Anda di halaman 1dari 11

3

BAB II
DASAR TEORI

Untuk mendukung perhitungan perencanaan kuda-kuda rangka kayu ini,


digunakan referensi yang telah diakui dan terbukti keabsahannya. Sebelum
memasuki tahap perhitungan, terlebih dahulu harus diperhatikan/ditentukan
besarnya beban yang bekerja pada konstruksi kuda-kuda tersebut, perhitungan
berdasarkan pada besarnya beban yang bekerja pada konstruksi kuda-kuda
tersebut, sehingga konstruksi dapat mendukung beban yang aman.

2.1 Pembebanan
Menurut Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPIUG) 1983,
struktur suatu bangunan harus direncanakan menurut kekuatannya terhadap
pembebanan-pembebanan oleh beban mati, beban hidup dan beban angin. Untuk
konstruksi kuda-kuda tidak dipengaruhi oleh beban gempa.
Kombinasi pembebanan yang harus ditinjau dalam perencanaan kuda-kuda
adalah beban tetap dan beban sementara. Adapun yang dimaksud dengan
pembebanan tetap adalah beban mati di tambah dengan beban hidup, sedangkan
pembebanan sementara adalah penjumlahan beban mati ditambah dengan beban
hidup ditambah pula dengan beban angin. Dalam perencanaan diambil beban yang
paling maksimum.

2.1.1 Beban mati


Beban mati adalah beban yang berasal dari beban sendiri pembentuk
konstruksi dan bagian bagian lain yang menyatu dengan pembentuk konstruksi
tersebut. Menurut PPIUG 1983 bab I, pasal 1.0, ayat I, yang dimaksud dengan
beban mati adalah berat semua bagian dari suatu gedung yang bersifat tetap
termasuk semua unsur ditambah penyelesaian-penyelesaian, mesin-mesin serta
peralatan tetap yang merupakan bagian-bagian yang tak terpisahkan dari bagian
gedung tersebut.
4

2.1.2 Beban hidup


Menurut PPIUG bab I, pasal 1.0, ayat 2, yang dimaksud dengan beban
hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu
gedung dan didalamnya termasuk beban-beban pada lantai yang berasal dari
barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin serta peralatan yang tidak
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung dan dapat diganti selama
masa pakai dari gedung tersebut, sehingga mengakibatkan perubahan pembebanan
pada lantai tersebut, pada bagian atap, beban hidup dapat merupakan beban yang
berasal dari air hujan baik dari genangan maupun dari akibat tumpukan jatuhnya
air hujan. Beratnya air hujan ditentukan dengan rumus :
P = (40-0,85α) (kg/m2) ………….…………………..……………...…(2.1)

2.1.3 Beban angin


Menurut PPIUG 1983 bab I, pasal 1.0, ayat 3, yang dimaksud dengan beban
angin adalah semua beban yang bekerja pada gedung yang disebabkan oleh
selisihnya tekanan udara. Beban angin yang bekerja pada atap baik berupa angin
tekan (positif) dalam perencanaan dianggap tegak lurus terhadap bidang
kelandaian atap dan beban angin hisap yang bekerja menarik bidang yaitu tegak
lurus terhadap kemiringan atap, beban angin hisap biasanya dianggap beban
negatif.
Besarnya beban angin tekan maupun beban angin hisap dihitung
berdasarkan hasil perkalian antara tekanan angin tiup dengan koefisien angin yang
telah ditentukan. Tekanan angin minimum yang disyaratkan dalam PPIUG 1983
adalah 25 kg/m2, kecuali daerah yang jauhnya 5 km dari pantai harus diambil 40
kg/m2. Tekanan angin tiup harus dihitung dengan menggunakan rumus :

2
V
P = ( kg/m2 )…………………………………………………….(2.2)
16

Dimana :
V = Kecepatan angin ( m/det2 )
P = Beban Angin ( kg/m2 )
5

Koefisien angin untuk bangunan tertutup atap segitiga dengan sudut


kemiringan α adalah :
1. Untuk bidang-bidang atap dipihak angin :
α < 65° Koefisien..................................................( + 0,02 α - 0,40 )
65° < α < 90° Koefisien.........................................................( + 0,9 )
2. Untuk semua bidang dibelakang angin, kecuali yang vertikal
menghadap angin :
α Koefisien............................................................................( - 0,4 )
3. Untuk semua bidang atap vertikal dibelakang angin yang manghadap
angin:
α Koefisien.......................................................................... ( + 0,4 )

2.2 Kombisasi Momen


Munurut PPIUG 1983, ketentuan pembebanan adalah :
a. Beban mati dinyatakan dengan huruf M (DL)
b. Beban hidup dinyatakan dengan huruf H (LL)
c. Beban angin dinyatakan dengan huruf WL (WL)
d. Beban hidup (Earthquake) dinyatakan dengan huruf H
e. Beban khusus dinyatakan dengan huruf K
1. Pembebanan Tetap
P = M + H…………….......................................…………....... ……...(2.3)
2. Pembebanan Sementara
P = M + H + A……............………...........................………………...(2.4)

P = M + H + G……............………...........................………………...(2.5)

3. Pembebanan Khusus
P = M + H + G……………...................................…………………...(2.6)

P = M + H +A + K ……………...................................….…………...(2.7)

P = M + H +G + K……………...................................……….......…..(2.8)
6

2.3 Tegangan dan Lendutan Yang Diizinkan


Tegangan yang diizinkan untuk semua kelas kayu diperlihatkan pada
lampiran 1. Tegangan yang terlampir pada tabel tersebut hanya untuk mutu kayu
A dan untuk kayu B harga tegangan dapat dikalikan 0,75.

3.3.1 Pengaruh keadaan konstruksi dan sifat muatan tegangan


Tegangan-tegangan yang diperkenankan harus digandakan dengan faktor
berikut :
1. Faktor 2/3
a. Untuk konstruksi yang selalu terendam air.
b. Untuk konstruksi yang tidak terlindung, dan kemungkinan besar kadar
lengas tinggi.
2. Faktor 5/6
a. Untuk konstruksi yang tidak terlindung, tetapi kayu dapat mengering
dengan cepat.
3. Faktor 5/4
a. Untuk bagian konstruksi yang tegangannya diakibatkan oleh muatan
tetap dan muatan angin
b. Untuk bagian konstruksi yang tegangannya diakibatkan oleh muatan
tetap dan muatan tidak tetap.

3.3.2 Lendutan yang diizinkan


Lendutan yang diizinkan pada gording adalah sebagai berikut :
ƒ = 1/200 x L………………………………………….……………….(2.9)
Dimana:
ƒ = Lendutan yang diizinkan (cm)
L = Panjang gording (cm)
7

Sedangkan lendutan yang timbul pada gording akibat beban merata dan
terpusat adalah:

4
5 q x . L 1 Px . L3
ƒytb = x + x ………………………………………(2.10)
384 EI x 48 EI x

Dimana :
ƒytb = Lendutan yang timbul terhadap sumbu x dan sumbu y
q = Beban terbagi rata (kg/m)
P = Beban terpusat (kg)
L = Panjang batang (m)
E = Modulus elasitas kayu (kg/cm2)
I = momen inersia (cm4)

Lendutan total yang terjadi pada gording adalah :


F= √(fx )2+(fy )2 …………………………………………………(2.11)
3.4 Elemen Konstruksi
Adapun yang dimaksud dengan elemen konstruksi adalah :
1. Batang Tekan
2. Batang Tarik

3.4.1 Batang tekan


Pada batang yang menahan tegangan tekan dalam perhitungan tidak
dipengaruhi oleh pelemahan alat sambung. Tetapi apabila pada batang tersebut
terdapat lubang yang tidak tertutup, dihitung sebagai perlemahan.
Pengaruh tekuk adalah yang sangat mempengaruhi selain hal tersebut diatas.
Faktor tekuk (ω) sangat dipengaruhi oleh panjang batang dan bahan itu sendiri.
Besar faktor tekuk terlampir pada lampiran 2, terdiri dari dua batang, yaitu
tunggal dan ganda.
8

a. Batang tunggal

Gambar 2.1 b
Batang Tunggal

Ix = 1/12 b. h3 (cm4) .....................................................................(2.12)


Iy = 1/12 b3. h (cm4) .................................................................... (2.13)
Ix
ix min =
√ Fbr
(cm) ...........................................................................

(2.14)
Iy
iy min =
√ Fbr
(cm) ............. ..............................................................

(2.15)
Lk
λx = ix min ....... ..........................................................................
(2.16)
Lk
λy = iy min ....... .........................................................................
(2.17)

Diantara harga λ x atau λ y diambil yang terbesar dalam menentukan nilai


faktor tekuk (ω) sehingga :
Px ω
σ tk // ytb = Fbr , (kg/cm2) ≤ σ σ́ tk // …………………………………...

(2.18)

Dimana :
σ ytb// = tegangan yang timbul sejajar serat (kg/cm2)
Fbr = Luas penampang bruto (cm2)
9

Ix = Momen Inersia pada sumbu x (cm4)


Iy = Momen Inersia pada sumbu y (cm4)
Lk = Panjang kritis (cm)
ω = Faktor tekuk
λ = Angka kelangsingan

b. Batang ganda

b b
Gambar 2.2 Batang Ganda

ix min = √ lx /Fbr dan iy min = √ I y / Fbr(cm) ..............................(2.19)


Lk Lk
λx = ix min dan λy = iy min ...............................................
(2.20)

Sehingga:
Pxω σ
σ tk // ytb = Fbr
≤ σ́ tk// (kg/cm2) .......................................................

(2.21)
3.4.2 Batang tarik
Pada batang-batang tarik dan bagian-bagian yang dibebani dengan tegangan
lentur, perlemahan-perlemahan akibat lubang alat-alat penyambung dan lainnya
harus diperhatikan dengan teliti. Besarnya pengurangan luas tiap alat sambung
adalah sebagai berikut.
1. 0 % = Untuk sambungan dengan perekat
2. 10 % - 15 % = Untuk sambungan dengan paku
10

3. 15 % - 20 % = Untuk sambungan dengan baut dan sambungan Gigi


4. 20 % = Untuk sambungan dengan kokot boldog dan pasak kayu

Dengan memperhitungkan pengurangan luas maka tegangan tarik yang


timbul adalah sebagai berikut :
σ ytb = P/Fn (kg/cm2) ........................................................................(2.22)

Dimana :
σ ytb = Tegangan yang timbul (kg/cm2)
P = Gaya yang bekerja pada batang (kg)
Fn = Luas penampang netto (cm2)
Fn = 0,8 . Fbr
Fbr = Luas penampang bruto (cm2)

3.5 Sambungan Pada Kayu


Didalam konstruksi kayu yang meminta perhatian besar adalah tempat-tempat
sambungan, karena sambungan selalu merupakan titik terlemah pada suatu
konstruksi. Alat sambung kayu banyak sekali jenisnya, antara lain baut, paku,
kokot bulldog, pasak cincin, geka, split ring, alligator, bufa, perekat dan lain
sebagainya.

3.5.1 Sambungan baut pada kayu


Menurut PKKI NI 5 1961, beberapa persyaratan sambungan baut pada kayu
adalah sebagai berikut :
1. Alat penyambung baut harus dibuat dari baja St. 37 atau dari besi yang
mempunyai kekuatan paling sedikit seperti baja St. 37.
2. Lubang baut harus dibuat secukupnya saja dan kelonggaran tidak
boleh lebih dari 1,3 mm.
11

3. Garis tengah baut paling sedikit harus 10 mm (3/8”), sedang untuk


tumpang satu maupun tumpang dua dengan tebak kayu lebih besar dari
pada 8 cm harus dipakai baut dengan garis tengah paling kecil 12,7 mm
(1/2”).
4. Baut harus disertai plat ikutan yang tebalnya 0,3 d dan maksimum 5
mm dengan garis tengah 3d, dimana d = garis tengah baut.
5. Sambungan dengan baut dibagi 3 golongan menurut kekuatan kayu
yaitu golongan I, II, III. Agar sambungan dapat memberi hasil kekuatan
yang sebaik-baiknya, hendaklah λ b = b/d diambil dari angka-angka
yang tertera dibawah ini :

a. Golongan I
Sambungan bertampang satu s=50 d b 1 ¿ ……..…(2.23)
atau λb = 4,8 s=240 d 2 ¿ ….…….(2.24)
Sambungan bertampang dua s=125 d b3 ¿………..(2.25)
atau λb = 3,8 s=250 d b 1 ¿…….….(2.26)
atau s=480 d 2 ¿ ………..(2.27)

b. Golongan II
Sambungan bertampang satu S=40 d b1 ¿ ………..(2.28)
atau λb = 5,4 S=215 d 2 ¿ ……..…(2.29)
Sambungan bertampang dua S=100 d b 3 ¿………..(2.30)
atau λb = 4,3 S=200 d b 1 ¿…….….(2.31)
atau S=430 d 2 ¿ ………..(2.32)

c. Golongan III
Sambungan bertampang satu S=25 d b 1 ¿ …….….(2.33)
atau λb = 6,8 S=170 d2 ¿ …….….(2.34)
Sambungan bertampang dua S=60 d b 3 ¿ ………..(2.35)
12

atau λb = 5,7 S=120 d b 1 ¿………..(2.36)


atau S=340 d 2 ¿……….(2.37)

Dimana:
S=¿ Kekuatan sambungan (kg)
α =¿ sudut antara arah gaya dan arah serat kayu
b 1=¿tebal kayu tepi (cm)
b 3=¿ tebal kayu tengah (cm)
d = b 3=¿ garis tengah baut (cm)
Dari tiap-tiap golongan yang diambil adalah harga yang terkecil, yang
termasuk golongan I adalah kayu kelas kuat I ditambah dengan rasamala. Yang
termasuk golongan II adalah semua kayu dengan kayu kelas kuat II. Yang
termasuk golongan III adalah semua kayu dengan kayu kelas kuat III.
1. Jika pada sambungan tumpang satu, salah satu batasnya dari besi (baja)
atau pada sambungan bertumpang dua pelat-pelat penyambung dengan
besi (baja), maka harga S dinaikkan 25 %.
2. Apabila baut tersebut digunakan pada konstruksi yang selalu terendam air,
maka dalam perhitungan kekuatannya dikalikan dengan 2/3. Apabila baut
digunakan pada konstruksi yang tidak terlindung, maka kekuatannya harus
dikalikan dengan 5/6. Dan apabila dipergunakan pada konstruksi yang
mengalami sementara, maka kekuatannya harus dikalikan 5/4.
Penempatan baut pada sambungan harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan pada PKKI (1961).
Banyaknya baut yang digunakan untuk tiap batang kuda-kuda dapat
dihitung dengan rumus :

n = P (Sambungan tidak menerus)..........................................(2.38)


S
P2 −P1
n = (Sambungan menerus)............................................(2.39)
S
13

Dimana
n = Jumlah baut (buah)
P = Gaya batang tekan/tarik yang bekerja (kg)
P1 = Gaya batang tarik yang bekerja (kg)
P2 = Gaya batang tekan yang bekerja (kg)

Anda mungkin juga menyukai