak mendapatkan bagian warisan merupakan hak yang pasti dan telah
ditentukan, tidak ada seorang pun yang boleh menguranginya.
Kemudian al-Qur’an menyinggung tentang sebuah kondisi kejiwaan
yang mungkin muncul, yaitu perasaan tidak suka ketika ada kerabat lainnya
yang tidak berhak mendapatkan bagian warisan ikut hadir dimajlis pembagian
harta. Dalam masalah ini al-Qur’an menegaskan bahwa jika ada kerabat para
ahli waris datang atau anak-anak yatim dan orang-orang miskin datang ke
majlis pembagian harta, maka hendaklah mereka diberi sesuatu meskipun
sedikit dari yang ada. Dan hendaknya dikatakan kepada mereka dengan
perkataan yang baik dan permintaan maaf yang halus dan sopan yang bisa
menentramkan hati, tidak menimbulkan perasaan benci, kecewa dan iri.
Yang dimaksud al-Qismah di sini adalah pembagian harta di antara
ahli waris. Sedangkan yang di maksud ulul qurba para kerabat yang tidak
mendapatkan hak bagian warisan dari harta dikarenakan mereka adalah
mahjub (terhalang mendapatkan bagian dari harta dikarenakan adanya ahli
waris yang lebih dekat) atau dikarenakan mereka termasuk dzawi al-arham.
Sedangkan yang diperintahkan di sini adalah wali atau anak yatim ketika
telah baligh dan telah menerima hartanya.11

11
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Jakarta : Gema Insani, 2013) II, 603.

7
10. Fiqh al-Qur’an
a. Ayat 7:
Penetapan hak bagian waris bagi laki-laki dan perempuan, untuk
menghapus dan membatalkan kebiasaan kaum jahiliah yang hanya memberi
hak waris kepada laki-laki dewasa saja, adapun perempuan dan anak-anak,
maka mereka sama sekali tidak diberi hak mendapatkan bagian warisan.
Jadi, yang dimaksud al-Rijaal di dalam ayat ini adalah para laki-laki
yang sudah baligh, sedangkan yang dimaksud al-Waalidaani adalah ibu dan
bapak tanpa penyambung. Adapun yang dimaksud al-Nisaa' adalah para
wanita yang sudah baligh. Berdasarkan hal ini, maka maksud ayat ini adalah,
bagi para laki-laki yang sudah baligh ada hak mendapatkan bagian dari harta
peninggalan ayah, ibu dan para kerabat mereka seperti para saudara laki-laki,
para saudara perempuan, para paman dan bibi dari jalur ayah. Begitu juga
halnya para wanita, mereka juga memiliki hak mendapatkan bagian dari harta
pusaka tersebut. Jadi, hak waris bersifat umum untuk laki-laki dan
perempuan. Pendapat ini berarti memahami ayat apa adanya sesuai zhahirnya
dan maksud ayat ini adalah menghapuskan tradisi jahiliah yang hanya
memberikan hak waris kepada laki-laki dewasa saja, tidak kepada para
perempuan dan anak-anak.
Sebagian ulama yang memiliki pandangan bahwa yang dimaksud al-
Rijaal dan al-Nisaa' adalah umum, tidak hanya terbatas pada laki-laki dan
perempuan dewasa saja. Jadi, berdasarkan pendapat ini, maka maksud al-
Rijaal di dalam ayat ini adalah laki-laki secara mutlah baik laki-laki dewasa
maupun laki-laki yang masih anak-anak, sedangkan yang dimaksud al-Nisaa'
adalah perempuan secara umum, baik perempuan dewasa maupun perempuan
yang masih kecil. maksud ayat ini adalah penyamaan antara laki-laki dan
perempuan, baik anak-anak maupun dewasa bahwa mereka semua sama-sama
memiliki hak mendapatkan bagian warisan dari harta pusaka peninggalan
kedua orang tua dan kerabat.
b. Ayat 8:

8
Jika ahli waris masih kecil, maka ia tidak boleh memegang dan
mempergunakan hartanya. Selanjutnya, sebagian ulama berpendapat bahwa si
wali ahli waris yang masih kecil (anak yatim) memberi orang yang hadir di
majlis pembagian harta dari bagian harta si anak yatim dengan kadar yang
sesuai menurut pandangannya. Namun ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa si wali tidak boleh memberinya dari harta bagian si anak yatim. Akan
tetapi ia berkata kepada orang yang hadir di majlis pembagian tersebut, "Saya
tidak memiliki hak apa pun dari harta ini, karena semua harta ini tidak lain
adalah milik si anak yatim itu. Nanti setelah ia baligh, maka saya akan
memberitahukan kepadanya tentang hak kalian." Inilah bentuk al-Qaulu al-
ma'ruf (perkataan yang baik). Hal ini apabila orang yang meninggal dunia
tidak meninggalkan wasiat untuk memberi orang yang hadir di majlis
pembagian dari harta peninggalannya. Namun apabila ia berwasiat, maka
orang yang hadir tersebut diberi sesuai dengan wasiat tersebut.
c. Ayat 9:
Ayat ini mengandung pengingat bagi para wali dan pengasuh anak-
anak yatim untuk bersikap dan memperlakukan mereka dengan bentuk
perlakuan yang para wali tersebut sangat ingin anak-anak mereka nantinya
ketika mereka ditinggal mati juga diperlakukan seperti itu. Hal ini seperti
yang dikatakan oleh lbnu Abbas r.a., bahwa ayat ini merupakan nasihat bagi
para wali dan pengasuh anak-anak yatim. Maksud ayat ini adalah, berlakulah
dan bersikaplah kalian kepada anak-anak yatim dengan bentuk perlakuan dan
sikap yang kalian sangat ingin anak-anak kalian nantinya ketika kalian
ditinggal mati juga diperlakukan seperti itu.12

12
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Jakarta : Gema Insani, 2013) II, 607-610.

9
DAFTAR PUSTAKA

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Jakarta : Gema Insani, 2013) II.


Imam al-Suyuthi, Asbab al-Nuzul (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2015).
Abdullah Muhammad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (Pustaka Azam) II.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2005) II.
Ahmad Isa al-Ma’sharawi, al-Syamil fi Qira’atin al-Aimmati al-‘Asri al-Kawamili
Min Thariqay al-Syathibiyyah wa al-Durrah (Kairo: Dar al-imam al-
Syatibi, 2013).

10

Anda mungkin juga menyukai