Anda di halaman 1dari 54

Jurnal

FAKTOR RESIKO INFARK

MEROKOK,MINUMAN ALKOHOL,OBESITAS,KURANG
OLAHRAGA DAN DIABETES
DI

OLEH

NAMA : AF’ALULLAH

NIM : 1912210176

DOSEN PENGASUH : Ns. MAHRURI SAPUTRA,S.Kep.M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS SAINS,


TEKNOLOGI DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BINA BANGSA
GETSEMPENA

TAHUN AJARAN 2021 / 2022

1
PENENTU KEBERHASILAN BERHENTI MEROKOK PADA MAHASISWA

Riska Rositaa,, Dwi Linna Suswardanya, Zaenal Abidinb

a
Prodi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta,

Indonesia

b
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Malahayati, Indonesia

Info Artikel
Sejarah Artikel:

Diterima Maret 2012

Disetujui April 2012

Dipublikasikan Juli 2012

Abstrak
Keberhasilan berhenti merokok pada individu berbeda satu dengan lainnya. Masalah penelitian adalah faktor
apakah yang berhubungan dengan keberhasilan berhenti merokok pada mahasiswa. Tujuan penelitian untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan berhenti merokok pada mahasiswa Fakultas
Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Metode penelitian survei dengan

Keywords: Smoking Habitual Frequency

pendekatan cross sectional, sampel diambil sebanyak 89 mahasiswa laki-laki reguler angkatan 2008-2010 FIK UMS
dari populasi sebanyak 584. Sampel merupakan perokok aktif atau pernah menjadi perokok aktif, yang dipilih
dengan menggunakan teknik Snowball Sampling. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square dan dilanjutkan
dengan uji Logistic Regresion. Variabel lama merokok, alasan berhenti merokok, dan upaya berhenti merokok
dianalisis berdasarkan hasil Fisher Exact (two-sided). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara faktor frekuensi merokok (p=0,001; OR=5,181) dan faktor niat berhenti merokok (p=0,001;
OR=14,389) dengan keberhasilan berhenti merokok pada mahasiswa FIK UMS. Tidak ada hubungan antara jumlah
rokok (p=0,158), lama merokok (p=0,093), alasan berhenti merokok (p=0,155), dan faktor upaya berhenti merokok
(p= 0,706) dengan keberhasilan berhenti merokok. Simpulan penelitian adalah frekuensi merokok dan faktor niat
berhenti merokok berhubungan dengan keberhasilan berhenti merokok pada mahasiswa.

DETERMINANT FACTOR OF QUITTING SMOKING ON STUDENT

Abstract
The success of stop smoking is different one another. The research problem was
whether factors associated with successful of stop smoking in college students.
Purpose of the study to determine the factors associated with successful of stop
smoking in Health Sciences Faculty students, Muhammadiyah Surakarta University.
Survey research method with cross sectional approach, samples were taken amounts
89 male students from year 2008-2010 584 students FIK UMS. Samples were active
smokers or had been active smokers, which was selected using snowball sampling.
The statistical test used Chi Square test followed by Logistic Regression. Duration of
smoking, reason to stop smoking, and trial to stop smoking were analyzed by Fisher’s
Exact (two-sided). The results showed that there was a significant association
between smoking frequency (p=0.001; OR=5.181) and intention to stop smoking

2
(p=0.001; OR=14.389) with stop smoking success on FIK UMS students. There was no
correlation between the number of cigarettes (p=0.158), duration of smoking
(p=0.093), the reasons to stop smoking (p=0.155), and smoking cessation (p=0.706)
with the success of stop smoking. The conclusion, frequency of smoking and intention
associated

with stop smoking success of students.


Alamat korespondensi:

Jl. A Yani Tromol Pos 1 Pabelan Surakarta 57102 E-mail: romance_rose@ymail.com

ISSN 1858-1196

Pendahuluan

Permasalahan akibat merokok saat ini sudah menjadi topik yang terus-menerus dibi-
carakan. Telah banyak artikel dalam media ce- tak dan pertemuan ilmiah, ceramah, wawancara
radio atau televisi serta penyuluhan me-ngenai bahaya rokok dan kerugian yang timbul karena
merokok. Salah satunya adalah aspek sosial yang mempengaruhi keluarga, teman, dan re- kan
kerja (Rochmayani, 2008).
Seseorang yang bukan perokok apa- bila terus-menerus terkena asap rokok dapat
menderita dampak risiko penyakit jantung dan kanker paru-paru. Menurut Fawzani dan
Triratnawati (2005), masalah rokok juga men- jadi persoalan sosial ekonomi. Terdapat 60% dari
perokok aktif atau sebesar 84,84 juta orang dari 141,44 juta orang adalah mereka yang berasal
dari penduduk miskin atau ekonomi lemah yang sehari-harinya kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya. Selain itu, dengan berkurangnya hari bekerja yang di- sebabkan sakit,
maka perokok menurunkan produktivitas pekerja. Dengan demikian, jum- lah pendapatan yang
diterima berkurang dan pengeluaran meningkat untuk biaya berobat (Chaudhuri, 2006).
Menurut WHO (2002), Indonesia me- nempati urutan kelima dalam konsumsi rokok di
dunia. Rokok telah menjadi salah satu pe- nyebab kematian terbesar di dunia. Berdasar- kan
data, akibat rokok di Indonesia menyebab- kan 9,8% kematian karena penyakit paru kronik dan
emfisema pada tahun 2001. Selain itu rokok merupakan penyebab stroke sebesar 5% dari
jumlah kasus stroke yang ada. Lebih dari 40,3 juta anak Indonesia berusia 0-14 ta- hun terpapar
asap rokok di lingkungannya. Aki- batnya mereka mengalami pertumbuhan paru yang lambat
dan lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga dan asma. Diperkirakan
hingga menjelang 2030 kematian akibat merokok akan mencapai 10 juta perta- hunnya dan di
negara berkembang diperkira- kan tidak kurang 70% kematian yang disebab- kan oleh rokok.
Meningkatnya kematian akibat rokok berbanding lurus dengan jumlah remaja perokok yang
setiap tahunnya cenderung me- ngalami peningkatan. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2010,
di Indonesia usia perokok
makin muda, yaitu sebanyak 1,7% perokok mulai merokok pada usia 5-9 tahun. Persentase
nasional penduduk berumur 15 tahun ke atas yang merokok setiap hari sebesar 28,2%. Lebih
dari separuh (54,1%) penduduk laki-laki beru- mur 15 tahun ke atas merupakan perokok ha-
rian. Persentase penduduk perokok yang me- rokok tiap hari tampak tinggi pada kelompok
umur produktif (25-64 tahun) dengan rentang 30,7%-32,2%.
Mahasiswa Universitas Muhammadi- yah Surakarta (UMS) yang merupakan ma-
hasiswa laki-laki perokok aktif sebesar 66,6%. Di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Mu-
hammadiyah Surakarta (FIK UMS), diketahui persentase mahasiswa yang perokok yaitu 63
orang (64,9%) dan persentase mahasiswa yang bukan perokok yaitu 34 orang (35,1%). Seda-
ngkan Dekan FIK UMS sendiri telah mengelu- arkan SK nomor 928/KET/XII/2007 mengenai
peraturan larangan merokok di lingkungan FIK UMS, namun peraturan tersebut masih diabai-

3
kan oleh mahasiswa. Hal ini terbukti karena masih ditemukan mahasiswa yang merokok di
depan kelas, taman, kamar mandi, atau tempat lainnya. Meskipun tidak dapat diketahui secara
pasti apakah para perokok tersebut merupakan mahasiswa FIK saja atau ada juga mahasiswa
non FIK yang merokok di lingkungan FIK UMS.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan pada beberapa mahasiswa FIK UMS yang pe-
rokok, didapatkan 72% mahasiswa perokok berkeinginan berhenti merokok, sedangkan 28%
tidak ingin berhenti merokok. Faktor yang mendorong mereka untuk berhenti merokok sangat
beragam, umumnya karena mahasiswa FIK UMS sudah mengetahui tentang dampak rokok
pada kesehatan, selain itu juga menjadi- kan perilaku boros, diremehkan wanita, dan haram
hukumnya.
Hasil penelitian Syafie (2009) pada man- tan perokok di Kota Semarang menunjukkan
perbedaan keberhasilan berhenti merokok pada individu satu dengan lainnya, tergantung pada
penyebab awal merokok, rentang waktu menjadi perokok, dosis rokok yang dihisap, dan
kuatnya gejolak yang dialami. Meskipun telah memiliki keinginan, berhenti merokok bukanlah
hal yang mudah, terutama bagi per- okok berat, yakni rentang waktu merokok yang
lama dan dosis yang tinggi. Oleh karena itu akan dibutuhkan usaha yang lebih keras un- tuk
dapat berhenti merokok. Penelitian terse- but merupakan penelitian kualitatif yang lebih
mengutamakan pada informasi tentang proses sosial mulai dari penyebab merokok hingga pada
berhenti merokok. Pada penelitian kali ini, peneliti telah melakukan penelitian kuanti- tatif
untuk mempelajari distribusi karakteristik perokok dan mantan perokok serta hubungan variabel
satu dengan lainnya pada tingkat in- dividu-individu. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan berhenti merokok pada
mahasiswa Fakultas Ilmu Kese- hatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang meliputi
faktor jumlah rokok, frekuensi merokok, lama merokok, alasan berhenti me- rokok, niat
berhenti merokok, dan upaya ber- henti merokok, kemudian dilanjutkan dengan menghitung
besarnya peluang keberhasilan berhenti merokok pada individu berdasarkan kondisi variabel
independennya.
Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei dengan desain potong lintang (cross sec-
tional.) Populasinya yaitu semua mahasiswa laki-laki reguler angkatan 2008-2010 FIK UMS
sebanyak 584 orang. Besar sampel dihitung dengan rumus dan diperoleh 89 sampel yang
merupakan mahasiswa laki-laki FIK UMS yang benar-benar merokok dan atau pernah me-
rokok. Sampel diambil dengan teknik snowball sampling (pencuplikan bola salju) karena tidak
terdapat daftar mahasiswa perokok ataupun yang sudah berhenti merokok. Untuk mengeta- hui
hubungan antara variabel independen de- ngan variabel dependen maka peneliti menggu-
nakan uji statistik chi square dan uji fisher exact yang dilanjutkan dengan menghitung besarnya
peluang risiko individu berdasarkan kondisi variabel independennya dengan menggunakan uji
statistik regresi logistik. Analisis data di- lakukan dengan tingkat signifikan p=0,05 (taraf
kepercayaan 95%).

Hasil dan Pembahasan


Gambaran karakteristik responden pada penelitian seperti yang tergambar pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Responden

Karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%)


Jumlah rokok (batang / hari)
(1) Ringan 74 83,1
(2) Berat 15 16,9
Frekuensi merokok (hari / minggu)
(1) Sering 72 80,9

4
(2) Kadang-kadang 17 10,1
Lama merokok (bulan)
(1) Pendek 7 7,9
(2) Panjang 82 92,1
Skor alasan berhenti merokok
(1) Positif 84 94,4
(2) Negatif 5 5,6
Niat berhenti merokok
(1) Kuat 31 34,8
(2) Tidak kuat 58 65,2
Skor upaya berhenti merokok
(1) Baik 8 9,0
(2) Kurang 81 91,0
Keberhasilan berhenti merokok
(1) Berhasil 32 36,0
(2) Tidak berhasil 57 64,0
Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Logistik Faktor-faktor Keberhasilan Berhenti Merokok

CI 95 %
Variabel independen p OR Lower Upper
Frekuensi merokok
a. Sering 1
b. Kadang-kadang ,020 5,181 ,048 ,774
Niat berhenti merokok
a. Tidak kuat 1
b. Kuat ,000 14,389 4,692 44,134

N = 89
Log lokelihood = 116,262
Pseudo R2 = 0,461

Responden yang berjumlah 89 maha- siswa, 16,9% diantaranya adalah perokok berat.
Berdasarkan frekuensi merokoknya, responden yang memiliki kebiasaan merokok sering (³ 4
hari dalam satu minggu) atau hampir setiap hari merokok, yaitu sebesar 80,9%. Sebagian besar
responden telah merokok dalam jangka panjang dengan kurun waktu lebih dari 12 bu- lan (satu
tahun) yaitu sebesar 92,1%. Dengan melihat persepsi alasan berhenti merokok, res- ponden
dengan persepsi negatif atau yang tidak menyadarinya pentingnya berhenti merokok yaitu
sebesar 5,6%, ini akibat dari keterbatasan pada pengalaman atau informasi yang individu
peroleh. Sedangkan pada saat individu memu- lai usaha untuk berhenti merokok, sebanyak
65,2% responden memiliki niat tidak kuat yaitu hanya sekedar mengurangi jumlah rokok yang
dikonsumsi secara bertahap. Responden yang melakukan upaya berhenti merokok dengan
kategori masih kurang (total skor ≤ 14) yang dilihat berdasarkan pada berbagai metode upaya
berhenti merokok sebanyak 91,0%. Dan dari 89 responden tersebut, 64% diantaranya
merupakan perokok yang masih gagal dalam melakukan usaha untuk berhenti merokok.
Berdasarkan hasil analisis regresi lo- gistik (Tabel 2), nilai Pseudo R2 sebesar 0,461 yang
berarti bahwa pada penelitian ini kedua variabel independen tersebut mampu menje- laskan
variasi keberhasilan berhenti merokok sebesar 46,1 % dan sisanya yaitu sebesar 53,9
% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diteli- ti. Kedua variabel independen tersebut adalah
faktor frekuensi merokok (p=0,020; OR=5,181; CI 95%=0,048-0,774) dan faktor niat berhenti

merokok (p=0,000; OR=14,389; CI 95%=4,692-


44,134). Sedangkan variabel independen yang tidak berhubungan dengan keberhasilan ber-
henti merokok adalah faktor jumlah rokok, lama merokok, alasan berhenti merokok, dan upaya
5
berhenti merokok.
Berdasarkan hasil analisis uji chi square didapatkan nilai p=0,158 sehingga pada pe-
nelitian ini tidak ada hubungan antara faktor jumlah rokok dengan keberhasilan berhenti
merokok pada mahasiswa FIK UMS. Dengan kata lain, pada penelitian ini mahasiswa yang
perokok aktif atau pernah menjadi perokok baik perokok ringan, sedang, maupun berat, sama-
sama memiliki peluang untuk dapat ber- hasil atau tidak berhasil berhenti merokok.
Semakin banyak jumlah nikotin yang menumpuk dalam tubuh maka perokok sema- kin
sulit untuk meninggalkan rokoknya. Hal tersebut disebabkan oleh nikotin yang mampu
menimbulkan perasaan menyenangkan yang membuat perokok ketagihan ingin merokok le-
bih banyak dan akan menambah jumlah batang rokok yang dihisap per harinya. Bisa dikatakan
bahwa perokok yang awalnya baru coba-coba nantinya akan menjadi perokok berat yang se-
makin sulit untuk meninggalkan rokok. Pada penelitian ini, walaupun batang rokok yang
dihisap sudah sangat banyak, namun ada fak- tor lain yang mempengaruhi keberhasilan ber-
henti merokok ini (Ferketich, 2008; Mc Clure, 2008; Rise, J., 2008). Susanna (2003) menyim-
pulkan bahwa perokok akan semakin mudah untuk berhenti merokok ketika kesehatannya
terganggu akibat semakin banyaknya jumlah rokok yang dihisap. Hal tersebut terjadi karena
pada dasarnya toksisitas suatu zat ditentukan oleh besarnya paparan (dosis). Nikotin yang
masuk ke dalam tubuh perhari dapat dihitung. Meskipun dosis yang dihisap perharinya masih di
bawah dosis toksik, namun bila ini dilaku- kan secara terus-menerus maka dapat mengak-
ibatkan gangguan kesehatan. Semakin banyak jumlah rokok yang dikonsumsi maka semakin
tinggi risiko terkena berbagai macam penyakit, sehingga perokok akan berusaha lebih keras
untuk dapat berhenti menghisap rokok den- gan mengurangi jumlah rokok yang mereka isap
atau langsung berhenti merokok secara total. Kepedulian terhadap status kesehatan se- seorang
merupakan faktor protektif terhadap inisiasi merokok. Oleh karena itu orang cend- erung akan
berhenti atau tidak memulai mer- okok bila mengerti akibat buruknya terhadap kesehatan.
Jumlah batang rokok yang dihisap per- harinya oleh perokok berbeda satu dengan
lainnya. Meskipun mereka sama-sama berke- inginan untuk berhenti merokok namun belum
tentu semuanya berhasil. Oleh karena itu tidak ada perbedaan yang bermakna pada perokok
ringan maupun berat terhadap keberhasilan berhenti merokok. Hal ini mungkin disebabkan
karena kadar nikotin yang diisap berbeda-beda berdasarkan merk rokok. Perbedaan ini dipe-
ngaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis dan ramuan tembakau yang digunakan, jumlah
tembakau dalam setiap batang rokok, senyawa tambahan yang digunakan untuk meningkat- kan
aroma dan rasa, serta ada tidaknya filter dalam tiap batang (Susanna, 2003). Oleh ka- rena itu
meskipun jumlah rokok yang dihisap perharinya sama namun dosis nikotin yang dihisap
perharinya dapat berbeda-beda antar- individu dan pada akhirnya menimbulkan efek nikotin
yang berbeda pula.
Berdasarkan hasil analisis uji chi square diperoleh nilai p=0,001 dan dilanjutkan de- ngan
uji regresi logistik diperoleh nilai p=0,020, maka dapat disimpulkan bahwa pada peneliti- an ini
terdapat hubungan antara faktor frek- uensi merokok dengan keberhasilan berhenti merokok
pada mahasiswa FIK UMS. Sedang- kan besar nilai OR=5,181 dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa mahasiswa yang frekuen- si merokoknya kadang-kadang (£ 3 hari dalam
seminggu) memiliki peluang untuk dapat ber-
hasil berhenti merokok sebesar 5,2 kali lebih mudah dibandingkan dengan yang frekuensi
merokoknya sering (³ 4 hari dalam seminggu). Orang yang terlanjur memiliki kebiasaan
merokok akan sulit untuk menghentikannya. Semakin sering frekuensi merokoknya maka
semakin tinggi kandungan nikotin dalam tu- buh. Semakin sering orang menghisap rokok
secara berulang-ulang maka nikotin dalam tubuh akan lebih kuat untuk memberikan per- asaan
yang positif. Meskipun ia tidak merokok setiap hari namun bila ia merokok pada saat kondisi
psikis yang mendukung untuk mer- okok, maka ia akan merokok berulang-ulang hingga kondisi
psikisnya dirasa membaik dan akhirnya menjadi ketergantungan terhadap rokok. Selain itu,
secara psikis perokok yang sudah terbiasa sering mengambil batang rokok dan korek api dari
dalam sakunya, maka ketika ia meninggalkan kebiasaan itu maka ia akan merasa ada sesuatu
yang hilang dalam hidup- nya. Dengan demikian perokok akan semakin sulit meninggalkan
kebiasaan merokoknya. Oleh karena itu keberhasilan berhenti merokok dapat diprediksi melalui
6
faktor frekuensi mer- okok (Cokkinides, 2005; Boardman, 2005; Ste-
fan, 2014; Abu, 2014).
Berdasarkan hasil analisis uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,093 sehingga pada
penelitian ini tidak ada hubungan anta- ra faktor lama merokok dengan keberhasilan berhenti
merokok pada mahasiswa FIK UMS. Dengan kata lain, pada penelitian ini maha- siswa yang
perokok aktif atau pernah menjadi perokok dengan rentang merokok kurang dari 12 bulan (satu
tahun) atau bahkan lebih, mere- ka memiliki peluang yang sama untuk dapat berhasil berhenti
merokok. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Wismanto dan Sarwo (2006),
yang menyimpulkan bahwa lamanya kebiasaan merokok memiliki korelasi positif dan sangat
signifikan (r=0,251) dengan perilaku merokok. Semakin lama kebiasaan merokok dilakukan
maka semakin kuat per- ilaku merokoknya. Jadi perokok akan semakin sulit untuk berhenti
merokok.
Hal yang membuat seseorang sulit ber- henti merokok adalah nikotin. Semakin lama
kandungan nikotin yang bersarang dalam tu- buh maka semakin kuat perilaku merokoknya,
sehingga perokok semakin sulit untuk mening-
galkan rokoknya. Hal tersebut disebabkan oleh nikotin yang mampu menimbulkan perasaan
menyenangkan yang membuat perokok ketagi- han untuk terus merokok. Ketika para perokok
berusaha mengurangi atau mencoba berhenti merokok, maka berkurangnya kadar niko- tin
dalam tubuh mengakibatkan gejala yang disebut “gejala stop nikotin”, baik secara fisik maupun
mental. Gejala-gejala tersebut antara lain pusing, mulut kering, cemas, gelisah, sulit tidur, tidak
sabaran atau mudah marah, sulit berkonsentrasi, berat badan naik, dan lain se- bagainya. Gejala
stop nikotin ini berlangsung
± 2 minggu. Jadi bila perokok tidak mampu berjuang melawan gejala tersebut maka dapat
menyebabkan orang tersebut akan kembali merokok untuk mengembalikan kadar nikotin dalam
tubuhnya.
Semakin lama orang merokok maka ke- sehatannya akan semakin terganggu, sehingga ia
akan semakin mudah untuk berhenti mer- okok. Perilaku merokok dalam kurun waktu lebih dari
satu tahun akan timbul gejala peng- kriputan kulit, batuk, sesak nafas, stamina yang menurun
dan peredaran darah tidak lancar. Bila gejala tersebut sudah tampak pada per- okok, maka
perokok akan berusaha keras untuk segera berhenti merokok. Karena bila ia terus merokok
maka risiko terjadi kanker paru-paru dan penyakit jantung akan semakin cepat. Oleh karena itu
perokok akan lebih mudah untuk menghentikan kebiasaannya menghisap rokok hingga berhasil.
Terjadinya perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Wismanto dan Sarwo
(2006), disebabkan karena adanya kemung- kinan gaya hidup yang berbeda. Ada perokok yang
rutin melakukan olahraga dan juga men- jaga pola makan yang teratur sehingga mereka
memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat dibanding dengan perokok yang pola hidupn- ya
tidak sehat. Jika seseorang kondisi fisiknya selalu terjaga dan terpenuhi akan kebutuhan tubuh,
maka risiko penyakit akibat rokok bisa berkurang atau tidak terasa walaupun sebe- narnya tetap
berisiko, sehingga ia tidak berniat untuk berhenti merokok. Namun di sisi lain, bila ingin
berhenti merokok namun kesulitan dengan gejala stop nikotin, maka ia harus ber- juang keras
melawan gejala tersebut agar bisa berhenti merokok dengan mengingat bahwa
setelah beberapa minggu, ia tidak lagi kecan- duan nikotin secara fisik.
Berdasarkan hasil analisis uji statistik chi square, diperoleh nilai p= 0,155> 0,05
sehingga pada penelitian ini tidak ada hubungan antara persepsi alasan berhenti merokok
dengan ke- berhasilan berhenti merokok pada mahasiswa FIK UMS. Hasil penelitian ini
bertentangan dengan teori Azwar (2007), yang menyata- kan bahwa pengetahuan merupakan
hal yang mendasari perilaku, sehingga bila pengetahu- an tinggi maka perilaku cenderung lebih
baik dibandingkan bila pengetahuan tidak tinggi. Dalam penelitian ini terdapat 94,4% maha-
siswa yang memiliki persepsi yang positif ter- hadap alasan berhenti merokok yang ditunjuk-
kan dengan sikap perokok terhadap pentingnya berhenti merokok dengan memperhatikan ber-
bagai dampak akibat merokok, baik pada aspek keagamaan, kesehatan, sosial, ekonomi dan
psikologi. Oleh karena itu mereka bekeinginan untuk berhenti merokok. Meskipun perokok
mengetahui dampak akibat merokok namun secara psikis mereka tetap meyakini hal positif
yang mereka peroleh jika mereka menghisap rokok, sehingga mereka masih kesulitan untuk
7
menentukan berhenti merokok secara total. Terlebih pada saat mereka berkumpul dengan
teman-teman yang sesama perokok, atau pada saat kondisi stres, cemas, gelisah, marah, sulit
tidur, dan lain sebagainya. Sesungguhnya ke- tenangan yang mereka peroleh dari menghisap
rokok berasal dari nikotin yang merangsang otak untuk memproduksi dopamin, yaitu se- buah
senyawa yang membuat seorang perokok mendapatkan efek relaksasi dan rasa senang.
Dopamin inilah yang mengakibatkan proses kecanduan pada perokok.
Tidak semua perokok yang memiliki persepsi positif terhadap alasan berhenti mer- okok
tersebut dapat berhasil berhenti merokok dengan mudah. Demikian juga dengan perokok yang
persepsinya negatif, sebab berdasarkan informasi dan pengalaman ia belum mengeta- hui
pentingnya berhenti merokok. Meskipun para perokok megetahui pentingnya berhenti merokok
namun bila tanpa diikuti dengan niat dan tekad yang kuat, maka persepsi tersebut tidak dapat
untuk memprediksi keberhasilan berhenti merokok.
Berdasarkan hasil analisis uji statistik chi
square diperoleh nilai p = 0,001 < 0,05 dan di- lanjutkan dengan uji regresi logistik diperoleh
nilai p = 0,000 sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan antara niat berhenti merokok dengan
keberhasilan berhenti merokok pada mahasiswa FIK UMS dengan tingkat keera- tan sangat
lemah. Sedangkan besar nilai OR = 14,389 maka disimpulkan bahwa niat kuat ber- henti
merokok secara total memiliki peluang untuk berhasil berhenti merokok sebesar 14,4 kali lebih
mudah dibandingkan dengan pe- rokok yang hanya berniat mengurangi jumlah rokok yang
dikonsumsi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wismanto dan Sarwo (2006), yang menyebutkan
adanya hasil korelasi negatif dan signifikan antara variabel niat untuk berhenti merokok dengan
perilaku merokok. Semakin kuat niat untuk menghentikan perilaku me- rokok maka semakin
lemah perilaku merokok, demikian pula sebaliknya.
Hasil penelitian ini juga sejalan de- ngan penelitian yang menunjukkan bahwa
keberhasilan seseorang dalam usahanya untuk tidak merokok ditentukan oleh sejauh mana
niatnya untuk berhenti merokok. Niat yang ko- koh untuk berhenti merokok secara total akan
menguatkan perokok untuk mengontrol pe- rilakunya dalam kondisi apapun pada saat akan
melakukan aktivitas merokok. Lain halnya dengan yang hanya berniat untuk mengu- rangi
jumlah batang rokok yang dikonsumsi. Misalnya, yang biasanya menghisap 10 batang rokok per
hari maka kini menjadi 8 batang rokok per hari, dan semakin hari semakin berkurang jumlah
rokoknya. Dengan kata lain ia hanya mengurangi asupan nikotin secara bertahap dari waktu ke
waktu. Sedangkan sebe- lumnya sudah dijelaskan bahwa yang membuat seseorang sulit berhenti
merokok adalah faktor nikotin. Bila nikotin masih terkandung dalam tubuh dan belum lepas
secara total, maka ke- mungkinan merokok lagi sewaktu-sewaktu bisa terjadi. Terlebih pada saat
timbul kondisi- kondisi yang mendukung ia untuk merokok, seperti sedang stres, marah, cemas,
gelisah atau lain sebagainya, maka sisa nikotin dalam tubuh akan bereaksi hingga dapat memicu
ketagi- han merokok. Sehingga orang akan mencoba kembali menghisap rokok dan kebisaan
me- rokoknya akan terulang terus-menerus. De- ngan demikian, upayanya untuk berhenti me-

8
rokok telah gagal. Oleh karena itu, keberhasilan berhenti merokok dapat diprediksi melalui niat
seseorang sebelum memulai berhenti merokok. Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
hal yang membuat remaja enggan atau kesulitan berhenti merokok karena faktor ke-
tergantungan dengan zat kimia dan faktor ke- biasaan sosial. Usaha untuk berhenti merokok
akan sia-sia apabila tidak didasari dengan niat yang kuat. Sedangkan niat untuk berhenti mer-
okok itu sendiri masih dipengaruhi oleh faktor dukungan sosial untuk menghentikan perilaku
merokok. Apabila lingkungan sosialnya me- nolak dan tidak senang terhadap rokok maka
individu akan merasa mampu merealisasikan niatnya untuk berhenti merokok semakin kuat.
Sebaliknya, jika lingkungannya sesama perokok maka bagi perokok yang berencana berhenti
merokok supaya memberitahukan kepada ling- kungan sosialnya, terutama orang terdekat yai-
tu orang tua dan teman-teman, sehingga mere- ka nantinya akan mendukung dan menghargai
usaha perokok tersebut. Namun jika lingku- ngan sosial di sekitarnya tidak tahu maka mere- ka
akan merokok di hadapannya. Hal ini akan membuat perokok terpengaruh untuk terus merokok
dan niatnya untuk berhenti merokok menjadi tertunda atau tidak sama sekali. Oleh karena itu,
langkah terbaik bagi perokok yang ingin menghentikan kebiasaan merokoknya ialah memiliki
niat berhenti merokok secara total. Dengan demikian, penetuan niat berhen- ti merokok dapat
untuk mempredisksi peluang
keberhasilan berhenti merokok.
Berdasarkan hasil analisis uji statistik chi square, didapatkan nilai p = 0,706 > 0,05 se-
hingga pada penelitian ini tidak ada hubungan antara upaya berhenti merokok dengan keber-
hasilan berhenti merokok pada mahasiswa FIK UMS. Maka tidak ada perbedaan yang berarti
dalam upaya yang dilakukan untuk berhenti merokok antara mahasiswa yang tidak berhasil
berhenti merokok dengan yang telah berhasil berhenti merokok, atau biasa disebut mantan
perokok.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pe- nelitian Fawzani dan Tritnawati (2005), yang
menyimpulkan bahwa pemilihan berbagai metode upaya berhenti merokok tidak dapat
memprediksi keberhasilan berhenti merokok bila tanpa diikuti faktor yang lain. Misalnya
faktor niat, apabila tidak ada keinginan untuk berhenti merokok pada diri perokok, maka me-
tode tersebut tidak akan berhasil. Sebaliknya, ketika seseorang berkeinginan untuk berhenti
merokok, maka tidak cukup hanya dengan membulatkan tekad dan melawan keinginan merokok
saja, melainkan ada juga upaya yang harus dilakukan untuk berhenti merokok.
Menurut Jacken dalam Syafie (2009), ada dua metode yang dikembangkan para ahli
dalam dunia rokok untuk menghentikan ke- canduan terhadap rokok, yakni metode yang
mengandalkan perubahan perilaku dan me- tode yang mengandalkan terapi obat-obatan. Peneliti
mengkelompokan kedua metode terse- but menjadi empat kategori, yaitu berdasarkan perilaku,
bahan dan alat bantu, motivator, dan konselor. Hasilnya, berbagai upaya berhenti merokok yang
sudah dilakukan oleh maha- siswa yang telah berhasil berhenti merokok tidak berbeda jauh
dengan mahasiswa yang tidak berhasil berhenti meorkok. Hal ini karena dipengaruhi oleh niat
awal sebelum mahasiswa memulai berhenti merokok.
Selain niat, pikiran bawah sadar ikut berpengaruh pada keberhasilan metode yang
dilakukan sebagai upaya berhenti merokok. Pikiran bawah sadar pengaruhnya 9 kali lebih kuat
dari pikiran sadar. Jadi perokok yang me- ngandalkan kekuatan otak bahwa dirinya saat itu juga
harus berhenti merokok, maka ke- mungkinan besar upayanya untuk mengehenti- kan kebiasaan
merokoknya akan berhasil. Oleh karena itu, seberapa besar upaya seseorang un- tuk berhenti
merokok bila tanpa diikuti dengan faktor lainnya, maka tidak dapat untuk mem- prediksi
keberhasilan berhenti merokok. Fak- tor lain tersebut menurut hasil penelitian Syafie (2009)
adalah, tergantung pada penyebab awal merokok, rentang waktu menjadi perokok, dosis rokok
yang dihisap, dan kuatnya gejolak yang dialami.

Penutup

Keberhasilan berhenti merokok pada mahasiswa dipengaruhi oleh faktor frekuensi


merokok dan faktor niat berhenti merokok. Se- mentara faktor jumlah rokok, lama merokok,

9
persepsi alasan berhenti merokok, dan upaya berhenti merokok tidak berhubungan dengan
keberhasilan berhenti merokok.
Semakin banyak jumlah nikotin yang menumpuk didalam tubuh perokok menyebab- kan
rasa ketagihan dan rasa menyenangkan sehingga ingin merokok lebih banyak lagi. Di- samping
itu niat berhenti merokok yang besar, yang ditunjukkan dengan keinginan total ber- henti
merokok akan sangat menentukan keber- hasilan untuk berhenti merokok.

Daftar Pustaka

Abdullah, A.S.; Stillman, F.A.; Yang, L.; Luo, H.; Zhang, Z.; & Samet, J.M. 2014. Tobacco Use and Smoking
Cessation Practices among Physicians in Developing Countries: A Lite- rature Review (1987–
2010). Int. J. Environ. Res. Public Health, 11(1): 429-455.

Azwar, E. 2007. Determinan perilaku merokok pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Muhammadiyah Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis. Yogyakar- ta: Pasca
Sarjana Fakultas Kesehatan Masya- rakat Universitas Gadjah Mada.

Boardman, T. 2005. Self-efficacy and motivation to quit during participation in a smoking cessa- tion
program. International Journal of Behav- ioral Medicine, 12 (4): 266-272

Chaudhuri, R. 2006. Effects of Smoking Cessation on Lung Function and Airway Inflammation in
Smokers with Asthma. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 174 (2): 127-
133

Cokkinides, V.E. 2005. Under-Use of Smoking-Ces- sation Treatments Results from the National Health
Interview Survey, 2000. American Journal of Preventive Medicine, 28 (1): 119-

122

Fawzani, N. & Triratnawati, A. 2005. Terapi berhenti merokok (studi kasus perokok berat). Ma- kara,
Kesehatan. 9(1): 15-24

Ferketich, A.K. 2008. Physician-Delivered Advice to Quit Smoking Among Italian Smokers. American
Journal of Preventive Medicine, 35 (1): 60-63

McClure, J.B. 2008. Interest in an Online Smoking Cessation Program and Effective Recruit- ment
Strategies: Results From Project Quit. J Med Internet Res, 8 (3): e14

Rise, J. 2005. Predicting The Intention to Quit Smok- ing and Quitting Behaviour: Extending The Theory
of Planned Behaviour. British Journal of Health Psychology, 13(2): 291-310

Rochmayani, D.S. 2008. Faktor-faktor yang Ber- hubungan dengan kebiasaan Merokok Re-

maja (Studi di Kelurahan Ngaliyan, Kota Semarang Tahun 2007). Jurnal Kemas, 3(2):

126-138

Stefan, K. & Minker, P. 2014. Smoke-Free Laws And Direct Democracy Initiatives On Smoking Bans In
Germany: A Systematic Review And Quantitative Assessment. Int J Environ Res Public Health,
11(1): 685-700

Susanna, D., Hartono, B., & Fauzan, H. 2003. Penen- tuan Kadar Nikotin dalam Asap Rokok. Ma- kara,
Kesehatan. 7(2)

Syafie R. dkk. 2009. Stop smoking : studi kualitatif terhadap pengalaman mantan pecandu rokok dalam
menghentikan kebiasaannya. Sema- rang: Universitas Diponegoro

10
Wismanto, Y.B., & Sarwo, Y.B. 2006. Perilaku mer- okok pada karyawan Sekretariat Daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Laporan penelitian hibah bersaing angkatan XIVI/2 Tahap III
tahun 2006. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata

11
PENGARUH MINUMAN BERALKOHOL TERHADAP JUMLAH LAPISAN
SEL SPERMATOGENIK
DAN BERAT VESIKULA SEMINALIS MENCIT

Christianto Adhy Nugroho


Program Studi Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan


Alam Universitas Widya Mandala Madiun

ABSTRACT

The aim of the study is to find out the effect of oral intake of beverage on
number of spermatogenic cell layers and weight of seminal vesicle in mice.

This research applies Complete Ramdomized Design of four groups and


three replications to each. The treatment applied for those groups is: 0
ml/day/mice; 0,1 ml/day/mice; 0,2 ml/day/mice and 0,3 ml/day/mice. The
parameters make use of number of spermatogenic cell layers and weight of
seminal vesicle.

The result shows that the number of spermatogenic cell layers and weight
of seminal vesicle decreases.

Keywords: beverage, spermatogenic cell layers, seminal vesicle.

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Menurut catatan arkeologi, minuman beralkohol sudah dikenal manusia kurang

lebih 500 tahun yang lalu. Minuman beralkohol merupakan bagian dari kehidupan

manusia sehari-hari pada kebudayaan tertentu, sehingga istilah drinking mempunyai arti

minum minuman beralkohol atau minuman keras. Di Indonesia dikenal beberapa

minuman lokal yang mengandung alkohol seperti brem cair, tuak, saguer, dan ciu

12
(Anonim, 2002).

13
Seperti sekarang ini sudah beragam minuman beralkohol yang dikonsumsi manusia.

Masing-masing negara memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam mengkonsumsi alkohol,

baik jumlah keseluruhan minuman beralkohol yang dikonsumsi, jenis minuman, serta situasi di

mana minuman tersebut dikonsumsi (Panjaitan, 2003).

Alkohol yang dikonsumsi akan diabsorbsi, termasuk yang melalui saluran

pernapasan. Penyerapan terjadi setelah alkohol masuk ke dalam lambung dan diserap di

usus kecil. Hanya 5 - 15% yang diekskresikan secara langsung melalui paru-paru,

keringat, dan urin. Alkohol mengalami metabolisme di dalam ginjal, paru-paru, dan otot

(Panjaitan, 2003). Alkohol yang telah diabsorbsi akan masuk ke dalam darah, selanjutnya

alkohol akan diedarkan ke seluruh tubuh dan akhirnya mencapai jaringan dan sel

(Anonim, 2002).

Gejala keracunan alkohol sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan yaitu

ataxia (sempoyongan) sampai berat yaitu koma (Darmono, 2000). Etanol bersifat

menekan sistem saraf pusat secara tidak teratur tergantung jumlah yang dicerna

(Panjaitan, 2003). Penelitian pada mencit dengan menggunakan alkohol 5 - 6%

menyebabkan penurunan kadar testosteron. Etanol juga dapat menyebabkan hambatan

dalam biosintesis asam nukleat dan nukleosida pada testis, yang selanjutnya akan

menimbulkan gangguan pada proses spermatogenesis (Ress, 2005). Gejala subjektif

termasuk peningkatan rasa percaya diri dan daya penglihatan menurun. Timbulnya

keadaan yang merugikan pada pengkonsumsi alkohol diakibatkan oleh alkohol itu sendiri

atau metabolitnya.
Etanol mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung

(Panjaitan, 2003).

Minuman beralkohol banyak menimbulkan masalah, baik masalah sosial maupun

masalah kesehatan. Masalah sosial antara lain ketergantungan dan juga penggunaan untuk

mabuk-mabukan yang mendorong pada perbuatan kriminal dan lain-lain (Leavell, 1958).

Penggunaan etanol dalam minuman beralkohol dan penyalahgunaannya sudah

dikenal luas. Karena jumlah pengkonsumsi minuman tersebut amat banyak, maka tidak

mengherankan terjadi kerugian yang ditimbulkan, terutama dalam hal kesehatan. Hal

tersebut mendorong perlunya dilakukan penelitian mengenai pengaruh buruk minuman

beralkohol, terutama pada kelenjar vesikula seminalis dan jumlah lapisan sel

spermatogenik di dalam testis.

2. Permasalahan

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat diajukan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah minuman beralkohol mempengaruhi berat kelenjar vesikula

seminalis mencit?

2. Apakah minuman beralkohol mempengaruhi jumlah lapisan sel

spermatogenik mencit?
3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dan tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk menentukan berat kelenjar vesikula seminalis mencit.

2. Untuk menentukan jumlah lapisan sel spermatogenik mencit.

4. Hipotesis

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, dapat dikemukakan suatu hipotesis

yaitu:

1. Minuman beralkohol menyebabkan penurunan berat kelenjar vesikula

seminalis mencit.

2. Minuman beralkohol menyebabkan pengurangan jumlah lapisan sel

spermatogenik mencit.

B. Tinjauan Pustaka

1. Komposisi Minuman Beralkohol

Kandungan alkohol pada berbagai minuman keras berbeda-beda. Bir

mengandung 3 - 5%, anggur 10 - 14%, sherry, port mustakel berkadar alkhol 20%,

sedangkan wisky, gin, rum, vodka, dan brendy berkadar alkohol 40 - 45% (Anonim,

2002).

Nama kimia alkohol yang terdapat dalam minuman beralkohol adalah etil alkohol

atau etanol (Anonim, 2002). Minuman beralkohol juga mengandung senyawa lain, seperti

asam organik. Asam organik yang terdapat dalam minuman beralkohol adalah asam

asetat, asam valerat, asam propionat. Selain asam organik


juga terdapat fenol, aldehid, asam keto. Untuk menghasilkan citarasa serta aroma yang

sedap seringkali ditambahkan flavour serta pipermint (Darby, 1979).

2. Metabolisme Alkohol

Alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami serangkaian proses

biokimia. Menurut Zakhari (2006), metabolisme alkohol melibatkan 3 jalur, yaitu:

a. Jalur Sitosol/Lintasan Alkohol Dehidrogenase

Jalur ini adalah proses oksidasi dengan melibatkan enzim alkohol dehidrogenase

(ADH). Proses oksidasi dengan menggunakan ADH terutama terjadi di dalam hepar.

Metabolisme alkohol oleh ADH akan menghasilkan asetaldehid. Asetaldehid merupakan

produk yang sangat reaktif dan sangat beracun sehingga menyebabkan kerusakan

beberapa jaringan atau sel.

b. Jalur Peroksisom/Sistem Katalase

Sistem ini berlangsung di dalam peroksisom dengan menggunakan katalase. Pada

jalur ini diperlukan H2O2. Sistem ini diperlukan ketika kadar alkohol di dalam tubuh

meningkat.

c. Jalur Mikrosom

Jalur ini juga sering disebut dengan sistem SOEM (Sistem Oksidasi Etanol

Mikrosom). Sistem ini melibatkan enzim sitokrom P 450 yang berada dalam mikrosom.

Oleh ketiga jalur tersebut alkohol akan diubah menjadi asetaldehid, kemudian

akan diubah menjadi asetat oleh aldehid dehidrogenase di dalam mitokondria. Alkohol

yang masuk ke saluran pencernaan akan diabsorbsi melalui


dinding gastrointestinal, tetapi lokasi yang efisien untuk terjadi absorbsi adalah di dalam

usus kecil. Setelah diabsorbsi, alkohol akan didistribusikan ke semua jaringan dan cairan

tubuh serta cairan jaringan. Sekitar 90 - 98% alkohol yang diabsorbsi dalam tubuh akan

mengalami oksidasi dengan enzim, sedangkan 2 - 10%nya diekskresikan tanpa

mengalami perubahan, baik melalui paru-paru maupun ginjal. Sebagian kecil akan

dikeluarkan melalui keringat, air mata, empedu, cairan lambung, dan air ludah (Darmono,

2000).

3. Efek Alkohol pada Sistem Reproduksi Jantan

Pada sistem reproduksi, alkohol dapat mengubah keseimbangan hormon

reproduksi pada individu jantan dan betina. Pada individu jantan alkohol menyebabkan

kerusakan jaringan testikuler dan kegagalan sintesis testosteron dan produksi

spermatozoa. Penelitian pada laki-laki yang diberi alkohol 220 ml setiap hari selama 4

minggu, akan terjadi penurunan jumlah testosteron setelah 5 hari dari pemberian terakhir.

Bila pemberian tersebut dilanjutkan akan menyebabkan feminisasi pada laki-laki, seperti

pembesaran kelenjar susu. Alkohol juga menyebabkan perubahan struktur dan gerak tidak

normal spermatozoa akibat penghambatan metabolisme vitamin A (Anonim, 2005).

Penggunaan alkohol menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang berperan

dalam sintesis hormon kelamin jantan. Alkohol dehidrogenase yang berada pada testis,

dalam keadaan normal mampu mengubah retinol menjadi retinal, suatu senyawa yang

penting untuk spermatogenesis. Alkohol dapat menghambat aktivitas alkohol

dehidrogenase untuk membentuk retinal, sehingga


proses spermatogenesis terganggu. Alkohol juga menyebabkan kegagalan hipotalamus

dan hipofisis untuk mensekresikan GnRH (Gonadotrophine Releasing Hormone), FSH

(Follicle Stimulating Hormone), dan LH (Luteinizing Hormone) (Wright, 1991).

Penurunan GnRH akan menurunkan sekresi LH dan FSH. Fungsi FSH sebagai

pemelihara proses spermatogenesis melalui sel Sertoli dan LH pada sel Leydig baik

dalam pertumbuhan dan fungsinya dalam mensekresi hormon testosteron ikut terganggu

karena pengaruh alkohol. Kelambatan pubertas, atrofi testis, disfungsi ereksi,

ginekomastia, gangguan spermatogenesis, hingga infertilitas juga dapat terjadi karena

pengaruh negatif minuman beralkohol (Ngadji, 2007). Alkohol juga dapat menurunkan

berat kelenjar prostat dan kelenjar vesikula seminalis pada manusia dan binatang (Rees,

2005).

C. Metode Penelitian

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2007. Penelitian

dilakukan di Laboratorium Program Studi Biologi, Universitas Widya Mandala Madiun

sebagai tempat pemeliharaan, perlakuan, pengukuran berat vesikula seminalis dan

penghitungan jumlah lapisan sel spermatogenik mencit. Pembuatan sediaan mikroanatomi

testis dilakukan di Laboratorium Anatomi Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah

Mada.
2. Bahan Penelitian

a. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 ekor mencit jantan,

strain Winstar dengan berat antara 25 – 30 gram, umur 3 bulan. Hewan uji tersebut

diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta.

b. Bahan Perlakuan

Bahan yang digunakan untuk perlakuan mencit adalah minuman beralkohol merk

X, dengan kadar alkohol 40%.

c. Bahan Kimia

Bahan kimia yang dipergunakan dalam penelitian ini, berupa bahan kimia yang

digunakan untuk pembuatan sediaan mikroanatomi testis. Bahan kimia tersebut adalah:

larutan Boiun, formalin 10%, alkohol konsentrasi 10% - alkohol absolut, toluol, paraffin,

xylol, bahan pewarna preparat Hematoxylin-Eosin, Canada balsam, aquadest, chloroform,

dan albumin meyer

3. Alat Penelitian

Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Peralatan untuk pemeliharaan mencit, berupa kandang dan tempat

minum mencit.
b. Peralatan bedah yang dipergunakan untuk mengambil testis dan

vesikula seminalis, berupa bak paraffin, pisau bedah, pinset, dan

gunting bedah.

c. Peralatan untuk pembuatan sediaan mikroanatomi testis, berupa

mikrotom, oven, scalpel, holder, spatula, hotplate, staining jar, tusuk

gigi

d. Timbangan elektrik digital untuk mengukur berat kelenjar vesikula

seminalis.

e. Jarum kanul untuk memasukkan minuman beralkohol ke dalam

tenggorokan mencit.

4. Perlakuan Hewan Uji

Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan 4

perlakuan, masing-masing 3 ulangan. Selanjutnya secara acak mencit dibagi menjadi 4

kelompok dengan masing-masing 3 ekor. Selanjutnya tiap kelompok diberi minuman

beralkohol secara oral. Adapun pembagian kelompok dan dosis perlakuan minuman

beralkohol, sebagai berikut:

P0 (Kontrol) : 0 ml/hari/ekor P1

: 0,1 ml/hari/ekor

P2 : 0,2 ml/hari/ekor

P3 : 0,3 ml/hari/ekor

Perlakuan hewan uji dilakukan selama 30 hari berturut-turut.


5. Pengukuran Berat Kelenjar Vesikula Seminalis

Setelah selesai perlakuan, hewan uji dibedah dan selanjutnya diambil vesikula

seminalis dan testisnya. Kelenjar vesikula seminalis ditimbang dengan menggunakan

timbangan elektrik digital. Testis mencit selanjutnya difiksasi untuk pembuatan sediaan

mikroanatomi.

6. Penghitungan Jumlah Lapisan Sel Spermatogenik

Sediaan mikroanatomi testis dilihat dengan menggunakan mikroskop pada

perbesaran kuat. Selanjutnya dihitung jumlah lapisan sel spermatogeniknya, mulai dari

spermatogonium sampai late spermatid.

7. Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data kuantitatif, yaitu: jumlah lapisan sel spermatogenik

dan berat kelenjar vesikula seminalis. Data yang diperoleh dianalisis dengan mengunakan

ANOVA (Analysis of Variance) yang kemudian dilanjutkan dengan uji LSD (Least

Significans Difference) pada taraf uji 5%, untuk menunjukkan letak perbedaan pada tiap

perlakuan.

D. Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengamati pengaruh minuman beralkohol

terhadap jumlah lapisan sel spermatogenik dan berat vesikula seminalis. Minuman

beralkohol ternyata menimbulkan pengaruh buruk terhadap sel spermatogenik dan

vesikula seminalis.
1. Jumlah Lapisan Sel Spermatogenik

Hasil penelitian pengaruh minuman beralkohol terhadap jumlah lapisan sel

spermatogenik, ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah lapisan sel spermatogenik mencit setelah


pemberian minuman beralkohol

Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 7 7 6 5
2 8 7 5 5
3 8 7 6 5
Rerata 7,6a 7 a 5,6b 5b
Ket: angka yang diakhiri dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
ada perbedaan secara signifikan pada taraf uji α = 5%.

P0 : Kontrol (0 ml/hari/ekor) P1 :
0,1 ml/hari/ekor.
P2 : 0,2 ml/hari/ekor.
P3 : 0,3 ml/hari/ekor.

Rerata jumlah lapisan sel spermatogenik pada kontrol 7,6 lapisan, pada P1 7

lapisan, pada P2 ada 5,6 lapisan dan pada P3 ada 5 lapisan sel spermatogenik. Jumlah

lapisan sel spermatogenik mulai dari kontrol sampai P3 menunjukkan adanya penurunan

jumlah lapisan sel spermatogenik.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa semakin besar dosis yang diberikan, maka semakin

menurun jumlah lapisan sel spermatogenik hewan uji. Uji statistik terhadap jumlah

lapisan sel spermatogenik antara kontrol dengan P1 menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa alkohol yang masuk ke dalam

tubuh hewan uji dapat dimetabolismekan. Kemampuan tubuh untuk memetabolisme

alkohol yang masuk menyebabkan


tidak ada penumpukan alkohol di dalam tubuh, sehingga tidak terjadi pengaruh buruk

pada hewan uji.

Uji statistik jumlah lapisan sel spermatogenik antara kontrol dengan P1 tidak ada

perbedaan yang signifikan, sedangkan antara kontrol dengan P2 maupun P3 menunjukkan

adanya perbedaan yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa alkohol menyebabkan

penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik. Besarnya dosis alkohol yang masuk tidak

dapat dimetabolismekan seluruhnya oleh hewan uji, sehingga terjadi penumpukan alkohol

di dalam tubuh. Menurut Wright (1991), alkohol menyebabkan kegagalan sintesis retinal

di dalam testis. Kegagalan sintesis retinal ini akan menyebabkan gangguan

spermatogenesis, karena retinal merupakan senyawa yang esensial untuk berlangsungnya

spermatogenesis. Pada akhirnya hal tersebut akan menyebabkan penurunan jumlah

lapisan sel spermatogenik hewan uji. Sedangkan Rees (2005) menyebutkan bahwa

alkohol akan dapat menyebabkan gangguan sintesis dan sekresi GnRH hipotalamus.

Kegagalan ini akan menyebabkan kegagalan hipofisis untuk melakukan sintesis dan

sekresi FSH maupun LH. Selanjutkan akan diikuti oleh kegagalan sel Leydig untuk

mensintesis testosteron dan sel Sertoli tidak mampu melakukan fungsinya sebagai nurse

cell. Selain menimbulkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis, alkohol juga

bertindak sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan untuk

mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 α-dihidrotestosteron.

Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan proses spermatogenesis tidak

terjadi, yang pada akhirnya akan


menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Hal ini akan menyebabkan

penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik.

2. Berat Vesikula Seminalis

Hasil penelitian mengenai pengaruh minuman beralkohol terhadap berat vesikula

seminalis mencit tampak pada Tabel 2.

Tabel 2. Berat vesikula seminalis mencit (g) setelah pemberian


minuman beralkohol

Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
1 0,3 0,2 0,1 0,1
2 0,3 0,2 0,2 0,1
3 0,2 0,3 0,2 0,2
Rerata 0,267a 0,233a 0,167b 0,133b
Ket: angka yang diakhiri dengan huruf yang sama menunjukkan
tidak ada perbedaan secara signifikan pada taraf uji α = 5%.

P0 : Kontrol (0 ml/hari/ekor) P1 :
0,1 ml/hari/ekor.
P2 : 0,2 ml/hari/ekor. P3
: 0,3 ml/hari/ekor.

Rerata berat vesikula seminalis pada kontrol 0,267 gram, pada P1 sebesar 0,233

gram, P2 sebesar 0,167 gram, sedangkan pada P3 sebesar 0,133 gram. Tampak bahwa

berat vesikula seminalis mulai dari kontrol sampai P3 semakin berkurang.

Semakin tinggi dosis alkohol yang diberikan semakin menurunkan berat vesikula

seminalis. Berat vesikula seminalis antara kontrol dengan P1 berdasarkan uji Anova

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa

hewan percobaan masih mampu memetabolisme alkohol yang


masuk, sehingga alkohol belum menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan vesikula

seminalis. Meskipun secara statistik penurunan berat vesikula seminalis pada P1 tidak

berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan kontrol, akan tetapi pada

kenyataannya perlakuan dengan menggunakan dosis 0,1 ml/hari/ ekor mampu

menurunkan berat vesikula seminalis.

Berat vesikula seminalis antara kontrol dengan P2 maupun P3 berdasarkan uji

Anova dan LSD menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa

secara statistik alkohol mampu mempengaruhi berat vesikula seminalis. Hal ini

disebabkan dosis alkohol yang masuk ke dalam tubuh hewan uji semakin tinggi,

sedangkan kemampuan untuk melakukan metabolisme alkohol terbatas, sehingga

menyebabkan penumpukan alkohol di dalam tubuh hewan uji. Dengan demikian alkohol

yang masuk ke dalam tubuh mencit tidak semuanya mampu dimetabolismekan oleh

mencit. Ketidakmampuan melakukan metabolisme ini menyebabkan penumpukan

alkohol, yang selanjutnya menimbulkan pengaruh buruk pada vesikula seminalis.

Menurut Rees (2005), alkohol dapat menurunkan berat kelenjar prostat dan kelenjar

vesikula seminalis pada manusia dan binatang.

Alkohol menyebabkan kegagalan hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresikan

GnRH, FSH dan LH (Wright, 1991). Ketidakmampuan sintesis dan sekresi GnRH oleh

hipotalamus menyebabkan kegagalan stimulasi terhadap hipofisis. Selanjutnya hipofisis

mengalami kegagalan dalam sintesis dan sekresi FSH maupun LH. Dengan kegagalan

sintesis dan sekresi FSH maupun LH menyebabkan kegagalan sel Leydig melakukan

sintesis testosteron. Secara biologis testosteron mempunyai efek memacu pertumbuhan

dan perkembangan
serta aktivitas fungsional organ organ asesoris kelamin jantan, vas deferen, penis,

vesikula seminalis, skrotum, untuk memelihara viabilitas spermatozoa dalam epididimis,

memelihara ciri kelamin sekunder individu jantan (Martini, 1998). Mengingat

pertumbuhan dan perkembangan vesikula seminalis dipengaruhi oleh hormon testosteron,

maka adanya kegagalan pada sintesis testosteron menyebabkan gangguan pada proses

pertumbuhan dan perkembangan vesikula seminalis. Pada akhirnya menyebabkan

penurunan berat vesikula seminalis.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Dari penelitian tentang pengaruh minuman beralkohol terhadap jumlah lapisan

sel spermatogenik dan berat vesikula seminalis mencit dapat disimpulkan bahwa:

a. Minuman beralkohol dapat menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel

spermatogenik mencit.

b. Minuman beralkohol menyebabkan penurunan berat vesikula seminalis

mencit.

2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan parameter organ reproduksi

yang lain dan sebaiknya kisaran dosis alkohol diperkecil.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Pengaruh Alkohol Terhadap Metabolisme.

http://www.geocities.com/jodi_i 2002/napza. Diakses 15 September 2006 Anonim. 2005. Alcohol

Metabolism. Narcocon of Oklahoma, Inc.

Darby, W.J. 1979. The Nutrient Contribution of Fermented Beverages. Castineau and William J. Darby
Academic Press, New York.

Darmono. 2000. Toksisitas Alkohol. http://www.geocities.com/kuliah


farm/farmasi_forensik/alkohol.doc. Diakses 15 September 2006

Leavell, H.R. 1958. Preventive Medicine for The Doctor in his Community. Mc Graw Hill Book Company
Inc, New York.

Martini, F.H. 1998. Fundamental of Anatomy and Physiology. Appleton & Lange Prentice Hall
International Inc. New Jersey.

Ngadji, Antonius Oktavian Ibo Hambra Christianto. 2007. Pengaruh Pemberian Etanol Peroral
Terhadap Gambaran Histologik Sel-Sel Spermatogenik dan Sel Leydig Pada Testis Tikus Putih.
JIPTUNAIR. Surabaya.

Panjaitan, Ruqiah Ganda Putri. 2003. Bahaya Gagal Hamil Yang Diakibat Minuman Beralkohol.
Program Pasca Sarjana IPB Bogor.

Rees, T.J. 2005. The Toxicology of Male Reproduction. Literature Review in Applied Toxicology.
Portsmouth University

Wright, Harlan. 1991. Effect of Alcohol on the Male Reproductive System.

Alcohol Health & Research World, Spring.

Zakhari Samir. 2006. Overview: How is Alkohol Metabolized by the Body? National Institute on
Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA) 5635, Fisher Lane.MSC 9304 Bethesda.

185
FAKTOR RISIKO KEJADIAN OBESITAS PADA REMAJA

Abdul Salam
Konsentrasi Gizi Program Studi Kesmas PPS Unhas, Makassar

ABSTRAK

Obesity or ordinary of we know as fatness is a problem that is enough


apprehending among adolescent. Finite body overweight some kilograms can generate
health risk which cannot be trifled. Man and woman which overweight or obese has
risk 2-3 times is hit by disease kar- diovaskuler. At adolescent has risk more than 2
times more dies because coroner heart sickness during adult. Derivable fatness from
generation before all at the next generation in a family. Overcomes obesity must
become priority, including the prevention since child. Because chil- dren experiencing
obesity, tends to brought finite of adult - especially if accompanied with disparity
hormonal. This article will analyse some result of researchs to know case risk factors
of obesity at adolescent that is the existing level of its the increasing prevalence.

Key Words : Obesity, Adolescent, Risk.

PENDAHULUAN Sebanyak 18% remaja dan 25% o- rang dewasa


di Indonesia mengalami obesitas.16
Peningkatan kemakmuran di Indonesia juga Kelebihan berat badan hingga beberapa
diikuti oleh perubahan gaya hidup dan kebiasaan kilo-
makan. Pola makan, terutama di kota besar, gram bisa menimbulkan risiko kesehatan yang
bergeser dari pola makan tradisional ke pola tak bi- sa disepelekan. Kenyataannya, lingkar
makan barat yang dapat menimbulkan mutu gizi pinggang para remaja Australia ini
yang tidak seimbang14. Perubahan pola makan meningkatkan dugaan adanya risiko kesehatan
dan aktifitas fisik ini ber- akibat semakin yang akan muncul. "Penemuan ini
banyaknya penduduk golongan ter- tentu mengingatkan kita agar sadar terhadap adanya
mengalami masalah gizi lebih berupa kegemu- anca- man terhadap kesehatan masyaraka.21
kan dan obesitas.2
Obesitas atau yang biasa kita kenal sebagai
ke- gemukan merupakan suatu masalah yang
cukup me- risaukan di kalangan remaja. Pada
remaja putri, ke- gemukan menjadi
permasalahan yang cukup berat, karena
keinginan untuk tampil sempurna yang se-
ringkali diartikan dengan memiliki tubuh
ramping dan proporsional, merupakan idaman
bagi mereka12
Kasus obesitas anak meningkat pesat di
seluruh dunia. Hanya dalam 2 dekade,
prevalensi kegemukan menjadi 2 kali lipat pada
anak-anak Amerika usia 6- 11 tahun, bahkan 3
kali lipat pada remaja. Survei pe- meriksaan
kesehatan dan nutrisi nasional tahunan oleh
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(CDC) menemukan bahwa 1 diantara 3 anak
Ameri- ka mengalami kegemukan atau berada
dalam risiko menjadi gemuk. Totalnya sekitar
25 juta anak dan re- maja Amerika mengalami
kegemukan atau mendeka- ti kegemukan.24
186
Artikel ini akan menganalisis beberapa
hasil pe- nelitian untuk mengetahui faktor-
faktor risiko keja- dian obesitas pada remaja
yang saat ini tingkat pre- valensinya terus
meningkat.

Kriteria Obesitas Serta Dampaknya Bagi


Kese- hatan
Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat
bad- an menjadi gemuk (obese) yang
disebabkan penum- pukan adipose
(adipocytes: jaringan lemak khusus yang
disimpan tubuh) secara berlebihan. Jadi obesi-
tas adalah keadaan dimana seseorang memiliki
berat badan yang lebih berat dibandingkan
berat idealnya yang disebabkan terjadinya
penumpukan lemak di tubuhnya.14
Obesitas (kegemukan) adalah keadaan
terdapat- nya timbunan lemak berlebihan
dalam tubuh. Secara klinik biasanya
dinyatakan dalam bentuk Indeks Ma- sa Tubuh
(IMT) > 30 kg/m2. Untuk orang Asia, kri- teria
obesitas apabila IMT > 25kg/m2.23 Wiardani
membagi jenis obesitas dalam dua tipe, yakni
obesi- tas overall yang dinilai berdasarkan
indeks massa tu- buh dan obesitas sentral yang
dinilai berdasarkan lingkar pingang. 5
Berbagai komplikasi obesitas lebih erat
hubu- ngannya dengan obesitas sentral, yang
penetapannya paling baik dengan mengukur
lingkar pinggang. Apa- bila lingkar pinggang >
90 cm pada pria dan > 80 cm pada wanita,
sudah termasuk obesitas sentral (untuk orang
Asia).23
Untuk mengukur kelebihan berat badan
dan obe- sitas adalah body mass index (BMI)19.
BMI berdasar- kan tinggi dan berat badan dan
digunakan untuk o- rang dewasa, anak-anak,
dan remaja. Kelebihan berat badan pada anak-
anak dan remaja berbeda pada orang dewasa.
Karena anak-anak masih dapat ber-

187
Jurnal MKMI, Vol 6 No.3, 2010

kembang dan anak laki-laki dan perempuan Seorang anak punya 40% kemungkinan
dewasa pada tingkatan yang berbeda.22 menga- lami kegemukan, bila salah satu
Para peneliti mendapatkan risiko untuk orangtuanya obesi- tas. Bila kedua orangtuanya
mende- rita DM baik pada pria maupun wanita kelebihan berat badan, maka kemungkinan
menjadi naik beberapa kali berhubungan seorang anak mengalami obesi- tas pun naik
dengan kenaikan IMT. Terdapat hubungan yang hingga 80%.9
kuat antara IMT de-ngan hipertensi. Wanita
yang obese memiliki risiko hiper- tensi 3 - 6 Kerusakan pada salah satu bagian otak
kali dibanding wanita dengan berat badan Sistem pengontrol yang mengatur perilaku
normal. Kelebihan berat badan juga ma- kan terletak pada suatu bagian otak yang
berhubungan de- ngan kematian (20-30%) disebut hi- potalamus, sebuah kumpulan inti sel
karena penyakit kardiovas- kuler. Pria dan dalam otak yang langsung berhubungan dengan
wanita yang overweight atau obese mempunyai bagian-bagian lain da- ri otak dan kelenjar
risiko 2-3 kali terkena penyakit kardio- dibawah otak. Hipotalamus me- ngandung lebih
vaskuler. Pada remaja berisiko lebih dari 2 kali banyak pembuluh darah dari daerah
lipat meninggal karena penyakit jantung
koroner pada ma- sa dewasa17. Obesitas juga
mengurangi kualitas hi- dup, seperti stroke,
artritis (radang sendi), batu empe- du, kesulitan
bernafas, masalah kulit, infertilitas, ma- salah
psikologis, mangkir kerja dan pemanfaatan sa-
rana kesehatan.23

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Obesi-


tas Pada Remaja
Menurut para ahli, didasarkan pada hasil
pene- litian, obesitas dapat dipengaruhi oleh
berbagai fak- tor. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah faktor genetik, disfungsi
salah satu bagian otak, pola makan yang
berlebih, kurang gerak/olahraga, emosi, dan
faktor lingkungan.23

Genetik
Kegemukan dapat diturunkan dari generasi
sebe- lumnya pada generasi berikutnya di
dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita
seringkali menjumpai orangtua yang gemuk
cenderung memiliki anak-anak yang gemuk
pula. Dalam hal ini nampaknya faktor genetik
telah ikut campur dalam menentukan jumlah
unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini
dimungkinkan karena pada saat ibu yang
obesitas sedang hamil ma- ka unsur sel lemak
yang berjumlah besar dan mele- bihi ukuran
normal, secara otomatis akan diturunkan
kepada sang bayi selama dalam kandungan.
Maka ti- dak heranlah bila bayi yang lahirpun
memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama
besar.
lain pada otak, sehingga lebih mudah membuat kegiatan olah raga menjadi sangat
dipengaruhi o- leh unsur kimiawi dari darah. sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya
Dua bagian hipotala- mus yang mempengaruhi olah raga se- cara tidak langsung akan
penyerapan makan yaitu hi- potalamus lateral mempengaruhi turunnya metabolisme basal
(HL) yang menggerakan nafsu ma- kan (awal tubuh orang tersebut. Jadi olahra- ga sangat
atau pusat makan); hipotalamus ventrome- dial penting dalam penurunan berat badan tidak saja
(HVM) yang bertugas merintangi nafsu makan karena dapat membakar kalori, melainkan juga
(pemberhentian atau pusat kenyang). Dari hasil karena dapat membantu mengatur berfungsinya
pene- litian didapatkan bahwa bila HL me- tabolis normal15
rusak/hancur maka individu menolak untuk
makan atau minum, dan a- kan mati kecuali
bila dipaksa diberi makan dan mi- num (diberi
infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi pada
bagian HVM maka seseorang akan menjadi ra-
kus dan kegemukan.

Pola Makan Berlebihan


Orang yang kegemukan lebih responsif
diban- ding dengan orang berberat badan
normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti
rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu
makan. Orang yang gemuk cen- derung makan
bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada
saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang
menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari
kegemukan jika sang individu tidak memiliki
kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk
mengurangi berat badan.13

Kurang Gerak/Olahraga
Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat
peka terhadap pengendalian berat tubuh.
Pengeluaran e- nergi tergantung dari dua faktor
: 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara
umum; 2) angka metabolisme basal atau
tingkat energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari
kedua faktor tersebut metabolisme basal
memiliki tanggung jawab dua pertiga dari
pengeluaran energi orang nor- mal.
Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi
satu pertiga pengeluaran energi seseorang
dengan berat normal, tapi bagi orang yang
memiliki kelebihan be- rat badan aktivitas fisik
memiliki peran yang sangat penting. Pada saat
berolahraga kalori terbakar, makin banyak
berolahraga maka semakin banyak kalori yang
hilang. Kalori secara tidak langsung mempe-
ngaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang
duduk bekerja seharian akan mengalami
penurunn metabo- lisme basal tubuhnya.
Kekurangan aktifitas gerak a- kan
menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas
Jurnal MKMI, Juli 2010, hal 185-190

Pengaruh Emosional Faktor lingkungan ternyata juga


Sebuah pandangan populer adalah bahwa mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk.
obe- sitas bermula dari masalah emosional yang Jika seseroang di- besarkan dalam lingkungan
tidak ter- atasi. Orang-orang gemuk haus akan yang menganggap ge- muk adalah simbol
cinta kasih, se- perti anak-anak makanan kemakmuran dan keindahan ma- ka orang
dianggap sebagai simbol kasih sayang ibu, atau tersebut akan cenderung untuk menjadi ge-
kelebihan makan adalah seba- gai subtitusi muk. Selama pandangan tersebut tidak
untuk pengganti kepuasan lain yang ti- dak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang
tercapai dalam kehidupannya. Walaupun yang obesitas tidak akan mengalami masalah-
penjela- san demikian cocok pada beberapa masalah psikologis sehubu- ngan dengan
kasus, namun se- bagian orang yang kelebihan kegemukan.
berat badan tidaklah le- bih terganggu secara
psikologis dibandingkan dengan orang yang Penanganan Obesitas
memiliki berat badan normal. Meski ba- nyak Obesitas merupakan hasil dari proses yang
pendapat yang mengatakan bahwa orang gemuk ber-
biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya
ketidak- bahagiaan batinnya lebih diakibatkan
sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut
karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh
kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga
orang gemuk cenderung malu dengan
penampilannya dan kesulitannya mengendali-
kan diri terutama dalam hal yang berhubungan
de- ngan perilaku makan.
Orang gemuk seringkali mengatakan
bahwa me- reka cenderung makan lebih banyak
apa bila mereka tegang atau cemas, dan
eksperimen membuktikan ke- benarannya.
Orang gemuk makan lebih banyak da- lam
suatu situasi yang sangat mencekam; orang de-
ngan berat badan yang normal makan dalam
situasi yang kurang mencekam
(McKenna,1999). Dalam su- atu studi yang
dilakukan White (1977) pada kelom- pok orang
dengan berat badan berlebih dan kelom- pok
orang dengan berat badan yang kurang, dengan
menyajikan kripik (makanan ringan) setelah
mereka menyaksikan empat jenis film yang
mengundang e- mosi yang berbeda, yaitu film
yang tegang, ceria, merangsang gairah seksual
dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada
orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih
banyak menghabiskan kripik setelah
menyaksikan film yang tegang dibanding
setelah me- nonton film yang membosankan.
Sedangkan pada o- rang dengan berat badan
kurang selera makan kripik tetap sama setelah
menonton film yang tegang mau- pun film yang
membosankan.

Lingkungan
jalan menahun, sehingga penanganannya tidak Aktivitas fisik aktif berupa aktivitas yang
akan efektif bila hanya dalam waktu singkat 20. rutin, merupakan bagian penting dari program
Penurunan berat badan sampai 1 kg per penurunan berat badan. Olahraga juga dapat
minggu sudah cukup se- bagai parameter mengurangi rata-ra- ta angka kesakitan dan
keberhasilan penurunan berat badan. Kita kematian beberapa penyakit kronik. Dokter
harus mewaspadai adanya sindroma Yoyo, dapat menekankan urgensinya aktivi- tas fisik
yaitu penurunan berat badan yang berlebihan pada penderita, dan menyarankan untuk me-
akan menye- babkan defisit energi mendadak lakukan aktivitas fisik paling sedikit 150 menit
dan akan berisiko naiknya kembali berat per- minggu. Latihan fisik saja sudah dapat
badan.Penurunan berat badan bersifat menurunkan berat badan rata-rata 2-3 kg.
individual, tergantung pada umur, berat ba- Perubahan perilaku me- rupakan usaha
dan awal dan adanya usaha penurunan berat maksimal untuk menerapkan aspek
badan sebelumnya serta ada tidaknya penyakit
penyerta. Sasaran penurunan berat badan yang
realistik adalah 5-10% dari berat badan awal
dalam kurun waktu 6- 12 bulan. Garis besar
penanganan obesitas terdiri dari intervensi diet,
aktivitas fisik, perubahan perilaku,
Farmakoterapi dan Intervensi bedah.

Intervensi Diet.
Pengaturan makan merupakan tiang utama
pena- nganan obesitas, oleh sebab itu perlu
ditekankan pada penderita bahwa kosistensi
pengaturan makan jangka panjang sangat
menentukan keberhasilan pengoba- tan.
Keberhasilan pengobatan dievaluasi minimal
da- lam jangka waktu 6 bulan.Dua macam
nutrisi medik yang efektif untuk menurunkan
berat badan, yaitu Low Calorie balance Diets
(LCD),Very Low Calorie Diets (VLCD), Low
Calorie balance Diets (LCD). Hal ini dapat
dicapai dengan mengurangi asupan le- mak
dan karbohidrat. Dapat diberikan 1200-1600
kkal/hari dengan protein 1 g/kg BB, lemak 20-
25% dari kalori total dan sisanya karbo-hidrat.
Beberapa rekomendasi praktis dapat
dilakukan untuk mencapai sasaran diet : makan
setidaknya 5-7 porsi buah dan sayuran perhari.
Makan 25-30 gram serat perhari (dari
buah/sayur, roti gandum, sereal, pasta dan
kacang-kacangan.
Untuk sumber karbohidrat hasil proses,
pilihlah roti gandum.Minum sedikitnya 8 gelas
sehari. Makan sedikitnya 2 porsi perhari hasil
olahan susu rendah lemak. Pilih protein rendah
lemak seperti ayam tanpa kulit, kalkun dan
produk kedelai. Sebaiknya makan daging lebih
sedikit. Makan ikan setidaknya 2 kali
seminggu. Asupan garam maksimum 2.400 mg
per- hari8.

Aktivitas Fisik
Jurnal MKMI, Vol 6 No.3, 2010

nonparmakologis dalam pengelolaan penyakit. karena teknologi bedah saat itu masih terbatas,
Pe- rencanaan makan dan kegiatan jasmani membuat operasi ini hampir selalu berujung
merupakan aspek penting dalam terapi pada kematian pasien.
nonfarmakologis. Pende- rita agar menyadari Ada beberapa pilihan pembedahan seperti Lap-
untuk mengubah perilaku, karena keberhasilan aroscopic Adjustable Gastric Binding, Vertical Ban-
penurunan berat badan ini sangat dipe- ngaruhi ded Gastroplasty, Rouxen-Y gastric bypass.
oleh faktor dirinya sendiri, kedisiplinan me-
ngikuti program diet serta kesinambungan Laparoscopic Adjustable Gastric Binding,
pengoba- tan. Motivasi penderita sangat meru- pakan tindakan bedah generasi mutakhir
menentukan keberha- silan upaya penurunan untuk mena- ngani penderita dengan obesitas
berat badan. yang berat, dimana hanya dengan membuat
lubang/irisan kecil diperut (diameter 0,5-1,0
Farmakoterapi. cm). Dengan pita/plaster silikon yang dilekatkan
Tiga mekanisme dapat digunakan untuk seputar lambung bagian atas, se- hingga
meng- klasifikasi obat-obatan untuk terapi terbentuk satu kantong kecil. Apabila pende- rita
obesitas adalah terapi yang mengurangi asupan makan, kantong kecil tadi akan cepat penuh dan
makanan, yang me- ngganggu metabolisme
dengan cara mempengaruhi proses pra atau
pasca absorbsi. Terapi yang mening- katkan
pengeluaran energi atau termogenesis.Obat
yang tersedia saat ini Orlistat : yang
menghambat lipase pankreas (enzim yang
dihasilkan kelenjar lu- dah perut) dan akan
menyebabkan penurunan penye- rapan lemak
sampai 30%.
Efedrin dan kafein : meningkatkan
pengeluaran energi, akan meningkatkan
konsumsi oksigen sekitar 10% selama beberapa
jam. Pada uji klinis efedrin dan kafein
menghasil kan penurunan berat badan lebih
besar dibanding kelompok plasebo.
Diperkirakan 25- 40% penurunan berat badan
oleh karena termogene- sis dan 60-75% karena
pengurangan asupan maka- nan. Efek samping
utama adalah peningkatan nadi dan perasaan
berdebar-debar yang terjadi pada se- jumlah
penderita.
Sibutramin, menurunkan energy intake dan
mempertahankan penurunan pengeluaran energi
se- telah penurunan berat badan. Pada
penelitian ternyata terbukti sibutramin
menurunkan asupan makanan de- ngan cara
mempercepat timbulnya rasa kenyang dan
mempertahankan penurunan pengeluaran energi
sete- lah penurunan berat badan.

Intervensi Bedah.
Intervensi bedah untuk mengatasi masalah
obe- sitas sebenarnya telah diterapkan sejak
th.1960 de- ngan bedah pintas lambung. Hanya
ini akan memberikan sensasi kenyang. dialami remaja yang kegemukan antara lain
Pengosongan makanan dari kantong kecil adalah merasa kurang percaya diri (45,8
terse- but akan secara pelan-pelan melalui %), mengganggu aktifitas (18,9%) dan merasa
ikatan yang di- buat dan penderita tidak akan cepat lelah (13,5%)1.
merasa lapar sampai beberapa jam. Dengan Penelitian yang menggunakan standar
intervensi bedah ini, diharap- kan dapat Nutrition Community Health Survey (NCHS)
menurunkan berat badan dari 20 kg sampai dari WHO ter- sebut juga menemukan fakta,
lebih dari 100kg. 50% dari anak yang mengalami obesitas
ternyata pengkonsumsi setia fast food. Sisanya,
Beberapa Hasil Penelitian Tentang Obesitas mencampur fast food dengan jenis makanan
Pada Remaja lainnya. Sebagian besar anak-anak sekarang
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh memiliki cara bermain yang berbeda. Sebagian
Marta- dwita Bayulestari yang ingin besar lebih senang di rumah untuk bermain
mengetahui hubungan pola makan dengan play station
kegemukan (obesitas) pada siswa SLTP
Nusantara kotamadya Ujung Pandang terlihat
bahwa sebanyak 28,6% siswa yang mengalami
over- weight dan sekitar 71,4% yang
mengalami obesitas. Dan dari hasil analisis
terlihat bahwa ada hubungan antara pola
konsumsi (lemak, energi, dan protein) de- ngan
kejadian overweight maupun obesitas pada sis-
wa SLTP Nusantara di kotamadya Ujung
Pandang4.
Sedangkan dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Andi Kamaliah Azir di SLTP
negeri wilayah ko- ta kab.Maros ternyata
pengetahuan, sikap dan tinda- kan siswa
mempunyai kontribusi terhadap kejadian
obesitas siswa tersebut3.
Penelitian yang dilakukan oleh Agus
Triwinar- to, dkk menemukan bahwa dari 213
anak yang pada masa anak-anak telah
mengalami kegemukan yang berhasil
ditemukan kembali setelah lima tahun ke-
mudian ( pada masa remaja) yang tetap
kegemukan (IMT ≥ 85 percentile) sebanyak
121 responden (56,8%) dan yang berubah
menjadi normal (IMT < 85 percentile)
sebanyak 92 responden (43,2%). Re- rata
intake energi adalah 1894,5 kkal dan hanya
14,6% yang > 100% KGA sedangkan intake
lemak 60,1 gram perhari dan hanya 32,4%
yang intake le- mak > 25% total kalori. Pada
penelitian ini juga me- ngidentifikasi beberapa
dampak dari kegemukan an- tara lain adalah
apakah ada gejala sindrome metabo- lik seperti
hiperglikemia dan hiprerlipidemi. Rerata kadar
gula darah sewaktu 101,6 mg/dl sedangkan
rerata kadar kolesterol 165,2 mg/dl. Meskipun
rerata kadar gula darah dan kolesterol masih
normal tetapi ada sekitar 10,6% yang sudah
termasuk tinggi. Masa- lah psikososial yang
Jurnal MKMI, Juli 2010, hal 185-190

atau sekadar menonton TV. "Anak-anak perlihatkan bahwa kebiasan yang buruk dalam
sekarang aktivitas fisiknya sangat kurang. me- nonton TV mempunyai hubungan yang erat
Penelitian lanjutan sempat dilakukan Padmiari dengan rendahnya intake buah-buahan pada
di tahun 2004 terhadap sebanyak 2.700 orang anak remaja pria maupun wanita.18
dewasa. Hasilnya, sebanyak 10,5 orang dewasa Hasil penelitian yang dilakukan oleh
di Denpasar mengalami obesitas. Artinya, di hanson,dkk pada tahun 2005 mendapatkan
setiap 100 orang dewasa, ada sekitar 10 orang bahwa perbedaan je- nis kelamin berhubungan
mengalami obesitas. Obesitas yang kemudian dengan ketersediaan buah- buahan di rumah
menjadi pemicu penyakit degeneratif lain mereka, ini adalah sebuah studi lain yang
seperti jan- tung dan diabetes melitus, diketahui dilakukan pada sekelompok remaja.8 Penelitian
terjadi karena konsumsi makanan yang berlebih yang dilakukan pada remaja kulit hitam USA
dan aktivitas fisik yang kurang1. menun- jukkan bahwa frekuensi makan
Hasil penelitian lain di tahun 2005 terhadap berhubungan dengan berkurangnya overweight
siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di pada remaja tersebut.9. Mengkonsumsi daging
Denpa- sar juga menunjukkan fakta yang cukup sangat berhubungan dengan IMT (indeks massa
mengkha- watirkan. Dari 120 siswa putri yang tubuh) seseorang, sehingga harus betul-betul
dijadikan res- ponden, sekitar 70,2 % nya dipertimbangkan dalam upaya pencega- han
ternyata memiliki pola hidup sedentary. Sisanya kejadian overweight pada anak-anak.26
hidup dengan pola hidup normal Pola hidup
sedentary merupakan pola hidup dengan KESIMPULAN
aktivitas yang rendah dan konsumsi yang Obesitas (kegemukan) adalah keadaan
berlebih. terdapat- nya timbunan lemak berlebihan dalam
Penelitian terhadap remaja pria di Swedia tubuh. Secara klinik biasanya dinyatakan dalam
me- nunjukkan bahwa rata-rata IMT dan bentuk Indeks Ma- sa Tubuh (IMT) > 30
prevalensi over- weight maupun obesitas kg/m2. Untuk orang Asia, kri- teria obesitas
rendah pada ibu-ibu yang mempunyai tingkat apabila IMT > 25kg/m2. Obesitas memberikan
pendidikan tinggi. Nilai IMT ibu dan kebiasaan dampak negatif bagi kesehatan seperti : stroke,
merokok merupakan prediktor yang kuat dalam artritis (radang sendi), batu empedu, kesulitan
menentukan kejadian overweight maupun bernafas, masalah kulit, infertilitas, masalah
obesitas pada anak-anak mereka6. psikolo- gis, mangkir kerja dan pemanfaatan
Di USA, status sosial ekonomi sarana keseha- tan
berhubungan de- ngan peningkatan tinggi Ada beberapa faktor yang berpengaruh
badan dan menurunkan ling- kar pinggang pada terhadap kejadian obesitas pada remaja seperti :
remaja berkulit putih tapi tidak pada remaja faktor genetik, kerusakan pada salah satu
yang berkulit hitam (yang berasal dari afrika) 7. bagian otak, adanya pola makan yang berlebih,
Pada wanita, kurangnya produk makanan yang kurang gerak/olahraga, adanya pengaruh
sehat serta tidak adanya aturan-aturan makanan emosionl, dan karena pengaruh faktor ling-
di rumah mempunyai hubungan dengan produk kungan. Obesitas merupakan hasil dari proses
ma- kanan yang tidak sehat yang pada akhirnya yang berjalan menahun, sehingga
akan me- nyebabkan rendahnya intake buah- penanganannya tidak a- kan efektif bila hanya
buahan. 16 dalam waktu singkat. Ada be- berapa cara
Hasil penelitian dari neumarksztainer,et.al penanggulangan yang bisa kita lakukan seperti:
mem- perlihatkan bahwa ada variansi dalam melakukan intervensi gizi, melakukan aktifi- tas
konsumsi bu- ah-buahan pada anak laki-laki fisik, farmakoterapi dan intervensi bedah.
(47%) dan pada anak perempuan (42%). 17Dari
hasil penelitian lain mem-

DAFTAR PUSTAKA Kegemu- kan Pada Masa Anak-Anak (Usia 9-11


1. Agus Triwinarto, dkk. Faktor Determinan Tahun), 2001.
Peru- bahan Status Kegemukan Pada Remaja 2. Almatsier Sunita. Prinsip dasar ilmu gizi, PT
(Usia 14-18 Tahun) Yang Telah Mengalami Gra-media Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
3. Azir Andi K, Perilaku Anak Obesitas Tentang
skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Kejadian Obesitas di SMU Islam Athirah Ma-
kassar, skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Univer- sitas Hasanuddin, 1999.
Uni-versitas Hasanuddin,2004. 5. DL Franko, RH Striegel-Moore, D Thompson,
4. Bayulestari Martadwita, Hubungan Pola et.al. The relationship between meal frequency
Makan Dengan Kegemukan (obesitas) Pada and body mass index in black and white.
Siswa SLTP Nusantara kotamadya Ujung 6. adolescent girls: more is less. International
Pandang, Jour- nal of Obesity, 2007.
7. Erviani NK, Terperangkap Nikmat Junk Food,
http:// www.gizi.net.id. 2007.
8. I Koupil, P Toivenan, Social and earlylife
deter- minants of overweight and obesity in 18-
year- old Swedish men, International of
Obesity, 2008.
9. Hanson NI, Neumark-Sztainer D, Eisenberg
ME, et.al. Associations between parental report
of the home food environment and adolescent
Jurnal MKMI, Vol 6 No.3, 2010
intakes of fruit, vegetables and dairy foods. In- ternational Journal of Obesity 2005.

10. Hastings G, Stead M, McDermott L, et al.. Re- view Of The Effects Of Food Promotion On Children.
International Journal of Obesity, 2003.
11. JCK Wells,dkk. Body shape in American and British adults: between-country and interethnic comparisons.
International of Obesity, 2008.
12. Jufri Ernawati, Faktor-Faktor Yang Berhubu- ngan Dengan Status Gizi Lebih Pada Remaja Usia Dini Di SLTP
Negeri Wilayah Kota Kab. Maros, skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,2002.
13. Khomsan Ali, Pangan Dan Gizi Untuk Keseha- tan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
14. L Haerens, dkk. The contribution of psychoso- cial and home environmental factors in explai- ning eating
behaviours in adolescents. Interna- tional of Obesity, 2008
15. Martınez Vizcano,dkk. Assessment of an after- school physical activity program to prevent obe- sity among 9-
to 10-year-oldchildren: a cluster randomized trial. International of Obesity, 2008
16. Mu’tadin Zaitun, Obesitas dan Faktor Penye- babnya. http://www.e-psikologi.com.2002
17. Nadiah Moussavi1,dkk. Could the Quality of Dietary Fat, and Not Just Its Quantity, Be Rela- ted to Risk of
Obesity. International Journal of Obesity, 2008.
18. Neumark-Sztainer D, Wall M, Perry C, Story M. Correlates Of Fruit and Vegetable Intake A- mong
Adolescents. International Journal of Obe- sity, 2003

0i0.441 Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International. Some rights reserved


19. Nicklas TA, Baranowski T, Cullen KW, Beren- son G. Eating patterns, dietary quality and obe- sity. J Am Coll
Nutr 2001.
20. Padmiari & Hadi, Konsumsi Fast Food Sebagai Faktor Risiko Obesitas Pada Anak Sekolah Da- sar. Jurusan
Gizi Politeknik Kesehatan Denpa- sar Bali, Fakultas Kedokteran UGM, 2005.
21. Rahmi, Anak obesitas, lucu tapi rawan penyakit.
http://www.gizi.net.id.2008
22. Siswono, Obesitas Ajang Reunian Berbagai Penyakit, http://www.gizi.net.id.2007.
23. Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 1995.
24. Sukmawati, Analisis Faktor Risiko Kejadian Obesitas Pada Anak Sekolah Dasar (SD) Di Ko- ta Makassar,
skripsi Politeknik Kesehatan Ma- kassar,2004.
25. Supariasa IDN, Penilaian Status Gizi, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2002.
26. Tjahjadi Maria Ignatia, Tinjauan Pustaka : Obe- sitas Dengan Pola Makan. Media kesehatan ma- syarakat
indonesia nomor 1 vol.1, 2004.
27. Vereecken CA, Inchley J, Subramanian SV, Hublet A, Maes L.The relative influence of individual and
contextual socio economic status on consumption of fruit and soft drinks among adolescents in Europe. Eur J
Public Health 2005.
28. , Mampu Menurunkan 100 Kg. http://www. mayoclinic.com. 2007.
, Atasi Obesitas Anak Anda. http://www. ma

http://dx.doi.org/10.35730/jk.v Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International. Some rights reserved


KEBIASAAN OLAH RAGA TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT JANTUNG
Reni Fitria1
1
Universitas Dharmas Indonesia, Dharmasraya, Sumatera Barat, Indonesia

INFORMASI ARTIKEL ABSTRACT

Received: November, 01, 2019 Angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Revised: November, 16, 2019 Masyarakat Indonesia biasanya malas bergerak. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
Available online: November, 23,2019 (Riskesdas), angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah semakin meningkat dari
tahun ke tahun. 15 dari 1000 orang, atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita
KATA KUNCI penyakit jantung (Rikesda, 2019). Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan kebiasaan
olah raga terhadap kejadian penyakit jantung di rumah sakit S. Metode yang digunakan adalah
deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Metode penelitian deskriptif
Olahraga, Jantung, Penyakit Jantung
analitik dengan cross sectional study. Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Umum
KORESPONDENSI Daerah Sungai Dareh. Populasi semua pasien penyakit jantung yaitu108 Responden di RSUD
Sungai Dareh sampel berjumlah 52 orang. Analisa bivariat menggunakan uji chi square. Hasil
E-mail: renifitria4586@gmail.com
uji statistik Chi-Square di dapatkan p value = 0,001 berarti p value ≤ 0,05 yang artinya ada
hubungan yang bermakna antara olahraga terhadap Penyakit Jantung Di Rumah Sakit maka
Ha diterima dan Ho ditolak. Diharapkan kepada responden untuk selalu mengontrol tekanan
darah dan memperhatikan makanan yang menyebabkan penyakit jantung dan diharapkan
kepada petugas kesehatan untuk selalu memberi penyuluhan kepada pasien penyakit jantung.

The incidence of heart disease and blood vessels is increasing from year to year. Indonesian
people are usually lazy to move. Based on Basic Health Research (Riskesdas) data, the
incidence of heart and blood vessel disease is increasing from year to year. 15 out of 1000
people, or around 2,784,064 individuals in Indonesia suffer from heart disease (Rikesda,
2019). The purpose of this study was to determine the relationship between exercise habits
and the incidence of heart disease in S hospitals. The method used was descriptive analytic
with cross sectional research design. Descriptive analytic research method with cross
sectional study. This research was conducted at the Dareh River Regional General Hospital.
The population of all heart disease patients is 108 respondents in the sample Sungai Dareh
District Hospital of 52 people. Bivariate analysis using chi square test. Chi-Square statistical
test results obtained p value = 0.001 means p value ≤ 0.05, which means there is a significant
relationship between exercise against Heart Disease in the Hospital Ha is accepted and Ho is
rejected. It is expected that respondents always control blood pressure and pay attention to
foods that cause heart disease and it is expected that health workers always provide
counseling to heart disease patients.

bergerak. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar


PENDAHULUAN (Riskesdas), angka kejadian penyakit jantung dan

Penyakit kardiovaskular masih menjadi pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke

ancaman dunia (global threat) dan merupakan tahun. 15 dari 1000 orang, atau sekitar

penyakit yang berperan utama sebagai penyebab


kematian nomor satu di seluruh dunia. Data
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan,
lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal akibat
penyakit jantung dan pembuluh darah (Rikesda,
2019). Angka kejadian penyakit jantung dan
pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Masyarakat Indonesia biasanya malas

http://dx.doi.org/10.35730/jk.v Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International. Some rights reserved


2.784.064 individu di Indonesia menderita
penyakit jantung (Rikesda, 2019).
Diperkirakan bahwa diseluruh dunia, Penyakit
Jantung Kronik pada tahun 2020 menjadi
pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36%
dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih
tinggi dari angka kematian akibat kanker. Di
Indonesia dilaporkan Penyakit Jantung (yang
dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi) merupakan penyebab utama dan
pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar
26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari
angka kematian yang disebabkan oleh kanker
(6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu
diantara empat orang yang meninggal di
Indonesia adalah akibat Penyakit jantung
kronik.]

http://dx.doi.org/10.35730/jk.v Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International. Some rights reserved


FITRIA / JURNAL KESEHATAN - SPECIAL ISSUE HARI KESEHATAN NASIONAL KE-55 KOTA BUKITTINGGI TAHUN 161-163

Selain PJK, PJB merupakan kelainan bawaan Sungai Dareh sampel berjumlah 52 orang(RSUD, 2018).
yang paling sering ditemukan. Angka kejadian PJB di Tehnik Pengambil sampel secara Accidental
seluruh dunia diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus sampling ini dilakukan dengan mengambil kasus atau
dari 135 juta kelahiran hidup setiap tahunnya. Dari responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu
jumlah tersebut, sekitar 300.000 kasus dikategorikan tempat sesuai dengan konteks penelitian yang berada di
PJB berat yang membutuhkan operasi kompleks agar RSUD Sungai Dareh (Notoatmojo, 2010). Variable
dapat bertahan hidup. Sementara di Indonesia, angka independen olahraga yaitu sebagai salah satu aktivitas
kejadian PJB diperkirakan mencapai 43.200 kasus dari fisik maupun psikis seseorang yang berguna untuk
4,8 juta kelahiran hidup (9 : 1000 kelahiran hidup) menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dengan
setiap tahunnya (Perki, 2019) hasil ukur : olahraga Teratur 21 menit, olahraga Tidak
Manfaat kesehatan dari berolahraga. Namun, Teratur < 21 menit. Variable dependen penyakit jantung
beberapa orang yang melakukan olahraga secara rutin yaitu kondisi ketika pembuluh darah jantung (arteri
– bahkan atlet sekalipun, ada yang meninggal koroner) tersumbat oleh timbunan lemak, dengan hasil
mendadak saat atau setelah olahraga. Pada usia muda ukur PJK: apabila mengalami tanda dan gejala tidak PJK
(di bawah 35 tahun), penyebab kematian mendadak apabila tidak mengalami tanda dan gejala. Instrumen
saat olahraga umumnya akibat terjadinya SCA, bukan penelitian adalah alat yang
serangan jantung. Ini disebabkan karena hipertropik
kardiomiopati (Bare & Suddart, 2002).
Hasil survey yang dilakukan pada menderita
penyakit jantung yang berkunjung ke rumah sakit
didapatkan 3 orang mengatakan bahwa terjadinya
penyakit jantung di sebabkan oleh faktor gaya hidup
seperti merokok, dan 3 orang mengatakan penyakit
disebabkan makanan, yang mengandung lemak seperti
daging unggas, dan 3 orang nya lagi mengatakan
penyakit disebabkan kurang olahraga, dan 1 orang nya
lagi mengatakan tidak tahu penyebab terjadi nya
penyakit jantung yang diderita nya.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif analitik yaitu suatu gambaran analisa antara
variabel-variabel yang diteliti, dengan cross sectional
study. Artinya variable independent dan variabel
dependent diukur dengan waktu yang
bersamaan(Notoatmojo, 2010). Penelitian ini telah
dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sungai
Dareh. Populasi menurut (Notoatmojo, 2012) adalah
keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti,
populasi dalam penelitian ini yaitu semua pasien
penyakit jantung yaitu108 Responden di RSUD
FITRIA / JURNAL KESEHATAN - SPECIAL ISSUE HARI KESEHATAN NASIONAL KE-55 KOTA BUKITTINGGI TAHUN 161-163

digunakan untuk pengumpulan data yaitu


menggunakan kuesioner kebiasaan olahraga dan
penyakit jantung (Notoatmojo, 2012). Analisa
bivariate menggunakan uji Chisquare untuk Hasil uji statistik Chi-Square nilai X2 hitung
menyatakan hubungan antara variable independent = 10,566 dengan ketentuan degree of reendom (df) = 1
dengan variable dependent (Arikunto, 2010). pada taraf signifikansi (0,05) diperoleh X2 tabel =
3,841 dengan demikian nilai X2 hitung
HASIL DAN PEMBAHASAN
> X2 tabel dan di dapatkan p value = 0,001 berarti p
Tabel 1 : Distribusi Frekuensi Kebiasaan Olah Raga
value ≤ 0,05 yang artinya ada hubungan yang
Kebiasaan Olah Raga f %
Tidak teratur 29 55,8 bermakna antara olahraga terhadap Penyakit Jantung
Teratur 23 44,2
Jumlah 52 100,0 Di Rumah Sakit maka Ha diterima dan Ho ditolak.
Hasil penelitian dari 52 responden diperoleh
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa
data bahwa sebagian besar 29 responden (55,8%)
sebagian besar 29 (55,8%) responden Tidak
responden yang memiliki kebiasaan olahraga yang
Teratur berolahraga.
tidak teratur, Olahraga yang tidak teratur seperti tanpa
Tabel 2 : Distribusi Frekuensi Kejadian Penyakit pemanasan langsung joging dan olahraga 20 menit
Jantung sehari seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar
Kejadian Penyakit Jantung f %
Tidak PJK 18 34,6 masyarakat olahraga sekali sebulan dan itu berjam-
PJK 34 65,4
jam tanpa pemanasan, responden tidak berolahraga
Jumlah 52 100,0
dikarenakan sibuk kerja, malas bergerak,
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa
merasa tidak perlu berolahraga, tanpa berolahraga
sebagian besar responden mengalami PJK 34 orang
tubuh mereka sudah sehat. Jadi olahraga yang tidak
(65,4%).
teratur dapat mengakibatkan terjadinya penyakit
Tabel 3 : Hubungan Kebiasaan Olah Raga Dengan jantung, Aktivitas aerobik yang teratur akan menurun
Penyakit Jantung resiko terkena penyakit jantung, pembuluh jantung
l Penyakit Jantung Tota P-value
yaitu
Olah Raga Tidak PJK PJK
n % n % n %
Tidak Teratur 4 13,8 25 86,2 29 100
162 Fitria Teratur http://dx.doi.org/10.35730/jk.v0i0.441
14 60,9 9 39,1 23 100 0,001
Jumlah 18 34 52 100
sebesar 20-40%. Kurang olahraga
bisa menyebabkan penumpukan
lemak, apabila penumpukan lemak
sudah berlebihan bisa terjadi
obesitas, dan beresiko terkena
penyakit jantung dan harus
melakukan aktivitas fisik atau
berolahraga yang rutin, jantung kita
akan berdenyut lebih cepat, maka
aliran darah yang kaya akan oksigen
ke seluruh tubuh juga akan
meningkat.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ian Janssen (2012) yang
menyimpulkan ada hubungan
bermakna antara kurang olahraga
dengan penyakit jantung di Wilayah
Kenduwuni (Jansen, n.d.).

KESIMPULAN
Sebagian besar responden
29 orang (55,8) yang mengatakan
Skebiasaan olahraga tidak teratur.
Sebagian besar responden 34 orang
(65,4) yang terjadi PJK. Terdapat
hubungan yang bermakna antara
kebiasaan olahraga dengan kejadian
(Penyakit Jantung) di Ruangan
Interne dan poli Penyakit Dalam DI
RSUD Sungai Dareh Tahun 2015
(P-Value = 0,001).

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian.


Jakarta: Rineka Cipta. Bare & Suddart.
(2002). Buku ajar Keperawatan Medikal
Bedah.

Jakarta: EGC.
Jansen, I. (n.d.). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyakit
jantung di wilayah Kenduwuni.
2012.

Notoatmojo, soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian kesehatan.

Jakarta: Rineka Cipta.


Notoatmojo, soekidjo. (2012). Metodologi Penelitian kesehatan.

Jakarta: Rineka Cipta.


Perki. (2019). Sistem kardiovaskuler &
Hematologi. Retrieved from pamilia

Rikesda. (2019). Profil Kesehatan Indonesia.


Jakarta: Kemenkes RI.

RSUD, P. (2018). Laporan tahunan RSUD Sungai Dareh.

Dharmasraya.
Kadar Glukosa Darah pada Penderita Infark Miokard Akut
dengan Diabetes Melitus sebagai Faktor Prediktor Kematian
Blood Glucose Level in Acute Myocardial Infarction with Diabetes Melitus Patients as
Mortality Predictor Factor
Rina Puspita Sari1, Agus Widyatmoko2*
1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
*Email: aguswidi@gmail.com
Abstrak
Infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia. Insiden IMA
tergantung pada risiko terjadinya aterosklerosis, salah satunya diabetes melitus (DM). Pada pasien DM,
kadar glukosa akan meningkat dan beberapa penelitian melaporkan hubungan antara abnormalitas
glukosa dan mortalitas tetapi hingga saat ini belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peran kadar glukosa darah terhadap mortalitas pada penderita IMA dengan DM. Penelitian ini menggunakan
desain cross sectional dengan melihat data rekam medis 2006-2011 di rumah sakit. Pada 70
kasus yang didiagnosis IMA dengan DM hanya terdapat 38 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan
eklusi. Pasien dibagi dua kelompok berdasarkan kadar glukosa darah saat masuk yaitu Grup 1 (<200
mg/dL) dan Grup 2 (> 200 mg/dL). Outcome pasien juga dilihat dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu baik
dan meninggal. Hasil analisis Chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar
glukosa darah dengan kematian pada penderita IMA dengan DM (p = 0.653, PR=2.4, CI=0.354-16.258).
Pemeriksaan laboratorium juga tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang signifikan kecuali pemeriksaan
leukosit. Disimpulkan kadar glukosa darah tidak berhubungan dengan kematian sehingga tidak
dapat digunakan sebagai faktor prediktor kematian pada penderita IMA dengan DM.
Kata kunci: infark miokard akut, diabetes melitus, glukosa darah, kematian
Abstract
Acute Myocardial Infarction (AMI) is the the first cause of mortality in Indonesia. The incidence of
AMI depends on the risk of atheroschlerosis, one of them is diabetes melitus (DM). In DM’s patient,
blood glucose level will increase and some research reported the correlation of glucose abnormal with
mortality, but it’s not clear. The research aims to know correlation of blood glucose level to mortality in
acute myocardial infarction with diabetes melitus patients. This research used cross sectional design by
looked at the medical record datas 2006-2011 in hospital. There are 70 cases which diagnosed as AMI
with DM, but only 38 cases which fulfilled inclusion and exclusion criterias. Patients divided into 2 Grups
depend on the blood glucose level on admission, Grup 1 (<200 mg/dL), Grup 2 (>200mg/dL). We also
looked out the patient’s outcome and divided into 2 Grups, recovered and dead. This result by using Chi
square analysis does not show a significant correlation between blood glucose level with death in AMI
with DM patients (p = 0.653, PR=2.4, CI=0.354-16.258). Laboratory examination also did not show a
significant difference of mean except for leucocyte count. The conclusion is blood glucose level has no
correlation with death in AMI with DM, so it can’t used as predictor factor of death in patients AMI with
DM.
Key words: acute myocardial infarction, diabetes melitus, blood glucose, death.

PENDAHULUAN
Infark Miokard Akut (IMA) menjadi penyebab kematian pertama dengan angka mortalitas 220.000 jiwa (14%)
di Indonesia pada tahun 2002.1 Insiden infark miokard tergantung pada faktor risiko yang mempengaruhi
terjadinya aterosklerosis. Salah satu faktor risiko terjadinya aterosklerosis adalah diabetes melitus. Profil lipid
yang buruk dan progresivitas aterosklerosis pada penderita diabetes melitus meningkatkan kejadian infark
miokard.2 Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemia kronis
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat kurangnya sekresi insulin, aksi insulin atau
kombinasi keduanya. Kadar glukosa darah yang tinggi dikaitkan dengan risiko terjadinya gagal jantung, syok
kardiogenik dan kematian setelah infark miokard akut.3 Pasien DM memiliki risiko tinggi terjadinya infark
miokard akut dibandingkan dengan pasien nondiabetes. Glukosa puasa memberikan prediksi prognosis pada
IMA. Akan tetapi, hingga saat ini apakah glukosa yang tinggi mempengaruhi tingkat mortalitas pada pasien
IMA dengan DM belum didokumentasikan dengan baik.4 Terkait dengan hal tersebut, diharapkan hasil
penelitian ini dapat mengetahui peran kadar glukosa darah terhadap mortalitas
pada penderita IMA dengan DM sehingga dapat membantu penatalaksanaan penderita, kemungkinan
pengembangan terapi, serta dapat membantu identifikasi pasien IMA dengan DM yang
memiliki risiko mortalitas tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kadar glukosa darah terhadap
mortalitas pada penderita IMA dengan DM.
BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan dengan rancangan cross sectional dengan melihat data rekam medis
2006- 2011 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogya- karta dan Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Bantul. Subyek penelitian adalah pasien yang didiagnosis IMA dengan DM yang dirawat
inap >48 jam.
Kriteria inklusi adalah pasien laki-laki berusia 40-70 tahun yang didiagnosis IMA dengan DM
dan tercantum pemeriksaan gula darah sewaktu pada saat admisi. Kriteria eklusi adalah pasien IMA
de- ngan DM yang mengalami infeksi, mempunyai riwayat operasi atau trauma 1 bulan terakhir
dan mengalami stres metabolik. Variabel bebas adalah kadar gula darah, sedangkan variabel
terikatnya adalah outcome pasien IMA dengan DM.
Pasien IMA ditetapkan berdasarkan 2 dari 3 kriteria diagnostik WHO, yaitu nyeri dada
menjalar tipe iskemik lebih dari 20 menit, terdapat gelombang Q patologis yang lebar atau dalam dan
atau elevasi ST pada dua atau lebih sandapan EKG, serta peningkatan kadar CK-MB (creatine
kinase – MB), troponin I dan T pada darah vena.5 Kriteria IMA di- tentukan pada saat admisi dan
disetujui oleh dokter spesialis penyakit dalam RS PKU Muhammadiyah, Yogyakarta.
Pasien DM ditentukan dari kriteria diagnostik WHO, yaitu glukosa plasma puasa >7.0 mmol/l
(126 mg/dl) atau glukosa plasma 2 jam postpran- dial >11.1 mmol/l (200mg/dl).6 Glukosa plasma
menggunakan sampel darah vena dan diukur dengan metode enzimatik.
Kadar glukosa yang digunakan adalah kadar glukosa darah sewaktu pada saat admisi yang

diambil dari darah vena dan diukur dengan metode enzimatik. Pasien dikatakan sembuh apabila sudah
dipindahkan dari ruang ICCU ke ruangan rawat inap lainnya dan atau diperbolehkan pulang. Pasien
dikatakan meninggal bila disebutkan meninggal
>48 jam selama perawatan di rumah sakit akibat IMA dan belum dipindahkan dari ruang ICCU dan
atau diperbolehkan pulang.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Independent t-test untuk melihat perbedaan nilai
rata-rata. Uji bivariat Chi square digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan kadar glukosa dan
outcome mortalitas penderita IMA dengan DM.

HASIL
Tabel 1. menunjukkan bahwa subyek peneliti- an paling banyak pada rentang usia 50-70 tahun.
Hal Ini menunjukkan bahwa semakin tua usia sese- orang semakin tinggi prevalensi infark miokard
akut dengan diabetes melitus.
Data dikelompokkan berdasarkan kadar gluko- sa, yaitu Grup 1 (<200 mg/dL) dan Grup 2 (>200
mg/dL). Tabel 2. menunjukkan bahwa terdapat 30 kasus (79%) pada Grup 2. Kasus dengan pasien
yang kadar glukosa sewaktunya <200 mg/dL (Grup
1) saat pemeriksaan adalah 8 kasus (21%). Rata- rata usia keseluruhan pasien yang didiagnosa
in-
Tabel 1. Tabulasi Data Usia Berdasar Statistik
2)
3)

4)
Usia Jumlah Persentase
30-39 1 2,3%
40-49 8 18,7%
50-59 17 39,5%
60-70 17 39,5%

fark miokard akut dengan dibetes melitus adalah 55.58±8.01 tahun, dimana tidak ada perbedaan
yang bermakna antara usia pada setiap kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa kadar glukosa
sewaktu tidak dipengaruhi oleh usia. Pemeriksaan labora- torium Hb dan trombosit
menunjukkan tidak ada perbedaan nilai rata-rata yang signifikan pada ke- dua kelompok.
Perbedaan nilai rata-rata yang signi- fikan justru ditunjukkan pada pemeriksaan labo- ratorium
nilai leukosit.
Outcome dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu outcome membaik (hidup) dan outcome
meninggal. Hasil pengumpulan rekam medis dida- patkan sebanyak 10 kasus dengan outcome
me- ninggal dan 28 kasus dengan outcome membaik. Usia rata-rata pasien yang mempunyai
out- come membaik adalah 55.86±7.67 tahun. Rata-rata usia pada Grup 2 adalah 55.29±8.19
tahun, se- dangkan rata-rata usia pada Grup 1 adalah 57.57±6.08 tahun. Hasil pemeriksaan
laboratorium Hb dan trombosit tidak menunjukkan perbedaan nilai rata-rata yang signifikan.
Nilai rata-rata leukosit.
Tabel 2. Karakteristik Data Keseluruhan

Kelo mpok
Karakteristik Total (N=38) Grup 1 (N=8) Grup 2 (N=30) P*
Usia 55.58±8.01 58.25 ±5.95 54.87 ±8.42 0.295
Hasil lab
Hb 13.77±2.11 13.28 ±2.11 13.90±2.12 0.465
Leukosit 10.89±3.54 8.03 ±1.53 11.66±3.54 0.000
Trombosit 281.11±81.08 291.75 ±95.79 278.27±78.32 0.682

Data menunjukkan rata-rata±standar deviasi atau percentase Grup


1 = kadar glukosa darah <200mg/dL

Grup 2 = kadar glukosa darah >200 mg

Tabel 3. Karakteristik Data dengan Outcome Membaik/ Hidup

Kelompok
Karakteristik Total (N=28) P*
Grup 1 (N=7) Grup 2 (N=21)
Usia 55,86±7,67 57,57±6,08 55,29±8,19 0,505
Hasil lab
Hb (g/dL) 14,01±2,16 13,73±1,81 14,11±2 ,30 0,694
Leukosit (x109L) 9,86±2,95 7, 77±1, 45 10,55±3,02 0,004
Trombosit (x109L) 276,82±74 ,77 275,71±91,13 277,19±71,09 0,965
Terapi
ACE inhibitor 7 (0,25) 1 (0,14) 6 (0,29) 0,059
Anti platelet 24(0,86) 6 (1,00) 18(0,86) 0,014
Anti angina 20(0,71) 7 (1,00) 13(0,62) 0,180

Data menunjukkan rata-rata±standar deviasi


Grup 1 = kadar glukosa darah <200 mg/dL
Grup 2 = kadar glukosa darah >200 mg/dL

ACE Inhibitor = angiotensin-converting enzym inhibitor, Hb = Hemoglobin

*Perbedaan signifikan rata-rata

pada setiap kelompok menunjukkan adanya perbe- daan yang signifikan, dimana nilai p value 0.004
(p
<0.05).
Kasus dengan outcome meninggal ( > dari 48 jam) berjumlah 10 kasus. Grup 1 (<200 mg/dL)
de- ngan outcome meninggal hanya dijumpai 1 kasus sehingga peneliti tidak dapat menghitung rata-
rata dan standar deviasi pada setiap komponen tabel. Hasil pemeriksaan laboratorium pada setiap
kelom- pok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada setiap rinciannya. Terapi pada kedua
kelom- pok menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada penggunaan obat antiplatelet dimana
nilai p value 0.034 (p<0.05).

Kelompok pasien yang kadar glukosa <200 mg/dL berjumlah 8 kasus dengan rincian 1 me-
ninggal dan 7 bertahan hidup. Pasien dengan kadar glukosa >200 mg/dL berjumlah 30 kasus dengan
rincian 9 meninggal dan 21 bertahan hidup.
Pada pengolahan data 2x2 dengan uji Chi square terdapat kelompok yang mempunyai nilai
expected count kurang dari 5 sehingga nilai yang digunakan adalah Fisher’s Exact Test dengan p =
0.653. Nilai ini lebih besar dari 0,05. Hal ini menun- jukkan bahwa tidak ada hubungan antara kadar
gula darah sewaktu dengan mortalitas pada pen- derita infark miokard akut dengan diabetes melitus.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Tabel 4. Karakteristik Data dengan Outcome Meninggal

Kelompok Grup 1 (N=1)


Karakteristik Total (N=10) Grup 2 (N=9) P*
Usia 54,80±9,29 43 53,89±9,37 0,383
Hasil Lab:
Hb 13,07±1,87 10,1 13,40±1,65 0,094
Leukosit(x109L) 13,80±3,56 9,84 14,24±3,47 0,263
Trombosit (x109L) 293,10±100,21 404 280,78±97,93 0,267
Terapi:
ACE inhibitor 2 (0,20) - 2 (0,22) **
Anti platelet 8 (0,80) 1 (1,00) 7 (0,78) 0,034
Anti angina 7 (0,70) - 7 (0,78) **

Data menunjukkan rata-rata±standar deviasi. Grup 1 = kadar glukosa darah <200mg/dL, Grup 2 = kadar glukosa darah >200 mg/ dL, ACE
Inhibitor = angiotensin-converting enzym inhibitor, Hb = Hemoglobin

*Perbedaan signifikan rata-rata

**Data tidak dapat dianalisa secara statistik karena jumlah yang kecil

DISKUSI
Beberapa penelitian melaporkan adanya hu- bungan yang nyata antara hiperglikemia dengan
usia terkait dengan metabolisme. Akan tetapi, rata- rata usia subyek pada penelitian ini adalah
55.58±8.01. Hasil penelitian ini sama dengan Salmasi dkk. (2005),8 dimana subyek penelitian yang
digunakan adalah usia tua tetapi tidak signifi- kan dengan hiperglikemia.
Suleiman dkk. (2005),9 melaporkan bahwa pengukuran predictive value glukosa plasma pa- ling
baik dilakukan pada saat 8 jam setelah masuk rumah sakit dan masih dalam batas waktu 24 jam
sejak masuk rumah sakit bukan segera saat ma- suk. Pada penelitian ini, onset pemeriksaan gluko- sa
darah setiap pasien tidak sama. Hal ini mung- kin mempengaruhi hasil penelitian dimana data yang
diambil tidak berada di onset yang sama sehingga terjadi bias.
Untuk mencari hubungan antara kadar gluko- sa darah dengan mortalitas pada pasien infark
miokard akut dengan diabetes melitus, maka pene- liti melakukan uji Chi square. Hasil Chi square p
= 0.653 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kadar glukosa
darahdengan mortalitas pasien infark miokard akut dengan diabetes mellitus.

Hasil penelitian ini sedikit berbeda dibanding- kan dengan penelitian sebelumnya. Yang dkk. (2011),7
melaporkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan glukosa darah puasa dengan peningkatan
mortalitas pada laki-laki. Pada peneliti- annya, hipoglikemia dan hiperglikemia dapat me-
ningkatkan mortalitas, walaupun ketidaknormalan glukosa darah puasa ini tidak memberikan efek
yang kuat pada wanita. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Wahab dkk. (2002), 10
dimana pasien dengan hiperglikemia memberikan out- comes yang buruk pada infark miokard
akut khu- susnya pasien yang sebelumnya tidak diketahui mengidap penyakit diabetes melitus.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa hiper- glikemia akut berhubungan dengan peningkatan
insidensi mortalitas. Peningkatan kadar glukosa pa- da pasien infark miokard akut berhubungan
dengan peningkatan konsentrasi asam lemak, resistensi insulin dan gangguan penggunaan glukosa
oleh miokard sehingga terjadi peningkatan konsusmsi oksigen dan berpotensi untuk terjadinya
iskemia. Hiperglikemia juga berhubungan dengan disfungsi mikrovaskular, inflamasi vaskular dan
disfungsi endotel. Semua mekanisme ini mungkin berpotensi untuk terjadinya perlukaan jaringan
AMI.11
Hubungan glikemia dan luasnya infark juga
dilaporkan beberapa peneliti. Kebanyakan peneliti memperkirakan luasnya infark berdasarkan nilai
kreatinin fosfokinase, aspartat aminotransferase dan CKMB dan melaporkan adanya hubungan yang
positif antara ukuran infark dan glikemia.

Pada penelitian ini hubungan antara glikemia dan ukuran infrak tidak dapat dilaporkan karena bebe-
rapa data rekam medis yang diperoleh dari RS PKU Muhammadiyah dan RSUD Bantul tidak
mencan- tumkan pemeriksaan tersebut. Luasnya nekrosis infark meningkatkan risiko gagal jantung
kongestif dan mortalitas.13 Teori ini tidak dapat dibuktikan oleh peneliti karena keterbatasan
kelengkapan data.
Hiperglikemia memperburuk prognosis infark miokard akut dengan beberapa mekanisme. Stres
hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan inflamasi pada manusia. Pasien dengan hipergli-
kemia memiliki aktivasi sel T yang tinggi baik CD 4 maupun CD 8. Tingginya sirkulasi CRP dan
IL-18 menjadi prediktor yang kuat untuk mortalitas penye- bab penyakit kardiovaskular pada sindrom
akut koroner. TNF alpha yang tinggi dalam sirkulasi akan menyebabkan tingginya radikal bebas
sehingga menyebabkan disfungsi dan apoptosis sel endo- telial.14 Diantara pasien infark miokard akut
dengan diabetes melitus dimana kadar glukosa sewaktu saat masuk lebih dari 180.2 mg/ dL memiliki
pe- ningkatan risiko 70% meninggal di rumah sakit dibandingkan dengan glukosa normal.13
Pengobatan selama di rumah sakit juga dapat
mempengaruhi outcome. Data yang ditunjukkan pada rekam medis di RS PKU Muhammadiyah dan
RSUD Bantul menyebutkan bahwa rata-rata pasien diberikan obat anti angina, anti platelet, ACE in-
hibitor dan insulin. Keempat obat tersebut hanya obat golongan anti platelet yang menunjukkan hasil
yang bermakna antara pengobatan dan outcome. Perbedaan tindakan di rumah sakit selama
memberikan perawatan mungkin dapat merancu- kan hasil ini. Salah satu obat antiplatelet yang

digunakan dan tertera dalam data rekam medis adalah clopidogrel. Clopidogrel harus diberikan
sesegera mungkin untuk semua pasien STEMI yang menjalani Percutaneuis Coronary invasion.
Selain itu clopidogrel juga memberikan proteksi yang lebih baik dari kejadian stroke, rekurensi
iske- mia pada pasien dengan diabetes dibandingkan aspirin.15

SIMPULAN
Peningkatan kadar glukosa darah sewaktu ti- dak berhubungan dengan peningkatan risiko
morta- litas pada penderita infark miokard akut dengan diabetes melitus.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Mortality Country Fact. 2006. p. 2. Diakses dari http://www.who.
int/whosis/mort/profiles/mort_searo_idn_ indonesia.pdf pada tanggal 25 April 2011.
2. Booloki, H.M & Askari, A. Acute Myocardial In- farction. Prevalence and Risk Factor. 2010, 1
Agustus. Diakses dari http://www.cleveland c l i n i c m e d e d . c o m / m e d i c a l p u b s /
diseasemanagement/cardiology/acute-myo- cardial-infarction/ pada tanggal 25 April 2011.
3. Mladenovi, V., Zdravkovi, V., Jovi, M., Vui, R., Iri-upi, V., Rosi, M. Influence of Admission Plasma
Glucose Level on Short- and Long- Term Prognostic in Patients With ST-Segment Elevation
Myocardial Infarction. Vojnosani- tetski Pregled; 2010. 67 (4): 292.
4. Janszky, I., Hallqvist, J., Ljung, R., Ahlbom, A., Hammar, N. Prognostic Role of the Gluco- metabolic
Status Assessed in a Metabolically Stable Phase after a First Acute Myocardial

Infarction: the SHEEP study. J Intern Med; 2008. 265 (4): 465-75.
5. Bassand, J.P., Hamm, C.W., Ardissino, D., Boersma, E., Budai, A., Avile’s, F.F., et al. Guidelines for
Diagnosis and Treatment of Non-ST-Segment Elevation Acute Coronary Syndromes. Eur Heart J; 2007.
28 (13): 1598- 1660.
6. World Health Organization. Definition and Di- agnosis of Diabetes Melitus and Intermediate
Hyperglycemia. Geneva, Switzerland. 2006. p.
3. Diakses dari http://www.who.int/diabetes/ publications/Definition%20and%20 diagnosis
%20of%20diabetes_new.pdf pada tanggal 2 April 2011.
7. Yang, S., Zhou, Y., Nie, X., Liu, Y., Du, J., Hu,
D. et al. Effect of Abnormal Fasting Plasma Glucose Level on All-Cause Mortality in Older
Patients With Acute Myocardial Infarction: Result From Beijing Elderly Acute Myocardial
Infarction Study (BEAMIS). Mayo Clin Proc; 2011. 86 (2): 94-104.
8. Salmasi, A., Frost, P., Dancy, M. Left Ventricu- lar Diastolic Function in Normotensive Subjects 2Months
After Acute Myocardial Infarction is Related to Glucose Intolerance. Am Heart J; 2005. 150 (1): 168-74.
9. Suleiman, M., Hammerman, H., Boulos, M., Kapeliovich MR, Suleiman A, Agmon Y,.et al. Fasting
Gluoses is an Important Independent Risk Factor for 3-day Mortality in Patients with Acute Myocardial
Iinfarction; a Prospective Study. Circulation; 2005. 11 (6): 754-760.

Anda mungkin juga menyukai