Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Mata Kuliah Dosen pembimbing


Ulumul Hadist Drs,H,Encep,MA

SEJARAH PERTUMBUHAN & PERKEMBANGAN HADIST

Oleh Kelompok:

Nama Nim
Abdul Jalil Afif 21.1.2151
Achol Hasani Achmad 21.1.2154
Muhammad Fahri 21.1.2229
Syaidina Ali Putra Akbar 21.1.2273

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL KARIMIYAH
SAWANGAN-DEPOK
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subabanahu wa ta’ala,


Karena berkat rahma-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah
Pertumbuhan & Perkembangan Hadist,Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah Ulumul Hadist,

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya, Makalah ini masih
jauh dari sempurna.Oleh karena itu, Kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan


bermanfaat untuk membangun wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
kita semua.

Depok, September 2021

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Alquran adalah sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber
kedua.
As-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci hukum-hukumnya, dan
mengeluarkan furu’ cabang dari ushul pokoknya.1
Mempelajari suatu objek dari macam-macam ilmu haruslah dibarengi dengan
mempelajari sejarah tumbuh dan perkembangan dari ilmu tersebut, dalam hal ini
mempelajari hadis. Maka seharusnya kita mendalami sejarah dari hadis tersebut,
sehingga dapat mengetahui tentang sikap dan tindakan umat terhadap hadis serta
usaha bagi pembinaan dan pemeliharaan hadis tersebut.2
Dalam perkembangannya, pengkodifisian alquran berbeda dengan
pengkodifisian hadis yang banyak diriwayatkan secara Ahad, individual, dan
Mutawatir 3. Dalam kodifikasi alquran para sahabat r.a tidak menemukan banyak
kendala karena tugas para kodifikator hanya mengumpulkan naskah-naskah alquran
yang sudah ada ditangan para sahabat r.a, untuk disesuaikan dengan hapalan para
sahabat lainnya yang secara mutawatir mereka terima dari nabi dan secara ilmiah
dapat dipastikan sebagai ayat-ayat alquran.
Sementara hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan dari pada dalam
catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya Nabi mengijinkan
untuk
mencatat hadis.

1M. Ajjaj Al-Khatib, as-Sunnah Qabla Tadwìn , diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits
Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21
2H. Endang Soetadi AD, Ilmu Hadits (Cet. II; Bandung: Amal Bakti press, 1997), h. 29
3al-Asqalani. Syarh Nukhbat al-Fikr Fi Mushthalah Ahl al-Atsar (Mesir : Maktabah al-
Qadiriyah, t.th.), h. 4
Untuk menghimpun hadis-hadis ini diperlukan ketelitian yang sangat tinggi,
agar yang dinamakan hadis itu benar-benar dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah4. Jarak waktu yang cukup lama antara Nabi saw, dengan para penghimpun
hadis, dan perbedaan visi politik serta madzhab pada abad-abad berikutnya,
merupakan dimensi lain yang menambah rumitnya pembuktian status hadis oleh
ulama dari generasi ke generasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka Penulis akan
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi hadis pada masa kelahirannya?
2. Bagaimana masa penulisan, pembukuan, pentashihan, dan pengkajian hadis?
3. Bagaimana eksistensi hadis pada masa kontemporer?

4M.Abdurahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status


Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masa Kelahiran Hadits


Nabi SAW sebagai Rasul, sangat disegani dan ditaati oleh para sahabat,
sebab
mereka sadar bahwa mengikuti rasul dan sunnahnya adalah keharusan dalam
berbakti kepada Allah SWT. Oleh karena itu para sahabat sangat
bersungguhsungguh
dalam menerima segala yang diajarkan Nabi SAW baik yang berupa
wahyu alquran maupun dari hadis nabi sendiri, sehingga ayat-ayat alquran dan
hadis benar-benar mempengaruhi jiwanya dan membentuk pribadi para sahabat
sebagai orang yang benar-benar Muslim. Mereka dapat menghapal dengan baik
ajaran-ajaran rasul karena disamping dorongan keagamaan, mereka juga
mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta mempunyai kecerdasan
dan kecepatan dalam memahami sesuatu.5
Pada saat inilah hadis lahir berupa sabda (aqwal), perbuatan (af’al) dan taqrir
Nabi yang berfungsi menerangkan alquran dalam rangka menegakkan syariat
Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat di masa ini, sangat banyak mengambil manfaat tentang hukumhukum
syariat dari alquran, karena mereka bertemu langsung dengan nabi saw
dan setiap wahyu yang turun bersifat universal (mujmal), maka rasulullah saw
menjelaskan seperti pada permasalahan shalat, yang turun dalam bentuk mujmal,
rasulullah yang memperinci bilangan rakaatnya, bentuknya dan waktu
pelaksanaannya.6

5M.Abdurahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status


Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 33
6Mahmud Hilāl Hilāl Muhammad Syis, al-Dhiyâu al-Mubin Fì Manâhij al-Muhadditsìn
(Mesir: Dar al-Kutub,1994), h. 55
Para sahabat menerima hadis dari rasul saw. Adakalanya langsung dari beliau
sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari nabi, baik karena ada
sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu nabi menjawabnya, ataupun
karena nabi sendiri yang memulai pembicaraan. Adakalanya tidak langsung yaitu
mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau
mereka menyuruh seseorang bertanya kepada nabi, jika mereka sendiri malu
untuk bertanya, seperti yang terjadi ketika salah seorang wanita datang kepada
nabi bertanya tentang mandi haid7.
Para sahabat yang banyak menerima hadis dari nabi saw8 Antara lain :
1. Yang mula-mula masuk Islam, seperti: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali,
Abdullah Ibnu Mas’ud.
2. Yang selalu berada disamping Nabi dan bersungguh-sungguh
menghafalnya, seperti Abu Hurairah. Dan yang mencatat seperti Abdullah
Ibn Amr Ibn Ash.
3. Yang lama hidupnya sesudah Nabi, dapat menerima hadis dari sesama
sahabat, seperti Anas Ibn Malik dan ‘Abdullah Ibn ‘Abbas.
4. Yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu: Ummahatul Mu’minin,
seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah

7T.M. Hasby Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet. IV (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra,1999), h.31
8H. Endang Soetadi AD., Ilmu Hadits, Cet II (Bandung: Amal Bakti Press,1997), h. 35
B. Masa Penulisan Hadits
Penulisan hadis, suatu media terpenting bagi sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadis, terutama dalam penyebarannya di tengah-tengah
masyarakat. Sebagaimana penjelasan pada masa kelahiran dimana sudah ada
beberapa sahabat yang menulis hadis walaupun dalam bentuk perseorangan dan
belum resmi. Berbagai perdebatan panjang, terjadi dimasa sahabat dalam
penulisan hadis. Pada masa tabi’in mereka berusaha menelusuri hadis, dengan
perlawatan mencari hadis dan menanyakan kepada sahabat yang telah tersebar di
berbagai wilayah daulah islamiyah.
Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan
hadis sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadis, yaitu Madinah,
Mekkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Andalus, Yaman, dan Khurasan. Di kota-

9Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi wa al-Naysaburi, Shahih Muslim, juz IV
(Beirut: Dar al-Afaq al-Islamiyah, 1977), h. 2298
kota itu, masih terdapat beberapa sahabat ahli yang hidup. Di Madinah misalnya,
masih ada Abu Hurairah, ‘Abdullah bin 'Umar, dan Abu Sa'id. Di Mekkah, ada
Mu'az bin Jabal, dan Haris bin Hisyam. Di Kufah, ada Sa'ad bin Waqqas, dan
‘Abdullah bin Mas'ud. Di Bashrah, ada Anas bin Malik, dan ‘Abdullah bin
‘Abbas. Di Syam, ada Abu ‘Ubaidah Ibn al-Jarh, ‘Abdullah bin Unais. Di Mesir,
ada ‘Amr bin al-‘Ash, dan Uqbah bin ‘Amr. Di Andalus, ada Mas'ud bin al-
Aswad, dan Bilal bin Haris. Di Yaman, ada Mu'az bin Jabal yang pernah diutus
oleh Nabi saw, menjadi hakim. Di Khurasan, ada Buraidah bin Husain al-
Aslami.10
Contoh, perlawatan yang dilakukan oleh Abu Ayub al-Anshari yang pernah
pergi ke Mesir untuk menemui Uqbah Ibn Amir untuk menanyakan suatu Hadis
tentang menutup kesukaran sesama umat islam. Begitu pula Jabir pernah pergi ke
Syam sebulan lamanya melawat untuk mencari hadis kepada Abdullah Ibn Unais
al-Ansari.
Pada akhir abad I Hijriah, atau memasuki awal abad II Hijriah tulisan-tulisan
tentang hadis semakin banyak ditemukan, namun tidak tertata dengan baik, yakni
belum memiliki metode tersendiri. Agar penulisan hadis-hadis tetap mentradisi,
maka keluarlah instruksi dari khalifah Umar bin ‘Abdul Azis untuk menulis
hadis-hadis secara efektif, yakni tertata dengan baik dan menggunakan
metodemetode
tertentu, kemudian hadis-hadis itu dihimpun untuk dibukukan, karena
beliau takut akan hilangnya hadis dan meninggalnya para ulama.11

10Mudatstsir, Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 101-103


11Kautsar Mahmud Muslimi, Manahij el-Muhadditsin (Mesir: t.p., 2003), h. 172
C. Masa Pembukuan Hadits
Masa pembukuan atau kodifikasi hadis secara resmi dimulai pada awal abad
II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abdul ‘Azis tahun 101
H/ 720M). Keinginan khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azis untuk menghimpun hadis
diwujudkan dalam surat perintah kepada gubernur Madinah, Abu Bakr ibn
Muhammad ibn Amr ibn Hazmi (120H), supaya membukukan hadis Rasul yang
terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, Amrah binti ‘Abdir Rahman ibn
Sa’ad ibn Zurarah Ibn Ades. Dan hadis-hadis yang ada pada Alqasim ibn
Muhammad Ibn Abi Bakr ash Shiddiq (107 H = 725 M), seorang pemuka tabi’in
dan salah seorang fuqaha Madinah. Khalifah juga mengirimkan surat-surat
kepada Ulama-Ulama untuk membukukan hadis, salah satunya ialah Abu Bakar
Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn Syihāb az-Zuhri, seorang tabi’in
yang ahli dalam bidang fiqih dan hadis.12
Pada abad kedua, ulama membukukan hadis dengan tidak menyaringnya.
Mereka tidak membukukan hadis-hadis saja, tetapi juga memasukkan fatwa-fatwa
sahabat, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan, termasuk semua hadishadis
marfu’, hadis mauquf, dan hadis maqthu’. Kitab-kitab yang disusun pada
masa ini tidak ada yang sampai pada masa kita sekarang kecuali kitab al-
Muwatta’ 13 susunan Malik Ibn Anas.
Pada awal abad ke III H para ulama melaksanakan tadwin hadis dengan
memisahkan antara sabda nabi saw. dengan fatwa sahabat dan tabi’in, tapi masih
mencampur antara hadis-hadis sahih, Hasan, dan Daif. Sehingga lantaran ini
orang-orang yang kurang ahli masih belum dapat secara mudah mengambil
pengertian hukum atau mengetahui nilai hadis tersebut.

12T. M. Hasby Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet. IV (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra,1999), h. 60
13Almuwaththa’ adalah kitab yang paling terkenal dari kitab-kitab hadis abad ke II dan
mendapat sambutan yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung 1726 rangkaian khabar
dari nabi, sahabat dan tabi’in.

Sistem penyusunan yang dipakai adalah tasnid, yakni menyusun hadis dalam
kitab-kitab berdasarkan nama sahabat perawi. Sistem tasnid ini mempunyai
kelemahan yaitu sulitnya mencari atau mengetahui hukum-hukum syara’ sebab
hadis dikumpul dalam satu tempat, tidak dalam satu maudu’. Kitab hadis yang
disusun dalam sistem ini dinamakan Musnad. Musnad-Musnad yang disusun
pada masa ini banyak sekali, salah satunya adalah Musnad ‘Ubaidillah Ibnu Musa
(123 H) .14
Di masa-masa berikutnya, terutama pada masa penghujung abad ketiga
Hijriah, bersamaan dengan permulaan masa pentashihan hadis, muncullah
beberapa kitab-kitab karangan ulama pada masa ini yang terbagi kedalam tiga
macam yaitu : kitab-kitab Shahih, kitab-kitab Sunan, dan kitab-kitab Musnad.15

D. Masa Pentashihan Hadits


Masa pentashihan adalah, masa seleksi atau penyaringan hadis, dimulai
pada
awal abad keempat Hijriah, yakni pada zaman al-Muktadir, khalifah Dinasti Bani
Abbas. Munculnya periode seleksi ini karena periode sebelumnya, yakni masa
tadwin, para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadis mawquf, dan
maqtu' dari hadis marfu'. Begitu pula halnya dengan memisahkan beberapa hadis
yang sahih dari yang dhaif. Bahkan, masih ada hadis maudhu' (hadis palsu) yang
bercampur dengan hadis sahih.16
Untuk menyaring hadis-hadis itu serta membedakan hadis-hadis yang sahih
dari yang palsu dan dari yang lemah, bangunlah seorang imam hadis yang besar
Ishaq ibn Rahawaih, memulai usaha memisahkan hadis-hadis yang shahih dan
tidak. Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh

14H.Endang Soetadi AD., Ilmu Hadits, Cet II (Bandung: Amal Bakti Press,1997), h. 63
15T.M. Hasby Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet. IV (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra,1999), h. 82
16Mudatsir, Ilmu Hadits, Cet I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.109

Imam Al-Bukhari dengan menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-
Jami’u Sahih. Di dalamnya beliau bukukan hadis-hadis yang dianggap sahih saja.
Untuk mentashihkan hadis dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang tarikh
Rijalil Hadis, berupa tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui,
apakah dia bertemu dengan orang yang ia riwayatkan hadisnya atau tidak.
Maka langkah-langkah yang telah diambil oleh para ulama dalam usaha
mengkritik jalan-jalan menerima hadis sehingga mereka dapat melepaskan
sunnah dari tipu daya dan membersihkannya dari segala lumpur yang
mengotorinya ialah: mengisnadkan hadis, memeriksa benar tidaknya hadis yang
kepada para ahli, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum
untuk menentukan derajat-derajat hadis, menyusun kaidah-kaidah untuk
menentukan kaidah-kaidah maudu’.17
Adapun metode Klasifikasi pada Nama Sahabat adalah mengumpulkan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh semua sahabat, sehingga memudahkan bagi
yang ingin mencari hadis dengan mengetahui terlebih dahulu nama sahabat
periwayat hadis, seperti :
1. al-Masanid : Metode musnad merupakan metode yang tidak menggunakan
klasifikasi hadis, melainkan berdasarkan rumus para sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadis. Dengan demikian, jika seseorang ingin mencari hadis
melalui kitab musnad maka terlebih dahulu harus mengetahui nama sahabat
yang pertama meriwayatkan hadis itu. Tanpa mengetahui nama sahabat, maka
sangat sulit untuk menemukan hadis yang dicari. Contoh kitab tersebut adalah
Musnad Ahmad bin Hambal.

17T. M. Hasby Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet. IV (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra,1999), h. 70, 75

2. al-Atraf : adalah bagian hadis atau sebagian terkadang dicantumkan namanama


periwayat hadis yang merupakan sumber rujukan. Seperti kitab Tuhfah
al-Asyraf biMa’rifah al-Atraf.18
Buku-buku hadis dengan berbagai metodenya yang telah dikemukakan di
atas, menjadikan pula keorisinilan hadis-hadis Nabi saw yang periwayatannya
semakin tumbuh dan berkembang, dari generasi ke generasi.

E. Masa Pengkajian Hadits


Pada masa ini para ulama hadits mengalihkan perhatiannya untuk menyusun
kitab-kitab hadits untuk topik-topik tertentu. Untuk itu mereka membuat
sistematika penyusunan hadits agar memudahkan pengkajiannya. Tentunya
sistematika susunan hadits pada masa ini lebih baik dari masa-masa sebelumnya,
karena upaya ulama pada masa ini bukan mencari, tetapi hanya mengumpulkan
dan selanjutnya mensistemasi menurut kehendak atau kebutuhannya. Ada yang
mensistemasi menurut pengarang sendiri, ada yang mensistemasi dengan
mendahulukan bab Thaharah, wudhu, dan kemudian shalat dan seterusnya,
misalnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, maka diletakkan
dibawah nama Abu Bakar. Ada juga yang mensistemasi dengan bagian-bagian
yaitu bagian seruan, larangan, khabar ibadah dan af’al. Demikian pula ada yang
menyusun berdasarkan abjad hijaiyyah, seperti kitab al-jami’shagir oleh al-
Syuyuti.
Beberapa kitab yang disusun berdasarkan sistematika penyusun hadits yang
telah ditetapkan para ulama hadits pada masa itu antara lain: 1. Kitab-kitab
mustakhraj adalah kitab yang haditsnya diambil dari hadits perawi lain dari sanad
perawi yang diambilnya dan kadang-kadang para mustakhraj meninggalkan suatu
periwayatan karena tidak memperbolehkan sanad sendiri. 2. Kitab-kitab
mustadrak adalah kitab yang haditsnya didapat dari pengumpulan hadits yang

18Kautsar Mahmud Muslimi, Manahij al-Muhaddisin,(Mesir: t.p., 2003), h. 174

memiliki syarta-syarat al-Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya yang kebetulan


tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh beliau berdua.19 Kedua kitab inilah yang
paling banyak diproduksi dan model tersebut merupakan ciri khas dari
pembukuan hadits pada masa ini.

F. Masa Kontemporer Hadits


Masa perkembangan kegiatan pengkajian hadis, berlangsung sangat lama,
dan telah melewati fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan
fase modern. Fase yang terakhir ini, suatu masa munculnnya karya hadis
kontemporer terutama setelah memasuki abad ke-14 Hijriah, atau abad ke-19 M.
Pada abad ke XIV H, para orientalis dianggap telah banyak mengaburkan
eksistensi hadis nabi, maka ulama hadis mulai bangkit membahas ilmu-ilmu hadis
dan mengaitkannya dengan perkembangan pengetahuan modern sebagai akibat
persentuhan antara dunia islam dengan barat. Perlunya kajian ulang terhadap
proses pembakuan hadis tanpa perlu menghilangkan otensitas spiritualitas Islam
yang bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi disebabkan oleh perubahan
kehidupan masyarakat modern dalam era teknologi dan informasi yang begitu
cepat. Ulama yang tergolong tanggap akan masalah ini, antara lain: al-Qāsimiw.
1332 H, Mahmud al-Tahhan, Abu Syuhbah (w. 1406/1986 M), Shubhih Salih (w.
1407 H/1986M), Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, M. Azami, Musthafa al-Siba’i,
Nur al-Din ‘Itr, A. Hassan, T. M. Hasbi Ash-Shiddiqie, dan Muhammad Syuhudi
Ismail (w. 1995 M).
Salah seorang diantara mereka berasal dari Indonesia, yakni M. Syuhudi
Ismail, dia salah seorang ulama intelektual. Tidak berlebihan kalau dikatakan dia
seorang intelektual dan ulama Indonesia yang cukup besar pengaruhnya di
Indonesia, khususnya di bidang hadis. Karya monomuntalnya di bidang hadis
adalah disertasinya yang berjudul Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; telaah Kritis

19 Utang Ranuwijaya, Pengantar Ilmu Hadits, (Cet.III; Jakarta, Gaya Media Pratama, 1998). h. 66

dengan pendekatan Ilmu Sejarah. Karya tulis hadis ini pengaruhnya bukan saja di
Indonesia, tapi sampai ke dunia internasional.20
Menurut Nasaruddin Umar, buku Syuhudi tersebut ditemui di hampir semua
perpustakaan besar di kanada, Amerika, Eropa dan Jepang.21 Sesuai dengan judul
bukunya tersebut, secara jelas diketahui bahwa metode penelitian yang digunakan
M. Syuhudi adalah pendekatan sejarah, yakni menelusuri berbagai kaidah-kaidah
kesahihan hadis baik dari segi sanad dan matannya menurut analisis historis.

20ArifuddinAhmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi refleksi Pemikiran


Pembahaharuan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), H 4-5
21Nasaruddin Umar "Prof. M. Syuhudi ismail Penelitian Hadis yang Tekun" dalam Suara
Hidayatullah, nomor 09/VII/Januari, 1999, h. 61

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis telah
memperlihatkan sikap dan tindakan para ulama dalam memelihara hadis terlihat
pada
masa kelahiran, masa penulisan, masa pembukuan, masa pentashihan, masa
pengkajian, dan dimasa kini.
Berdasarkan pada pemisahan periode-periode pertumbuhan dan
perkembangan hadis sebagaimana yang tertera diatas maka dapatlah diketahui
proses
pertumbuhannya dari masa ke masa. Mempelajari sejarahnya dapat
menggambarkan
kepada kita betapa besar kesungguhan yang telah diberikan oleh para ahli dalam
menjaga orisinalitas hadis.
B. Saran
Dengan adanya pembelajaran mengenai Sejarah pertumbuhan dan
Perkembagan hadits, diharapkan kita bisa memacu semangat kita untuk lebih
memperdalam dan mempelajari ilmu hadits. Dan mudah-mudahan hal itu akan
menjadi dorongan untuk kita semua dan apabila ada kata kalimat yang salah dan
referensi yang tidak sesuai kami meminta maaf sebesar-besarnya karna itu
kekhilafan kami yang masih proses pembelajaran.Kritik dan saran sangat kami
butuhkan untuk menambah wawasan kami.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, M. Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam


Menentukan
Status Hadis. Jakarta: Paramadina, 2000.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi refleksi Pemikiran
Pembahaharuan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta:
Renaisan, 2005.
Ash Shiddieqy, T. M. Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Cet. IV;
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.
Al-Asqalani. Syarh Nukhbah al-Fikr Fi Mushthalah Ahl al-Atsar. Mesir :
Maktabah
al-Qadiriyah, t.th.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, diterjemahkan AH.
Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. Cet. 1; Gema Insani Press,
1999.
Mudatstsir. Ilmu Hadis. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Muslim, Abu Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi wa al-Naysaburi. Sahih Muslim. juz
IV; Beirut: Dar al-Afaq al-Islamiyah, 1977
Muslim, Kautsar Mahmud. Manahij al-Muhaddisin. Mesir: t.p., 2003.
Ranuwijaya, Utang, Pengantar Ilmu Hadits, Cet.III; Jakarta, Gaya Media
Pratama,
1998.
Sis, Mahmud Hilal Muhammad. al-Diya’ al-Mubin Fi Manahij al-Muhaddisin.
Mesir: Dar al-Kutub,1994.
Soetadi, Endang AD, H. Ilmu hadits. Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997.
Umar, Nasaruddin. "Prof. M. Syuhudi ismail Penelitian Hadis yang Tekun" dalam
Suara Hidayatullah, nomor 09/VII/Januari, 1999

Anda mungkin juga menyukai